• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News. (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, menemukan fakta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News. (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, menemukan fakta"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, menemukan fakta baru yang sangat mengejutkan dengan mengurutkan negara yang memiliki kasus bullying tertinggi adalah Jepang, Indonesia, Kanada dan Amerika Serikat serta yang terakhir Finlandia.

Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 sampai 16 tahun menunjukkan bahwa 8% hingga 38% siswa adalah korban bullying (Mceachern et al 2005, dalam Aluede 2011). Kasus bullying juga ditemukan pada beberapa sekolah di Yogyakarta, mulai dari jenjang SD sampai SMA (kasus Praktek Kerja Profesi Psikologi UGM, angakatan delapan 2012). Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kegiatan ini adalah tindakan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Data survey yang dilakukan oleh Centre of Public Mental Health (CPMH) (2012) terhadap 144 pelajar SMA Yogyakarta terkait dengan tindakan bullying di sekolah, menunjukkan hasil sebagai berikut; 59.5% siswa mengaku pernah mengalami bullying di sekolah (seperti; dipalak, diancam, dipukul, diejek, dll), 9.09% siswa mengaku pernah melakukan perilaku bullying) seperti; memalak, mengancam, memukul, mengejek, dll), sebanyak 4,89%, siswa mengaku cukup sering menyaksikan peristiwa bullying di sekolah dan 8,39% siswa merasa takut dan gelisah ketika berada di sekolah.

Data terbaru yang diperoleh dari hasil preliminary pada bulan Juli sampai Agustus 2013, dengan mengambil sampel sebanyak 30% dari total siswa kelas XI

(2)

pada sepuluh SMA Negeri yang ada di Yogyakarta. Jumlah responden seluruhnya berjumlah 739 orang, menyebutkan bahwa 100 orang (13,53%) siswa merasa dibully, dan 396 orang (53,58%) siswa pernah melihat temannya dibully. Data-data di atas mengindikasikan bahwa tindakan bullying masih terjadi di kalangan siswa SMA Yogyakarta serta masih menjadi isu yang penting.

Menurut Olweus (1993), bullying adalah perilaku negatif (tidak menyenangkan & menyakitkan) yang dilakukan oleh satu orang atau lebih, secara sengaja dan berulang-ulang, kepada seseorang yang kesulitan untuk membela dirinya sendiri.

Perilaku bullying di sekolah merupakan suatu masalah sosial yang cukup penting, karena memiliki dampak negatif jangka pendek seperti masalah dengan kesehatan fisik, dan juga dampak negatif jangka panjang yaitu pada kondisi psikologis dan penyesuaian sosial siswa, Ttofi dan Farrington (2008). Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengatakan bahwa perilaku bullying berupa ancaman atau penggunaan kekuatan fisik dapat mengakibatkan cedera, kerusakan fisik, gangguan perkembangan bahkan kematian baik terhadap seorang maupun kelompok (Turkmen., et al, 2013).

Olweus (dalam Saleh, 2013) menjelaskan dinamika terbentuknya perilaku bullying sebagai sebuah lingkaran. Setiap aktor didalamnya memiliki peranan masing-masing. Dimulai dari korban bullying (victim) yang dikelilingi oleh pelaku (bully). Pelaku memiliki dua jenis pendukung, yang aktif dan pasif. Pendukung aktif (active suppoters) adalah individu yang terlibat atau turut ambil bagian dalam

(3)

tindakan bullying, sedangkan pendukung pasif (passive suppoters) tidak ikut melakukan bullying tetapi menyetujui tindakan bullying dengan cara memprovokasi pelaku. Selain itu ada sekelompok penonton yang juga sering melihat aksi bullying tersebut tetapi mereka tidak peduli dengan korban (disenged onlookers), kemudian terdapat juga kelompok lain dari penonton yang tidak menyukai perilaku bullying tetapi mereka tidak melakukan sesuatu untuk mencegahnya (potential witnesses). Kelompok terakhir adalah pembela korban yang tidak setuju dengan perilaku bullying dan mencoba untuk membantu korban (defender).

