• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia (ISI) Surakarta selama ini biasa disebut dengan istilah pakeliran. Menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia (ISI) Surakarta selama ini biasa disebut dengan istilah pakeliran. Menurut"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan

Pertunjukan wayang kulit purwa, di kalangan akademi seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta selama ini biasa disebut dengan istilah pakeliran. Menurut Hazeu dalam Soetarno (2005: 30) pertunjukan wayang kulit purwa tersebut sudah ada sejak zaman Airlangga abad XI; itu dibuktikan dalam prasasti sebagai berikut:

“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh tuwin yan walulang unikir molah angucap, hatur neng wang tresnaning wisaya malaha tan wihikana, ri tat wan ya maya sahana hananing bawa siluman”.

“Orang melihat wayang menangis, dan tertawa, heran, kagum, meskipun sudah tahu bahwa yang dilihat itu hanyalah kulit dipahat berbentuk manusia bisa bergerak dan bicara.Yang melihat wayang demikian, seumpama orang bernafsu atas keduniawian, sehingga menjadikan diri lupa dan tidak tahu bahwa semua itu hanyalah bayangan yang keluarnya seperti siluman setan atau seperti sulapan belaka”.

Kehidupan masyarakat Jawa selain mengenal pertunjukan wayang kulit purwa, juga mengenal pertunjukan wayang lain, seperti wayang menak, gedog, madya, suluh, golek, klitik, dan beber; tetapi wayang-wayang tersebut sekarang sudah tidak eksis lagi bahkan dapat dikatakan punah. Soetarno (2002:50-61) terhadap punahnya wayang-wayang tersebut menerangkan, karena cerita repertoar-nya kurang menarik, susah dikembangkan sehingga tidak lagi sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang. Hal ini lain berbeda dengan cerita wayang kulit purwa Ramayana dan Mahabarta, repertoar-nya sangat kompleks, mudah untuk dikembangkan sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang, dan nilai yang terkandung cocok dengan pandangan hidup atau filsafat

(2)

masyarakat Jawa hingga menjadikan wayang kulit purwa eksis sampai dengan sekarang ini.

Kebanyakan orang tidak ragu menyatakan bahwa Ramayana dan Mahabarata sebagai sumber cerita yang disajikan dalam pakeliran adalah berasal dari India, akan tetapi untuk wayangnya sendiri masih terjadi silang pendapat, ada yang menyatakan dari India, ada yang menyatakan dari Cina, ada pula yang menyatakan dari Indonesia dalam hal ini Jawa. Pakar yang menyatakan dari India adalah Kroom, selanjutnya dapat dilihat dalam bukunya berjudul Gescheidenis van Nederlands Indie (Soetarno, 2005:34), pakar yang menyatakan dari Cina adalah Gosling dalam bukunya De Wayang Op Java Op Bali (Soetarno, 1995:5), pakar yang menyatakan dari Indonesia dalam hal ini Jawa adalah Hazeu dan Kruyt (Soetarno, 1995:5). Bahkan lebih jelas lagi dikatakan oleh Effendi (1978:46) bahwa wayang itu dari Jawa diciptakan para Wali.

Pernyataan wayang dari Jawa diciptakan para wali seperti dikatakan Zarkasi Effendi tersebut, menurut hipotesis Sedyawati (1996:10) sesungguhnya merupakan mitos saja, artinya tidak didukung oleh fakta dan sejarah yang benar. Fakta dan sejarah yang benar, wayang telah ada berabad-abad sebelum para wali.Keterangan lebih lanjut, penguasa yang arif dulu pada zaman para wali memang sengaja membuat pernyataan dalam bentuk spektrum “wayang ciptaan para wali” digunakan untuk dakwah.Wayang dibuat sedemikian rupa miring agar tidak bertentangan dengan syariat dan ajaran-ajaran agama Islam terutama kalimat laa ilaaha illallaah (iman). Ajaran kalimat laa ilaaha illallaah ini terdapat dalam berbagai cerita carangan seperti: “Jamus Kalimasada”, “Petruk Dadi Ratu”, dan “Mustakaweni Maling” (Effendi, 1978:49). Sedyawati (1996:11) selanjutnya menegaskan, bahwa pernyataan pendahulu “wayang diciptakan

(3)

para wali” tersebut sungguh bukan maksudnya untuk merusak sejarah, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan wayang yang sudah diambang kepunahan di tengah-tengah masyarakat yang sedang bergerak menuju perubahan Islam. Kebijakan budaya tersebut, selanjutnya diharapkan agar wayang dapat menjadi legitimate bagi orang-orang Jawa hingga sah atas perkembangannya di tengah-tengah alam keislaman.

Pernyataan pendahulu “wayang ciptaan para wali tersebut, selanjutnya oleh sebagian generasi sekarang diyakini atas kebenarannya bukan sebagai mitos, tetapi sebagai sejarah faktual dengan mengajukan sejumlah bukti yang ada seperti bonekanya dulu menghadap kemudian dibuat miring, tokoh dewa dulu dikultuskan kemudian dibuat sejajar dengan manusia keturunan Nabi Adam, senjata dulu yang paling ampuh Pasupati sekarang Jamus Kalimasada (wawancara dengan Bakdi Sumanto, Februari, 2011), ada cerita bertemakan Jamus kalimasada seperti dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”, dan “Mustakaweni Maling” (Effendi, 1978: 175).

Bukti-bukti yang ada seperti disebutkan itulah kemudian menjadi alasan untuk mengatakan: jika ada orang yang berani mengatakan bahwa wayang bukan ciptaan para wali tetapi ciptaan orang-orang Hindu, Jamus Kalimasada asalnya bukan dari Jimat Kalimat Syahadat laa ilaaha illallaah tetapi Jimat Sapulidi yang lima” (mungkin yang dimaksud adalah Jimat Kalima usada seperti yang disampaikan Nartasabda dalam banyak kaset pakelirannya), sungguh orang itu tidak tahu sejarah wayang.

