• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSELING MULTIKULTURAL DAN SOCIAL JUSTICE. lain. Negara-negara yang kuat memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan sehari-hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSELING MULTIKULTURAL DAN SOCIAL JUSTICE. lain. Negara-negara yang kuat memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan sehari-hari"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KONSELING MULTIKULTURAL DAN SOCIAL JUSTICE

2.1 Konseling Multikultural

Ekonomi global, kebijakan luar negeri dan dalam negeri, dan teknologi kemajuan telah memberikan kontribusi terhadap munculnya sistem di seluruh dunia. Menurut Friedman, akibat dari dampak ini, negara dan budaya semua saling mempengaruhi satu sama lain. Negara-negara yang kuat memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan sehari-hari warga yang lebih kecil, negara yang kurang kuat memiliki potensi pengaruh global melalui komunikasi canggih dan teknologi komputer.1

Hal ini agak jelas, karena itu, bahwa model berbasis psikologi dan konseling telah sangat dipengaruhi baik secara positif maupun negatif. Seluruh bidang konseling, bagaimanapun perlu merespon terhadap peradaban manusia memasuki abad ke-21. Bagaimana perilaku manusia, lingkungan dengan kesadaran tertentu, sensitivitas, dan rasa saling menghormati tergantung konteks darimana konteks budaya muncul. Dan hal ini harus sesuai Dengan etika kepedulian, kasih sayang, tanggung jawab. profesi konseling bergantung pada strategi budaya yang tepat dan efektif untuk membantu memandu untuk memenuhi tantangan tersebut.2

Konseling multikultural diperkenalkan di Amerika Serikat pada abad ke 20. Amerika Asosiasi Konseling ( ACA ) terbentuk pada tahun 1955 dibawah naungan Amerika Personil dan Bimbingan Konseling ( APGA ). Pada masa proses pembentukan tersebut adapun pemaparan yang disampaikan oleh Copeland mengenai tujuan dari konseling multikultural bagi masyarakat minoritas di Amerika Utara selama hampir lima puluh tahun terakhir ini

1 Friedman dalam Lawrence H. Gerstein, P. Paul heppner, dkk, Essentials of Cross- Cultural

Counseling, (London: Sage Publications, 2012), 1. 2 Gerstein, P. Paul heppner, dkk, Essentials..., 2.

(2)

11

masyarakat minoritas diwajibkan untuk mengikuti tradisi yang ada dalam kebudayaan di Amerika Utara, dari hal inilah yang membuat Copeland dalam pandangannya terhadap masyarakat mayoritas di Amerika Utara untuk menekankan pada perbedaan-perbedan yang terjadi pada konteks masyarakat dalam kaitannya terhadap konseling multikultural.3 Hal ysng sama seperti multikulturalisme telah digambarkan oleh Pedersen (1991) sebagai "kekuatan keempat" atau dimensi keempat, namun kedua istilah ini sepenuhnya tidak memadai. Dengan menyebutnya sebagai kekuatan keempat, secara implisit dibingkai dalam persaingan dengan humanisme, behaviorisme, dan psikodinamik, yang bukan maksudnya. Multikulturalisme adalah sarana untuk mengatasi permasalahan budaya dan keragaman sosial di masyarakat.4 Penulis berpendapat bahwa konseling multikultural muncul sebagai bagian dalam menangani masalah-masalah berkaitan dengan keragaman budaya sebagai bentuk pemahaman tentang budaya sebagai identitas kehidupan masyarakat yang kolektif.

2.1.1 Pemahaman Budaya

Dalam kehidupan sehari-hari, tiap individu akan menunjukan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukan beberapa keanehan tertentu. Aktualisasi ini berbeda dengan apa yang selama ini dianut masyarakat pada umumnya. Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada disekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum keyakinan ini bisa bersumber dari agama dan kesepakatan umum. Keyakinan yang muncul di dalam

3 Copeland, E. J, “Cross-Cultural Counseling and Psychoterapy: A Historial Perspective. Implications

for Research and Training,” Counseling and Development.(1983),10-15.

4 Manivong J. Ratts and Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social Justice :

(3)

12

masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk pemikiran atau ide.5 Ide ini yang selalu diterapkan dari generasi ke generasi yang membentuk sebuah tatanan kehidupan masyarakat.

Budaya-budaya memiliki fitur-fitur atau dan makna-makna yang spesifik dan mungkin unik, misalnya, bahasa, mitos, makna, simbol. Menurut Shweder, melalui budaya kita berpikir, merasakan, berperilaku dan mengelola realitas kita.6 Budaya memegang peranan penting dalam kehidupan berelasi membentuk satu komunitas hidup bahkan mengelola lingkungan. budaya yang telah dibangun orang bagi dirinya bisa memiliki makna yang berbeda bagi anak-anak mereka. Jika budaya yang telah diciptakan orang dewasa tidak sesuai dengan aspirasi anak-anak mereka, maka anak-anak mereka mungkin akan memodifikasi budaya itu. Konflik-konflik generasional muncul karena orang dewasa menggunakan masa lalu untuk memahami masa kini dan menggunakan masa lalu untuk membentuk masa depan.7 Menurut penulis budaya merupakan tata cara masyarakat membangun relasi dengan yang lain yang berdampak pada kehidupan yang akan datang dalam pengertian budaya bersifat jangka panjang.

Kebanyakan ahli antropologi juga mengklaim bahwa ada empat dasar komponen budaya: (1) interaksi sosial ditularkan melalui enkulturalisasi; (2) pengetahuan (orang-orang berbagi pengetahuan yang cukup bahwa mereka dapat berperilaku cara-cara yang dapat diterima dan berarti bagi orang lain, sehingga mereka tidak terus salah paham satu sama lain); (3) ada perilaku bersama atau pola keteraturan; dan (4) ada pengalaman kolektif dari kelompok tertentu.8 Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya merupakan sikap atau pengetahuan yang berfungsi untuk membentuk sebuah

5 Sulistyarini, Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling, (Jakarta: Prestasi Pustaka 2014), 262. 6 Shweder dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, , Indigenous and Cultural Psyichology, Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 57.

7 Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous,... 59.

(4)

13

keteraturan perilaku bersama yang saling menguntungkan yang berfungsi sebagai pengetahuan kolektif masyarakat.

Definisi budaya secara singkat coba di jelaskan oleh Barry adalah pandangan hidup sekelompok orang atau secara umum cara hidup kita seperti ini, the way we are, yang diekspresikan dengan cara (sekelompok orang) berfikir, mempresepsi, menilai, dan bertindak.9 budaya menurut Clifford Geertz, dapat dipahami sebagai:

Pola makna yang tertanam dalam simbol dan ditransmisikan secara historis, sebuah sistem konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan hidup, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya.10

Suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu. Dengan demikian, suatu budaya hasil kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik. Nilai selalu berhubungan dengan hal yang baik dan buruk, karena nilai berkaitan dengan keyakinan yang dimiliki individu, maka hal itu akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar belakang budaya yang sama.11 Menurut Sue, Berbicara tentang keragaman budaya berarti memfokuskan kembali dialog tentang perbedaan yang berkaitan dengan gender, status sosial ekonomi, Atau orientasi religius Di sisi lain, banyak kelompok sering merasa dikecualikan dari perdebatan multikultural dan menemukan diri mereka saling bertentangan satu sama lain. Meningkatkan pemahaman multikultural dan sensitivitas budaya berarti menyeimbangkan pemahaman tentang kekuatan sosiopolitik yang mencairkan pentingnya ras, dan di sisi lain tentang kebutuhan kita untuk mengakui keberadaan kelompok

9 Barry dalam Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam

Bidang BK (FIP UPI, 2001), 5.

