1
HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN KEBIASAAN ORANG TUA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TRAJI KABUPATEN TEMANGGUNG
Julia Nur Adnin Janati 1) dan Arum Siwiendrayanti 2)
1) Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan 2) Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang
INFO ARTIKEL :
Diterima Januari 2017 Disetujui Maret 2017 Dipublikasikan Juni 2017 ABSTRACT
Acute Respiratory tract Infections (ARI) is a disease that many found in toddlers and children start from mild to severe ARI. Important factors are the cause of the occurrence of ARI is physical conditions home (extensive ventilation, humidity, density of occupants, natural lighting, temperature). The purpose of this research is to know the relation of physical environmental conditions home and parents habits with occurrence of ARI on toddlers in the region Traji’s clinic District Temanggung. The type and design in this research is a case control. The samples of this research are 27 cases and 27 controls. The analysis using statistical test of chi square. From the results of the research there is a known relationship between natural lighting room (p=0,002;OR=7,480), spacious room ventilation (p=0.001;OR=9,775), air humidity
rooms (p=0,026;OR=4,357), the presence of smokers in the home
(p=0,029;OR=4,038), and the habit of opening the window (p=0,029;OR=5,500) and the incidence of ARI on toddlers. There is no connection between the room air temperature (p=0,271;OR=2,154), room occupancy density (p=0,173;OR=2.473) and cooking fuel use (p=0,569;OR=1,633) and the incidence of ARI on toddlers.
Keywords: ARI; Physical Environment of House; Toddlers ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada balita dan anak-anak mulai dari ISPA ringan sampai berat. Faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya ISPA yaitu kondisi fisik rumah (luas ventilasi, kelembaban udara, kepadatan penghuni, pencahayaan alami, suhu). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dan kebiasaan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Jenis dan rancangan pada penelitian ini adalah case control. Sampel dalam penelitian ini adalah 27 kasus dan 27 kontrol. Analisis dilakukan dengan menggunakan statistik uji chi square. Hasil penelitian diketahui ada hubungan antara pencahayaaan alami kamar (p=0,002;OR=7,480), luas ventilasi kamar
PENA MEDIKA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEKALONGAN http://jurnal.unikal.ac.id/index.php/medika ISSN : 2086-843X
2
(p=0,001;OR=9,775), kelembaban udara kamar (p=0,026;OR=4,357), keberadaan perokok dalam rumah (p=0,029;OR=4,038) dan kebiasaan membuka jendela (p=0,029;OR=5,500) dengan kejadian ISPA pada balita. Tidak ada hubungan antara suhu udara kamar (p=0,271;OR=2,154), kepadatan hunian kamar (p=0,173;OR=2,473) dan penggunaan bahan bakar memasak (p=0,569;OR=1,633) dengan kejadian ISPA pada balita.
Kata Kunci : Balita; ISPA; dan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan andeksanya, seperti sinus, rungga telinga tengah, dan pleura. ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada balita dan anak-anak mulai dari ISPA ringan sampai berat. ISPA yang berat jika masuk kedalam jaringan paru-paru akan menyebabkan Pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kematian terutama pada anak-anak.
WHO memperkirakan angka kematian balita akibat ISPA di negara berkembang sebanyak 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% per tahun pada usia balita. Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak di dunia meninggal setiap tahunnya dan sebagian
besar kematian tersebut terjadi di negara berkembang dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh kurang lebih 4 juta anak setiap tahun.
Di Indonesia ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Menurut hasil Riskesdas 2013,
period prevalence pneumonia
berdasarkan diagnosis selama 1 bulan sebelum wawancara sebesar 0,2%. Sedangkan berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 1,8%. Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 yang sebesar 2,13%, period prevalence pneumonia berdasarkan diagnosis/gejala pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 1,8%. Pada balita, period prevalence berdasarkan diagnosis sebesar 2,4 per 1.000 balita dan berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 18,5 per 1.000 balita. Karakteristik penduduk dengan ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%).