Wayang sebagai ciptaan para wali itu mitos atau sejarah, yang perlu ditegaskan di sini adalah adanya keyakinan di kalangan masyarakat Jawa khususnya yang beragama Islam secara mantap terhadap peran para wali dalam menggunakan wayang untuk dakwah hingga berisi nilai ajaran agama Islam, misalnya: Puntadewa berisi

(4)

nilai-nilai kalimat laailaaha illallaah, Werkudara shalat, Janaka ilmu dan dzikir, Nakula ikramul muslim, Sadewa ikhlasunniat, dan sebagainya (Cah Angon, 2010: 67). Keyakinan tersebut kemudian dijadikan sebagai rujukan untuk melestarikan wayang sekarang ini, sehingga banyak khususnya para dalang muslim kemudian menggunakan wayang juga untuk dakwah tidak hanya wayang dalam arti ceritanya saja, tetapi juga pertunjukannya seperti pelaku, perabot dan operasional penyajian. Murtiyoso (1996:16) menerangkan bahwa dalang muslim dalam menggunakan wayang untuk dakwah, wayang tersebut diisi nilai-nilai ajaran agama Islam sedemikian rupa seperti wayang jaman para wali dulu. Murtiyoso (1996: 17) terhadap keterangannya itu kemudian memberikan contoh: wayang lakon “Rabine Premadi” yang disajikan oleh Syukron, dan lakon “mBangun Taman Maerakaca” yang disajikan oleh Anom Suroto. Wayang lakon “Rabine Irawan” yang disajikan oleh Syukron, diisi dengan nilai-nilai ajaran agama Islam di antaranya tentang pentingnya shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih disampaikan dalam dialog Jayeng Sabda dan Jayeng Resmi. Wayang lakon “mBangun Taman Maerakaca” yang disajikan oleh Anom Soeroto diisi dengan nilai-nilai ajaran agama Islam di antaranya tentang pentingnya syukur kepada Allah disampaikan dalam dialog antara Dursasana dengan Sengkuni dalam adegan Paseban Jawi. Wali Kota Hartomo Surakarta lewat sambutan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, terhadap wayang terakhir karena sentuhan-sentuhan nilai ajaran agamanya yang dianggap sangat tajam ketika itu, kemudian penyajinya (Ki. dalang Haji Anom Suroto) diberi predikat “wali sanga abad modern” (Naskah Pidato, Menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1987).

(5)

Wayang digunakan untuk dakwah dengan cara menyampaikan nilai-nilai ajaran-ajaran agama Islam baik perangkat: cerita, pelaku, perabot maupun operasional penyajian seperti dilakukan oleh dalang-dalang muslim tersebut di atas, dalam pemikiran Syaikh Maulana Ilyas, Rah. a. (Rahmatullaah ‘Alaih) yakni orang Islam yang mengambil usaha dakwah, sangatlah tepat. Pemikiran Syaikh Maulana Ilyas, Rah.a. terhadap apa pun sebuah barang yang dalam hal ini berarti termasuk juga wayang, maknanya adalah sebagai dakwah mengajak manusia untuk taat kepada Allah, bukan sebagai ibadah atau amal agama (Zakariyya, 2000:20). Menggunakan barang dalam hal ini wayang tersebut maka pemikirannya adalah sebagai dakwah, sebab dakwah itu dasarnya harus hikmah atau bijaksana sesuai dengan kekuatan yang diajak, hingga nilai agamanya bergerak mulai dari pelanggaran sampai dengan kebenaran sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Wayang bukan sebagai ibadah, sebab ibadah itu dasarnya syariat, hingga nilai ajaran agamanya harus benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Pemikiran seperti tersebut sangatlah menguntungkan, sebab menggunakan barang itu kalau nilai-nilai ajaran agamanya sesuai dengan syariat memang tidak berdosa, tetapi sekiranya tidak sesuai, maka akan diampunkan. Pemikiran ini lain jika menggunakan barang itu sebagai ibadah kalau nilai ajaran agamanya sesuai dengan syariat agama Islam memang tidak masalah, tetapi kalau tidak sesuai tetap saja akan berdosa (Zakariyya, 2000:502).

Wayang sebagai sebuah barang yang digunakan untuk dakwah dengan cara menyampaikan nilai-nilai ajaran agama Islam, baik perangkat cerita, pelaku, perabot maupun operasional penyajiannya seperti dilakukan oleh dalang-dalang muslim pada umumnya seperti sekarang ini, menurut Effendi (1978:56) kenyataannya campur dengan ajaran agama Hindu, Budha, budaya atau kebatinan (Effendi, 1978:39). Effendi

(6)

lebih lanjut menerangkan bahwa adanya cerita para dewa, laku semadi, brahmacari, dan sebagainya, juga tempat-tempat ibadah seperti candi Saptaharga, Saptarengga dan sebagainya, jelas merupakan nilai-nilai dari ajaran agama Hindu. Berdasar keterangan Effendi tersebut, maka seperti lakon “Murwakala”, “Sudamala”, dan lakon-lakon ruwatan lain dengan segala penerapannya, adalah sebagai ajaran agama Hindu. Sejalan dengan pendapat Effendi tersebut, Murtiyoso menerangkan bahwa “Kunjara Karna” yang dilakukan oleh dalang Sutrisna almarhum ketika di Rebo Legen rumah Anom Suroto Solo adalah sebuah lakon yang juga berisi nilai-nilai ajaran agama Budha langsung, hal ini karena setelah Kunjarakarna bisa diruwat oleh Budha Wairucana kemudian masuk agama Budha (Sutrisno, 1982:25). Wayang memanglah dapat dikatakan mengandung semua nilai ajaran agama, tetapi tersirat tidak mloho dan tidak ngguroni, maksudnya tidak vulgar dan tidak menggurui.

Pergumulan dari ketiga ajaran dan nilai dari ajaran agama Hindu, Budha, Islam yang tidak dapat dipisah-pisahkan itulah, kemudian menjadikan wayang sebagai tuntunan budaya atau kebatinan yang memang sumbernya dari ketiga nilai ajaran agama tersebut (Assalawi, 1986:96). Apalagi mulai dari Orde Lama, Orde Baru sampai dengan sekarang ini (pasal 29 UUD 45) telah memberi peluang atas disahkannya kebatinan sebagai salah satu alternatif dari keyakinan bangsa, maka wayang sebagai tuntunan atau ajaran kebatinan secara tidak langsung semakin diakui di tengah-tengah masyarakat pendukung budaya Jawa (Irawanto, 1967:12).

Suwardi, sehubungan dengan adanya nilai ajaran kebatinan yang terdapat dalam wayang tersebut mengatakan: “agama yang lebih cocok untuk orang-orang Jawa memang sebenarnya wayang, Nabinya Semar”. Maksudnya wayang secara keseluruhan nilai-nilai

(7)

yang ada merupakan gambaran dari manifestasi kekuasaan dan sifat Tuhan, sedang Semar menjadi panutan atau tuntunan. Setiap orang yang bercita-cita mistik akan mewujudkan ajaran “sepi ing pamrih rame ing gawe”, dan memayu hayuning bawana”, untuk menuju pada manunggaling kawula lan Gusti (wawancara, 2011).

