• Tidak ada hasil yang ditemukan

NUR ET AL.: STABILITAS HASIL GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA. Stabilitas Komponen Hasil sebagai Indikator Stabilitas Hasil Genotipe Jagung Hibrida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NUR ET AL.: STABILITAS HASIL GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA. Stabilitas Komponen Hasil sebagai Indikator Stabilitas Hasil Genotipe Jagung Hibrida"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

NUR ET AL.: STABILITAS HASIL GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA

Stabilitas Komponen Hasil sebagai Indikator Stabilitas

Hasil Genotipe Jagung Hibrida

Amin Nur, Musdalifah Isnaeni, R. Neny Iriany M., dan Andi Takdir M. Balai Penelitian Tanaman Serealia

Jl. Ratulangi No. 274 Maros, Sulawesi Selatan ABSTRACT. Stability of Yield Components as Indicator for

Yield Stability of Hybrid Maize. Multilocation tests in seven different environments scattered around Indonesia examined fourteen hybrid maize genotipes and two varieties as checks. The study aimed to determine if yield components stability could be used as yield stability indicator. The research was arranged in simple lattice 4 x 4 with 4 replications. Combined Anova for data of yields and yield components, genotipe x environment interaction was followed by yield and yield component stability analysis using Shukla (1972) method and visualized by AMMI (Additive Main Effect and Multiplicative Interaction) model (Gauch 1972). The results indicated that there was significant of genotipe x environment interaction for yield and yield components. All adapted genotipes were categorized as stable including Bima-1 and Bisi-2 as check, except Mr4/132. The widely adapted genotipes were B11-209/Mr14, B11-15/Mr14, Nei 9008/Mr4, B11-136/Mr14, G180/Mr14, dan G193/Mr4. The yield components that could be utilized as yield stability indicators were the number of harvested plants, harvested ears, ear weight and moisture content. Ear weight represented direct component for yield stability indicator.

Keywords: Yield component, stability, indicator, hybrid maize ABSTRAK. Sebanyak 14 genotipe jagung hibrida dan dua varietas sebagai pembanding diuji di tujuh lingkungan yang bervariasi, tersebar di berbagai lokasi untuk menduga interaksi genotipe x lingkungan, stabilitas komponen hasil sebagai indikator stabilitas hasil. Percobaan dilaksanakan dalam bentuk rancangan latis sederhana 4 x 4 dengan empat ulangan. Analisis ragam gabungan hasil dan komponen hasil memperlihatkan interaksi genotipe x lingkungan dan dilanjutkan dengan analisis stabilitas menggunakan metode Shukla (1972) dan divisualisasikan dalam model AMMI (Additive Main Effect and Multiplikatif Interaction). Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi genotipe x lingkungan untuk hasil dan komponen hasil. Semua genotipe adaptif tergolong stabil, ter-masuk Bima-1 dan Bisi-2 sebagai pembanding, kecuali Mr14/132. Genotipe yang beradaptasi luas adalah 209/Mr14, B11-157/Mr14, Nei9008/Mr14, B11-136/Mr14, G180/Mr14, dan G193/ Mr14. Komponen hasil yang dapat dijadikan indikator stabilitas hasil adalah jumlah tanaman dipanen, jumlah tongkol, bobot tongkol, dan kadar air. Komponen yang langsung menjadi indikator kestabilan hasil adalah bobot tongkol panen.

Kata kunci: Komponen hasil, stabilitas, indikator, jagung hibrida

P

eningkatan produktivitas tanaman, khususnya

jagung, sangat ditentukan oleh seberapa besar sumbangan komponen hasil dan interaksi antara genotipe dengan lingkungan tumbuh. Faktor lingkungan yang berperan penting dalam menunjang pertumbuhan tanaman adalah curah hujan, suhu, intensitas radiasi matahari, keawanan, angin, dan kelembaban. Faktor lingkungan ini berpengaruh kumulatif pada fase

pertumbuhan vegetatif, pembungaan, pembentukan dan pengisian biji (Ivory 1989).

Lingkungan pertumbuhan tanaman dapat dibeda-kan atas lingkungan makro dan mikro. Teknik budi daya, lokasi, dan musim termasuk ke dalam lingkungan makro (Mather and Jinks 1982), sedangkan lingkungan di sekitar individu tanaman dalam kaitannya dengan individu lain yang tumbuh pada tempat yang berdampingan pada waktu yang sama disebut lingkungan mikro (Soemartono dan Nasrullah 1988).

Besarnya variasi lingkungan makro geofisik di Indonesia memberikan lingkungan tumbuh bagi tanaman yang variasinya cukup besar. Kondisi tersebut memberikan petunjuk adanya variasi ciri-ciri dan potensi-potensi khusus dari suatu wilayah yang perlu dimanfaat-kan secara baik serta karakter khusus tanaman dari setiap wilayah ataupun secara keseluruhan yang perlu dicermati sebagai indikator dalam menyeleksi genotipe yang stabil.

