• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dunia seni adalah dunia kita bersama. Hidup dan matinya merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dunia seni adalah dunia kita bersama. Hidup dan matinya merupakan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni adalah suatu nilai hakiki yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dunia seni adalah dunia kita bersama. Hidup dan matinya merupakan tanggung jawab kita bersama pula (Maran 2000:103). Kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan.

Masyarakat yang menyangga kebudayaan demikian pula kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, serta menularkan, mengembangkan serta kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. Apa yang disebut seni atau kesenian meliputi penciptaan dari segala macam hal yang atau benda yang karena keindahan bentuknya senang orang melihat atau mendengarnya. (Ensiklopedia Nasional Indonesia).

Kita mengenal masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang suka merantau apalagi ketika seseorang tersebut dianggap sudah dewasa. Bila kita melihat langsung ke daerah asal (Bona Pasogit), yang banyak kita jumpai adalah orang-orang yang sudah tua dan anak-anak. Sedangkan para pemuda/i lebih banyak yang merantau keluar daerah.

(2)

Kebiasaan merantau pada masyarakat Batak Toba ini didorong oleh rasa ingin mencari dan memiliki kehidupan yang lebih layak (Simatupang 2002:168) . Selanjutnya Siahaan (1982:48) mengatakan bahwa sekalipun di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. Salah satu daerah perantauan masyarakat Batak Toba adalah Kabupaten Asahan. Di daerah ini mereka hidup pada umumnya sebagai petani dan pedagang.

Masyarakat Batak Toba mempunyai budaya yang sangat kaya yang mereka peroleh dari leluhurnya secara turun-temurun. Warisan budaya tersebut adalah budaya tradisional yang harus dijaga kesinambungannya. Salah satu budaya yang diwariskan pada masyarakat Batak Toba adalah Gondang Naposo.

Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang

merupakan sarana untuk membina hubungan antara generasi muda. Dahulu acara ini biasa dilakukan pada saat terang bulan (Rondang Bulan) dan pada saat masyarakat mendapatkan hasil panen yang baik.

Gondang Naposo adalah pesta yang ditunggu-tunggu muda-mudi. Dimana

dalam acara tersebut muda-mudi dari berbagai desa diundang untuk turut berpatisipasi dalam acara Gondang Naposo tersebut dan disana mereka bisa berkenalan satu dengan yang lain. Kesempatan untuk para muda-mudi untuk saling berkenalan satu dengan yang lain sangatlah besar karena di dalam acara Gondang

(3)

Naposo tersebut dilengkapi dengan perilaku tortor (Thompson HS dalam artikel

“Gondang Naposo Di Jakarta” 2008). Tortor dalam gondang naposo pada masyarakat Batak Toba juga dapat berfungsi sebagai ajang melepas rindu, sehingga nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup serta pengharapan dapat diwujudkan melalui tortor yang diiringi musik gondang (Sinaga 1994:9).

Dibeberapa tempat sub etnis Batak tradisi untuk muda-mudi seperti ini juga sering dilakukan, seperti di Tanah Karo dengan Guro-guro Aron dan di Simalungun dengan Rondang Bintang.

Pada dasarnya acara Gondang Naposo tidak semata-mata urusan naposo (muda-mudi) saja. Acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua yang ingin memberi peluang kepada anak-anak mereka untuk bergembira, dan pembiayaannya digalang oleh penduduk setempat. Karena menurut tradisi Batak, naposo belum bisa “pahundul pargonsi”1. Sehingga untuk dapat menghadirkan pargonsi2 sebagai pemain musik pengiring dalam acara ini peran orang tua sangat dibutuhkan (Naipospos dalam Dialog Gondang Naposo Tahun 1998).

