• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan bekerja dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perempuan bekerja dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PEREMPUAN BEKERJA DALAM PANDANGAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TAHUN 2000-2014 M

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Oleh Nur Faizah ( A92215111)

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Penelitian ini berfokus pada kegiatan organisasi Islam yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam merespon isu perempuan bekerja yang berjudul “Perempuan Bekerja dalam Pandangan Majelis Ulama Indonesia Tahun 2000-2014”. Dengan fokus permasalahan: (1) Bagaimana sejarah perjuangan perempuan bekerja di Indonesia? (2) Bagaimana sejarah dan perkembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)? (3) Bagaimana perempuan bekerja dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan beberapa metode penelitian sejarah yang melalui beberapa tahapan yakni Heuristik (pengumpulan data), Kritik (mengkritisi data) Interpretasi (penafsiran data), dan Historiografi (penulisan sejarah). Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan sejarah sosial, serta teori dari Karl Marx tentang Feminisme marxis-sosialis serta Teori Kekuasaan dan Pegetahuan oleh Michel Foucault.

Dari penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah: (1) Perempuan Indonesia bangkit dari penindasan pada abad 19. Namun akibat stigma yang terbentuk di masa penjajahan, kemampuan yang dimiliki perempuan tergolong rendah dan berimbas diskriminasi kerja. Hingga memasuki tahun 2000, perempuan bekerja masih rawan mendapat diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan. (2) MUI merupakan wadah berkumpulnya ulama, zuama dan cendekiawan muslim yang berdiri pada 26 Juli 1975. Jika masa orde baru dikenal sebagai organisasi pemerintahan, maka masa reformasi MUI membalik orientasi lebih kepada umat. Hingga kini MUI sudah berganti 7 kepemimpinan, dan punya 12 komisi. (3) Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun 2000-an memberikan pandangan terhadap persoalan perempuan bekerja. Hal demikian tercermin dalam fatwa yang dikeluarkan, yakni fatwa tentang pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri.

(7)

vii

ABSTRACT

This research focuses on the activities of Islamic organizations namely the Indonesian Ulema Council (MUI) in responding to the issue of working women entitled "Women Working in the Views of the Indonesian Ulema Council in 2000-2014". With the focus of the problem: (1) What is the history of the struggle of women working in Indonesia? (2) What is the history and development of the Indonesian Ulema Council (MUI)? (3) How do women work in the view of the Indonesian Ulema Council (MUI) in 2000-2014?

To answer these questions, the author uses several methods of historical research which go through several stages namely Heuristics (data collection), Criticism (criticizing data) Interpretation (data interpretation), and Historiography (history writing). The writing of this thesis uses the approach of social history, as well as the theories of Karl Marx about Marxist-socialist feminism and the Theory of Power and Knowledge by Michel Foucault.

From the research conducted, the conclusions that can be drawn by the authors are: (1) Indonesian women rose from oppression in the 19th century. However, due to the stigma formed during the colonial period, women's abilities were relatively low and affected by work discrimination. Until entering 2000, working women were still vulnerable to discrimination, violence and harassment. (2) MUI is a gathering place for ulemas, zuama and Muslim scholars who were established on July 26, 1975. If the new order period is known as a government organization, the MUI reform period reverses more orientation to the people. Until now MUI has changed 7 leadership, and has 12 commissions. (3) The Indonesian Ulema Council (MUI) in the 2000s provided insight into the problem of working women. This was reflected in the fatwa issued, namely the fatwa on sending Female Workers (TKW) abroad.

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHANAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 10

(9)

ix

G. Metode Penelitian ... 14

H. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II: PEREMPUAN BEKERJA DI INDONESIA

A. Sejarah Feminisme di Barat ... 20

B. Perjuangan Perempuan di Indonesia ... 24

C. Perempuan Bekerja Indonesia ... 28

BAB III: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

A. Profil Organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) ... 39

B. Ulama Sebelum berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) ... 44

C. Sejarah dan Perkembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)... 48

BAB IV: PEREMPUAN BEKERJA DALAM PANDANGAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TAHUN 2000-2014

A. Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sebagai Mufti... 52

B. Perubahan Orientasi Isu Perempuan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ... 56

C. Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait Perempuan Bekerja ... 58

(10)

x

1. Fatwa tentang Pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Luar Negeri Tahun 2000 ... 59 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Organisasi Islam di Indonesia semakin banyak terbentuk seiring dengan berkembangnya kegiatan sosial-keagamaan yang terjadi pada masyarakatnya. Organisasi kemasyarakatan pada umumnya lahir karena adanya tekanan dan ketidakadilan dari sekitarnya. Dengan menghimpun potensi mereka menyusun kekuatan untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Dalam catatan sejarah masyarakat Islam Indonesia, Organisasi Islam muncul dengan semangat kemandirian. Tujuannya sama yakni agar terwujudnya ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin di segala lini kehidupan. Seperti Syarikat Dagang Islam yang berorientasi bisnis, Syarikat Islam yang berorientasi politik, lalu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang berorientasi sosial keagamaan dan dakwah.

Setelah tiga puluh tahun kemerdekaan Indonesia, yakni pada tahun 1975, kekuatan bangsa yang sebelumnya fokus dalam bentuk perjuangan politik kelompok perlahan bangkit dan fokus pada kesejahteraan rohani umat. Maka diadakanlah musyawarah bagi ulama, zuama1 dan cendekiawan muslim yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Para ulama tersebut hadir mewakili dua

1 Zuama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemimpin (organisasi, pemerintahan, dan sebagainya) yang juga duduk dalam pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI).

(12)

2

puluh enam Provinsi di Indonesia pada masa itu. Forum musyawarah ini kemudian dikenal dengan Musyawarah Nasional Ulama I. Dari Musyawarah Nasional Ulama I tersebut terbentuklah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan organisasi Islam yang menjadi wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia. Organisasi ini terbentuk pada 7 Rajab 1395 H atau 26 Juli tahun 1975 dari hasil Musyawarah Nasional Ulama I dengan Prof. Dr. Hamka sebagai ketuanya2. Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri secara otonom dan mandiri. Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi salah satu upaya mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan dapat meningkatkan kerukunan umat dan persatuan bangsa.

Sejarah mencatat, peran ulama sangatlah penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dimulai pada masa kerajaan Islam, ulama menjadi rujukan para raja-raja muslim di Nusantara dalam mengambil kebijaksanaan (fatwa). Seorang Indonesianis asal Belanda, Nico J.G Kaptein menyatakan bahwa fatwa sudah di gunakan di Nusantara dimulai sejak seperempat akhir abad ke-19.3 Hal demikian terus berlanjut hingga masa kini. Ulama masih menjadi figur yang

2 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara: Dalam Politik Orde Baru (1966-1994) (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)94.

3 Kaptein, Nico J.G. “The Voice of The Ulama: Fatwas and Religious Authority in Indonesia.” Arch. de Sc. soc. des Rel, 2004: 125. journals.openedition.org

(13)

3

diharapkan kehadiranya dalam setiap permasalahan yang muncul ditengah masyarakat. Disinilah kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi yang menghimpun para ulama diharapkan mampu memberikan bimbingan dan tuntunan kepadadumat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan organisasi Islam yang banyak dikenal masyarakat dengan fatwa yang dikeluarkan. Meski terkadang memunculkan kontroversi namun banyak juga yang dijadikan rujukan dalam menengahi suatu permasalahan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri dalam perspektif hukum perundang-undangan tidak dikategorikan sebagai hukum positif. Karena Fatwa MUI sifatnya tidak mengikat dan tidak ada paksaan secara hukum untuk memenuhi ketentuan tersebut. Namun di sisi lain, materi muatan yang terkandung dalam fatwa dapat diserap dan di terapkan menjadi materi muatan perundang-undangan4.

Sejak berdirinya tahun 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif sebagai mufti bagi yang membutuhkan. Baik bagi masyarakat luas ataupun pemerintah. Permasalahan yang membutuhkan fatwa juga beragam. Mulai dari masalah ranah pribadi, kebijakan publik, ibadah, sosial politik, sosial

4 Wahiduddin Adams, “Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan” dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan, ed. Nahar Nahrawi (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementrian Agama RI, 2012), 5-6.