10 Clifford Geertz dalam John Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana,

2010), 274.

(5)

14

lain, identitas yang terkait dengan kelas sosial, jenis kelamin, kemampuan / kecacatan, usia, afiliasi keagamaan, Dan orientasi seksual.12 Dari pernyataan di atas maka dapat ditarik sebuah dasar pemikiran bahwa budaya mampu memainkan peranan yang cukup besar menyangkut predikat kesetaraan antar individu karena berkaitan dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan yang fungsinya mengatur kehidupan masyarakat sehingga selalu selaras dan harmonis.

2.1.2 Aspek Kultur Dasar dalam Konseling Multikultural 1. Konsep Realitas

Memahami orang-orang dari budaya yang berbeda tentu memiliki ide yang berbeda tentang realitas. Realitas yang dipahami misalnya dualistik atau holistik. Dalam budaya Barat, yang memahami realitas bersifat dualistik yang membagi dunia dalam dua tipe entitas: jiwa dan tubuh. Jiwa terdiri dari ide, konsep, dan pikiran. Sedangkan tubuh bersifat nyata, dapat diamati, dan berkembang dalam ruang. Realitas dualisme berdampak pada peningkatan pemisahan antara diri dan objek, atau diri dan yang lain. Diri dikaitkan dengan jiwa dan dirancang di luar serta jauh dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala sesuatu atau orang lain. orang-orang selain dunia Barat menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan.misalnya Buddhisme, Hinduisme, dan agama dunia lain yang memahami bentuk fisik, mental, dan spiritual sebagai aspek atau sisi dari satu realitas tunggal, bukan sebagai domain yang terpisah.13

Pemahaman seseorang terhadap realitas dapat ditemukan dalam ruang konseling. Berbagai elemen kunci dalam konseling, kata yang digunakan oleh seseorang dalam mengekspresikan dan mendeskripsikan masalah memberikan sudut pandang mendasar, implisit, dan filosofis dari sebuah budaya terhadap apa yang dimiliki individu. Konsep penyembuhan dengan menggunakan budaya tergantung pada realitas yang dualistik atau

12 Derald. W. Sue, Multicultural: Social Work Practice (Canada: Jhon Wiley & Son, 2006), 16.

(6)

15

holistik. Budaya dualis masyarakat Barat, membicarakan masalah yang ada saja akan memasukkannya ke penanganan mental. budaya yang terdiri dari kesatuan jiwa, raga, dan roh, praktek penyembuhannya akan menghadapkan seseorang kepada ketiga hal itu misalnya meditasi, latihan, dan diet.14

2. Memahami Diri

Memahami diri menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu budaya dengan budaya yang lain berbeda. Diri menurut Landrine (1992),15 self adalah inner thing (sisi dalam diri sesuatu) atau daerah pengalaman diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari Budaya Barat, diyakini sebagai peletak dasar, pembuat, dan pengontrol perilaku. Landrine menabrakan konsep diri Budaya Barat dengan pengalaman diri indexical dalam Budaya non-Barat:

Selain itu dalam konsep memahami diri terdapat pendekatan individualis dan pendekatan kolektif. Kedua pendekatan ini tentunya memiliki perbedaan. Pendekatan individualis yang mendominasi Budaya Barat dan juga pendekatan kolektif merupakan bagian dari Budaya tradisional. Orang dengan pendekatan kolektif senang menganggap dirinya sebagai anggota dari keluarga, suku, atau kelompok sosial lain dan membuat keputusan berdasarkan kebutuhan, nilai, dan prioritas jaringan sosial ini. Budaya individualis menekankan pada perasaan bersalah, merujuk pada pengalaman batin, dan penyalahan diri. Orang dengan budaya kolektif lebih senang berbicara mengenai rasa malu, merujuk pada situasi dimana mereka tertangkap basa oleh orang yang berkuasa. Akan sangat sulit untuk memahami orang lain yang ada dalam dua pendekatan yang berbeda.16

3. Konstruksi moral

Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan salah adalah inti kehidupan. Akan tetapi membuat pilihan moral ada dan dipengaruhi oleh budaya. Moralitas Barat yakin dengan pilihan dan tanggung jawab individu dan kemauan untuk dibimbing oleh prinsip

14 Mcleod, Pengantar Konseling, … 277.

15 Landrine dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, … 277, 278.

(7)

16

moral yang abstrak seperti keadilan atau kejujuran. Sedangkan Budaya tradisional isu moral sangat ditentukan oleh takdir misalnya karma. Ajaran dan prinsip moral tertanam dalam cerita bukan diartikulasi dalam konsep abstrak. Perbedaan antara memilih (budaya Barat) dan takdir (budaya tradisional) sangat berpengaruh dalam konseling. Nilai moral dalam budaya individual cenderung menghadirkan nilai seperti pencapaian, otonomi, indenpenden, dan rasionalitas. Sedangkan budaya kolektivis lebih menekankan pada nilai sosiabilitas, pengorbanan, dan kesesuaian.17

4. Konsep waktu

Dari perspektif person (individu) dan kelompok sosial, waktu adalah salah satu elemen tempat cara hidup dan hubungan terbentuk. Salah satu ciri masyarakat industrial modern adalah berorientasi pada masa depan. Masa lalu dilupakan dan dihancurkan. Cerita yang diterima oleh keluarga atau komunitas di masa lalu, bertahan ditingkat yang paling rendah. Masa lalu diartikan sebagai warisan. Sebaliknya, masyarakat tradisional dan kolektif didominasi oleh orientasi masa lalu. Terdapat kesinambungan antara cerita di masa lalu dan sekarang dengan mengkhayalkan para nenek moyang hadir dan berkomunikasi dengan yang masih hidup. Konsep maju dalam masyarakat modern sangat berperan penting sehingga sesuatu yang berhubungan dengan praktek, gaya hidup oleh generasi sebelum dianggap ketinggalan jaman dan using. Sedangkan Budaya tradisional, konsep maju dapat dianggap sebagai satu ancaman. 18

Bentuk komunikasi dan penyimpangan informasi dalam berbagai pengaturan budaya juga berpengaruh terhadap pengalaman menjalani waktu. Konstruksi waktu dalam pengaturan budaya yang berbeda dapat menimbulkan konsekuensi praksis yang dominan maksudnya dalam masyarakat dengan budaya ketepatan waktu, memberikan perjanjian dengan menggunakan ketepatan waktu dan durasi adalah hal yang rasional sedangkan bagi budaya

17

Mcleod, Pengantar Konseling, … 279.

(8)

17

yang lain, hal ini tampak tidak rasional klien akan menemui konselor apabila mereka sudah siap untuk tujuan konseling.