Acara ini dimulai dengan “pahundul” atau “manggalang pargonsi”, tahap ini merupakan ajakan atau sambutan secara adat kepada pargonsi untuk dapat memulai acara. Setelah tahap manggalang pargonsi selesai, acara dilanjutkan dengan tahap “mambuat tua ni Gondang” oleh orang tua, dimana orang tua meminta

1

Pahundul pargonsi adalah menyambut pargonsi ditempat yang telah disediakan 2

(4)

(maminta) kepada pargonsi untuk memainkan gondang sebagai tanda dimulainya acara ini. Kemudian orang tua dan para naposo manortor (menari) bersama. Acara kemudian di lanjutkan dengan kata-kata sambutan dan nasehat-nasehat dari orang tua kepada naposo. Setelah acara manggalang pargonsi dan mambuat tua ni gondang selesai, kemudian acara dilanjutkan dengan manortor bersama oleh orang tua dan seluruh naposo yang menjadi panitia. Kemudian acara diserahkan sepenuhnya kepada

naposo namun sepanjang acara berlangsung orang tua tetap memantau jalannya acara

agar tidak melenceng dari aturan etika kesopanan dan ketertiban3.

Naipospos mengatakan bahwa keberadaan Gondang Naposo pada masa sekarang ini boleh dikatakan sudah jarang kita jumpai, khususnya di daerah-daerah perantauan masyarakat Batak Toba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh modernisasi yang kuat pada masyarakat Batak Toba khususnya muda-mudi Batak Toba, sehingga rasa ingin tahu akan budaya Batak pun sudah berkurang.

Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan acara Gondang Naposo yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Januari dan bulan Juni karena pada saat itulah mereka panen. Hal ini sesuai dengan konsep Gondang Naposo yang selalu dilaksanakan setelah musim panen.

Walaupun penduduk Desa Desagajah bukan hanya terdiri dari masyarakat Batak Toba saja melainkan ada Melayu dan Jawa, namun tradisi Gondang Naposo

3

(5)

tetap dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba yang ada disana sebagai ungkapan kegembiraan setelah panen dan sebagai acara untuk pertemuan muda-mudi masyarakat Batak Toba yang ada di sana.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi tersebut juga berpengaruh dan membawa perubahan terhadap acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah. Perubahan pada acara Gondang Naposo tersebut di antaranya yaitu yang menjadi musik pengiring. Pada awalnya musik pengiring dalam acara ini adalah

Gondang Sabangunan yang terdiri dari instrumen Taganing, Gordang, Sarune,

seperangkat Ogung(Gong) dan Hesek. Namun pada acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah saat ini yang menjadi musik pengiring adalah Sulkibta ( Sulim

Keyboard Taganing).

Perubahan yang terjadi bukan hanya pada ensambel pengiringnya saja tetapi juga pada repertoar-repertoar yang dimainkan untuk mengiringi tortor4. Menurut Hotman (http://mandosi wordpress.com ) Gondang Naposo sendiri ada 20 macam;

Goar-goar ni gondang naposo (Nama-nama Gondang Naposo) itu; (1) Gondang siburuk (2) Gondang sibane doli (3) Gondang sitapitola (4) Gondang siboru illa-illa (5) Gondang siboru enggan (6) Gondang siboru sanggul miling-iling (7) Gondang sibunga jambu (8) Gondang pinasa sidung-dungon (9) Gondang sibintang purasa (10) Gondang silote dolok (11) Gondang alit-alit aman jabatan (12) Gondang marhusip (13) Gondang parhabang ni siruba (14) Gondang sahali tuginjang sahali

4

(6)

tutoru (15) Gondang tohur-tohur ni bajar-bajar langit somatombuk tano somagang-gang (16) Gondang pidong patia raja (17) Gondang pidong imbulu buntal (18) Gondang anduhur titi, anduhur tabu (19) Gondang sipitu dai (20) Gondang ni pargonsi sisia sauduran pulik pulik pandohan.

Namun, walaupun banyak perubahan-perubahan dalam acara Gondang

Naposo tersebut, masih ada nilai-nilai budaya yang tetap bertahan sampai sekarang di

antaranya fungsi acara Gondang Naposo tersebut, tata cara dalam menari (manortor) dan maminta gondang (meminta gondang) yang masih tetap seperti dulu5.

