• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUTORIAL KLINIK. : dr. Hj. Tri Wahyuliati, Sp.S, M.Kes Tanggal Periksa : 26 Desember 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUTORIAL KLINIK. : dr. Hj. Tri Wahyuliati, Sp.S, M.Kes Tanggal Periksa : 26 Desember 2015"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TUTORIAL KLINIK

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 64 tahun

Alamat : Sentolo, Kulonprogo Tanggal Periksa : 26 Desember 2015

IDENTITAS MAHASISWA Nama : Asteria Hapsari NIM : 20100310064 Stase : Saraf

Perceptor : dr. Hj. Tri Wahyuliati, Sp.S, M.Kes

Case Analysis

(2)

S/

a. Keluhan utama:

Seorang wanita datang ke poliklinik saraf dengan keluhan mata kiri tidak dapat berkedip. b. RPS:

Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan mata kiri tidak dapat berkedip sejak 10 hari yang lalu dan dirasakan sering berair. Awalnya pagi hari pasien merasa mata kirinya sulit digerakkan, kemudian pasien merasakan sulit untuk minum air. Air yang diminum seperti keluar kembali, dan pasien baru menyadari jika bibir kirinya mencong dan sulit digerakkan. Awalnya pasien mengaku sehabis berpergian dengan keluarga dengan mobil pribadi dan menyalakan AC yang menurut pasien sangat dingin. Selain itu pasien juga mengeluh adanya nyeri di belakang telinga nyeri dirasakan nyut-nyutan. Keluhan lain seperti rasa baal pada wajah (-), pasien mengaku tidak ada perbedaan rasa pada wajahnya, demam (-), Keluar cairan dari telinga (-), bunyi berdenging pada telinga (-), gangguan penglihatan seperti mata kabur (-), nyeri kepala (-), pusing berputar (-), kelemahan anggota tubuh lainnya (-), Mual (-), muntah (-), sulit menelan (-), gangguan pengecapan (-).

Diagnosis Klinis: Bell’s Palsy (sinistra) Diagnosis Etiologi: Idiopati (tidak diketahui)

Diagnosa Topis : Paresis saraf motorik N. VII perifer

1. Apakah etiology dari Bell’s Palsy? 2. Bagaimana Patofosiologi Bell’s Palsy? 3. Bagaimana cara mendiagnosis Bell’s Palsy? 4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus Bell’s Palsy?

1. Etiologi Bell’s Palsy

Terdapat 4 teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, infeksi, herediter, dan imunologi.

a. Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf.

b. Teori infeksi virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Pada penelitian mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum pada seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.

c. Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau

(3)

c. RPD:

HT (+), DM (-), Keluhan serupa sebelumnya (-), penyakit jantung (-), alergi (-), asma (-). d. RPK:

HT (+), DM (-), alergi (-), asma (-), keluhan serupa pada keluarga (-).

f. Riw. Personal Sosial:

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, tinggal serumah dengan anaknya. Pasien merasa terganggu dengan penyakitnya ini. O/

a. Keadaan Umum: Baik, tidak tampak sakit b. Kesadaran: CM c. Vital Signs: TD : 150/90 mmHg N : 88 bpm RR : 16 bpm T : 370C d. Pemeriksaan Fisik Kepala dan Leher :

 Kesan wajah tampak lumpuh sebelah kiri.

kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun.

2. Patofisiologi Bell’s palsy

Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.

Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.

Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis tersebut, adanya

(4)

 Mata : CA (-/-), SI (-/-), pupil (bulat, ditengah), Eksophtalmus (-), Nystagmus (-), OS Lagophtalmus (+).

 Telinga : Penyumbatan ( -/-). Lubang telinga lapang, Cairan/serumen (-/-), nyeri tekan belakang telinga (+).

 Mulut : Kesan bibir tampak mencong.  Leher : Pembesaran Limfonodi (-).  Thorax : DBN  Abdomen : DBN  Ekstremitas : DBN e. Px Neurologis GCS: E4V5M6  Meningeal Signs: o Kaku kuduk (-) o Kernig sign (-) o Brudzinski 1 (-), Brudzinski 2 (-) o Lasegue (-)  Nervus Cranialis

N. I (Olfactorius) : Tidak dilakukanN. II (Opticus) :

o Pemeriksaan visus : tidak dilakukan o Lapang penglihatan : tidak dilakukan o Fundus okuli : tidak dilakukan o Pengenalan warna : tidak dilakukan.  N. III (Occulomotorius), N. IV

(Trochlearis), & N. VI (Abducen) :

Ptosis(-/+), Lagophtalmus (-/+), strabismus

inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear.