5. Nilai penting tempat

Dimensi budaya yang paling akhir adalah hubungan antara budaya dengan lingkungan fisik. Dalam masyarakat modern sebagian besar ikatan antara orang dengan tempat telah putus. Mobilisasi sosial dan geografis adalah hal yang umum. Masih ada penghargaan terhadap tempat dalam budaya modern akan tetapi penghargaan itu terpisah dari individu. Konselor akan menghadapi berbagai budaya dengan pemahaman yang berbeda juga tentang makna tempat.19

Berdasarkan pemahamn di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya memiliki sifat kelenturan dalam beradaptasi. Dalam memaknai kebudayan kita melihat ke dalam konteks dimana budaya ini diterapkan dengan hal seperti ini, maka budaya bisa ditanggapi dengan baik sebagai suatu identitas diri karena mengandung nilai-nilai yang melekat dan menjadi pedoman kehidupan.

Menurut Pedersen Ada enam prinsip dasar konseling multikultural:

1. Budaya mengacu pada kelompok orang yang mengidentifikasi atau mengasosiasikan satu sama lain. Dan merupakan dasar dari beberapa tujuan, kebutuhan, atau kesamaan latar belakang yang umum.

2. Perbedaan budaya sangat nyata, dan mempengaruhi semua interaksi manusia.

3. Semua konseling bersifat lintas budaya.

4. Konseling multikultural memberi penekanan pada keragaman manusia dalam segala bentuknya.

(9)

18

5. Konselor yang kompeten mengembangkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan Campur tangan secara efektif dalam kehidupan orang-orang dari latar belakang budaya yang beragam.

6. Konselor yang kompeten secara kompeten adalah manusia yang terpelajar secara global.20

2.1.3 Aspek Budaya Diamati Secara Eksternal

Salah satu aspek perbedaan budaya yang dapat diamati adalah perilaku non-verbal. Budaya dapat diamati dari sinyal non-verbal seseorang seperti sentuhan, kontak mata, gerak tubuh, dan kedekatan. Misalnya, dalam budaya Barat tatap mata secara langsung dianggap sebagai tanda kejujuran dan keterbukaan. Dalam budaya yang lain, tindakan itu dianggap kasar dan intrusif.

Pola perilaku verbal merupakan perbedaan budaya yang dapat diamati. Orang dari budaya Barat cenderung menyampaikan cerita yang berurutan, logis, dan linear. Sedangkan orang dengan klutur yang lain cenderung menyampaikan cerita yang berputar dan tampak tidak akan sampai pada titik tertentu. kuncinya adalah cara seseorang menyampaikannya, berbicara, bahasa yang digunakan mengkomunikasikan budaya dan identitas mereka. 21

Karakteristik yang lain yang dapat diamati adalah pola hubungan darah. Cara yang paling penting untuk menggambarkan perbedaan dalam ikatan darah adalah dengan bertanya, hubungan mana yang paling penting bagi anda? Dalam budaya Barat, jawabannya sering kali berhubungan dengan pasangan atau partner hidup. Sedangkan budaya yang lain hubungan yang paling dekat adalah antara orang tua dan anak. Pengaruh gender dalam pembentukan identitas sangat kuat. Identitas dan peran gender dibentuk dengan cara yang berbeda dalam Budaya yang berbeda. Ekspresi emosi adalah salah satu sisi budaya yang sangat penting dalam konseling. budaya yang berbeda menghasilkan beragam pemahaman terhadap emosi

20 Courtland C. Lee, Multicultural Issues in Counseling : New Approaches to Diversity (United States :

American Counseling Association, 2013), 5.

(10)

19

yang diterima dan ekspresi mana yang diizinkan dilakukan dalam depan publik. Caranya adalah dengan mengamati dan memahami bahasa (verbal dan non-verbal) yang digunakan dalam menyampaikan emosi dan perasaan. 22

Konsep identitas budaya mengacu pada dimensi budaya keluarga yang meliputi identitas budaya seseorang, dan bagaimana orang lain memandangnya. faktor-faktor yang penting identitas seseorang baik yang dirasakan oleh individu maupun bagaimana orang lain memandangnya. Minta manusia untuk memahami identitas budaya dimulai dengan publikasi coba untuk ditelaah oleh Cross. Cross mencoba memperluas pemikiran dengan menyertakan prinsip-prinsip identitas budaya yaitu (a) identitas dipengaruhi oleh pengalaman positif atau negatif dalam lingkungan sosial, Terutama bagi individu yang terpinggirkan, identitas bisa difasilitasi, atau dikompromikan; (b) memungkinkan identitas berkembang ke tingkat fungsi yang lebih tinggi pengalaman hidup yang menantang; dan (c) pembangunan sosial ras, dan sejarah perbudakan, landasan identitas budaya di dalam diri seseorang dipengaruhi konteks budaya, termasuk etnisitas, gender dan identitas gender, asumsi spiritual, usia dan tahap kehidupan, status kemampuan dan kecacatan, keluarga, masyarakat, dan bangsa.23 Menurut penulis, budaya mampu dikembangkan berkaitan dengan pembentukan identitas masyarakat dalam pengertian budaya mampu dikondisikan sesuai dengan kehidupan masyarakat seiring perkembangan zaman.dengan budaya masyarakat mampu untuk bisa mengenal masyarakat yang laind alam membangun hubungan antar individu.

Menurut Bandura Dua tipe kontrol langsung terhadap lingkungan dapat diidentifikasi: Primary control ( kontrol primer) dan colletive control ( kontrol kolektif).24 Jika seseorang menerapkan kontrol langsung terhadap lingkungan, ini adalah kontrol primer. Jika orang-orang bersama-sama secara serempak untuk mengelola lingkungannya, ini adalah kontrol

22 Mcleod, Pengantar Konseling, … 181.

17 Mcleod, Pengantar Konseling, … 181.

23 Cross dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, … 183.

(11)

20

kolektif. Kemudian menurut Bandura ada dua tipe kontrol tidak langsung dapat diidentifikasi yaitu secondary control (kontrol sekunder) dan proxy control (kontrol proxi).25 Efektifitas masing-masing tipe kontrol tergantung konteks, individu, organisasi, dan budayanya. Dari penjelasan diatas maka dapat di tarik landasan berfikir bahwa budaya memainkan fungsi kontrol manusia dalam mengatur kehidupannya, konseling budaya memahami itu sebagai jalan masuk untuk memahami manusia bahwa dengan budaya manusia memiliki kebiasaan yang di satu sisi mampu beradaptasi dengan manusia lainnya dan membantu membangun stigma yang baik tentang budaya yang lain. 26 Berkaitan dengan itu pula menurut J.D Engel untuk memahami manusia maka konselor perlu mengetahui tentang kekompleksitas manusia yang coba untuk dipetakan dalam 4 aspek, yaitu:

1. Aspek fisik

Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup kita. Aspek ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya. Dengan aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan diukur.

2. Aspek mental

Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan kepribadian manusia. Aspek ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, motivasi, dan integrasi diri manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang dengan bagian dalam dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental memampukan manusia berhubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungannya secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri, dan bahkan dengan diri sendiri.

