• Tidak ada hasil yang ditemukan

AgNOR SEBAGAI MARKER PROLIFERASI DALAM PENILAIAN RESPON AWAL RADIASI PADA KEMORADIOTERAPI KANKER SERVIKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AgNOR SEBAGAI MARKER PROLIFERASI DALAM PENILAIAN RESPON AWAL RADIASI PADA KEMORADIOTERAPI KANKER SERVIKS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi(PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia 81 AgNOR SEBAGAI MARKER PROLIFERASI DALAM PENILAIAN RESPON

AWAL RADIASI PADA KEMORADIOTERAPI KANKER SERVIKS Iin Kurnia*, Budiningsih S**,Andrijono***, Irwan Ramli****, Cholid Badri****

*Bidang Biomedika PTKMRBatan-Jakarta **Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM-Jakarta ***Departemen Obstetrik Ginekologi/FKUI/RSCM-Jakarta

****Departemen Radioterapi FKUI/RSCM-Jakarta

ABSTRAK

AgNOR SEBAGAI MARKER PROLIFERASI DALAM PENILAIAN RESPON AWAL

RADIASI PADA KEMORADIOTERAPI KANKER SERVIKS. Radiosensitivitas sel

terhadap radiasi merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat responsife sel kanker terhadap radioterapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari AgNOR sebagai marker proliferasi dalam penilaian respon awal radiasi pada kemoradioterapi kanker serviks. Penelitian ini dilakukan dengan cara pewarnaan AgNOR terhadap empat puluh enam sediaan mikroskopik histologi KSS (karsinoma sel skuamosa serviks) yang berasal dari dua puluh tiga biopsi sebelum dan setelah 1 minggu radiasi. Sebelum radiasi dilakukan pengelompokkan sediaan mikroskopik berdasarkan derajat diferensiasi baik (G1), sedang(G2) dan buruk (G3) dan subtipe histologik KSS berkeratin dan tidak berkeratin. Tidak ditemukan perbedaan secara statistik nilai AgNOR antara G3,G2 dan G1 maupun sub tipe keratin dan non keratin. Terjadi penurunan nilai AgNOR dari sebelum radioterapi dan setelah satu minggu kemoradioterapi dan secara statistik korelasi positif antara nilai rerata AgNOR sebelum dan penurunannya setelah 1 minggu radiasi (p = 0,0002, r =0.71). Dari data di atas disimpulkan bahwa lebih besar nilaiAgNOR sebelum kemoradioterapi diharapkan lebih radioresponsive dibanding sel kanker yang nilai AgNOR nya lebih rendah. Nilai AgNOR dapat digunakan untuk memprediksi respon radiasi sel kanker serviks setelah satu minggu kemoradioterapi.

Kata Kunci : AgNOR, karsinoma sel skuamosa serviks, kemoradioterapi, marker proliferasi

ABSTRACT

AgNOR AS SENSITIVITY EARLY RESPONSE RADIATION PROLIFERATION

MARKER IN CERVICAL CANCER CHEMORADIOTHERAPY. Cell radiosensitivity is

one of the most important factor influencing level of tumor cell responsiveness to radiotherapy. Purpose to study AgNOR as sensitivity early response radiation proliferation marker in cervical cancer chemoradiotherapy.The research on AgNOR staining was conducted in twenty-three microscopik specimens obtained from cervical squamosa cell carcinoma (SCC) before and after one week treated with chemo-radiotherapy. The specimen was grouped, to histologically keratinizing squamous cell carcinoma and non keratinizing squamous cell carcinoma sub types and to grade of differentiation (G1,G2, G3). No statistical significance was found value of AgNOR both in between G1,G2, G3 and in subtype keratinized and sub type non keratinized. After one week chemoradiotherapy the AgNOR value decreased and we found the positive correlation between AgNOR value and decreasing after one week chemoradiotherapy (p=0,0002, r= 0,71). From the result we conclude that higher the value of AgNOR before

(2)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi(PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia 82

treated by chemoradiotherapy will be hoped more radioresponsive than the cancer cell with smaller value of AgNOR. The AgNOR value can be used to predict radioresponsive cervical cancer cell after one week chemoradiotherapy.