Pengaruh lingkungan yang cukup besar terhadap pertumbuhan tanaman dan adanya tanggapan tiap genotipe terhadap perubahan lingkungan mengindikasi-kan perlunya kajian mengenai interaksi genotipe x lingkungan. Kajian interaksi genotipe x lingkungan telah banyak dipaparkan, antara lain oleh Finlay-Wilkinson (1963), Eberhart-Russell (1966), Luthra dan Singh (1974), Freeman dan Perkins (1971), Gauch (1992), dan Yan et al. (2000). Menurut Allard dan Bradsaw (1964), interaksi genotipe lingkungan tersebut bersifat kompleks karena bervariasinya komponen faktor lingkungan.

Yang dan Baker (1991) melukiskan interaksi genotipe x lingkungan sebagai perbedaan yang tidak tetap antara genotipe-genotipe yang ditanam dalam satu lingkungan dengan lingkungan yang lain. Interaksi tersebut penting diketahui karena dapat menghambat kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam pemilihan varietas unggul dalam suatu pengujian (Eberhart-Russell 1966) dan seringkali menyulitkan pengambilan kesimpulan secara sahih jika suatu percobaan varietas/genotipe dalam kisaran lingkungan yang luas (Nasrullah 1981).

Mekanisme stabilitas secara umum dikelompokkan kedalam empat hal, yaitu heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, ketenggangan terhadap deraan (stress tolerance), dan daya pemulihan yang

(2)

cepat terhadap deraan. Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Stabilitas dapat bersifat dinamik, artinya selalu berubah pada kisaran tertentu pada lingkungan yang berbeda atau bersifat statis, artinya kondisi di mana daya hasil suatu genotipe selalu tetap pada berbagai lingkungan. Mekanisme stabilitas lebih dikendalikan oleh kompensasi dari komponen hasil jika genotipe tersebut mampu mempertahankan hasil yang tinggi di lingkungan yang optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat stabilitas komponen hasil sebagai indikator stabilitas hasil pada 16 genotipe jagung hibrida.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di tujuh lingkungan pada MK 2005, mulai bulan Agustus sampai Nopember 2005. Penelitian ditata dengan rancangan lattice sederhana 4 x 4 diulang empat kali. Empat belas genotipe jagung hibrida digunakan adalah Mr14/B11-209, Mr14/B11-132, CML165/Mr14, B11-209/Mr14, CML431/Mr14, B11-157/ Mr14, 132/Mr14, Nei9008/Mr14, 136/Mr14, B11-126/Mr14, G180/Mr14, G193/Mr14, E45/Mr14, E54-2/ Mr14, dengan dua varietas cek Bima-1 dan Bisi-2. Sedangkan lingkungan adalah Bajeng (Sulsel), Muneng (Jatim), Gorontalo, Blora (Jateng), Bone (Sulsel) , Malang (Jatim), dan Lombok Timur.

Setiap genotipe ditanam dua baris dengan jarak tanam antarbaris 75 cm dan di dalam baris 25 cm, dua biji/lubang tanam dan setelah satu minggu dilakukan penjarangan. Pemupukan dilakukan dua kali dengan cara tugal dengan takaran pemupukan pertama adalah 150 kg urea, 200 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan kedua dilakukan setelah tanaman berumur 30 hari setelah tanam (HST).

Pemeliharan dilakukan dengan melakukan pen-jarangan, pembumbunan, penyiangan, dan pe-ngendalian hama dan penyakit. Penyiangan dan pengendalian hama penyakit disesuaikan dengan per-tumbuhan gulma dan tingkat serangan.

Data yang diamati adalah hasil pipilan kering, jumlah tanaman panen, tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen, bobot tongkol, dan kadar air biji. Analisis data menggunakan sidik ragam gabungan (MacIntosh 1983) dengan model analisis disajikan pada Tabel 1.

Dari analisis ragam gabungan hasil dan komponen hasil yang memperlihatkan interaksi genotipe x lingkungan nyata dan sangat nyata pada taraf P  0,05

dan P  0,01 dilanjutkan dengan analisis stabilitas hasil dan komponen hasil menggunakan metode yang disarankan oleh Shukla (1972), yang divisualisasikan dalam model AMMI (Additive Main Effect and Multiplicative Interaction) (Gauch 1992) dengan model persamaan berikut :

Yge = µ + g + e + n gn en+ ge di mana:

Yge= Hasil genotipe ke-g pada lingkungan ke-e µ = Rata-rata umum

g = Simpangan genotipe ke-g terhadap rata-rata umum

e = Simpangan lingkungan ke-e terhadap rata-rata umum

N = Jumlah sumbu IPCA (Prinsiple Component Analysis) dalam model

n = Nilai Singular untuk PCA sumbu ke-n

gn= Nilai vektor ciri genotipe untuk PCA sumbu ke-n en= Nilai vektor ciri lingkungan untuk PCA Sumbu

ke-n ge= Galat sisa

Model Analisis ragam AMMI disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Analisis ragam gabungan.

