Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai
DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN
DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN
TAHUN 2018
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Tahun 2018
i | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN PENGUATAN AGROEKOSISTEM KEDELAI
Pengarah:
Abriani Fensionita, SP., M.Si Ir. Sri Aswita, M.M
Penyusun: Dendy Sumarlin, SP
KEMENTERIAN PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN
ii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n KATA PENGANTAR
Pencapaian sasaran produksi tanaman pangan khususnya kedelai memerlukan dukungan pengamanan pertanaman dari serangan OPT dalam upaya peningkatan produksi dan daya saing produk tanaman. Perlindungan tanaman pangan merupakan bagian penting yang berperan dalam menjaga kuantitas, kualitas dan kontinyuitas hasil yang berkaitan erat dengan penanganan gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya pengamanan pertanaman kedelai dari serangan OPT yaitu melalui pengelolaan agroekosistem dengan menciptakan keseimbangan antara herbivora dan musuh alaminya serta meningkatkan keragaman hayati di pertanaman. Penerapan metode ini dimulai dengan cara menghimpun informasi yang menyebabkan suatu agroekosistem menjadi rentan kemudian mengembangkan metode-metode yang dapat meningkatkan ketahanan agroekosistem terhadap serangan OPT.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan melalui APBN TA. 2018 merancang kegiatan Penguatan Agroekosistem Kedelai yang dialokasikan sebanyak 160 ha (16 unit). Penguatan Agroekosistem Kedelai didasarkan pada konsep penerapan PHT dengan mengoptimalkan peranan LPHP/LAH dalam mendukung kegiatan dilapangan berupa penyedia informasi, sarana pengendalian OPT siap pakai
(APH/pestisida nabati/MOL/PGPR/benih refugia/tanaman perangkap) dan
pendampingan kegiatan. Diharapkan kepada pelaku usaha di tingkat lapang baik petani maupun petugas lapangan untuk lebih aktif berkoordinasi dalam merancang dan merencanakan kebutuhan serta melakukan pengawalan kegiatan.
Agar pelaksanaan kegiatan berjalan optimal dan sesuai dengan aspek teknis, administrasi serta ketentuan yang ditetapkan, maka disusunlah Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai sebagai panduan bagi pelaksana kegiatan di lapangan. Provinsi sebagai Pelaksana kegiatan Daerah harus menyusun Petunjuk Pelaksanaan kegiatan yang menyesuaikan kondisi dilapangan namun tetap sesuai dengan kaidah yang ditetapkan dalam Juknis yang disusun.
Jakarta, Januari 2018
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan,
Yanuardi
iii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... ...ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v BAB I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan... 2 C. Sasaran ... 2 D. Landasan Hukum ... 3 E. Ruang Lingkup ... 4
F. Istilah dan Pengertian ... 5
BAB II. SPESIFIKASI TEKNIS... 8
A. Norma ... 8
B. Standar Teknis ... 9
C. Kriteria ... 9
BAB III. PELAKSANAAN PENGUATAN AGROEKOSISTEM KEDELAI ... 10
A. Cara Pelaksanaan... 10
B. Tahapan Pelaksanaan ... 10
C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan... 11
D. Peserta Pelaksana Kegiatan ... 11
E. Jenis Kegiatan ... 11
F. Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai Pada Fase Pertanaman ... 12
1. Fase Pratanam... 12
2. Fase Tanam ... 17
3. Fase Tanaman Muda ... 19
4. Fase Vegetatif ... 20
5. Fase Berbunga dan Pembentukan Polong ... 25
6. Fase Pertumbuhan Polong dan Biji ... 28
7. Fase Pemasakan Polong ... 31
BAB IV. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN ... 33
A. Monitoring ... 33
B. Evaluasi ... 33
C. Pelaporan ... 33
iv | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n DAFTAR TABEL
v | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Blangko Pengamatan Mingguan... 36 Lampiran 2. Blangko Laporan Pelaksanaan Kegiatan ... 37 Lampiran 3. Form Laporan Kegiatan Penguatan Agrekosistem Kedelai ... 38
i | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar BelakangOrganisme Penganggu Tumbuhan (OPT) merupakan faktor pembatas produksi pertanian yang dapat dikendalikan dengan mengelola agroekosistem sehingga tidak cocok bagi kehidupan hama tetapi sesuai sebagai lingkungan hidup musuh alami. Pengelolaan agroekosistem dalam pengendalian OPT, merupakan salah satu metode dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang diterapkan dengan pertimbangan ekologi dan ekonomi. Prinsip utama dalam pengelolaan agroekosistem untuk pengendalian hama adalah menciptakan keseimbangan antar komponen melalui peningkatan keragaman hayati, sehingga unsur pengendali alami mampu berkerja dalam menekan perkembangan OPT.
Melalui tahapan kegiatan berupa rencana pola tanam, seleksi varietas, waktu tanam, pengelolaan air, kebutuhan sarana produksi dan penyediaannya, serta perencanaan lainnya yang berkaitan dengan usaha tani diharapkan mampu menciptakan keadaan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan OPT. Untuk lebih mengoptimalkan peranan pengendali alami, maka pengelolaan komponen agroekosistem baik biotik dan abiotik sejak pratanam sampai pasca tanam harus diperhatikan. Seluruh komponen (biotik dan abiotik) dalam pengelolaan agroekosistem tersebut saling berkaitan satu sama lain. Manusia berperan dalam penerapan teknologi pertanian serta menerapkan kebijakan dan regulasi dalam pengelolaan agroekosistem.
Sejalan dengan pentingnya pengelolaan agroekosistem sebagai salah satu alternatif dalam upaya pengendalian OPT, maka pada TA. 2018 Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan melaksanakan kegiatan penguatan agroekosistem untuk tanaman kedelai yang penerapannya didasarkan pada konsep PHT dengan
mengoptimalkan peranan Laboratorium Hama dan Penyakit
Tanaman/Laboratorium Agens Hayati (LPHP/LAH) sebagai pusat teknologi penerapan PHT di tingkat lapang melalui dukungan dalam penyediaan informasi, sarana pengendalian dan pendampingan kegiatan. Sehingga pelaku usaha di tingkat lapang baik petani maupun petugas lapangan lebih aktif dalam berkoordinasi dalam merencanakan kebutuhan dan pengawalan kegiatan.
ii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
Penguatan agroekosistem kedelai lebih mengutamakan pada penerapan strategi pre-emptif dan responsif. Kegiatan penguatan agroekosistem kedelai berupa gerakan aplikasi APH/pestisida nabati/Mikroorganisme Lokal (MOL)/Plant Growth
Promoting Regulator (PGPR)/penanaman tanaman refugia. Kegiatan ini
dilaksanakan sejak pratanam sampai pasca tanam. Aplikasi bahan untuk penguatan agroekosistem tetap memperhatikan prinsip enam tepat (sasaran, jenis, dosis, waktu, cara dan mutu). Diharapkan kegiatan penguatan agroekosistem kedelai dapat memberikan kontribusi nyata dalam menjaga keseimbangan ekosistem pertanian khususnya pada ekosistem lahan kedelai. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu menyusun suatu panduan berupa Petunjuk Teknis (Juknis) Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai Tahun 2018 agar pelaksanaan kegiatan di lapangan berjalan sesuai dengan aspek teknis, administrasi dan ketentuan yang ditetapkan.
B.
TujuanTujuan penyusunan Juknis Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai adalah sebagai berikut :
1. Memberikan panduan bagi pelaksana kegiatan penguatan agroekosistem kedelai sehingga kegiatan dapat berjalan secara optimal dan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
2. Memudahkan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penguatan agroekosistem kedelai.
3. Menjalin kerjasama antar petugas lapang, kelompok tani dan instansi terkait dalam upaya penguatan agroekosistem.
C.
SasaranSasaran disusunnya Juknis Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai sebagai berikut :
1. Tersedianya panduan bagi pelaksana kegiatan penguatan agroekosistem kedelai sehingga kegiatan dapat berjalan secara optimal dan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
2. Terlaksananya monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penguatan agroekosistem kedelai.
3. Terjalinnnya kerjasama antar petugas lapang, kelompok tani dan instansi terkait dalam upaya penguatan agroekosistem.
iii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
D.
Landasan Hukum1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani;
6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara;
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 12; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 258.6); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional;
10. Peraturan Menteri Keuangan No : 143/PMK.02/2015 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelahaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran.