(14)

4

keagamaan, halal-haram makanan hingga iptek. Tentu saja semua permasalahan yang ada relasinya dengan masalah keagamaan. Fatwa-fatwa tersebut sangat dinantikan masyarakat sebagai panduan dan pedoman dalam sehari-hari.

Citra Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi pro-pemerintahan orde baru memang cukup melekat. Meski demikian ketika rezim orde baru runtuh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak ikut runtuh. Organisasi ini justru mengepakkan sayapnya lebih tinggi. Era reformasi merupakan momentum dimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) melepaskan citra yang selama ini melekat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) membalik orientasinya lebih kepada umat. Strategi pertamanya adalah dengan mengadakan kembali Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) pada 3-7 November 1998.5

Diambil dari buku “Himpunan Fatwa MUI” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bekerjasama dengan penerbit Emir. Fatwa yang sudah terhimpun sejak 1975-2014 adalah 160 fatwa yang terbagi ke dalam empat bidang; bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan, bidang Ibadah, bidang Sosial dan Budaya, serta bidang Pangan, Obat-obatan, Kosmetik (POM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Pada buku ini terdapat pula keputusan Ijtima‟ ulama tahun 2003, 2006, 2009 dan 2012.6

5 Moch. Nur Ichwan, “Politik Metamorfosis Majelis Ulama”, Mimbar Ulama (Juni 2010), 44.

6 Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa: Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 (Edisi Terbaru) (Jakarta: Emir, 2015)

(15)

5

No Bidang Orde Baru

(1975-1998)

Reformasi (1998-2014)

1 Aqidah dan Aliran Keagamaan 13 5

2 Ibadah 20 19

3 Sosial dan Budaya 20 37

4 Pangan, Obat-obatan, Kosmetik (POM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) 13 37 Total 62 Fatwa 98 Fatwa 160 Fatwa

Dari tabel diatas dapat dilihat keaktifan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam memproduksi fatwa meningkat. Orientasi pembahasannya semakin berkembang juga berubah. Masa Orde baru banyak mengeluarkan fatwa pada bidang Ibadah serta Sosial dan Budaya. Namun selanjutnya dalam kurun waktu 16 tahun pada masa reformasi (1998-2014) Majelis Ulama Indonesia (MUI) semulanya banyak mengeluarkan fatwa pada bidang Ibadah dan sosial budaya beralih banyak mengeluarkan fatwa pada bidang Sosial dan Budaya serta Pangan, Obat-obatan, Kosmetik (POM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Dari uraian diatas, satu bidang yang selalu menjadi orientasi Majelis Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah bidang sosial dan budaya. Bisa jadi karena banyaknya persoalam sosial dan budaya yang muncul di masyarakat.

(16)

6

Apalagi sosial dan budaya seolah menjadi keseharian masyarakat dibarengi dengan perkembangan IPTEK yang mulai berkembang pada masa reformasi. Fatwa tidak mungkin lahir dari ruang hampa, pasti ada pengaruh sosial maupun budaya yang melatar belakangi.

Salah satu isu yang menarik untuk digali adalah isu terkait perempuan. Di dalam Agama Islam seperti yang disampaikan H.M. Atho Mudzhar, bahwa dalam catatan awal sejarah Islam penuh dihiasi oleh nama-nama wanita yang berperan besar bagi kelangsungan masyarakat Islam.7 Ini memberikan gambaran bahwa perempuan memiliki peran yang sentral di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian pasti banyak sekali persoalan yang dialami perempuan. Karena seperti yang kita ketahui, perbincangan mengenai kaum perempuan memang tidak ada habisnya. Pembahasan mengenai perempuan di Indonesia sendiri sudah ada sejak lama. Kesetaraan gender, HAM dan feminisme mewarnai pembahasan perempuan.

Sejarah panjang perjuangan perempuan menampilkan beragam dinamika sosial yang menarik. Budaya patriarki8 yang sudah mengental menimbulkan permasalahan tersendiri bagi perempuan. Perempuan dianggap sebagai pribadi tingkat dua yang tidak lebih baik dari laki-laki. Perempuan dibebani peran

7

H.M. Athor Mudzhar, “Wanita dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern” dalam Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses Pemberdayaan dan Kesempatan, ed. Atho Mudzhar (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), 144.

8 Patriarki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijabarkan sebagai tindakan yang mementingkan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

(17)

7

domestik. Sedangkan ranah publik diperuntukkan bagi laki-laki. Padahal dalam kehidupan modern sekarang ini perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama untuk berkompetisi sesuai kemampuannya. Perempuan dan laki-laki punya hak dan tanggung jawab yang sama terhadap Bangsa Indonesia.

Kini perempuan memiliki ruang untuk tampil menjadi bagian dari masyarakat yang berdaya. Kehadiran perempuan di ruang publik membawa perubahan sosial dalam pembangunan bangsa. Perempuan membuktikan bahwa mereka mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam segi kualitas diri. Meski jika dikaji masih banyak ketimpangan maupun diskriminasi yang dialami perempuan. Pencapaian perjuangan ini patut di apresiasi.

Ditengah tuntutan kebutuhan, perempuan ikut bekerja demi memenuhi perekonomian keluarga. Apalagi ditengah perkembangan industri. Di daerah-daerah, banyak perempuan bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji yang tidak seberapa. Yang lebih ekstrem lagi, mereka yang memutuskan bekerja di luar Indonesia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Keputusan ini diambil karena lapangan pekerjaan di dalam negeri yang dianggap kurang memadai. Mereka bahkan melupakan keselamatan pribadi. Semua dilakukan demi pemenuhan ekonomi keluarga.

Hal demikian menimbulkan persoalan baru ditengah masyarakat. Bagaimana dengan hak dan keselamatan mereka perempuan yang bekerja.

(18)

8

Lebih spesifik adalah perempuan yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Lalu bagaimanakah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi sosial keagamaan yang punya pengaruh merespon hal demikian? Untuk itulah penelitian ini akan dilakukan. Yakni guna mengetahui bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespon terkait perempuan bekerja.

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, penelitian ini akan mengambil tema yang berjudul “Perempuan Bekerja Dalam Pandangan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 – 2014” dalam paradigma sejarah. Dimana kajian ini akan mengurai konsepsi perempuan bekerja di Indonesia. Lalu sejarah dan perkembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Serta bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi persoalan yang dialami perempuan bekerja. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi sosial-keagamaan menjadi wawasan penting dalam perjalanan historiografis Islam di Indonesia. Diharapkan penelitian sejarah sosial keagamaan ini nantinya dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat secara luas.

B. Rumusan masalah

Berpijak pada latar belakang masalah di atas, maka peneliti fokuskan dengan rumusan masalah sebagaimana berikut:

1. Bagaimana sejarah perjuangan perempuan bekerja di Indonesia?

(19)

9

3. Bagaimana perempuan bekerja dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Dari pemaparan singkat dalam latar belakang yang dibuat oleh peneliti, serta beberapa topik permasalahan yang dirangkum dalam Rumusan masalah. Maka penulis berharap bahwa kajian studi yang akan dilakukan nantinya dapat dijadikan acuan bagi penulis maupun khalayak umum untuk:

a. Mengetahui sejarah perjuangan perempuan bekerja di Indonesia b. Mengetahui sejarah dan perkembangan Majelis Ulama Indonesia

(MUI)

c. Mengetahui perempuan bekerja dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014

2. Tujuan Khusus

Kajian studi yang akan dilakukan ini ditujukan untuk mengapresiasi ilmu yang telah didapat penulis dalam perkuliahan serta untuk menyelesaikan tugas akhir S1 Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

(20)

10

1. Kegunaan Akademik

Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang studi keislaman, terlebih mengenai disiplin ilmu di bidang Sejarah Peradaban Islam. Penelitian ini termasuk penelitian kontemporer dengan pendekatan keilmuan sejarah sosial yang mengacu pada salah satu organisasi Islam Indonesia. Maka dengan ini diharapkan dapat menjadi wawasan bagi baru dalam penelitian Sejarah Peradaban Islam dan bagi keilmuan sejarah secara umum.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan sejarah Islam, khususnya bidang kelembagaan Islam. Terutama, tentang bagaimana organisasi Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam merespon isu perempuan di Indonesia. Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

E. Pendekatan dan kerangka teoritik

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang mana akan fokus pada aspek kronologis suatu peristiwa di masa lampau. Adapun pendekatan yang digunakan dalam pengembangan penelitian adalah pendekatan sejarah sosial. Pendekatan sejarah sosial digunakan adalah untuk mengungkap aktivitas sebuah organisasi dalam merespon suatu permasalahan yang berkembang di lingkungan sosial. Yang dalam kaitan ini adalah mengungkap respon Majelis

(21)

11

Ulama Indonesia (MUI) terhadap isu yang berkembang terkait perempuan bekerja.