Berbagai macam hasil penelitian yang menyatakan bahwa individu yang menjadi korban bullying teridentifikasi memiliki karakteristik seperti depresi, pasif, rasa malu yang berlebihan (Beran, Shapiro, Bonnie, 2005), trauma dan menarik diri dari lingkungan sosialnya (Carney, 2008; Garbarino, 2001; Siege et al., 2009), sedangkan pada pelaku berisiko untuk terlibat dalam perilaku kriminal saat dewasa nanti dan cenderung tidak memiliki sikap empati (Hawker & Boulton, 2000).

Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku bullying, maka sudah sepantasnya dilakukan intervensi untuk mengatasi dan mencegah terjadinya perilaku bullying tersebut. Olweus (1993) menyatakan bahwa pencegahan perlu dilakukan sehingga dapat menolong korban lebih dini dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Farrel, Meyer & White (2001) juga memaparkan salah satu usaha preventif bagi perilaku bullying dilakukan dengan psikoedukasi mengenai bullying kepada siswa.

(4)

Selama ini belum terlihat adanya usaha yang berbasis ilmiah terhadap pencegahan perilaku bullying di sekolah melalui teman sebaya, khususnya di daerah Yogyakarta. Teman sebaya khususnya dapat digunakan sebagai media untuk mencegah bullying. Berdasarkan beberapa data yang telah diperoleh bahwa perilaku bullying masih sering terjadi dikalangan remaja, oleh karena itu untuk mengatasinya diperlukan remaja sebagai media penyampai informasi kepada teman sebayanya. Hal ini dinilai efektif jika informasi tersebut disampaikan oleh teman sebaya yang sesuai dengan karakteristik khas remaja.

Pengaruh teman sebaya merupakan isu yang sangat mendominasi dalam dalam periode remaja awal. Remaja pada perode ini mulai bergabung dan menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman sebayanya (Stang & Story, 2005). Penelitian yang dilakukan Buhrmester (dalam Santrock, 2003) menunjukkan bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Beberapa penelitian semakin menegaskan bahwa pengaruh teman sebaya (peers) memiliki peran yang besar dalam menentukan masa perkembangan remaja dan juga sebagai cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan remaja menjadi lebih positif.

Menurut Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Pada masa ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat, karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat

(5)

memahami mereka. Laursen (2005) menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).

Oleh karena itu, beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan teman sebaya sebagai mediator dirasa efektif dalam proses intervensi. Beberapa penelitian yang menggunakan teman sebaya antara lain; penelitian Sulistyoningsih (2009) menyebutkan bahwa melalui media pendidikan sebaya teruji efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika pada siswa SMA, penelitian dari Lotrean, dkk (2010) di Romania menunjukkan program berbasis teman sebaya (peers programs) lebih efektif dari program berbasis orang dewasa (adults programs) dan penelitian Setiawan (2008) juga melakukan penelitian mengenai peer to peer approach dengan membentuk fasilitator teman sebaya dirasa efektif dalam melakukan penjangkauan dan pendampingan pekerja sosial kepada mantan anak didik LAPAS.

Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan menggunakan teman sebaya (peer), belum pernah ditemukan metode penelitian yang menggunakan media teman sebaya sebagai upaya untuk mengurangi perilaku bullying pada remaja, khususnya siswa SMA. Hal ini juga ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan

(6)

Hawkins, Pepler, Craig (2001) bahwa bullying akan berhenti jika ada teman sebaya yang membantu menghentikannya.

Pemberdayaan teman sebaya sebagai media penyampaian informasi telah banyak dilakukan dalam program intervensi anti bullying, seperti mengimplementasikan program psikoedukasi melalui teman sebaya dengan metode; melakukan presentasi di sekolah atau di lingkungan komunitas teman sebaya (remaja) menampilkan drama, dan video/film yang dilanjutkan dengan diskusi (IPPF/WHR Tools, 2004). Hal yang sama juga digunakan dalam modul STAR (Stop Thinking Act Replay) bullying prevention-peer pressure, yaitu menggunakan metode diskusi antar teman sebaya (Learning Through Sports, Inc. 2011). Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa psikoedukasi dengan menggunakan media teman sebaya teruji efektif dalam program intervensi dan juga bisa diterapkan pada kasus bullying.

Pelatihan dengan menggunakan peer support biasanya berfokus pada mendengarkan secara aktif dengan menggunakan keterampilan komunikasi secara efektif, empati dan pengambilan keputusan, Cowie & Wallace (dalam Houlston, Catherine & Smith, 2009).

