• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eko Pujiono, Budiyanto Dwi Prasetyo dan Retno Setyowati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Eko Pujiono, Budiyanto Dwi Prasetyo dan Retno Setyowati"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENAKSIRAN KERENTANAN DAN ADAPTASI MASYARAKAT

PADA SEKTOR SUMBERDAYA AIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM

DI PROVINSI NTT (KASUS : DAS KAMBANIRU DAN DAS AESESA)

Vulnerability Assessment and Community Adaptation on Water Resource

Sector under Climate Change in NTT Province (Cases: Kambaniru and

Aesesa Watershed)

Eko Pujiono, Budiyanto Dwi Prasetyo dan Retno Setyowati

Balai Penelitian Kehutanan Kupang/Forestry Research Institute of Kupang

Jln. Untung Suropati No. 7 (Belakang) P.O BOX 69 Kupang 85115 NTT Tlp. (0380) 823357, Fax. (0380) 831068, email : [email protected]

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan dan adaptasi masyarakat pada sektor sumberdaya air akibat perubahan iklim di Provinsi NTT. Dua DAS Prioritas I, yaitu DAS Kambaniru di Pulau Sumba dan DAS Aesesa di Pulau Flores, dipilih sebagai lokasi kajian. Data suhu dan curah hujan selama kurang lebih 30 tahunan, data kuantitas dan kualitas air digunakan untuk menggambarkan trend perubahan iklim dan kondisi sumberdaya air. Penaksiran tingkat kerentanan dilakukan dengan pendekatan konsep dari IPCC, dimana kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif. Kriteria dan indikator keterpaparan (perbahan kondisi DAS), sensitivitas (permintaan air, ketergantungan terhadap lahan) dan kapasitas adaptif (kualitas SDM, sosekbud masyarakat, daerah resapan air) didapatkan dari beberapa kajian terdahulu. Kriteria dan indikator kemudian diberikan skor dan bobot sesuai derajat kepentingannya, disajikan secara spasial dan dilakukan overlay untuk mendapatkan peta kerentanan. Identifikasi adaptasi masyarakat dilakukan dengan mengklasifikasikan pola adaptasi sebagai adaptasi reaktif maupun antisipatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa suhu tahunan rata-rata di DAS Kambaniru selama 1973-2012 cenderung naik sebesar 0,4OC, sedang di DAS Aesesa selama 1983-2011 menunjukkan kecenderungan kenaikan sekitar 0,12OC. Sebaliknya, curah hujan tahunan rata-rata menunjukkan kecenderungan menurun, di hilir DAS Kambaniru menurun sekitar 30 mm selama periode 1973-2012 dan di hilir DAS Aesesa menurun sekitar 175 mm selama 1976-2004. Kondisi sumberdaya air di kedua DAS, baik kuantitas maupun kualitas air relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Peta kerentanan menunjukkan bahwa sekitar 50% dari luasan DAS memiliki tingkat kerentanan tinggi. Dalam proses validasi, terdapat kesesuaian antara peta kerentanan dan peta bencana, dimana tingginya tingkat kerentanan berbanding lurus dengan banyaknya jumlah bencana. Terkait adaptasi, pola adaptasi masyarakat di kedua DAS pada umumnya masih bersifat reaktif, namun diketahui terdapat beberapa adaptasi antisipatif dari masyarakat. Hasil kajian ini bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk menyusun rencana dan strategi mitigasi/ adaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Kata kunci: kerentanan, sumberdaya air, adaptasi, perubahan iklim, DAS

ABSTRACT

This study aimed to determine vulnerability of water resources and community adaptation under climate change in NTT Province. Two Priority I Watershed, Kambaniru and Aesesa Watershed were selected as study area. Temperature and precipitation data, the data of water quantity and quality were used to describe the trend of climate change and water resource conditions. Vulnerability assessments used the IPCC concept, where the vulnerability is a function of exposure, sensitivity and adaptive capacity. Criteria and indicators of exposure (watershed changes), sensitivity (water demand, the dependence of community on land) and adaptive capacity (human resources quality, socio economic condition, and water catchment area) were obtained from previous studies. Criteria and indicators were then given a score and weight based on their degree of importance, spatially displayed and

(2)

2

overlaid to produce the vulnerability map. The results showed that the average annual temperature tend to rise by 0,4OC in the Kambaniru Kambaniru watershed during 1973-2012 and have a tendency to increase of 0,12OC in the Aesesa watershed during 1983-2011. In opposite, the average annual precipitation showed a declining trend, a decrease of about 30 mm in the Kambaniru watershed during 1973- 2012 and a decrease of 175 mm in Aesesa watershed during 1976-2004. Related to water resources condition, both the quantity and quality of water was relatively constant in the study area. Vulnerability maps show that, approximately 50% of watershed area is categorized as high vulnerability level. In the validation process, there is a correspondence between the vulnerability map and the disaster map, where the high level of vulnerability is directly proportional to the number of disasters. Related to community adaptation, most of adaptation are categorized as reactive adaptation and only find a few practices of anticipatory adaptation. The results of this study can be used by authorized and related institutions to make a plan or strategy of mitigation/adaptation in the face of climate change impacts.