Melihat keadaan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam acara tersebut. Serta bermaksud untuk mengangkat topik ini menjadi satu tulisan atau karya ilmiah Dengan demikian penulis memberi judul penelitian ini Kontinuitas dan Perubahan

Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Desagajah- Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian penulis dalam tulisan ini antara lain:

5

(7)

1. Bagaimana pertunjukan Gondang Naposo pada masyarakat Batak toba di Desa Desagajah-Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

2. Aspek apa yang mengalami perubahan pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

3. Aspek apa yang tetap berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

4. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap:

1. Bentuk penyajian acara Gondang Naposo pada masyarakat Batak di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan..

2. Perubahan yang terdapat pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan..

(8)

3. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan pada pelaksanaan Gondang

Naposo pada masyarakat Batak Toba Di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai

Kabupaten Asahan.

4. Aspek-aspek yang tetap berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi baru bagi masyarakat luas tentang keberadaan

Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di luar daerah

kebudayaannya.

2. Untuk mengetahui perubahan yang terdapat pada pelaksanaan Gondang

Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai

Kabupaten Asahan.

3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang tetap bertahan dan berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan

4. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan Batak Toba yang dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen Etnomusikologi.

(9)

1.5 Konsep

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian. Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di rumuskan (Mardalis 2003:46). Tulisan ini membahas tentang Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kontinuitas dapat di artikan sebagai kelangsungan, kelanjutan dan kesinambungan. Kelanjutan yang dimaksud di dalam tulisan ini menyangkut aspek-aspek budaya dalam hal ini lebih menitikberatkan pada fungsi musik dalam Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran . Berangkat dari pengertian tersebut, perubahan yang dimaksud pada Gondang Naposo yaitu peralihan atau pergantian musik pengiring dari ensambel Gondang Sabangunan menjadi Sulkibta

(Sulim Keyboard Taganing) serta repertoar-repertoar yang dimainkan dalam acara Gondang Naposo. Selain itu juga perubahan yang dimaksud menyangkut aspek-aspek

dari materi acara dalam acara Gondang Naposo tersebut.

Secara harfiah perubahan berarti keadaaan berubah, peralihan atau pergantian. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau

(10)

sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem

sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)

Gondang pada masyarakat Batak Toba mengandung banyak pengertian

diantaranya: sebagai sebuah ensambel musik, komposisi, repertoar, tempo komposisi, upacara atau bagian dari satu rangkaian upacara.(Hutajulu 2005:19)

Kata Gondang dalam konteks Gondang Naposo bermakna untuk menyatakan “giliran para muda-mudi untuk manortor” (menari) dalam sebuah acara atau upacara tertentu.(Harahap 2005:19)

Naposo dalam bahasa Batak berarti muda-mudi yang belum berkeluarga.

Sehingga dalam acara Gondang Naposo, kata Naposo berarti pertunjukan yang diselenggarakan dan diperuntukkan kepada muda-mudi. Dimana dalam acara ini muda-mudi berperan sebagai penyelenggara dan sekaligus pendukung acara Gondang

Naposo tersebut.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa Gondang Naposo adalah acara atau pesta yang diadakan oleh muda-mudi dan ditujukan untuk muda-mudi itu sendiri dimana dalam acara tersebut para muda-mudi berkumpul dan melakukan kegiatan

manortor (menari).

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Kontinuitas

(11)

pada masyarakat Batak Toba dimana kajian tersebut meliputi hal atau aspek-aspek yang tetap berlanjut atau bertahan dan yang mengalami perubahan pada pelaksanaan acara Gondang Naposo tersebut.

1.6 Teori

Teori dalam pembahasan ini digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Penulis mengambil beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Untuk menganalisis kontinuitas dan perubahan dalam tulisan ini penulis menggunakan teori evolusi kebudayaan. Pada prinsipnya teori ini melihat perkembangan-perkembangan dan pergeseran-pergeseran kebudayaan. Seperti yang dikemukakan oleh Merriam dalam Skripsi Martuah (2003:13) sebagai berikut:

...there are few musicologist, indeed who have interested them selves in the broader study of music as a human phenomenon, as apposed to the more limited study of music in a single western culture...

