• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga harus senantiasa kita jaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan cikal bakal sumber daya manusia dari suatu bangsa dan merupakan unsur utama dalam proses pembangunan.1 Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam upaya mencapai sasaran pembangunan, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan potensi anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi serta hak untuk memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Kedudukan anak diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 34 ayat (1), yang menyatakan sebagai berikut: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.” Irma Setyowati Soemitro menjelaskan pengertian anak menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:

“Ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berarti makna anak yaitu seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara lahiriah, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.”2

1

Penjelasan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 16.

(2)

Hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak, yaitu termuat di dalam Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Child 1989) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak. Peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak dan dukungan kepada kelembagaan merupakan suatu hal yang sangat di perlukan dalam mendukung pelaksanaan perlindungan hak anak, seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 butir (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.”

Arif Gosita juga memberikan pengertian perlindungan anak sebagai berikut: 1. Suatu usaha individu atau kelompok untuk melindungi anak dalam melaksanakan

haknya dan kewajibannya secara manusiawi positif;

2. Suatu hasil interaksi pihak-pihak tertentu, akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi untuk memahami dan menghayati hakikat perlindungan anak maka harus dipelajari pihak-pihak yang terlibat pada adanya (eksistensi) perlindungan anak tersebut;

3. Suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh unsur-unsur struktur sosial tertentu masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (yang dapat menjadi motivasi individu bertindak), lembaga-lembaga sosial, nilai-nilai sosial, norma, status, peran dan sebagainya;

4. Perlindungan anak adalah suatu perwujudan keadilan dalam suatu masyarakat. Keadilan disini diartikan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara manusiawi positif. Sebaiknya diusahakan adanya suatu gerakan nasional mengenai perlindungan anak untuk mencapai perwujudan keadilan ini demi kesejahteraan anak yang merata;

(3)

5. Perlindungan anak adalah suatu usaha bersama setiap anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat adalah partisipan dalam mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selain itu dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada musyawarah antar yang bersangkutan, yaitu: objek dan subjek perlindungan. Harus diutamakan perspektif kepentingan yang diatur daripada perspektif kepentingan mengatur;

6. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti mengabaikan pemantapan pembangunan nasional akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan nasional yang dapat menganggu pembangunan dan kesejahteraan sosial rakyat;

7. Perlindungan anak merupakan suatu tolak ukur peradapan masyarakat tertentu yang bersangkutan;

8. Perlindungan anak adalah suatu usaha memberdayakan anak dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan dan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan hukum publik maupun privat.3

Barda Nawawi Arief seperti yang dikutip oleh Aminah Aziz memberikan istilah perlindungan hukum anak kepada perlindungan anak yang diartikannya sebagai upaya (fundamental rights and freedom of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.4

Anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi merupakan kenyataan yang masih banyak terjadi di masyarakat Indonesia, sehingga diperlukan pelayanan secara khusus, seperti yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yakni: 1. Anak-anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat

terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar;

2. Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

3

Arif Gosita, dkk, Persyaratan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Perlindungan

Anak yang Baik, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 2001, hal. 69.

4

(4)

3. Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat;

4. Anak-anak yang cacat rohani dan/atau jasmani adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Anak penyandang cacat jasmani merupakan anak yang memiliki kelainan fisik di dalam tubuhnya sehingga dapat mengganggu tumbuh kembangnya secara optimal serta memberikan rintangan dan hambatan bagi dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan secara layak seperti anak pada umumnya. Kelainan fisik tersebut pada hakikatnya bukan berarti membuat anak penyandang cacat tubuh tersebut kehilangan hak dan peluang untuk hidup sejajar dengan orang lain, sebab mereka juga memiliki potensi yang dapat dikembangkan secara maksimal. Pelayanan khusus dari pemerintah sangat dibutuhkan anak penyandang cacat tubuh seperti program rehabilitasi, yaitu suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan anak penyandang cacat tubuh mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.5 Dengan demikian anak penyandang cacat tubuh harus mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan kehidupan seperti yang tertuang dalam Pasal 51 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut: “Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.” Anak penyandang cacat tubuh juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai

5

Kementerian Sosial RI, Petunjuk Umum, Kementerian Sosial RI Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, Kementerian Sosial RI, Medan, 2005, hal. 7.

