• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM PENETAPAN BASELINE (GARIS PANGKAL): ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE, 1951

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN HUKUM PENETAPAN BASELINE (GARIS PANGKAL): ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE, 1951"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HUKUM PENETAPAN BASELINE (GARIS PANGKAL):

ANGLO – NORWEGIAN FISHERIES CASE, 1951

Disusun untuk Memenuhi Nilai Tugas pada Mata Kuliah

Kelembagaan Hukum Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil

Dosen Pengampu : Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum.

Oleh:

MEEZAN ARDHANU ASAGABALDAN 26010115410032

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN SUMBER DAYA PANTAI

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

(2)

I. PENDAHULUAN 1.1.Sejarah Anglo – Norwegian Fisheries Case, 1951

Salah satu kasus yang terkenal dan tertua dalam sengketa perikanan yang ada di dunia, dan menjadi suatu keputusan hukum laut yang baru adalah Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tahun 1951. Sengketa antara Inggris dan Norwegia ini mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum laut internasional, terutama dalam menentukan garis pangkal (baseline) dari mana laut teritorial mulai diukur (Green, 1952).

Sejarah terjadinya sengketa antara Inggris dengan Norwegia dan Denmark (satu kerajaan) yaitu pada abad ke-17, dimana nelayan Inggris tidak dapat menangkap ikan di perairan pantai Norwegia dalam jangka waktu yang lama yaitu antara tahun 1616 hingga tahun 1906 (290 tahun), setelah Raja Norwegia dan Denmark mengajukan keberatan kepada Raja Inggris. Hal ini terjadi karena Norwegia telah menetapkan batas laut teritorial sejauh empat mil (tahun 1812) dan pada tahun 1889, Norwegia memperkenalkan sistem pengukuran dangan menarik garis lurus dari batu karang dan pulau – pulau yang terdapat di pantai Norwegia. Akan tetapi, mulai tahun 1906 beberapa kapal nelayan Inggris mulai muncul di lepas pantai Timur Finnmark dan pada tahun 1908, mereka kembali dalam jumlah yang lebih besar (Fisheries Case, 1951).

Insiden pertama terjadi pada tahun 1911, yaitu ketika sebuah kapal pukat harimau (trawl) milik Inggris ditangkap dan disita karena melanggar daerah larangan yang telah ditetapkan wilayah Norwegia. Berbagai negosiasi terjadi antara kedua pemerintah. Tahun 1922 dan seterusnya insiden kembali terjadi, dan puncaknya yaitu pada tahun 1932, kapal pukat harimau (trawl) Inggris memperluas jangkauan kegiatan perikanan mereka hingga di daerah lepas pantai Norwegia barat dari Cape Utara. Pada waktu itulah ketegangan antara kedua negara terjadi (Green, 1951).

Pada tanggal 27 Juli 1933, Pemerintah Inggris mengajukan protes kepada pemerintah Norwegia tentang delimitasi laut territorial dan garis pangkal pantai. Tahun 1935, tepatnya pada tanggal 12 Juli, Norwegia menetapkan batas – batas perikanan ekslusif melalui Firman Raja (Royal Decree) menurut hukum internasional dari 66 derajat 28,8' LU (Fisheries Case, 1951).

(3)

Firman Raja ini yang merujuk pada Firman – Firman Raja sebelumnya yang dikeluarkan di tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889 di dalam pertimbangannya (preamble) menyatakan hak nasionalnya yaitu keadaan geografis khusus pada pantai Norwegia dengan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan penduduk bagian Utara daripada Norwegia.

Sejarah kasus sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia 1951 Perkara antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case tahun 1951) mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional.