The music of other people is sometimes used vaguely, as an introduction to courses in the “history of music” and, more particulary, as an example of what is “primitif” in music, fitting thereby, into a deductive schemata organized around invalid concept of cultural evolution. It is also sometimes used by western musicologist to support theories of the supposed origin of music, and on accasion it has formed the basic for melodic or rhythmic materials used composition (1964:17).

(12)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa teori evolusi kebudayaan berkaitan dengan sejarah musik. Teori ini mendukung asal-usul musik, bagaimana ia dibentuk dari materi melodi atau ritmik dasar yang dipergunakan pada suatu komposisi.

Kontinuitas yang dimaksud dalam tulisan ini di lihat dari segi fungsi, dimana fungsi Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai sarana untuk membina hubungan antara generasi muda dan fungsi tersebut tidak berubah atau tetap berlanjut sampai sekarang.

Gondang Naposo tidak terlepas dari unsur musik. Sehubungan dengan fungsi Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba, penulis mengutip teori yang

dikemukakan oleh Merriam (1964:219-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of

emotional), (2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3)

fungsi hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of

comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6)

fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of

social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10) fungsi pengintegrasian

(13)

Dari sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Merriam, dalam fokus tulisan ini penulis mengacu pada fungsi pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis, fungsi hiburan, fungsi komunikasi dan fungsi kesinambungan budaya.

Tulisan ini dapat dikatakan sebagai tulisan yang membahas tentang perubahan kebudayaan. Koentjaraningrat (1965:135) mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Untuk lebih lengkap lagi penulis penulis juga mengacu pada teori yang dikemukakan Soekanto, dalam Skripsi Gurning (2006:14), yaitu: difusi (persebaran kebudayaan) adalah setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dalam arti luas maupun perubahan dalam arti sempit, perubahan secara cepat maupun lambat.

Berubahnya musik pengiring dalam acara Gondang Naposo adalah gejala pergeseran nilai-nilai budaya. Untuk membahas masalah tersebut penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa gejala-gejala yang sedang berlangsung dan bergeser disebut dengan dinamika sosial. (Koentjaraningrat 1985 :20). Selanjutnya Akwan (1983:410-411) mengemukakan

(14)

sekurang-kurangnya ada 5 (lima) sebab orang memodernisasi musik tradisi, yaitu: (1) modernisasi sesuai dengan program pemerintah untuk mengembangkan kebudayaan Indonesia, (2) musikus didorong oleh rasa tidak puasnya atau rasa kebosanannya terhadap bentuk-bentuk dan gaya musikal yang sudah dipergelarkan berulang-ulang, (3) musikus ingin mengembangkan daya kreatifitasnya, (4) pengembangan tradisi berdasarkan kesadaran individual atau kelompok orang yang mendalam sebagai sumber identitas diri, dan (5) modernisasi tradisi dimungkinkan juga oleh iklim kehidupan yang lebih bebas dalam sistem pemerintahan.

Modernisasi adalah penerapan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, modernisasi hanya akan berkembang sejauh didukung oleh sikap-sikap budaya yang mampu memberikan kondisi yang mengimbanginya. Artinya suatu proses modernisasi memerlukan proses penyesuaian budaya. (Zulkarnain 1999:625)

Lauwer berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi, dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan. (Lauwer 1989:402). Sejalan dengan pendapat tersebut dalam tulisan ini penulis juga akan meneliti apakah perubahan yang terjadi dalam acara Gondang Naposo adalah merupakan akibat dari adanya akulturasi dengan kebudayaan lain.

Perubahan yang terjadi pada acara Gondang Naposo tentulah memakan waktu atau melalui proses yang panjang. Menurut Richard, perubahan yang terjadi pada

(15)

masyarakat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang melalui beberapa generasi dan terutama ditujukan kearah perbaikan baik dari aspek kemasyarakatan, kelembagaan sosial masyarakat, aspek ekonomi, tradisi, teknologi, kesenian serta hiburan.

