• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPER BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PAPER BALI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Makalah ini disusun sebagai tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur 1 Semester 1 Tahun Akademik 2010/2011

Disusun oleh :

Andriany Eka Yovita / 052.10.005 Chaulla Jawwas / 052.10.013

Farisa Wirawan / 052.10.019

Dosen :

S. Handjajanti, Ir, MT

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS TRISAKTI

2011

(2)

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Penulis

DAFTAR ISI

(3)

Daftar Isi ………... BAB I Pendahuluan ………...

BAB II Isi ...………

BAB III Kesimpulan dan Saran ……….

Daftar Pustaka ………..

BAB I PENDAHULUAN

(4)

A. Latar Belakang Masalah

Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya yang mengeras ke dalam bentuk-bentuk penggunaan dengan ragam hias yang dikenakannya. Benda-benda alam yang diterjemahkan ke dalam bentuk- bentuk ragam hias, tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang harmonis. Bentuk-bentuk hiasan, tata warna, cara membuat dan penempatannya mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan bentuk dalam pola-pola yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari bangunan atau elemen-elemen yang memerlukan hiasan.

Ciri-ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampahkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahannya. Dalam pengertian tradisional, bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Mahabuta, apah (air/zat cair), teja (sinar), akasa (udara), pertiwi (tanah bebatuan/zat padat), unsur-unsur tersebut melatar belakangi perwujudan bentuk- bentuk hiasan.

B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Sejaah Arsitektur 1 tahun ajaran 2010/2011. 2. Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun situs – situs yang di internet.

D. Sistematika

(5)

1. BAB I merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan latar belakang, tujuan, metode pengumpulan data, landasan teori dan sistematika penulisan makalah.

2. BAB II merupakan bagian pembahasan yang menguraikan masalah yang dibahas berdasarka data dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.

4. BAB III merupakan bagian kesimpulan dan saran

BAB II ISI

(6)

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

m

Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga T

Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala S

Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu M

Konsep proporsi dan skala manusia Konsep kejujuran bahan bangunan

KONSEPSI BUDAYA TRADISIONAL BALI

Keberadaan manusia pada hakekatnya, terwujud sebagai manusia bersifat sosial dan manusia yang berbudaya, berbagai kondisi obyektif dan perjalanan historis mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan sistem sosial dan sistem budayanya secara khas, seperti misalnya sistem sosial Bali sebagai salah satu sistem sosial budaya Indonesia, diantara kebhinekaan sistem sosial yang ada di Indonesia. keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang

digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. (Astika, 1986:4). Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan

pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16). Sedangkan Meganada (1990:44),

menjelaskan budaya Bali tidak bisa lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang mempunyai tiga unsur kerangka dasar (tatwa, susila, upacara) bagi umatnya untuk mencapai tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam Weda; “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. Dalam kehidupan sehari-hari dalam pembiasan-pembiasan yang berhubungan dengan tatwa, susila, upacara, lebih mengarah pada perwujudan untuk mencapai hubungan yang harmonis manusia (bhuana alit) dengan Tuhan Yang Maha Esa (bhuana agung), melahirkan suatu adat yang banyak mencakup aspek kehidupan berupa konsepsi-konsepsi.

Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai bhuana alit dengan bhuana agung (alam semesta). Dalam kehidupan sehari-hari konsepsi ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin pada wadah

(7)

interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tesebut (Kaler, 1983:44). Konsepsi Tri Angga yang mengatur susunan unsur-unsur kehidupan

manusia di alamnya/lingkungan fisik, yaitu; utama angga, madya angga, dan nista angga. Dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tata nilai rumah maupun desa. Suatu adat atau kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama dalam perhitungan ergonomis dan estetika bentuk bangunan adalah konsepsi Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi. Dapat disimpulkan rumah arsitektur tradisional Bali yang memiliki konsepsi- konsepsi yang dilandasi agama Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan.

Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak, dan sekehe (Bappeda, 1982:30). Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut desa adat. Konsep desa di Bali memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu, yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana.

FILOSOFI PERUMAHAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI

Terwujudnya pola perumahan

tradisional sebagai lingkungan buatan sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang melandasi aspek-aspek kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan, yaitu terjadinya implikasi agama dengan berbagai kehidupan Bhuana agung (alam semesta) yang

(8)

manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita

Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang diidentifikasi; Parhyangan /Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44). kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah

lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan

menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990). Manusia (bhuana alit) merupakan

bagian dari alam (bhuana agung), selain memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu). Rahim sebagai tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut, demikian pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri Hita Karana.

Konsepsi Tri Hita Karana melandasi

terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal

(9)

yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa). Demikian pula halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal jiwa adalah sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam susunan kosmos, dapat dilihat dalam Tabel 1.