Kenyataan sekarang ini, setidak-tidaknya ada empat ajaran yang terdapat di dalam wayang, yakni Hindu, Budha, Islam, dan kebatinan. Keempat nilai ajaran tersebut, kadang menyatu kadang terpisah. Menyatu, maksudnya ada nilai-nilai ajaran yang dapat diterima oleh semua agama baik Hindu, Budha, Islam, maupun kebatinan, terpisah hanya bisa diterima oleh salah satu agama saja. Seperti wayang gambar miring misalnya, dapat diterima oleh semua agama paling tidak Hindu, dan Islam, tetapi pada penyebutan “hong awignam astu namasiddam” kalau itu sebagai doa yang dipersembahkan kepada Dewa seperti dikatakan oleh Bei Sutarno: guru kursus Pasinaon Dalang Mangkunegaran tahun 1972 apalagi dibarengi dengan saji-sajian, hanya dapat diterima oleh agama Hindu saja, atau yang jelas tidak dapat diterima oleh agama Islam, karena akan termasuk tasabuh atau meniru kaum Hindu yang sangat dilarang: mantasabbaha biqaumin fahuwa minhu: barang siapa yang meniru sebuah kaum maka akan digolongkan menjadi kaum itu (Hadits sahih).

Wayang kulit purwa Jawa yang semula bernilai ajaran agama Hindu kemudian dijadikan sedemikian rupa seni Islami yang setengah-setengah tidak secara keseluruhan, hanya ruhnya saja. Itulah mungkin akibat dari tidak adanya keinginan orang-orang Islam untuk menggerus budaya yang tengah dihayati dan dirawat oleh bangsa Indonesia, karena memang mereka datang bukan sebagai imperalis budaya (Irawanto, 1993:3).

(8)

Nilai-nilai ajaran wayang kulit purwa tidak hanya cerita tetapi juga pertunjukan berkaitan dengan pelak, perabot dan operasional penyajiannya yang dilihat dengan dasar Al-Qur’an dan Hadits itulah kemudian mengantarkan sampai pada hukum berbeda: ada yang memperbolehkan, ada yang tidak. Yang memperbolehkan, karena wayang kulit purwa mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam yang sangat fundamental, yang dahulu juga dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam, sedang yang tidak memperbolehkan, karena bagaimanapun wayang, nilai-nilai ajaran agamanya tidak murni atau campur baur dengan nilai-nilai ajaran agama lain.

Pondok pesantren Watu Congol Magelang Jawa tengah dan pondok pesantren “Kuna” sebelah Barat dusun Mlangi Yogyakarta misalnya, termasuk lembaga yang mempunyai pandangan memperbolehkan wayang. Ini terlihat dari kegiatannya setiap tahun yang selalu mengundang wayang untuk melepas murid-muridnya yang telah lulus dan hafal Qur’an. Institut Agama Islam (IAIN) sekarang Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, termasuk lembaga yang mempunyai pandangan tidak memperbolehkan. Ini terlihat dari sikapnya yang tidak mau menanggap wayang lagi setelah sekali dalam rangka peresmian gedung pusat tahun 1970-an walaupun dalam perjalanannnya September 2010 kemarin menanggap lagi (wawancara dengan Abdusysyakur Dekan Fakultas Ushuluddin (wawancara Oktober, 2010). Sebuah lembaga, atau organisasi agama apapun yang berlandaskan syariat, sudah barang tentu akan sangat “keras” sikapnya terhadap wayang. Sikapnya yang keras terhadap wayang itu bukan karena lembaga atau organisasinya, tetapi syari’atnya yang memang tidak dapat menerima kehadiran wayang tersebut (Sutiono, 2010: 13). Perbedaan pendapat atau khilafiyah para alim ulama terhadap wayang tersebut, bagaimanapun sampai dengan sekarang ini wayang

(9)

kulit purwa masih tetap eksis, dan tanda-tanda digunakannya untuk dakwah berisi nilai-nilai ajaran agama Islam dan etika masih ada.

Pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” di Taman Budaya Surakarta (TBS) tanggal 17 Maret 2011 dalam acara “Tirakatan Malem Jumat Kliwon” yang oleh penyajinya dalang Enthus Susmono mengaku digunakan untuk dakwah tersebut, penting untuk diteliti bagaimana perspektifnya dalam etika umum serta relevansinya dengan ajaran moralitas Syaikh Maulana Ilyas, Rah.a.

Pentingnya penelitian terhadap pertunjukan wayang kulit purwa lakon Subali Lena oleh dalang Enthus Susmono dalam perspektif etika dan relevansinya dengan ajaran moralitas Syaikh Maulana Ilyas, rah. a. ini, sebab kaitannya dengan objek material pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” tersebut pertama: disajikan oleh dalang Enthus Susmono yang kecuali termasuk dalam senerai dalang-dalang kondang, juga kealiman agamanya lebih tinggi dibanding dengan dalang-dalang lainnya (berarti termasuk Anom Suroto dan Syukron seperti telah disinggung sebelumnya) (Murtisoso, 1996), kedua: disajikan dengan sangat unik, Islami baik kaitannya dengan perangkat cerita, pelaku, dan perabot, serta operasional penyajian banyak ayat-ayat Qur’an dan Hadits dalam setiap adegan, ketiga: disajikan dalam setting acara yang sangat islami pula, yakni “Tirakatan Malem Jumat Kliwon” di mana tirakatan malam jumat apa pun tanpa menunjuk hari pasaran demikian sangat dianjurkan oleh agama Islam, sebab malam Jumat itu adalah malam ijabah atau malam dimana permohonan manusia dikabulkan, yang dalam agama Islam disebut dengan istilah sayyidul ayyam atau hari yang agung (Attauhid, 2011:2). Keempat lakonnya sangat filosofis atau banyak mengandung nilai-nilai filsafat. Pentingnya penelitian ini pula kaitannya dengan objek formal etika umum,

(10)

karena etika umum itu bagian dari filsafat aksiologi, maka etika umum tersebut kemudian menjadi bisa dan bahkan leluasa untuk meneliti aksiologi pertunjukan wayang kulit purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono tersebut, hingga hasilnya akan bisa memberikan informasi sejauh mana kesempurnaan aktualisasi nilai-nilai etika pertunjukan wayang kulit purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono tersebut.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti telah diuraikan tersebut di atas, maka dibuatlah suatu rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” sajian dalang Enthus Susmono ?

b. Apa nilai-nilai etis yang terkandung dalam pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” oleh dalang Enthus Susmono ?

c. Apa relevansi nilai-nilai etis pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” dengan ajaran moral Syaikh Maulana Ilyas dalam usaha perbaikan moralitas umat dan pelestarian wayang ?

3. Keaslian Penelitian

Effendi (1978) dalam bukunya berjudul: Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan yang diterbitkan oleh PT. Al-Ma’arif Bandung, mengkaji atau meneliti tentang cerita wayang dengan pendekatan agama Islam Qur’an-Hadits, hingga bisa memberikan penjelasan tentang ma’rifat bersangkutan dengan pokok-pokoknya seperti hubungan manusia dengan diri, Tuhan, manusia, dan alam (130-140).

