Oleh: Ahmad Fathoni
Abstrak
Al-Qur'an adalah kitab suci yang mulai turunnya sampai saat ini bahkan hingga hari kiamat merupakan kitab yang terjaga kemurniannya karena dijamin langsung oleh Allah s.w.t. Al-Qur'an juga merupakan kitab suci paling banyak dan paling sering dibaca di dunia.
Al-Qur’an juga telah sempurna dihafal dan ditulis dengan lengkap, tetapi cara baca al-Qur'an beragam, yang paling popular dikenal dengan istilah qiraat sab'ah
(bacaan tujuh). Memahami istilah-istilah yang terkandung di dalam kajian Qiraat
Sab‘ah dan tata cara penilaian dalam musabaqah bidang qiraat menjadi sangat
penting diketahui oleh seluruh umat Islam.
Kata kunci: kaidah, istilah, ilmu qira'at, qiraat sab‘ah
A. Pedahuluan
Seluruh ayat al-Qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir baik
secara hafalan maupun tulisan. Sementara dalam penulisan atau periwayatannya tidak boleh bahkan dilarang keras secara makna. Dengan demikian, ketika Rasulullah s.a.w. wafat, al-Qur’an telah sempurna dihafal
dan ditulis dengan lengkap.1
Ketika khilafah pemerintahan Islam dipimpin oleh Utsman bin Affan, terjadi kekacauan terhadap eksistensi bacaan al-Qur’an. Dengan
merujuk dan berpedoman pada suhuf Abu Bakar, Utsman bin Affan
membentuk panitia penulisan al-Qur’an dengan pimpinan Zaid bin Tsabit. Panitia penulisan diperintahkan untuk menulis al-Qur’an ke dalam
beberapa mushaf yang populer dengan sebutan Masahif Utsmaniyah—
ﻒﺣﺎﺼﻤﹾﻟﺍ
ﹸﺔﻴﹺﻧﺎﻤﹾﺜﻌﹾﻟﺍ —ejaan tulisannya populer disebut RasmUtsmani ( ﻰﹺﻧﺎﻤﹾﺜﻌﹾﻟﺍﻢﺳﺮﻟﺍ
). Ejaan tulisan Masahif Utsmaniyah merujuk pada suhuf yang dikumpulkan
pada zaman Abu Bakar r.a., dan suhuf Abu Bakar adalah mencakup Sab‘ah
Ahruf dan merupakan kodifikasi tulisan al-Qur’an para kuttab al-wahyi,
berarti, ejaan Rasm Utsmani adalah sesuai dengan ejaan tulisan yang dipakai
para penulis wahyu Rasulullah s.a.w.
*
Dosen Qiraat Sab‘ah, Rasm Utsmani, Ilmu Tajwid, dan tahfizhul Qur’an di PTIQ dan IIQ Jakarta.
1 Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari`ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), p.
Di dalam sejarah perkembangan Qiraat Sab‘ah dan ragam qiraat al-Qur’an yang lain dapat diketahui bahwa masa keemasan eksistensinya adalah mulai abad I hingga abad IX Hijriyah, tepatnya hingga masa Ibnu Jazari (w. 833 H./1429 M.). Namun setelah masa Ibnu Jazari hingga dekade tahun 70-an boleh dikata mengalami masa kemunduran atau minimal stagnan. Hal ini tercermin dengan adanya fatwa Majma‘ al Buhuts (Lembaga Riset) al-Azhar Kairo pada Muktamar VI tanggal 20-27 April 1971, yang di antara komponen keputusannya adalah agar para pembaca al-Qur’an tidak hanya menggunakan bacaan Riwayah Hafs saja, demi menjaga ragam qiraat al-Qur’an lain yang mutawatirah dari terlupakan dan
kemusnahan.2
Sejalan dengan fatwa ulama al-Azhar, Majlis Ulama Indonesia Pusat
pada tanggal 2 Maret 1983 juga merekomendasikan: bahwa Qiraat Tujuh
wajib dikembangkan dan dipertahankan eksistensinya.3 Berangkat dari
latar belakang tersebut pada kesempatan ini penulis memperkenalkan
istilah-istilah di dalam kajian Qiraat Sab‘ah dan tata cara penilaian dalam
musabaqah bidang qiraat. B. Asal-Usul Ragam Qiraat
Al-Qur’an tidak diturunkan dalam satu bentuk bacaan saja, akan tetapi diturunkan dengan ragam bacaan (qiraat), tepatnya diturunkan
dengan Sab‘ah Ahruf (tujuh huruf) sebagaimana penjelasan hadits-hadits
terpercaya yang merupakan sumber informasi tentang cikal bakal terjadinya ragam qiraat ketika wahyu Allah diterima oleh Rasulullah s.a.w.
Dengan kata lain, terjadinya ragam qiraat adalah bersumber dari Nabi
s.a.w., dan Nabi tidak membuat atau mengarang sendiri ragam qiraat
tersebut, akan tetapi menerima dari Allah s.w.t. melalui malaikat Jibril a.s.