Efektivitas pemberdayaan teman sebaya dalam program intervensi bullying juga dibuktikan oleh Smith & Thompson (2011) melalui studi longitudinal yang dilaksanakan di Inggris selama tahun 2008-2010, salah satu hasil yang dicapai adalah dukungan teman sebaya dapat dilakukan untuk mencegah dan merespon bullying,

(7)

menambah pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa dalam merancang secara terstruktur dalam upaya mencegah dan mengurangi bullying.

Terdapat tiga proses yang meningkatkan kecenderungan perilaku bullying berdasarkan perspektif sosial kognitif, yaitu kesempatan melihat atau mengamati perilaku bullying, penerimaan terhadap perilaku bullying dan penguatan dari lingkungan terhadap perilaku bullying (Craig, Pepler & atlas, 2000). Hal senada juga dikemukakan Rice & Dolgin (2008), berdasarkan perspektif sosial kognitif yang menyatakan bahwa keterlibatan teman sebaya dalam intervensi anti-bullying juga didasari atas dominasi metode belajar modelling pada remaja. Teman sebaya memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap fungsi kognitif, sosial dan emosional remaja. Interaksi sosial pada masa remaja memiliki pengaruh jangka panjang individu terhadap fungsi intra dan interpersonalnya (Harrel, Mercer & DeRosier; dalam Papalia, 2008). Modelling adalah konsep utama dari teori sosial kognitif, yaitu perubahan perilaku, kognitif dan afeksi yang terbentuk melalui proses mengobservasi orang lain (Bandura dalam Rice & Dolgin, 2008).

Kelebihan menggunakan teman sebaya sebagai fasilitator adalah untuk menyampaikan informasi tentang bullying karena mereka mempunyai peranan bagi kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial, mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan dengan usianya, sehingga terjadi saling tukar informasi, perasaan dan malasah. Kelompok sebaya dalam suasana keakraban dapat lebih membantu teman sebaya dalam pemahaman konsep diri yang positif. Hal tersebut

(8)

akan berdampak pada peningkatan kemampuan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk hidup sehat serta terciptanya lingkungan yang kondusif untuk mendorong terbentuknya kemampuan diri (Depkes RI, 2004).

Penelitian ini akan mengajarkan sebuah keterampilan memandu diskusi kasus pada fasilitator teman sebaya dengan menggunakan prinsip teori sosial kogntif yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Fasilitator teman sebaya akan menjadi agent untuk menyampaikan informasi bullying kepada teman-temannya serta mempersuasif mereka agar menciptakan lingkungan sekolah yang aman yang bebas dari bullying.

Teori belajar sosial (social learning theory) menyatakan bahwa seseorang bisa belajar dengan mengamati perilaku dan sikap orang lain (Bandura, 2005). Begitu pula remaja, salah satu karakteristiknya yang dipertimbangkan yaitu kecenderungan untuk lebih memilih membicarakan permasalahannya kepada sesama teman dengan gaya remaja, dibandingkan dengan berdiskusi dengan orangtua maupun orang dewasa, bahkan konselor sekalipun (Gerald & patton, 2007).

Program pelatihan “Berbagi Untuk Sahabat” bertujuan untuk mengajarkan keterampilan memandu diskusi kasus kepada siswa yang nantinya akan menjadi fasilitator teman sebaya dalam menyampaikan informasi antibullying di sekolahnya. Fasilitator sebagai “model” akan menyampaikan pengetahuan tentang bullying dan mengajarkan keterampilan memimpin sebuah diskusi kasus dalam bentuk simulasi yang kemudian akan diamati oleh peserta. Proses pembelajaran dalam pelatihan ini

(9)

mengacu pada keempat tahap observational learning (pembelajaran melalui pengamatan) Bandura (1986), antara lain:

1. Attention

Pada tahap ini, siswa diharapkan untuk memperhatikan materi yang disampaikan oleh fasilitator ‘model’. Siswa akan memperhatikan jika ia tertarik kepada model dan materi yang disampaikan. Oleh karena itu saat pelatihan fasilitator yang dipilih adalah sesorang yang berpengalaman dalam memberikan pelatihan kepada remaja, sehingga bisa menjiwai dan lebih dekat dengan remaja. Modul ini juga disusun dengan menggunakan beberapa metode yang bervariasi seperti video, gambar, skenario kasus, dan games untuk menarik perhatian siswa sehingga mereka bisa lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan serta tidak bosan selama kegaiatan pelatihan berlangsung.