25 Bandura dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous,... 51.

(12)

21 3. Aspek spiritual

Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus dapat berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu pada hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar jangkauannya. Inilah aspek vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang berada di luar dirinya dan mengatasi kehidupannya. Aspek ini memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia lain, misalnya dunia gaib. 4. Aspek sosial

Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin berdiri sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak dapat tumbuh tanpa relasi dan interaksi. Aspek ini memampukan manusia tidak hanya berelasi dan berinteraksi dengan sesama manusia, melainkan juga dengan mahluk ciptaan lain: udara, air, tanah, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. 27

Manusia pada dasarnya merupakan mahluk sosial yang ingin menjalin relasi dengan orang lain. Dalam membangun hubungan tersebut, komunikasi sangat diperlukan dalam membangun hubungan yang harmonis. komunikasi tercipta secara emosional dan akal sehat yang memberi kemungkinan bagi manusia untuk menikmati hubungan batin dengan orang lain. Komunikasi memainkan peran yang penting dalam hubungan kerja manusia. Orang akan terhubung satu sama lain kalau komunikasinya bisa berjalan dengan efektif. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi memainkan peran penting dalam membangun

(13)

22

kehidupan masyarakat yang kolektif dalam hubungannya dengan pemberian bantuan terhadap orang lain. 28

2.1.4 Tujuan Konseling Multikultural

Istilah konseling dari bahasa Inggris to counsel secara harafiah berarti memberi arahan atau nasihat. Orang yang melakukan konseling di sebut konselor. Oleh karena itu, konseling adalah proses pertolongan antara seorang penolong( konselor) dan yang di tolong (konseli) dengan maksud uintuk meringankan penderitaan klien.29 Dalam membangun suatu hubungan konseling membutuhkan empati dasar. Kata empati berasal dari bahasa Yunani yakni em dan pathos yang berarti perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan orang lain tanpa harus meninggalkan perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke dalam perasaan orang lain untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi orang tersebut. Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.30 Empati adalah konstruksi yang sering jumpai dalam persiapan Sebagai seorang konselor. Kemampuan untuk berempati bergantung pada kemampuan seseorang untuk masuk dalam prespektif orang lain Dalam konteks perbedaan budaya, sangat penting bahwa kita memiliki kesadaran diri terhadap budaya sendiri serta kesadaran akan bagaimana budaya klien kita mungkin berbeda. Hal yang penting adalah jangan berasumsi bahwa orang lain akan berpikir, bertindak, atau merasa seperti yang kita lakukan.31 Sejalan dengan kehidupan berdasarkan empati, Vontress mengidentifikasi setidaknya lima kondisi atau rangkaian pengalaman bersama yang berkontribusi terhadap empati. Pertama, sebagai anggota masyarakat yang sama, manusia ditempatkan dalam sistem biologis yang rapuh yang secara universal tidak berubah. Oleh

28 Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, … 25.

29 J.D. Engel Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 67.

30 J. D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016), 49-60.

31 Kathryn Maccluskie, Acquiring Counseling Skill: Integrating Theory, Multiculturalism, and

(14)

23

karena itu, untuk dapat terus bertahan kita berperilaku dengan cara yang dapat diprediksi, untuk mempertahankan dan mengabadikannya dalam kehidupan perasaan bagaimana rasanya mencintai, menjadi tempat berlindung, merasa terancam, atau mengalami kesedihan. Kedua, orang yang tinggal di wilayah geografis yang sama memahami bagaimana rasanya menghuni daerah-daerah yang ada di dunia ini. Ketiga, setiap masyarakat yang mendiami suatu lingkungan tertentu beradaptasi dengan peraturan, nilai, dan sikap yang meluas. Mereka juga mengerti dan berempati dengan sukacita dan kesusahan dari kelompok masyarakat yang lain.

Keempat, di negara-negara besar, orang menyesuaikan diri dengan spesifik wilayah tempat

mereka tinggal. Mereka sering secara naluriah mengerti dan merasakan apa yang orang lain rasakan dari daerah yang sama. Kelima, anggota komunitas ras dan etnis biasanya berbagi ikatan yang dimiliki orang di luar. Komunitas mereka tentu tidak mengerti dengan kebudyaan yang lain, tapi dengan berempati dengan mudah orang –orang dapat mengidentifikasi “ dari mana asalnya.32

Berkaitan dengan pemahaman tersebut, menurut Cavanagh konseling harus bisa menjadi pemahaman baru yang memberi kesempatan bagi masyarakat untuk melihat diri dan hidup secara berbeda, mengalami dan mengekspresikan perasaan yang berbeda, serta perilaku dan cara baru bagi mereka.33 Tiga kunci yang ditawarkan Cavanagh34 mengenai konseling dapat memberi pengalaman baru dalam hubungannya dengan konseling yaitu:

a) Mengenai konflik Internal

Konseling membantu setiap individu menyadari bahwa sebagian besar masalah mereka berasal dari konflik internal yang belum terpecahkan bukan dari situasi eksternal. Sumber dari sebagain besar masalah yang membawa orang ke dalam proses

32 Vontress dalam Paul B. Pedersen, Hugh C. Crethar, Jon Carlson, Cultural Empathy : Making

Relationships Central in Counseling and Psychotherapy (United States: American Psychological Association), 44.

33 Cavanagh dalam J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, … 25.

(15)

24

konseling adalah dalam pemahaman tentang dirinya bukan dari luar diri mereka. Langkah awal yang harus dilakukan konselor adalah membantu konseling menyadari bahwa permasalahan ada pada diri mereka secara pribadi dan bukan pada orang lain dalam lingkungan hidupnya.

b) Menghadapi Kenyataan

Konseling adalah kesempatan untuk menangani realitas secara lebih efektif. Konseli yang masuk dalam proses konseling tidak hanya bersembunyi dari realitas dan memanipulasi realitas untuk mengurangi kecemasan tetapi mereka seringkali bisa membutuhkan dukungan orang lain untuk membantu mereka menghadapi kenyataan. c) Mengembang Tilikan

Konseling adalah pengalaman mengundang orang untuk menemukan siapa dirinya. Ketika dia tahu siapa dirinya, ia menyadari kebutuhan khusus, nilai-nilai, sikap, motif, kekuatan dan kelemahan mereka. Orang tidak seharusnya tahu tentang dirinya, tetapi juga dapat berhubungan dengan orang lain.

Dalam membangun suatu hubungan konseling membutuhkan empati dasar. Kata empati berasal dari bahasa Yunani yakni em dan pathos yang berarti perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan orang lain tanpa harus meninggalkan perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke dalam perasaan orang lain untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi orang tersebut. Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.35

Dalam membangun suatu hubungan konseling membutuhkan empati dasar. Kata empati berasal dari bahasa Yunani yakni em dan pathos yang berarti perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan

(16)

25

orang lain tanpa harus meninggalkan perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke dalam perasaan orang lain untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi orang tersebut. Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.36

Hal itu juga yang dipahami Kluckhon dan Murray. Di dalam memahami manusia, tidak hanya dipahami dalam konteks ras atau budayanya saja tapi juga dari berbagai aspek geografis, sejarah bahkan aspek sosial perlu ditelaah dengan baik. Keseimbangan prespektif tersebut, pada akhirnya bermuara pada prinsip dasar tentang adanya kesamaan dan perbedaan antar individu yang digambarkan Kluckhon dan Murray dengan tiga bentuk yaitu a). like all other persons; menunjuk pada apa yang menjadi nilai keuniversalan manusia. b). like some other persons; menunjuk pada apa yang dimiliki oleh sebagian manusia atau budaya tapi tidak dimiliki manusia lain. c).like no other persons; menunjuk pada ciri-ciri yang unik pada setiap individu yang tidak dimiliki orang lain.37

Agar konseling dapat berjalan efektif dan optimal, budaya harus didefinisikan secara luas dan kompetensi bahasa harus termasuk faktor lain diluar etnisitas yang mempengaruhi rasa identitas budaya seseorang. Kompetensi tambahan mungkin diperlukan saat bekerja dengan kelompok budaya tertentu, dan sarana untuk mengintegrasikan kompetensi ini ke dalam kerangka keseluruhan sangat penting. Ini kemudian menjadi tanggung jawab konselor untuk menilai arti penting dari berbagai potensi budaya dan faktor identitas pribadi terhadap keprihatinan klien.38 Tujuan konseling yang dijelaskan Mcleod antara lain: 39

a) Pemahaman. Mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk memilih kontrol rasional dari pada perasaan dan tindakan.