Sumber Db Kuadrat Kuadrat tengah

keragaman tengah harapan

Lokasi l-1 M1  2 e + t 2 R(L) + rt  2 L Ulang/lokasi l (r-1) M2 2 e + t 2 R(L) Gen g-1 M3 2 e + rl  2 T Lokasi x gen (l-1)(g-1) M4  2 e + r  2 TL Galat l (r-1)(g-1) M5 2 e Total

Tabel 2. Analisis ragam model AMMI.

Sumber Db JK KT keragaman Genotipe g – 1 Lingkungan e – 1 Interaksi. (g – 1) (e-1) PC (1) g + e – 1 – (2 x 1) PC (2) g + e – 1 – (2 x 2) PC (3) g + e – 1 – (2 x 3) ... ... PC (N) g + e – 1 – (2 x n) Galat gabungan ge (n – 1) Total gen – 1

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis ragam gabungan genotipe, lokasi, dan interaksinya untuk semua parameter nyata dan sangat nyata, kecuali jumlah tongkol (Tabel 3). Terjadinya perbedaan tanggap genotipe yang diuji pada setiap lingkungan mencerminkan adanya variasi ling-kungan pengujian. Hal ini menunjukkan bahwa di antara 16 genotipe yang diuji tanggapnya terhadap ketujuh lingkungan tumbuh (lokasi) untuk karakter hasil dan komponen hasil tidak sama. Dapat diartikan bahwa di antara genotipe tersebut terdapat genotipe yang tumbuh baik pada lingkungan tertentu dengan penampilan hasil dan komponen hasil yang baik. Menurut Makkulawu et al. (1999), penampilan hasil genotipe jagung hibrida harapan sangat dipengaruhi oleh lokasi dengan rata-rata hasil 6,32 t/ha. Tanggap tanaman terhadap ling-kungan tumbuh dapat ditandai oleh menurun atau meningkatnya aktivitas fisiologis tanaman. Pengaruh faktor lingkungan ini berpengaruh secara kumulatif terhadap fase pertumbuhan vegetatif, pembungaan, pembentukan dan pengisian biji (Ivory 1989).

Tabel 3 memperlihatkan keberagaman lingkungan tumbuh menyebabkan terjadinya penampilan yang beragam dari genotipe tanaman yang tercermin dari besaran nilai G x E yang nyata dan sangat nyata. Analisis ragam gabungan hanya mampu menjelaskan kisaran

interaksi G x E yang berkisar 5,48-11,53% untuk hasil dan komponen hasil, sedangkan yang tidak dapat dijelaskan berkisar 94,52-88,47%, Dari hasil tersebut diperoleh informasi bahwa dengan model demikian interaksi genetik x lingkungan yang diperoleh terlalu kecil.

Berdasarkan analisis korelasi (Tabel 4) terdapat korelasi positif yang sangat nyata antara hasil dengan berat tongkol kupasan basah. Nur et al. (2005) melapor-kan bahwa hasil dengan bobot tongkol memiliki hubungan korelasi yang positif. Analisis ragam gabungan menjelaskan hubungan ada tidaknya interaksi antara genotipe, lingkungan, interaksi genotipe x lingkungan, sedangkan analisis korelasi menjelaskan hubungan keeratan sumbangan komponen hasil terhadap pe-ningkatan hasil.

Model AMMI merupakan suatu model gabungan dari pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi pada analisis komponen utama (Hadi dan Halimatus 2004). Model ini mampu menjelaskan rata-rata pengaruh genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan dengan menggunakan pendekatan analisis komponen utama, seperti terlihat pada Gambar 1, mampu menjelaskan interaksi genetik x lingkungan sampai 66,8%, sedang yang belum mampu dijelaskan hanya 43,2 %. Begitu pula pada komponen hasil (Gambar 2, 3 ,4, 5, 6 dan 7) menjelaskan 60,1-76,5%, interaksi genetik x lingkungan, sedang yang belum bisa dijelaskan

Tabel 4. Analisis korelasi antara hasil dengan komponen hasil genotipe jagung hibrida pada beberapa lokasi.

Hasil dan komponen Hasil Tinggi Tinggi Tongkol Bobot Kadar Tanaman

hasil tanaman tongkol panen tongkol air panen

Hasil 1 0,066 0,032 0,185 0,948** 0,415 0,012

Tinggi tanaman 1 0,897** 0,562 0,258 -0,271 0,355

Tinggi tongkol 1 0,507 0,211 -0,123 0,213

tongkol panen 1 0,351 -0,284 0,665*

Bobot tongkol 1 0,322 0,204

Kadar air panen 1 -0,347

Tabel 3. Analisis ragam gabungan hasil dan komponen hasil genotipe jagung hibrida pada beberapa lokasi. Kuadrat tengah

Hasil dan komponen hasil Persentase

Lokasi Genotipe Lokasi x Genotipe Total

Hasil (t/ha) 129,07** 2,30** 1,43** 1290,59 9,95% Tinggi tanaman (cm) 21999,90** 1491,55** 294,53** 243625,06 10,88% Tinggi tongkol (cm) 14529,47** 983,86** 185,95** 156503,12 10,69% Jumlah tanaman 2769,53** 48,08* 35,93* 29283,94 11,04% Jumlah tongkol 2637,08** 41,90tn 38,35* 29937,56 11,53% Berat tongkol (kg) 157,26** 3,11** 1,98** 1631,53 10,92%

Kadar air panen 792,20** 12,80** 3,77** 6200,25 5,48%

* = Nyata pada taraf uji P  0,05 ** = Sangat nyata pada taraf uji P  0,01

(4)

dengan model ini adalah 39,9-23,5%. Menurut Sumertajaya (2005), model ini jauh lebih baik dibanding model regresi jika dilihat dari kemampuannya men-dekomposisi keragaman pengaruh interaksi dan bersifat fleksibel dalam menangani suatu gugus data.