Adapun teori yang digunakan adalah Teori Feminisme Marxis Sosialis oleh Karl Marx. Teori ini berangkat dari konsep marxis tentang hakikat manusia dan tentang masyarakat, ekonomi dan politik. Fokus feminis marxis berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan wanita. Bagaimana jika perempuan terjun bekerja di lapangan selalu diberi pekerjaan yang membosankan dan ringan serta diupah murah. Hal demikian merupakan kasus yang banyak dialami perempuan begitupun yang di alami perempuan Indonesia.9 Hingga memasuki akhir tahun 90-an, perjuangan perempuan berfokus pada HAM dan anti kekerasan terhadap perempuan.

Selanjutnya penulis juga menggunakan Teori Kekuasaan dan Pengetahuan oleh Michel Foucault. Kekuasaan dalam pandangan Michel Foucault merupakan sesuatu yang positif dan produktif. Bahwa pada dasarnya ada kekuasaan atas pengetahuan dan pengetahuan atas kekuasaan. Pelaksanaan kekuasaan secara terus menerus akan menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan secara konstan akan menyebabkan pengaruh pada kekuasaan.10

Bagi Foucault, sejarah bukanlah masa lampau melainkan bersifat masa kini (History of Present). Dengan kata lain penulisan sejarah haruslah untuk

9 Kajian wanita dalam pembangunan, 89. 10

(22)

12

masa kini bukan masa silam. Perspektif yang digunakan juga masa kini karena untuk kebutuhan masa kini. Berkaitan dengan present, foucault menggagas konsep tentang Geneologi kekuasaan. Geneologi memunculkan tubuh yang dipandang sebagai objek pengetahuan atau target beroperasinya kekuasaan. Teori kekuasaan dan pengetahuan penulis jadikan sebagai salah satu teori untuk melakukan analisis upaya responsif MUI terhadap perempuan bekerja yang terangkum dalam kebijakan-kebijakan atau fatwa MUI.

F. Penelitian terdahulu

Penulis belum menemukan judul serupa dari penelitian terdahulu. Penelitian yang sudah ada berkisar pada kesamaan tema besar tentang Organisasi Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai berikut:

No Nama Peneliti Judul Universitas, Tahun Fokus Penelitian 1 Hasan Maftuh11 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dinamika sosial keagamaan di Surakarta 1975-2015 UIN Sunan Kalijaga, 2018 Segala aktivitas sosial-keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Surakarta. Terutama hubungannya dengan organisasi Islam lain dari

11 Hasan Maftuh, “Majelis Ulama Indonesia dan Dinamika Sosial Keagamaan di Surakarta 1975-2015”, (Tesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018)

(23)

13 tahun 1975-2015 2 Andi Shofian Efendi12 Pengaruh fatwa Majeli s Ulama Indonesia (MUI) terhadap proses pengambilan kebijakan pemerintah Indonesia UIN Syarif Hidayatullah, 2011

Fatwa apa saja yang terserap dari peraturan perundang-undangan. Seperti narkotika, perbankan, pornografi, produk halal dll. 3 Asrorun Ni‟am Sholeh13 Metodologi fatwa Majelis Ulama Indonesia; Penggunaan prinsip Pencegahan Penerbit Emir,2016 Penggunaan prinsip kehati-hatian dalam MUI dalam berfatwa

12Andi Shofian Efendi, “Pengaruh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia” (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011) 13 Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi fatwa Majelis Ulama Indonesia; Penggunaan prinsip Pencegahan Dalam Fatwa (Jakarta: Emir, 2016)

(24)

14 Dalam Fatwa 4 Siti Musda Mulia14 Fatwa Majelis Ulama Indonesia: pengaruhnya terhadap perlindungan hukum perempuan Jurnal Jauhar, 2003 Bagaimana fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat memberi dampak bagi perempuan khususnya secara hukum.

Adapun penelitian ini membahas bagaimana pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi Islam terhadap isu perempuan khususnya persoalan perempuan bekerja yang tercermin dalam rangkaian fatwa yang dikeluarkan tahun 2000-2014.

G. Metode penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodeepenelitian sejarah, metodeepenelitian sejarah merupakannmetode yang digunakan untuk mendeskripsi dannmenganalisis peristiwa-peristiwaamasa lampau. Metode penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah, yaitu :

1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap awal suatu penelitian sejarah. Tahap dimana penulis mencari sumber-sumber sejarah untuk mendapatkan

14Siti Musdah Mulia “Fatwa Majelis Ulama: Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hukum Perempuan”, Jauhar, Vol.4 No.2 (Desember 2003), 186.

(25)

15

data atau materi sejarah.15 Dalam kaitannya dengan sejarah yang dimaksud sumber adalah sumber yang tersebar bisa berupa catatan, kesaksian, dannfakta-fakta lain yang dapat memberikan penggambaran tentang suatu peristiwa.16

a. Sumber primer

Penulisan skripsi ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan sumber primer, diantaranya :

1. Fatwa Hasil Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VI/ MUI/ 2000 Tentang Pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Luar Negeri.17 2. Fatwa Hasil Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama

Indonesia Nomor: 8/MUNAS VI/MUI/2000 Tentang Bias Jender.18

3. Buku Majelis Ulama Indonesia “Himpunan Fatwa: Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 (Edisi Terbaru)” yang bekerja

sama dengan penerbit Emir, 2015.19 b. Sumber sekunder

15 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2016), 55. 16

M. Dien Majdid, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: KENCANA, 2104), 219. 17 Majelis Ulama Indonesia, “Komisi: Fatwa.” dalam http://mui.or.id/fatwa/ (7 Februari 2019).

18

Majelis Ulama Indonesia, “Komisi: Fatwa.” dalam http://mui.or.id/fatwa/ (7 Februari 2019).

19 Indonesia, Majelis Ulama, Himpunan Fatwa: Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 (Edisi Terbaru), (Jakarta: Emir, 2015).

(26)

16

Beberapa sumber sekunder yang dapat membantu dalam proses penelitian penulis adalah sebagai berikut:

1. Buku Atho Mudzhar dkk “Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses Pemberdayaan, dan Kesempatan”,

(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001)

2. Buku Fatwa “Majelis Ulama Indonesia (MUI); dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan”

3. Moch. Nur Ichwan, “Politik Metamorfosis Majelis Ulama”, Mimbar Ulama, (Juni 2010)

4. Siti Musdah Mulia, “Fatwa Majelis Ulama: Pengaruhnya terhadap Perlindungan Hukum Perempuan”, dalam Jurnal Jauhar Vol.4, No.2 (Desember 2003), 183-205.

2. Verifikasi atau Kritik Sumber

Dari berbagai sumber yang ditemukan, kemudian di verifikasi guna memperoleh data yang valid melalui kritik ekstern dan kritik intern. Dalam hal ini yang harus diuji adalah keaslian sumber yang diteliti dengan kritik ekstern dan keabsahan sumber yang ditelusuri melalui kritik intern.20

Sebagai contoh adalah peneliti menggunakan sumber primer Surat keputusan penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh Komisi

(27)

17

Fatwa yang terkait perempuan bekerja yang diperkuat dengan adanya buku Himpunan Fatwa: Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 (Edisi Terbaru) terbitan penerbit buku Emir yang bekerjasama langsung dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

3. Interpretasi

Pada tahap ini, penulis berusaha untuk menganalisis sejumlah fakta yabg di peroleh dengan teori yang digunakan, sehingga memunculkan suatu penafsiran. Disini peneliti berusaha memaparkan dengan menafsirkan apa yang penulis anggap sebagai „pandangan‟ Majelis

Ulama Indonesia (MUI) terhadap isu perempuan bekerja yang berkembang di Indonesia.