36 Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, … 49-60.

37 Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya,… 16.

38 Sandra Colins & Nancy Arthur, “Culture-Infused Counselling: A Fresh Look at a Classic Framework

of Multicultural Counseling Competencies,” Counseling Psychology Quarterly 23, no 2. 206

(17)

26

b) Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain.

c) Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan dan ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.

d) Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai dengan kemapuan menjelaskan pengalaman yang menjadi kritik diri dan penolakan.

e) Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan kearah pemenuhan potensi diri atau penerimaan integrasi diri yang sebelumnya saling bertentangan.

f) Pencerahan. Membantu klien mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

g) Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan masalah tertentu yang tak bisa dipecahkan oleh klien seorang diri.

h) Pendidikan psikologi. Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk memahami dan mengontrol tingkah laku.

i) Memiliki ketrampilan sosial. Mempelajari dan menguasai ketrampilan sosial dan interpersonal. Seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan, asertif atau pengendalian kemarahan.

j) Perubahan kognitif. Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional atau pemikiran yang tidak dapat diadaptasi.

k) Perubahan tingkah laku. Meodifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang merusak. l) Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial. m) Penguatan. Berkaitan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan

membuat klien mengontrol kehidupannya.

(18)

27

o) Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasi dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli terhadap orang lain, membagi pengetahuan, dan mengkontribusi kebaikan bersama melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.

Sue menyikapi bahwa sikap atau keyakinan dinyatakan sebagai penyejuk sosial yang diperlukan dalam pemeriksaan diri dari sikap dan perasaan yang terkait dengan perbedaan budaya. Oleh karena itu pentingnya sikap atau keyakinan tidak bisa diremehkan dan hal ini sangat relevan dalam mempertimbangkan dinamika hubungan konselor dan klien ketika bekerja diseluruh aspek budaya. Ini juga dapat membantu konselor sadar akan diri sendiri dan memeriksa sikap budaya orang lain. Keyakinan adalah atribut penting dalam mengembangkan kompetensi budaya dan meningkatkan efektivitas konselor terhadap keberagaman budaya klien.40 Berbicara mengenai nilai-nilai sama dengan berbicara tentang dimensi spiritual yang dilakukan oleh manusia. Menurut Krauss, spiritual dilihat sebagai energi yang menggerakan, energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas, dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan karakter kita pada tataran konseptual.41 Menurut penulis ketika manusia mengadopsi nilai-nilai budaya, secara tidak langsung dia sudah membentuk spiritualitas dalam dirinya berkaitan tentang pencarian jati dirinya.

Menurut Thompson, kepribadian dan pengembangan identitas yang dipahami dengan baik dari aspek kognitif, afektif, pengembangan moral, dan adaptasi dimaksudkan untuk memberi informasi kesehatan mental. Konselor mengandalkan teori perilaku pengembangan manusia untuk membimbing mereka dalam memfasilitasi kesehatan psikologis mereka. Klien dengan "kesehatan psikologis" beragam didefinisikan sebagai penghapusan yang tidak diinginkan, promosi aktualisasi diri, peningkatan Spiritualitas, dan sebagainya. Hal ini terkait

40Sue, D. W and Sue, D. Counseling The Culturally Diverse: Theory and Practice (New York: John Wiley, 2013).

(19)

28

erat dengan budaya, yaitu, norma, peraturan, peran, dan pandangan dunia yang diadopsi masyarakat untuk memahami dan berfungsi dalam hubungannya di dunia ini.42

2.1.5 Kompetensi dan peran Konselor dalam Konseling Multikultural

Sebagai seorang konselor, perlu ada kualitas yang harus dipenuhi dalam proses konseling. Patterson43 menyebutkan lima kualitas dasar yang harus dimiliki oleh seorang konselor konselor yaitu :

1. Respect. Menghargai klien merupakan hal yang paling penting bagi konselor. Hal ini termasuk memiliki kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi bahwa klien memiliki kemampuan untuk mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri (termasuk selama proses konseling berlangsung), klien memilki kemampuan untuk menentukan pilihan dan memutuskan dan memecahkan masalah.

2. Genuinenes. Konseling merupakan hubungan yang nyata. Konselor perlu untuk memiliki kesungguhan dalam memberikan konseling dan juga adalah sosok yang nyata. Selain itu konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya (kongruensi) ini berarti bahwa konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa kepalsuan.

3. Emphathic understanding. Pemahaman yang empati lebih dari sekedar pengetahuan tentang klien. Akan tetapi pemahaman yang melibatkan dunia dan budaya klien secara mendalam. Patterson mengemukakan bahwa kemampuan untuk menunjukkan empati pada budaya secara konsisten dalam hal-hal yang memiliki makna merupakan variabel penting untuk melibatkan klien.

4. Communication of empathic, respect and genuiness to the client. Kondisi ini penting untuk di persepsi, diakui, dan dirasakan oleh klien. Persepsi tersebut akan mengalami

42 Thompson dalam Robert.T Carter, Handbook of Racial-Cultural Pshycology and Counseling,

taining and Practice (New Jersey: Jhon Wiley & Son, 2005), 221.

43

Patterson, CH, “Do We Need Multicultural Counseling Competencies?”, Mental Health Counseling

(20)

29

kesulitan jika klien berbeda dengan konselor baik dari budaya, ras, sosial ekonomi, umur, dan jender. Oleh karena itu penting bagi konselor untuk memahami perbedaan tersebut. Sue (Patterson) menyatakan bahwa pemahaman terhadap perbedaan budaya baik secara verbal maupun nonverbal akan sangat membantu dalam proses konseling.

5. Structuring. Salah satu elemen penting yang terkadang disadari oleh konselor adalah struktur atau susunan dalam proses konseling. Vontress (Patterson) menyebutkan bahwa hubungan dengan seorang professional yang menempatkan tanggung jawab utama kepada individu untuk memecahkan masalahnya sangat sedikit. Pekerjaan konselor dalam proses konseling sebaiknya menyatakan bahwa apa, bagaimana dan mengapa dia bermaksud melakukan konseling.

Berdasarkan 5 kompetensi yang dipunyai konselor, Menurut penulis, seorang konselor perlu untuk melihat konseling Multikultural sebagai hubungan yang tidak hanya bersifat sementara tetapi sebagai hubungan yang memiliki dampak jangka panjang karena berkaitan dengan bentuk pemecahan masalah sehingga proses konseling bagi seorang konselor merupakan tanggung jawab dalam memaknai perbedaan antar individu dalam memaknai nilai dalam kehidupannya.