11. Keputusan Menteri Pertanian No. 887/Kpts/OT.210/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan.
13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 135/Permentan/OT.140/12/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 125/Permentan/OT.140/11/2014 tentang Penugasan Kepada Gubernur dalam Pelaksanaan Kegiatan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Dana Tugas Pembantuan Provinsi Tahun Anggaran 2015;
iv | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
14. Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Nomor 55/HK.310/C/8/2015 tentang Petunjuk Teknis Pemantauan dan Pengamatan serta Pelaporan Organisme Pengganggu Tumbuhan dan Dampak Perubahan Iklim.
E.
Ruang Lingkup1. Persiapan
a. Penyusunan Juknis Kegiatan Penguatan Perlindungan Tanaman Pangan Dari Gangguan OPT dan DPI Tahun 2018 oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
b. Penyusunan Juknis Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai Tahun 2018 oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
c. Koordinasi/Sosialisasi di Tingkat Provinsi/Kabupaten.
d. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Penguatan Agroekosistem Kedelai oleh Provinsi pelaksana kegiatan
e. Penetapan Lokasi Kegiatan/Pemilihan Calon Petani Calon Lokasi (CPCL). f. Penyediaan sarana aplikasi pengendalian oleh LPHP/LAH dan dapat
bekerjasama dengan PPAH yang berkompeten. 2. Pelaksanaan
a. Alokasi kegiatan Penguatan Agroekosistem Kedelai Tahun 2018 sebanyak 160 ha atau 16 unit yang dilaksanakan di 16 Provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo masing-masing 10 ha atau satu unit.
b. Penetapan lokasi diutamakan pada wilayah dalam satu kawasan pengembangan produksi tanaman pangan khususnya kedelai dan/atau wilayah lain yang memiliki Kelompok Tani (Poktan)/Gapoktan yang direkomendasikan oleh petugas setempat (PPL/POPT-PHP) serta dalam satu wilayah kecamatan.
c. Jenis kegiatan pada masa pra tanam sebanyak satu kali (Aplikasi I) yaitu kegiatan pertemuan perencanaan penetapan rekayasa agrekosistem yang diterapkan pada kegiatan, penyusunan RDK/RDKK, penyiagaan lahan, sanitasi sumber inokulum, pemasangan tanaman perangkap dan penanaman benih refugia.
v | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
d. Jenis kegiatan pada masa tanam sebanyak tiga kali (Aplikasi II s.d. IV) yaitu kegiatan aplikasi pengendalian dengan menggunakan APH/Pestisida Nabati/Mikro Organisme Lokal (MOL)/Plant Growth Promoting Rhyzobacteria (PGPR).
e. Pengamatan rutin yang dilakukan petani pengamat dari masing-masing kelompok tani pelaksana kegiatan didampingi oleh POPT-PHP dan/atau THL POPT-PHP selama masa tanam.
f. Alokasi biaya penguatan agroekosistem kedelai sejumlah Rp. 10.500.000
terdiri dari upah pelaksanaan aplikasi sebanyak empat kali (Rp. 7.500.000) dan honor tim pengamat mingguan selama empat bulan
(Rp. 3.000.000).
F.
Istilah dan Pengertian1. Agroekosistem adalah ekosistem yang telah dimanipulasi oleh manusia untuk kepentingan budidaya.
2. Agens Pengendali Hayati (APH) adalah musuh alami OPT (predator, parasitoid, patogen serangga dan agens antagonis) yang sudah dapat dikembangkan secara mudah dan murah serta diketahui manfaatnya.
3. Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah tingkat variasi bentuk kehidupan di dalam ekosistem.
4. Mikroorganisme Lokal (MoL) adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar sumberdaya tanaman yang tersedia di wilayah setempat dengan bahan dasar terdiri dari karbohidrat, glukosa, dan sumber bakteri (mikroorganisme lokal).
5. Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah semua organisme, termasuk di dalamnya adalah hama, patogen, dan gulma yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian pada tanaman pangan sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomis.
6. Penerapan Penguatan Agroekosistem Skala Luas adalah kegiatan untuk menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan agroekosistem dalam budidaya tanaman kedelai dalam satu hamparan luas tanpa dibatasi wilayah administrasi sebagai upaya pengamanan produksi.
7. Pengendalian OPT adalah upaya pengelolaan untuk mencegah dan mengurangi timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup akibat serangan OPT.
vi | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
8. Pestisida nabati adalah bahan pengendali OPT yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang, atau buah
yang memiliki efek mengusir/repellent, menolak, menarik/atraktan,
memandulkan, meracuni dan mematikan OPT.
9. Plant Growth Promoting Rhyzobacteria (PGPR)/Bakteri Pemacu Pertumbuhan
Tanaman adalah kelompok bakteri yang hidup di perakaran (ektofit) atau di dalam jaringan tanaman (endofit) yang dapat berfungsi sebagai perombak, penghasil hormon pertumbuhan dan dapat meningkatkan ketahanan tanaman. 10. Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) adalah salah satu wadah bagi petani alumni SLPHT/PPHT dan atau petani non SLPHT/PPHT yang mampu
menyiapkan, memperbanyak, menerapkan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan sarana produksi ramah lingkungan yang mendukung penerapan prinsip-prinsip PHT.
11. Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia, dapat berbentuk padat atau cair, yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
12. Rekayasa agroekosistem adalah rancangan ekosistem berkelanjutan yang memadukan masyarakat dengan lingkungan alaminya untuk kepentingan keduanya.
13. Sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) adalah suatu cara pendekatan atau konsep tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pendekatan secara ekologi dan ekonomi melalui pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
14. Tanaman refugia adalah tanaman yang berfungsi sebagai tempat berlindung atau persembunyian atau persinggahan serangga musuh alami OPT.
15. Hamparan adalah lahan pertanaman yang relatif luas dengan batas-batas alami antara lain jalan, sungai, pepohonan, kebun, pekarangan, perumahan, dll.
16. Upaya Preemptif adalah upaya dini yang didasarkan pada informasi keadaan serangan OPT dan DPI sebelumnya yang bertujuan mencegah terjadinya serangan OPT dan DPI.
vii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
17. Upaya Responsif adalah upaya penanggulangan dini yang dilakukan dalam menanggulangi serangan OPT dan DPI yang bertujuan untuk mengurangi dampak serangan agar tidak meluas.
18. Kelompok Tani (Poktan) adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.
19. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha.
20. Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan-Pengamat Hama dan Penyakit (POPT-PHP) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian untuk melakukan kegiatan pengendalian OPT.
21. Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah Petugas dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) kabupaten/kota yang diperbantukan untuk memberikan pengarahan, pembinaan, dan penyuluhan di bidang pertanian dengan basis administrasi kecamatan.
22. Rencana Definitif Kelompok (RDK) adalah rencana yang diperoleh melalui kesepakatan/musyawarah seluruh anggota kelompok tani dalam kegiatan antara lain pengelolaan usaha pertaniannya, penyiapan sarana produksi, pemasaran hasil, pengembalian modal serta pemupukan modal secara berkelompok.
23. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) adalah alat perumusan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi dan alat mesin pertanian, baik yang berdasarkan kredit/permodalan usaha tani bagi anggota Poktan yang memerlukan maupun dari swadana petani.
viii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
BAB II SPESIFIKASI TEKNIS
A.
NormaKegiatan penguatan agroekosistem kedelai merupakan suatu rangkaian kegiatan dimulai dari persiapan penyediaan APH/tanaman perangkap/pestisida nabati /MOL/PGPR/benih refugia oleh LPHP/LAH dan PPAH yang berkompeten. Pelaksanaan kegiatan meliputi pengelolaan agroekosistem, penyiagaan lahan,
pelaksanaan dan pengawalan di lapangan yang dilaksanakan oleh
Poktan/Gapoktan dan didampingi oleh POPT-PHP/THL POPT-PHP.
B.
Standar Teknis1. Penguatan Agroekosistem Kedelai dilaksanakan pada kawasan
pengembangan produksi tanaman pangan khususnya kedelai oleh Poktan/Gapoktan yang memiliki kemampuan dan keterampilan dengan lahan seluas paling kurang 10 ha dalam satu wilayah kecamatan serta
direkomendasikan oleh petugas setempat (POPT-PHP/THL POPT-PHP).
2. Penyediaan sarana aplikasi (APH/Pesnab/MOL/PGPR/benih refugia)
dilakukan oleh LPHP/LAH dan dapat bekerjasama dengan PPAH yang berkompeten serta bersifat stimulan.
3. Kegiatan dilaksanakan sebanyak empat kali aplikasi dalam satu Musim Tanam (MT) dengan tahapan kegiatan yaitu pertemuan perencanaan penetapan rekayasa agrekosistem yang diterapkan pada kegiatan, penyusunan RDK/RDKK, penyiagaan lahan, sanitasi sumber inokulum, pemasangan tanaman perangkap dan penanaman benih refugia. Selanjutnya pada masa tanam melalui kegiatan aplikasi pengendalian sebanyak tiga kali dengan menggunakan APH/Pestisida Nabati/Mikro Organisme Lokal (MOL)/Plant Growth Promoting Rhyzobacteria (PGPR).