Hadits tentang Sab‘ah Ahruf disepakati sebagai hadits mutawatir,
karena diriwayatkan oleh tidak kurang dari 22 sahabat, baik langsung dari
Nabi s.a.w. maupun melalui perantara sahabat yang lain.4 Di antaranya
adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim pada
kitab sahih mereka masing-masing, yaitu pada bab unzil al-Qur'an ‘ala
Sab‘ah Ahruf.
2 Buhuts Qur’aniyyah, Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah al-Mu‘tamar al-Sadis, IV,
(Kairo: al-Syirkah al-Misriyyah li al-Tiba‘ah wa al-Nasyr, 1971), p. 298.
3 Kumpulan Fatwa MUI, ( Jakarta: Pustaka Panjimas,1984), p.152.
4 Kemutawatiran hadits “Sab‘ah Ahruf” serta nama-nama yang meriwayatkan,
antara lain telah dihimpun lengkap dan di-Takhrij oleh ‘Abd al-Sabur Syahin, Tarikh al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), pp. 229-249.
2. Hadits lain yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim (redaksionalnya menurut riwayat Imam Bukhari).5
Sedangkan pengertian Sab‘ah Ahruf (tujuh huruf) sebagaimana
terlihat dalam hadis di atas, belum diketahui dengan jelas arti dan
maksudnya. Sebab kata Sab‘ah Ahruf terangkai dari kata “Sab‘ah” dan
“Ahruf”, dan keduanya mempunyai makna konotatif ( ﻰﻈﹾﻔﱠﻠﻟﺍﻙﺮﺘﺸﻤﹾﻟﺍ ).
Untuk mengetahui makna masing-masing secara tepat terlebih dahulu harus melihat konteks pemakaiannya. Menurut hakekat, arti kata
“Sab‘ah” adalah bilangan antara enam dan delapan; terkadang ia dipakai
untuk menunjukkan bilangan banyak, sebagaimana kata “
ﹶﻥﻮﻌﺒﺴﻟﺍ
” untukmenunjukkan bilangan puluhan, dan kata “
ﹸﺔﹶﺋﺎﻤﻌﺒﺴﻟﺍ
” untuk menunjukkan5 ﻢﱠﻠﺳﻭﻪﻴﹶﻠﻋﻪﱠﻠﻟﺍﻰﱠﻠﺻﻪﱠﻠﻟﺍﹺﻝﻮﺳﺭﺓﺎﻴﺣﻲﻓﻥﺎﹶﻗﺮﹸﻔﹾﻟﺍﹶﺓﺭﻮﺳﹸﺃﺮﹾﻘﻳﹴﻢﻴﻜﺣﻦﺑﻡﺎﺸﻫﺖﻌﻤﺳﹸﻝﻮﹸﻘﻳﹺﺏﺎﱠﻄﺨﹾﻟﺍﻦﺑﺮﻤﻋﱠﻥﹶﺃ ﺖﻌﻤﺘﺳﺎﹶﻓ ﻪﺗَﺀﺍﺮﻘﻟ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ﻮﻫ ﺎﻫﺅﺮﹾﻘﻳ ﻰﹶﻠﻋ ﻑﻭﺮﺣ ﺓﲑﺜﹶﻛ ﻢﹶﻟ ﺎﻬﻴﹺﻨﹾﺋﹺﺮﹾﻘﻳ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻚﻟﹶﺬﹶﻛ ﺕﺪﻜﹶﻓ ﻩﺭﹺﻭﺎﺳﹸﺃ ﻲﻓ ﺓﺎﹶﻠﺼﻟﺍ ﻪﺗﺮﹶﻈﺘﻧﺎﹶﻓ ﻰﺘﺣ ﱠﻠﺳ ﻢ ﻢﹸﺛ ﻪﺘﺒﺒﹶﻟ ﻪﺋﺍﺩﹺﺮﹺﺑ ﻭﹶﺃ ﻲﺋﺍﺩﹺﺮﹺﺑ ﺖﹾﻠﹸﻘﹶﻓ ﻦﻣ ﻙﹶﺃﺮﹾﻗﹶﺃ ﻩﺬﻫ ﹶﺓﺭﻮﺴﻟﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﻬﻴﹺﻧﹶﺃﺮﹾﻗﹶﺃ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﺖﹾﻠﹸﻗ ﻪﹶﻟ ﺖﺑﹶﺬﹶﻛ ﻪﱠﻠﻟﺍﻮﹶﻓ ﱠﻥﹺﺇ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﹾﻗﹶﺃ ﻲﹺﻧﹶﺃﺮ ﻩﺬﻫ ﹶﺓﺭﻮﺴﻟﺍ ﻲﺘﱠﻟﺍ ﻚﺘﻌﻤﺳ ﺎﻫﺅﺮﹾﻘﺗ ﺖﹾﻘﹶﻠﹶﻄﻧﺎﹶﻓ ﻩﺩﻮﹸﻗﹶﺃ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﺖﹾﻠﹸﻘﹶﻓ ﺎﻳ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻲﻧﹺﺇ ﺖﻌﻤﺳ ﺍﹶﺬﻫ ﹸﺃﺮﹾﻘﻳ ﺓﺭﻮﺴﹺﺑ ﻥﺎﹶﻗﺮﹸﻔﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﻑﻭﺮﺣ ﻢﹶﻟ ﺎﻬﻴﹺﻨﹾﺋﹺﺮﹾﻘﺗ ﻭ ﺖﻧﹶﺃ ﻲﹺﻨﺗﹾﺃﺮﹾﻗﹶﺃ ﹶﺓﺭﻮﺳ ﻥﺎﹶﻗﺮﹸﻔﹾﻟﺍ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﹾﻠﺳﺭﹶﺃ ﺎﻳ ﺮﻤﻋ ﹾﺃﺮﹾﻗﺍ ﺎﻳ ﻡﺎﺸﻫ ﹶﺃﺮﹶﻘﹶﻓ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﹶﺓَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ ﻲﺘﱠﻟﺍ ﻪﺘﻌﻤﺳ ﺎﻫﺅﺮﹾﻘﻳ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﱠﻠﺳﻭ ﻢ ﺍﹶﺬﹶﻜﻫ ﺖﹶﻟﹺﺰﻧﹸﺃ ﻢﹸﺛ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﹾﺃﺮﹾﻗﺍ ﺎﻳ ﺮﻤﻋ ﺕﹾﺃﺮﹶﻘﹶﻓ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺍﹶﺬﹶﻜﻫ ﺖﹶﻟﹺﺰﻧﹸﺃ ﻢﹸﺛ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﱠﻥﹺﺇ ﺍﹶﺬﻫ ﹶﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﹶﻝﹺﺰﻧﹸﺃ ﻰﹶﻠﻋ ﺔﻌﺒﺳ ﻑﺮﺣﹶﺃ ﺍﻭُﺀﺮﹾﻗﺎﹶﻓ ﺎﻣ ﺮﺴﻴﺗ ﻪﻨﻣ