Selain itu, Atkinson dkk. (1998) Mengidentifikasi ada enam peran tambahan bagi konselor selain peran konseling konvensional atau konseling budaya yaitu :

a) Sebagai advokat (mewakili kepentingan klien atau kelompok, berbicara atas nama mereka),

b) Sebagai agen perubahan (mengubah lingkungan sosial yang mungkin menindas),

c) Sebagai konsultan (menyangkut masalah relasi), d) Sebagai penasihat (memberi nasehat dan saran),

(21)

30

e) Sebagai fasilitator sistem pendukung masyarakat adat (merujuk klien atau bekerja dengan layanan dukungan masyarakat: gereja etnis, organisasi pelayanan,), dan

f) Sebagai fasilitator dalam hal metode penyembuhan pribumi (metode khusus budaya dan proses penyembuhan).44

Menurut penulis, konseling akan berhasil apabila konselor mampu untuk melepaskan diri dalam hubungannnya dengan proses memahami diri baru setelah itu konselor bisa memahami diri klien. Disini konselor bisa untuk menyesuaikan diri dengan budaya yang di punyai klien.

2.2 Konseling Social Justice

Ratts et al. mengklasifikasikan konseling social justice sebagai kekuatan kelima setelah multikultural dalam paradigma Konseling yang dianggap sebagai bentuk revolusioner dari pendekatan konseling. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kondisi lingkungan mempengaruhi perkembangan manusia.45 Menurut American Association of Counseling ( ACA) Konseling social justice merupakan pendekatan konseling multifaset di mana para praktisi berusaha untuk secara bersamaan mempromosikan pembangunan manusia dan kebaikan bersama dengan mengatasi tantangan yang berkaitan dengan keadilan individu Konseling keadilan sosial mencakup pemberdayaan individu serta menentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan di masyarakat karena berdampak pada klien dan juga masalah dalam konteks sistemik mereka. Pekerjaan ini dilakukan dengan fokus pada kebutuhan budaya, kontekstual, dan individual yang dilayani.46.

44 Attkinson dalam Robert.T Carter, Handbook of Racial-Cultural Pshycology and Counseling,

Training and Practice (New Jersey: Jhon Wiley & Son, 2005), 13.

45 Ratts, Counseling for Multiculturalism and Social Justice, … 28.

(22)

31

Tujuan social justice adalah memberdayakan semua individu, terlepas dari latar belakang mereka Sehingga mereka dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai potensi penuh mereka. Konselor social justice menyadari bahwa masalah klien dapat dikaitkan dengan struktur yang menindas. Dengan demikian, baik konselor maupun klien secara aktif terlibat dalam proses mengeksplorasi dan mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana struktur sosial mempengaruhi perkembangan klien. Proses ini menyebabkan konselor dan klien mempertimbangkan apakah intervensi harus dipusatkan Pada perubahan individu atau perubahan tingkat sistem.47 Berdasarkan pemahaman di atas, menurut penulis, konseling social justice sebagai bentuk pembaharuan dalam konseling dalam kerangka membantu individu menyelesaikan masalah terkait dengan ketidakadilan sosial yang terjadi di dalam lingkungan kehidupannya sebagai komunitas.

2.2.1 Identitas Budaya dan Social Justice

Keadilan sosial berkaitan dengan gagasan tentang masyarakat adil. Keadilan sosial adalah gagasan untuk menantang ketidakadilan dan menghargai kemanusiaan. Marsella mendefinisikan keadilan sosial sebagai "konteks sosial, terutama dalam masyarakat dan kondisi budaya yang mungkin membatasi atau menghilangkan kemungkinan adanya keadilan kolektif.48 Ada 2 hal yang menjadi dasar analisis keadilan sosial yaitu :

a) Perhatian untuk memahami kekuatan sosial dan institusi yang mendukung ketidakadilan dalam sistem sosial dan juga perilaku interpersonal, sikap individu, atau keyakinan yang mencerm inkan hubungan sosial yang tidak setara;

47 Ratts, Counseling for Multiculturalism and Social Justice,… 28.

48 Marsella dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling (United State of America: Springer, 2016), 99.

(23)

32

b) Pengakuan terhadap keterkaitan antar fenomena dan latar belakang manusia termasuk sejarah, politik, budaya, ekonomi, hukum, dll.49

Keadilan sosial berfokus pada tiga hal: Hak, Manfaat, dan Kebutuhan. Hak berfokus pada apa yang dipercaya bahwa masyarakat sebagai satu komunitas harus menyediakannya sebagai bagian dari menjadi anggota di dalam masyarakat tersebut. Manfaat berfokus pada bagaimana masyarakat memantau siapa yang harus menerima hak tersebut. Kebutuhan adalah basis atau kriteria yang digunakan untuk mendistribusikan sumber daya berdasarkan hak yang dimiliki individu.50

Berdasarkan pemahaman di atas keadilan sosial selain sebagai bentuk perlawananan terhadap ketidakadilan juga sebagai bagian bagaimana masyarakat memperoleh hak dalam upaya mendapatkan kesetaraan dalam hubungan sebagai sebuah komunitas masyarakat yang memiliki manfaat dalam kehidupannya.

Menurut Ibrahim, sudut pandang perlu dipahami dalam identitas budaya klien, untuk mengerti variabel perantara yang telah menciptakan prespektif terkait dengan identitas seseorang berkaitan dengan pengambilan keputusan terkait nilai agar lebih bermakna. Konsep sudut pandang ini dikonseptualisasikan dari prespektif keyakinan, nilai, dan asumsi yang berasal dari konteks budaya dan didasarkan pada model nilai eksistensial. 51 Pengembangan identitas sosial bersifat dinamis, dalam setiap tahap perkembangan, karakteristik dan kualitas dibagi antara individu dalam kelompok sosial tertentu. Setiap tahap perkembangan identitas merupakan hasil refleksi bagaimana individu melihat diri mereka dalam kaitannya dengan dunia mereka dan juga dari pengalaman di luar dunia mereka.52

49 Llewellyn J. Cornelius dan Donna Harrington, A Social Justice Approach to Survey Design and

Analysis (New York: Oxford University, 2014), 7.

50 Cornelius, A Social Justice Approach to Survey…. 8.

51 Ibrahim, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 54.

(24)

33

Identitas manusia menurut Sue, ada pada tiga dimensi: yaitu individu, kelompok, dan universal. Dimensi individual dari identitas mengacu pada karateristik unik masing-masing orang, seperti kepribadian, nilai, dan sistem kepercayaan. Karakteristik dan atribut ini membedakan orang pada tingkat individu dan membuat kita masing-masing unik. Dimensi identitas kelompok mengacu pada pengalaman bersama yang dimiliki orang sebagai akibat dari menjadi anggota kelompok sosial. Sebagai manusia, kita semua adalah anggota ras, jenis kelamain, orientasi seksual, religious dan kemampuan kelompok sosial. Sebagai anggota kelompok, kita berbagi hal-hal tertentu, seperti bahasa atau identitas kelompok, yang membentuk pengalaman kehidupan. Dimensi identitas universal mengacu pada aspek universal manusia. Manusia membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, dan keamanan untuk bertahan hidup terlepas dari latar belakang budaya.53 Orang sering berfokus pada dimensi identitas individual dan universal lebih daripada dimensi identitas kelompok. Namun, dimensi identitas kelompok sama pentingnya karena mereka menggambarkan pengalaman bersama yang dimiliki individu sebagai anggota kelompok sosial.54

Berdasarkan pemahaman di atas, dimensi identitas manusia merupakan bagian bagaimana seorang individu menempatkan dirinya sebagai bagian dalam komunitas masyarakat. Bagaimana individu dapat beradaptasi ketika membangun hubungan dengan keragaman budaya yang ada sebagai bentuk pengalaman bersama dalam kehidupan yang harmonis.