(5)

kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat dapat dengan mudah terwujud jika ada sarana, prasarana dan upaya yang memadai, terpadu dan berkesinambungan sehingga pada akhirnya akan menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat tubuh itu sendiri.6

Penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial serta perlindungan secara khusus kepada anak penyandang cacat tubuh merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan juga masyarakat.7 Kementerian Sosial selaku pemerintah yang terkait untuk mengemban amanat dalam memberikan perlindungan khusus kepada anak penyandang cacat tubuh, harus menjamin hak anak penyandang cacat tersebut untuk menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemulihan fisik dan mental maupun persiapan untuk lapangan pekerjaan yang layak nantinya dengan memberikan keterampilan dan kemampuan lain yang menunjang serta membantu anak dalam mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu, termasuk pengembangan budaya dan rohaninya sesuai yang di amanatkan dalam konvensi hak anak.8

Kementerian Sosial secara berkelanjutan juga melakukan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial, termasuk didalamnya upaya untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat tubuh yang merupakan

6

Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan Minimal Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat

Dalam Panti, Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 1.

7

Ibid.

8

(6)

bagian integral dari pembangunan nasional agar seluruh lapisan masyarakat dapat terjangkau oleh pembangunan. Program pembangunan kesejahteraan sosial bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat dilaksanakan berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.9 Perundang-undangan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan untuk mendapatkan pemeliharaan kesejahteraan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional dengan menerima pemberian bantuan/stimulant agar terpenuhi segala aspek kehidupan dan penghidupannya.

Pasal 7 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juga menyebutkan bahwa: “Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta setiap penyandang cacat juga mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan derajat kecacatan dan kemampuannya.” Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa selain memiliki hak atas persamaan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan, penyandang cacat juga memiliki kewajiban yang sama baik di kehidupan bermasyarakat, bangsa dan bernegara.

Pelayanan rehabilitasi melalui sistem panti adalah merupakan suatu jenis pelayanan yang dinilai cukup efektif agar terbinanya anak penyandang cacat tubuh

9

Buletin Peduli Edisi XVIII Agustus 2007, Kementerian Sosial Republik Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 3.

(7)

sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan penghidupan di masyarakat. Panti yang berada di bawah struktural Kementerian Sosial salah satunya adalah Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, selanjutnya panti tersebut akan menjadi tempat dilakukannya penelitian. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara merupakan unit pelayanan terpadu bagi penyandang cacat tubuh melalui program rehabilitasi yang dilaksanakan dengan bentuk pengasramaan selama 1 (satu) tahun dan seluruh biaya dibebankan kepada anggaran APBN, kecuali biaya uang saku/uang harian adalah tanggung jawab orang tua/wali.10 Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tersebut dibentuk oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan tujuan untuk membantu pemulihan kondisi fisik, psikis, mental dan sosial, serta pemberian keterampilan praktis kepada penyandang cacat tubuh, sehingga mereka bisa dan berkemampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan baik di masyarakat, juga diharapkan agar penyandang cacat tubuh tersebut memiliki kualitas hidup yang baik, sejahtera dan juga mandiri.

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk merekrut peserta program rehabilitasi terlebih dahulu memberikan format pengisian keterangan anak penyandang cacat dalam bentuk formulir yang diisi dan ditandatangani oleh orang tua/wali serta anak penyandang cacat tubuh itu sendiri. Formulir ini berisi kondisi sosial, catatan lengkap mengenai kondisi kecacataan, pemeriksaan kesehatan untuk rehabilitasi dan lain sebagainya,

10

Wawancara dengan R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011.

(8)

termasuk di dalamnya formulir surat pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali yang berisikan pernyataan tidak akan menuntut apa pun kepada pihak panti dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara jika peserta program rehabilitasi mendapatkan halangan seperti sakit yang serius karena kelalaian sendiri, melarikan diri, kecelakaan ataupun meninggal dunia ketika anak tersebut sedang mengikuti proses program rehabilitasi, yang juga di tandatangani oleh lurah/Kepala Desa tempat anak bermukim sebagai pihak yang mengetahui atau saksi (terdapat dalam Form 4, LIHAT LAMPIRAN). Formulir ini tertuang dalam bentuk perjanjian baku yang di buat secara sepihak oleh Kementerian Sosial dan pihak panti. Berdasarkan hasil wawancara terjadi kedubiusan mengenai siapa yang menerbitkan format formulir ini, ada pihak yang mengatakan formulir ini di buat oleh pusat dalam hal ini Kementerian Sosial Republik Indonesia11. Kemudian pada tahap wawancara selanjutnya ada pihak panti yang lainnya mengatakan formulir ini di buat oleh panti dalam hal ini Sub Bagian Program dan Advokasi.12

Formulir pernyataan merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum mengikuti program rehabilitasi yang terdapat didalam Form 4 tersebut merupakan salah satu bentuk perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klasulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada

11

Wawancara dengan H.B, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 10 Januari 2011.