Ke words : AgNOR, squamous cell cervical carcinoma, chemoradiotherapy, proliferation marker

PENDAHULUAN

Karsinoma sel skuamosa serviks (kanker servik) merupakan salah satu tumor ganas yang sering ditemukan di negara berkembang dengan tingkat sosioekonomi rendah. Penderita biasanya datang dalam stadium lanjut sehingga diperlukan pengobatan radioterapi menggunakan radiasi eksterna atau intrakaviter1.

Radiosensitivitas sel merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat responsif sel kanker terhadap radioterapi. Pada dasarnya radiosensitivitas sel merupakan suatu konsep yang didasarkan pada derajat respon sel terhadap radiasi, dan dibedakan menjadi 2 jenis yakni, radiosensitivitas essensial dan radio-sensitivitas kondisional. Radioradio-sensitivitas essensial berdasarkan kepada kondisi inheren yakni kondisi yang dipengaruhi oleh faktor internal sel itu sendiri, sedangkan radisensitivitas kondisional didasarkan pada faktor eksternal misalnya dosis radiasi, status oksigen2.

Dari penelitian klinis ditemukan adanya variasi yang besar dalam radiosensitivitas tumor, baik pada kasus dengan tipe histologik yang sama apalagi pada sub tipe histologik berbeda. Tumor dengan prosentase sel yang berproliferasi tinggi, merupakan tumor yang paling radiosensitif3.

AgNOR merupakan salah satu cara penilaian proliferasi dengan menghitung “nucleolar organizer region” (NOR) yaitu merupakan lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA ribosomal dengan bantuan RNA polymerase. NOR terletak pada lengan pendek kromosom akrosentrik (nomor 13,14,15,21,22) pada manusia dan terlihat secara ultrastruktural berasosiasi dengan komponen fibril pada fase interfase. NOR mengandung gen yang membentuk ribosomal 18s dan 28s RNA, yang sangat vital untuk sintesis protein3,4.

Baru-baru ini dilaporkan bahwa jumlah dan distribusi AgNOR dapat mencerminkan indeks prognosis yang baik untuk kanker usus besar, kanker

(3)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi(PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia 83

payudara, dan kanker kandung kemih dan kemungkinan mencerminkan derajat keganasan dan proliferasi pada karsinoma sel skuamosa pada karsinoma lidah, rongga mulut dan kolon5. Penelitian kami sebelumnya menunjukkan adanya kecendrungan sub tipe histologik berkeratin menunjukkan rerata AgNOR lebih tinggi dibanding yang tak berkeratin. Aktivitas metabolisme sel berupa sintesis protein diduga berkaitan dengan munculnya fase-fase pembelahan sel yang lebih sensitif terhadap radio-terapi. Dari hasil penelitian ini kami mengusulkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui fungsi AgNOR, dan respon radioterapi tumor baik melalui respon sementara atau setelah radioterapi untuk lebih memahami fungsi AgNOR sebagai petanda proliferasi ataupun sebagai petanda aktivitas metabolisme sel6.

Dari penelitian Kurnia7,

karsinoma sel skuamosa serviks dengan nilai rerata AgNOR yang lebih tinggi pra-radioterapi akan lebih radiosensitif dibandingkan dengan nilai rerata AgNOR yang lebih rendah pasca radiasi komplet dengan mengelompokan derajat respon radiasinya secara histopatologik menurut metoda Shimosato-Obushi. Penelitian

yang dilakukan oleh Heber dkk8

menunjukkan selisih rerata AgNOR antara praradioterapi dan setelah fraksi pertama radioterapi yang menunjukkan korelasi positif dengan kekambuhan kanker dalam satu tahun setelah radioterapi.