Model AMMI pada Gambar 1 selain dapat memeta-kan genotipe yang stabil dan tidak stabil, juga memper-lihatkan lingkungan genotipe yang dapat dikembangkan dengan baik. Dari hasil pengelompokan terdapat tiga grup yaitu grup I: genotipe CML 165/Mr14, B11-132/Mr14, E54-4/Mr14, CML 431/Mr14, dan Bisi-2 akan memberikan hasil yang baik jika ditanam di Bone, Lombok dan Blora. Grup II: Nei 9008/Mr14, 136/Mr14, G193/Mr14, B11-126/Mr14, E45/Mr14 akan memberikan hasil yang baik jika ditanam di Gorontalo, Muneng dan Malang. Grup

III: G180/Mr14, B11-157/Mr14, B11-209/Mr14, Mr14/B11-209, dan Bima-1 akan memberikan hasil yang baik jika ditanam di Bajeng. Genotipe yang hasilnya cenderung baik bila diadaptasikan pada daerah tertentu dapat dipertimbangkan untuk dilanjutkan pengujiannya dengan tujuan untuk mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, seperti Mr14/B11-132 yang merupakan genotipe yang tidak stabil (spesifik lingkungan). Menurut Baehaki dan Wicaksana (2005) terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dari varietas unggul spesifik wilayah antara lain: (1) efisiensi penggunaan dana dan waktu, (2) memperbanyak varietas unggul baru yang dilepas dan dapat menjadi unggulan suatu wilayah, (3) secara nasional produktivitas akan meningkat dan dengan sendirinya produksi akan meningkat pula, (4) dapat menekan harga bibit/benih, (5) dapat terbentuk regional buffering yang sangat diperlukan untuk meredam meluasnya hama dan penyakit tanaman, (6) memberikan pilihan alternatif varietas yang cukup bagi petani, dan (7) memanfaatkan potensi kekayaan alam dengan baik.

Nilai indeks lingkungan (nilai bi) pada Tabel 7 mem-perlihatkan bahwa semua genotipe yang diadaptasikan tergolong stabil, termasuk Bima-1 dan Bisi-2 sebagai cek pembanding. Namun dari beberapa genotipe tersebut terdapat genotipe yang stabil dengan hasil di bawah rata-rata semua lingkungan, yaitu 209, Mr14/B11-132, CML165/Mr14, CML 431/Mr14, B11-132/Mr14, E54-2/Mr14, dan Bisi-2 sebagai pembanding. Genotipe yang stabil dan berada di atas rata-rata semua lingkungan perlu dipertimbangkan untuk pengujian lebih lanjut. Sebaliknya, genotipe yang stabil namun berada dibawah rata-rata semua lingkungan pengujian tidak perlu diikutkan dalam pengujian berikutnya. Genotipe yang tergolong stabil memiliki galat baku yang lebih kecil, dan Gambar 1. Biplot dengan tingkat kesesuaian 66,8% IPCA1.

0,8 0,3 -0,2 -0,7 -1,2 -1,7 IP C A 2 1,2 0,78 0,36 -0,06 -0,48 -0,9 Mr14/B11-209 MR4/B11-132 CML165/Mr14 B11-209/MR14 CML431/Mr14 B11-157/Mr14 Nei9008/Mr14 B11-136/Mr14 B11-126/Mr14 G180/Mr14 G193/Mr14 E45/Mr14 E54-2/Mr14 Bima-1 Bisi-2 Bajeng Muneng Gorontalo Blora Bone Malang Lombok B11-132/Mr14 0,8 0,3 -0,2 -0,7 -1,2 -1,7 IP C A 2 1,2 0,78 0,36 -0,06 -0,48 -0,9 Mr14/B11-209 MR4/B11-132 CML165/Mr14 B11-209/MR14 CML431/Mr14 B11-157/Mr14 Nei9008/Mr14 B11-136/Mr14 B11-126/Mr14 G180/Mr14 G193/Mr14 E45/Mr14 E54-2/Mr14 Bima-1 Bisi-2 Bajeng Muneng Gorontalo Blora Bone Malang Lombok B11-132/Mr14