Survey mortalitas yang telah dilakukan oleh Subdit ISPA pada tahun
3 2013 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase sebesar 32,10% dari seluruh kematian balita, sedangkan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 28% pada tahun 2012 dan 27,2% pada tahun 2013.
Di Jawa Tengah penemuan dan penanganan penderita ISPA pada balita tahun 2014 sebanyak 71.451 kasus (26,11%) meningkat dibanding tahun 2013 sebanyak 55.932 kasus (25,85%). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung menunjukkan bahwa pada tahun 2013 penderita ISPA. sebanyak 31,56% yaitu terdapat 1563 kasus. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah penderita meningkat menjadi 34,87% yaitu sebanyak 1.584 kasus.
Berdasarkan data profil kesehatan, Puskesmas Traji menempati urutan pertama dengan penderita ISPA pada balita pada tahun 2014 yaitu sebanyak 187 kasus jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun 2013 yaitu sebanyak 114 kasus.
Faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya ISPA yaitu faktor kondisi fisik rumah (luas ventilasi, kelembaban udara, kepadatan penghuni, pencahayaan alami, suhu). Jendela
rumah berfungsi sebagai ventilasi, merupakan tempat keluar masuknya udara. Selain itu jendela juga berfungsi untuk tempat masuknya cahaya matahari. Ventilasi sangat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Namun hal ini tidak akan berfungsi dengan baik apabila ventilasi tersebut berupa jendela namun tidak pernah dibuka.
Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran udara didalam rumah seperti asap rokok dan asap bahan bakar kayu. Kebiasaan merokok anggota keluarga dan kebiasaan menggunakan bahan bakar kayu dapat berdampak negatif bagi kesehatan keluarga khususnya balita. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia (radang paru-paru) sering terjadi pada anak-anak terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak sehat.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian tetang “Hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dan kebiasaan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
4 kondisi lingkungan fisik rumah dan kebiasaan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung.
sebanyak 31,56% yaitu terdapat 1563 kasus. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah penderita meningkat menjadi 34,87% yaitu sebanyak 1.584 kasus.
Berdasarkan data profil kesehatan, Puskesmas Traji menempati urutan pertama dengan penderita ISPA pada balita pada tahun 2014 yaitu sebanyak 187 kasus jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun 2013 yaitu sebanyak 114 kasus.
Faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya ISPA yaitu faktor kondisi fisik rumah (luas ventilasi, kelembaban udara, kepadatan penghuni, pencahayaan alami, suhu). Jendela rumah berfungsi sebagai ventilasi, merupakan tempat keluar masuknya udara. Selain itu jendela juga berfungsi untuk tempat masuknya cahaya matahari. Ventilasi sangat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Namun hal ini tidak akan berfungsi dengan baik apabila ventilasi tersebut berupa jendela namun tidak pernah dibuka.
Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran udara didalam rumah seperti asap rokok dan asap bahan bakar kayu. Kebiasaan merokok anggota keluarga dan kebiasaan menggunakan bahan bakar kayu dapat berdampak negatif bagi kesehatan keluarga khususnya balita. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia (radang paru-paru) sering terjadi pada anak-anak terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak sehat.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian tetang “Hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dan kebiasaan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dan kebiasaan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung.
METODE
Jenis dan rancangan sampel pada penelitian ini adalah case control. Populasi kasus dalam penelitian ini
5 adalah semua balita yang menderita ISPA ringan yang berjumlah 187 balita dan populasi kontrol dalam penelitian ini adalah semua balita yang menderita diare yang berjumlah 122 balita. Sampel dalampenelitian ini adalah 27 kasus dan 27 kontrol. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
purposive sampling. Variabel dalam
penelitian ini meliputi luas ventilasi, kepadatan hunian, suhu, kelembaban, pencahayaan, keberadaan perokok dalam rumah, jenis bahan bakar memasak dan kebiasaan membuka jendela.