“Bahwasannya Umar bin Khattab ra. berkata: Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan pada waktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Lalu aku mendengarkan bacaannya dan ia membacanya (surat al-Furqan) dalam banyak huruf, di mana Rasulullah s.a.w. belum pernah mengajarkannya kepadaku. Hampir saja aku menariknya sewaktu ia masih salat, namun kutunggu sampai dia salam. Kemudian aku menariknya dengan selendang yang melilit di lehernya seraya berkata: “Siapa yang mengajarkan kepadamu bacaan surat tadi? Dia menjawab: “Rasulullah yang membacakan kepadaku”. Kukatakan kepadanya: “Engkau bohong! Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan padaku bacaan surat yang engkau baca tadi.” Kemudian aku menyeretnya (menghadap) kepada Rasulullah saw. dan lantas aku berkata: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan dengan huruf yang tidak (sebagaimana) engkau ajarkan kepadaku, padahal engkau telah mengajarkan surat al-Furqan kepadaku.” Maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia wahai Umar! Bacalah Hisyam!” Maka Hisyam pun membacanya sebagaimana kudengar bacaan yang ia baca tadi. Rasulullah saw. berkomentar: “Demikianlah (bacaan surat al-Furqan) diturunkan” .Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bacalah wahai Umar!” Maka akupun membacanya (sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah s.a.w. kepadaku). Setelah itu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demikianlah (bacaan surat al-Furqan) diturunkan; sesungguhnya al-Qur’an dengan Sab‘ah Ahruf (dalam tujuh huruf), maka bacalah oleh kamu apa yang mudah di antara huruf-huruf itu.”
jumlah banyak dalam bilangan ratusan. Sekedar contoh dapat dilihat dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 261:
ﹶﻞﹺﺑﺎﻨﺳ
ﻊﺒﺳ
ﺖﺘﻧﹶﺃ
ﺔﺒﺣ
ﹺﻞﹶﺜﻤﹶﻛ
…….6Tampaknya al-Zarqani sembari merujuk pada hadits di atas, dan
memahaminya dengan seksama, lebih cenderung mengartikan “Sab‘ah”
secara hakekat, yakni mempunyai arti “tujuh” (bilangan antara enam dan
delapan).7 Sedangkan kata “Ahruf”, adalah jama‘ dari lafaz “harf”, yang
mempunyai arti antara lain: salah satu huruf Hija'iyah, bahasa, ujung dari
sesuatu, wajah (segi). Nampaknya yang agak relevan, kata harf diartikan
wajah (segi) dalam pengertian yang masih umum, sebagaimana dapat
dilihat dalam al-Qur’an surat Al-Hajj.8
ﻦﻣﻭ
ﹺﺱﺎﻨﻟﺍ
ﻦﻣ
ﺪﺒﻌﻳ
َﷲﺍ
ﻰﻠﻋ
ﻑﺮﺣ
Sebagian manusia ada orang yang menyembah Allah pada satu segi/keadaan.