2.1.1 Konsep HIrarki Ruang (Tri Loka atau Tri Angga)

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Hita Karana adalah konsep tentang tiga sumber kebahagiaan atau keselamatan, di mana Tri berarti tiga, hita berarti senang, gembira, bahagia, lestari, dan Karana berarti sebab atau sumber. Konsep Tri Hita Karana adalah kebahagiaan akan tercipta melalui keseimbangan antara tiga buah unsur, yaitu (1) Atma: jiwa; (2) Khaya: tenaga; (3) Angga: fisik. Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali menjadi tiga komponen atau zone:

:

(10)

Madya (tengah, netral, badan) dan Utama (atas, murni, kepala)

Hubungan antara rumah tinggal tradisional Bali Madya dengan pemilik atau penggunanya, dalam konsep arsitektur tradisional Bali adalah identik dengan hubungan manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan makrokosmos (bhuwana agung).

Makrokosmos adalah ruang vertikal Tri Loka, yang terdiri dari Swah Loka (alam atas), Bwah Loka (alam tengah), Bhur Loka (alam bawah). Kesetaraannya dengan manusia sebagai unsur mikrokosmos, dijabarkan dengan tiga struktur tubuh (Tri Angga) yang terdiri dari: Kepala, badan, dan kaki.

Sedangkan dalam arsitektur rumah tinggal, Tri Angga adalah: Bagian kepala merupakan atap bangunan; Struktur badan adalah tembok dinding dan tiang (saka) bangunan; Bagian kaki adalah lantai, bebaturan dan pondasi bangunan. Hubungan harmonis antara manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan rumah sebagai unsur makrokosmos (bhuwana agung) adalah pada saat membuat ukuran-ukuran bangunan yang menggunakan metrik pemilik yang mempergunakan

bangunan.

Penerapan konsep Tri Angga pada pola ruang pemukiman, yaitu di teritorial rumah tinggal dan bangunan arsitektur adalah sebagai berikut:

(1) Dalam tata ruang area rumah tinggal, utama angga adalah pelataran pemerajan atau tempat sembahyang yang dianggap suci, madya angga adalah lokasi massamassa bangunan tempat tinggal, nista angga adalah teba, yaitu area kandang hewan, tempat pembuangan sampah/kotoran rumah tangga lainnya.

(2) Pada bangunan, utama angga atau yang dianggap kepala adalah bagian atap (rab), madya angga adalah “badan” bangunan (pengawak), dan nista angga adalah “kaki” bangunan (bebataran).

Pada bidang vertikal, seperti pada bangunan dan manusia, dengan mudah dilihat bahwa utama angga adalah bagian atas (kepala), madya angga adalah bagian tengah (badan), dan nista angga adalah bagianbawah (kaki).

(11)

Tetapi pada bidang horisontal, pembagian zone utama, madya dan nista didasari bukan oleh sumbu hierarki yang vertikal, tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi kosmologis. Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

,

Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) berorientasi pada lintasan terbit dan terbenamnya matahari dengan arah kangin sebagai nilai utama (arah terbitnya matahari) dan arah kauh sebagai nilai nista (arah terbenamnya matahari), sedangkan nilai Madya ada di tengahnya.

tt

Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut).

0 Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan menempati letak di baian Kaja (utara) mengarah ke gunung seperti : letak pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati letak bagian kelod (selatan), seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya

(12)

kangin (Timur sebagai arah terbitnya matahari–sumber kehidupan), dan zone yang dianggap nista atau bernilai rendah adalah arah kelod (menghadap laut) dan kauh (Barat).

(

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali.

2.1.2 Catuspatha

Catuspatha adalah konsep ruang kosong di tengah-tengah pertemuan sumbu orientasi kosmologis (kaja-kelod) dan tata nilai ritual (kangin-kauh) pada pola ruang masyarakat tradisional Bali. Area pertemuan sumbu kaja-kelod dan kangin-kauh di tengah-tengah dibiarkan kosong karena nilai pusat dianggap kosong (pralina) sebagai simbol pusat kekuatan yang Maha Sempurna.

Penerapan konsep catuspatha pada pola ruang area rumah tinggal tradisional Bali adalah adanya ruang kosong (halaman tengah/inner court) di tengah-tengah sebagai area pertemuan sumbu kaja-kelod-kangin-kauh, yang pada area rumah tinggal disebut natah. Karena area pusat ini dinilai paling tinggi sebagai simbol yang Maha

(13)

Sempurna, maka semua bangunan di zone arah kaja-kelod-kangin-kauh dibuat menghadap area tengah. Di masing-masing sudut perempatan, disediakan tanah kosong (Karang Tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai “ruang terbuka hijau”. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang Desa.

Gambar 5.7 : Aplikasi konsep Catuspatha pada bangunan rumah tinggal Bali Madya

2.1.3 Konsep Orientasi Kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala

Konsep sangamandala adalah pengembangan dari kombinasi konsep Tri Angga dan Catuspatha. Konsep sangamandala adalah pembagian ruang ke dalam 9 zone yang lahir dari aplikasi konsep Tri Angga dalam bidang vertikal dan horisontal, di mana ruang di tengah-tengah sebagai pusat dan simbol sumber kekuatan dibiarkan

(14)

kosong (konsep catuspatha). Konsep Tri Angga membagi bidang atau sumbu vertikal orientasi kosmologis kaja-kelod dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista, sementara bidang atau sumbu horisontal orientasi tata nilai sakral kangin-kauh juga dibagi dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista. Kombinasi pembagian bidang vertikal dan horisontal ke dalam 3 zone ruang yang hirarkis, secara keseluruhan, menghasilkan 9 zone ruang.