4. Historiografi

Proses terakhir adalah menuliskan hasil dari penafsiran data-data sejarah tersebut ke dalam bentuk tulisan narasi kronologis disertai dengan deskriptif analitik dengan menggunakan susunan bahasa dan format penulisan yang baik dan benar. Disini penulis memberikan gambaran dari hasil penelitian yang sudah dilakukan tentang pandangan atau respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait isu perempuan bekerja yang salah satunya berwujud fatwa.

H. Sistematika pembahasan

Sistematika penulis yang digunakanddalam penelitian ini yaitu penjelasan mengenai runtutankkelima bab yang akan dijabarkan kedalam bab-bab berikut :

(28)

18

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah,rrumusan masalah,htujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika bahasan yang ditujukan untuk memahami alur pembahasan.

Bab kedua menjelaskan sejarah perempuan bekerja di Indonesia; yang meliputi penguraian/ wawasan feminisme, perjuangan perempuan di Indonesia, serta perempuan bekerja di Indonesia.

Bab ketiga berisi tentang profil organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), lalu bagaimana keberadaan ulama sebalum berdirinya Majelis Ulama Indonesia serta sejarah dan perkembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Bab keempat berisi tentang perempuan bekerja dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2000-2014. Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang persoalan yang dihadapi kaum perempuan yang bekerja; Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sebagai Mufti , lalu perubahan orientasi isu perempuan serta fatwa terkait perempuan bekerja ; a) fatwa pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri.

(29)

19

Bab kelima merupakan bab penutup. Menguraikan tentang kesimpulan dari hasil rumusan masalah beserta analisa dari permasalahan yang diteliti sekaligus saran.

(30)

20

BAB II

PEREMPUAN BEKERJA DI INDONESIA

Perempuan sebagai bagian masyarakat Indonesia sudah aktif sejak lama dalam berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi. Namun hingga tahun 2000-an sebagian besar perempuan masih saja mendapat diskriminasi dan penghasilan mereka dipandang sebagi nafkah tambahan. Maka dalam rangka mengetahui kondisi perempuan bekerja di Indonesia, pada bab ini akan diuraikan paradigma sosial-budaya serta sejarah panjang perjuangan perempuan bekerja di Indonesia.

A. Sejarah Feminisme di Barat

Perjuangan perempuan dalam memperjuangkan haknya atau lebih populer di kenal dengan feminisme, sudah muncul di Barat sejak abad 17. Feminisme lebih banyak dikenal sebagai sebuah gerakan yang menuntut emansipasi atau kesetaraan hak dengan laki-laki. Diantaranya adalah hak memperoleh pendidikan, hak atas ruang publik, hak untuk memilih dan sebagainya, yang pada saat itu dianggap tidak adil.

Di Eropa, gerakan feminisme sudah ada sejak tahun 1630-an. Perjuangan perempuan kala itu tumbuh dengan latar belakang penurunan statusyperempuan oleh gereja di Eropa. Produktivitas perjuangan dalam bentuk gerakan ini muncul di sekitar tahun 1780-an dan 1790-an. Semakin meningkat seiring dengan munculnya perdebatan terkait kerugian perempuan pada masa revolusi Prancis. Sebelum Revolusi Prancis (1789-1793) kaum perempuan tidak

(31)

21

memiliki hak politik dan dianggap sebagai warga negara yang “pasif”, sehingga

mereka hanya bisa mengandalkan pria untuk memutuskan apa yang terbaik bagi mereka. Feminis beranggapan bahwa kepentingan perempuan pada masa itu diabaikan, padahal peranan perempuan dalam revolusi Prancis kala itu cukup banyak.

Setelah Revolusi Prancis tahun 1793 terjadi, tidak banyak keuntungan yang didapat perempuan. Bahkan kedudukan mereka dirasa cukup rendah dilihat dari hukum perdata yang ditetapkan oleh pemimpin revolusi yang disahkan oleh Napoleon I. 21 Gerakan feminisme menjadi lebih terorganisir dan terfokus di tahun 1850-an. Gerakan ini hadir sebagai bagian dari mobilisasi menentang perbudakan dan menuntut HAM bagi kalangan menengah.

Di Amerika misalnya, kaum perempuan berperan dalam gerakan anti perbudakan yang dimulai tahun 1830. Namun mereka tidak diizinkan mengikuti Konvensi Anti Perbudakan di London tahun 1840. Mereka lalu mengubah fokus tuntutan yang langsung mengena pada kepentingan perempuan. Pada saat Revolusi Amerika berakhir (1861-1863) terbentuk banyak organisasi sukarela yang mempunyai tujuan untuk mengadakan perbaikan di bidang moral, sosial, pendidikan serta kemanusiaan.22

Pada tahun 1848, diadakan Konvensi Hak-Hak Wanita di kota Seneca Falls. Tuntutan kaum feminis kala itu mencakup 3 hal; agar perempuan

21 Sukanti Suryochondro, Kajian Wanita dalam Pembangunan; T.O Ihromi (Penyunting) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 31-32.

22

(32)

22

memperoleh pendapatan hasil pekerjaan mereka sendiri, hak atas anak setelah perceraian dan hak pilih. Namun baru di awal abad 20 mobilisasi dilakukan untuk mendapatkan hak pilih bagi perempuan dan reformasi undang-undang kewarganegaraan dan Industrial, khususnya di Era progresif Amerika Serikat.23 Hak untuk memilih akhirnya terwujud di tahun 1920, yang berarti 70 tahun setelah di perjuangkan.

Setelahnya, gerakan perempuan selama hampir tiga puluh tahun mengalami penurunan secara ukuran maupun kekuatan. Namun akhirnya di tahun 1960-an gelombang feminis bangkit. Ritzer menyebutkan ada tiga faktor pendorong kebangkitan, namun yang utama adalah pengalaman wanita dalam menghadapi prasangka dan diskriminasi yang mereka pindahkan menjadi tuntutan upah dan pendidikan yang lebih tinggi.24 Kebangkitan gerakan itu ditandai dengan pertumbuhan literatur baru tentang wanita. Literatur ini yang kemudian dikenal dengan “Studi Wanita”. Gelombang ini terus berkembang

selama tahun 1970-an hingga abad 21.

Dalam faham feminisme sendiri, terdapat beberapa macam aliran dengan ciri masing-masing. Antara lain:

1. Feminisme Liberal; Paham feminisme liberal beranggapan bahwa perempuan dan pria diciptakan sama serta mempunyai hak dan

23 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam (Jakarta: Kencana, 2004), 9. 24

(33)

23

kesempatan yang sama. Mereka menghendaki agar perempuan terintegrasi dalam semua peran baik didalam maupun di luar rumah. 25 2. Feminisme Radikal; Aliran ini memiliki pemahaman bahwa struktur

masyarakat yang ada di dunia dilandaskan pada hubungan hirarkis berdasarkan jenis kelamin laki-laki. Aliran ini muncul di awal abad ke-19 dengan menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan.26

3. Feminisme Marxis; Paham ini beranggapan bahwa ketertinggalan yang dialami perempuan merupakan akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Selama masih ada kelas di dalam tatanan masyarakat, maka peluang perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama akan terasa sulit.

4. Feminisme sosialis; feminisme sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat sistem kapitalis yang mendukung terjadinya kerja tanpa upah bagi perempuan di lingkungan rumah tangga. Akibatnya istri senantiasa memiliki kecemasan ekonomi menggantungkan ekonominya kepada suami sehingga memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya.27

25 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: PARAMADINA, 1999), 64.

26 Ibid., 67. 27

(34)

24

B. Perjuangan Perempuan di Indonesia

Semangat feminisme juga terdapat di Indonesia. Perjuangan perempuan dalam memperjuangkan kaumnya sangat perlu diapresiasi. Ideologi patriarki yang dibawa penjajah Barat ke Indonesia abad ke-19 menekankan kedudukan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Anggapan ini dikuatkan oleh pendapat Margaret Mead yang menyatakan bahwa kesalahkaprahan yang dibawa dari negara maju -seperti Amerika- tentang perempuan berpindah ke negara berkembang. Inilah yang menjadi akar dari banyak permasalahan dalam kehidupan perempuan di negara berkembang sebagai dampak negatif pembangunan.