1.2.Penetapan Garis Pangkal (Baseline) Norwegia

Sejak ditetapkannya batas – batas perikanan wilayah lepas pantai Norwegia yang sah menurut Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Inggris tidak dapat menerima dekrit Raja Norwegia tersebut karena dianggap bertentangan dengan hukum Internasional. Inggris tidak menyangkal hak Norwegia untuk memiliki lebar laut teritorial sejauh 4 mil, namun yang dipermasalahkan adalah cara penarikan garis pangkal lurus. Inggris berpendirian bahwa garis pangkal harus ditarik menurut garis pasang surut dari tanah daratan (permanent dry land) yang merupakan bagian dari wilayah Norwegia. Dalam pandangan Inggris, “skjaergaard” merupakan gugusan pulau – pulau yang terletak dihadapan pantai Norwegia, dimana bukan merupakan bagian dari daratan tetap Norwegia (Green, 1952). Hal ini menyebabkan yang tadinya nelayan Inggris bebas melakukan penangkapan ikan di sana, kini sesuai dengan dekrit Raja Norwegia menjadi bagian dari wilayah Norwegia. Sehingga dengan sendirinya menjadi daerah tertutup bagi negara dan nelayan asing (khususnya negara Inggris). Sedangkan untuk Norwegia, penarikan ini menguntungkan bagi nelayan Norwegia karena dapat mengambil ikan di daerah tersebut dan dapat melindungi kehidupan nelayannya. Oleh karena itu Inggris mengajukan masalah tersebut kepada International Court of Justice (ICJ) (Rothwell dan Tim, 2010)

Mahkamah Internasional (ICJ) menelaah tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan atas asas pasang surut, yakni:

(4)

1. Cara “trace parallele”, dimana garis batas luar mengikuti segala liku dari garis pasang surut;

2. Cara “arcs of circles”, dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal terlebih dahulu; dan

3. Cara “straight base-line” (garis pangkal lurus), dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubung titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang surut.

ICJ menyatakan bahwa dari ketiga cara di atas, cara “arcs of circles” dikesampingkan oleh Mahkamah dengan alasan tidak relevan. Pihak inggris berpendapat bahwa penarikan garis pangkal lurus di Norwegia menjadi benar ketika menarik dari muka suatu teluk (bay), bukan dari satu pulau kepulauan lain depan pantai atau depan gugusan pulau (skjaergaard). Ditambah lagi, menurut pihak Inggris panjang garis pangkal dimuka suatu teluk tidak boleh melebihi 10 mil (Agoes, 1952).

Mahkamah Internasional, dalam keputusannya, menyatakan tidak sependapat dengan pihak Inggris. Cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia telah sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku pada umumnya pada suatu keadaan khusus. Mahkamah juga menolak pendapat Inggris bahwa garis pangkal lurus hanya dapat ditarik dimuka suatu teluk. Mahkamah juga tidak dapat menerima pernyataan Inggris bahwa panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 10 mil. Mahkamah menyatakan pendapat bahwa (Louis dan John, 2000);

“… The Norwegian Government in fixing the base-lines for the delimitation of the Norwegian fisheries zone by the 1936 Decree has not violated international law”

Selanjutnya Mahkamah mengatakan bahwa:

“… The delimitation of sea areas has always an international aspect; it cannot be dependent merely upon the will of the coastal State as expressed in its municipal law.”

“…Some reference must be made to the close dependence of the territorial sea upon the land domain. It is the land which confers upon the coastal State a right to the waters off its coasts…”

(5)

“…The real question raised in the choice of baselines is in effect whether certain sea areas lying within these lines are sufficiently closely linked to the land domain to be subject to the reg me of internal waters.”

“There is one consideration not to be over looked; the scope of which extends beyond purely geographical factors; that of certain economic interests peculiar to a region, the reality and importance of which are clearly evidenced by a long usage.”

Setelah dua tahun melewati persidangan, akhirnya Mahkamah Internasional mengakhiri kasus ini pada tanggal 18 desember 1951 dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia telah sesuai dengan hukum internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah sebagai berikut (Kusumatmaja, 1999); 1. Sudah menjadi hukum kebiasaan (turun – temurun) pada Norwegia sejak

abad ke – 17 bahwa daerah tersebut milik Norwegia

2. Skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan teritorial dengan daratan Norwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia

3. Wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk lokal Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber mata pencaharian bagi nelayan – nelayan Norwegia, sejak abad ke 17

4. Dengan melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai – pantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan

Pertimbangan – pertimbangan yang diambil oleh ICJ memutuskan bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia.

Dari kasus seperti ini, dapat ditarik penetapan bahwa penetapan baseline atau garis pangkal laut teritorial sebuah negara pantai dapat diambil dari gugusan pulau kecil yang masih mempunyai hubungan territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai salah satu landmark dalam hukum internasional dan melahirkan Konvensi Jenewa yang dimuat dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Agoes, 1991).