2. Retention

Tahap kedua yaitu retention. Tahap ini akan membantu siswa untuk mengingat simbol-simbol atau informasi penting yang akan memudahkan mereka untuk mencapai tahap berikutnya. Agar siswa dapat meniru perilaku suatu model, maka siswa harus mengingat perilaku tersebut. Pada tahap ini siswa harus bisa mengkoding informasi penting dan menyimpannya dalam ingatan (memori) sehingga informasi itu bisa diambil kembali. Deskripsi verbal sederhana, gambar atau video menarik yang disajikan oleh model akan bisa membantu daya retensi siswa. Pada sesi ini fasilitator akan melakukan simulasi memandu diskusi kasus

(10)

yang akan diamati oleh peserta. Pada proses pelatihan, diakhir sesi siswa akan diberi lembar kerja dengan tujuan untuk melihat sejauh mana siswa bisa mengingat materi yang telah diperoleh.

3. Production

Setelah mengamati, memperhatikan dan mengingat kembali hal-hal yang disampaikan dan dilakukan oleh model, maka dalam tahap ini informasi tersebut akan diwujudkan dalam bentuk overt behavior. Pada tahap production, latihan yang berulang-ulang akan membuat perilaku yang ingin dibentuk dapat ditirukan dengan lebih baik. Pada proses pelatihan, siswa akan melakukan simulasi sebanyak tiga kali yaitu memimpin sebuah diskusi kasus dengan menggunakan berbagai media, seperti video dan skenario kasus.

4. Motivation

Ketika siswa telah memperoleh suatu pengetahuan ataupun keterampilan melalui proses pembelajaran sebelumnya, maka mereka akan melakukan hal yang sama ketika ada penguatan positif yang diberikan kepada mereka. Penguatan tersebut bisa berupa motivasi atau feedback positif kepada siswa. Menurut Bandura (1986) ada tiga bentuk penguatan dalam observational learning yaitu: 1) incentives direct adalah penguatan yang diberikan secara langsung, misalnya ketika siswa berhasil melakukan sesuatu yang bagus, maka fasilitator langsung memujinya, 2) vicarious reinforcement adalah dengan melihat orang lain memperoleh penguatan positif untuk suatu keterampilan tertentu, maka siswa tersebut dapat meniru keterampilan

(11)

itu, dan yang terakhir 3) self produced adalah siswa yang bersangkutan bisa menghasilkan sebuah keterampilan baru yang didasarkan atas keinginan dari dirinya sendiri.

Penelitian ini merupakan penelitian payung yang mengujicobakan sebuah modul pelatihan untuk membentuk fasilitator teman sebaya yang akan menyampaikan informasi antibullying, melalui empat metode penyampaian yaitu; metode role-play, diskusi kelompok, diskusi kasus, dan presentasi. Dalam penelitian ini menggunakan metode diskusi kasus.

Metode diskusi kasus memanfaatkan studi kasus, yaitu deskripsi tentang suatu situasi yang disajikan entah secara tertulis, lewat rekaman audio, atau lewat rekaman video, untuk disimak atau dipelajari oleh peserta dan kemudian mendiskusikannya dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh fasilitator. Lazimnya diskusi difokuskan pada isu-isu yang terdapat dalam situasi yang dideskripsikan yaitu: tindakan apa yang perlu dilakukan atau pelajaran-pelajaran apa saja yang bisa dipetik, dan cara mengatasi atau mencegah agar situasi sejenis tidak terjadi dimasa mendatang, sehingga metode ini dirasa cocok digunakan untuk menyampaikan informasi pencegahan bullying kepada siswa (Supratiknya, 2011). Dalam metode ini fasilitator akan menyajikan beberapa kasus yang nantinya akan didiskusikan oleh peserta, dengan tujuan agar mereka bisa saling memberikan pendapatnya, ide, berbagi pengetahuan tentang fenomena bullying, cara mencegahnya serta solusi untuk menangani perilaku bullying.