(11)

Sujuddin (1981:46-48) dalam bukunya berjudul: Pandangan Islam terhadap Seni Pergelaran, yang diterbitkan oleh: PNTB Bandung, membicarakan tentang perjalananBegawanCipta Ning. Dalam perjalanan Begawan Cipta Ning tersebut memberikan informasi tentang ajaran agama Islam yang sangat mendasar, yakni usaha atas iman dan amal, dan bagaimanapun yang tidak boleh ditinggalkan adalah usaha dunia sebagai sarananya.

Jazuli, dalam disertasinya Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya tahun 1999 berjudul: “Dalang Pertunjukan Wayang Kulit: Studi Tentang Ideologi Dalang dalam Perspektif Hubungan Negara dengan Masyarakat” penelitian yang mengkaji tentang ideologi dalang dengan pendekatan strukturasionistik yang memperlakukan dalang sebagai manusia aktif, kreatif, dan komunikatif dalam fungsinya sebagai pelaku budaya hingga cara bertindaknya bergantung bagaimana memaknai sebuah perilaku. Objek penelitian ini adalah para dalang: Anom Soeroto, Manteb Sudarsono, Timbul Hadiprayitno, Panut Darmoko, Enthus Susmono, Subono, Sayoko, Joko Hadi Wijoyo, Purbo Asmaoro, Warseno, Sukron Suwondo, Slamet Gundono, Sanyoto, dan Mulyanto. Disertasi ini bisa memberikan informasi tentang ideologi dalang yang pragmatis dengan visi dan misinya. Visinya netral dalam berbagai kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, misinya memberikan motivasi dengan wayang sebagai tuntunan dan tontonan. Disertasi tersebut tidak memberikan informasi bagaimana ajaran etika yang harus dilakukan dalam usahanya memberikan motivasi untuk melakukan misi sebagai tuntunan kebaikan moral dan agama.

Kayam (2001:115-116) dalam bukunya berjudul: Kelir Tanpa Batas yang diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya UGM, membicarakan tentang kehidupan wayang

(12)

kulit Jawa sekitar tahun 1993 sampai dengan 1995 yang dilakukan oleh dalang-dalang populer termasuk di antaranya adalah Enthus Susmono. Buku tersebut bisa memberikan informasi tentang strategi bagaimana kreatifitas dalang termasuk Enthus Susmono tersebut ketika menyajikan wayang, yakni dengan cara mengangkat isu-isu hangat baik politik, ekonomi, sosial, agama, seni non pakeliran: band, keroncong, orkes melayu, dan sebagainya ke dalam pakeliran.

Soenarjo dalam disertasinya Program Doktor Program Pascasarjana Universitas 17-Agustus 2003 berjudul: “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Jawa Masa Kini: Kajian manajemen Strategi”, adalah penelitian tentang manajemen dalang wayang kulit purwa Jawa terhadap strategi pertunjukannya. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Objek penelitian adalah: Anom Soeroto, Manteb Sudarsono, Timbul Hadiprayitno, Panut Darmoko, Suleman, Enthus Susmono, Sholeh dan Alif. Disertasi ini bisa memberikan pemahaman tentang bagaimana para dalang mengelola pertunjukan wayang kulit purwa, termasuk tujuannya untuk kebaikan moral dan agama. Bagaimanapun disertasi tersebut bisa memberikan pemahaman tentang manajemen dalang wayang kulit purwa Jawa terhadap pertunjukannya, tetapi tidak memberikan informasi tentang bagaimana ajaran etika pertunjukan wayang kulit purwa tersebut ketika digunakan untuk kebaikan moral-agama: sudah sesuai atau belum.

Soetarno (2005:77) dalam bukunya berjudul: Pertunjukan Wayang Makna Simbolis yang diterbitkan oleh STSI Press, memberikan informasi tentang pertunjukan wayang kulit purwa Jawa terutama mengenai unsur-unsurnya seperti cerita, pelaku, perabot, dan pagelaran. Selain memberikan informasi mengenai unsur-unsurnya seperti disebutkan, juga Soetarno (2005:116-118) memberikan informasi mengenai operasional

(13)

penyajiannya, walaupun operasional penyajiannya tersebut lakon Cipta Ning, bukan lakon seperti dalam penelitian yang sedang dalam pengerjaan sekarang ini.

Kasidi dalam disertasinya Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2009 berjudul: “Estetika Suluk Wayang Gaya Yogyakarta: Relevansinya Bagi Etika Moralitas Bangsa”, adalah penelitian yang mengkaji tentang struktur sulukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dengan pendekatan estetika, nara sumber Ki. Dalang Timbul Hadiprayitno. Disertasi ini dapat memberikan informasi tentang berbagai ajaran moral budi pekerti luhur, bahkan agama, karena sulukan sendiri asalnya dari kata salaka (bahasa Arab) artinya jalan yang ditempuh. Oleh karena itu, jika suluk benar-benar dihayati, akan bisa mengantarkan terutama dalang sampai pada penciptanya.

Iva Ariani, dalam disertasinya Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2009 berjudul: “Etika dalam Lakon Kombakarna Gugur Oleh Dalang Anom Suroto Relevansinya Bagi Pengembangan Bela Negara Di Indonesia”, adalah penelitian filosofis yang memandang cerita tersebut penuh dengan nilai etis dan kepahlawanan, selanjutnya didekati dengan teori etika Immanuel Kant dan Aristoteles untuk mengetahui relevansinya dengan bela negara. Disertasi ini di antaranya dapat memberikan informasi tentang etika tokoh wayang Kombakarna dalam membela Negara sebagai tanah kelahiran yang telah diserang oleh musuh kera dengan relevansinya yang dapat membangkitkan semangat bangsa dalam usahanya untuk membela Negara. Etika ini terdapat dalam kebenarannya ketika membela Negara, karena negaranya diserang musuh. Selain itu juga ajaran moral: seperti agar tidak banyak raksasa yang mati dan spiritual seperti mengabdi kepada Tuhan: ketika memakai pakaian serba putih sebagai

(14)

tanda kesiapan diri untuk mati, menjaga keharmonisan alam: karena kera-kera itu merusak kerajaan dan membendung lautan (172-196).

Lestari dalam disertasinya Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjahmada Yogyakarta tahun 2009 berjudul: “Nilai Etis Ruwatan Sukerta dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Relevansinya Bagi Budi Pekerti Masyarakat”, adalah penelitian studi filsafat dengan pendekatan ilmu humaniora difokuskan pada pelaku ruwatan yang ada terutama dalang, dan yang diruwat. Disertasi ini dapat memberikan informasi di antaranya tentang nilai-nilai etis yang dilakukan oleh pelaku ruwatan tersebut berdasar moral dan budi pekerti luhur, bahkan agama, seperti: guyup rukun: para pemandu saling bersama menggotong anak sukerta ke tempat yang telah disedikan untuk diruwat, menghormati kepada sesama: para pemotong rambut sukerta melakukan tugasnya dengan tertib urut satu persatu dari dalang terlebih dulu, orang tua, eyang, kemudian saudara dan handai tolan, taat kepada orang tua: anak mengikuti kehendak orang tua untuk di ajak sungkem kepada dalang, menjaga keharmonisan alam: menggunakan berbagai daun-daunan untuk ditata sebagai tarup sedemikian rupa, dan doa kepada Tuhan: acara ruwatan diawali dari doa seorang kaum. (156-157).