Adapun yang dimaksud Sab‘ah Ahruf sebagai suatu kata majemuk,
para Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bukanlah setiap kata dalam al-Qur’an dapat dibaca dengan tujuh wajah. Dan bukan pula yang dimaksud adalah tujuh Imam Qiraat sebagaimana anggapan sementara orang awam,
sebab konsep Sab’ah Ahruf sudah ada sejak zaman Nabi, sedang Qiraat
Sab‘ah muncul belakangan.9
Di dalam menginterprestasikan kata Sab‘ah Ahruf para ulama
berbeda pendapat, dan perbedaannya pun terhitung banyak. Bahkan
menurut Ibnu Hayyan, para ulama didalam mengartikan kata Sab‘ah Ahruf
hingga nencapai tiga puluh lima pendapat.10 Namun, pendapat yang
terpilih adalah yang dikemukakan oleh Abu al-Fadl al-Razi, di mana telah dipertegas pula oleh Syekh Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani dan
didukung pula oleh jumhur ulama. Menurutnya, kata Sab‘ah Ahruf tidak
terlepas dari perbedaan yang berkisar pada tujuh wajah, maksudnya, bahwa al-Qur’an dari awal hingga akhir baik yang mutawatir maupun yang
syadz sekalipun tidak keluar dari tujuh wajah perbedaan,11 yaitu:
1. Perbedaan dalam bentuk Isim, antara Mufrad, Tatsniyyah, Jama‘
Mudzakkar atau Mu’annats. Sebagaimana dijumpai dalam firman Allah
6 ‘Abdullah Mahmud, ‘Ulum al-Qur'an wa al-Tafsir, (Kairo: Dar al-‘Ulum li al-
Tib'a‘ah, t.t.), p. 311.
7 Muhammad ‘Abd al ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I
(Kairo: al-Halabi, t.t.), p. 153.
8 Al-Hafiz Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi
al- Qira'at al-‘Asyr, Juz I, (Kairo: Dar al-Misriyyah, t.t.), p. 25.
9 Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi al- Qira’at al-‘Asyr, p. 24.
10 Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 158. 11 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, p. 155.
surah al-Mu’minun: 8;
ﹶﻥﻮﻋﺍَﺭ
ﻢِﻫ
ِﺪﻬَﻋَﻭ
ﻢﹺﻬﺘَـﻨﻣَﻷِ
ﻢﻫ
ﻦﻳﺬﱠﻟﺍﻭ
. Lafaz (ﻢﹺﻬِﺘَﻨﻣَﹶﺄﻟ
ِ)dibaca Jama‘ (
ﻢِﹺﻬِﺘﻨﻣَﹶﺄﻟ
).2. Perbedaan dalam bentuk Fi‘il, antara Madi-Mudari‘ atau ‘Amr.
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surah Saba’: 19 ……. ﺎﻧﹺﺭﺎﹶﻔﺳﹶﺃﻦﻴﺑﺪﻌﺑﺎﻨﺑﺭﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻘﹶﻓ --qiraat lain membaca: …… ﺎﻧﹺﺭﺎﹶﻔﺳَﹶﺃﻦﻴﺑﺪﻌﺑﺎﻨﺑﺭﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻘﹶﻓ
3. Perbedaan dalam bentuk I‘rab, sebagaimana dalam firman Allah surah
al-Baqarah: 282:
ﺪﻴﹺﻬﺷﹶﻻﻭ
ﺐﺗﺎﹶﻛ
ﺭﺎﻀﻳ
ﹶﻻﻭ
. Pada lafaz (ﺭﺎﻀﻳ
) dibaca FathahRa’-nya (
ﺭﺎﻀﻳ
), qiraat lain dengan Dammah (ﺭﺎﻀﻳ
) . Contoh lain, firmanAllah dalam surah al-Buruj: 15 ;
ﺪﻴﹺﺠﻤﹾﻟﺍ
ﹺﺱﺮ
ﻌﹾﻟﺍ
ﻭﹸﺫ
, lafaz (
ﺪﻴﹺﺠﻤﹾﻟﺍ
) dibacaRafa‘; kedudukannya sebagai Na‘at dari lafaz “
ﻭﹸﺫ
“, qiraat lainmembaca dengan Jar lafaz (
ﺪﻴﹺﺠﻤﹾﻟﺍ
), kedudukannya sebagai Na‘at darilafaz (
ﹺﺵﺮﻌﻟﺃ
) .4. Perbedaan di dalam mendahulukan (Taqdim) dan mengakhirkan
(Ta'khir), seperti firman Allah dalam surah Qaf ayat 19,
ﹸﺓﺮﹾﻜﺳ
ﺕَﺀﺎﺟﻭ
ﺕﻮﻤﹾﻟﺍ
ﻖﺤﹾﻟﺎﹺﺑ . Qiraat lain dengan mendahulukan lafaz (
ﻖﺤﹾﻟﹶﺍ
) dari pada (ﺕﻮﻤﹾﻟﺍ
), maka dibaca (ﺕﻮﻤﹾﻟﺎﹺﺑ
ﻖﺤﹾﻟﺍ
ﹸﺓﺮﹾﻜﺳ
ﺕَﺀﺎﺟَ
ﻭ) .5. Perbedaan di dalam menambah dan mengurangi (Naqis dan Ziyadah).