Data yang dikumpulkan adalah data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung dan Puskesmas Traji. Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian yaitu dengan wawancara dan obervasi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 4 in 1 envirometer
yang digunakan untuk mengukur pencahayaan, suhu, dan kelembaban, roll meter digunakan untuk mengukur luas ventilasi dan kuesioner ini berupa sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi tentang karakteristik responden dan untuk mengetahui kejadian ISPA. Data yang didapat kemudian di analisis dengan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan tiap variabel dari hasil penelitian dengan menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel. Analisis bivariat dengan uji statistik
Chi-Square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
Tabel 1. Distribusi Silang antara Pencahayaan Alami Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Pencahayaan alami kamar Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Tidak memenuhi syarat 22 81,5 10 37 32 59,3 0,002
Memenuhi syarat 5 18,5 17 63 22 40,7
Total 27 100 27 100 54 100
OR = 7,480 ; CI = 2,151 – 26,009
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,002 dan
OR=7,480; 95% CI=2,151 – 26,009. Nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan
6 bahwa ada hubungan antara pencahayaan alami kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara pencahayaan alami kamar merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=7,480; 95% CI=2,151 – 26,009 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat (< 60 lux) beresiko terkena penyakit ISPA 7,480 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan memenuhi syarat.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putu Saptari Dewi (2014) pada balita di
wilayah kerja Puskesmas IV Denpasar Selatan dengan nilai p=0,001 (p < 0,05) dan penelitian yang dilakukan Irma Suryani (2013) pada balita di wilyah kerja Puskesmas Lubuk Buaya dengan nilai p=0,001 (p < 0,05). Salah satu penyebab kurangnya pencahayaan alami yang masuk ke dalam rumah terutama kamar balita adalah daerah pemukimannya yang termasuk padat penduduk sehingga jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain sangat sempit sehingga memperkecil cahaya matahari masuk ke dalam rumah.
2. Hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
Tabel 2. Distribusi Silang antara Luas Ventilasi Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Luas Ventilasi kamar Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Tidak memenuhi syarat 23 85,2 10 37 33 61,1 0,001
Memenuhi syarat 4 14,8 17 63 21 38,9
Total 27 100 27 100 54 100
OR: 9,775 ; 95% CI = 2,616 – 36,524
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,001 dan OR=9,775; 95% CI=2,616 – 36,524. Nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi kamar dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara luas ventilasi kamar merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=9,775; 95%
7 CI=2,616 – 36,524 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat (< 10%) beresiko terkena penyakit ISPA 9,775 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi memenuhi syarat.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Angelina Candra Dewi (2012) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semarang dengan nilai p=0,047 (p < 0,05) dan penelitian yang dilakukan Nur Achmad Yusup (2004) pada balita di Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dengan nilai p=0,009
(p < 0,05). Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis. Menurut Notoatmodjo, rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar sehingga bakteri penyebab ISPA yang ada di rumah tidak dapat keluar.