4. Pengamatan dilakukan oleh petani pengamat Poktan/Gapoktan pelaksana
kegiatan yang memahami PHT sebanyak lima orang dan dialokasikan honor pengamatan bulanan selama empat bulan serta didampingi oleh POPT-PHP/THL POPT-PHP.
ix | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
C. Kriteria
1. Kriteria Lokasi
a. Merupakan wilayah yang berpeluang untuk ditingkatkan produktivitas dan/atau indek pertanaman (IP).
b. Merupakan wilayah non endemis/endemis OPT, aman dari gangguan DPI (banjir dan kekeringan) dan sengketa.
c. Diupayakan berada dalam satu hamparan/kawasan pengembangan produksi tanaman pangan khususnya kedelai dan berada dalam satu wilayah kecamatan.
2. Kriteria Pendamping
a. Pendampingan kegiatan dilaksanakan secara periodik mulai pra tanam hingga pasca tanam oleh petugas baik dari Provinsi/Kabupaten.
b. Merupakan POPT-PHP/THL POPT-PHP yang memiliki wilayah kerja berdekatan dengan lokasi kegiatan serta memandu peserta dalam hal penerapan PHT.
c. Pendampingan kegiatan yaitu memantau perkembangan pelaksanaan kegiatan antara lain penyusunan RDK/RDKK, ketersediaan bahan, aplikasi, hasil pengamatan dan dampak aplikasi serta pelaporan.
3. Petani Pengamat
a. Petani pengamat yaitu petani yang berasal Poktan/Gapoktan pelaksana kegiatan, merupakan alumni SLPHT/PHT dan/atau yang memiliki kemampuan serta keterampilan melakukan pengamatan OPT yang ditunjuk sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian setempat sebanyak lima orang.
b. Melaksanakan pengamatan selama masa tanam pada petak kegiatan penguatan agroekosistem kedelai serta berkoordinasi antar peserta kegiatan dan petugas pendamping.
c. Diberikan honor pengamatan bulanan selama empat bulan (pra dan setelah tanam).
x | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
BAB III PELAKSANAAN PENGUATAN AGROEKOSISTEM KEDELAI A. Cara Pelaksanaan
Mekanisme pelaksanaan kegiatan Penguatan Agroekosistem Kedelai dilakukan dengan melibatkan partisipasi diantaranya :
1. LPHP/LAH dan PPAH (penyediaan sarana kegiatan berupa APH, PGPR, Pestisida Nabati, Tanaman Perangkap, Benih Refugia).
2. Kelompok tani/gapoktan (penyiagaan lahan, pelaksananaan kegiatan dan pengamatan).
3. Diektorat Perlindungan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Prov/Kab, BPTPH, POPT-PHP, PPL, THL POPT-PHP (pengawalan dan pendampingan kegiatan).
B. Tahapan Pelaksanaan
1. Persiapan
a. Melakukan Penyusunan Juklak Penguatan Agroekosistem Kedelai oleh Provinsi pelaksana kegiatan dengan mengacu pada Juknis yang disusun oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Penyusunan Juklak dapat menyesuaikan kondisi daerah/lokasi setempat agar pelaksanaan kegiatan berjalan optimal.
b. Melaksanakan koordinasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh instansi terkait di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota bersama dengan aparat desa dan masyarakat setempat/Poktan/Gapoktan pelaksana yang bertujuan memasyarakatkan dan memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan serta memberikan pemahaman tentang maksud, tujuan, metode, dan mafaat dari kegiatan.
c. Melakukan penyediaan sarana aplikasi pengendalian yang dilaksanakan oleh LPHP/LAH dan dapat bekerjasama dengan PPAH yang berkompeten.
d. Melakukan pemilihan/seleksi CPCL kepada Poktan/Gapoktan tanaman pangan khususnya komoditas kedelai yang berlokasi dalam satu kawasan pengembangan produksi tanaman pangan dan memiliki
xi | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
komitmen dalam melaksanakan kegiatan serta dalam satu wilayah kecamatan.
e. Menetapkan Poktan/Gapoktan yang memenuhi persyaratan dan kriteria yang ditentukan melalui Surat Keputusan (SK) Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota.
C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
1. Perbanyakan APH, Musuh Alami (MA), benih refugia, tanaman perangkap dan bahan pengendali lainnya yang bersifat spesifik lokasi, dilaksanakan sebelum pelaksanaan kegiatan serta dalam tahun anggaran berjalan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh LPHP/LAH dan dapat bekerja sama dengan PPAH yang berkompeten.
2. Pelaksanaan aplikasi di lapangan dilakukan sebanyak empat kali dalam satu musim tanam dimulai pada fase pra tanam, fase vegetatif, fase pembungaan dan pembentukan polong serta pada fase pertumbuhan polong dan biji. Tempat kegiatan berada pada wilayah pengembangan produksi tanaman pangan khususnya kedelai dan dalam satu wilayah kecamatan..
No Tahapan Kegiatan Waktu Pelaksanaan Pra Tanam s.d. 10 HST 11 s.d. 30 HST 31 s.d. 60 HST 61 HST s.d. Panen 1 Aplikasi I 2 Aplikasi II 3 Aplikasi III 4 Aplikasi IV
D. Peserta pelaksana kegiatan penguatan agroekosistem
1. Pelaksana teknis BPTPH (LPHP, POPT-PHP/THL POPT-PHP).
2. PPAH, Poktan/Gapoktan, tokoh masyarakat, petani yang pernah mengikuti kegiatan SLPHT/PPHT dan/atau petani yang memahami PPHT, petani pengamat serta petani lainnya di lokasi kegiatan.
E. Jenis kegiatan, antara lain :
1. Koordinasi dan sosialisasi kegiatan oleh instansi terkait di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota bersama aparat desa dan masyarakat
xii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
2. Fase pra tanam (Aplikasi I): pertemuan perencanaan penetapan rekayasa agrekosistem yang diterapkan pada kegiatan, penyusunan RDK/RDKK, penyiagaan lahan, sanitasi sumber inokulum, pemasangan tanaman perangkap dan penanaman benih refugia.
3. Fase tanam (Aplikasi II s.d. IV): aplikasi pengendalian dengan menggunakan APH/Pestisida Nabati/Mikro Organisme Lokal (MOL)/Plant Growth Promoting Rhyzobacteria (PGPR) dengan waktu aplikasi menyesuaikan fase-fase kritis pertanaman.
4. Pengamatan dilakukan setiap minggu.
F. Pelaksanaan Penguatan Agroekosistem Kedelai
Pelaksanaan aplikasi APH/Pesnab/MOL/PGPR dilaksanakan pada fase-fase kritis pertanaman dimulai dari fase pra tanam, fase tanam, fase vegetatif dan fase generatif sehingga pelaksanaan aplikasi dapat memberikan hasil yang optimal dengan memperhatikan karakteristik tiap fase pertanaman sebagai berikut :
1. Fase Pratanam
a. Karakteristik ekosistem
1) Pada lahan bekas padi dan relatif bersih dari gulma.
2) Pada hamparan yang masih belum ada pertanaman kedelai dengan populasi hama rendah.
3) Pada Iahan bekas kedelai atau aneka kacang, kerapkali masih terdapat sumber inokulum penyakit (Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia soIani, Phytium sp., Fusarium sp.).
4) lnokulum cendawan R. solani penyebab busuk pelepah pada sisa tanaman padi yang terinfeksi patogen masih bertahan dan aktif pada Iahan yang becek atau lembab.
b. Pengelolaan agroekosistem
Pratanam merupakan tahap perencanaan oleh organisasi di tingkat kelompok tani, dan menjalin kerjasama antar kelompok tani. Salah satu kegiatan perencanaan yang penting ialah penyusunan RDK/RDKK untuk kegiatan usahatani secara menyeluruh. Pada periode ini dilakukan persiapan untuk menentukan pola tanam yaitu penentuan varietas, pergiliran tanaman, waktu tanam dan tanam serentak. Selain itu dilakukan penyiagaan lahan yang baik, pengelolaan tanaman perangkap, sanitasi sumber inokulum, dan penciptaan keadaan yang dapat meningkatkan pengendalian alamiah untuk menjamin Iangkanya populasi OPT pada awal pertumbuhan tanaman. Hal ini
xiii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan atau kestabilan ekosistem yang lebih baik selama pertumbuhan tanaman.