Sebagaimana terdapat dalam, firman Allah surah al-Lail: 3:
ﺎﻣﻭ
ﻖﹶﻠﺧ
ﺮﹶﻛﹶﺬﹼﻟﺍ
ﻰﺜﻧُﻷﺍﻭ
kiraah lain membaca (ﻰﺜﻧُﻷﹾﺍﻭ
ﺮﹶﻛﱠﺬﻟﺍﻭ
) denganmenghilangkan lafaz (
ﻖﹶﻠﺧ
ﺎﻣ
) .6. Perbedaan dalam meng-Ibdalkan (Penggantian). Sebagaimana
terdapat dalam firman Allah surah al-Baqarah 259:
ﻒﻴﹶﻛ
ﹺﻡﺎﹶﻈﻌﹾﻟﺍ
ﹶﱃﹺﺇ
ﺮﹸﻈﻧﺍﻭ
ﺎﻫﺰﺸﻨﻧ
, qiraat lain membacanya dengan “Ra’”, yakni (ﺎﻫﺮﺸﻨﻧ
). Dengandemikian bacaannya menjadi: (
ﺎﻫﺮﺸﻨﻧ
ﻒﻴﹶﻛ
ﹺﻡﺎﹶﻈﻌﹾﻟﺍ
ﹶﱃﹺﺇ
ﺮﹸﻈﻧﺍ
ﻭ
) .7. Perbedaan dalam lahjah, seperti al-Imalah, al-Fath, al-Tarqiq, al-Tafkhim,
al-Izhar, al-Idgham dan lain sebagainya. Contoh bacaan al-Imalah danal-Fath pada surah Taha: 15:
ﻰﺳﻮﻣ
ﹸﺚ
ﻳﺪﺣ
ﻚﻴﺗﹶﺃ
ﹾﻞﻫﻭ
, lafaz (ﻰﺳﻮﻣ
)dibaca al-Fath dan al-Imalah. Contoh bacaan al-Tarqiq sebagaimana
.... . Pada lafaz: (
ﺓﺮﻔﻐﻣ
) ada bacaan al-Tafkhim dan al-Tarqiq pada Ra’-nya.C. Pengertian Qiraat
Lafaz al-qira’at ( ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﻟﹾﺍ ) merupakan bentuk plural dari kata
al-Qiraah (
ﹸﺓَﺀﺍﺮﻘﻟﹾﺍ
) yang tidak lain adalah bentuk masdar dari fi`il qa-ra-'a (ﺃﺮَﹶﻗ
ََ ). Kata qiraat (al-qira’at) sendiri secara etimologi berarti ragam bacaan. Sedangkan secara terminologi, ada beberapa pendapat ulama yang penting untuk diperhatikan. Di antaranya adalah keterangan yang telah dirumuskan oleh Abu Syamah al-Dimasyqi (w.665/1266) adalah:ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ
ﻋ
ﻢﹾﻠ
ﺕﺎﻴﻔﻴﹶﻜﹺﺑ
ِﺀﺍﺩﹶﺃ
ﺕﺎﻤﻠﹶﻛ
ﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺍ
ﺎﻬﻓﹶﻼﺘﺧﺍﻭ
ﺍﹺﻭﺰﻌﻣ
ِﻪِِﻠﻗﺎﻨِﻟ
12Qiraat adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara melafazkan beberapa kosa kata al-Qur’an dan perbedaan pelafazannya dengan menisbatkan pada orang yang meriwayatkan.
Dari definisi yang disebutkan, Abu Syamah tidak hanya menganggap
qiraat sebagai ragam artikulasi lafaz, namun dia juga menganggap qiraat
sebagai disiplin ilmu yang independen. Bahkan dia juga menyebutkan secara tegas bahwa sumber keberagaman qiraat bukan sebagai produk inovasi manusia, melainkan disandarkan pada keterangan periwayatannya.
Apabila rumusan definisi Abu Syamah menekankan qiraat sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, maka Manna‘ al-Qattan dalam rumusan definisinya secara eksplisit mengukuhkan bahwa qiraat tidak hanya sebagai sebuah disiplin ilmu, namun juga telah berakumulasi dalam sebuah madzhab qiraat tertentu. Pemahaman al-Qattan tidak jauh berbeda dengan al-Sabuni, hanya saja rumusan definisi yang disampaikan oleh al-Sabuni terlihat lebih lengkap dari pada rumusan definisi yang ditawarkan Qattan. Berikut ini definisi qiraat yang ditawarkan oleh al-Qattan.