Kata kunci: vulnerability, water resources, adaptation climate change, watershed

I. PENDAHULUAN

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan kenaikan dunia lebih panas. Selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740C (IPCC, 2001). Bagaimana dengan bukti-bukti perubahan iklim di Indonesia? Word Wide Fund (WWF) melaporkan bahwa suhu rata-rata tahunan di Indonesia meningkat sebesar 0,300C sejak tahun 1990. Untuk lingkup NTT, sebuah persamaan regresi yang diperoleh dari analisis data suhu udara, memprediksi bahwa suhu udara tahunan rata-rata cenderung naik sebesar 0,200C (Faqih, 2011). Peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi dan memberikan efek langsung terhadap keseimbangan siklus hidrologi (Gain, et al., 2012; Swandayani, 2010; The Energy and Resources Institute - TERI, 2009). Banjir, tanah longsor, angin dan kekeringan merupakan bencana klimatis yang merupakan efek dari terganggunya siklus hidrologi akibat peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan (BAPPENAS, 2010).

Salah satu upaya untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air adalah dengan mengukur tingkat kerentanannya. Pengukuran tentang kerentanan sumberdaya air difokuskan kepada tingkat kemudahan/ kesulitan untuk mendapatkan air yang mencukupi secara kuantitas dan kualitas. Sayangnya penelitian atau informasi tentang tingkat kerentanan sumberdaya air akibat perubahan iklim ini masih sangat terbatas. Beberapa penelitian terkait pengukuran tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim yang pernah dilakukan adalah: (1) Swandayani (2010), yang melakukan penelitian tentang kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dengan menggunakan kriteria paparan indeks penggunaan air, (2) Rositasari, et al., (2011) melakukan penelitian kerentanan

(3)

3 terhadap perubahan iklim di pesisir Cirebon dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan (3) Effendi (2012), yang melakukan penelitian berbasis DAS tentang kajian tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Garang, Jawa Tengah dengan pendekatan sistem informasi geografis (SIG).

IPCC menyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek : keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif (IPCC, 2001). Terkait kapasitas adaptif ini diperlukan identifikasi pola-pola adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan mereka dalam meyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Lebih lanjut Mantan Sekjen PBB Koffi Annan, dalam sebuah pidatonya tahun 2006 menyatakan bahwa sekarang pertanyaannya bukan lagi apakah perubahan iklim ini benar-benar terjadi, namun bagaimana kita bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada sekarang. Meski sudah banyak beberapa laporan atau publikasi terkait dengan adaptasi ini, namun informasi mengenai adaptasi di NTT masih terbatas. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sumberdaya air dan adaptasi masyarakat terhadap perubahan/variabilitas iklim di NTT.

II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kajian ini dilakukan di DAS Kambaniru di Pulau Sumba dan DAS Aesesa di Pulau Flores. Kajian dilaksanakan pada bulan tahun 2012 sampai tahun 2013.

B. Rancangan Penelitian

Wilayah unit analisis DAS dibagi menjadi tiga region yakni hulu, tengah, dan hilir yang dibedakan berdasarkan tingkat kelerengan, fungsi kawasan dan kerapatan drainase (Asdak, 1997). Pada setiap region dipilih sampel penelitian berbasis desa untuk mengambil data yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan sumberdaya air dan perubahan iklim.

C. Prosedur Penelitian

1. Pengamatan kecenderungan (trend) perubahan suhu udara dan curah hujan

Perubahan pola maupun trend suhu dan curah hujan akan dijadikan indikator untuk menilai terjadinya perubahan atau variabilitas iklim di lokasi kajian. Pola suhu udara dan curah hujan diamati berdasarkan karakeristik suhu udara tahunan rata-rata dan curah hujan tahunan untuk jangka waktu kurang lebih 30 tahun dari beberapa stasiun pengamat cuaca atau curah hujan yang terdekat dengan lokasi kajian. Tren perubahan suhu udara dan curah hujan rata-rata di analisis dengan analisis statistisk (regresi) dengan mengacu kepada data time

(4)

4 wawancara terhadap masyarakat pada masing-masing region DAS terkait kecenderungan perubahan suhu dan curah hujan pada beberapa tahun terakhir.