(6)

II.PEMBAHASAN

2.1.Ketentuan Penetapan Baseline setelah putusan Mahkamah Internasional pada Anglo – Norwegian Fisheries Case

Prinsip hukum internasional yang terdapat dalam kasus “Anglo –

Norwegian Fisheries Case” ini adalah mengenai penetapan baseline zona

perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (baseline) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outerlimit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas (Churcill dan Law, 1999).

Kasus Anglo – Norwegian Fisheries Case merupakan sejarah dalam hukum laut internasional bahwa pengakuan cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik yang terletak pada pulau-pulau terluarnya untuk menentukan laut territorial dimana negara itu mempunyai bentuk gegrafis yang khas sehingga melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 (Louis, 1984).

Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada hak lalu – lintas damai (right of innocent passage) (Fitzmaurice, 1959).

Konvensi I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak liku – liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam; (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat – syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat tersebut adalah sebagai berikut (Fitzmaurice, 1959).

1. Garis – garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari

arah umum dari pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). 2. Garis – garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian

daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low – tide elevations) kecuali apabila di atasnya telah didirikan

(7)

mercusuar atau instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3)

3. Penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan wilayah negara lain dengan laut lepas (ayat 5).

Ayat 4 tambahan sebagai ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan – kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis dari suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh kebiasaan – kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama. Dengan kata lain bahwa suatu negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem “normal baseline” dan “straight baseline” (Fitzmaurice, 1959).

Setelah diratifikasinya konvensi hukum laut 1982, maka tiga cara penarikan garis pangkal dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, yang akan dijelaskan lebih detail pada bab selanjutnya (Agus, 1991);

1. Garis pangkal biasa (Normal Baseline), yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti segala liku – liku (morfologi) pantai.

2. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline), yaitu garis air terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar dari pantai daratan utama suatu negara atau dari pantai pada gugusan pulau dimukannya

3. Garis pangkal lurus kepulauan (Archipelagics Baseline), yaitu garis-garis air rendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar dari wilayah negara

2.2.Garis pangkal (Baseline)

Wilayah laut memiliki karakteristik geografis yang berbeda dengan wilayah daratan, dimana di daratan dapat kita lihat dengan jelas perbedaan atau perbatasan wilayah suatu negara yang dapat berupa suatu keadaan alamiah maupun perbatasan yang dibentuk secara tidak alami. Namun, dalam wilayah laut untuk menentukan baselines tersebut tentulah sangat sulit. Terdapat pasang surut air laut yang bersifat tidak tetap, yang berubah dari hari ke hari dan dari musim ke musim (Churcill dan Lowe, 1999).

(8)

2.2.1. Normal Baseline (Garis Pangkal Biasa)

Pasal 3 Geneva Convention on The Territorial Sea and Contigous Zone 1958 (TSC) dan Pasal 5 UNCLOS dimuat ketentuan tentang penentuan pengukuran baseline yang digunakan untuk menentukan wilayah maritim suatu negara yang kemudian disebut sebagai normal baseline (Churcill dan Lowe, 1999).

“The normal baselines for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal state” (Pasal 5 UNCLOS).

Gambar 2.1. Normal Baseline, garis yang membedakan daerah arsiran, yang merupakan bagian dari wilayah perairan yang mendekat kedarat (disebut sebagai internal waters), dan daerah yang tidak berarsir yang merupakan Territorial Sea.

(9)

Normal baseline merupakan titik surut air laut sepanjang garis pantai yang mengelilingi suatu wilayah darat dari satu negara. Adapun karakteristik daripada baselines tersebut adalah(Pasal 3 UNCLOS)

a. They [baselines] are water not land lines, i.e., water-crossing not coast-hugging;

b. Because they [baselines] cross water and do not lie along the coast, they enclose an area between themselves and the coast, which has the status not of territorial sea but of internal waters.