Gambar 2. Biplot tinggi tanaman dengan tingkat kesesuaian 76,5%. Gambar 3. Biplot jumlah tongkol panen dengan tingkat kesesuaian 60,1%. IPCA1 2,7 1,6 0,5 -0,6 -1,7 IP C A 2 2,8 1,8 0,8 -0,2 -1,2 -2,2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 13 14 15 1 6 1 2 3 4 5 6 7 IPCA1 2,7 1,6 0,5 -0,6 -1,7 IP C A 2 2,8 1,8 0,8 -0,2 -1,2 -2,2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 13 14 15 1 6 1 2 3 4 5 6 7 IPCA1 4,5 2,88 1,26 -0,36 -1,98 IP C A 2 4,4 3,04 1,68 0,32 -1,04 -2,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 6 4 5 6 7 IPCA1 4,5 2,88 1,26 -0,36 -1,98 IP C A 2 4,4 3,04 1,68 0,32 -1,04 -2,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 6 4 5 6 7

(5)

kontribusinya terhadap kuadrat tengah interaksi (KT-GxL) dan regresi (KT-Reg.) juga kecil. Varietas yang tidak stabil memiliki galat baku yang lebih besar, dan kon-tribusinya terhadap kuadrat tengah interaksi dan regresi juga besar (Tabel 5). Genotipe yang makin mendekati titik sumbu (0,0) adalah genotipe yang makin stabil dan cocok untuk semua lingkungan pengujian (Gambar 1). Gambar 1 menunjukkan bahwa genotipe yang stabil adalah 209/Mr14, 157/Mr14, Nei9008/Mr14, B11-136/Mr14, G180/Mr14, dan G193/Mr14. Genotipe yang stabil ini didukung oleh kestabilan dari karakter per-tumbuhan dan komponen hasil yang lain seperti tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, bobot tongkol panen, dan kadar air panen. Genotipe B11-209/Mr14 memiliki jumlah

1,4 0,88 0,36 -0,16 -0,68 IP C A 2 1,2 0,6 0 -0,6 -1,2 -1,8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 1,4 0,88 0,36 -0,16 -0,68 IP C A 2 1,2 0,6 0 -0,6 -1,2 -1,8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 3,2 2,12 1,04 -0,04 -1,12 -2,2 IP C A 2 3,4 2,34 1,28 0,22 -0,84 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 3,2 2,12 1,04 -0,04 -1,12 -2,2 IP C A 2 3,4 2,34 1,28 0,22 -0,84 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7

tongkol panen yang berbeda dari setiap lingkungan, namun tidak mempengaruhi kestabilan hasilnya, karena komponen lain, terutama bobot tongkol tergolong stabil (Tabel 7).

Tabel 5 memperlihatkan kisaran hasil dari semua lingkungan pengujian adalah 5,95-6,99 t/ha dengan hasil tertinggi diberikan oleh E45/Mr14 (6,99 t/ha), diikuti oleh Bima-1 (6.96 t/ha), B11-209/Mr14 (6,89 t/ha), B11-136/ Mr14 (6,83 t/ha), dan Nei 9008 (6,69 t/ha). Tingginya hasil genotipe E45/Mr14 didukung oleh kestabilan komponen hasil utamanya, yaitu jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, bobot tongkol, dan kadar air (Gambar 7). Namun dalam pengembangannya potensi hasil akan nampak jika penanaman lebih diintensifkan di Malang, Muneng, dan Gorontalo (Gambar 2).

1 0,56 0,12 -0,32 -0,76 -1,2 IP C A 2 1,2 0,8 0,4 0 -0,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 6 1 2 3 4 5 6 7 1 0,56 0,12 -0,32 -0,76 -1,2 IP C A 2 1,2 0,8 0,4 0 -0,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 6 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 4. Biplot kadar air dengan tingkat kesesuaian 66,1%. Gambar 5. Biplot jumlah tanaman panen dengan tingkat kesesuaian 61,1%.

Gambar 6. Biplot bobot tongkol dengan tingkat kesesuaian 59,7%. Gambar 7. Biplot tinggi letak tongkol dengan tingkat kesesuaian 66,4%. IPCA1 4,5 2,88 1,26 -0,36 -1,98 IP C A 2 4,4 3,04 1,68 0,32 -1,04 -2,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 161 2 3 4 5 6 7 IPCA1 4,5 2,88 1,26 -0,36 -1,98 IP C A 2 4,4 3,04 1,68 0,32 -1,04 -2,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 161 2 3 4 5 6 7

(6)

Berdasarkan nilai indeks lingkungan pada Tabel 7, komponen hasil yang memperlihatkan spesifik lingkungan terdapat pada genotipe Mr14/B11-209 untuk komponen jumlah tanaman panen, Mr14/B11-132 untuk bobot tongkol, B11-209/Mr14 untuk jumlah tongkol panen, CML431/Mr14 untuk kadar air, B11-136/Mr14 untuk tinggi tanaman, dan E54-2/Mr14 untuk jumlah tongkol panen. Komponen hasil yang cukup nyata ber-pengaruh terhadap penurunan hasil adalah Jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, bobot tongkol, dan kadar air. Hal ini memperlihatkan bahwa genotipe yang komponen hasilnya tidak stabil memiliki hasil lebih rendah dari pembanding Bima -1, namun masih lebih tinggi dari pembanding Bisi-2. Genotipe Mr14/B11-209 spesifik untuk lingkungan Blora dan Malang (Gambar 6), genotipe Mr14/B11-132 spesifik untuk lingkungan Bajeng dan Malang (Gambar 7), genotipe B11-209/Mr14 Tabel 6. Analisis ragam model AMMI2 untuk hasil genotipe jagung

hibrida pada beberapa lingkungan.