12

Wawancara dengan R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

(9)

dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Jadi yang dibakukan adalah klausul-klausulnya dan bukan formulir perjanjiannya.13

Ketentuan yang terkesan memberatkan pihak orang tua/wali dalam perjanjian baku tersebut adalah adanya pencantuman klausula berupa syarat yang membatasi atau bahkan meniadakan tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian (dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara). Pencantuman klausula demikian yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan tanggung jawab pihak panti tersebut menyebabkan perjanjian baku terkesan sebagai perjanjian yang tidak adil dan tidak seimbang antara para pihak. Pemakaian klausula pada sebuah perjanjian yang memberatkan salah satu pihak merupakan hal yang sering terjadi. Klausula ini disebut klausula eksonerasi atau istilah lainnya yaitu klausula eksemsi, klausula ini biasa dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat terhadap pihak yang kedudukannya lebih lemah dalam sebuah perjanjian. Klausula ini dapat terjadi atas kehendak salah satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal.14 Klausula eksonerasi umumnya dibuat dengan tujuan agar satu pihak dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap pihak lainnya, dengan kata lain agar ia dapat menghindari kewajiban yang mungkin timbul dikemudian hari. Perjanjian pada dasarnya dibuat atas kesepakatan bebas antara dua belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum agar melaksanakan suatu prestasi yang tidak

13

Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66.

14

(10)

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas, namun adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang sehingga pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.15

Perjanjian yang dibuat Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk sebuah formulir pernyataan kesanggupan orang tua, yang ditandatangani pada saat pihak panti akan merehabilitasi anaknya untuk tidak menuntut apa pun kepada pihak panti tentunya bertentangan dengan asas keseimbangan dalam perjanjian berkontrak, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini memberikan pembatasan salah satu pihak dari tanggung jawab hukum jika terjadi hal-hal diluar kehendak, sehingga terkesan menguntungkan pihak panti dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan dapat menimbulkan kerugian kepada pihak orang tua/wali. Pihak orang tua/wali tentunya akan merasa dirugikan, apabila terjadi masalah yang timbul diluar kemampuan dan kekuasaan dari pihaknya dan sangat merugikan, karena ternyata anaknya memiliki kedudukan dan perlindungan hukum yang sangat lemah selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Orang tua/wali pada satu sisi juga memerlukan fasilitas rehabilitasi untuk anaknya selaku penyandang cacat tubuh, kebutuhan inilah yang akhirnya membuat orang tua/wali menyetujui dan selanjutnya menandatangani surat perjanjian/formulir

15

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 53.

(11)

P4 tersebut. Orang tua/wali dan terutama sekali anak penyandang cacat tubuh yang berada di dalam panti seharusnya mendapatkan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum dari pemerintah bukan sebaliknya. Sangatlah kontradiktif ketika melihat pada penjabaran sebelumnya, jika di kaitkan dengan peraturan yang ada, karena terkesan pemerintah tidak memiliki tanggung jawab secara hukum dalam bentuk perjanjian yang tertulis akan keamanan dan keselamatan diri anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Oleh sebab itu maka perlu dicari kepastian dan perlindungan hukumnya ketika di kaitkan dengan adanya perjanjian baku yang mencantumkan syarat eksonerasi tersebut karena pada prinsipnya anak penyandang cacat tubuh sangat memerlukan suatu upaya perlindungan dengan memperlakukannya secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan hak anak yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki serta memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dalam pengembangan individu.16

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat?

16

(12)

2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan atau mengetahui jawaban dari rumusan masalah yang telah diajukan, sehingga penjelasan terhadap rumusan masalah tersebut dapat diberikan. Mengacu pada judul dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.

D. Manfaat Penelitian

(13)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perjanjian dan hukum perlindungan anak penyandang cacat tubuh serta hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia khususnya di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan diharapkan memberi masukan bagi penyempurnaan dalam pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh yang berdampak terhadap perlindungan hukumnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang terletak di Medan)”, belum pernah ada. Oleh karena itu, penelitian ini dapat

(14)

dinyatakan asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis ini ada satu, yakni penelitian dengan judul “PERWALIAN ANAK PANTI ASUHAN SETELAH DIUNDANGKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Panti Asuhan Islam), diteliti oleh Yunita Hasibuan/MKn Universitas Sumatera Utara. F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.17 Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani, secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.18

Menurut Shorte Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat ditujukan sebagai disiplin akademik, yaitu “Suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena” dan “Suatu pernyataan tentang

17

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

18

H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21.