3. Hubungan antara kelembaban udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
Tabel 3. Distribusi Silang antara Kelembaban Udara Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Kelembaban Udara kamar Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Tidak memenuhi syarat 21 77,8 12 44.4 33 61,1 0,026
Memenuhi syarat 6 22,2 15 55,6 21 38,9
Total 27 100 27 100 54 100
OR = 4,375 ; CI = 1,340 – 14,280
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,026 dan OR=4,375; 95% CI=1,340 – 14,280. Nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan
nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara kelembaban udara kamar merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=4,357; 95% CI=1,340 – 14,280 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan kelembaban udara tidak memenuhi syarat beresiko terkena
8 penyakit ISPA 4,357 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban udara memenuhi syarat.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Diana Maryani R (2012) pada balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang dengan nilai p=0,000 (p < 0,05). Balita masih sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan terutama ISPA jika
kelembaban udara kamar tidak memenuhi syarat yaitu berkisar antara 40%-60%. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang
efektif dalam menghadang
nikroorganisme sehingga lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan. 4. Hubungan antara suhu udara kamar
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
Tabel 4. Distribusi Silang antara Suhu Udara Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Suhu Udara kamar Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Tidak memenuhi syarat 18 66,7 13 48,1 31 57,4 0,271
Memenuhi syarat 9 33,3 14 51,9 23 42,6
Total 27 100 27 100 54 100
OR = 2,154 ; CI = 0,717 – 6,471
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,271 dan OR=2,154; 95% CI=0,717 – 6,471. Nilai p > 0,05 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara suhu udara kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara suhu udara kamar merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=2,154; 95% CI=0.717 – 6,471 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah
dengan suhu udara tidak memenuhi syarat beresiko terkena penyakit ISPA 2,154 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan suhu udara memenuhi syarat.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Achmad Yusup (2004) pada balita di wilayah Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dengan nilai p=0,179 (p > 0,05). Suhu dalam rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan hingga hypotermia, sedangkan suhu
9 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke (Permenkes No.1077,2011). Suhu ruangan harus dijaga agar tidak banyak berubah. Suhu sebaiknya berkisar antara 18-20°C. Suhu ruangan sangat dipengaruhi oleh suhu udara luar,
pergerakan udara, dan kelembaban udara (Budiman, 2006).
5. Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
Tabel 5. Distribusi Silang antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Kepadatan Hunian kamar Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Padat 16 59,3 10 37 26 48,1 0,173
Tidak padat 11 40,7 17 63 28 51,9
Total 27 100 27 100 54 100
OR = 2,473 ; CI = 0,827- 7,393
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,173 dan OR=2,473; 95% CI=0,827 – 7,393. Nilai p > 0,05 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara kepadatan hunian merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=2,473; 95% CI=0.827 – 7,393 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan kepadatan hunian yang padat beresiko terkena penyakit ISPA 2,473 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang tidak padat.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Angelina Candra Dewi (2012) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semarang dengan nilai p=0,133 (p > 0,05). Rumah yang padat penghuni menyebabkan sirkulasi udara dalam rumah menjadi tidak sehat, karena penghuni yang banyak dapat mempengaruhi kadar oksigen dalam rumah. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah mikroorganisme penyebab penyakit terutama yang menular melalui saluran pernapasan semakin banyak, apabila penghuni dalam rumah tersebut semakin banyak jumlahnya.
6. Hubungan antara keberadaan perokok dalam rumah dengan
10 kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten
Temanggung
Tabel 6. Distribusi Silang antara Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Keberadaan Perokok Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Ada 19 70,4 10 37 29 53,7 0,029
Tidak ada 8 29,6 17 63 25 46,3
Total 27 100 27 100 54 100
OR = 4,038 ; CI = 1,295 – 12,585
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,029 dan OR=4,038; 95% CI=1,295 – 12,585. Nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara keberadaan perokok dalam rumah merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=4,038; 95% CI=1,295 – 12,585 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan keberadaan perokok dalam rumah beresiko terkena penyakit ISPA 4,038 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan tidak terdapat perokok dalam rumah.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Deflyn Centiany Soolani (2013) pada balita di
Kelurahan Malalayang 1 Kota Manado dengan nilai p=0,005 (p < 0,05) dan penelitian yang dilakukan Irma Suryani (2013) pada balita di wilyah kerja Puskesmas Lubuk Buaya dengan nilai p=0,002 (p < 0,05). Asap rokok dari penghuni rumah yang tinggal satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan pada balita. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya ISPA. Semakin banyak asap rokok yang dihisap oleh keluarga maka semakin besar memberikan risiko terhadap kejadian ISPA.