Sejauh ini belum ada publikasi yang menyatakan hubungan antara nilai AgNOR, sub tipe histologik dan derajat diferensiasi sel kanker serviks sebelum radioterapi dengan respon awal radiasi yang diamati dengan nilai AgNOR pada pasien kanker serviks di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara nilai AgNOR sebagai biomarker sensitifitas sel tumor terhadap radiasi sebelum menjalani kemoradioterapi dengan, sub tipe histologik (keratin dan non keratin) dan derajat diferensiasi sel pada penderita karsinoma sel squamosa serviks dengan respon radiasi awal (setelah 1 minggu radiasi).

Diharapkan dari penelitian ini dapat ditemukan hubungan nilai AgNOR dengan sub tipe histologi keratin dan non keratin serta derajat diferensiasi kanker squamosa serviks di Indonesia sebelum menerima kemoradioterapi dengan nilai AgNOR setelah menerima radiasi selama 1 minggu

(4)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi(PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia 84 TATA KERJA

Sediaan mikroskopik yang

digunakan pada penelitian ini berasal dari 22 sampel biopsi penderita karsinoma sel squamosa serviks (KSS) stadium lanjut lokal yang datang ke RSCM tahun 2005-2006 yang secara klinis terdiri dari stadium klinik IIB (sel tumor menyebar sampai parametrium) dan IIIB (sel tumor

telah mencapai dinding panggul/hidroneprosis atau gangguan fungsi ginjal) sebelum dan setelah radiasi

1 minggu9. Gambaran histologik

dikelompokkan menurut sub tipe histologiknya (berkeratin dan non keratin) dan diferensiasi dikelompokkan berdasarkan derajat diferensiasi baik bila hanya ¼ bagian sel yang tidak berdiferensiasi (G1) bila ditemukan jumlah sel yang berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi seimbang, sedang (G2) bila ditemukan sel yang tidak berdiferensiasi ¾ bagian (G3) bila ditemukan sel anaplastik 50-70%10.

Pewarnaan AgNOR

Sampel biopsi diproses menjadi blok paraffin yang dipotong menjadi sediaan mikroskopik dengan ketebalan 4 µm. Sediaan diletakkan pada objek glass untuk dideparafinisasi dengan xilol sebanyak 2 x.

Dilakukan rehidrasi dengan alkohol 100 %, 90 %, 80 % dan terakhir dengan air. Selanjutnya sediaan dideionisasi, masing-masing selama 5 menit, kemudian diwarnai dengan pewarnaan AgNOR dengan cara membuat larutan perak koloidal, yang dibuat dari 2% bubuk gelatin dalam air deionisasi pada ”waterbath” suhu 60 – 70oC. Kemudian ditambah asam formiat murni 1%. Larutan ini dicampur dengan 50% perak nitrat dalam air deionisasi dengan perbandingan 1:2, dan segera dipakai. Selanjutnya sediaan ditetesi dengan larutan perak nitrat koloidal yang disaring dengan filter 0,22 µm milipore dan didiamkan selama 15 menit dan diinkubasi dalam larutan tiosulfat 5% selama 2 menit. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 70 %, 80%, 90% dan 100 %, kemudian dilakukan penjernihan dengan xilol sebanyak 2x, setelah preparat kering ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk dilakukan penghitungan AgNOR. Sebagai kontrol positif digunakan sediaan kanker payudara dan kontrol negatif berupa sel darah putih11.

Penghitungan Nilai AgNOR.