Dalam karakteristik tersebut dapat dilihat bahwa, baseline bukan merupakan wilayah perairan dan juga bukan merupakan garis darat yang dapat ditentukan dengan mudah. Baseline menentukan suatu pengukuran dalam menentukan Territorial Sea yang merupakan zona maritim suatu negara (Gerarld, 1959).

2.2.2. Straight Baseline (Garis Pangkal Lurus)

Negara – negara pantai di dunia tidaklah memiliki keadaan geografis yang sama, dimana dengan mudah dapat ditentukan suatu normal baseline berdasarkan titik surut air laut. Terdapat keadaan dimana bentuk geografis dari garis pantai tidak beraturan, yang membentuk suatu keadaan yang menyulitkan menentukan titik surut air laut itu sendiri. Pasal 4 TSC dan Pasal 7 UNCLOS mengatur ketentuan metode pengukuran baseline yang disebut sebagai straight baseline ynang digunakan pada kasus Anglo – Norwegian Fisheries Case (Willberforce,1952).

Garis pantai Norwegia berbentuk dari perairan – perairan kecil yang mengelili karang – karang sempit yang terdiri dari gugusan pulau – pulau, pulau kecil, bebatuan karang yang sering disebut sebagai skjaergaard.

“Since the mainland is bordered in its western sector by the “skjaergaard” (literally, rock rampart), which constitute a whole with the mainland, it is the outer line of the “skjaergaard” wich must be taken into account in delimiting the belt of Norwegian territorial waters” (Green, 1951)

Straight baseline tersebut digunakan oleh Norwegia dalam menentukan baseline darimana zona maritimnya diukur. Pasal 7 UNCLOS, paragraf 1 menentukan bahwa “in localities where the coast line is deeply indented or cut into, or if there is a fringe of islands along the coast in its

(10)

immediate vicinity, the method of straight baselines joining appropriate points may be employed. . . .”

Seperti halnya pada keadaan geografis Norwegia tersebut, dapat digunakan straight baseline yang menghubungkan titik – titik terluar pulau tersebut sebagai titik pangkal zona maritim, dikarenakan adanya fringe of islands along the coast in its immediate vicinity. (Willberforce, 1952).

Gambar 2.2. Straight Baseline, metode penentuan garis pangkal yang digunakan dalam kasus Anglo – Norwegian Fisheries Case tahun 1951

(11)

2.2.3. Archipelagics Baseline (Garis Pangkal Kepulauan)

Wilayah benua yang berbatasan dengan laut tentu saja akan berbeda dengan wilayah suatu pulau yang dikelilingi lautan, dan wilayah kepulauan yang sambung menyambung diantara wilayah laut. Negara kepulauan tersebut disebut sebagai Archipelagic State yang mana diartikan sebagai suatu negara yang mana wilayahnya keseluruhan terbentuk dari gugusan kepulaun dan pulau-pulau (Pasal 46 (a) UNCLOS) (Agoes, 1991).

Archipelagic states yang demikian tentu akan memiliki tendensi yang berbeda dalam menentukan wilayah laut negara mereka. Sehingga dalam Pasal 47 UNCLOS diaturlah suatu ketentuan mengenai Archiplagics Baseline yang menentukan bahwa:

“archipelagic state may drew straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost island and dying reefs of the archipelago provided that within such baselines are included the main island and an area in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1 (paragraph 1)”.

Hak yang diberikan kepada negara kepulauan tersebut adalah menentukan garis baseline yang mengelilingi negara tersebut dari titik terluar pulau – pulau yang ada, dan membentuk suatu wilayah yang terdiri dari wilayah daratan dan perairan pedalaman (internal waters).

Terdapat empat kondisi khusus yang harus dipenuhi dalam pemakaian Archipelagic baseline yang ada pada Pasal 47 UNCLOS, yaitu sebagai berikut:

a. All main of lands of the archipelagic state must be a system of archipelagic baselines;

b. The ratio of water area and land area in the system of archipelagic baselines is between 1 to 1 and 9 to 1;

c. The length of the archipelagic baselines shall not exceed 100 nautical miles, except that up to 3 percent of the total number of baselines enclosing any archipelago may exceed the length, up to a maximum length of 125 nautical mile;

d. The drawing of the archipelagic baselines shall not depart to any appreciable extent from the general configuration of the archipelago.

