• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KESULTANAN TIDORE PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN NUKU. Jauh sebelum Islam membumi di nusantara, Tidore dikenal dengan sebutan Kie Duko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KESULTANAN TIDORE PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN NUKU. Jauh sebelum Islam membumi di nusantara, Tidore dikenal dengan sebutan Kie Duko"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KESULTANAN TIDORE PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN NUKU

3.1 Sejarah Singkat Kota Tidore

Jauh sebelum Islam membumi di nusantara, Tidore dikenal dengan sebutan Kie Duko (artinya pulau bergunung api), gunung merapi tersebut terdapat dipuncak marijang yang merupakan puncak tertinggi di Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Gunung merapi marijang saat ini tidak lagi termasuk gunung merapi yang aktif, pada era ini, pemimpin tertinggi satu komunitas masyarakat di namai momole. Momole berasal dari bahasa setempat, artinya pria perkasa “Satria” ada beberapa orang momole yang memimpin komunitas-komunitas tertentu, diantaranya; a) Momole Rabu Hale, b) Momole Jagarora, c) Momole Rato, dan lain-lain.

Kekuasaan para momole hanya sebatas wilayah suku pendukun atau komunitas tertentu maka kadang kala, dalam pencarian legitimasi wilayah yang lebih besar, pertikayan antara momole tidak dapat terelakan. Berkali-kali pertumpahan darah di coba ditengarai sesama mereka, namun selalu saja gagal, seperti perrjanjian Ake Saragi, dan perjanjian Gumira Mabuku. Pertikaian diselesaikan melalui perundingan (menjaga haluan) yang difasilitasi Syek Yakub, salah satu anggota rombongan Ibnu Chardzaba Khalifa Al-Mutawakil dari Bani Abbasiyah dari Irak yang di perkirakan tiba di Tidore pada tahun 232 H, 846 M. Pertemuan Togorebo untuk menjaga haluan ini, dapat menghentikan pertikaiyan antara komunitas, juga melahirka kesepakatan monumental, peralihan nama Kie Duko menjadi Tidore.

Tidore dimaknai dari rangkaian kata To Ado Re”aku telah sampai” dan bahasa Arab dialek Irak Anta Thadore “engkau datang” dikisahkan, tempat pertemuan disepakati yang terletak diatas sebuah batu besar di kaki bukit marijang. Para momole mempertaruhkan

(2)

kehebatannya dan keahliannya, siapa yang terlebih dahulu sampai di tempat pertemuan. Tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah dalam ilmu mandraguna.

Di saat satu momole mengirah dialah yang lebih dahulu tiba di Togorebo sambil berteriak To Ado Re “aku telah sampai” Momole lain pun berteriak dengan kata yang sama To Ado Re “aku telah sampai” beberapa saat kemudian tiba Syeh Yakub ditempat pertemuan, serta beliau mengujar dengan bahasa arab Anta Thadore “kau datang” sambil menunjukan kemasing-masing Momole. Tidak akan mengangkat pertarungan, maka disepakati Syeh Yakum sebagai pemimpin pertemuan. Sejak itu, nama Kie Duko berangsur-angsur hilang dari penggunaan masyarakat berganti dengan sebutan Tidore. Perpaduan antara bahasa derah “To Ado Re “dan baha arab dialek Irak “Anta Thadore” Menjadi Tidore.

Keadaan Tidore mulai terkuat sejak Sultan Ciriliyati naik tahta 1495. (penguasa Tidore pertama yang menggunakan gelar Sultan) bersemayam di Gam Tina “Kelurahan Tongowai”. Pada tahun 1512 Sultan Mangsur naik tahta, Ia membuka perkampungan baru sebagai Ibu Kota Kesultanan Tidore di Rum, letak Rum selain berdekatan dengan Ternate, juga diapit oleh tanjung mafugogo dan pulau Maitara.

Tahun 1600, Sultan Mole Majimo alias Alauddin Syah naik tahta, karena alasan Rum sangat berdekatan dengan Ternate yang waktu itu adalah musuh babuyutan Tidore, Dipindah ibu Kota Kesultanan Tidore dari Rum ke Toloa. Alasan kedua, di pedalaman Toloa masih bermukim Kolano Tomabanga (Raja Belantara) atau Kolano Jin ( Raja Jin) yang masih Animis sehingga diperlukan pendekatan khusus dalam penyebaran dakwa Islam. Dalam tataran penyebaran Islam Alauddin berhasil mengislamkan komunitas kolano tomabanga dengan mempersunting salah satu putranya dengan Boki Bola putri kolano tomabanga.