Penghitungan butir AgNOR dilakukan di bawah mikroskop secara

(5)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi(PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia 85

acak dari 100 sel menggunakan pembesaran 100x. Nilai AgNOR yang dihitung adalah mAgNOR yakni rerata AgNOR dalam satu inti sel. Hasil perhitungan diuji secara statistik dengan

Student t- test, Uji Anova Satu Arah dengan tingkat kepercayaan 5 % (uji t p = 0,05) dan Korelasi Spearman Test12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai AgNOR berdasarkan derajat diferensiasi sel kanker serviks sebelum menerima radiasi

Dari Tabel 1 di bawah terlihat nilai AgNOR sel kanker yang diferensiasi menengah lebih besar dibanding nilai AgNOR sel kanker yang derajat diferensiasi baik, namun nilai AgNOR pada sel kanker yang derajat diferensiasi buruk lebih rendah dari nilai diferensiasi menengah dan baik.

Tabel 1. Nilai AgNOR karsinoma sel skuamosa serviks berdasarkan derajat diferensiasi sebelum menerima kemoradioterapi

No Derajat Diferensiasi Nilai AgNOR Jumlah Pasien

1 Baik 4,77ns (3,14-6,79) 10

2 Menengah 5.19ns (4.23-7.26) 11

3 Buruk 4,35ns (3,60-5,10) 2

Catatan ns :Tidak berbeda nyata Uji Anova Satu Arah p =0,05 : phitung : 0,46, N = 23

Gambar 1a dan 1b, AgNOR karsinoma serviks skuamosa derajat diferensiasi baik cenderung lebih terkumpul dibanding AgNOR yang karsinoma serviks skuamosa derajat diferensiasi menengah yang cenderung lebih kecil dan lebih menyebar pada sitoplasma. Kemungkinan lebih me-nyebarnya AgNOR pada sel kanker yang derajat diferensiasinya sedang terkait dengan lebih bervariasinya arah pembelahan sel kanker pada derajat

diferensiasi menengah dibanding sel kanker yang derajat diferensiasi baik. Pada penelitian kami sebelumnya6 , ditemukan nilai AgNOR sel kanker serviks skuamous derajat diferensiasi menengah (sedang) lebih tinggi dibanding sel kanker serviks skuamous derajat diferensiasi baik.

(6)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia

86 (a). Derajat diferensiasi baik (b). Derajat diferensiasi sedang

Gambar 1. Nilai AgNOR sel kanker serviks derajat diferensiasi baik dan sedang.

Nilai rerata AgNOR pada lapisan basal dari epitel ektoserviks normal adalah 1 dalam 1 nukleus. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Xie-Xie13, menyatakan bahwa nilai mAgNOR menunjukkan perbedaan yang bermakna antara epitel normal dan displasia serta antara displasia dan karsinoma squamosa pada rongga mulut. Nilai AgNOR tiga kasus displasia yang berkembang men-jadi ganas di atas rerata, nilai AgNOR dari displasia yang tidak berkembang menjadi ganas. Pada penderita kanker yang mempunyai nilai AgNOR lebih rendah mempunyai masa bebas karsinoma lebih lama dibanding pasien yang mempunyai nilai AgNORnya lebih tinggi setelah menerima pengobatan14,15.

Pengamatan yang dilakukan oleh

Manu dkk15 bahwa AgNOR pada sel

skuamosa pada bagian atas bahwa pada sel yang derajat diferensiasi sedang dan

buruk cenderung irregular dan lebih tersebar pada sitoplasma. Sejauh ini belum diketahui faktor yang menyebab-kan perbedaan bentuk AgNOR pada sel kanker dengan derajat diferensiasi berbeda tersebut.

Derajat diferensiasi secara umum berhubungan dengan tingkat keganasan dan proliferasi sel, sehingga tumor yang derajat diferensiasinya buruk akan mempunyai tingkat proliferasi yang lebih tinggi yang tercermin dari nilai AgNOR yang lebih tinggi, sehingga akan bersifat lebih radiosensitif.

Nilai AgNOR karsinoma sel skuamosa serviks berdasarkan sub tipe histologi Keratin dan non Keratin

Seperti terlihat pada Tabel 2, tidak ditemukan perbedaan secara statistik antara nilai rerata AgNOR pada sub tipe histologik KSS berkeratin dan non keratin.