Kegiatan perencanaan maupun pelaksanaan selama periode pra tanam meliputi:
1) Perencanan tanam serentak
- Tanam serentak harus diprogramkan secara matang jauh sebelum musim tanam tiba.
- Tanam kedelai secara serentak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10 hari dilakukan pada areal yang seluas-luasnya yaitu pada kawasan dalam satu golongan air atau dengan batas-batas alami seperti perkampungan, atau topografi tertentu.
- Tanam serentak tersebut, termasuk tanam kacang-kacangan lain karena beberapa jenis hama dan penyakitnya sama.
- Dianjurkan terdapat masa bera selama 14 hari antara dua masa tanam. Tujuan bertanam secara serentak ialah untuk menciptakan populasi hama, vektor virus, dan cendawan patogen serendah-rendahnya pada awal pertumbuhan tanaman setelah periode bera, menghindari sumber inokulum awal yang berasal dari tanaman yang tidak ditanam serentak, dan untuk pengurangan populasi hama dan vektor virus per satuan luas.
- Untuk menghindari serangan virus bilur kacang/Peanut Stripe Virus (PStV) tanah, sebaiknya tidak menanam kedelai berdampingan dengan kacang tanah.
2) Perencanaan pergiliran tanaman
- Bertanam kedelai setelah padi akan mengurangi serangan hama dan penyakit, karena kebanyakan hama dan penyakit kedelai tidak ditemukan pada tanaman padi dan kebanyakan hama dan penyakit padi tidak menyerang kedelai, kecuali oleh R. solani dan kepik hijau (Nezara viridula).
- Pergiliran tanaman disesuaikan dengan jenis lahan dan tipe pengairannya atau lamanya bulan basah.
- Kedelai dapat ditanam secara monokultur atau tumpang sari. 3) Pemilihan varietas dan persiapan benih
xiv | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
- Gunakan varietas unggul, apabila memungkinkan varietas yang toleran terhadap hama dan penyakit, khususnya penyakit endemis setempat, serta sesuai dengan musim, jenis lahan, dan kemasaman tanah.
- Gunakan benih berlabel, yaitu benih murni, tidak tercampur dengan varietas lain, berdaya kecambah minimal 80%, bernas, tidak keriput, tidak berlubang, dan sehat (tidak terinfeksi cendawan dan virus). Kebutuhan benih kedelai yang ukuran bijinya sedang (10-14 gram/100 biji) misalnya varietas Wilis, Ijen, Sinabung, Krakatau diperlukan sekitar 40-45 kg/ha, sedangkan benih kedelai ukuran biji besar (>14 gram/100 biji) misalnya varietas Argomulyo, Burangrang, Grobogan, Anjasmoro diperlukan sekitar 50-55 kg/ha.
- Jangan gunakan benih yang berasal dari pertanaman yang terinfeksi virus, terutama virus kerdil kedelai (Soybean stunt virus/SSV) dan virus mosaik kedelai (Soybean mosaic virus/SMV) karena dapat ditularkan melalui biji. Dengan menanam benih yang bebas virus dapat mencegah penularan virus lebih lanjut oleh vektornya seperti kutu daun (Aphis glycines), kutu kebul (Bemisia tabaci).
4) Pengolaan tanah/ Perlakuan tanah
- Patogen tular tanah seperti Rhizoctonia spp. (penyebab penyakit busuk pangkal batang), Sclerotium spp. dan Fusarium sp. (penyebab penyakit layu), dapat diberi perlakuan penambahan kompos matang sesuai rekomendasi setempat dan perlakukan tanah dengan pemberian substrat yang mengandung agens antagonis Gliocladium
spp., Trichoderma spp., Pseudomonas flourescens atau
Pseudomonas kelompok fluorescens lainnya, apabila sebelumnya dilaporkan serangan mencapai 20%.
- Pada lahan bekas sawah tidak perlu dilakukan pengolahan tanah, bila masih basah perlu segera dibuat parit-parit atau saluran
drainase. Apabila gulma menjadi masalah, maka untuk
menghilangkan gulma dilakukan pengolahan tanah secara dangkal. - Pada lahan yang endemis cendawan tanah (R. solani), air sawah
segera dikeluarkan melalui saluran drainase dan perlu dilakukan pembalikan tanah.
xv | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
- Pada lahan dengan kemiringan lebih dari 3%, lakukan pengolahan tanah secara dangkal (minimum tillage) yang diikuti pembuatan sengkedan (terasering).
- Pada lahan datar, pengolahan tanah dilakukan hingga gembur dan bersih dari gulma.
- Pada Lahan yang endemis cendawan tular tanah S. rolfsii perlu diolah lebih dalam untuk mematikan cendawan tersebut.
- Untuk menghindari patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum dan bakteri Pseudomonas solanacearum, maka air sawah dari lahan sawah dikeluarkan pada waktu 10-15 hari sebelum panen padi. - Pada Saat panen padi, hendaknya pemotongan jerami dilakukan
serendah mungkin, 3-5 cm di atas permukaan tanah.
- Pada lahan sawah perlu dibuat saluran drainase keliling, saluran membujur berjarak 2-3 m, dan melintang dengan jarak sesuai keadaan air lahan, jenis tanah, dan topografi. Parit tersebut berfungsi untuk mengeringkan air lahan dan mempercepat ratanya air pengairan. Lahan tegalan juga perlu dibuat saluran drainase, namun jarak saluran membujur lebih lebar daripada di lahan sawah (4-5 m) atau tergantung keadaan lahan.
- Pada lahan bekas kedelai atau aneka kacang lainnya yang terinfeksi R. solani dan S. rolfsii, sisa-sisa tunggulnya harus dicabut dan dibakar serta diikuti dengan perlakuan tanah baik dengan pemberian kompos matang atau substrat yang mengandung agens antagonis. Gulma Sentrosema pubescens, Tridax procumbens, Pueraria sp., Commelina diffusa dan Desmodium sp. perlu disanitasi dan dibakar karena dapat menjadi sumber virus kerdil kedelai (SSV), virus mosaik kedelai (SMV), virus belang tersamar kacang tunggak (CMMV), virus mosaik kuning kedelai (SYMV), virus katai kedelai (SDV), virus bilur kacang tanah (PstV). Tumbuhan liar yang menjadi inang hama utama kedelai, misalnya orok-orok (Crotalaria spp.) perlu disanitasi.
5) Penanaman Tanaman Perangkap
Di daerah endemis, ulat grayak, ulat buah, pengisap polong, dan penggerek polong dapat dilakukan pengelolaan hama menggunakan tanaman perangkap seperti yang terlampir pada tabel 1:
xvi | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
No Hama Kedelai Tanaman Perangkap Keterangan
1 Ulat grayak (S. Litura) Kedelai varietas Anjasmoro, Burangrang, Dieng dan Wilis
Ngengat ulat grayak lebih tertarik meletakkan telur pada varietas tersebut, dengan menanam varietas dimaksud sebagai perangkap di sekitar kedelai yang ditanam maka serangan ulat grayak dapat ditekan.
2 Pemakan polong (H. Armigera)
Jagung Ngengat pemakan polong lebih menyukai rambut jagung sebagai tempat peletakkan telur. Agar masa tersedianya rambut bunga jagung segar di lahan minimal selama tiga minggu, perlu menanam tiga varietas jagung yang umumnya berbeda (genjah, sedang dan dalam) dan ketiga varietas tersebut ditanam 14 hari sebelum tanam kedelai. Jagung ditanam di sekeliling unit hamparan kedelai dan di lereng pematang membujur atau melintang dengan arah Timur-Barat (berjarak antar barisan sekitar 25 cm dan dalam barisan 25 cm). Tiap varietas ditanam berselang-seling dan tiap lubang tugal diisi tiga biji.
3 Pengisap polong (R. Linearis, N. Viridula, P. Hybneri)
Kacang hijau varietas Merak
Pengisap polong lebih tertarik pada kacang hijau varietas Merak. Kacang hijau (6% dari luas lahan) ditanam bersamaan dengan tanam kedelai dan 6% lainnya ditanam pada satu minggu setelah tanam. Ditanam di bagian pinggir salah satu sisi hamparan kedelai, terutama pada lahan yang berbatasan dengan lokasi sumber infestasi hama. Di daerah endemis kepik coklat, luas tanaman kacang hijau sekitar 10-12 % dari luas hamparan. Jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan 2-3 biji/lubang. 4 Penggerek polong (E. Zinckenella) Kedelai varietas Dieng, Malabar, MLG 3023 dan Crotaleria spp
Ngengat penggerek polong lebih menyukai ketiga varietas kedelai tersebut dan gulma Crotalaria spp. Untuk meletakkan telurnya. Di daerah endemis penggerek polong, perlu dilakukan penanaman tanaman perangkap kedelai varietas Dieng, Malabar dan MLG 3023 14 hari sebelum tanam kedelai. Luas tanaman perangkap sekitar 12% dari luas hamparan tanaman utama.