Hal demikian kiranya juga yang terjadi di Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang bekas jajahan banyak negara Barat. Seperti Spanyol, Portugis, Belanda telah membawa dampak budaya patriarki yang cukup kuat. Saking kuatnya masyarakat kita menganggap bahwa apa yang terjadi kini adalah kodrat yang harus diterima apa adanya. Ideologi demikian bahkan mengilhami pemerintah kita dalam mengambil kebijakan publik.

Zaman kolonialis Belanda kita mengenal beberapa pejuang perempuan yang mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Beberapa pejuang perempuan yang tercatat dalam sejarah, seperti: Martha Christina Tiahahu dari Maluku (1817), Raden Ayu Ageng Serang dari Jawa (1825), Cut Nyak Dien dari Aceh, dan Cut Meutia dari Aceh. Sedangkan pada perjuangan pendidikan dan memajukan kaum perempuan kita mengenal R.A Kartini dari Jepara Jawa

(35)

25

Tengah, Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara, Dewi Sartika dari Pasundan, Nyi H. Achmad Dahlan dari Yogyakarta dan Nyi H. Rasuna Said dari Sumatera Barat.28

Dr. Gadis Arivia membagi peta pergerakan perempuan dan perjuangan feminisme di Indonesia bisa dibagi ke dalam empat tahap29;

Tahap Pertama, memunculkan persoalan hak memilih dalam pemilihan pejabat publik serta hak pendidikan yang dikenakan pada zaman Belanda (ditemui sejak 1912). Keprihatinan rakyat dan ketidak adilan yang dialami perempuan Indonesia masa itu -khususnya dalam keluarga- terlihat dari surat-surat Kartini yang sudah dibukukan pada permulaan abad 20. Dalam kumpulan bukunya, kartini menceritakan penderitaan rakyat miskin dan kurang mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Selain itu juga menyebutkan bagaimana adat istiadat yang mengekang dan membawa penderitaan bagi keluarga, seperti poligami.30

Pada tahun 1912 berdiri organisasi perempuan pertama yaitu Poetri Mardika. Pendirian organisasi ini dibantu oleh kaum pria progresif dari perkumpulan Boedi Utomo. Salah satu tujuannya adalah menggerakkan perempuan dalam menyebarluaskan cita-cita kemajuan rakyat dan kemerdekaan bangsa. Pada tahun setelahnya, bermunculan organisasi perempuan lainnya

28

KOWANI, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1978), 3-13.

29 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2006), 15.

30 Mayling Oey-Gardiner, Perempuan Indonesia Dulu dan Kini (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 293.

(36)

26

seperti Jong Java Meisjeskring (Kelompok Pemudi Jawa Moeda) di tahun 1915 dan Aisyiyah di tahun 1917. Organisasi-organisasi ini berusaha memupuk kesadaran dan rasa kebangsaan perempuan agar mau bertindak di muka umum. Selain itu mereka juga memberikan perhatian khusus pada lembaga perkawinan yang menunjukkan masalah ketidak adilan bagi perempuan.

Setelah sumpah pemuda di dicetuskan pada tahun 1928, organisasi di berbagai daerah bersatu dalam wadah guna menghimpun kekuatan untuk lepas dari cengkraman penjajah. Begitupun dengan organisasi perempuan, seperti Wanita Tomo, Wanita Katholik, Wanita Taman Siswa, Aisyiyah Poetri Indonesia, dan Roekoen Wanodijo membentuk federasi Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) pada 22 Desember 1928. Federasi ini menegaskan persatuan semua organisasi wanita, baik nasionalis agama maupun netral dan menjunjung nilai kemanusiaan.31

Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) kemudian berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (1929), lalu berubah menjadi Kongres Perempoean Indonesia (1935) dan akhirnya berganti menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) di tahun 1946. Sikap nasionalis tetap dipertahankan dalam masa pendudukan jepang (1942-1945). Para perempuan

31

(37)

27

ini diminta pemerintahan jepang untuk ikut dalam Fujinkai32, namun menolak. Alasannya adalah fujinkai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemajuan perempuan.

Tahap Kedua, memunculkan persoalan politis serta basis massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun politik perempuan pada masa orde lama. Setelah kemerdekaan 1945, pejuang perempuan dari berbagai organisasi bergerak demi membantu mempertahankan kemerdekaan. Termasuk dalam Revolusi Fisik atau perang kemerdekaan (1945-1949). Setelah perempuan mampu menunjukkan konstribusi mereka sebagai warga negara Indonesia, maka pada tahun 1948 pemerintah membentuk Korps Polisi Wanita (POLWAN), Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) pada 1961, Korps Angkatan Laut (KOWAL) pada 1962 dan Korps Angkatan Udara (WARA) pada 1963. Setelah Perang kemerdekaan, KOWANI memulai kegiatan membangun masyarakat di segala bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Tahap Ketiga, pada masa orde baru yakni menampilkan wacana tugas-tugas domestikasi perempuan sebagaimana yang diinginkan negara. Kebijakan tersebut dapat dilihat dalam Panca Dharma Perempuan yang ditetapkan pemerintah sebagai pedoman kiprah perempuan dalam era pembangunan. Tiga dari lima Panca tersebut menyebutkan bahwa masing-masing tugas perempuan sebagai pendamping suami, sebagai pendidik dan pembina generasi muda, dan sebagai ibu pengatur rumah tangga.

32 Fujinkai merupakan barisan tenaga peempuan yang didirikan oleh Jepang tahun 1943 yang bertujuan untuk memobilisasi tenaga perempuan untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur.

(38)

28

Tahap Keempat, yakni di era reformasi. Memunculkan pergerakan-pergerakan yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan. Seorang feminis, Hanna papanek, memberikan tinjauan tentang permasalahan dan perspektif perempuan bahwa mereka menghadapi hambatan diskriminatif ganda; diskriminasi kelasnya dan diskriminatif jenis kelaminnya. Meskipun ada usaha untuk mengurangi hambatan itu, namun kehidupan kota dengan segala kemodernitasannya tidak ramah dan tidak mengurangi beban. Bahkan ada kecenderungan mempekerjakan perempuan karena mereka adalah tenaga yang murah.

C. Perempuan Bekerja di Indonesia

Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan sejarah feminisme dan perjuangan perempuan di Indonesia. Selanjutnya adalah bagaimana perempuan bekerja dalam budaya di masyarakat Indonesia berjuang demi memperoleh haknya. Definisi tentang “kerja”, seringkali tidak hanyaamenyangkut apa yang

dilakukan seseorang tapi juga menyangkut kondisi yanggmelatarbelakangi kerja serta penilaiannsosial terhadap pekerjaan tersebut. Dalam masyarakat yang mengalami komersialisasi dan berorientasi pasar misalnya, uang merupakan ukuran atas bernilai atau tidaknya suatu kegiatan. Kerja yang mendapatkan upah dianggap lebih produktif sedangkan kerja yang tidak mendapat upah dianggap tidak produktif.33

33 Ratna Saptari, “Hakikat Kerja Perempuan: Masalah Definisi dan Analisis” dalam Perempuan dalam Kerja dan Perubahan Sosial, ed. Ratna Saptari (Jakarta: Kalyanamitra, 1997), 14.

(39)

29

Gerakan feminisme atau perjuangan perempuan di Indonesia lahir dipengaruhi oleh berbagai kondisi historis sejarah perjuangan bangsa, program pembangunan nasional, globalisasi, reformasi serta kehidupan religius masyarakat. Pandangan utama kajian perempuan di Indonesia pada saat itu (tahun 2000-an) adalah pandangan terhadap kondisi kerja berbagai jenis buruh sepertiburuh batik, buruhhindustri tekstil,ppetani, dan tenaga kerja wanita (TKW).

Kebanyakan perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat, dimana pekerjaan mereka diarahkan kedalam ruang domestik dan tidak nampak. Sedangkan laki-laki bebas dengan karir apapun yang ingin dicapai. Itulah mengapa perempuan sulit berkembang dan terus menggantungkan diri pada laki-laki. Namun bukan berarti perempuan tidak bisa bangkit, terutama di era globalisasi dimana kesempatan terbuka secara luas bagi siapapun.