(15)

sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.”19

Menurut Neuman: “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”20

Teori berfungsi sebagai landasan berfikir dengan mengukur sesuatu berdasarkan variabel yang tersedia. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.21

Teori digunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.24 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan

19

Malcom Waltres, Modern Sociological Theory, sage publications, 1994, hal. 2, dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.

20

W. L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991, hal. 20 dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.

21

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 126.

22

J. J. J. M. Wuisman, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal.203.

23

Ibid, hal. 16.

24

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.

(16)

cara-cara bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil terdahulu.25

Menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan klausula yang logis di antara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir (frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.26

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan untuk memberikan arahan atau petunjuk gejala yang diamati dan teori keseimbangan untuk pemecahan permasalahan penelitian sisi substansi setiap sistem hukumnya.

Teori keadilan ini dipelopori oleh Aristoteles, pandangan-pandangannya tentang keadilan bisa di dapat dalam karyanya yaitu : nicomachean ethics, politics dan rethoric. Lebih khususnya dalam nicomachean ethics yang sepenuhnya ditujukan bagi keadilan. Berdasarkan filsafat umum aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukum, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.” Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa dipahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika akan mengatakan bahwa

25

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, Rineka, Jakarta, 2003, hal. 23.

26

Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan

(17)

semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi dan sebagainya yang di miliki. Tetapi dari pembedaan ini aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.27

Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur yaitu dengan memberikan keadilan kepada setiap orang yang berhak menerima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus, sesuai dengan permasalahan di sini yaitu keadilan bagi anak dengan kondisi tubuh yang cacat, karena pada dasarnya anak cacat juga manusia biasa yang berhak mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya. Untuk terlaksananya hal tersebut maka teori hukum ini harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regel” (peraturan/ketentuan umum) yang mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Adanya paksaan luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya;

b. Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.28

Apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan maka akan kerap tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan pada satu sisi tidak jarang

27

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004, hal. 24.

28

(18)

keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.29

Roscoe Pound menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.30 Dengan kata lain bahwa hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empirik (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Kedua hal tersebut adalah sama perlunya, artinya hukum yang ada pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara.31 Selanjutnya hukum tersebut berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi. Kehidupan dalam tertib hukum akan membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum. Pound juga menempatkan hukum sebagai inti dari semua

29

Ibid. hal. 25.

30

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, bandung, 2007, hal. 66.

31

Mulhadi, Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum

(19)

kehidupan sosial yang adil dan bermoral.32 Keadilan disini dikonsepsikan sebagai hasil-hasil konkrit yang bisa diberikan kepada masyarakat. Dimana hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghidari pembenturan antara manusia.33

Teori yang digunakan selanjutnya adalah teori keseimbangan. Kata “seimbang” (evenwicht) menunjukkan pada pengertian suatu “keadaan” pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Suatu pengakuan akan kesetaraan kedudukan individu dengan komunitas dalam kehidupan bersama.34

Herlien Budiono memberikan pengertian tentang tujuan suatu kontrak, yang diturunkan dari asas laras (harmonis) dalam hukum adat, yakni: “Tujuan dari kontrak ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.”35 Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya menyatakan bahwa kedudukan satu pihak yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kedua belah pihak seimbang.36

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan secara terus

32

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 86-87.

33

Keadilan Dan Kepastian Hukum, http;//yahya zein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal 10 Februari 2011.

34

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 304.

35

Ibid, hal. 310.

36

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.88.

(20)

menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Khususnya perlindungan terhadap anak dengan kecacatan tubuh. Dengan segala keterbatasan kemampuan fisiknya, anak dengan kecacatan tubuh merupakan kelompok masyarakat kurang beruntung dan membutuhkan perhatian khusus baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas.

Anak dengan kecacatan mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya, yakni hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Pasal 1 butir (7) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan anak cacat sebagai anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga menggangu pertumbuhannya secara wajar. Dalam pasal yang sama butir (15) juga dijelaskan bahwa anak cacat merupakan kelompok anak yang memerlukan perlindungan dan perhatian yang khusus, termasuk pemenuhan kebutuhannya melalui rehabilitasi.