(3)

Sepeninggalannya Sultan Alauddin Syah, tapuk Kesultanan Tidore pun silih berganti. Tepat tahun 1600 M. Sultan Saifuddin alias Jou Kota naik tahta, memindahkan Ibu Kota Kesultanan ke Limau Timore “Kawasan Timur” latar belakan perpindahan atas pikiran pertahanan keamanan, yang pada waktu itu perseteruan Tidore dengan Belanda-Ternate mulai menghangan soal perebutan pulau Makian. Disamping itu pemukiman yang dianggap layak, sebaiknya berhadapan dengan matahari terbit, atau kawasan timur “Limau Timore” Limau Timore kemudian menggantikan namanya menjadi Soa-sio sampai sekarang. (Lisna Sarjun 2008:24)

3.2 Periode Kesultanan Tidore

a. Periode Patra Alam (1780-1784)

Dalam periode ini jabatan kesultanan tidore dipimpin oleh patra alam yang bukan keturunan sultan karena, yang berhak untuk menjabat sebagai sultan Tidore adalah Nuku, putrasulungdari sultan Jamaludin akan tetapi jabatan tersebut dialihkan ke patra alam karena patra alam diangkat oleh pihal Belanda, sehingga dalam pengangkatan tersebut memuai protes keras terutama dari Nuku dan adiknya Kamaludin dengan alas an bahwa Patra Alam tidak memiliki garis keturunan Sultan Tidore secara formal dan beliau juga sebagai kaki tangan Kolonial Belanda akan tetapi alasan rasional yang diutarakan oleh Sultan Nuku dan adiknya Kamaludin tersebut tidak diindahkan Kolonial Belanda dan pelantikan pun berlangsung berdasarkan dengan keinginan Kolonial belanda (Bunyamin Marasabesy 2003: 53)

Ketika masa jabatan kesultanan Patra Alam tersebut sementara berlangsung pada tahun 1783 terjadi kecurigaan pihak Belanda terhadap Sultan Patra Alam bahwa beliau melakukan

(4)

persekongkolan dengan pihak Nuku yang menyebabkan Van Dijk, seorang trans slateur dan letnan Agaats bersama prajuritnya tewas dalam suatu pertempuran ditanjung mayasalafa kepulauan Raja Ampat oleh pasukan Nuku. Ahirnya pada bulan maret 1784 Patra Alam dicopot tahta kesultanan Tidore.

b. Periode Kamaluddin

Setelah Patra Alam dicopot jabatannya pada tahun 1784 yang seharusnya diganti oleh sultan Nuku akan tetapi Kolonial Belanda berupaya mengangkat adiknya yang bernama Kamaluddin yang sebenarnya belum waktunya diangkat menjadi Sultan karena masih ada anak yang lebih tua dari Sultan almarhum Jamaluddin, namun oleh Kompeni di Batavia telah mendatangani piagam pengangkatan Sultan Tidore yaitu Kaicili Kamaluddin adik Nuku yang pernah di garap Patra Alam dan dikirim di Batavia menjadi tahanan Kompeni setelah tahun 1780. Kamaluddin dibawah oleh kapal Kompeni ke Ternate kemudian kamaluddin dilantik sebagai Sultan Tidore.

Pengangkatan Kamaluddin selaku Sultan Tidore oleh Kompeni Belanda ini, membuat Nuku makin marah. Nuku menggugat pengangkatan Kamaludin sebagai Sultan, karena Nuku merasadirinya pantas dan berhak menjadi Sultan karena selaku anak tertua dari Sultan almarhum Jamaluddin.

Namun keinginan Kolonial Belanda itu terwujud pula, dan Kamaluddin menjadi sultan boneka Kolonial Belanda, dari Gebe Nuku menulis sepucuk surat rahasia kepada adiknya Sultan

(5)

Kamaluddin di Tidore yang intinya menasehati Kamaluddin agar tidak terpedaya dengan tipu muslihat pemerintah Kolonial Belanda sebagaimana dialami Patra Alam.