(12)

Menurut Sanjaya (2006), Djamarah & Zain (1995) metode diskusi kasus diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah, untuk menjawab pertanyaan dalam pengambilan keputusan. Diskusi kasus mengajarkan siswa agar berusaha memecahkan persoalan dengan padangan dan pendekatan yang berbeda untuk menghasilkan semangat kreatifitas dalam berdiskusi, mereka menyeleksi data, menganalisis, melihat kembali pengalaman yang telah mereka jalani, menarik kesimpulan sehingga mereka berada pada situasi yang baru (Boehrer & Linsky, 1990).

Fasilitator harus mampu mengaktifkan kelompok dalam pembahasan kasus yang diajukan, memberi saran yang sifatnya membantu, dan berperan serta bertanggung jawab dalam memfasilitasi diskusi yang berjalan (Wood, 2003; Mclean et al., 2006).

Berikut alur penelitian yang akan dijelaskan dalam bagan dibawah ini.

Gambar 1: Alur Berpikir Penelitian Permasalahan

bullying yang terus terjadi pada siswa

SMA, karena kurangnya pemahaman siswa tentang dampak bullying Professional judgement modul & alat ukur Validasi modul. Pelaksanaan pelatihan “Berbagi Untuk Sahabat”. Siswa dilatih menjadi fasilitator teman sebaya Keterampilan untuk memimpin diskusi kasus Pengetahuan tentang bullying Pembuatan blueprint & modul pelatihan “Berbagi Untuk Sahabat”

(13)

Penelitian ini dilaksanakan disalah satu SMA negeri di kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil survey awal peneliti melalui angket, wawancara dengan guru BK dan beberapa orang siswa di sekolah, peneliti akhirnya menyimpulkan bahwa tindakan bullying masih sering terjadi di sekolah ini, seperti: mengejek, mengucilkan teman yang dianggap kurang gaul, memaksa teman untuk ikut organisasi tertentu yang diikuti ancaman-ancaman melalui sms atau media sosial lannya, serta ada beberapa siswa yang dianggap famous atau terkenal yang juga sering melakukan bullying kepada siswa yang baru masuk di sekolah tersebut. Menurut guru BK belum pernah ada program pencegahan bullying yang dilakukan di sekolah khususnya dengan menggunakan media teman sebaya. Sekolah memerlukan suatu metode baru yang lebih variatif untuk memperkenalkan bullying kepada siswa. Oleh karena itu peneliti merasa bahwa program psikoedukasi pelatihan pencegahan bullying perlu diberikan kepada siswa agar mereka bisa memberikan informasi antibullying kepada teman sebayanya yang dikemas secara menarik dalam modul “Berbagi Untuk Sahabat”. Modul inilah yang digunakan dalam program pelatihan, sebagai media untuk memberikan informasi tentang bullying dan mengajarkan keterampilan memimpin diskusi kasus kepada siswa.

Berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu memvalidasi modul pada program pelatihan “berbagi Untuk Sahabat” dalam meningkatkan keterampilan fasilitator teman sebaya melalui metode diskusi kasus maka ada hal yang harus diketahui berhubungan dengan validitas itu sendiri. Menurut Azwar (2013) yang mengatakan

(14)

bahwa validitas mempunyai arti sejauhmana akurasi suatu pengukuran dalam menjalankan fungsinya, dengan kata lain suatu pengukuran atau alat ukur dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila data yang dihasilkan secara akurat dapat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti yang dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut. Cronbach (dalam Azwar, 2013) menekankan bahwa proses validasi sebenarnya tidak bertujuan untuk melakukan validasi alat ukur akan tetapi melakukan validasi terhadap interpretasi data yang diperoleh oleh prosedur tertentu.

Adapun tujuan penelitian adalah untuk memvalidasi modul pada program pelatihan “Berbagi Untuk Sahabat” dalam meningkatkan keterampilan fasilitator teman sebaya melalui metode diskusi kasus. Modul pelatihan ini dibuat untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada fasilitator teman sebaya dalam memberikan informasi antibullying.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang keterampilan memimpin diskusi kasus dengan topik bullying pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol.

Secara praktis manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu referensi yang dapat memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah yang akan menggunakan pendekatan teman sebaya untuk mencegah perilaku bullying di sekolah melalui metode diskusi kasus.

Gambar

Gambar 1: Alur Berpikir Penelitian Permasalahan

Referensi

Dokumen terkait