Kesembilan bagian tersebut merangkum semua kegiatan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, yang menjadi satu-kesatuan utuh dan saling berhubungan pada masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut. Artinya seluruh kegiatan keluarga dapat dilakukan dalam satu lingkungan rumah di dalam penyengker yang cukup luas.

(15)

Gambar 3. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah Sumber: Eko Budihardjo (1986).

Konsep ruang Sanga mandala adalah konsep ruang yang dibagi menjadi sembilan bagian area (pah pinara sanga sesa 1, 2, 3, dst.), artinya ruang dibagi sembilan dan disisakan satu, dua, atau tiga bagian, dan seterusnya pada bagian luar sebelah kiri. Bagian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, yaitu: Nista, Madya dan Utama.

Aplikasi Konsep Ruang Sanga Mandala pada rumah tinggal tradisional Bali Madya

a. Nista, merupakan area tiga kelompok ruang yang berada di sebelah kiri, meliputi bangunan

kandang dan angkul-angkul, serta sebagian bale dauh dan paon.

b. Madya merupakan area ruang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti untuk melakukan upacara adat dan keagamaan. Kelopok ruang madya yang

(16)

merupakan ruang bagian tengah, meliputi bangunan tempat suci Penunggun Karang, natah (halaman), jineng (lumbung) dan bangunan angkul-angkul (pintu keluar-masuk halaman).

c. Utama merupakan area ruang tempat suci (sanggah/ merajan).

Gambar ini memperlihatkan pembagian area berdasarkan tata nilai ruang: Nista, Madya, Utama. Area utama terletak pada tiga area di pojok kanan atas area mandya berada di tengah dan area nista berada pada pojok kiri bawah. Sesa 1, 2, 3, dst berada pada area paling kiri.

2.1.4 Konsep Proporsi dan Skala Manusia

Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh

penghuni/kepala keluarga, seperti tangan, kaki dan lainnya. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

(17)

Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan Sumber: Adhika (1994).

2.2 ASPEK-ASPEK ARSITEKTUR BALI 1. Aspek Sosial

Dalam pandangan masyarakat Bali konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu: pertama, territorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekalan.

(Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa dengan desa adat di Bali adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta merupakan persekutuan hidup sosial, dalam keadaan senang maupun susah, berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah (Agung, 1984: 18-29;

Covarrubias, 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga tradisional merupakan bagian desa juga memiliki tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan tiga berupa fasilitas lingkungan berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat pertemuan, kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar. (Adhika, 1994:2). Dari kesatuan wilayah, tidak ada ketentuan satu desa dinas terdiri beberapa desa adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi. Variasinya cukup beraneka ragam dan kompleks, antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat, 2). Satu

(18)

desa dinas mencakup beberapa desa adat, 3). Satu desa adat mencakup beberapa desa dinas, 4). Kombinasi 2 dan 3. Untuk memproleh pengertian tentang komunitas masyarakat Bali, maka penggambaran tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut aspek-aspek sebagai berikut: legitimasi, atribut- atribut dan ciri khusus.

a. Legitimasi

Disamping adanya pengakuan formal, maka legitimasi suatu komunitas berkembang pula dikalangan warga menurut persepsinya dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta dan terkait kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa kepribadian kelompok, 3). Adanya pola hubungan yang bersifat intim dan cendrung bersifat suka rela, 4). Adanya suatu tingkat penghayatan dari sebagian besar lapangan kehidupannya secara bulat. Beberapa syarat pokok terbentuknya desa adat, yaitu: 1). Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut dengan palemahan desa atau tanah desa, 2). Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem

kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada orang yang telah makurenan (berumah tangga) dan bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat untuk menjadi krama banjar (Anonim, 1983), 3). Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang disebut kahyangan tiga, 4). Adanya suatu pemerintahan adat yang berlandasan pada

aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa. (Bappeda, 1982:31). b. Atribut Desa Adat

Atribut pokok dari suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali tersimpul dalam konsepsi Tri Hita Karana sebagai berikut: 1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh, Bale Agung dan pura dalem. Untuk satuan banjar yang merupakan sub bagian desa terdapat fasilitas umum berupa Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul dan pura banjar.

2. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti adakah setiap pasangan suami istri yang telah berkeluarga. Menurut jumlah anggotanya, banjar di Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila jumlah anggotanya lebih dari 50 kuren (kepala keluarga), banjar kecil bila

anggotanya lebih sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif dalam desa adat di Bali adalah sekitar 200 KK setiap banjar. Maka bila rata-rata masing-masing KK ada lima orang maka setiap banjar (penyatakan) terdiri sekitar seribu jiwa. Penelitian Prof.

(19)

Antonic terhadap desa-desa adat dan dinas di Bali menyimpilkan besaran efektif untuk sebuah desa adalah lima ribu jiwa (Bappeda, 1976:14).

3. Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang merupakan tempat perumahan warga desa. Perumahan berada pada kedua belah sisi megikuti pola jalan, Bale Banjar sebagai fasilitas sosial umumnya terletak pada posisi yang strategis, seperti pada satu sudut persilangan atau pertigaan jalan di tengah-

tengah lingkungan bajar (Putra, 1988). Disamping atribut pokok tersebut, masih perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan pelayanan desa yang menjadi simbol suatu komunitas masyarakat Bali yang terwujud sebagai Desa adat, yaitu: 1). Balai Pertemuan (Banjar) tempat terselenggaranya rapat-rapat desa, 2). Kuburan desa yang biasanya terletak berdekatan dengan pura dalem, 3). Perempatan Desa merupakan tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai tempat upacara, 4). Tata susunan perumahan yang mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu: Utama, Madya, dan Nista. Desa adat sebagai suatu komunitas dengan fokus fungsinya dibidang adat dan agama, seperti; upacara Odalan, Galungan, Nyepi (Tawur Kesanga), sedangkan dalam skala banjar adat, seperti; pemeliharaan pura, upacara

perkawinan, kematian dan membangun rumah. Dalam menjalankan fungsinya itu, tiap-tiap desa adat mempunya kedudukan yang otonom, dalam arti tiap desa adat berdiri sendiri menuruti aturan- aturan (awig-awig desa). Bidang pemerintahan berada di tangan urusan desa dinas, menangani fungsi, antara lain: administrasi pemerintahan, pembangunan desa, upacara nasional serta keamanan desa. Dalam hal kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas.

2. Aspek Simbolik

Aspek simbolik pada perumahan adalah berkenaan dengan orientasi kosmologis. Kegiatan masyarakat Bali pada umumnya dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang bersifat sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan yang bersifat profan (berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat). Penempatan kegiatan tersebut dibedakan berdasarkan orientasi kesakralannya. Elemen-elemen ruang yang dijadikan indikator kesakralan perumahan adalah: 1). Sumbu perumahan berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang utama pada perumahan, 2). Lokasi pura puseh (pura leluhur), 3). Lokasi pura dalem (pura kematian), dan 4). Bale Banjar. Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan dapat mengarah: 1. Ke arah gunung atau tempat yang tinggi dimana arwah leluhur bersemayam. 2. Sumbu jalan

(20)

(kaja-kelod) yang menuju ke dunia leluhur yang bersemayam di gunung (kaja). 3. Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya. 4. Arah kaja kangin yaitu arah ke

gunung Agung. Sanga Mandala yang dilandasi konsep Nawa Sanga adalah konsep tradisional yang didasarkan pada orientasi kosmologis masyarakat Bali sebagai pengejawantahan cara menuju ke kehidupan harmonis (Budihardjo, 1968). Nawa sanga menunjuk ke arah delapan penjuru angin ditambah titik pusat di tengah. Dari kesembilan orientasi ini yang paling dominan adalah orientasi dengan gunung-laut dan sumbu terbit-terbenamnya matahari. Daerah yang paling sakral selalu

ditempatkan pada arah gunung (kaja-kangin), sedang daerah yang sifatnya profan ditempatkan pada arah yang menuju ke laut (kelod-kauh). Berdasarkan urut-urutan tingkat kesakralan, dari paling sakral ke paling profan elemen bangunan rumah diurutkan sebagai berikut: Sanggah (pura rumah tangga),

pengijeng, Bale adat bale gede, meten, bale (ruang serba guna), pawon (dapur), jineng (lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang). (Parimin, 1968).

3. Aspek Morpologis

Kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga)

peruntukan, yaitu: peruntukan inti, peruntukan terbangun, dan peruntukan pinggiran (lihat Gambar. 7). Peruntukan inti pada perumahan yang berpola linear terletak pada sumbu jalan menyatu dengan peruntukan terbangun, atau pada jalan utama yang menuju ke pura desa. Pada perumahan yang berpola perempatan (Catur patha) peruntukan inti berada pada persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti

umumnya bangunan yang memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng (lumbung desa), Bale banjar dan

Wantilan (Parimin, 1968:91). Peruntukan terbangun adalah merupakan wilayah lama, berupa bangunan perumahan yang dibangun pada awal terbentuknya rumah tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan inti. Peruntukan pinggiran adalah wilayah yang

terletak di luar wilayah terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa adat. Beberapa desa adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.

4. Aspek Fungsional

Aspek fungsional adalah fungsi elemen ruang dalam kaitannya dengan orientasi kosmologis, yang tercermin pada komposisi dan formasi ruang. Dari konsep Sanga

(21)

Mandala yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik dalam skala rumah dan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen peruntukan didasarkan atas tingkat sakral dan profan. Elemen ruang yang paling sakral seperti

Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen sakral (utama), yaitu kaja-kangin. Meten (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan pada segmen madya, kandang ternak atau kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala

permukiman, penerapan konsep Sanga

Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu: a. Pola Perempatan (Catus Patha)

Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut).

b. Pola Linear

Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum, seperti dijelaskan Gambar 9. Pola linear pada umumnya terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng diatasi dengan terasering.

c. Pola Kombinasi

Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan pola linear. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian sistem linear. Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah- tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar 10. Pola tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada pola

(22)

Bali mempunyai pola tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat diklasifikasikan dalam 2 type, yaitu:

1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang

dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di daerah pegunungan yang membentang membujur di tangah- tangah Bali, sebagian

beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah dan Bugbug (di Karangasem).