3. Penegakan Diagnosis Bell’s Palsy Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya nyeri pada telinga. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.

a. Anamnesis

Hampir semua keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah. Dapat terdapat keluhan :

o Nyeri postauricular : banyak pasien (sekitar 50%) mengeluh nyeri di regio mastoid. Nyeri sering muncul bersamaan dengan paresis.

o Aliran air mata : dua pertiga pasien mengeluh adanya

(5)

(-/-), nistagmus (-/-), eksoftalmus (-/-), Endoftalmus (-/-), diplopia (-/-), pupil (isokor, ditengah, bulat), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), gerakan bola mata baik ke segala arah, fenomena bell (+) pada mata kiri.

N. V (Trigeminus) :

o Membuka mulut (+/berkurang) o Mengerakkan rahang (+/berkurang) o Menggigit, kontraksi m.maseter dan

temporalis (+/melemah)

o Sensibilitas muka (atas, tengah, bawah) ka=ki

o Refleks masseter (-/-)

o Refleks zygomaticus, refleks bersin dan kornea tidak dilakukan.

N. VII (Facialis) :

o Kerutan kulit dahi (+/-) o Kedipan mata (+/-)

o Meringis (tidak simetris, sudut mulut kiri lebih rendah dari kanan, lipatan nasolabial kiri lebih rendah/horizontal dibanding kanan)

o Menggembungkan pipi (+/melemah)  N.VIII(Vestibulocochlearis):

o Mendengar suara gesekan jari (+/+) o Tes Rinne, Weber, dan Schwabach tidak

dilakukan

pengeluaran air mata berlebih. Dapat disebabkan penurunan fungsi dari orbicularis oculi. o Perubahan rasa : hanya sepertiga

pasien mengeluh tentang gangguan rasa. Hal ini dapat terjadi karen ahanya setengah bagian lidah yang terlibat. o Mata kering

o Hyperacusis : kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuro sensori.

b. Pemeriksaan Fisik

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas, otot muka pada sisi yan sakit tidak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka dari sisi yang sakit akan tertarik ke sisi yang sehat.

a) Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus

Gejala : paralisis semua otot ekspresi wajah

 Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat. Makanan tersimpan antara

(6)

N. IX (Glossopharyngeus): tidak dilakukan

N. X (Vagus):

o Nadi 88 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

o Bersuara (+), menelan (+)  N.XI (Accessorius) :

memalingkan kepala (N/N), mengangkat bahu (N/N).

N. XII (Hipoglossus): o Sikap lidah simetris o Artikulasi baik

o Tremor dan fasikulasi lidah (-) f. Ekstremitas  Gerakan involunter (-)  Kekuatan : ++5 │+55 │+5  Tonus : N │ NN │ N  Trofi : N │ NN │ N  Sensibilitas : N │ NN │ N  Refleks fisiologis : N │ NN │ N

gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah, dan air liur dapat keluar dari sudut mulut.

 Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi.

 Saat mencoba menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon).  Mata berair, karena aliran

mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.

Kelumpuhan ini adalah tipe flaccid, LMN.

b) Lesi di kanalis fasialis ( di atas persimpangan dengan khorda tymphani tetapi dibawah ganglion genikulatum)

Gejala : seperti a) ditambah gangguan pengecapan 2/3 depan lidah.

c) Lesi terdapat di saraf yang menuju muskulus stapedius Gejala : ditambah dengan

(7)

 Refleks patologis : −¿−¿ −¿−¿¿ ¿  Clonus : −│−¿ −│−¿¿ ¿

g. Tes Fungsi Koordinasi:

Tes tunjuk hidung dan jari (baik) Tes tunjuk jari kanan dan kiri (baik)

gangguan pendengaran yaitu hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras).

d) Lesi pada ganglion genikulatum Gejala : menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi dan dapat melibatkan gangguan pada N. VIII.

Yang paling sering ditemui adalah kerusakan setinggi foramen stilomastoideus dan setinggi ganglion genikulatum.

(8)

4. Penatalaksanaan

a. Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis Bell’s palsy.

 Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.

Dosis :

o Prednison (maksimal 40-60 mg/hari).

o Prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama 6 hari diikuti empat hari tappering off.

Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

 Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Namun, beberapa hasil analisis menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.

Dosis :

o Asiklovir :

- Usia >2 tahun = 80 mg/kg/hari, oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.

- Dewasa = 2.000 – 4.000 mg/hari, oral yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.

o valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) :

- Dewasa adalah 1.000-3.000 mg/hari, oral dibagi 2-3 kali selama 5hari.

Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

(9)

 Hasil studi nonblinded menunjukkan bahwa Methylcobalamin intramuskular digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan prednisone dapat mempersingkat waktu untuk pemulihan.

Dosis : 500 mg IM 3x/minggu sampai penyembuhan penuh, atau untuk 8 minggu.

b. Terapi Non Farmakologis

 Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata.

 Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam 4 bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi dan program pelatihan di rumah. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.

 Pembedahan saraf fasialis, tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.

(10)

Referensi

Dokumen terkait