Sumber db JK KT F.Hitung keragaman Genotipe 15 9,796 0,653 Lokasi 6 118,543 19,757 Genotipe x Lokasi 90 31,192 0,347 AMMI Komponen 1 20 10,938 0,547 1,890* AMMI Komponen 2 18 9,893 0,550 2,759** AMMI Komponen 3 16 5,792 0,362 2,853** AMMI Komponen 4 14 2,877 0,205 2,673* G x L (residual) 22 1,691 Total 111 159,530

Tabel 5. Rata-rata hasil, galat baku, kuadrat tengah interaksi dan kuadrat tengah regresi enam belas genotipe jagung pada beberapa lokasi.

Genotipe Hasil (t/ha) Galat baku KT-Interaksi KT-REG MS-DEV

Mr14/B11-209 6,57 0,284 0,52 0,15 0,6 Mr14/B11-132 6,39 0,136 0,13 0,08 0,14 CML165/Mr4 5,95 0,134 0,11 0,01 0,13 B11-209/Mr14 6,89 0,203 0,27 0,07 0,30 CML431/Mr14 6,47 0,190 0,23 0,07 0,27 B11-157/Mr14 6,79 0,158 0,16 0,01 0,19 B11-132/Mr14 6,30 0,299 0,57 0,11 0,66 Nei9008/Mr4 6,69 0,123 0,11 0,09 0,11 B11-136/Mr14 6,83 0,180 0,25 0,31 0,24 B11-126/Mr14 6,66 0,185 0,28 0,39 0,25 G180/Mr14 6,73 0,127 0,13 0,20 0,12 G193/Mr4 6,86 0,106 0,08 0,06 0,08 E45/Mr14 6,99 0,308 0,6 0,09 0,70 E54-2/Mr14 6,25 0,258 0,46 0,27 0,49 Bima-1 6,96 0,332 0,69 0,08 0,82 Bisi-2 6,21 0,293 0,61 0,47 0,64 6,60

spesifik untuk lingkungan Bajeng, Muneng, Bone, dan Lombok Timur (Gambar 4), genotipe CML431/Mr14 spesifik untuk lingkungan Malang (Gambar 5), B11-136/ Mr14 spesifik untuk lingkungan Bajeng dan Bone (Gambar 3), sedangkan E54-2/Mr14 spesifik untuk lingkungan Gorontalo, Blora, dan Lombok Timur (Gambar 4).

Analisis ragam gabungan dengan model AMMI menunjukkan bahwa banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan adalah komponen ke-1 sampai ke-4 (Tabel 6). Pengaruh interaksi dengan penggunaan model AMMI2 direduksi menjadi dua komponen, dan model AMMI2 dengan dua komponen ini menerangkan keragaman interaksi sebesar 66,8 %.

Menurut Pabendon dan Makkulawu (2000), hasil tinggi sangat terkait dengan jumlah tongkol panen, jumlah tanaman panen, bobot tongkol, dan kadar air. Ketidakstabilan hasil genotipe Mr14/B11-132 lebih dipengaruhi oleh ketidakstabilan komponen bobot tongkol panen. Bervariasinya bobot tongkol genotipe Mr14/B11-132 kemungkinan diwariskan dari tetuanya inbrida Mr 14 yang dibentuk dari populasi SW-3 yang memiliki ciri khas, yaitu bentuk tanaman yang kekar, daun tegak dan lebar, warna daun hijau tua, dan tongkol sering bercabang lebih dari dua dalam satu tongkol. Mr 14 memiliki produktivitas yang rendah karena serbuksari dan rambut tongkol terlindungi oleh daun. Menurut Vasal dan Singh (1999), pada inbrida jagung ditemukan beberapa sifat yang kurang baik. Hal ini ditemui pada genotipe Mr14, antara lain memiliki hasil yang rendah karena sukar mempertahankan keseragaman (Suherman et al. 2004) dan sulit mendapatkan galur murni yang seragam.

(7)

Tabel 7. Rata-rata hasil dan karakter komponen hasil, koefisien regresi (bi) dan galat baku (s) 16 genotipe jagung hibrida.