2. Pengamatan kondisi sumberdaya air di DAS Aesesa

Terkait dengan kondisi sumber daya air, dilakukan pengamatan dan pengumpulan data kuantitas dan kualitas sumber daya air secara time series. Data kuantitas dan kualitas air dikumpulkan dari pihak-pihak yang terkait, seperti: Kementerian Pekerjaan Umum, Dinas Pekerjaan Umum dan BP DAS. Data tentang kualitas dan kuantitas air secara time series ini akan dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan sampai sejauh mana dampak variabilitas/perubahan iklim terhadap sumberdaya air. Sebagai alat verifikasi/validasi hasil analisis kondisi sumber daya air, dilakukan wawancara terhadap masyarakat pada masing-masing region DAS terkait ketersedian dan kebutuhan sumberdaya air pada beberapa tahun terakhir.

3. Penaksiran tingkat kerentanan

Penaksiran kerentanan dalam penelitian ini akan memakai rumusan IPCC. Dinyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek : keterpaparan/ exposure, sensitivitas/

sensitivity dan kapasitas adaptif/ adaptive capacity (IPCC, 2001, persamaan 1).

Vulnerability = f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity) (1)

Tingkat kerentanan akan diukur dengan pendekatan pendekatan berbasis spasial, dimana kriteria dan indikator penaksiran kerentanan sumberdaya air akibat perubahan iklim (Tabel 1) disusun dalam bentuk spasial dengan bantuan sistem informasi geografis (SIG) untuk mendapatkan peta kerentanan. Untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat akurasi/ kebenaran peta kerentanan terhadap perubahan iklim, dilakukan penilaian akurasi (accuracy

assessment) dengan meng-overlay peta kerentanan dengan peta kejadian bencana. Asumsi

yang dibangun, jika suatu daerah memiliki tingkat kerentanan yang tinggi berarti daerah tersebut sering dilanda bencana.

4. Pengamatan pola adaptasi

Proses identifikasi pola adaptasi akan difokuskan terhadap kegiatan-kegiatan adaptasi di sektor sumberdaya air dan mengklasifikasikan pola adaptasi sebagai adaptasi reaktif maupun antisipatif.

(5)

5

Tabel 1. Kriteria dan indikator penaksiran tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim

Variabel Kriteria Indikator Kategori Skor Teknik/ Sumber Data

Paparan (Exposure)

Perubahan Kondisi DAS

Curah Hujan <1500 mm Rendah (1) Data CH BMKG 1500-2500 mm Sedang (3)

>2500 mm Tinggi (5) Penutupan

Lahan

Hutan Rendah (1) Peta Penutupan Lahan (Kementerian Kehutanan 2011)

Perkebunan Agak Rendah (2) Pertanian Sedang (3) Savana Agak Tinggi (4) Pemukiman Tinggi (5) Kekritisan

Lahan

Tidak Kritis Rendah (1) Peta Lahan Kritis (Kementerian Kehutanan, 2010)

Potensial Kritis Agak Rendah (2) Agak Kritis Sedang (3) Kritis Agak Tinggi (4) Sangat Kritis Tinggi (5) Sensitivitas (Sensitivity) Permintaan Air Kepadatan Penduduk (KP)

<Rata DAS Rendah (1) KP = jumlah penduduk/luas wilayah (BPS & BPDAS B. Noelmina, 2012)

=Rata DAS Sedang (3) >Rata DAS Tinggi (5) Akses

terhadap Air Bersih (AB)

0-20% Rendah (1) AB = (RT yang mendapat air bersih/ jumlah RT)*100 (BPS Provinsi NTT, 2012) 20-40% Agak Rendah (2) 40-60% Sedang (3) 60-80% Agak Tinggi (4) 80-100% Tinggi (5) Ketergantun gan pada Lahan Persen masy yg bergantung pd pertanian (PP)

0-12,5% Rendah (1) PP =( jumlah penduduk bekerja pada pertanian/ jumlah penduduk yang bekerja)*100 (BPS & BP DAS B. Noelmina, 2012) 12,5-25% Agak Rendah (2) 25-37,5% Sedang (3) 37,5-50% Agak Tinggi (4) >50% Tinggi (5) Kapasitas Adaptif (Adaptive capacity) Kualitas Sumber Daya Manusia Melek Huruf (MH)