2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang banyak dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar di dataran bagian selatan Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type pertama. Ciri utama

perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang

mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah Utara- Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-Barat (Parimin, 1986)

Gambar 7. Morfologi Perumahan Tradisional Bali. Sumber: Ardi P. Parimin (1986).

(23)

Gambar 8. Pola Perempatan (Catus patha) Perumahan Tradisional Bali. Sumber: Eko Budiharjo (1986).

(24)

Gambar 9. Pola Linear Perumahan Tradisional Bali Sumber: Eko Budiharjo (1986).

Gambar 10. Pola Kombinasi Perumahan Tradisional Bali Sumber: Eko Budiharjo (1986).

2.3 ORNAMEN ARSITEKTUR BALI FLORA

(25)

Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Ceritera-ceritera pewayangan,legenda dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan atau pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya.

Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau pendekatan bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan dengan macam-macam ungkapan masing-masing.

Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan keadaannya.

1. Keketusan

Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Keketusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis berdaun lebar dengan lengkung-lengkung keindahan. Keketusan wangga umumnya ditatahkan pada bidang-bidang luas atau peperadaan lukisan cat perada warna emas pada lembar-lembar kain hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-tumbuhan jalar atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan sulur-sulur di sela-sela bunga-bunga dan dedaunan.

2. Kekerangan

Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan.

(26)

serupa dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan pada bangunan bade wadah, bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya.

Pura Bukit Dharma

• Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.

Pura Kediri • Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai bersayap garuda. Karangan suring yang diukir dalam-dalam, memungkinkankan karena tiang tugeh bebas beban.

(27)

Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang atau jenis fauna yang dikarang keindahannya.

3. Pepatraan

Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-patern yang disebut Patra atau Pepatraan. Pepatraan yang juga banyak didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora menamai pepatraan dengan jenis flora yang diwujudkan Pepatraan yang memakai nama yang memungkinkan kemungkinan negara asalnya ada pula yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu. Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat pula diwujudkan dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas yang kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam penterapannya dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman Sangging yang merancang tanpa meninggalkan pakem-pakem identitasnya.

- Patra Wangga

Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur di selas-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong kekerasan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagian-bagian keindahannya.

(28)

Pura Kediri - Patra Sari

Bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-linggar balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun-daun dan bunga-bunga dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra sari dapat digunakan pada bidang-bidang lebar atas, daun umumnya untuk bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena lingkar-lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.

(29)

Pura Bukit Dharma

- Patra Bun-Bunan

Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuh-tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun dan bunga di rangkai batang jalar. Dapat pula divariasi dengan julur-julur dari batang jalar.

- Patra Pidpid

Juga melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan daun-daun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang dilukiskan penempatannya pada bidang-bidang sempit.

- Patra Punggel

Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada

(30)

yang disebut batu pohon kupil guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola patern patra punggel merupakan pengulangan dengan lengkung timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atap berguna. Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-bidang lebar atau bervariasi/ combinasi dengan patra lainnya.

Patra Punggel merupakan patra yang paling banyak digunakan. Selain bentuknya yang murni sebagai Patra Punggeh utuh. Patra Punggel umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan (patra-patra dari jenis fauna) sebagai hiasan bagian (lidah naga patra punggel api-apian), ekor singa, dan hiasan-hiasan. Untuk patra tunggal puncak atap yang disebut Bantala pada atap yang bukan berpuncak satu. Untuk hiasan atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan motif-motif Kusuma Tirta Amertha Murdha Bajra yang masing-masing juga dilengkapi dengan patra punggel sebagai hiasan bagian dari Karang Goak di sudut-sudut alas Murdha.

(31)

Pura Kediri - Patra Samblung

Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk patern yang disebut Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dan daun-daun dihias lengkung-lengkung harmonis.

Serupa dengan Patra Samblung ada patra Olanda, Patra Cina, Patra Bali masing-masing dengan nama kemungkinan negara asalnya. Ada pula patra Banci yang bervariasi dari gabungan patra yang dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan mewujudkan identitas baru.

- Patra Pae

Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Pura Kediri

- Patra Ganggong

Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

(32)

Pura Bukit Dharma - Patra Batun Timun

Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan diagonal berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-bentuk para mas-masan setengah bidang.

- Patra Sulur

Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun, berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang.

Pura Bukit Dharma Arti dan Maksud

Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi merupakan maksud dan arti ragam hias pada bangunan-bangunan, peralatan dan perlengkapan.

1. Ragam hias untuk keindahan

(33)

suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan lebih indah dan menyegarkan pandangan.