7. Hubungan antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
11
Tabel 7. Distribusi Silang antara penggunaan bahan bakar memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Penggunaan bahan bakar Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Kayu 11 40,7 8 29,6 19 35,2 0,569
Bukan kayu 16 59,3 19 70,4 35 64,8
Total 27 100 27 100 54 100
OR = 1,633 ; CI = 0,529 – 5,043
Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,569 dan OR=1,633; 95% CI=0,529 – 5,043. Nilai p > 0,05 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara penggunaan bahan bakar memasak merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=1,633; 95% CI=0,529 – 5,043 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan penggunaan kayu sebagai bahan bakar memasak beresiko terkena penyakit ISPA 1,633 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah
dengan tidak menggunakan kayu sebagai bahan bakar.
Bahan bakar rumah tangga yang berasal dari kayu/tradisional akan menghasilkan asap yang lebih banyak daripada bahan bakar modern seperti kompor minyak ataupun kompor gas. Hal ini akan mempengaruhi kondisi udara dalam rumah. Asap yang berasal dari pembakaran kayu mengandung banyak karbon monoksida. Bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut didalam rumah lebih mudah terserang ISPA.
8. Hubungan antara kebiasaan membuka jendela dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung
Tabel 8. Distribusi Silang antara Kebiasaan Membuka Jendela dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung Tahun 2016
Kebiasaan membuka jendela Kejadian ISPA pada Balita p value
Kasus Kontrol Total %
N % N %
Tidak selalu 22 81,5 12 44,4 34 63 0,029
Selalu 5 18,5 15 55,6 20 37
Total 27 100 27 100 54 100
12 Hasil uji statistik Chi Square diperoleh nilai p value= 0,029 dan OR=5,500; 95% CI=1,604 – 18,864. Nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan membuka jendela dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Traji Kabupaten Temanggung. Dengan nilai OR > 1 menunjukkan bahwa hubungan antara kebiasaan membuka jendela merupakan faktor risiko penyebab penyakit. Nilai OR=5,500; 95% CI=1,604 – 18,864 ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal dirumah dengan jendela tidak selalu terbuka beresiko terkena penyakit ISPA 5,500 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan jendela yang selalu terbuka.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Irma Suryani (2013) pada balita di wilyah kerja Puskesmas Lubuk Buaya dengan nilai p=0,001 (p < 0,05). Jendela rumah berfungsi sebagai ventilasi, merupakan tempat keluar masuknya udara. Selain itu jendela juga berfungsi untuk tempat masukya cahaya matahari. Ventilasi sangat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Namun hal ini tidak akan
berfungsi dengan baik apabila ventilasi tersebut tidak pernah dibuka.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan antara pencahayaaan alami kamar, luas ventilasi kamar, kelembaban udara kamar, keberadaan perokok dalam rumah, dan kebiasaan membuka jendela dengan kejadian ISPA pada balita. Tidak ada hubungan antara suhu udara kamar, kepadatan hunian kamar, dan penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih seluruh staf di Puskesmas Traji yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan banyak membantu jalanya proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Candra, Budiman. 2009. Pengantar
kesehatan Lingkungan. Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Dewi, Angelina Candra. 2012.
Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 852-860
13 Dewi, Putu Saptari. 2014. Hubungan
Faktor-Faktor Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut di Wilayah Kerja Puskesmas IV Denpasar Selatan Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Volume 4, Nomor 2, November 2014, Halaman 175-180
Diana Maryani R. 2012. Hubungan
antara Kondisi Lingkungan
Rumah dan Kebiasaan Merokok
Anggota Keluarga dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Skripsi. Universitas
Negeri Semarang
Soolani, Deflyn Centiany. 2013.
Hubungan antara Faktor
Lingkungan Rumah dengan
Kejadian Infeksi Pernapasan (ISPA) pada Balita di Kelurahan Malalayang 1 Kota Manado.
Skripsi. Universitas Sam Ratulangi
Suryani, Irma. 2015. Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya. Jurnal
Kesehatan Andalas. Volume 4, Nomor 1, Halaman 157-167 Yusup, Nur Achmad. 2005. Hubungan
Sanitasi Rumah secara Fisik dengan Keejadian ISPA pada
Balita. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. Volume 1, Nomor 2, Januari 2005, Halaman 110-119