<50% Rendah (1) MH =( jumlah penduduk bisa baca/ jumlah

Penduduk)*100 (BPS & BP DAS B. Noelmina, 2012) 50-75% Sedang (3) >75% Tinggi (5) Perilaku Konservasi (PK)

0-20% Rendah (1) PK = (jumlah responden pelaku konservasi/ jumlah responden)*100 (Data survei & wawancara, 2013) 20-40% Agak Rendah (2) 40-60% Sedang (3) 60-80% Agak Tinggi (4) 80-100% Tinggi (5) Sosial Ekonomi masy Tingkat Kesejahteraa n Penduduk (TK)

<60% Rendah (1) TK = (jumlah RT sejahtera 2 & 3/ jumlah RT)*100 (BPS & BP DAS Benain

Noelmina, 2012) 60-70% Agak Rendah (2) 70-80% Sedang (3) 80-90% Agak Tinggi (4) >90% Tinggi (5) Konflik (KO)

0-20% Rendah (1) KO = (jumlah konflik tidak teratasi/ jumlah

konflik)*100 (Data survei & wawancara, 2013) 20-40% Agak Rendah (2) 40-60% Sedang (3) 60-80% Agak Tinggi (4) 80-100% Tinggi (5) Fasilitas Kesehatan Fasilitas Kesehatan

Tidak ada Rendah (1) BPS Provinsi NTT, 2012 Ada Sedang (3)

Ada lengkap Tinggi (5) Daerah

Resapan Air

Persentase Daerah Resapan Air

<20% Rendah (1) DR = (luas lahan selain areal terbangun & terbuka/ luas region DAS)*100 (Peta Penutupan Lahan Kemenhut, 2011) 20-30% Agak Rendah (2) 30-40% Sedang (3) 40-50% Agak Tinggi (4) >50% Tinggi (5)

(6)

6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kecenderungan (trend) Perubahan Suhu Udara dan Curah Hujan

Hasil kajian menunjukkan bahwa suhu tahunan rata-rata di kedua lokasi kajian bersifat fluktuatif, namun jika dilakukan analisa trend akan menunjukkan kecenderungan kenaikan, dimana terjadi kenaikan sebesar 0,4OC di DAS Kambaniru selama 1973-2012 dan kecenderungan kenaikan suhu sebesar 0,12OC di DAS Aesesa selama 1983-2011 (Gambar 1). Sebaliknya, curah hujan tahunan rata-rata menunjukkan kecenderungan menurun, di hilir DAS Kambaniru menurun sekitar 30 mm selama periode 1973-2012 dan di hilir DAS Aesesa menurun sekitar 175 mm selama 1976-2004 (Gambar 1).

Hasil wawancara dengan masyarakat di daerah hilir DAS menunjukkan bahwa sementara 70% responden di daerah hilir menyatakan bahwa suhu udara cenderung lebih panas, hal ini sesuai dengan hasil analisis data suhu udara yang disebutkan sebelumnya. Terkait perubahan curah hujan tahunan, 67% responden di bagian hilir menyatakan bahwa periode musim hujan dalam beberapa tahun terakhir semakin pendek, hal ini sesuai dengan hasil analisis data curah hujan yang menyebutkan bahwa pada region hilir terjadi kecenderungan penurunan curah hujan.

(a) DAS Kambaniru

(b) DAS Aesesa

Gambar 1. Kecenderungan perubahan suhu tahunan rata-rata dan curah hujan tahunan di DAS Kambaniru (a) dan DAS Aesesa (b)

y = 0.0043x + 27.38 R² = 0.0084 26.00 26.50 27.00 27.50 28.00 28.50 1983 1986 1992 1995 1998 2001 2004 2007 2010 SUH U (C) y = -11.978x + 693.3 R² = 0.1641 0 200 400 600 800 1000 1972 1975 1978 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 2007 2010 CH TAH UNAN (m m /th ) y = 0.0128x + 1.0042 R² = 0.1717 25.50 26.00 26.50 27.00 27.50 28.00 1973 1983 1993 2003 Su h u r ata -r ata ( oC) y = -0.7649x + 2395.9 R² = 0.0012 0 500 1000 1500 1973 1983 1993 2003 CH t ah u n an (m m )

(7)

7

B. Kondisi sumberdaya air

Kondisi sumberdaya air biasanya digambarkan oleh kuantitas (debit air) dan kualitas air. Dinas Kimpraswil Kab. Sumba Timur pada tahun 2007 melaporkan bahwa, Sungai Kambaniru, sungai utama di DAS Kambaniru, dengan panjang 52 km dan lebar sungai rata-rata 45 meter memiliki debit aliran dasar maksimum 12 m3/detik dan minimum 4,6 m3/detik. Sementara Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nagekeo yang mengelola Bendungan Sutami-bendungan sungai Aesesa (sungai utama di DAS Aesesa), menyatakan bahwa debit air rata-rata di Sungai Aesesa adalah 7,5 m3/detik pada musim hujan dan 4,5 m3/detik pada musim kemarau.