2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis

Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna juga merupakan simbol arah orientasi, merah untuk warna kelod, kuning untuk warna kauh atau barat putih untuk warna kangin atau timur, hitam untuk warna kaja dan penyatuan dua bersisian untuk arah sudut.

3. Ragam hias sebagai alat komunikasi

Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan-bangunan tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan yang dikenakan. Hiasan serba putih pada wade wadah yang menunjukkan fungsinya.

(34)

FAUNA

Dijadikan materi hiasan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan atau pepulasan. Penterapannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya. Pada beberapa bagian keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan.

Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang bercariasi dari berbagai macam binatang. Hiasan fauna pada penempatannya umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan.

Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil jenis-jenis kera dan ceritera ramayana. Parung-patung sebagai souvenir umumnya mengambil bentuk-bentuk garuda, naga, singa, kuda, kera, sapi dan binatang ternak lainnya.

Ukiran fauna pada bidang relief di dinding, panil atau bidang-bidang ukiran lainnya umumnya menterapkan ceritra-ceritra rakyat legenda tantri dari dunia binatang. Penampilan fauna dalambentuk-bentuk patung-patung bercorak expresionis pada kekarangan bercorak abstrak dan realis pada relief.

Fauna sebagai hiasan dan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual ditampilkan dalam bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corak magic, lengkap dengan huruf-huruf simbol mantra-mantra Fauna sebagai elemen bangunan yang juga berfungsi sebagai ragam hiasan di kenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk-bentuk garuda, singa bersayap atau bentuk-bentuk lainnya.

(35)

2.2.1. NAMA

Ragam hias dari jenis-jenis faunda ditampilkan sebagai materi hiasan dalam berbagai macam dengan namanya masing-masing. Bentuk-bentuk penampilannya berupa patung. Kekarangan atai relief-relief yang dilengkapi pepatraan dari berbagai jenis flora.

1. Kekarangan

Penampilannya expresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang diexpresikan secara abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk-bentuk binatang gajah atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayal primitif lainnya dinamai dengan nama-nama binatang yang dijadikan bentuknya.

- Karang Boma

Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lengkap dengan hiasan dan mahkota, diturunkan dari ceritra Baomantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan tang dari pergelangan ke arah jari dengan jari-jari mekar. Karang Boma umumnya dilengkapi dengan patra bun-bunan atau patra punggel. Ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu dari Kori Agung.

(36)

- Karang Sae

Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi runcing. Karang sae umumnya dilengkapi dengan tangan-tangan seperti pada karang boma. Penampilannya dilengkapi dengan hiasan flora patra punggel dan patra bun-bunan. Hiasan karang sae ditempatkan di atas pintu Kori atau pinti rumah tinggal dan juga pada beberapa tempat lainnya.

- Karang Asti

Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabtrakkan sesuai dengan seni hias yang diexpresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora Patra Punggel melegkapi ke arah sisi pipi asti. Sesuai kehidupannya gajah di tanah karang asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah.

(37)

- Karang Goak

Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula karang manuk karena serupa pula dengan kepala ayam dengan penekanan pada paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap, hiasan Karangmanuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai hiasan bagian pipi dan kepalanya dilengkapi dengan hiasan patra punggel. Karang Goak umumnya disatukan dengan karang Simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah Karang Goak.

(38)

- Karang Tapel

Serupa dengan Karang Boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya dengan bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat dengan hidung kedepan, lidah terjulur yang diambil dari jenis-jenis muka yang galak. Hiasan kepala dan pipi mengenakan Patra Punggel. Ke arah bawah kepala karang simbar dari jenis flora yang disatukan. Karang tapel ditempatkan sebagai hiasan peralihan bidang di bagian tengah.

- Karang Bentulu

Bentuknya serupa dengan Karang Tapel lebih kecil dan lebih sederhana. Tempatnya di bagian tengah atau bagian pada peralihan bidang di bidang tengah. Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas gigi datar taring runcing lidah terjulur. Hanya bermata satu di tengah tanpa hidung. Hiasan kepala dan pipi Patra Punggel yang disatukan merupakan suatu bentuk kesatuan Karang Bentulu.

Bentuk-bentuk karangan lainnya. Karang Simbar dari jenis flora, Karang Batu dari jenis bebatuan, Karang Bunga dari bunga jenis flora sebagai hiasan-hiasan sudut, tepi atau peralihan bidang yang berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.

2. P a t u n g

Untuk patung-patung hiasan permanen umumnya mengambil bentuk-bentuk dewa-dewa dalam imajinasi manifestasinya, manusia dari dunia pewayangan, raksasa dalam expresi wajah dan sifatnya dan binatang dalam berbagai bentuknya. Benda-benda souvenir dari kerajinan seni ukir ada pula yang mengambil bentuk-bentuk binatang yang umumnya realis naturalis.

Patung-patung dari jenis-jenis fauna yang dijadikan hiasan atau sebagai elemen bangunan umumnya merupakan patung-patung expresionis yang dilengkapi dengan elemen-elemen hiasan dari

(39)

jenis-jenis pepateraan.