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ
ﺐﻫﹾﺬﻣ
ﻦﻣ
ﹺﺐﻫﺍﹶﺬﻣ
ﹺﻖﹾﻄﻨﻟﺍ
ﻰﻓ
ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ
ﺐﻫﹾﺬﻳ
ﻪﹺﺑ
ﻡﺎﻣﹺﺇ
ﻦﻣ
ﺔﻤﺋَﻷﹾﺍ
ِﺀﺍﺮﹸﻘﹾﻟﺍ
ﺒﻫﹾﺬﻣ
ﺎ
ﻒﻟﺎﺨﻳ
ﻩﺮﻴﹶﻏ
ُ 13Qiraat adalah sebuah madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qiraat yang berbeda dengan madzhab lainnya.
12 Abu Syamah al-Dimasyqi, Ibraz al-Ma‘aniy min Hirz al-Amaniy fi al-Qiraat al-Sab‘
(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), p. 3.
Sedangkan Muhammad Ali al-Sabuni merumuskan definisi qiraat sebagai berikut:
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﻟﺍ
ﺐﻫﹾﺬﻣ
ﻦﻣ
ﹺﺐﻫﺍﹶﺬﻣ
ﹺﻖﹾﻄﻨﻟﺍ
ﻰﻓ
ﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ
ﺐﻫﹾﺬﻳ
ﻪﹺﺑ
ﻡﺎﻣﹺﺇ
ﻦﻣ
ﺔﻤﺋَﻷﹾﺍ
ِﺀﺍﺮﹸﻘﹾﻟﺍ
ﺎﺒﻫﹾﺬﻣ
ﻒﻟﺎﺨﻳ
ﻩﺮﻴﹶﻏ
ﻲﻓ
ﹺﻖﹾﻄﻨﻟﺍ
ﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺎﹺﺑ
ﹺﻢﻳﹺﺮﹶﻜﹾﻟﺍ
ﻲﻫﻭ
ﹲﺔﺘﹺﺑﹶﺎﺛ
ﺎﻫﺪْﹺﻴﻧﺎﺳﹶﺄﹺﺑ
ﹶﱃﹺﺇ
ﹺﻝﻮﺳﺭ
ِﷲﺍ
ﻰﻠﺻ
ﷲﺍ
ﻪْﻴﻠﻋُ
ﻢﱠﻠﺳﻭ
َ 14Qiraat adalah salah satu madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qiraat yang berbeda dengan mazhab lainnya serta berdasarkan pada sanad yang bersambung pada Rasulullah s.a.w.
Uraian di atas dapat diketahui aspek ontologi dan epistimologi
disiplin ilmu qiraat.Obyek kajian (ontologi) ilmuqiraat adalah Qur’an
al-Karim dari segi perbedaan lafaz dan cara artikulasinya. Metode
mendapatkan (epistimologi) ilmu qiraat adalah melalui riwayat yang berasal
dari Rasulullah s.a.w. Sementara aksiologi ilmu qiraat tidak nampak dalam beberapa definisi yang disebutkan di atas. Namun al-Zarqani di dalam
kitabnya Manahil al-‘Irfan mendefinisikan sebagai berikut:
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ
ﻰﻫ
ﻫﹾﺬﻣ
ﺐ
ﺐﻫﹾﺬﻳ
ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ
ﻡﺎﻣﹺﺇ
ﻦﻣ
ﺔﻤﺋﹶﺃ
ِﺀﺍﺮﹸﻘﹾﻟﺍ
ﺎﹰﻔﻟﺎﺨﻣ
ﻪﹺﺑ
ﻩﺮﻴﹶﻏ
ﻰﻓ
ﹺﻖﹾﻄﻨﻟﺍ
ﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺎﹺﺑ
ﹺﻢﻳﹺﺮﹶﻜﹾﻟﺍ
15.Qiraat salah satu madzhab yang dipakai oleh salah seorang Imam Qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam hal membaca al-Qur’an.
Maksudnya menurut al-Zarqani bahwa nilai guna (aksiologi) ilmu
qiraat adalah sebagai salah satu instrumen untuk mempertahankan orisinilitas al-Qur’an.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Qiraat sudah merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tersusun
secara sistematis dan mempunyai metode tertentu.
2. Qiraat al-Qur’an selalu disandarkan atau dinisbatkan kepada Imam
Qiraat.
3. Bacaan tersebut bukan didasarkan atas hasil ijtihad, tetapi berlandaskan
kepada riwayat yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w.
4. Manfaat ilmu qiraat adalah sebagai salah satu instrumen untuk
mempertahankan orisinilitas al-Qur’an.
14 Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al- Qur’an (Beirut: Dar al-Irsyad,
t.t.), p. 218.
15 Muhammad ‘Abd al ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, Jilid I.
D. Persyaratan Qiraat yang Sah dan Kualifikasi Orisinilitasnya Menurut ulama ahli Ilmu Qiraat pada khususnya- sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Mujahid, dan didukung pula ahli ‘Ulum al-Qur’an pada umumnya, ada tiga batasan yang dijadikan sebagai tolok ukur
keabsahan sebuah qiraat:16
1. Sanad yang Sahih: suatu bacaan dianggap sahih sanadnya, apabila
bacaan tersebut diterima dari salah seorang guru atau Imam yang jelas, tertib, tidak ada cacat dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah s.a.w.