BP DAS Benain Noelmina (2012) menyatakan bahwa salah satu indikator untuk menilai debit air sungai adalah nilai parameter Koefisien Regim Sungai (KRS). KRS merupakan perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum, semakin besar nilainya, debit air sungai diklasifikasikan jelek. Nilai KRS DAS Kambaniru dan Aesesa yang didapatkan adalah di bawah 50, yang diklasifikasikan baik (klasifikasi nilai KRS: < 50 baik, 50-120 sedang, >120 jelek). Secara tidak langsung kondisi ini menunjukkan bahwa daya resap lahan di DAS Kambaniru dan Aesesa cukup baik untuk menyimpan air hujan yang jatuh sehingga ketersediaan air di DAS saat musim kemarau cukup (BP DAS Benain Noelmina, 2011).

Terkait dengan kualitas air, BPDAS Benain Noelmina dalam laporannya tahun 2009 menyatakan bahwa kualitas air di DAS Kambaniru diklasifikasikan baik. Sementara di DAS Aesesa, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Ngada dan Nagekeo melaporkan bahwa kondisi mutu air sungai di DAS Aesesa bervariasi, mulai dari kelas A (memenuhi baku mutu), kelas B (cemar ringan) dan kelas C (cemar sedang). Hasil pemantauan terakhir tahun 2012 menyebutkan bahwa, sungai sampel di hulu DAS Aesesa masuk dalam kategori cemar ringan, sementara sungai sampel di hilir DAS masuk kategori cemar sedang.

C. Tingkat kerentanan

1. DAS Kambaniru

Pemetaan paparan merupakan hasil tumpang tindih (overlay) peta curah hujan, peta penutupan lahan dan peta tingkat kekritisan lahan di wilayah DAS Kambaniru. Dari hasil kajian spasial, didapatkan bahwa daerah hulu memiliki tingkat keterpaparan paling rendah dibandingkan daerah tengah hilir DAS (Gambar 2a). Penutupan lahan berupa hutan di region hilir menjadikan region ini memiliki indeks exposure terendah. Pemetaan kepekaan

(8)

8 (sensitivitas) masyarakat terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh tingkat permintaan air dan ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Tingginya kepadatan penduduk di daerah hilir berimbas kepada tingginya permintaan air dan menjadikan region ini memiliki indek sensitivitas lebih tinggi daripada daerah hulu dan tengah (Gambar 2b). Terkait dengan kemampuan adaptif, daerah hilir memiliki indeks tertinggi, diikuti daerah tengah dan hulu (Gambar 2c). Tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi pada masyarakat di daerah hilir jika dibanding dengan daerah hulu dan tengah menjadikan region hilir memiliki indeks kemampuan adaptif tertinggi, diikuti region tengah dan hulu.

Kombinasi dari parameter keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif menghasilkan peta kerentanan air dan didapatkan bahwa sekitar 56% dari total wilayah DAS Kambaniru memiliki tingkat kerentanan tinggi, 34% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 10% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Distribusi tingkat kerentanan pada masing-masing region disajikan pada Tabel 2. Region dengan proporsi luas tingkat kerentanan tinggi terbesar ada pada region hilir, kemudian disusul dengan region tengah dan hulu (Gambar 2d; Tabel 2).

(a) (b) (c) (d)

Gambar 2. Peta tingkat keterpaparan (a), sensitivitas (b), kapasitas adaptif (c) dan tingkat kerentanan(d) di DAS Kambaniru

Tabel 2. Distribusi luas daerah kerentanan pada masing-masing region di DAS Kambaniru

Tingkat kerentanan Region DAS (ha) Total luas

Kerentanan (ha)

Hulu Tengah Hilir

Rendah 13.237,46 511,19 121,76 13.870,40 Sedang 40.502,87 7.237,52 367,55 48.107,93 Tinggi 26.406,98 25.193,42 26.890,28 78.490,67 Total luas region (ha) 80.147,30 32.942,12 27.379,58 140.469.00 Sumber: Peta kerentanan DAS Kambaniru, 2012

(9)

9 2. DAS Aesesa

Hasil analisa spasial menunjukkan bahwa region tengah memiliki tingkat keterpaparan paling tinggi dibandingkan daerah tengah hulu dan hilir (Gambar 3a), dimana 18% wilayahnya masuk dalam kategori keterpaparan agak tinggi dan 41% masuk kategori keterpaparan sedang. Penutupan lahan yang didominasi oleh savana (70% dari total luas region tengah) menjadikan region ini memiliki indeks exposure tertinggi. Tingginya kepadatan penduduk di daerah hulu dan banyaknya masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian menjadikan region ini memiliki indek sensitivitas lebih tinggi daripada daerah tengah dan hilir (Gambar 3b). Tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi pada masyarakat di daerah hilir jika dibanding dengan daerah hulu dan tengah menjadikan region hilir memiliki indeks kemampuan adaptif tertinggi, diikuti region tengah dan hulu (Gambar 3 c).