Patung-patung dari jenis raksasa untuk elemen-elemen hiasan yang seakan yang seakan berfungsi untuk menertibkan. Patung-patung modern ada pula yang kembali ke bentuk-bentuk primitip untuk elemen penghias atau taman atau ruang. Penempatannya pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak atap. Sesungguhnya tiang tugeh bebas beban sehingga memungkinkan ukiran patung Garuda sebagai alas penyenggahnya. Untuk fungsinya sebagai penyanggah tiang tugeh bahannya dari kayu yang diselesaikan tanpa atua dengan pewarnaan. Sesuai dengan penempatannya sebagai sendi tugeh umumnya merupakan Garuda tunggal yang besarnya sekitar empat kali tebal tiang.

Patung Garuda yang difungsikan sebagai hiasan ruang umumnya lengkap dengan pijakan Naga atau Kura-kura dan naga serta awatara Wisnu sebagai pengendaraannya. Patung garuda sebagai hiasan simbolis pada bangunan Padmasana ditempatkan pada bagian sisi ulu batur sari dengan sikap tegak terbang. Di atas Patung garuda dilengkapi dengan Patung Angsa, juga dalam posisi terbang melayang. Masing-masing dengan filosofi yang mendukung perwujudan Padmasana. Patung Garuda Wisnu juga diwujudkan untuk pratima yang disakralkan berfungsi ritual. Untuk benda-benda souvenir sebagai kerajinan seni ukur Patung Garuda diwujudkan dalam berbagai variasi dan dimensi dari sebesar biji catur sampai setinggi orang tanpa atau dengan pewarnaan.

- Patung Singa

Wujudnya singa bersayap yang juga disebut Singa Ambara Raja. Dalam keadaan sebenarnya tidak bersayap. Patung Singa bersayap untuk keagungan keadaan sebenarnya tidak bersayap. Patung singa difungsikan juga untuk sendi alas tugeh seperti patung Garuda. Bahannya dari kayu jenis kuat, keras dan awet. Patung singa digunakan pula untuk sendi alas

(40)

tiang pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan bahan dari batu padas keras, atau batu karang laut yang putih masif dan keras. Patung singa bersayap juga dibuat sebagai kerajinan seni ukur untuk benda-benda souvenir dari ukuran kecil untuk hiasan meja sampai ukuran besar untuk hiasan ruang. Bahannya dari batu padas kelabu atau kayu jenis keras yang awet, tanpa atau dengan pewarnaan.

Patung-patung singa bersayap ada pula yang disakralkan untuk Pratima sebagai simbol-simbol pemujaan. Untuk petualangan sebagai tempat-tempat pembakaran mayat dalam upacara ngaben selain patung lembu, patung singa juga dipakai dengan perwujudan dan hiasan sementara yang ikut terbakar bersama pembakaran mayat di badan Petualangan Patung Singan.

Pura Bukit Dharma - Patung Naga

Perwujudan Ular Naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong leher anting-anting telingan rambut terurai, rahang terbuka taring gigi runcing lidah api bercabang. Patung Naga sikap tegak bertumpu pada dada, ekor menjulang

(41)

ke atas gelang dan permata di ujung ekor. Patung naga sebagai penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga menghadap ke depan lekuk-lekuk ekor mengikuti tingkat-tingkat tangga ke arah atas. Pemakaian patung Naga.

Dalam fungsinya sebagai hiasan dan stabilitas losofis, Patung Naga yang membelit Bedawang kura-kura raksasa ditempatkan pada dasar Padmasana (gb. 107 a.b) Bedawang Naga juga sebagai dasar Meru seperti tumpang 11 di Pura Kehen Bangli. Untuk bale wadah pada upacara Ngaben bagi satria tinggi juga memakai Bedawang Naga sebagai dasar Bade wadah yang disebut Naga Badha.

Untuk fungsi ritual Patung Naga bersayap juga digunakan untuk pratima sebagai simbol pemujaan yang disakralkan. Sebagai benda-benda souvenir kerajinan seni ukur juga membuat patung-patung Naga dalam ukuran kecil atau besar yang umumnya disatukan dengan patung Garuda atau Garuda Wisnu yang berpijak pada belitan Bedawang Naga.

Pura Bukit Dharma - Patung Kura-Kura

Perwujudan melukiskan Kura-kura raksasa yang disebut Bedawang, sebagai simbol kehidupan dinamis yang abadi.

Keempat kakinya berjari lima kuku runcing menerkam tanah. Kepalanya berambut api hidung mancung, gigi kokoh datar

(42)

bertaring runcing mata bulat. Wajah angker memandang ke arah atas depan berpandangan dengan Naga yang membelitnya. Kepala Naga di atas kepala bedawang dalam posisi berpandangan galak dinamis.

Pemakaian Bedawang tidak berdiri sendiri, selalu merupakan kesatuan berbelit dengan Naga atau Bedawang Naga sebagai pijakan Garuda yang dikendarai awataran Wisnu. Garuda dan Bedawang merupakan kesatuan dalam mitologi yang membawakan filosofi kehidupan ritual.