Nuku mengajak Kamaludin sadar dan mau kerja sama yang saat ini bersekutu dengan Inggris. Kamaluddin justru menasehati Nuku agar jangan menyusahkan orang inggris, rakyat Seram dan Kompeni, jangan mengacau dan mengadakan kerusuhan di wilayah Tidore, sebaiknya Nuku kembali di Waru dan nantinya Kompeni akan mengampuni segala kesalahannya. Setelah mengetahui hal itumaka yakinlah Nuku bahwa Sultan Kamaluddin menjadi boneka mainan dalam kaki tangan Kompeni. Ia tidak ingin mempunyai perasaan dan kebanggaan dari kesultanan. Maka nuku mulai pasang strategi untuk merebut kembali tahtakerajaan Tidore, setelah rencana operasidiatur secara matang bersama panglima-panglima perangnya, Nuku mengutus panglima Abdul Jalal agar segera menyampaikan ultimatum kepada sultan Kamaluddin di Tidore. Ultimatum tersebut mengharuskan Kamaluddin turun tahta kerajaan Tidore, menyerahkan mahkota dan upacara kejayaan kepada Nuku.

Dalam penyerangan yang dilakukan oleh Nuku berhasil menguasai kerajaan Tidore dan pada 11 April 1797 Nuku diangkat menjadi Sultan pada kerajaan Tidore, dan pada pidatio mengukuhkan selaku Sultan antara lain “Sultan Nuku memecat Kamaluddin sebagai pangeran Tidore, karena telah menjadi boneka kaki tangan Kolonial Belanda untuk menindas rakyatnya (Bunyamin Marasabessy 2003: 83).

(6)

c. Periode Nuku (1797-1805)

kerajaan Tidore adalah sala satu kerajaan yang memiliki pengaruh luas di kawasan kepulauan Maluku.pada masa Nuku, wilayah kerajaan itu meliputi pulau Tidore dan sekitarnya, pulau Halmahera, pulau Raja Ampat, Papua Barat dan Papua seram timur serta pulau-pulau sekitarnya. Luas wilayah dan keadaan geografis yeng terbesar itu memberikan petunjuk bagaimana gerangan Nuku bergiat untuk mempertahankan kedudukan kekuasaanya atas wilayahnya dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. Semua itu akan mendapatkan perhatian dan dalam penelusuran dan pengungkapkan perjuangan Nuku.

Nuku adalah Sultan yang ke-27 yang berjuang dari tahun 1780-1805, selama kurang lebih 25 tahun lamanya. Pada periode pemerintahannya, pihak Kompeni Belanda (VOC) di Ambonia bergiat untuk memperluas wilayah pengaruh kekuasaanya kerajaan Tidore sehingga Sultan bergiat untuk menentang demi menjaga dan memelihara kedaulatannya. Perlawanan yang dilakukan oleh Nuku terhadap kebijakan politikKompeni Belanda itu. Telah menjadi wacana kehidupan politik di Maluku Utara umumnya dan kerajaan Tiudore pada khususnya.

Oleh karena itu Wilard A. Hanan dan Des Alwi, (Bunyamin Marasabessy 2003 :6) bahwa “,dan masa pemerintahan Nuku Ia berhasil mengusir Kolonial Belanda serta mampu memperluas daerah kekuasaanya yang ada di Maluku, dan strategi dan cara yang dimeliki oleh Nuku.

3.3 Kedatangan Kolonial Belanda

Seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol, kehadiran bangsa Belanda ke Indonesia juga bertujuan dengan menguasai rempah-rempah dan mencari daerah jajahan. Awal mulanya

(7)

orang-orang Belanda membeli rempah-rempah di Lisabon ibukota Portugis. Kemudian rempah-rempah itu dijual di pasaran Eropa dan memperoleh keuntungan yang cukup besar.

Pada waktu terjadi perang antara Portugis dan Spanyol dan Spanyol berhasil menguasai Portugis pada tahun 1585 para pedagang Belanda tidak lagi memperoleh rempah-rempah di Lisabon, dan sejauh itulah orang-orang Belanda mulai berusaha mencari jalan pelayaran menuju kepulauan rempah-rempah di Indonesia.

Pada dasarnya kehadiran Kolonial Belanda di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistuasi politik dan ekonomi di Eropa pada saat itu. Pada 1579 propinsi-propinsi Nederland Utara memberontak terhadap imperium Spanyol, mengadakan kongres di Utrech untuk membentuk sistem bond. State bond ini mempunyai satu badan yang terdiri dari utusan-utusan setiap propinsi. Badan ini dibewri nama Staten General yang didalamnya terdapat aritokrat dengan yang memegang peran dalam bidang perdagangan.