Rata-rata hasil dan karakter komponen hasil Koefisien regresi (bi) hasil dan karakter kuantitatif Genotipe Hasil Ttn Ttkl Jtp Jtklp Bkb Ka Hasil Ttn Ttkl Tp Jtklp Bkb Ka Mr4/B11-209 6,57 222,49 116,21 42 42 7,39 29,58 1,14 1,04 1,14 0,72* 0,76 0,98 0,84 Mr4/B11-132 6,39 221,76 117,38 43 42 7,03 28,87 0,90* 0,94 0,79 0,80 0,88 0,57* 1,03 CML165/Mr4 5,95 207,31 104,04 44 42 6,65 29,36 0,96 0,97 1,03 0,81 0,81 0,83 0,83 B11-209/Mr14 6,89 213,91 109,51 41 39 7,42 30,79 1,10 1,01 1,01 1,08 1,28* 1,16 1,03 CML431/Mr14 6,47 214,13 108,10 42 39 7,05 29,84 1,10 1,09 1,16 1,00 1,10 0,88 1,22* B11-157/Mr14 6,79 213,12 108,78 41 40 7,13 30,88 0,96 0,91 0,96 0,89 0,99 1,17 1,01 B11-132/Mr14 6,30 207,02 101,77 41 38 6,51 29,63 0,88 0,86 0,80 1,22 0,92 0,88 0,93 Nei9008/Mr14 6,69 210,21 107,27 39 40 7,24 29,81 0,89 0,93 1,07 1,42 1,06 1,09 0,93 B11-136/Mr14 6,83 215,80 113,94 43 41 7,55 29,68 0,80 1,13* 1,24 0,85 0,80 0,83 0,79 B11-126/Mr14 6,66 215,89 114,68 40 39 7,01 30,80 0,77 1,04 1,06 1,03 1,23 1,15 0,93 G180/Mr14 6,73 207,56 102,52 42 40 7,27 29,42 1,17 0,98 0,95 0,71 0,66 1,11 0,93 G193/Mr14 6,86 210,09 110,29 42 40 7,57 31,00 0,91 0,95 0,81 1,10 1,04 0,97 1,31 E45/Mr14 6,99 197,68 100,24 41 40 7,22 30,53 0,89 1,09 0,92 1,19 1,18 1,38 1,21 E54-2/Mr14 6,25 203,87 106,19 40 39 6,76 29,39 1,19 0,86 0,70 1,24 1,41* 0,91 1,03 Bima 1 6,96 224,59 114,41 43 42 7,60 29,11 1,10 1,16 1,17 0,83 0,86 1,02 0,96 Bisi 2 6,21 219,94 119,84 41 40 6,79 29,88 1,25 1,05 1,21 1,11 1,01 1,08 1,12 6,60 212,84 109,70 42 40 7,14 29,91

Ttn = Tinggi tanaman, Ttkl = Tinggi tongkol, Jtp = Jumlah tanaman panen, Jtklp = Jumlah tongkol panen, Bkb = Berat tongkol kupasan basah, Ka= Kadar air

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Genotipe yang stabil adalah B11-209/Mr14 (6,89 t/ ha), diikuti G193/Mr14 (6,86 t/ha), B11-136/Mr14 (6,83 t/ha), G180/Mr14 (6,73 t/ha) dan Nei 9008 (6,69 t/ha), sedang genotipe yang memiliki hasil tertinggi adalah E45/Mr14 (6,99 t/ha), diikuti oleh Bima-1 (6,96 t/ha)

2. Semua genotipe yang diadaptasikan tergolong stabil, termasuk Bima-1 dan Bisi-2 sebagai pem-banding, kecuali genotipe Mr14/B11-132.

3. Komponen hasil yang memperlihatkan spesifik lingkungan terdapat pada genotipe Mr14/B11-209 untuk jumlah tanaman panen, Mr14/B11-132 untuk bobot tongkol, B11-209/Mr14 untuk jumlah tongkol panen, CML431/Mr14 untuk kadar air, B11-136/Mr14 untuk tinggi tanaman, dan E54-2/Mr14 untuk jumlah tongkol panen

4. Komponen hasil yang dapat dijadikan indikator hasil adalah jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, bobot tongkol dan kadar air, namun komponen yang langsung menjadi indikator kestabilan hasil adalah bobot tongkol panen.

Saran

Pengujian multilokasi ke depan perlu pengamatan suhu harian di setiap lingkungan pengujian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Sri Sunarti dan Sigit Budisantoso Kepala KP. Muneng, Kepala KP Kendalpayak, dan Ir. Awaluddin Hipi, yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Allard, R.W. and A.D.Bradshaw. 1964. Implication of Genotype Environment Interaction in Applied Plant Breeding. Crop.Sci. 4:503-507.

Baihaki, A dan N. Wicaksana. 2005. Interaksi genotip x lingkungan, Adaptabilitas dan stabilitas hasil dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16 (1):1-8. Eberhart, S. A. and W. A. Russel. 1966. Stability parameters for

comparing varieties. Crop Sci. 6:36-40.

Finlay, K. W., and G.N.Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in a plant breeding program. Aust. J. Agric. Res. 13:742-754. Freeman, G. H. 1980. Modern statistical methods for analyzing genotipe x environment ointeraction, p. 118-125. In M.S. Kang (Ed.): Genotipe By Environment Interaction and Plant Breeding. Louisiana State Univ. Agr. Center. 392p.