(12)

Selain itu, terdapat juga batasan yang diatur dalam penggunaan suatu archipelagic baseline, antara lain;

a. The baseline shall not depart to any appreciable extent from the general configuration of the archipelago;

b. Shall not be drawn to and from low-tide elevations, unless lighthouses or similar installations which are permanently above sea level have been built on them where a low-tide elevation is situated wholly or partly within the territorial sea of the nearest islands;

c. Shall not be applied in such a manner as to cut off from the high seas or the exclusive economic zone the terriotorial sea of another state.

Ketentuan penggunaan archipelagic baseline dikarenakan wilayah laut pedalaman (internal waters) dari suatu negara tersebut dianggap sebagai satu kesatuan wilayah dengan daratan yang menghubungkan antara satu pulau ke pulau yang lain dimana merupakan sebagai kedaulatan negara.

Indonesia merupakan salah satu contoh negara kepulauan yang telah memakai archipelagics baseline dalam menentukan batas baseline negaranya. Indonesia pertama kalinya menyatakan klaim yurisdiksi maritim yaitu pada tahun 1950an, melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang menyatakan keselurahan area perairan yang menghubungkan antara kepulauan Indonesia adalah dibawah kedaulatan Negara Indonesia. Dibentuknya UNCLOS 1982 memberikan legitimasi Indonesia sebagai suatu archipelagic states. Pada Tahun 1996, dikeluarkan Undang – Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang didasarkan pada ketentuan archipelagic states yang telah dirumuskan pada UNCLOS 1982. (Patmasari, 2010).

(13)
(14)

III. PENUTUP

Kasus Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo – Norwegian Fisheries Case) adalah kasus tentang bagaimana wilayah yang memiliki daerah pantai khusus menetapkan penarikan garis pangkal pantai. Kasus sengketa ini menjadi landasan dari penetapan hukum penetapan Garis Pangkal suatu wilayah oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dan melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 yang digunakan hingga sekarang.

Cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik yang terletak pada pulau – pulau terluarnya untuk menentukan laut territorial dimana negara itu mempunyai bentuk geografis yang khas.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Etty R. 1991. Konvensi Hukum Laut 1982. Abardin. Bandung

Churcill, R. and A. V. Lowe. The Law of The Sea 3rd Edition. 1999. Manchester

University Press. Halaman 31.

Fisheries Case, Judgement of 18 December 1951, ICJ Reports, 1951

Fitzmaurice, Gerald. 1959. Some Results of The Geneva Conference on The Law of The Sea Part I The Territorial Sea and Contiguous Zone and Related Topics.. The International and Comparative Law Quarterly Vol. 8 No. 1. Halaman 76

Green, L.C. 1952. The Anglo-Norwegian Fisheries Case, 1951. I CJ Report 1951. P: 116. Wiley. The Modern Law Review, Vol. 15, No. 3 pp. 373-377 Koers. W. Albert. 1991. Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Universitas Gajah

Mada Press, Yogjakarta,

Kusumaatmadja, Mochtar. 1999. Hukum Laut Internasional, Cetakan Keempat, BPHN, CV. Trimitra Mandiri, Jakarta; Hlm. xii.

Louis B Shon & John E. Noyes. 2004. Cases and Materials on the Law of the Sea.Transnational Publishers, New York.

Louis B Sohn. 1984. The law of The Sea In A Nut Shell. West Publishing Co. Halaman 37

Patmasari, T. 2010. The Indonesian Archipelagic Baselines: Technical and Legal Issues and The Changing of Enviroment. Diunduh dari

http://www.gmat.unsw.edu.au/ablos/ABLOS08Folder/Session6-Paper2-Patmasari.pdf, 1 Juni 2016, 19:00 WIB. Halaman 4

Rothwell, Donald R. dan Tim Stephens, The İnternational Law of the Sea, Hart Publishing, Oregon 2010.

RR Churchil and AV Lowe. 1992. The Law of the Sea, Manchester University Press.

Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Willberforce, R. O. Some Aspects of The Anglo-Norwegian Fisheries Case. 1952. Transaction of Grotius Society, Vol.38, Problems of Public and Private International Law, Transaction for the Year 1952. Halaman 159-160

Referensi

Dokumen terkait