6) Perbaikan lahan masam
Pada tanah masam (pH < 5,5) bila tidak tersedia tanaman yang toleran terhadap tanah masam, lakukan penambahan kompos matang (pupuk kandang atau pupuk hijau), atau pengapuran. Dosis kapur sebanyak 1-2 ton per ha atau sesuai dengan rekomendasi setempat, ditaburkan
xvii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
merata pada permukaan tanah, yang dilaksanakan pada 3-6 bulan sebelum tanam. Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemasaman lahan ialah dengan membuat saluran keliling yang dalam, kemudian airnya dibuang dan diganti dengan air sungai (air hujan). 2. Fase Tanam
a. Karakteristik agroekosistem
1) R. solani, pada lahan endemis yang basah atau becek akan tetap aktif apabila tersedia inangnya atau sisa-sisa tanaman.
2) Waktu penanaman pada suatu hamparan dianjurkan hanya berlangsung selama 10 hari.
3) Lalat kacang (Ophiomyia phaseoli) akan meletakkan telur segera setelah kedelai tumbuh.
b. Budidaya dan pengelolaan agroekosistem 1) Inokulasi Rhizobium
- Pada lahan yang belum pernah ditanami kedelai, dan pada lahan yang sudah lama tidak ditanami kedelai perlu pemberian Rhizobium. - Cara inokulasi Rhizobium sebagai berikut : biji dibasahi, biakan
Rhizobium dicampur merata dengan biji, kemudian dikering anginkan ditempat yang teduh (tidak boleh terkena sinar matahari langsung), dan segera ditanam. Penundaan penanaman jangan lebih dari 6 jam. Dosis inokulasi Rhizobium (legin/rhizogen) sesuai dengan yang tertera pada label. Selain itu dapat digunakan tanah bekas tanaman kedelai sebanyak 1-2 kg/10 kg benih.
- Pada lahan yang sering ditanami kedelai tidak memerlukan inokulasi Rhizobium (bakteri penambat Nitrogen bebas).
2) Waktu tanam
- Waktu tanam disesuaikan dengan pola tanam pada jenis lahan tertentu dan musim setempat, bertujuan untuk mencapai produktivitas lahan maksimum dengan produksi optimal. Waktu tanam terlalu cepat atau terlambat sering mendapat serangan hama dan penyakit yang lebih berat dari pada yang tanam serentak dengan waktu tanam yang tepat.
- Waktu tanam untuk lahan sawah sebaiknya paling lambat satu minggu setelah panen padi (baik MH maupun MK), sedangkan untuk
xviii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
lahan tegalan disesuaikan dengan pola tanam setempat dan ketersediaan air (umumnya pada awal MH).
3) Jarak tanam
Jarak tanam untuk monokultur 40 cm x 15-20 cm, perkiraan populasi 350.000-400.000 tanaman/ha. Untuk tumpang sari menggunakan varietas Dena 1 atau Dena 2 yang toleran naungan (maksimal naungan 50%). 4) Perlakuan benih
Untuk mengurangi serangan penyakit tular tanah dilakukan perlakuan benih (seed treatment) menggunakan cendawan antagonis (Trichoderma sp., Gliocladium sp.) dan lalat kacang menggunakan pestisida yang efektif dan diijinkan oleh Menteri Pertanian (dimehipo, klorpirifos, sipermetrin, asefat, fenpropatrin, deltametrin, dimetoat, metomil, karbofuran, MIPC, alfametrin, BPMC, etofenfroks, kalbosulfan, esfenvalerat, fenitrotion, kartap hidroklorida, tiodikarb, dan permetrin).
5) Cara tanam
Pada lahan sawah maupun tegalan penanaman kedelai dilakukan dengan cara tugal. Tiap lubang tugal diisi 2-3 biji kedelai kemudian ditutup dengan tanah berpasir tipis-tipis, atau abu jerami, atau langsung ditutup mulsa jerami.
6) Mulsa jerami
Penggunaan mulsa jerami untuk mengurangi serangan lalat kacang, menekan pertumbuhan gulma dan menstabilkan kelembaban tanah. 7) Pemupukan
Dosis pupuk bergantung pada jenis tanah dan tingkat kesuburannya (status hara tanah), sesuai dengan rekomendasi setempat.
c. Aplikasi APH/Pesnab/MOL/PGPR dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi dan rekomendasi yang diberikan petugas pendamping dari hasil pengamatan yang dilakukan bersama petani pengamat.
d. Petani pengamat melakukan pengamatan setiap minggu selama tiga bulan dan membuat laporan hasil pengamatan untuk disampaikan kepada petugas pendamping.
xix | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n 3. Fase Tanaman Muda (Kurang dari 11 HST)
a. Karakteristik agroekosistem
1) Pada fase ini tanaman mempunyai keping biji (kotiledon) yang telah membuka pada satu hari setelah tanaman muncul, dan sepasang daun tunggal (daun pertama). Serangan larva yang berasal dari telur yang diletakkan lalat kacang sejak tanaman berumur 4 sampai 10 HST, akan dapat menyebabkan kematian tanaman.
2) OPT penting yang perlu diperhatikan adalah lalat kacang, kutu kebul (Bemisia tabaci), Kumbang tanah kuning (Longitarsus suturellinus), ulat tanah (Agrotis spp), cendawan tular tanah (Pytium sp., S. rolfsii, R. solani).
b. Pemeliharaan tanaman 1) Penyulaman
Pada umur 7 HST dilakukan pemantauan, apabila tanaman yang tumbuh kurang dari 90% perlu dilakukan penyulaman dengan cara menugal disamping lubang tugal sebelumnya.
2) Pengelolaan air
- Perhatikan keadaan kelembaban tanah, apakah terjadi kelainan fisiologis karena kelebihan atau kekurangan air.
- Pada awal pertumbuhan vegetatif, kebutuhan air harus dipenuhi dengan baik.
- Lahan kedelai tidak boleh terlalu basah atau kekeringan, oleh karena itu keadaan kelembaban tanah di lapisan perakaran harus sekitar kapasitas lapang.
- Pada lahan beririgasi, tanaman perlu diairi sesuai kebutuhan. Apabila terjadi hujan lebat dan lahan tergenang, air segera dikeluarkan dari petakan. Apabila air tidak dikeluarkan (terendam lebih dari 4 jam) daun-daun dapat menjadi kuning.
3) Pengamatan, analisis agroekosistem, dan pengambilan keputusan - Pengamatan dilakukan terhadap populasi imago lalat kacang yang
hinggap pada keping biji dan daun muda pada umur 6 HST, atau pengamatan gejala serangan berupa bintik-bintik putih atau coklat dan alur gerekan larva pada keping biji dan daun pertama. Apabila lalat kacang mencapai ambang pengendalian sebanyak 1 ekor lalat
xx | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
dewasa/50 rumpun atau serangan mencapai > 2,5 %, maka perlu dilakukan pengendalian pada 8 HST dengan pestisida nabati (mimba) atau insektisida yang terdaftar dan diijinkan oleh Menteri Pertanian.
- Apabila diketahui terdapat serangan cendawan tular tanah (S. rolfsii, R. solani) yaitu tanaman layu atau mati, tanaman tersebut dicabut, dikumpulkan, dan dibakar. Bekas tanaman yang dicabut dilakukan aplikasi cendawan antagonis.
- Pengamatan kumbang tanah kuning (Longitarsus suturellinus) dilakukan di pucuk tanaman dan ulat tanah (Agrotis spp) di pangkal batang bersamaan dengan pengamatan lalat kacang.
- Pertanaman yang menggunakan mulsa jerami, pemantauan
dilakukan terhadap tanaman terserang pada umur 6 HST, berdasarkan tanda tusukan dan gerekan larva pada kotiledon dan daun pertama.
- Musuh alami seperti laba-Iaba, paederus, parasitoid yang menyerang larva dan pupa Agromyzidae dan cendawan entomopatogen (Metarrhizium sp., Beauveria sp., Sl-NPV) perlu diamati sebagai dasar pengambilan keputusan.
4. Fase Vegetatif (11-30 HST) a. Karakteristik agroekosistem
1) Awal fase ini daun trifoliat (majemuk) pertama telah membuka penuh, tanaman tumbuh dan berkembang hingga menjelang berbunga pada umur 30 HST.