(7)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia

87

Tabel 2. Nilai AgNOR berdasarkan sub tipe histologi sebelum menerima kemoradioterapi

No Sub tipe histologi Nilai rerata AgNOR Jumlah pasien

1 Berkeratin 4,68±0,71 ns (3,26-5,47) ns 11

2 Non Keratin 5,17±1,22ns (3.14- 7.26) ns 12

Catatan ns: tidak berbeda nyata student t p value p=0,05 phitung=0,26 N=23

Pada publikasi sebelumya rerata nilai AgNOR KSS berkeratin lebih tinggi dari KSS non keratin6. Kemungkinan nilai rerata AgNOR yang lebih tinggi menampilkan sintesis protein yang terkait dengan proliferasi sel, bukan yang terkait dengan sintesis protein yang terkait dengan keratinisasi pada epitel sel kanker serviks. Nucleolar Organizer Region yang diamati dengan AgNOR merupakan 2 protein yang berperan biogenesis

ribosom (Nucleolin dan B23). Nucleolin dan B23 ini berperan dalam reaksi dalam fase interfase siklus sel16,17. Kecepatan biosintesis ribosom secara langsung berhubungan dengan aktivitas RNA polimerase 1 yang juga merupakan salah satu komponen protein AgNOR18,19. Pada penelitian sebelumnya6, ada kecende-rungan nilai AgNOR KSS berkeratin lebih tinggi dibanding KSS non keratin.

Korelasi antara AgNOR sebelum radiasi dan penurunannya setelah 1 minggu radiasi

3 4 5 6 7 8 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

AgNOR Sebelum Radiasi

P e n u runan A g N O R S e te lah 1 m inggu r adi as i

(8)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia

88 Korelasi antara antara nilai AgNOR

sebelum dan penurunannya setelah 1 minggu radiasi

Dari Gambar 2 ditemukan korelasi positif antara nilai AgNOR sebelum dan penurunannya nilai AgNOR setelah

radiasi 1 minggu (r =0,71 p=0,0002), makin tinggi nilai AgNOR sebelum menerima kemoradioterapi maka makin besar pengurangan nilai AgNOR setelah menerima 1 minggu kemoradioterapi.

(a). Sebelum radiasi (b). Sesudah radiasi

Gambar 3. AgNOR sel kanker serviks sebelum dan setelah 1 minggu menerima radiasi

Pada Gambar 3a (sel kanker sebelum radiasi) terlihat nilai AgNOR yang lebih besar dibanding dengan nilai AgNOR sel kanker serviks setelah 1 minggu radiasi (Gambar 3b). Hal ini terkait dengan fungsi AgNOR sebagai marker proliferasi sel. Dengan makin tinggi nilai AgNOR maka makin tinggi proliferasi sel kanker serviks sehingga akan lebih radiosensitif terhadap radiasi dibanding dengan sel kanker yang nilai proliferasinya lebih rendah. Makin tinggi proliferasi sel maka akan makin lebih besar dijumpai fase S (sintesis DNA) yang merupakan fase yang paling sensitif terhadap radiasi2,3.

Kinoshita20, mengemukakan

jumlah AgNOR mereflesikan aktivitas sel kanker dan sejumlah peneliti lainnya setuju bahwa fase proliferasi sel kanker merupakan bagian yang sensitif terhadap radiasi dan obat anti kanker lainnya. Sebelumnya juga dikemukakan bahwa penurunan nilai AgNOR merupakan efek biologis dari radiasi yang diamati secara eksperimental pada sel-sel epitel skuamosa hewan coba21. Efek biologis ini diperkirakan berupa peningkatan jumlah mitosis dari sel setelah melewati fase G2 atau terjadinya G2M block sel akibat radiasi, kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya penurunan nilai

(9)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia

89

AgNOR pada sel kanker serviks setelah

menerima radiasi. Sirri dkk22

menyatakan nilai AgNOR yang tinggi dijumpai pada fase S dari siklus sel dan kemudian menurun pada saat sel memasuki mitosis melalui fase G2. Sebelumnya Babu23 melaporkan adanya penurunan nilai AgNOR pada kanker oesopagus yang menerima radioterapi sebelum operasi, sedangkan pada kanker endometrium dilaporkan adanya penurunan nilai AgNOR pada radioterapi yang dilakukan pada kanker endometrium yang rekuren24.