- Patung Kera

Perwujudannya merupakan kera-kera yang diekspresikan dilukiskan dalam ceritera ramayana. Patung-patung anoman (gb. 207/atas), Subali, Sugriwa merupakan patung-patung kera yang banyak dipakai hiasan sebagai bagian dari bangunan seperti pemegang alas tiang jajar bangunan pelinggih. Untuk hiasan terlepas pada bangunan juga banyak digunakan patung kera dalam bentuk realis dengan bahan kayu atau sabut kelapa untuk dibuat benda-benda souvenir

Arti dan Makna

Ragam hias dari jenis-jenis fauna selain fungsinya sebagai hiasan juga mengandung arti dan maksud-maksud tertentu untuk beberapa macam hiasan. Pemakaian bahan proses pembuatan dan bentuk-bentuk penampilan membawakan identitas pemakaiannya sebagai ragam hias. Penghias ruang menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan ataupun di abstrakkan. Singa bersayap, Garuda bertangan, Gajah bermata bulat dengan deretan ggi rata kura-kura berambut api bentuk-bentuk perwujudan lainnya sesungguhnya tidak ada fauna yang sama seperti itu. Variasi penampilannya untuk keindahan komposisi expresi dan keserasian.

Pepatraan dari jenis-jenis flora yang melengkapi jenis-jenis fauna untuk keharmonisan kesatuan penampilan beberapa bagian bentuk hiasan. Untuk keindahan karakter penampilan sikap-sikap fauna sebagai ragam hias

(43)

diexpresikan dengan kesan galak, angker atau agung mempesona.

2. Fauna sebagai simbol ritual

Penampilannya dalam huungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Bedawang naga sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan di bumi dijadikan dasar padmasana atau bade wadah. Garuda wisnu sebagai simbol kesetiaan keyakinan dan ketangguhan. Singa ambara atau singa bersayap sebagai simbol ketangkasan dan kekuasaan. Angsa dan burung merak pada patung Saraswati masing-masing sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi.

3. Fauna sebagai media ejukatif

Ragam hias dari jenis-jenis fauna yang ditirukan dari bagian-bagian ceritra tantri sebagai legenda yang telah memasyaratkan mengandung arti dan maksud ejukatif konstruktif. Penampilan singa dan lembu dari persahabatan jadi permusuhan akibat fitnah anjing ki Patih Sembade. Mengajarkan agar kita jangan muda diadu dengan cara berbagai bentuk fitnah.

Penampilan cangak meketu sebagai Padandabaka atau bangau yang menyamar sebagai pendeta menipu ikan-ikan untuk dijadikan mangsanya membawa maksud untuk mengingatkan agar kita waspada terhadap segala bentuk penipuan yang berpura-pura baik. Waspada seperti kepiting yang tenang dengan mata menonjol siap menghukum penipu menyepit leher bangau.

(44)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur tradisional di mana material alam merupakan “zat hidup” yang harus diperlakukan dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya.

3.2 Saran

Sebaiknya arsitektur nusantara Bali harus dilestarikan, sebab arsitektur Bali merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia yang memiliki cirri khas yang berbeda dengan arsitektur yang ada di daerah lain. Dengan ini diharapkan agar arsitektur Bali mendapat perhatian dari banyak pihak baik itu pemerintah,

(45)

Gambar

Gambar 5.7 : Aplikasi konsep Catuspatha pada bangunan rumah tinggal Bali Madya
Gambar 3.  Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah  Sumber: Eko Budihardjo (1986).
Gambar ini memperlihatkan pembagian area berdasarkan tata nilai ruang: Nista,  Madya, Utama
Gambar  7.   Morfologi Perumahan Tradisional Bali.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pembandingan berupa pengukuran dan penyajian dampak keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang serupa , antar periode entitas syari’ah yang sama, untuk entitas syari’ah

Dengan adanya sistem pemanfaatan cloud accounting untuk training online Web-Based Accounting System (WBAS) jurusan akuntansi akan memudahkan peserta training maupun

Pada awal tahun rencana tahun 2008 sampai tahun 2027, nilai DS untuk overpassnya belum melampaui nilai DS maksimum untuk ruas jalan tetapi pada tahun 2028 nilai DS untuk

Dalam penelitian ini penulis mengemukakan anggapan dasar yaitu, kemampuan siswa dalam menguasai verba (doushi) dapat ditingkatkan dengan latihan menggunakan gesture, karena

Melihat berbagai hasil evaluasi yang baik dari pelaksanaan program manajemen pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas melalui pelayanan keperawatan kesehatan jiwa

Oil seal berfungsi mencegah kebocoran pada sistem hidraulik harus selalu diperiksa secara bekala. Oil seal pada bagian silinder tenaga adalah yang paling kritis,

Suatu konsep dasar pemograman atau juga yang di sebut dengan PERULANGAN adalah suatu cara untuk mengulang satu atau sekumpulan perintah sampai mencapai kondisi

Tahapan dan teknis pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat berupa ‘Penataan Bale Kulkul, Banjar Kerta Ampura, Desa Pakraman Perasi, Desa Pertima, Kecamatan