Setelah Portugis disatukan dengan Spanyol pada tahun 1580 didalam kekuasaan raja Philips II dan Spanyol diambil tindakan menutup Lisabon sebagai reaksi pemberontakan bangsa Belanda.mengingat Lisabon itu merupakan pusat penimbunan dan pasar rempah-rempah di Eropa, maka tindakan itu berdampak sangat merugikan para saudagar pedagang di Belanda, tindakan ini memberikan pukulan berat bagi Staten General, sebab penutupan Lisabon ini telah mematikan perekonomian Belanda.

Akibat pukulan hebat perekonomiannya, Bangsa Belanda terpaksa mencari jalan kedaerah hasil rempah-rempah untuk membeli secara langsung. Tindakan pemerintah Spanyol ini mempercepay kehadiran Belanda di Indonesia. Percobaan pertama melalui kutub utara gagal kerena laut membeku. Kemudian sebuah ekspedisi terdiri dariempat buah kapal dibawah

(8)

pimpinan Cornelis De Houtman dan Piet De Keyzer berhasil tiba di Banten pada 1596.semula kedatangan mereka disambut dengan baik akan tetapi mereka diusir dari Banten karena sikap keangkuhannya ekspedisi ini kembali ke Negeri Belanda tanpa membawa rempah-rempah (Bunyamin Marasabessy 2003: 42).

Walaupun demikian mereka mendapatkan sambutan hangat dari pemerintah Belanda maupun perusahaan dengan Van Verre yang mensponsori palayaran itu, karena jalan menuju Hindia timur telah diketahui. Me3reka telah sumbangan besar di pemerintah Belanda dengan berhasilnya De Houtman, menyusul pula ekspedisi kedua

Dibawah pimpinan pimpinan Jacob Van Neck dengan wakilnya Wijbarrnd Van Warwijk. Ekspedisiini terdiri dari 8 buah kapal menuju Indonesia. Pada tahun 1598 ekspedisi ini tiba di Banten mereka diterima baik oleh Masyarakat Banten karena sikapnya berbeda dengan ekspedisi sebelumnya, dan juga Banten karena baru saja selesai perang dengan Portugis.

Empat buah kapal yang penuh dengan muatan lada kembali ke Negeri Belanda dibawah pimpinan Van Nick, sedangkan empat kapal lainnya menuju Maluku dibawa pimpinan Van Warwijk dengan wakilnya Van Heemskerk, mengikuti jejak orang Portugis melalui Tuban dan Gresik.

Ekspedisi ini tiba di Maluku (Hitu) pada tahun 1599 pada saat oraqng Hitu sedang bermusuhan dengan Portugis. Kesempatan ini digunaka oleh orang-orang Hitu meminta bantuan orang Portugis. Lestaluhu (Bunyamin Marasabessy 2003: 43) pemerintah rakyat Hitu, disetujui Van Wawijk, setelah mempeoleh izin dari pemerintah dari Negeri Belanda. Pada tanggal 22 Februari 1605 tibalah armada Belanda di Ambon dibawah pimpinan Steven Van Der Haghen menurut Rijali, dalam hikayat tanah Hitu dibawah setelah Gasper De Mello, melihat bertanda

(9)

seburi dan Miharjikun tiba bersama Van Der Haghen dengan armada yang memiliki persenjataan lengkap maka pimpinan Banten Portugis di Ambon terpaksa menyerah pada tanggal 22 Februari 1905, tanpa bertumpah darah.

Melihat keberhasilan Hitu menggunakan bantuan Belanda untuk mengusir Portugis dari Ambon, maka Sultan Said dari kerajaan Ternate mengirim utusan ke Hitu meminta bantuan Belanda memerangi Portugis di Ternate.

Utusan Sultan Said untuk meminta bantuan disetujui oleh pihak Raja melalui perantara Raja Ambalau setelah persyaratan yang ditentukan oleh pihak Belanda di[penuhi oleh Sultan Said dengan menyediakan hasil cengkeh dari tiga Negeri sebagai ganti rugi, atas tanggungan rakyat Hitu. Kehadiran angkatan perang Belanda ternyata lebih kuat maka Portugis menyerah yang kedua kalinya dalam waktu yang relatig singkat.