2. Sesuai dengan Rasm Utsmani: suatu bacaan (qiraat) dianggap sahih,
apabila sesuai dengan salah satu Rasm Masahif Utsmaniyyah (Rasm
Utsmani).
3. Sesuai dengan tata bahasa Arab; dengan catatan walaupun hanya sesuai
dengan salah satu bahasa dari suku bangsa Arab.17
Apabila sebuah qiraat telah memenuhi ketiga kualifikasi di atas, maka qiraat tersebut baru bisa diketegorikan sebagai sebuah qiraat yang
sahih. Hal ini untuk membedakannya dengan beberapa qiraat yang da‘if,
syadz, bahkan yang batil. Jadi tidak benar kalau ada pendapat yang
mengatakan bahwa syarat kesahihan sebuah qiraat tergantung pada kepatuhannya kepada kaidah-kaidah Ilmu Nahwu. Sebab kaidah-kaidah Ilmu Nahwu yang disusun oleh manusia tidak bisa dipakai untuk
menentukan sahih atau da‘if-nya susunan kalimat kitab suci yang
merupakan firman Dzat Pencipta segala sesuatu. Justru al-Qur’an yang menjadi sumber inspirasi utama dari para peletak kaidah-kaidah
kebahasaan dalam hal ini adalah Ilmu Nahwu.18 Dengan demikian,
prasyarat yang terakhir tidak dapat diberlakukan sepenuhnya, sebab ada bacaan lafaz tertentu yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun karena sanadnya sahih dan mutawatir, maka qiraat dianggap sahih.
Sedangkan tinjauan dari segi sanad, menurut Imam al-Suyuti yang menukil dari pendapat Ibn al-Jazari, mengklasifikasikan qiraat ke dalam
enam tingkatan,19 yaitu:
1. Mutawatir, adalah sanad qiraat yang diterima oleh sejumlah perawi yang
tidak mungkin bersepakat bohong dari setiap angkatan, dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah s.a.w.
16 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, p. 418. 17 Redaksi asli dalam rujukan: ﻪﺟﻮﹺﺑﻮﹶﻟﻭﺔﻴﹺﺑﺮﻌﹾﻟﺍﺖﹶﻘﹶﻓﺍﻭ
18 Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur'an, p. 177.
2. Masyhur, adalah qiraat yang memiliki sanad sahih, sesuai dengan tata
bahasa Arab dan sesuai dengan salah satu Rasm Masahif Utsmaniyah.
Namun perawinya tidak sebanyak perawi qiraat mutawatirah.
3. Ahad, adalah memiliki sanad sahih, namun di dalamnya banyak
menyalahi kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani (Khat Utsmani).
Qiraat pada tingkatan ini tidak populer dan hanya diketahui oleh orang-orang yang benar-benar mendalami qiraat al-Qur’an. Oleh karenanya tidak layak untuk diyakini sebagai bacaan al-Qur’an yang sah. Sebagaimana bacaan Abi Bakrah:
ِِﻜﺘﻣ
ﻦﻴﺌ
ﻰﻠﻋ
ﻑﹺﺭﺎﹶﻓﺭ
ﹴﺮﻀﺧ
ﻱﹺﺮﹶﻗﺎﺒﻋﻭ
ﻥﺎﺴﺣ
4. Syadz, ialah tidak memiliki sanad sahih. Di dalamnya banyak menyalahi
kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani. Maka qiraat pada tingkatan
ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan yang sah, seperti bacaan Ibn al-Samaifa‘:
ﻡﻮﻴﹾﻠَﹶﻓ
ﻚﻴِﺤﻨﻧ
ﻚٍٍٍٍٍِِﹺﻧﺪﺒِِﹺﺑ
َﹶﻥﻮﹸﻜَﺘِﻟ
ﻦﻤِﻟ
ﻚَﹶﻔْﹶﻠَﺧ
ﹰﺔﻳﺍَﺀ
5. Maudu‘, ialah qiraat yang disandarkan kepada seseorang tanpa dasar,
seperti qiraat yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja‘far al-Khazza‘i, atau kiraah (bacaan) yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
6. Mudraj, adalah qiraat (bacaan) yang disisipkan ke dalam ayat al-Qur’an
sebagai tambahan yang biasanya dipakai untuk memperjelas makna atau penafsiran, dan tentunya qiraat yang demikian tidak dapat dianggap sebagai bacaan yang sah, seperti bacaan Sa‘d bin Waqqas:
ﻪﹶﻟﻭ
ﺥﹶﺃ
ﺖﺧﹸﺃﻭﹶﺃ
ﻦﻣ
ﻡﹸﺃ
, contoh lain:ﺲﻴﹶﻟ
ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ
ﺡﺎﻨﺟ
ﹾﻥﹶﺃ
ﺍﻮﻐﺘﺒﺗ
ﹰﻼﻀﹶﻓ
ﻦﻣ
ﻢﹸﻜﺑﺭ
ﻰِﻓ
ِﹺﻢﺳﺍﻮﻣ
ِﺞَﹶﳊﹾﺍ
Adapun maksud Qiraat Tujuh, Qiraat Sepuluh dan Qiraat Empat Belas adalah sebagai berikut:
1. Al-Qiraat al-Sab‘ ( ﻊﺒﺴﻟﺍ ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ/Qiraat Sab‘ah): adalah qiraat yang diriwayatkan oleh tujuh Imam Qiraat. Yaitu, Nafi‘, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, ‘Asim, Hamzah dan al-Kisa’i .