Berbagai buku atau tulisan-tulisan yang terkait dengan penelitian seperti telah disebutkan di atas, belum ada satu pun yang mengkaji atau meneliti secara khusus tentang pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” sajian Enthus Susmono dalam perspektif etika Syaikh Maulana Ilyas,Rah, a., hingga penelitian ini benar-benar asli datanya dapat dipertanggungjawabkan, diperoleh peneliti sendiri ketika terjun di lapangan.

(15)

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan bentuk pertunjukan wayang kulit purwa berkaitan dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya sebagai cabang ilmu budaya dalam hal ini pertunjukan wayang kulit purwa.

b. Bagi filsafat, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melengkapi konsep ajaran etika yang sudah ada, selanjutnya dapat diterapkan dalam usaha yang berbasis ajakan manusia pada kebaikan mencegah kemungkaran.

c. Bagi bangsa Indonesia, dapat digunakan sebagai dasar untuk menyikapi ajaran-ajaran fundamentalisme yang menyesatkan hingga berujung pada kesengsaraan dan kematian seperti peristiwa terorisme akhir-akhir ini.

B. Tujuan Penelitian

1. Menggali dan merumuskan secara deskriptif tentang makna pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” yang disajikan oleh dalang Enthus Sumono. 2. Menganalisis secara kritis tentang nilai-nilai etis yang terkandung dalam

pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” oleh dalang Enthus Susmono.

3. Merefleksikan dan menemukan relevansi nilai-nilai etis pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” dengan ajaran moral Syaikh Maulana Ilyas dalam usaha perbaikan moralitas umat dan pelestarian wayang.

(16)

C. Tinjauan Pustaka

Pertunjukan wayang kulit purwa di kalangan masyarakat umum biasa disebut dengan istilah wayang, yakni boneka yang dibuat dari bahan kulit kerbau atau sapi, di kalangan akademik disebut pakeliran, dari kata kelir: layar yang terbuat dari kain, terbentang sebagai alas permainan wayang (Murtiyoso, 1990:1). Pertunjukan wayang kulit purwa, merupakan luluhan dari berbagai seni, ada seni sastra pada bahasa yang diucapkan dalang, seni rupa pada wayang bonekanya, musik pada iringannya, suara pada tembang yang dilantunkan dalang atau pesindennya, dan panggung pada permainan wayangnya (Aryandi, 2003:13).

Pertunjukan wayang kulit purwa selalu menjadi bahan menarik untuk dibicarakan dalam berbagai bidang: politik, sosial, budaya, agama, dan filsafat. Khusus yang terakhir dalam bidang filsafat, karena ceritanya lebih mapan dan sistemik (Rusdy, 2012:2).

Pertunjukan wayang kulit purwa dalam bidang politik, sering digunakan untuk kendaraan dalam meraih sukses kekuasaan, bahkan tidak basa-basi untuk kampanye, hingga berdampak pada semakin jauhnya dari pakem bahkan sampai metu kelir menjadi bukan wayang lagi (Murtiyoso 2011:18).

Pertunjukan wayang kulit purwa dalam bidang sosial, sering di digunakan untuk berinteraksi sesama pelaku, lazimnya dalang minta gending kepada pengrawit dengan cara sasmita atau simbolisme bahasa atau gerakan wayang, maupun penonton, seperti dalang melayani gending dolanan atas permintaan penonton. Pertunjukan wayang kulit purwa dalam bidang budaya, sering digunakan untuk mengingatkan manusia sebagai hamba-Nya hingga berdampak statemen adiluhung: adi: indah dan luhung atau luhur:

(17)

indah dan luhur, indah: menarik untuk dihayati, luhur: berisi ajaran-ajaran kebaikan moral dan agama, hingga pertunjukan wayang kulit purwa tersebut baik perabot, pelaku, dan operasional penyajiannya ditata sedemikian rupa (Ismunandar, 1988:48).

Pertunjukan wayang kulit purwa dalam bidang agama, sering digunakan untuk ibadah sesuai dengan syariatnya, untuk dakwah sesuai dengan kebijakannya, itulah maka kemudian selesai wayang ada adegan golekan: golekana wosing cerita sing apik nggonen sing elek guwangen: carilah inti cerita yang baik amalkan, yang jelek jangan (Zarkasi, 1978:67).

Pertunjukan wayang kulit purwa dalam bidang filsafat, sering digunakan untuk propaganda membentuk karakrer manusia: wayang bermakna jagat walikan, atau mikro kosmos (Sastra Amidjojo, 1990:58), dan sebagai miniatur dunia yang sangat besar ini, wayang: manusia, dalang: Tuhan, gedebog: bumi, layar: langit, kotak: kuburan, blencong: matahari, simping kanan simping kiri: simbol kebaikan dan keburukan (Sri Mulyono, 1975:61).

Effendi (1987:67) dalam bukunya Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan, melihat pertunjukan wayang adalah sebagai dakwah kebaikan agama yang disampaikan dalam bentuk simbol-filosofi, dalang asalnya dari kata ngudal piwilang, atau dalla (bahasa Arab) artinya petunjuk: orang yang menunjukkan pada kebaikan agama, kendang asalnya dari kata: ndang-ndang-ndang: segeralah pada kebaikan shalat, dheng-dheng-dheng: masih muat, gong: pada yang Maha Agung.

Sastra Amidjojo (1964:17) dalam bukunya Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit, menerangkan panjang lebar mengenai pertunjukan wayang kulit purwa

(18)

secara simbolis, bahwa adegan mulai jejeran sampai dengan tanceb kayon itu merupakan simbol dari perjalanan hidup manusia lahir sampai mati.

Becker, A. L. (1979:19) dalam bukunya “The Imagination of Reality essays in South Heastheas Asian Coherence System“ membuat penataan alur wayang sedemikianrupa mulai dari jejer sampai dengan tanceb kayon, hingga sekarang banyak digunakan sebagai dasar untuk mengkaji alur sebuah pertunjukan wayang.