Menurut Soekanto (1990:292) perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi) memerlukan waktu yang lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil berlangsung secara lambat laun. Perubahan secara evolusi terjadi dengan sendirinya, tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.

Perubahan juga dapat terjadi karena perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan perubahan yang berasal dari luar masyarakat. Perubahan dari masyarakat itu meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, jumlah penduduk, pertentangan dan pemberontakan. Sedangkan perubahan dari luar masyarakat meliputi pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan (Pelly 1994:191)

Lebih lanjut Maran (2005) mengatakan, tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zaman.

(16)

1.7 Metode Penelitian

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2003:24). Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekwensi atau penyebaran dari suatu gejala kegejala lain dalam suatu masyarakat.

(17)

1.8 Pemilihan Lokasi Penelitian

Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai kabupaten Asahan dengan studi kasus Persatuan Muda-mudi Simpang Desagajah (PERMUSIMDES). Desa Desagajah sebagai lokasi penelitian karena daerah ini adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan tradisi Gondang Naposo. Walaupun penduduk di desa Desagajah bukan hanya masyarakat Batak Toba melainkan ada Melayu dan Jawa, namun tradisi

Gondang Naposo tetap dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba yang ada di sana.

1.9 Pemilihan Informan

Sebelum melakukan penelitian penulis terlebih dahulu menentukan informan

pangkal6 yang dapat membantu memberikan informasi untuk keperluan penelitian. Dalam hal ini penulis memilih Bapak M Simangunsong selaku Kepala Desa Desagajah untuk menjadi informan pangkal. Dari informan pangkal inilah penulis mendapat informasi mengenai siapa orang yang banyak mengetahui tentang Gondang

Naposo. Setelah mendapat informasi dari informan pangkal selanjutnya penulis

menentukan informan kunci7. Dalam hal ini yang menjadi informan kunci adalah

Bapak Sari Simangunsong dan Oppu Helen Gultom. Dari informan kunci inilah penulis memperoleh data dan masukan mengenai permasalahan yang ada dalam

6

Informan pangkal adalah orang yang memberikan informasi awal tentang Gondang Naposo 7

Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi mendalam mengenai pokok permasalahan dalam tulisan ini.

(18)

tulisan ini, serta dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan oleh masyarakat di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

Untuk kelengkapan data tentang permasalahan yang ada dalam tulisan ini terutama dalam hal perubahan musik, penulis mendapat informasi dari para personil musik yang tergabung dalam Grup Udut Manik Raja yaitu grup musik yang berasal dari Tiga Dolok, yang mana mereka juga adalah grup musik yang menjadi pengiring dalam acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah.

1.10 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tetang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan didalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam wawacara penulis dengan informan.

1.11 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan

(19)

untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini.

1.12 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, diproses didalam kerja laboratorium. Proses analisa data penelitian di mulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisa data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah perilaku sosial yang dijumpai peniliti pada anak autis berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 25 januari 2012 di Taman Baca Masyarakat

Untuk itu perlu diatur mengenai ketentuan dan syarat penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang tertuang dalam Pedoman Teknis. Ketentuan dan

Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan konsentrasi timbal (Pb) dalam udara yang aman diinhalasi terhadap risiko karsinogen dan non kar- sinogen untuk frekuensi pajanan 240

→ Menjawab pertanyaan tentang materi Latihan kebugaran jasmani yang terkait dengan kesehatan(kekuatan, daya tahan otot, daya tahan pernapasan, dan kelenturan) yang terdapat

Keluar, pada menu keluar ini memiliki sub menu ganti user dan keluar dari program dimana sub menu ganti user dapat digunakan untuk pergantian user dengan hak

TARBIYAH IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini digunakan proses heat treatment yang berbeda yaitu menggunakan induction hardening dengan acuan dari roda gigi Quick dan juga

Dengan aplikasi ini petugas menjadi lebih mudah dalam melakukan pencatatan peminjaman dan pengembalian buku sehingga membantu petugas dalam memantau buku yang