53 Sue dalam Manivong J. Ratts, Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social Justice,

… 37.

54 Sue dalam Manivong J. Ratts, Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social

(25)

34

2.2.2 Model dan Proses Akulturasi Dalam Social Justice

Sebagai masyarakat kolektif, setiap individu dalam masyarakat terhubung dengan budaya sebagai bentuk identitas. Bagi keadilan sosial, budaya merupakan merupakan salah satu bagian rentan dalam masalah ketidakadilan. Berbicara tentang identitas budaya, menurut Berry, identitas budaya digunakan sebagai kerangka teoritis untuk memahami akulturasi. Pemikiran saat ini menekankan bahwa akulturasi bukanlah proses perubahan dalam pengertian melepaskan budaya asal dan berasimilasi ke dalam budaya baru tapi lebih kepada proses adaptasi ke budaya yang baru tanpa kehilangan budaya asli.55 Berry mengidentifikasi ada enam dimensi fungsi psikologi yang dipengaruhi akulturasi yaitu: a) Bahasa, b) kognitif, c)kepribadian, d) identitas, e) sikap, dan f) penekanan akulturatif. Fungsi ini dipengaruhi tingkat dan waktu yang berbeda, semua perubahan tidak terjadi secara bersamaan.56 Dari pemahaman di atas, identitas budaya merupakan cara individu memahami bahwa akulturasi bukanlah sebuah proses perubahan dengan cara menghilangkan satu bagian budaya, tapi bagaimana individu memahami bahwa akulturasi merupakan proses pengadaptasian budaya-budaya yang ada tanpa kehilangan identitas budaya-budaya asli.

Menurut Phinney, faktor penting dalam pengembangan identitas imigran adalah usia imigrasi. Awalnya diasumsikan bahwa pola pikir dan pola pengembangan kepribadian masyarakat imigran akan tercampur dalam budaya tuan rumah.57 Schwartz dkk. mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi oleh imigran, yang Dapat menghalangi proses pengembangan identitas dan adaptasi imigran positif budaya tuan rumah, tantangan ini meliputi: (a) kerugian sosial ekonomi. Ini mengacu pada fakta, bahwa imigran biasanya menempati sosioekonomi rendah Tingkat daripada budaya tuan rumah, ini menurunkan kemampuan imigran untuk berinteraksi Dengan budaya dominan, atau untuk mengakses

55 Berry dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 124.

56 Berry dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 79.

57 Phinney dalam dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling,

(26)

35

peluang, bisa menimbulkan beberapa hal negatif (b) perbedaan orientasi budaya antara Imigran dan masyarakat penerima.58

Tapi kemudian Barry melakukan penelitian menunjukan bahwa ada dua dimensi otonom yang mendasari proses akulturasi: hubungan individu ke budaya asal mereka dan masyarakat tempat dimana mereka masuk. Hubungan ini terwujud dalam beberapa cara, misalnya preferensi untuk keterlibatan dalam dua budaya dan perilaku yang mereka ikuti, misalnya bahasa, pengetahuan dan perilaku.59 Penelitian mengidentifikasi ada perbedaan antara adaptasi psikologis dan sosikultural. Adaptasi psikologis mengacu pada hasil psikologis internal, yaitu rasa identitas pribadi dan budaya, kesehatan mental dan pencapaian kepuasan pribadi dalam hidup dan bekerja dalam konteks budaya yang baru; sedangkan adaptasi sosiokultural mengacu pada hasil psikologis eksternal yang menghubungkan individu dengan kehidupan yang baru, termasuk kemampuan mereka menghadapi masalah sehari-hari.60 Menurut Ibrahim, Kunci untuk memahami banyak identitas dalam masyarakat yang beragam secara budaya adalah dengan memahami tingkat akulturasi klien terhadap budaya mainstream, seiring dengan identitas budaya, identitas etnis, dan worldview.61 Berdasarkan pemahaman di atas, dalam pengembangan identitas diri masyarakat imigran, ada proses akulturasi yang terjadi sebagai bagian bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan yang baru dari faktor internal maupun eksternal individu dalam lingkungan budaya tempat mereka berada.

58 Schwartz dkk. Dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling,

… 136.

59 Berry dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 126.

60 Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 126.

(27)

36

Menurut Adam et.al, asumsi kunci dalam memahami identitas sosial ada 5 yaitu:

a) Individu dari semua kelompok sosial dipengaruhi oleh berbagai macam penindasan dan mungkin merespon situasi secara berbeda tergantung pada tingkat kesadaran dan wordview.

b) Manifestasi identitas sosial merespon dengan cara berbeda terhadap interpersonal, kelompok, maupun konteks sosial dan mempengaruhi perkembangan psikososial dan kognitif.

c) Teori pengembangan identitas sosial menyediakan cara melacak kemajuan seseorang dari dominasi internal terhadap identitas sosial yang terbebaskan.

d) Interaksi interpersonal dalam kelompok serta antar kelompok yang terpengaruh oleh perbedaan perkembangan dan berbagai tingkat kesadaran sadar akan penindasan.

e) Istilah perkembangan seperti tahap, fase, atau pandangan dunia menyediakan metafora yang mudah digunakan untuk membedakan tingkat kesadaran atau pengalaman identitas.62

Berdasarkan pemahaman di atas ada 5 kunci dalam memahami identitas sosial yaitu bentuk bagaimana kelompok-kelompok saling merespon dan berinteraksi tentang isu penindasan sebagai bagian individu melakukan penilaian akan dirinya dan dalam komunitas kelompok yang beragam.

Identitas etnis dan identitas pribadi memiliki proses yang beragam. Smith dan Silva mengidentifikasikan tahapan-tahapan identitas etnis sebagai proses integrasi seumur hidup dalam konteks batas-batas struktur mayoritas/ minoritas. Bagi imigran, batasnya bisa terlalu banyak mengingat status minoritas menciptakan pikiran dan perilaku yang tidak dapat

62 Adamdalam Manivong J. Ratts, Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social Justice,

(28)

37

diterima atau tidak sesuai dengan konsep diri seseorang.63 Dalam menilai tingkat akulturasi, menurut Green at.al, ada 2 pendekatan yaitu pendekatan Individualisme dan koletivisme, dengan membandingkan sikap akulturasi klien terhadap budaya secara menyeluruh. Individualisme dikaitkan dengan karakteristik berikut; kemandirian, otonomi, prestasi dan persaingan. Sedangkan kolektivisme dikaitkan dengan perasaan, saling ketergantungan dan harmonis.64

Dalam hal ini proses adaptasi menjadi bagian penting dalam akulturasi. Menurut Berry at.al, adaptasi sosiokultural mengacu pada seberapa baik individu mengelola kehidupannya sehari-hari dalam konteks budaya baru. Ada 4 model akulturasi yang ditawarkan Berry at.al yaitu integrasi, pemisahan, marginalisasi, dan asimilasi. Asimilasi adalah bagian dimana ada sedikit minat dalam pemeliharaan budaya asli dikombinasikan dengan preferensi untuk berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas. Pemisahan terjadi saat pemeliharaan budaya menjadi prioritas utama, sekaligus menghindari keterlibatan dengan budaya tuan rumah. Marginalisasi ada saat tidak ada pemeliharaan budaya atau interaksi dengan budaya tuan rumah. Integrasi hadir saat pemeliharaan dan keterlibatan budaya dengan masyarakat yaang lebih besar sama-sama merupakan prioritas.65 Dari pemahaman tersebut maka akulturasi merupakan bentuk pilihan bagi masyarakat dalam hal ini minoritas bentuk perpaduan antara pemeliharaan budaya dan adaptasi dengan budaya baru dalam hal ini budaya mayoritas.