Perjanjian pada hakekatnya adalah dua orang pihak atau lebih berjanji dan sepakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan dari satu pihak kepada pihak lainnya. Berhubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah bahwa hukum ini semula mengatur hubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak antara orang dan suatu benda.37

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

37

(21)

3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

Orang memiliki status sebagai subjek hukum sejak saat ia dilahirkan dalam keadaan hidup (tidak terlahir dalam keadaan meninggal) dan ada kepentingan yang mengkehendakinya.38 Adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sehingga telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan oleh para pihak yang bersangkutan.39 Perjanjian maupun kontrak mempunyai hubungan dengan perikatan dan perjanjian. Mengenai hubungan perikatan yaitu perjanjian itu menerbitkan perikatan.40

Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak ialah: a. Asas konsensualisme;

Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. b. Asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst);

Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.

c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid);

Bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan.41

38

Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata

(Suatu Pengantar), Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 21.

39

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 10.

40

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1980, hal. 10.

41

(22)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.42 Konsep ini diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak dan digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.43 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan, pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Konsepsi adalah suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.44

Penelitian ini dirumuskan dengan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi sebagai berikut:

1. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Soedikno Mertokusumo perjanjian merupakan hubungan hukum antara

42

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34.

43

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal. 3.

44

(23)

dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.45

2. Rehabilitasi sosial anak cacat diartikan sebagai proses pemberian pelayanan dan bantuan, perlindungan, pemeliharaan taraf kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan khusus anak cacat yang dilakukan dalam bentuk penanganan secara cepat, tepat dan benar untuk mencapai tingkatan perkembangan yang optimal, sebagai wujud perlindungan anak untuk memperoleh kehidupan yang layak baik fisik, mental dan sosial.46

3. Anak penyandang cacat tubuh yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah anak dengan kecacatan tubuh (tuna daksa) berusia di bawah 18 tahun yang mengalami hambatan fisik yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan khusus sesuai dengan kondisi dan derajat kecacatannya yang berada di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

4. Cacat tubuh atau tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.47

45

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 97.

46

Kementerian Sosial RI, Pedoman Deteksi Dini Kecacatan Anak, Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2006, hal. 3.

47

(24)

5. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni: ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

6. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara adalah salah satu unit pelaksana teknis Kementerian Sosial Republik Indonesia di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang merehabilitasi anak tuna daksa dengan wilayah pelayanan regional terbatas, meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat.

G. Metodelogi Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.48 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.49

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian

48

Mohammad Nazir, Metode Penelitan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13.

49

(25)

dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.50

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.51

Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat mengimplementasikan dalam praktek dilapangan.52

Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.53 Dengan metode pendekatan analitis (analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang

50

Ibid.

51

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 47.

52

Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006, hal. 14.

53

(26)

terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek.54

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Williem Iskandar Nomor 377 Medan.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa yang berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian yang kemudian mengambil kesimpulan.

Penelitian yang dilakukan berupa penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan anak penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan juga orang tua/wali anak penyandang cacat tubuh serta pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.

5. Sumber Data

Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya, yakni antara lain:

54

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, 2007, hal. 310.

(27)

1. Bahan hukum primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan traktat.

2. Bahan hukum sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer, contohnya: buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.

3. Bahan hukum tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan sekunder, contohnya: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya.55

6. Alat Pengumpulan Data

Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen tentang perjanjian

rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan maupun perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide). Wawancara dilakukan untuk mengokohkan analisis data normatif yang digunakan.

7. Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan

55

(28)

kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.56 Setelah data diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya.

Penelusuran analisa bahan dimulai dari pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh menurut Undang Undang Penyandang Cacat, pelaksanaan perjanjian rehabilitasi pada Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, serta perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh yang dikaitkan dengan perjanjian yang dibuat, kemudian dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari penelitian.

56

Referensi

Dokumen terkait

Teknik ini dilakukan untuk mengetahui dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam penelitian seperti soal- soal yang digunakan untuk pretest,

Tes pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan literasi matematika siswa kelas X MAN Insan Cendekia Tanah Laut dalam menyelesaikan

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kuantitatif, yaitu mendeskripsikan kejadian berdasarkan yang terjadi di lapangan, sehingga dapat

Setelah medium membeku, masing-masing isolat bakteri diinokulasikan ke dalam Medium Lipid Agar dan diinkubasi pada suhu 25-27°C selama 24 jam.. Hasil uji

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang puskesmas, puskesmasadalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya

Sama seperti siklus I dan II, pada siklus III ini dilakukan perencanaan sebelum melakukan pembelajaran, yaitu mempersiapkan rencana pembelajaran IPA dengan

Berdasarkan uraian diatas maka analisa kelayakan investasi yang akan dilakukan adalah berada pada Painting Shop. Didalam proses painting sendiri terdapat banyak

Perayaan hari-hari penting, seperti Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan Festival Budaya merupakan praktik baik dalam menumbuhkembangkan pemahaman dan kesadaran bagi