Kanti Waluyo (1994:167) dalam disertasinya Peranan Dalang Dalam Menyampaikan Pesan Pembangunan, membuat peta adegan dalam pertunjukan wayang kulit purwa yang biasa digunakan untuk menyampaikan misi-misi pembangunan. Peta adegan dalam pertunjukan wayang kulit purwa yang biasa digunakan untuk menyampaikan misi-misi pembangunan tersebut adalah adegan Limbukan dan Gara-gara,

Sutrisno, R. (1998:4) dalam bukunya Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya menerangkan bahwa kebiasaan orang dusun mengadakan pertunjukan wayang kulit purwa, adalah di peringgitan rumah, dengan ada ritual dan saji-sajian: sebelum wayang, dalang berpuasa terlebih dulu, mandi besar, kemudian memimpin doa sebelum mendalang, selebihnya berkuasa atas saji-sajian yang ada: tumpeng, ingkung ayam, dan buah-buahan.

Bambang Murtiyoso (2001:57) dalam bukunya Kumpulan Esay Seni Wayang dan Dunia Dalang membagi pertunjukan wayang kulit purwa menjadi empat: pertunjukan wayang kulit dalang lesu darah, penuh vitalitas, moderat, dan garang. Pertunjukan wayang dalang lesu darah: pakemis ketat, kaku: tidak berkembang. Vitalitas: kreatif,

(19)

inovatif, orientasi ke depan. Moderat: simbang antara fungsi tuntunan dan tontonan, berorientasi sekarang. Garang: produktif, pedomannya garap pakeliran.

Pertunjukan wayang kulit purwa seperti diuraikan, jelaslah mempunyai fungsi ganda: kecuali sebagai hiburan yang enak ditonton, didengar, dan dirasakan, tetapi juga sebagai ritual persembahan manusia kepada Tuhan dalam usahanya untuk mendapatkan kepahaman diri sebagai kawula-gusti, minimal sebagai syariat diri menjalankan kewajiban agama, hingga ada tertib-atau cara-cara tersendiri.

Khusus cerita “Subali Lena” mulai dari pertemuan Dewi Iindradi dengan Batara Surya, perebutan cupu manik Astagina, sampai terbunuhnya Subali, nampaknya dipandang sangat potensial dan mudah digarap untuk menyampaikan misi-misi kebaikan moral maupun agama sesuai kehendaknya, terbukti dari tafsir yang berbeda antara orang satu dengan dalang lainnya.

Widyawati, R. (2008:783) dapat dibaca dari makna di balik esai cerita “Sugriwa-Subali” yang ditulis, yakni aktualisasi betapa tingginya nilai ketaatan anak kepada orang tua itu, sehingga karenanya Sugriwa-Subali menjadi kera karena tidak taat: sudah dibilang untuk tidak terpaut dengan yang namanya cupu manik Astagina tidak mau. Ceritanya, Sugriwa Subali itu mendapatkan anugerah setelah menuruti kehendak orang tuanya Reri Gotama.

Subranian (2008:601) dapat dibaca dari makna di balik esai cerita “Sugriwa Subali” yang ditulis, adalah aktualisasi betapa tingginya nilai pengorbanan untuk mendapatkan ridla di sisi-Nya (Betara Wisnu), sehingga karenanya Subali rela mati di tangan Prabu Rama karena titisan Betara Wisnu.

(20)

Bandem (1981/1982:68) lain lagi tafsirnya terhadap “Subali Lena”, yakni Subali memang salah karena mengajarkan aji Pancasona kepada Dasamuka seorang yang srakah. Pada hal kalau Pancasona itu diajarkan kepada orang yang suci saja, kalau kemudian tahu, orang yang suci itu masih sangat susah untuk bisa amanah, apalagi diajarkan kepada orang yang serakah seperti Dasamuka, maka apabila kemudian Dasamuka tahu, pasti tidak akan bisa amanah.

D. Landasan Teori

Sekurang-kurangnya ada tiga istiah yang perlu dibedakan: moral, etika, dan etiket. Secara etimologis etika (ethics) berarti moral, etiket (etiqutte) berarti sopan santun. Istilah-istilah ini memiliki persamaan dan perbedaan makna. Moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika adalah filsafat moral yang mengkaji secara kritis tentang soal baik dan buruk yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku. Etika bersifat universal. Magniz-Suseno (1993:23) mendefinisikan etika sebagai filsafat moral atau pemikiran kritis dan mendasar terhadap ajaran-ajaran norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan pandangan moral secara kritis. Berdasar pengertian tersebut, maka etika itu sebuah kritik terhadap konsep perilaku manusia, dan bukan sekedar bagaimana bertingkah laku. Etiket menunjukkan cara yang tepat atau cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila

tidak ada orang lain maka etiket tidak berlaku; jadi Etiket bersifat relatif. Persamaan etika dan etiket. Pertama, kedua-duanya menyangkut perilaku manusia.

(21)

memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan (Zakaria, 2011:1).

Agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Motivasi terpenting dan terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Jika dibandingkan pelbagai agama, ajaran moralnya barangkali sedikit berbeda, tetapi secara menyeluruh perbedaannya tidak terlalu besar. Atau dengan kata lain, ada nilai-nilai universal yang relatif sama. Mengapa ajaran moral dalam suatu agama dianggap begitu penting? Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Ajaran moral itu diterima karena alasan keimanan. Namun demikian, nilai dan norma moral tidak secara eksklusif diterima karena alasan-alasan keagamaan. Ada juga alasan-alasan lebih umum untuk menerima aturan-aturan moral, yaitu alasan-alasan rasional.

Dalam etika filosofis atau filsafat moral justru diusahakan untuk menggali alasan-alasan rasional untuk nilai-nilai dan norma-norma yang dipakai sebagai pegangan bagi perilaku moral. Berbeda dengan agama, filsafat memilih titik tolaknya dalam rasio dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya pada rasio. Filsafat hanya menerima argumen dan alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui oleh semua orang. Filsafat menghindari setiap unsur nonrasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio. Agama berangkat dari keimanan; kebenarannya tidak dibuktikan, tetapi dipercaya. Kebenaranyya tidak diterima karena dimengerti, melainkan karena terjamin oleh wahyu. (Zakaria, 2011: 2).

Etika membicarakan persoalan-persoalan dasar antara lain soal hati nurani, tanggung jawab, kebebasan, hak dan kewajiban . Hati nurani adalah penghayatan tentang

(22)

baik dan buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret. Hati nurani memerintahkan atau melarang manusia untuk melakukan sesuatu. hati nurani tidak bicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan integritas pribadi dan mengkhianati martabat terdalam manusia.Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran (Bertens, 2002:12). Demikian juga terdapat hubungan timbal-balik antara kebebasan dan tanggung jawab, sehingga jika dikatakan “manusia itu bebas” berarti “manusia itu bertanggung jawab”. Tidak mungkin kebebasan tanpa tanggung jawab dan tidak mungkin tanggung jawab tanpa kebebasan.