2) Hama penting yang perlu diperhatikan adalah lalat pucuk
(Melanagromyza dolicostigma), lalat batang (Melanagromyza sojae), kumbang daun kedelai (Phaedonia inclusa), ulat grayak (Spodoptera litura) dan vektor virus yaitu kutu hijau (Aphis glycines) dan kutu kebul (Bemisia tabaci), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), pengorok daun (Biloba/Stomopteryx subsecivella), penggulung daun (Lamprosema indicata, Adoxophyes sp., dan Homana sp.), kumbang tanah kuning, dan tungau merah (Tetranychus cinnabarius).
3) Serangan virus mozaik kedelai (SMV), virus bilur kacang tanah (PstV), kerdil kedelai (SSV), mozaik kuning kedelai (SYMV) ditularkan oleh Aphis sp., dan virus belang tersamar kacang tunggak (CMMV) yang
xxi | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
ditularkan oleh Bemisia tabaci, sampai tanaman berumur 21 HST masih sangat membahayakan pertumbuhan tanaman dan produksi.
4) Imago ulat buah datang pada sekitar umur 25 HST, dan pada umur tersebut tanaman sangat disukai untuk tempat meletakkan telumya, termasuk ulat grayak dan ulat jengkal.
5) Kerusakan daun pada fase ini masih dapat dikompensasi dengan pembentukan daun baru. Kehilangan daun sampai dengan 30% pada fase ini hanya menurunkan produksi sekitar 3%, tetapi keberadaan hama daun perlu diwaspadai agar dapat dikendalikan sebelum mencapai instar 4 dan tidak merusak pada fase berikutnya.
6) Pertanaman kedelai MK I setelah padi biasanya relatif bebas dari serangan penyakit karat. Serangan penyakit karat biasanya terjadi pada tanaman kedelai kedua terutama apabila terjadi keterlambatan tanam. 7) Serangan virus yang ditularkan oleh serangga vektor pada saat
tanaman muda akan menggagalkan pembentukan polong. Serangan kumbang daun kedelai juga dapat mematikan tanaman karena imago makan batang bagian dari pucuk dan larvanya makan daun tempat telur diletakkan.
b. Pemeliharaan Tanaman
1) Penyiangan pertama dan kedua
a. Jika gulma tidak dikendalikan, hasil kedelai turun 10-60%.
b. Sebaiknya gulma mulai dikendalikan secara mekanis pada saat tanaman masih muda. Penyiangan pertama dilakukan pada umur sekitar 14 HST, dan penyiangan kedua pada umur 28 HST, tergantung keadaan gulma.
c. Untuk lahan tegalan, bersamaan dengan penyiangan kedua dilakukan pembumbunan dengan membuat guludan.
2) Pengairan
a. Pada lahan beririgasi teknis, tanaman perlu diairi pada umur 25 HST.
b. Apabila lahan tergenang, air segera dikeluarkan dari petakan untuk mencegah serangan penyakit tular tanah.
xxii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n 3) Pemupukan tambahan
Pemupukan tambahan dilakukan pada umur 20 HST untuk merangsang pembungaan dengan menggunakan pupuk cair sesuai rekomendasi. 4) Pengamatan, analisis agroekosistem, dan pengambilan keputusan
- Pengamatan lalat pucuk dilakukan dengan cara menghitung jumlah pucuk tanaman yang layu. Lalat batang (Melanagromyza sojae) diamati berdasarkan tanaman yang pertumbuhannya terhambat dan dilakukan pengambilan contoh tanaman yang menunjukan gejala kemudian dibelah untuk dilihat ada tidaknya larva dalam empulur. Kumbang daun kedelai (Phaedonia inclusa) diamati larva dan kumbangnya dengan tanda serangan kerusakan pada pucuk tanaman dan daun.
- Ulat grayak (Spodoptera litura) diamati larvanya dengan tanda serangan kerusakan pada epidermis daun. dan vektor virus yaitu kutu hijau (Aphis glycines) dan kutu kebul (Bemisia tabaci), ulat
jengkal (Chrysodeixis chalcites), pengorok daun
(Biloba/Stomopteryx subsecivella), penggulung daun (Lamprosema indicata, Adoxophyes sp., dan Homana sp.), kumbang tanah kuning, dan tungau merah (Tetranychus cinnabarius).
- Serangan virus mozaik kedelai (SMV), virus bilur kacang tanah (PstV), kerdil kedelai (SSV), mozaik kuning kedelai (SYMV) ditularkan oleh Aphis sp., dan virus belang tersamar kacang tunggak (CMMV) yang ditularkan oleh Bemisia tabaci, sampai tanaman berumur 21 HST masih sangat membahayakan pertumbuhan tanaman dan produksi.
- Amati karat daun (bercak coklat) pada permukaan bawah daun yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora pachyrhizi, layu karena S. rolfsii, layu bakteri, layu fusarium dan antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotricum dematium f.sp. truncatum. - Pada fase vegetatif biasanya ditemukan berbagai jenis musuh alami. Predator biasanya lebih dominan daripada parasitoid. Predator yang banyak ditemukan antara lain laba-Iaba, Andrallus, Reduviidae, kumbang Coccinellidae, capung, semut, dan belalang sembah. Parasitoid yang banyak dijumpai ialah parasitoid hama Agromyzidae, hama daun, dan vektor virus. Perhatikan populasi musuh alami yang ada saat pengamatan.
xxiii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
- Berdasarkan hasil pengamatan populasi OPT dan keberadaan musuh alami pada umur tanaman 14, 21, dan 28 HST, maka dapat diambil keputusan sebagai berikut :
1. Pada areal yang menggunakan tanaman jagung sebagai perangkap ulat buah, telur ulat buah akan lebih terkumpul pada rambut jagung, sehingga populasi telur pada pertanaman kedelai akan sangat rendah, namun tetap dilakukan monitoring. 2. Pengendalian hama perusak daun sedapat mungkin dilakukan dengan cara mekanis, seperti hama pengulung daun dilakukan sanitasi daun terserang.
3. Apabila populasi ulat grayak atau ulat jengkal atau kumbang kedelai relatif rendah, maka pengendaliannya dilakukan secara mekanis yaitu dengan pengumpulan ulat yang masih mengelompok pada satu daun, dan bahkan harus dimulai sejak terlihat adanya kelompok telur.
4. Apabila populasi ulat buah mencapai 50 ekor instar 1/10 rumpun maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
5. Apabila ditemukan ulat penggulung 30 ekor/10 rumpun atau kerusakan >25%, maka dilakukan aplikasi insektisida efektif. 6. Apabila ditemukan kumbang kedelai 1 ekor imago/10 rumpun
maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
7. Apabila kerusakan daun karena ulat grayak, Spodoptera litura mencapai tingkat populasi 2 ekor instar 3/rumpun atau 2 kelompok telur/100 rumpun, dan atau ulat jengkal mencapai tingkat populasi berturut-turut 200 ekor instar 1, 120 ekor instar 2, atau 20 ekor instar 3 tiap 10 rumpun atau 25 % kerusakan daun, maka dilakukan aplikasi insektisida efektif.
8. Tanaman yang menunjukkan gejala serangan virus dilakukan pencabutan dan dibenamkan dalam tanah.
9. Apabila terdapat tanaman layu mati terserang S. rolfsii, tanaman dicabut dan dibakar. Apabila hasil pengamatan menunjukkan serangan rebah kecambah (damping off), busuk pangkal/hawar batang, penyakit layu bakteri dan layu Fusarium atau Sclerotium rolfsii, lakukan eradikasi tanaman terserang
xxiv | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
diikuti perlakuan tanah, apabila sebelumnya ada laporan serangan dengan intensitas serangan >20%, dapat dilakukan pemberian kompos/pupuk kandang yang matang dan atau substrat agens hayati yang mengandung agens antagonis seperti Trichoderma sp.
10. Apabila penyakit karat daun mencapai intensitas >20% dilakukan pengendalian dengan fungisida efektif atau diberi pupuk daun yang mengandung Cu, Ca, Mg, dan S.
11. Apabila ditemukan serangan antraknosa, maka bila faktor lingkungan mendukung dapat dilakukan pengendalian dengan
fungisida efektif atau pemberian bakteri antagonis
Pseudomonas fluorencens khususnya pada stadia tanaman sebelum berbunga.
12. Apabila dijumpai vektor penyebab virus, tetapi tidak dijumpai tanaman kedelai terserang, dan dijumpai tanaman inang yang lain, maka tindakan yang perlu dilakukan ialah sanitasi tanaman inang lain tersebut.