(8)

Gauch, H.G.Jr. 1992. Statistical Analysis of Regional Yield Trials: Ammi Analysis of Factorial Designs. Elsevier Science Pub. Amsterdam, Netherlands.

Hadi dan Halimatus. 2004. Model AMMI Untuk Analisis Interaksi Genotipe x Lokasi. Jurnal Ilmu Dasar 5 (1):33-41

Ivory, D.A. 1989. Site Characterization in De lacy, I.H. (ed). Analysis of data from Agricultural Adaptation Experiments. Australian Cooperation with the Thai/World Bank National Agricultural Research Project (ACNARP) Training Course. Suphanburi and Chiang Mai Thailand: 15-17 January 1989. p.17-24

Luthra, G.P. and Singh, R.K. 1974. A Comparison of Different Stability Models in Wheat Theory. Appl.Genet. 45:143-149. Makkulawu, A.T., N.Iriany, B. Annas, M. Dahlan, dan F. Kasim.

1999. Stabilitas hasil beberapa genotipe jagung hibrida harapan pada Sembilan lokasi. Zuriat 10 (2):54-61. Mather, K. and J.L. Jinks. 1982. Biometrical Genetics. 3rd Ed.

University Press. Cambridge. London. 396 p.

Mcintosh, M.S. 1983. Analysis of Combined Experiments. Agron. Journal 75:153-155.

Nasrullah, 1981. A Modified prosedure for identifying varietal stability. Agric. Sci. 3(4):153-159.

Nur, A., A.T. Makkulawu, dan M.Dahlan. 2005. Keragaan dan korelasi komponen hasil terhadap hasil genotipe jagung hibrida. Agrivigor 5 (2):190-197.

Shukla, G.K. 1972. Some statistical aspects of partitioning Genotipe-Environmental Components of Variability. Heredity 29:237-245.

Pabendon, B.M., dan A.T. Makkulawu. 2000. Penampilan fenotipik dan hasil beberapa karakter penting 10 jagung hibrida harapan berumur genjah di Maros, Sulawesi Selatan. Zuriat 11 (1):27-32.

Soemartono dan Nasrullah. 1988. Genetika Kuantitatif. PAU– Biotecnology. UGM.171 p.

Sumertajaya, I.M. 2005. Kajian pengaruh inter blok dan interaksi pada uji lokasi ganda dan respon ganda. Disertasi, Program Doktor Statistika, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suherman, O., A.T. Makkulawu, N.R.M. Iriany, dan M.M.Dahlan. 2004. Karakterisasi sifat agronomik induk jagung hibrida Semar-10. Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia VII Dukungan Pemuliaan terhadap Industri Perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif. Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Malang. Vasal, S.K and N.N.Singh. 1999. A critique of inbred line

development methods. Makalah Pelatihan Pemuliaan Jagung dan Produksi Benih Jagung Hibrida. 6 p. Maros 24-28 Desember 1999.

Yang, R.C. and R.J. Baker. 1991. Genotipe x Environment Interactions in Two Wheat Crosses. Crop.Sci. 31:63-87. Yan, W., L.A. Hunt, Q.Sheng, and Z.Szlavnies. 2000. Cultivar

evaluation and mega-environment investigation based on GGE biplot. Crop. Sci. 40:597-605.

Gambar

Tabel 1.  Analisis ragam gabungan.
Tabel 4. Analisis korelasi antara hasil dengan komponen hasil genotipe jagung hibrida pada beberapa lokasi.
Gambar 2. Biplot tinggi tanaman dengan tingkat kesesuaian 76,5%. Gambar 3. Biplot jumlah tongkol panen dengan tingkat kesesuaian 60,1%
Gambar 6. Biplot bobot tongkol dengan tingkat kesesuaian 59,7%. Gambar 7. Biplot  tinggi  letak  tongkol  dengan  tingkat  kesesuaian 66,4%
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini adalah mekanisme restitusi pajak pertambahan nilai pada kantor pelayanan pajak pratama cirebon dilakukan sesuai dengan aturan- aturan yang berlaku

Studi pendahuluan dilakukan untuk memperoleh data jumlah pendengar aktif pada acara CBL school show , bentuk program yang telah berjalan, permasalahan yang

Tujuan dari perancangan ini adalah merancang buku merangkai bentuk 3D untuk memperkenalkan alat musik tradisional Nusantara dengan lebih unik dan menarik untuk

Abdul Karim Soroush mengungkapkan pemikiran dan kritiknya yang tajam terhadap pengetahuan keagamaan, ia juga menuangkan ide pemikirannya pada berbagai karyanya yang

melihat, membaca dan menanya) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah,

dari sesuatu yang utuh”. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan. Untuk peragaan dengan kertas dalam pengenalan pecahan 1 2 ,

Kombinasi factor dengan level yang memberikan peningkatan kekerasan yaitu dengan temperature 800 o C dengan media pendingin oli sebesar 111.8 HB.. Sedangkan yang

Setelah menyelesaikan pengambilan data, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan prototipe website agregasi produk dengan fungsi yang spesifik terhadap direktori