63 Smith dan Silva dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling,

… 126.

64 Green dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 88.

65 Berrydalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 128.

(29)

38

2.2.3 Aplikasi Konseling Social Justice

Konseling keadilan sosial menggabungkan responsivitas budaya dan pemahaman kekuatan budaya klien, dan berfokus pada mengembangkan kekuatan, pemberdayaan dan advokasi. Untuk memasukan asumsi yang disebutkan maka diusulkan beberapa strategi dasar yang mendasari keadilan sosial yaitu :

a. Identifikasi kekuatan dan sumber daya yang dimiliki klien b. Pengakuan terhadap tantangan budaya, sosial, dan pribadi klien

c. Mengklarifikasi fase pengembangan identitas. Hal ini berkaitan dengan jenis kelamin, budaya, orientasi seksual, dan

d. Penggabungan informasi penilaian budaya tentang identitas, worldview, dan akulturasi.66 Dalam menghadapi klien, konselor keadilan sosial memakai penilaian budaya (cultural assessments) dalam kenyataan ( personal, interpersonal, dan isu-isu sosiopolitik) telah ditemui, sehingga hasil dalam konseling akan relevan dan bermakna. Oleh karena itu seorang konselor harus memiliki kemampuan:

a. Menjadi otentik

b. Berhubungan dengan klien memakai empati

c. Membangun hubungan timbal balik, dan terlibat dalam konstruksi makna d. Untuk mendekati klien dari prespektif “ tidak tahu”

e. Memahami dinamika hubungan diadik, seperti pertemuan saling mendukung, dimana hubungan itu adalah kunci kesuksesan.

f. Terlibat dalam penetapan tujuan kolaboratif g. Mengevaluasi keefektifan intervensi

h. Untuk dapat mengenali batas pengetahuan dan keterampilan sendiri berkaitan dengan respon budaya, hak istimewa dan masalah penindasan.67

(30)

39

Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat dilihat bahwa konselor keadilan sosial memakai penilaian budaya dalam konseling untuk bisa melihat dan mengenali kemampuan dalam diri konselor ketika behadapan dengan klien terkait dengan isu penindasan dalam proses intervensi bagi klien dalam bentuk pemikiran kritis dan reflektif untuk memahami kepentingan individu dalam proses sosialisasi dalam sebuah komunitas masyarakat.

Berkaitan dengan proses intervensi, Bemak dan Chung memberikan lima tingkat intervensi yang komperhensif yaitu:

Tingkat 1 : Pendidikan kesehatan mental untuk membantu klien dalam memahami proses konseling dan apa yang diharapkan dalam konseling

Tingkat 2 : Intervensi konseling individu, kelompok dan keluarga

Tingkat 3 : Pemberdayaan budaya, dalam hal ini memberikan bantuan dan dukungan kepada klien imigran dan keluarga, untuk menguasai budaya baru, termasuk didalamnya informasi tentang budaya tuan rumah.

Tingkat 4 : Integrasi budaya.

Tingkat 5 : masalah keadilan sosial dan hak asasi manusia ini termasuk penekanan pada promosi perlakuan adil dan setara.68

Berdasarkan pemahaman ini maka dalam mengintervensi klien dalam konseling social justice, di dalamnya tidak hanya bersifat sebagai pertolongan terhadap klien berkaitan dengan ketidakadilan tapi juga bagaimana menghormati budaya klien, dan menawarkan pemberdayaan budaya artinya konseling sebagai bentuk responsif terhadap budaya yang dimiliki individu.

Untuk membantu konselor yang melakukan intervensi individu dan kelompok memahami keadilan sosial, berarti mengembangkan pemikirin kritis dan refleksi untuk

67 Ibrahim, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 112.

68 Bemak dan Chung dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice

(31)

40

memahami kepentingan mereka sendiri dalam hubungan yang tidak setara dan implikasinya, untuk mengenali mekanisme penindasan, dan untuk mengembangkan ketrampilan dan keberanian untuk menantang hirarki ini. Konselor di dororng untuk memahami dan memeriksa identitas budaya, nilai, worldview, proses sosialisasi, hak, sejarah, emosional dan psikologi, tahap kehidupan, dan kekuatan serta tantangan yang terkait Untuk semua variabel ini, untuk memastikan bahwa mereka menyadari kekuatan yang mereka gunakan sebagai bantuan professional. Dengan pengakuan ini, mereka bisa memberi suara yang etis secara kultural, Responsif, dan berorientasi keadilan sosial kepada klien.69

2.3 Rangkuman

Berdasarkan teori-teori yang telah diungkapkan di atas, maka dapat di tarik kesimpulan yaitu:

a) Konseling merupakan suatu cara pemberian bantuan secara mendalam dari konselor kepada klien terkait permasalahan yang di hadapi klien

b) Dalam proses konseling, sangat dibutuhkan rasa empati dalam diri konselor yang dapat menolong klien dalam hal membantu klien memberdayakan dirinya dalam menemukan cara-cara yang logis dalam mengatasi permasalahannya sendiri.

c) Konseling multikultural merupakan salah satu kekuatan paradigma konseling yang menekankan pada kepekaan terkait permasalahan keragaman budaya

d) Konseling social justice merupakan bentuk konseling yang menekankan pada bentuk pemberdayaan manusia berkaitan dengan ketidakadilan dalam komunitas masyarakat e) Dalam memahami proses akulturasi dalam social justice, ada 2 pendekatan yaitu

pendekatan individualisme dan kolektivisme, dan ada 4 model yang ditawarkan

(32)

41

akulturasi berkaitan dengan masyarakat mayoritas dan minoritas terkait perbedaan budaya yaitu integrasi, pemisahan, marginalisasi, dan asimilasi.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian sistem penggunaan teknologi computer vision yang digunakan untuk mengenali sampah dibawah laut bisa dimplementasikan dengan menguji jenis

Berdasarkan pendapat Umar dan Syambasril (2014:74), bahwa seorang guru harus menguasai komponen- komponen membuka dan menutup pembelajaran dengan baik agar dalam proses pembelajaran

Faktor-faktor yang berhubungan dengan berat badan bayi saat lahir antara lain usia ibu hamil, jarak kehamilan, jumlah anak yang dilahirkan, status gizi ibu hamil (kenaikan

Dengan tidak adanya segmentasi pasar, berakibat pada suatu perusahaan akan kesulitan untuk membidik konsumen mana yang akan dituju, karena kosumen mempunyai kebutuhan

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa persepsi kelompok tani terhadap peranan penyuluh pertanian dalam pengembangan Gabungan Kelompok Tani di Kabupaten Sukoharjo sudah

Beberapa tanaman galur 4D dan 5D padi transgenik Nipponbare-OsDREB1A generasi T1 pada pengujian salinitas 25 mM NaCl menunjukkan respon pertumbuhan yang lebih baik

Pengadilan merupakan ketentuan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, ketentuan ini tidak boleh diabaikan oleh