Selanjutnya Heber8, derajat

penurunan nilai AgNOR setelah satu fraksi radiasi dapat dijadikan sebagai cara untuk memprediksi efek radioterapi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, setelah 1 minggu kemoradiasi terjadi penurunan nilai rerata AgNOR, dan ditemukan korelasi positif antara nilai AgNOR sebelum kemoradioterapi dengan nilai AgNOR setelah 1 minggu kemoradioterapi. Makin tinggi nilai AgNOR sebelum radiasi makin lebih besar penurunannya setelah 1 mingggu kemoradioterapi dan makin responsife terhadap radiasi. Diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara fungsi AgNOR dan faktor terkait proliferasi sel lainnya dalam rangka memahami penurunan AgNOR sebagai respon sel kanker setelah 1 minggu kemoradioterapi.

UCAPAN TERIMA KASIH :

Penelitian ini dibiayai oleh Dana Penelitian PTKMR-BATAN dan telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ucapan terima kasih kepada : dr. Endang SR Harjolukito, SpPA, Ketua Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM, dr. Endi Mukhni, SpOG Ketua Departemen Obstetrik Ginekologi FKUI/RSCM, Prof. Dr. dr Soehartati Gondhowiardjo Ketua Departemen Radioterapi FKUI/RSCM, Heri Basuki atas bantuan tekniknya dalam pemrosesan sediaan mikroskopik di laboratorium Histokimia Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM, Jakarta, Arena Said Penanggung Jawab Ruang Penyinaran Cobalt-60 Departemen Radioterapi FKUI/RSCM dan Bidan Azis Yusnelly dan kawan kawan di Poliklinik Kebidanan Departemen Obstetrik Ginekologi FKUI/RSCM yang telah membantu proses biopsi pasien kanker setelah 1 minggu radiasi.

(10)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia

90 DAFTAR PUSTAKA.

1. MARCIAL VA, MARCIAL, LV.

Radiation Therapy of Cervical.

Cancer Supplement, Feb, 1993.

2. CASARET TGW. Radiation

Histopathology, Vol 1, CRP. Press, Florida; 1980:30 -31.

3. TUBIANA M, JEAN D, ANDRE W.

Introduction to Radiobiology, Taylor Francis, : 385 – 395. 1990

4. SORENTINO V, IN LEWIS. Cell

proliferation in cancer regulatory mechanism of neoplastic cell growth. Oxford University Press, Oxford, 1996.

5. CHEN M, LEE JG, LO S, SHEN J.

Argyrophilic nuclear Organizer regions in naso pharyngeal carcinoma and paraneoplastic epithelial. Head and neck, 2003;25 (5): 395-399.

6. YANTI L, , NURHAYATI S,

KURNIA I, BUDININGSIH S. Penggunaan AgNOR sebagai Biomarker Sensitivitas Radiasi pada Kanker Serviks, Prosiding Seminar Nasional Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan II, PTKMR Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta, 2006.

7. KURNIA, I. Hubungan Nilai AgNOR Derajat Respon Radiasi Secara Histopatologik Karsinoma Serviks Uteri Stadium Lanjut Lokal, Tesis Magister Program Studi Biomedik, Kekhususan Patobiologi, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002

8. HEBER E, AMANDA ES, BEATRZ

S, SUSANA N, OSVALDO S, MIGUEL B,MARIA EI. AgNORs as an early marker of sensitivity to radiotherapy in gynecologic cancer.