Orang-orang Portugis yang menyerah terpaksa harus meninggal Ternate menuju philipina. Dengan demikian maka berahirlah riwayat Portugis di Maluku Utara selama-lamanya dan digantikan oleh Belanda sebagai pembawa mala petaka baru untuk rakyat Indonesia.

Setelah meninggalkan Maluku, datanglah kapal-kapal dengan membawa para pedagang untuk membeli rempah-rtempah di Maluku. Pada tahun-tahun pertama kehadiran bangsa Belanda di Maluku, rakyat dapat menikmati suasanan yang diliputi dengan kesenangan dan kegembiraan yang belum pernah dirasakan sebelumnya kahadiran bangsa Portugis dan Spanyol di Maluku.

Dengan keluarnya Sponyol dari Maluku seluruh tataniaga rempah-rempah di daerah ini dan daerah-daerah berada dibawah kontrol kerajaan-kerajaan Maluku praktis beralih membawah kembali Kompeni, yang kemudian sipisahkan dengan berbagai perjanjian yang dibuatnya dengan kerajaa-kerajaan Maluku. Pada tahun 1667, Tidore dan Belanda mendatangani perjanjian tentang

(10)

hak monopoli kompeni atas tata niaga rempah-rempah. Perjanjian yang sama juga dibuat Kompeni pada tahun ini dengan Bacan, Spelman, selain selalu menekan pemberian hak monopoli rempah-rempah kepada kompeni untuk memberikan perdetujuan kepada setiap pergantian sultan dikesultanan tersebut. Dengan demikian hak prerogatif lembaga-lembaga kesultanan di Maluku dalam pengangkatan Sultan telah dilucuti dengan adanya kewajiban memperoleh persetujuan Kompeni terlebih dahulu dalam penetapan seorang Sultan. Namun dengan tujuan untuk menetapkan seorang Sultan. Namun dengan tujuan untuk menetapkan seorang sultan itu sendiri merupakan bagian politik adu domba, sebab juga dengan penetapan Sultan.

M. Adnan Amal (2002: 1020) adapun Sultan boneka yang berpihak kepada Kolonial Belanda, dengan tujuan agar hasil rempah-rempah yang ada di Maluku bisa diambil oleh Kolonial Belanda, sebab dengan latar belakang itulah mereka datang kedunia timur.

Pada tahun 1670-an VOC telah berhasil mengkonsulidasikan kedudukan di Indonesia bagian Timur. Pihak Belanda masih tetap menghadapi persekongkolan dan perlawanan, tetapi tidak ada lagi satupun kekuatan besar yang ada di Indonesia yang menentang mereka dikawasan ini. Ternate, Tidoredan Gowa sudah tidak lagi merupakan kekuatan-kekuatan militer yang besar. Tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi (Bunyamin Marasabessy 2003: 42) VOC di tebangi.

Perlawanan ini terjadi karena semuanya semata-mata karena tujuan VOC untuk monopoli rempah-rempah di Maluku. Akan tetapi ironisnya justru ketika penguasaan atas rempah-rempah itu menjadi semakin pasti, semakin lama rempah-rempah makin berkurang berarti mendapat keuntungan bagi VOC.

(11)

1. Memang tidak muda tidak menguntungkan keuntungan rempah-rempah, karena biasanya pihak Belanda mendapat kesulitan dalam meramalkan penawaran, permintaan dan harga secara tepat. Oleh karena itu, sering kali terjadi perubahan-perubahan besar dalam kebijakan ketika pohon ditanam, kemudian ditebang, sesudah itu ditanam lagi dalam usaha mendapatkan jumlah yang tepat.

2. Arti penting rempah-rempah relatif berkurang dalam perdagangan VOC. Lada yang menjadi unsur lebih besar pada abad XVII pada tahun 1700 tekstil merupakan barang dagangan yang paling penting, serta kopi dan the menjadi barang-barang perdagangan yang penting pada abad XVIII.

M.C Ricklefs, (2005: 101) VOC pada abad XVIII mempunyai dua pusat fokus perhatian. Pertama, Maluku tempat kekuasaannya kini menjadi relatif kokoh. Kedua, Jawa dimana terjadi peristiwa-peristiwa yang juga akan membuka jalan bagi dijalankan suatu politik intervensi oleh pihak Belanda di Indonesia bagian Barat dan Timur.

Referensi

Dokumen terkait