Ada tiga kajian yang sudah digunakan pemerintah dalam upaya penanganan masalah gender dan pemebrdayaan perempuan. Utamanya bagi perempuan bekerja. Yakni:

1. Women In Development (WID)

Memasuki abad 20, yang merupakan Dasawarsa Tahun Wanita Internasional (1975-1985) ditandai dengan diadakannya seminar dunia yang diadakan di Mexico City pada 15-18 Juni 1975. Pada seminar ini mengangkat tema wanita dalam pembangunan. Mereka mengacu pada hasil kajian di akhir tahun enam puluhan dan permulaan tahun tujuh

(40)

30

puluhan, yang memperlihatkan bagaimana pembangunan sering membawa dampak buruk bagi perempuan.

Proyek pembangunan seringkali meremehkan peran perempuan baik di bidang sosial maupun ekonomi. Tokoh seminar yang hadir kala itu seperti Margaret Mead, Irene Tinker, Rae Lesser Blumberg dan Fatima Mernissi menyetujui hal ini. Bahwa ada kecenderungan negatif antara pembangunan sosio-ekonomi dan modernitas suatu negara dengan pembangunan sosio-ekonomi dan berbagai perempuannya.34

Dari sejarah gerakan WID atau wanita dalam pembangunan bermula dari kepedulian orang tentang bagaimana proses pembangunan telah meninggalkan dan merugikan perempuan. Pembangunan versi mereka adalah pembangunan yang berfokus pada akumulasi modal, promosi pembentukan modal, dan hanya berfokus pada ekonomi. Konsep inilah yang akan dikembangkan di negara bekembang entah dengan mereka menjadi konsultan pembangunan atau orang pribumi yang disekolahkan ke luar negeri. Ini merupakan model pembangunan pada dekade 1960-1970.35

Didalam gerakan perempuan dalam pembangunan perlu adanya kemauan politis dari pemerintah agar terdapat ruang untuk bermanuver politik. Isu wanita dalam pembangunan di negara berkembang sendiri

34 Yulfita Rahardjo, Kajian Wanita dalam Pembangunan; T.O Ihromi (Penyunting) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 3.

35

(41)

31

terjadi karena adanya campur tangan badan dunia seperti PBB36 yang ikut berperan dalam membuka kesadaran banyak pimpinan negara atas pentingnya isu ini.

Di Indonesia sendiri, komitmen politik dari pemerintah untuk mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan tercermin kearah itu. Bahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama, meskipun baru pada Pelita III (1978-1983) dimasukkan peranan perempuan dalam pembangunan bangsa. Maka pada tahun 1978 dibentuklah Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Sejak saat itu program-program untuk meningkatkan peran wanita dalam pembangunan nasional ditinjau tiap lima tahun sekali dan masuk dalam Repelita. Meskipun pada praktiknya menemui banyak keganjalan, namun setidaknya isu perempuan mulai mendapat perhatian serius.37

2. Women And Development (WAD)

Pendekatan WAD lebih mengarahkan kepada hubungan antara perempuan dan proses pembangunan. Setelah pendekatan WID terimplementasi barulah pendekatan WAD dilaksanakan, dan menitikberatkan pada pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperjatikan unsur waktu yang digunakan oleh perempuan.

36 Program Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW) ditetapkan oleh PBB tahun 1979.

37

(42)

32

WAD pada awalnya adalah pandangan Neo-Marxist berpijak pada pandangan feminis yang kuat pada analisis kelas sosial dan eksploitasi di negara dunia ketiga. Pendekatan ini berkembangan pada pertengahan 1970an, karena melihat keterbatasan dari modernisasi. Pendekatan WAD mengasumsikan bahwa perempuan sudah berpartisipasi aktif dalam pembangunan.WAD mengadvokasikan bahwa baik wanita bekerja yang dibayar ataupun tidak dibayar sama pentingnya dalam pembangunan. Berbeda dengan WID, WAD percaya bahwa dibawah kapitalisme global, penekanan terhadap perempuan tidak akan berakhir. WAD gagal menganalisa dalam skala penuh, antara patriarki dan subordinasi perempuan. Bagi WAD, ini berimplikasi bahwa partisipasi wanita akan semakin baik jika ada perubahan dalam struktur kelembagaan. Walau mungkin dapat berlangsung, WAD telah menggiring kepada pergeseran dimana wanita semakin produktif atas dasar korbanan sisi reproduktif dari kerja dan kehidupannya.

3. Gender And Development (GAD)

Berangkat dari perbedaan jenis kelamin, sebuah konsep pembedaan muncul mengiringi kehidupan masyarakat. Format ini kemudian memunculkan konsekuensi-konsekuensi gender antara kehidupan laki-laki dan perempuan. Ketika konsekuensi tersebut diterapkan dalam kegiatan sehari-hari, banyak perkara yang membuat perempuan sadar atas

(43)

33

terpinggirkannya peran mereka. Tidak diperhitungkannya perempuan dalam beberapa sektor menyebabkan munculnya aliran feminisme yang saat ini mengawal wacana gender.38

Pembangunan berwawasan kemitrasejajaran antara pria dan perempuan dengan pendekatan Jender dan Pembangunan (JDP) atau Gender And Development (GAD) mulai gencar di sosialisaikan pada masa reformasi. Pendekatan ini di dimaksud untuk lebih meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam pembangunan di berbagai kehidupan selain melalui pendekatan Perempuan dalammPembangunan WID yang telahhdigunakan sejak Pembangunan Lima Tahun ke-III (Pelita III). Gabungan dua pendekatan pembangunan tersebut didasarkan atasskeyakinan dan pemahaman bahwa program-program peningkatan peran perempuan dalammkebijakan dan strategi pembangunan nasional akan memberikan dampak positif dan lebih menguntungkannbagi perempuan daripada hanya dengan mengembangkan program-program spesifik perempuan.39

Akumulasi modal sangat penting dalam sistem kapitalisme. Bagi para pemilik modal yang tidak memiliki sarana produksi, tenaga kerja menjadi komoditas tersendiri. Namun bagaimanapun mereka memerlukan untung dari proses produksi agar dapat diinvetasikan lagi. Maka

38 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan: Edisi terjemahan oleh Hartianti Silawati Cet. II (Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2002), 135.

39

(44)

34

dipangkaslah ongkos produksi, yakni dengan mengurangi ongkos upah buruh. Hubungan sosial produksi inilah yang disebut dengan eksploitasi, dimana para prodesen (buruh) dibayar kurang daripada nilai kerja sebenarnya. Dan biasanya buruh perempuanlah yang sering mengalami ekslpoitasi dalam sistem kapitalisme ini. Beberapa sebab diantaranya: 1. Buruh perempuan hampir selalu dibayar lebih sedikit daripada

kawan laki-lakinya dengan argumen bahwa mereka merupakan tenaga kerja yang tidak terampilan, atau mereka melaksanakan pekerjaan yang gampang, atau bahwa mereka kawin dan suaminya menjadi pencari nafkah utama sehingga upah buruh perempuan hanya sebagai pendapatan sampingan.

2. Buruh perempuan diberi pekerjaan yang tidak dapat berkembang sehingga posisi mereka tetap rendah

3. Kontrol terhadap buruh perempuan sering berupa gangguan seksual yang dilakukan oleh majikan, supervisor, atau mandor.

Di bidang lapangan kerja, ketidakadilanndan kesenjangan gender masih tampak jelas sebagaiiakibat rendahnya pendidikanndan derajat kesehatan perempuan, sepertiiyang telah diuraikan diatas. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya peluang yanggdimiliki perempuan untuk bekerja sertaarendahnya akses merekaaterhadap sumberdayaaekonomi,cseperti teknologi, informasi, pasar, kredittdan modal kerja. Meskipun penghasilannperempuan pekerja memberikan kontribusi yanggcukupxsignifikannterhadapppenghasilan dan

(45)

35

kesejahteraannkeluarga, perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan dan hanya berstatusssebagai pekerja keluarga. Semua itu berdampak pada rendahnya partisipasi, akseshdan manfaat pembangunan yang dinikmati perempuan.