Setelah melewati tahap pemberian bobot, skoring dan overlay, kombinasi dari ketiga variabel, yaitu keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptif, menghasilkan peta kerentanan (3d). Peta kerentanan DAS Aesesa menunjukkan bahwa bahwa sekitar 54% dari total wilayah DAS Kambaniru memiliki tingkat kerentanan tinggi, 22% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 24% dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Distribusi tingkat kerentanan pada masing-masing region disajikan pada Tabel 3. Region dengan proporsi luas tingkat kerentanan tinggi terbesar ada pada region tengah, kemudian disusul dengan region hulu dan hilir (Gambar 3d, Tabel 3).

(a) (b) (c) (d)

Gambar 3. Peta tingkat keterpaparan (a), sensitivitas (b), kapasitas adaptif (c) dan tingkat kerentanan (d) di DAS Aesesa

Tabel 3. Distribusi luasan daerah kerentanan pada masing-masing region

Tingkat kerentanan Region DAS (ha) Total luas

Kerentanan (ha)

Hulu Tengah Hilir

Rendah 16.216,09 7.858,87 5.681,81 29.756,77

Sedang 15.731,86 10.201,2 1.286,17 27.219,23

Tinggi 47.637,44 18.382,4 - 66.019,84

Total luas region (ha) 79.585,39 36.442,48 6.967,98 122.995,85 Sumber: Peta Kerentanan DAS Aesesa, 2013

(10)

10 Sampai sejauh mana tingkat kebenaran atau validasi peta kerentanan di atas? Pada kajian ini, penilaian tingkat kebenaran/ validasi peta kerentanan dilakukan dengan

meng-overlay peta kerentanan dengan peta kejadian bencana. Asumsi yang dibangun, jika suatu

daerah memiliki tingkat kerentanan yang tinggi berarti daerah tersebut sering dilanda bencana. Terkait dengan kejadian bencana, data bencana yang dikumpulkan dari berbagai sumber (Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ngada dan Nagekeo tahun 2011-2013 serta data kebencanaan BPDAS Benain Noelmina tahun 2008-2010 menyebutkan bahwa telah terjadi kurang lebih 50 bencana yang terdistribusi di seluruh Region DAS dari hulu sampai hilir. Jenis bencana alam yang paling sering terjadi adalah banjir (52% terhadap total bencana), angin (34%), abrasi (2%) dan longsor (1%). Berdasarkan region atau wilayah DAS yang terdampak, region tengah merupakan region yang paling banyak bencana (42%) diikuti region hulu (30%) dan region hilir (28%). Jika kejadian bencana ini dikaitkan dengan peta kerentanan terdapat kesesuaian dimana tingkat kerentanan pada satu region berbanding lurus dengan jumlah bencana yang terjadi, dalam hal ini region tengah dengan tingkat kerentanan tertinggi memiliki jumlah kejadian bencana yang paling banyak, diikuti oleh region hulu dan region hilir.

Sementara itu BPBD Kabupaten Sumba Timur mencatat bahwa antara Januari 2011 sampai Maret 2012 terdapat 67 kasus bencana yang didominasi oleh banjir hujan dan tanah longsor (+ 75% dari total kasus bencana) serta kekeringan dan kebakaran (+ 25% dari total kasus bencana). Banjir merupakan kejadian bencana yang mendominasi (44%). Banjir pada umumnya terjadi di hilir DAS. Pada peta kerentanan DAS Kambaniru, hilir DAS merupakan daerah dengan tingkat kerentanan yang tinggi, jadi terdapat kesesuaian antara peta kerentanan dan kejadian bencana di lokasi kajian

Meskipun terdapat kesesuaian antara peta kerentanan dan peta bencana, pemetaan kerentanan juga mempunyai kelemahan. Salah satu kelemahan peta kerentanan adalah sumber data yang dipakai, dimana kebanyakan data spasial berasal dari data sekunder. Berdasarkan review terhadap 45 publikasi ilmiah yang terbit di jurnal terkait dengan peta kerentanan, Preston et al., (2012), menyatakan bahwa hanya sekitar 9% dari publikasi tersebut yang menggunakan data primer, sehingga tingkat kepercayaanya masih diragukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelebihan pemetaan kerentanan adalah dalam hal mampu menampilkannya informasi spasial (Preston et al., 2012). Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan tersebut, pemetaan kerentanan tetap merupakan cost-effective tools (Harter and Walker, 2001) yang bermanfaat untuk keperluan perencanaan tata ruang atau penyusunan rencana adaptasi terhadap perubahan iklim.