Pada umumnya orang membedakan beberapa jenis etika. Pertama, etika normatif yang membicarakan tentang bagaimana sesorang layak bertindak secara moral, lebih bersifat preskriptif. Kedua, etika khusus, jenis etika ini bersifat deskriptif dan empirik. Ketiga, metaetika yang membicarakan tentang bahasa moral dan aspek-aspek metafisik moral, bersifat baik deskriptif maupun preskrptif (Lazo, 2001:13). Ada pembagian ragam etika yang lain yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa dirinya merupakan makhluk sosial. Bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial

(23)

membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia (Magnis-Suseno, 2003:11-12).

E. Metode Penelitian 1. Materi atau Bahan Penelitian

Materi atau bahan penelitian ini adalah pertunjukan wayang kulit purwa sajian dalang Enthus Susmono dengan kasus lakon yang digelar dalam acara “Tirakatan Malem Jum’at Kliwon” di Taman Budaya Surakarta, 17 Maret 2011 adalah “Subali Lena”. Setting terutama acara: tirakatan yang asalnya dari kata thariqah: jalan: jalan yang ditempuh untuk sampai kepada Allah (Al-Bahi, 1971:15) dan waktu: malam Jum’at yang sangat agung bagi orang Islam. Pertunjukan wayang kulit purwa sajian dalang Enthus Susmono tersebut benar-benar dalam suasana dakwah secara sempurna, sehingga banyak data dari nilai-nilai dakwah di dalamnya yang bisa diambil.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer penelitian ini adalah: Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon “Subali Lena” oleh Ki. Naryocarito (1978), diterbitkan Proyek Institut Kesenian Indonesia (IKI), pernah menjadi materi kuliah jurusan Pedalangan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta tahun delapanpuluhan, dan buku “Bedhahipun Lokapala” oleh R. Ng. Sindusastra (1984:9-13), Alih Aksara dan Ringkasan Sutjipto, diterbitkan oleh BP. PN. Balai Pustaka: Jakarta

(24)

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder penelitian ini, adalah buku-buku, thesis, majalah, koran, yang membahas tentang pertunjukan wayang kulit purwa. Sumber skunder selain buku-buku yang membahas tentang pertunjukan, juga kaset CD tentang pertunjukan wayang kulit purwa, lakon apa pun oleh dalang siapa pun yang ada. Sumber data skunder tersebut, selanjutnya diharapkan bisa melengkapi sumber data primer.

2. Jalan Penelitian

Data dari materi atau bahan penelitian pertunjukan wayang kulit purwa dalam kasus lakon “Subali Lena” sajian alang Enthus Susmono tersebut, digambarkan dengan kata atau kalimat sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan, tanpa ditambah atau dikurangi sama sekali oleh pengumpul data dalam hal ini peneliti sendiri, hingga penelitian bersifat deskriptif-kualitatif, tetapi diambil yang penting yang sekiranya ada formasi untuk dilakukan penelitian.

Jalannya penelitian ini adalah dilakukan dengan cara berturut-turut: pengumpulan data, klasifikasi data, dan penyimpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik: pertama studi pustaka, kedua pengamatan, ketiga pengamatan berperanserta, keempat wawancara, dan kelima dokumentasi.

Studi pustaka yang peneliti lakukan adalah mempelajari pustaka atau buku yang dipilih sebagai sumber data primer dan data skunder. Sumber data primer adalah buku Pertunjukan Wayang Kulit Purwa lakon “Subali Lena” oleh Ki. Naryocarito, buku sedang sumber data skunder adalah kecuali diktat, tesis, disertasi, majalah, dan koran yang ada kaitannya dengan pertunjukan wayang kulit purwa seperti perangkat: cerita,

(25)

pelaku, perabot, dan operasionalnya, juga terjun ke lapangan sementara melihat pertunjukan wayang kulit purwa sajian dalang Enthus Susmono untuk melihat layak tidaknya penelitian ini dilakukan.

Pengamatan atau observasi yang peneliti lakukan, adalah mengamati langsung pertunjukan wayang kulit purwa, yang dalam hal ini lakon “Subali Lena” sajian dalang Enthus Susmono di Taman Budaya Surakarta dengan mencatat gejala-gejala yang tampak. Untuk membantu kelancaran observasi tersebut, peneliti menggunakan sejumlah alat bantu seperti perangkat tulis: kertas, dan pensil, perekam gambar atau potret, perekam suara atau tape recorder, dan perekam audio-visual atau shoting. Hasil observasi yang dilakukan kemudian ditulis atau ditranskripsi dalam bentuk kata atau kalimat, dengan maksud agar mudah dipahami dan dianalisis tentang data yang dibutuhkan.

Pengamatan berperanserta yang peneliti lakukan, adalah membaur dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh sasaran terutama dalang Enthus Susmono sebagai pelaku pertunjukan dengan fokus kegiatan yang akan diambil datanya. Hal ini dilakukan, maksudnya agar data yang dibutuhkan bisa akurat, teliti, dan akuntabel. Peneliti dalam melakukan pengamatan berperanserta ini, selalu siap dengan alat bantu tape recorder untuk merekam apabila ada suara-suara penting, kertas dan pensil untuk mencatat apabila ada masalah penting, serta audio visual shotting untuk merekam apabila ada peristiwa-peristiwa penting.

Wawancara atau interview yang peneliti lakukan adalah tanya-jawab dengan cara bertatap muka langsung dengan informan: penanggap dalam hal ini adalah orang-orang komunitas malem Jum’at Kliwon seperti: Mujiono, dalang: Enthus Susmono sendiri,

(26)

pengrawit: Supoyo, penonton: Sabar, dan pengamat: Sugeng Nugroho, ulama: Mufti Abu Yazid, dan dai: Abas, dan mendapatkan keterangan tentang kesaksiannya terhadap jalannya pertunjukan yang dilakukan oleh Enthus Susmono selama ini, termasuk ketika di Taman Budaya dalam acara Tirakatan Malem Jum’at Kliwon tersebut. Wawancara atau interview ini, peneliti lakukan dengan cara mendalam, maksudnya memberikan keleluasaan kepada informan sebagai responden untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan secara detail sedetal-detailnya. Peneliti dalam melakukan wawancara tersebut, menggunakan sejumlah alat bantu seperti tape recorder—paling tidak untuk merekam berbagai suara atau keterangan-keterangan penting, kertas, dan pensil untuk mencatat berbagai masalah atau keterangan-keterangan penting, kertas dan bolpoin untuk mencatat berbagi masalah atau keterangan-keterangan penting, dan wawancara tersebut memberikan informasi banyak kaitannya dengan pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” sajian dalang Enthus Susmono, serta kegiatan harian yang dilakukan oleh dalang Enthus Susmono di luar pertunjukan tertsebut baik sebelum maupun sesudahnya

Dokumentasi yang peneliti lakukan, adalah menggali data lewat surat-surat penting seperti: majalah, koran, notulen rapat, catatan harian, gambar atau foto, dan benda-benda yang ada kaitannya dengan topik penelitian, hingga dari dekumentasi ini diperoleh informasi seperti tentang riwayat hidup Enthus Susmono, tentang kegiatan sehari-hari kaitannya dengan agama, dan dengan masyarakat.