13. Tanaman kedelai yang terserang kutu kebul dan kutu daun kedelai segera dicabut.
14. Apabila dijumpai vektor seperti Aphis glycine penyebab kerdil kedelai (SSV), mozaik kedelai (SMV), virus bilur kacang tanah (PstV), mozaik kuning kedelai (SYMV), virus katai kedelai (SDV) atau Bemisia tabaci vektor virus belang tersamar kacang tunggak (CMMV), maka perlu dilakukan pengendalian kimiawi meng¬gunakan insektisida efektif.
15. Penggunaan Spodoptera litura (Sl-NPV) dan Helicoverpa armigera-NPV (Ha-NPV) sangat dianjurkan untuk pengendalian ulat grayak dan ulat buah. Cara sederhana membuat suspensi Ha-NPV dan Sl-NPV yaitu dengan menggerus ulat/larva mati, yang terserang virus, diencerkan dan disemprotkan ke pertanaman yang sedang terserang hama tersebut, terutama untuk larva instar 1-3. Larva mati yang terserang virus mempunyai ciri-ciri yaitu mati menggantung dan kalau disentuh kulitnya mudah robek dan keluar cairan. Kebutuhan untuk tiap hektar sebanyak 25 ekor larva instar 4-6 yang terserang virus, dengan volume campuran 500 liter air.
xxv | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
16. Apabila hasil pengamatan ditemukan populasi kumbang kedelai Phaedonia inclusa dilakukan pengumpulan individu hama dan apabila populasi mencapai 1 ekor imago/10 rumpun, maka perlu dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
5. Fase Berbunga dan Pembentukan Polong (31-50 HST) a. Karakteristik agroekosistem
1) Pada awal fase ini kedelai mulai berbunga, kemudian berkembang dan membentuk polong.
2) Jenis hama yang mungkin ditemukan antara lain kumbang daun kedelai, ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah (H. armigera dan Heliothis spp.), penggerek polong (Etiella zinckenella dan E. hobsoni), pengisap polong yaitu kepik hijau (N. viridula) dan kepik hijau pucat (P. hybneri) dan kepik coklat kedelai (R. linearis dan Riptortus spp.), penggerek pucuk, pelipat daun, penggulung daun, tungau merah, Melanacanthus sp., dan vektor virus (kutu kebul dan kutu hijau).
3) Pada fase ini beberapa jenis hama daun telah mencapai larva instar 3 apabila tidak dilakukan pengendalian pada fase sebelumnya. Pada awal fase ini imago dan telur penggerak polong dan pengisap polong mulai dijumpai, tetapi pada umumnya puncak populasi telur terjadi sekitar 50 HST.
4) Kehilangan bunga, polong ataupun biji muda pada fase ini masih dapat dikompensasi dengan pembentukan bunga dan polong baru serta pengisian biji yang seharusnya kempis pada periode setelah 50 HST sampai dengan 63 HST.
5) Penyakit pada daun yang perlu diperhatikan pada fase ini ialah SSV, SMV, CMMV, hawar bakteri (Pseudomonas sp.), bisul bakteri (Xanthomonas sp.), cendawan karat (P. pachyrhizi) antraknosa (Colletotrichum sp.), dan bercak coklat (R. solani). b. Budidaya dan pengelolaan ekosistem
Pada fase berbunga dan pembentukan polong dan biji, tanaman membutuhkan air yang cukup. Kondisi lahan harus selalu diperhatikan agar lahan dipertahankan tidak kekeringan dan tidak becek. Pada lahan beririgasi teknis lakukan pemberian air dengan baik.
xxvi | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
c. Pengamatan, analisis ekosistem, dan pengambilan keputusan Berdasarkan hasil pemantauan populasi OPT dan musuh alaminya, serta keadaan tanaman pada umur 35, 42, dan 49 HST, maka dapat diambil keputusan sebagai berikut :
- Pengendalian hama ulat buah pada ekosistem yang
menggunakan tanaman perangkap (jagung) dilakukan dengan cara jagung dipanen muda (mulai sekitar akhir fase ini atau fase berikutnya) tergantung varietasnya, tidak perlu memperhatikan ambang pengendalian baik pada tanaman utama (kedelai) maupun pada tanaman perangkap (jagung).
- Apabila ditemukan populasi ulat buah lakukan pengumpulan, apabila populasinya cukup tinggi dan atau kerusakan buah melampaui ambang pengendalian 15 ekor instar 2, atau 10 ekor instar 3 setiap 10 rumpun atau kerusakan polong > 2 %, maka dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif.
- Pengendalian kepik hijau, kepik hijau pucat, dan kepik coklat pada ekosistem yang menggunakan tanaman perangkap kacang hijau atau Sesbania rostrata, dilakukan apabila ditemukan populasi pengisap polong pada tanaman kacang hijau var. Merak mencapai 1 ekor /10 rumpun atau populasi imago cukup tinggi pada S.rostranta, maka dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif pada tanaman perangkap tersebut. - Pengendalian penggerek polong Etiella zinckenella pada
ekosistem yang menggunakan tanaman perangkap kedelai var. Dieng, Malabar, dan MLG 3023, dilakukan apabila pada tanaman perangkap ditemukan 2 ekor ulat penggerek polong/rumpun, maka dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif pada tanaman perangkap tersebut.
- Dengan tindakan seperti tersebut di atas diharapkan OPT tidak akan pindah ke pertanaman kedelai setelah 56 HST, dan parasitoid telur penggerek polong dan pengisap polong serta parasitoid larva penggerek polong dapat berfungsi lebih baik, sehingga hama polong pada pertanaman kedelai dapat ditekan hanya dengan kompleks musuh alami di lahan tersebut.
- Pengendalian hama pengisap polong yaitu kelompok telur, nimfa dan imago kepik hijau dan kepik hijau pucat yang masih
xxvii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
mengelompok sedapat mungkin dilaksanakan dengan cara mekanis. Demikian juga pengendalian kepik coklat dapat dilakukan dengan cara menangkap atau menjaring imago pada pagi hari.
- Apabila populasi ulat grayak dan ulat jengkal relatif rendah, maka pengendaliannya dilakukan dengan cara pengumpulan ulat yang masih mengelompok maupun terhadap ulat besar. Apabila kerusakan daun karena ulat grayak, Spodoptera litura mencapai tingkat populasi 3 ekor instar 3/rumpun atau 4 kelompok telur /100 rumpun, dan atau ulat jengkal mencapai tingkat populasi 200 ekor instar 1, 120 ekor instar 2, atau 30 ekor instar 3 tiap 10 rumpun atau 12,5% kerusakan daun, maka dilakukan aplikasi insektisida efektif.
- Apabila ditemukan populasi imago kumbang daun kedelai 1 ekor /10 rumpun atau polong terserang, maka perlu dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
- Apabila ditemukan ulat penggulung daun lakukan sanitasi daun terserang dan apabila populasi mencapai 30 ekor/10 rumpun atau kerusakan daun mencapai 12,5 %, maka dapat dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
- Perlu diketahui bahwa efektifitas insektisida menjadi sangat rendah apabila ulat-ulat perusak daun tersebut mencapai instar 4,5 atau 6. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian secara mekanis.
- Apabila dapat dideteksi persentase larva yang terparasit, larva yang terkena virus, dan prakiraan populasi yang akan mati dimangsa predator maka dalam menentukan ambang pengendalian perlu dikoreksi yaitu hanya menghitung populasi aktif yang dapat menimbulkan kerusakan.
- Kalau populasi ulat grayak dan ulat buah dominan dan diketahui terdapat larva yang mati karena virus Ha-NPV dan Sl-NPV, maka untuk dapat meningkatkan peran musuh alami dianjurkan penggunaan Ha-NPV dan Sl-NPV tersebut dengan cara seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
xxviii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
- Penyakit yang muncul pada fase lanjut relatif sulit dikendalikan, oleh karena itu harus diantisipasi sejak dini, yaitu sebelum 30 HST.
- Bila persentase daun terkena penyakit karat mencapai > 20% segera dikendalikan dengan fungisida efektif atau diberi pupuk daun yang mengandung Cu, Ca, Mg, dan S.
- Apabila faktor lingkungan mendukung perkembangan penyakit antraknosa lakukan tindakan preventif dengan fungisida atau dengan Pseudomonas fluorescens pada stadia berbunga. - Apabila dijumpai vektor seperti Aphis glycine atau Bemisia
tabaci penyebab virus belang samar kacang tunggak (CMMV), maka perlu dilakukan pengendalian kimiawi menggunakan insektisida efektif.
6. Fase Pertumbuhaan Polong dan Biji (51-70 HST) a. Karakteristik agroekosistem
1) Pada fase ini terjadi pertumbuhan polong hingga pertumbuhan biji maksimum.