(11)

11

D. Pola Adaptasi Masyarakat

Proses identifikasi pola adaptasi dilakukan pada 5 (lima) sektor utama berdasarkan panduan dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yaitu; sumberdaya air, agrikultur dan ketahanan pangan, kesehatan, ekosistem terestris, dan kawasan pantai. Pada kajian ini, pengamatan pola adaptasi masyarakat hanya difokuskan kepada sektor sumber daya air.

Pada sektor sumberdaya air, pola adaptasi masyarakat di semua region secara umum bersifat reaktif, seperti perlindungan sumber air tanah, peningkatan pasokan air dan pemanenan air tanah/ air hujan. Sementara itu di beberapa tempat terdapat beberapa tindakan adaptasi antisipatif dari masyarakat dalam menghadapi perubahan musim, seperti konservasi daerah tangkapan air (region hulu dan tengah) dan perbaikan sistem pengelolaan air (semua region), serta pemanfaatan air berulang (semua region) (Tabel 6).

Tabel 4. Pola Adaptasi masyarakat di DAS Kambaniru dan DAS Aesesa.

Lokasi

Adaptasi reaktif Adaptasi antisipatif

Bentuk adaptasi Hu T Hi Bentuk adaptasi Hu T Hi

DAS Kambaniru

Perlindungan sumber air tanah

V V - Pemanfaatan air berulang - - -Perbaikan pengelolaan dan pemeliharaan sistem pasokan air V V V Konservasi daerah tangkapan air V - -Peningkatan pasokan air - - - Reformasi kebijakan sumberdaya air meliputi kebijakan harga dan irigasi

- -

-Pemanenan air tanah dan air hujan serta

V Pengembangan

pengendalian banjir dan monitoring kekeringan

- V V

DAS Aesesa

Perlindungan sumber air tanah

V V - Pemanfaatan air berulang V V V Perbaikan pengelolaan dan pemeliharaan sistem pasokan air V - V Konservasi daerah tangkapan air V V -Peningkatan pasokan air - V V Reformasi kebijakan sumberdaya air meliputi kebijakan harga dan irigasi

- -

-Pemanenan air tanah dan air hujan

V V V Pengembangan

pengendalian banjir dan monitoring kekeringan

- -

(12)

12

Sumber : Laporan Hasil Penelitian “Analisis Kerentanan Jasa Hutan Air akibat Perubahan Iklim” tahun 2012 & 2013, BPK Kupang

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan data-data klimatologis selama beberapa puluh tahun terakhir, di DAS Kambaniru & Aesesa telah terjadi fenomena variabilitas dan perubahan iklim. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dampak perubahan iklim terhadap kuantitas dan kualitas air belum bisa diketahui secara pasti, karena data kuantitas dan kualitas air ini tidak tersedia secara time

series. Meski demikian adanya kecenderungan kenaikan suhu dan penurunan curah hujan di

bagian hilir menunjukkan secara tidak langsung bahwa siklus hidrologi akan terganggu dan dampaknya kondisi sumberdaya air dalam keadaan yang rentan. Hasil penaksiran kerentanan dengan konsep IPCC dan pendekatan spasial menunjukkan bahwa baik di DAS Kambaniru maupun DAS Aesesa, sekitar 50% wilayahnya dikategorikan memiliki tingkat kerentanan tinggi. Sementara itu distribusi luasan tingkat kerentanan pada masing-masing region bervariasi tergantung kondisi DAS. Berdasarkan region DAS Kambaniru, urutan tingkat kerentanan berturut-turut dari yang tertinggi ke yang terendah adalah region hilir, tengah, hulu dan hilir, sementara di DAS Aesesa adalah region tengah, hulu dan hilir. Dalam proses validasi, terdapat kesesuaian antara peta kerentanan dan peta kejadian bencana baik di DAS Kambaniru maupun di DAS Aesesa. Disamping kemampuannya dalam menampilkan informasi kerentanan secara spasial, peta kerentanan juga memiliki kekurangan yaitu dalam penyusunannya banyak menggunakan data sekunder yang masih diragukan kebenarannya. Hal inilah yang menjadi fokus kajian ke depan yaitu penyusunan peta kerentanan dengan memperbanyak data-data primer/survei lapangan. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan tersebut, peta kerentanan tetap merupakan alat yang efektif dan berbiaya rendah yang bermanfaat untuk menyusun strategi, rencana dan aksi dalam menanggulangi masalah dampak perubahan iklim atau memperkaya RAD GRK NTT 2012-2020 yang telah tersusun.