Klasifikasi data yang peneliti lakukan, adalah mengklasifikasikan data yang telah dikumpulkan melalui berbagai teknik atau cara: studi pustaka, pengamatan dan sebagainya seperti telah diterangkan tersebut. Penyimpulandata yang peneliti lakukan,

(27)

setelah berhasil mengklasifikasikan data kemudian masing-masing data di tata sedemikian rupa untuk bisa dianalisis.

3. Analisis Data

Analisis data sebenarnya lebih menekankan pada proses pemberian makna dan mengorganisasikannya berdasar pola dan sistem yang telah ditentukan (Kaelan: 2005:68). Proses pemberian makna dimaksud, agar bisa dihubungkan dengan konteks membangun dalam hal ini pertunjukan wayang kulit purwa ke depan. Oleh karena itu, terhadap maksud tersebut analisis data dilakukan dengan cara atau metode: hermeneutika dan heuristika (Kaelan 2005:42-47).

Hermeneutika adalah tahapan analisis untuk menemukan makna. Tahapan untuk menemukan makna di sini adalah tahapan untuk mnenemukan makna isi ajaran agama atau budaya terkandung dalam pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” sajian dalang Enthus Susmono berdasar tafsir sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada: harus koheren, komprehensif, teliti, tekstual, sugestif, dan potensial.

Heuristika adalah metode analisis yang dipakai sebagai cara untuk memperoleh pemahaman baru dan konsep baru yang tidak terikat oleh teori dan hukum apa pun, hingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah secara ilmiah terutama mengenai relevansi pertunjukan wayang kulit purwa lakon “Subali Lena” sajian dalang Enthus Susmono dengan usaha perbaikan umat dan pelestarian wayang.

Penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat menemukan sebuah pemahaman baru mengenai pertunjukan wayang kulit purwa secara lebih komprehensif sehingga dapat

(28)

digunakan untuk melihat pertunjukan wayang kulit purwa pada umumnya dalam konteks pertunjukan dan filsafat moral.

F. Sistematika Penulisan

Disertasi inidisusun sedemikian rupa dalam bentuk laporan secara sistematis terdiri dari sembilan bab dan sub bab yang mengikutinya. Laporan ini diawali dari halaman judul, halaman pernyataan, halaman persembahan, halaman pengesahan, Kata Pengantar, Daftar Isi, keterangan singkat tentang penulisan huruf Arab ke dalam huruf Latin, Intisari, dan Abstrack.

Bab I. PENDAHULUAN: Latar Belakang Penelitian 1. Permasalahan, berisi uraian masalah pertunjukan wayang kulit purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono, sehingga penting untuk diteliti bagaimana perspektifnya dalam ajaran etika Syaikh Maulana Ilyas, Ra.a. penting untuk dilakukan penelitian, 2. Rumusan Masalah, 3. Keaslian Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, B. Tujuan Penelitian, C. Tinjauan Pustaka, D. Landasan Teori, E. Metode Penelitian: 1. Materi atau Bahan, 2. Jalannya Penelitian, 3. serta Analisis Data, dan F. Sistematika Penulisan.

BAB II berjudul DISKURSUS TENTANG ETIKA ATAU FILSAFAT MORAL terdiri atas beberapa sub-bab, yakni Nilai dan Etika, Pengertian Etika, Karakteristik Persoalan Etika Klasik dan Etika Modern, Aliran-aliran utama dalam Etika, dan Etika Syaikh Maulana Ilyas.

Bab III berjudul PAKELIRAN LAKON SUBALI LENA SAJIAN ENTHUS SUSMONO menguraikan objek material penelitian. Bab ini dibagi dalam beberpa bagian, yakni Riwayat Hidup Dalang Enthus Susmono, Sumber Pertunjukan dan Cerita

(29)

Subali Lena, dan Bentuk Pertunjukan Wayang Kulit Purwa lakon Subali Lena Sajian Dalang Enthus Susmono, dan Perbandingan dengan cerita Sumber.

Bab IV berjudul NILAI-NILAI ETIS DALAM LAKON SUBALI LENA SAJIAN ENTHUS SUSMONO, terdiri atas beberapa sub bab yaitu Wayang Sebagai

Sumber Nilai, Konsep Hati Nurani dalam Lakon Subali Lena, Konsep Hak dan Kewajiban dalam Subali Lena, Konsep Kebebasan dalam Subali Lena, Konsep Keadilan dalam lakon Subali Lena.

Bab V berjudul RELEVANSI NILAI ETIS DALAM LAKON SUBALI LENA DENGAN AJARAN MORAL SYAIKH MAULANA ILYAS, terdiri atas Biografi Singkat Syaikh Maulana Ilyas

,

Pokok Ajaran Moral Syaikh Maulana Ilyas, Nilai Dakwah dalam Lakon Subali Lena Sajian Enthus Susmono, Relevansinya terhadap Usaha Perbaikan Moralitas Umat, dan Relevansinya terhadap Usaha Pelestarian Wayang.

BAB. VI: PENUTUP berisi Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan berisi uraian tentang inti dari hasil penelitian yang sudah dibahas, dan saran diberikan kepada berbagai pihak terutama kepada para peneliti berikutnya, dan kepada dalang Enthus susmono.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun cengkodok ( Melastoma malabathricum L.) dan konsentrasi efektifnya dalam

Jika ditelisik lebih dalam lagi, maka masalah yang dihadapi oleh SLA sebagai anak berbakat di SMP Negeri 3 Surabaya adalah sesuai dengan perilaku bermasalah yang ada dalam

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini peneliti mengambil kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah yaitu bahwa Aplikasi Administrasi

Sama halnya dengan yang peneliti temukan ketika melakukan observasi di lapangan dalam melakukan komunikasi interpersonal para anggota komunitas Aksi Tuli (AKTU)

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang secara statistik bermakna antara pH urin dan nefrolithiasis pada pasien dengan riwayat

Tujuan dilakukannya penelitian beban pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba yang dilakukan oleh Philips et al karena dianggap bahwa beban pajak tangguhan dapat digunakan

Sebagai rekomendasi bahwa Pati Selatan akan menghasilkan banyak keuntungan dan meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Pati. Pegunungan Kendeng di Pati

Uji t digunakan untuk membuktikan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara individual atau parsial, yaitu pengaruh iklan dan harga terhadap