Acta Cytol;2002;46(2):311-316

9. BENEDET, JL.DKK Carcinoma

cervix uteri. Journal of Epidemiology and Biostatistic,6(1)7-9:2001

10.BRODERS AC. Squamous-cell

epithelioma of the skin study of 256

cases. Ann Surg; 1921;Vol

LXXIII:141-160

11.CROCKER J, BOLDY AR, EGAN

MJ; How should we count AgNORs Proposals for standardized approach.

J Pathol; 1989; 158:185-188.

12.WAYNE WD. Biostatistics: A

Foundation for analysis in the health sciences, Wiley Series in Probability and Matahematical Statistics-Applied;1991:191-227

13.XIE X, Clausen OP, Sudbo J, Boysen M. Diagnostic and prognostic Value of Nucleolar Organizer Regions in Normal Epithelium, Dysplasia, and Squamous Cell Carcinoma of the Oral Cavity.Cancer ; American 11 Vol 79, 1,1997:2200-2207.

14.MARBAIX, E, DEMANDELEER S,

HABBA CL, LIEGEOIS PH. WILLEMS T. RAHIER,J. AND DONNEZ,J. Nucleolar Organizer Regions in the Normal and Carcinomatous Epithelium of the

Uterine Cervix. International J

Gynecol Pathol: 1989:237- 245.

15.MANU SCV, RAJARAM BT, RAI

RG. Value of silver binding Nucleolar Organizer Regions (AgNOR) in squamous cell carcinomas of upper aero-digestive tract, MJAF;:2006;62:123-128.

16.TUTEJA R, TUTEJA. Nucleolin a

multifunctional mayor nucleolar phosphoprotein. Crit Rev Biochem Mol Biol; 1998; 33:407-436.

17.ROUSSEL P, HERNANDES V.

Identification of AgNORs protein, marker of proliferation related to gene

activity. Exp Cell Res; 1994;

214:465-472.

18.DERENZINI M, TRERE D,

PESSION A, MONTANARO L,SIRRI V.CHIECO P. Nucleolar size indicate the rapidity of cell proliferation in cancer tissue.J Pathol

(11)

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) – Universitas Indonesia

91

19.ALBERT. B, BRAD D, LEWIS J,

RAFF M, WATSON JD, Molecular Biology of the Cell. Gardland New York, 379-383, 1995

20.KINOSHITA, Y, DOHI M,

MIZUTANI N, IKEDA A. Effects of preoparative radiation and chemotherapy on AgNOR counts in oral squamous sell carcinoma, J Oral Maxillofac Surg 1996;54: 304 – 307.

21.SCHWINT AE, GOMEZ E, ITOIZ

ME, CABRINI RL. Nucleoral Organizer Region as marker of incipient cellular alteration in squamous epithelium, J Dent Res

1993; 72:1233-1236.

22.Sirri V, Pascal R, Marie C G, and Hernandez VD. Amount of the Two Major Ag-NOR Proteins, Nucleolin, and Protein B23 Is Cell-Cycle Dependent. Cytometry 1997 ; 28:147– 156

23.BABU M, MATHUR M GUPTA SD,

CAHTTOPADHYAY T, Prognostic significance of argyrophililic nucleolar organizer regions (AgNOR)

in oesophageal cancer. Trop

Gastroenterol 1996; 17:57 – 60.

24.MILLER B, MORRIS M, SILVA E.

Nucleolar Organizer Region: A potential prognostic factor in adenicarcinoma of endometrium.

(12)

Gambar

Gambar 1. Nilai AgNOR sel kanker serviks derajat diferensiasi baik dan sedang.
Gambar 2. Korelasi antara nilai AgNOR sel kanker serviks sebelum dan setelah radiasi 1 minggu
Gambar 3. AgNOR sel kanker serviks sebelum dan setelah 1 minggu menerima radiasi

Referensi

Dokumen terkait