Sejak dimulainya era reformasi sejak Mei 1999, mengakibatkan multi krisis terutama krisis ekonomi. Matinya berbagai sektor ekonomi, terutama industri telah mengakibatkan jumlah pengangguran yang tinggi yakni 36 juta jiwa (th. 2000), maraknya anak jalanan, serta meningkatnya kriminalitas. Diketahui bahwa rata-rata proporsi tenaga kerja wanita di sektor industri kala itu sebesar 47,5%.40

Sebenarnya di sektor tenaga kerja, partisipasi perempuan di Indonesia terbilang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan di negara-negara muslim lain yang terbilang cukup rendah. Di Al-Jazair misalnya, partisipasi perempuan hanya 4,2%, Mesir 6,2%, Jordan 5,3 % di Syiria 8,3 %. Sedangkan untuk di beberapa negara Arab lebih tinggi, misalnya di Yaman 16,4%, Tunisia 12,7% dan Bahrain 19,1 %.41 Hal demikian terjadi karena kebudayaan mereka yang masih mempercayai bahwa perempuan harus berada di rumah

Perjuangan perempuan pada era reformasi, memunculkan pergerakan-pergerakan yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan. Perempuan

40 Sri Hidayati Djoeffan, Gerakan Feminisme Di Indonesia : Tantangan Dan Strategi Mendatang, dalam Mimbar No. 3 Th.XVII Juli – September 2001

41 Ali Muhanif, Mutiara Terpendam; Perempuan dalam literatur Islam Klasik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), 115.

(46)

36

Indonesia tahun 2000 digambarkan sebagai pribadi mandiri dalam kebersamaan di lingkungan keluarga, bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan yang sedang giat-giatnya membangun. Kemajuan sains dan teknologi yang disertai dengan proses globalisasi yang pesat, membawa berbagai perubahan dalam kehidupan. Dan juga proses tranformasi masyarakat dari agraris ke industrialis menuntut sumber daya manusia lebih berkualitas. Baik secara pengetahuan, keterampilan mapun mental, disiplin dan etos kerja yang lebih baik.

Persyaratan ini berlaku baik bagi pria maupun perempuan. Namun dalam hal ini perempuan menghadapi kendala berat karena serba ketinggalan dalam berbagai bidang secara pendidikan secara umunya lalu sains dan tekhnologi secara khusus. Hal demikian sangat merugikan posisi perempuan dalam memanfaatkan peluang kerja yang ada. ketertinggalan ini akibat dari sistem patriarki yang amat merugikan perempuan.42

Beberapa masalah yang seringkali dihadapi perempuan bekerja diantaranya:

1. Pandangan masyarakat

Fenomena perempuan bekerja oleh sebagaian kalangan masih dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi sebagian masyarakat Indonesia. Baik di Timur maupun Barat perempuan disosialisasikan

42 Sjamsiah Achmad, “Profil Wanita tahun 2000” dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan; T.O Ihromi (Penyunting) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 250.

(47)

37

sebagai seorang ibu dan istri. Dimana mereka hanya kompeten pada tugas rumah tangga saja. Sedangkan sang suami haruslah menanggung keluarganya agar status kehidupan mereka tinggi. Maka dari itu mereka memiliki hak untuk mengendalikan perempuan.

Nilai-nilai tradisional yang ada dalam masyarakat memang dapat menjadi tekanan sosial. Perempuan bangsawan jawa misalnya akan tetap mengingat masak, macak, manak (Memasak, mempercantik diri dan melahirkan) sebagai tugas utamanya dan melewati proses mawas diri dan konflik batin sebelum memutuskan berkarir. Proses yang demikian juga dialami banyak wanita kelas ekonomi menengah lainnya di Indonesia. Masyarakat masih mengaitkan kesejahteraan keluarga dengan peranan ibu. Oleh sebab itu jika ada perempuan karir yang sukses, masyarakat akan bertanya “bagaimana dengan keluarganya?”. Jika keadaan keluarga

perempuan karir tersebut tidak ideal maka perempuan tersebut akan dihakimi dan dilabeli sebagai perempuan gagal.

2. Peran ganda

Peran ganda perempuan merupakan masalah yang sering dihadapi perempuan bekerja. Dalam kasus yang lebih ekstrem mereka harus memilih antara tidak menikah untuk karir atau menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Nilai yang ada di masyarakat Indonesia berbaur antara nilai tradisional dan modern. Keseimbangan antara karir dan keluarga menjadi kendala utama para perempuan kerja. Padahal perempuan yang

(48)

38

mengambil resiko peran ganda justru memiliki nilai lebih. Dan akan menjadi serasi jika suami pengertian dan turut mendukung dan membantu terciptanya keseimbangan.

3. Kendala di lingkungan kerja

Ditinjau dari segi hukum, sebenarnya tidak ada kendala bagi perempuan untuk bekerja. Bahkan mereka mendapat perlakuan khusus sesuai biologis mereka seperti cuti nifas dan haid tiap bulan. Hukum Indonesia juga menjamin hak dan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang berarti kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan.43

43Chrysanti Hasibuan-Sedyono, “Perempuan di Sektor Formal: Kerja “Ya” Karir “Tidak”” dalam Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, ed. Mayling Oey-Gardiner (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 222

(49)

39

BAB III

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

Pada bab ini, akan dipaparkan tentang sejarah dan perkembangan organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia. Menurut Michel Focault, pada masyarakat modern kekuasaangdijalankan melalui model pendisiplinannterhadap tubuh individu, dan secara luas terhadap populasi tertentu. Kekuasaan yang beroperasi dalam individu merupakan bentuk dari disciplinary power. Disciplinary power adalah teknologiikekuasaannyang dijalankannuntuk mendisiplinkan tubuhhdan membuatnya patuh danbberguna. Adapun data yang ditemukan dalam bab ini, akan digunakan dalam menjawab hal-hal yang terkait dengan sejarah dan perkembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

A. Profil Organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini dikenal sebagai salah satu organisasi yang didalamnya terhimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim dari berbagai kalangan di tanah air. Organisasi ini berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.44 Tujuan utamanya adalah untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia

44 Majelis Ulama Indonesia, “Profil: Sejarah MUI-Sekilas MUI”, dalam www.mui.or.id (23 Agustus 2019)

(50)

40

(MUI) banyak dikenal masyarakat karena fatwanya. Terutama fatwa halal pada suatu produk makanan ataupun barang.

Pada saat itu, kala aspirasi umat tidak lagi relevan disalurkan melalui organisasi politik dan lembaga perwakilan partai Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir sebagai wadah penghubung umat dengan pemerintah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi wadah penyalur aspirasi umat yang dibawakan oleh Muhammadiyah45 serta NU. Seperti yang tertera dalam web resmi MUI, sejak pertama kali berdiri hingga sekarang (2019), Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah ulama muslim senantiasa berusaha untuk:

1. Memberikannbimbingan danntuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkannkehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa ta’ala

2. Memberikan nasihat dannfatwa mengenai masalah keagamaanndan kemasyarakattkepada pemerintahanndan masyarakat, meningkatkan kegiatannbagi terwujudnyauukhuwah Islamiyahhdan kerukunan antar-umat beragamaadalam memantapkannpersatuan dannkesatuan bangsa, serta;

3. Menjadippenghubung antaraaulama dannumaro (pemerintah) dan penterjemahhtimbal balikaantara umat dan pemerintah guna mensukseskanppembangunan nasional

4. Meningkatkan hubungannserta kerjasamaaantar organisasi, llembaga Islam dan cendekiawannmuslimin dalammmemberikan bimbinganndan tuntunannkepada masyarakattkhususnya umattIslam dengan mengadakannkonsultasi dan informasiisecara timbal balik.

45 Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 33.

(51)

41

Gambar 3.1 halaman situs web resmi MUI

Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut:

Visi:

“Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan yang baik, memperoleh ridha dan ampunan Allah swt. Menuju masyarakat yang berkualitas (khayr ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin („izz al-islam wa al-muslimin) dalam

wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmah li al-„alamin)”

(52)

42

Misi:

1. Menggerakkan kepemimpinanndan kelembagaannumat secara efektif dengannmenjadikan ulamaasebagai panutan (qudwah hasanah), sehinggaamampu mengarahkanndan membinaaumat islam dalam menanamkanndan memupukkakidah Islamiah serta menjalankannsyariat Islamiah.