2) Hama utama yang mungkin dijumpai ialah hama daun dan hama polong seperti pada fase sebelumnya.
3) Ulat daun yang belum dikendalikan pada fase sebelumnya karena larva masih kecil belum mencapai ambang pengendalian atau lolos dari usaha pengendalian, maka pada fase ini telah mencapai larva besar. Kerusakan daun pada fase ini sangat berpengaruh terhadap hasil panen.
4) Pada periode ini tanaman sangat kritis terhadap semua gangguan lingkungan termasuk kebutuhan air.
5) Stadia hama polong yang penting diperhatikan ialah larva ulat buah, imago, larva dan telur kumbang daun kedelai, imago, nimfa dan telur pengisap polong; dan larva penggerek polong.
6) Keberadaan hama perusak polong sangat membahayakan produksi, oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan populasi secara intensif. Penyakit penting pada fase ini ialah karat daun, karena dapat menyebabkan gugur daun, busuk coklat dan bintik hitam/antrakrosa dapat menginfeksi polong dan biji.
xxix | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
7) Penyakit yang perlu diperhatikaan pada fase ini ialah seperti pada fase sebelumnya, yaitu busuk coklat (R. solani), antraknosa (C. dematium) pada polong, dan karat daun (P. pachyrhizi).
b. Budidaya dan pengelolaan agroekosistem
1) Fase pengisian biji memerlukan keadaan lahan yang cukup air atau perlu dipertahankan agar kandungan air dalam tanah pada kondisi sekitar kapasitas lapang.
2) Apabila hujan berkurang dan tanah dalam keadaan kering serta air irigasi tersedia, tanaman perlu diairi sesuai dengan kebutuhan. c. Pengamatan, analisis agroekosistem, dan pengambilan keputusan
1) Biasanya populasi hama perusak daun yaitu ulat grayak, pelipat daun, penggulung daun, ulat jengkal, dan ulat lainnya telah menurun, tetapi masih perlu diamati karena tiap lokasi populasinya bisa berbeda.
2) Pemantauan populasi larva ulat buah dilakukan pada umur 56, 63 dan 70 HST. Hama ulat buah diharapkan telah teratasi dengan penggunaan tanaman perangkap (jagung). Biasanya bersifat kanibalisme dalam rambut atau tongkol jagung sehingga ulat yang hidup hanya 1-2 ekor per tongkol.
3) Hama penggerek polong dan pengisap polong perlu dipantau secara intensif baik pada tanaman kedelai maupun pada tanaman perangkap. Pengamatan tersebut dilakukan terutama pada pertanaman calon benih.
4) Pengamatan populasi musuh alami perlu terus dilakukan, apabila populasinya cukup tinggi maka penggunaan pestisida kimia perlu dipertimbangkan lagi.
5) Berdasarkan hasil pemantauan populasi OPT dan keadaan umur tanaman, maka dapat diambil keputusan pada tiap pengamatan sebagai berikut :
- Untuk lahan yang menanam tanaman perangkap jagung, apabila bulu tongkol jagung telah layu dan dalam tongkol jagung terdapat ulat buah, berarti jagung siap dipanen muda, agar larva ulat buah tidak membentuk pupa. Pemanenan jangan terlambat karena akan menjadi sumber serangan pada pertanaman kedelai sekitarnya yang masih relatif muda.
xxx | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
- Apabila hasil pengamatan pada umur 63 atau 70 HST terdapat
bahwa populasi penggerek polong maka pengendalian
penggerek polong Etiella zinckenella pada tanaman perangkap kedelai var. Dieng, Malabar, dan MLG 3023, dilakukan apabila pada tanaman perangkap atau tanaman kedelai ditemukan 2 ekor ulat penggerek polong/rumpun atau > 2,5% polong terserang maka dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif. - Pengendalian kepik hijau, kepik hijau pucat, dan kepik coklat
pada ekosistem yang menggunakan tanaman perangkap kacang hijau atau Sesbania rostrata, dilakukan apabila ditemukan populasi pengisap polong pada tanaman kacang hijau var. Merak dan S. rostrata mencapai 1 ekor/10 rumpun dan apabila populasi pada tanaman kedelai mencapai ambang pengendalian 1 ekor/10 rumpun dan atau > 2,5% polong rusak, maka dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif.
- Pengendalian hama pengisap polong yaitu kelompok telur, nimfa dan imago kepik hijau dan kepik hijau pucat yang masih mengelompok sedapat mungkin dilaksanakan dengan cara mekanis. Demikian juga pengendalian kepik coklat dapat dilakukan dengan cara menangkap atau menjaring imago pada pagi hari. Apabila populasi ulat grayak relatif rendah, maka pengendaliannya dilakukan dengan cara pengumpulan ulat yang masih menge¬lompok maupun terhadap ulat besar.
- Apabila masih ditemukan ulat grayak, ulat jengkal, dan ulat buah yang telah mencapai instar 4 - 6, maka perlu dilakukan tindakan pengumpulan ulat.
- Apabila ditemukan populasi ulat buah mencapai 15 ekor instar 2 atau 10 ekor instar 3 setiap 10 rumpun atau kerusakan polong mencapai > 2 %, maka dapat dilakukan aplikasi insektisida efektif.
- Apabila ditemukan ulat penggulung lakukan sanitasi daun terserang atau apabila terdapat 30 ekor larva/10 rumpun atau kerusakan > 12,5 %, maka dilakukan aplikasi insektisida efektif. - Apabila kerusakan daun karena ulat grayak, Spodoptera litura
mencapai tingkat populasi 6 ekor instar 3/rumpun atau 7 kelompok telur/100 rumpun, dan atau ulat jengkal mencapai
xxxi | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
tingkat populasi berturut-turut 200 ekor instar 1, 120 ekor instar 2, atau 50 ekor instar 3 tiap 10 rumpun atau 12,5 % kerusakan daun, maka dilakukan aplikasi insektisida efektif.
- Perlu diperhatikan bahwa dalam menentukan ambang
pengendalian, populasi hama yang terparasit dan prakiraan populasi yang akan dimangsa predator, tidak dihitung sebagai populasi hama aktif.
- Untuk produksi benih, polong yang terkena busuk coklat atau bintik hitam perlu dilakukan pengendalian dengan fungisida efektif pada umur 56 HST atau 63 HST.
- Kotiledon yang terkena penyakit antraknosa dikumpulkan dan dibuang di luar lahan pertanian, dikubur atau dibakar, agar tidak menjadi sumber infeksi pada tanaman sekitamya, karena cendawan ini bersifat tular tanah
- Apabila dijumpai tanaman terserang SSV, SMV, CMMV, PStV, SYMV dan SDV kurang dari 2,5% dan dijumpai vektor ataupun tidak, tanaman terserang perlu dicabut dan dibenamkan dalam tanah. Apabila dijumpai vektor penyebab virus, tetapi tidak dijumpai tanaman kedelai terserang, dan dijumpai tanaman inang yang lain, maka tindakan yang perlu dilakukan ialah sanitasi tanaman inang lain tersebut. Informasi keberadaan vektor virus saat ini digunakan untuk analisis ekosistem pada pengamatan berikutnya.
7. Fase Pemasakan Polong (71 HST - Panen) a. Karakteristik agroekosistem
1) Polong telah berisi penuh, kemudian daun-daun mulai menguning. 2) Hama yang masih perlu diwaspadai ialah pengisap polong.
b. Budidaya dan pengelolaan agroekosistem
1) Perhatikan selalu kondisi kelembaban lahan. Pada saat biji telah terbentuk sempuma, dan memasuki fase pemasakan polong, pertanaman relatif tidak membutuhkan air lagi sehingga tidak perlu diairi, bahkan apabila kelebihan air maka perlu dibuang.
2) Pengamatan ciri-ciri tanaman menjelang panen perlu diperhatikan agar panen tidak terlalu cepat atau terlambat.
xxxii | D i r e k t o r a t P e r l i n d u n g a n T a n a m a n P a n g a n
c. Pengamatan, analisis agroekosistem, dan pengambilan keputusan 1) Pengamatan pada umur 77 HST (tidak termasuk varietas genjah)
dilakukan pada populasi pengisap polong. Serangan pengisap polong pada umur tersebut masih dapat menyebabkan penurunan hasil dan daya kecambah. Pengendalian dilakukan apabila populasi mencapai ambang pengendalian, yaitu 1 ekor/10 rumpun.
2) Pemantauan pertanaman dan polong yang terkena penyakit pada fase ini masih diperlukan, apabila hendak menyeleksi tanaman yang baik untuk keperluan benih.