Daftar Pustaka

Asdak, C. 1997. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Nagekeo, 2012. Laporan Pemantauan Kualitas Air tahun 2011-2012. BLHD Kabupaten Nagekeo. Mbay

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTT, 2012. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi NTT 2012-2020. Bappeda NTT. Kupang

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, 2010). Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR): Sektor Sumber Daya Air. Bappenas. Jakarta.

(13)

13 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, 2012. NTT dalam Angka tahun 2012. BPS

Provinsi NTT. Kupang

Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK), 2012. Laporan Hasil Penelitian: Identifikasi Tingkat Kerentanan Jasa Air akibat Perubahan Iklim di DAS Kambaniru. Kupang Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK), 2013. Laporan Hasil Penelitian: Identifikasi

Tingkat Kerentanan Jasa Air akibat Perubahan Iklim di DAS Aesesa. Kupang

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Benain Noelmina. 2011. Buku II Data Lapangan: Optimalisasi Pengelolaan DAS dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat DAS Kambaniru. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. Kupang BLHD Kabupaten Ngada, 2012. Laporan Pemantauan Kualitas Air tahun 2009-2012. BLHD

Kabupaten Nagekeo. Mbay

BPDAS Benain Noelmina, 2012. Laporan Akhir Karakteristik DAS Aesesa. BPDAS Benain Noelmina. Kupang

Effendi, M., 2012. Kajian Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Strategi Adaptasi berbasis DAS (Studi Kasus: Sub Das Garang Hulu). Tesis Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Dipnegoro. Semarang

Faqih, A., 2011. Kajian Ilmiah Perubahan Iklim dan Hubungannya dengan Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia. Simposium Penelitian Perubahan Iklim dan launching IPCC Indonesia. IPB International Convention Center-Bogor.

Gain A.K., C. Giupponi and F.G. Renaud, 2012.Climate Change Adaptation and

Vulnerability Assessment of Water Resources Systems in Developing Countries: A Generalized Framework and a Feasibility Study in Bangladesh. Water 2012, 4(2), 345-366; doi:10.3390/w4020345

Harter, T., L.G. Walker., 2001. Assessing vulnerability of Ground water. University of Carolina & Caroline Department of Health Science. USA-Davis.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva: UNEP/WMO Kementerian Lingkungan Hidup RI (KLH), 2010. Kajian Resiko dan Adaptasi Terhadap

Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup RI, Kerjasama antara RI dengan Republik Federal Jerman, GTZ, WWF dan Pemda NTB. Mataram . NTB.

Preston, B.L., E. J.Yuen, R.M.Westaway, 2011. Puttung vulnerability to climate change on the map: a review of approaches, benefits and risks. Sustainability Science. Springer. DOI 10.1007/s11625-011-0129-1

Rositasari R, Wahyu B, Indarto HS, Hasanuddin, Bayu P., 2011. Kajian dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.3, No.2, Hal. 52-64.

Swandayani, T.H., 2010. Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus DAS Ciliwung). Tesis . Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

The Energy and Resources Institute(TERI), 2009. Climate Change and Water Vulnerability: Strategies and Practices for Emerging Water Management and Governance Challenges-Executive Summary. The Energy and Resources Institute (TERI) in

(14)

14 collaboration with Yale University to be released during the 15th Conference of Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 7–18 December 2009, Copenhagen, Denmark.

United Nation Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC). 2007. Impact, Vulnerabilities and Adaptation on Developing Countries. United Nation Frameworks Convention on Climate Change. Bonn. Germany.

Gambar

Tabel 1. Kriteria dan indikator penaksiran tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim
Gambar  1.  Kecenderungan  perubahan  suhu  tahunan  rata-rata  dan  curah  hujan  tahunan  di  DAS  Kambaniru (a) dan DAS Aesesa (b)
Tabel 2. Distribusi luas daerah kerentanan pada masing-masing region di DAS Kambaniru
Gambar 3. Peta tingkat keterpaparan (a), sensitivitas (b), kapasitas adaptif (c) dan tingkat kerentanan  (d) di DAS Aesesa
+2

Referensi

Dokumen terkait