2. Melaksanakanndakwah Islam, amar ma‟ruffnahi munkar dalam mengembangkannakhlak karimahhagar terwujuddmasyarakat berkualitas (khayr ummah) dalammberbagai aspekkkehidupan. 3. MengembangkanuukhuwahhIslamiah dannkebersamaan dalam

mewujudkannpersatuan dannkesatuan umat Islammdalam wadah NKRI.46

Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama yaitu:

1. Sebagaiipewaris tugas-tugasspara Nabi (Warasatul anbiya’) 2. Sebagaiipemberiifatwa (mufti)

3. Sebagaiipembimbing dannpelayannumat (riwayat wa khadim al-ummah) 4. Sebagaiigerakan islah wa al-tajdid

5. Sebagaiipenegakk amar ma’ruf dannnahi munkar

46 Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa MUI; Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa, (Jakarta: Emir, 2016), 76-77.

(53)

43

Selama beberapa kali musyawarah nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengalami beberapa kali pergantian ketua umum sebagai berikut:

1. Prof..Dr. Hamka (1977-1981)

2. KH..Syukri Ghozali (1981-1983)

3. KH..Hasan Basri (1983-1990)

4. Prof..KH. Ali Yafie (1990-2000)

5. KH..M. Sahal Mahfudz (2000-2014)

6. Prof. Dr. KH. MuhammaddSirajuddin Syamsuddin (2014-2015)

7. Dr. KH. Ma‟ruf Amin (2015-sekarang)

Komisi yang dimiliki MUI hingga skripsi ini ditulis total ada dua belas komisi, yakni;

1. Komisi Fatwa 2. KomisiiInformasi

3. KomisiiHukum dan Perundang-undangan (Kumdang) 4. KomisiiDakwah dan Pengembangan Masyarakat 5. KomisiiPendidikan dannKaderisasi

6. KomisiiPengkajian dannPenelitian

7. KomisiiPerempuan, Remaja dannKeluarga (PRK) 8. KomisiiUkhuwah Islamiyah

(54)

44

10. KomisiiPembinaann SeniiBudaya Islam

11. KomisiiPemberdayaannEkonomi Umat (KPEU) 12. KomisiiLuar Negeri dan Hubungan Internasional

Selain itu, MUI juga memiliki beberapa lembaga yang punya fokus kajian sendiri-sendiri, seperti:

1. LPBKI atau Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman

2. LPLH & SDA atau Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

3. Dewan Syariah Nasional

4. LPPOM MUI atau Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI

Mulai tahun 1990, lingkup dan fungsi Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengalami perluasan. Organisasi ini mulai menyelenggarakan program-program yang bersifat praktis. Seperti, mengirimkan da‟i ke wilayah transmigrasi, mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI), mendirikan badan arbitrase kasus-kasus muamalah, mendirikan lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM) yang mengeluarkan sertifikat halal terhadap suatu produk.47

B. Ulama sebelum Berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI)

47

(55)

45

Ulama merupakan gelar yang yang disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam berkaitan dengan keagamaan ataupun umum. Istilah “ulama” berasal dari bahasa Arab ulama’ dan jamak dari „alim , yakni orang beratribusi ilmu pengetahuan („ilm).48

Di Indonesia, ulama atau alim lebih di maksudkan kepada seseorang yang ahli ilmu keagamaan Islam. sedangkan orang yang ahli di bidang pengetahuan umum tidak disebut sebagai ulama.

Penyebutan bagi seorang yang dipandang sebagai ulama di berbagai wilayah Indonesia juga berbeda-beda. Di Jawa, mereka lazim disebut dengan kiai, di Sumatera biasa disebut dengan buya atau syeikh dan di Lombok juga Kalimantan disebut dengan Tuan guru. Para ulama di berbagai daerah dijadikan panutan dan dianggap sebagai warasatul anbiya’ atau pewaris para nabi. Warisan yang dimaksudkan adalah ilmu keagamaan dan budi yang luhur. Untuk itulah ulama sering dijadikan sebagai rujukan untuk diminta nasihat (fatwa) keagamaan.

Peranan ulama dan eksistensinya di Nusantara (Indonesia) sangatlah menonjol. Dimulai pada abad ke XVIII terjadi upaya pembaharuan ajaran Islam yang dipelopori oleh para ulama. Diantara ulama Indonesia tersebut adalah Nur Al-Din Al-Raniri, Abd Al-Ra’uf Al-Singkili, Muhammad Yusuf Al-Maqasari dan

48 Fawaizul Umam, Kala Beragama Tak lagi Merdeka: Majelis Ulama Indonesia dalam Praktis Kebebasan Beragama (Jakarta: Kencana, 2015), 136.

(56)

46

Al-Palimbami.49 Para ulama tersebut memiliki peranan yang penting dalam upaya transmisi intelektual-keagamaan Islam dari Makkah dan Madinah ke Nusantara.

Pada abad selanjutnya, IXX, ulama turun serta melakukan perlawanan mengusir penjajah. Kerajaan Islam pada masa itu berada di bawah pengawasan Belanda. Dalam kondisi yang demikian, peran ulama perlahan-lahan mengarah ke arah yang lebih bersifat politik.Sebagaimana yang terjadi pada perang Paderi (1821-1837), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1904) dan pemberontakan Banten (1888).

Selanjutnya pada abad XX, ulama berupaya secara aktif mengusir penjajahan Belanda dengan memunculkan ide-ide tentang kagamaan, sosial dan pendidikan. Hal ini demikian dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok. Salah satunya ditandai dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) suatu koperasi dagang batik anti cina yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). Tujuan utama dari memunculkan isu-isu diatas adalah agar tercapainya kemerdekaan Indonesia. Keterlibatan ulama berlangsung hingga masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949).

Peran yang tidak kalah penting dari ulama adalah sebagai mufti di Indonesia. Kehadiran ulama sebagai mufti (Pemberi fatwa) di Indonesia, sudah berlangsung sejak lama. Nico JG Kaptein menyebutkan bahwa pada kuartal

49 Hasan Maftuh, Aktivitas MUI dalam Perkembangan Kehidupan Keagamaan di Surakarta Tahun 1975-2015” Jurnal Inject Vol.2 No.1 Juni 2017, 142

Gambar

Gambar 3.1 halaman situs web resmi MUI
Gambar 4.1 Fatwa MUI terkait pengiriman tenaga kerja wanita (TKW)  ke luar negeri

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini metode Algoritma Genetika dipadu- kan dengan metode Constraint Satisfaction Problem , di- mana kromosom yang dihasilkan pada metode Algoritma Genetika dapat

Selama melaksanakan kegiatan PKL ini praktikan menghadapi beberapa kendala dalam bekerja di bagian Administrasi Keuangan seperti kurangnya sosialisasi pada saat

Setelah itu Peter menyusut naik ke atas tembok Dari atas ia memandang ke arah kawan-kawan samb i nyengir. Dilihatnya pesawat terbang yang tadi hilang itu sudah berada di tangan

Dalam Konsep mahabbahRabi‟ah Al Adawiyyah tidak pernah mengaku dirinya adalah Allah SWT, tapi ia menyatu dengan Allah karena cinta-Nya dan cinta Rabi‟ah Al

Kemudian larutan A ditambahkan KI dan amilum larutan yang dihasilkan adalah tetap berwarna bening, lalu Ditambahlan dengan CCl4 larutan terpisah menjadi 3 lapisan dengan lapisan

1) Iklan memberikan informasi yang digunakan untuk memberitahu konsumen tentang penyediaan produk tertentu pada lokasi tertentu. Dalam merancang strategi pemasaran,

Namun, tidak hanya faktor kecerdasan spasial saja yang dapat mempengaruhi kemampuan menggambar teknik siswa, faktor kecerdasan matematis juga dianggap memberikan pengaruh

Dari pengecekan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa setiap aktivitas yang membutuhkan sumber daya 1 pada waktu tertentu tidak melebihi kapasitas sumber daya 1... Sumber