2. Al-Qiraat al-‘Asyr ( ﺮﺸﻌﹾﻟﺍ ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ/Qiraat ‘Asyrah): adalah Qiraat Sab‘ah yang dilengkapi dengan Tiga Imam Qiraat, yakni qiraat Ya‘qub, qiraat Khalaf, dan qiraat Yazid bin Qa‘qa‘ (Abu Ja‘far).
3. Al-Qiraat al-Arba‘ ‘Asyr ( ﺮﺸﻋ ﻊﺑﺭَﻷﹾﺍ ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ/Qiraat Arba‘ah ‘Asyr/ Qiraat
Qiraat, yakni qiraat Hasan Basri, qiraat Ibn Muhaisin, qiraat Yahya
al-Yazidi, dan qiraat al-Syanabudz).20
Sedangkan dalam menilai kemutawatirannya, dinilai oleh Jumhur
Ulama bukan sekedar teori, akan tetapi merupakan fakta amali yang
menunjukkan betapa agungnya al-Qur’an, di mana Imam Muhammad Abu al-Fadil Ibrahim secara jujur mengatakan:
ﱠﻥﹺﺇ
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ
ﻊﺒﺴﻟﺍ
ﹲﺓﺮﺗﺍﻮﺘﻣ
ﺪﻨﻋ
ﹺﺭﻮﻬﻤﺠﹾﻟﺍ
Qiraat Tujuh adalah qiraat mutawâtirah yang disepakati oleh Jumhur.21
Tentang kemutawatirannya juga disebutkan oleh Ibn al-Subki:
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ
ﻊﺒﺴﻟﺍ
ﹲﺓﺮﺗﺍﻮﺘﻣ
ﺍﺮﺗﺍﻮﺗ
ﺎﻣﺎَﺗ
ﻯﹶﺃ
ﺎﻬﹶﻠﹶﻘﺗ
ﹺﻦﻋ
ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ
ﻰﻠﺻ
ُﷲﺍ
ﻪﻴﹶﻠﻋ
ﻢﱠﻠﺳﻭ
ﻊﻤﺟ
ﻊﹺﻨﺘﻤﻳ
ﹰﺓﺩﺎﻋ
ﻢﻫﺆﹸﻃﺍَﻮَﺗ
ﻰﻠﻋ
ﹺﺏﺬﹶﻜﹾﻟﺍ
. 22Qiraat Tujuh adalah mutawâtirah yang sempurna kemutawatirannya, yakni dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. oleh sekelompok periwayat yang tidak mungkin mereka bersepakat bohong.
Sedangkan Qiraat Sepuluh (
ﺮﺸﻌﹾﻟﺍ
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟ
ﺍ
), sebagian ulamamenyatakan bahwa qiraat Tiga Imam (Abu Ja‘far–Ya‘qub–Khalaf) tidak sampai mutawatirah, akan tetapi menurut Jumhur Ulama, qiraat mereka mutawatirah. Bahkan menurut Syeikh ‘Abd al-Fattah al-Qadi yang menukil pendapatnya Ibn al-Jazari di dalam kitab “Munjid al-Muqri’in”
menyatakan:23
ﺪﺟﻮﻳﹶﻻ
ﻡﻮﻴﻟﹾﺍ
ﹲﺓَﺀﺍﺮﻗ
ﹲﺓﺮﺗﺍﻮﺘﻣ
َﺀﺍﺭﻭ
ﺮﺸﻌﹾﻟﺍ
ﹾﻥﹺﺇﻭ
ﺩﺍﺭﹶﺃ
ﻰﻓ
ﹺﻝﻭَﻷﺍﹺﺭﺪﺼﻟﺍ
ﹸﻞﻤﺘﺤﻴﹶﻓ
ﹾﻥﹺﺇ
َﺀﺎﺷ
ُﷲﺍ
.
Dewasa ini qiraat mutawatirah selain Qiraat Sepuluh tidak akan dapat ditemukan, namun apabila pada masa periode awal Islam tentu masih mungkin didapatkan.
Akan halnya tentang Qiraat Empat Belas (
ﺮﺸﻋ
ﻊﺑﺭَﻷﹾﺍ
ﺕﺍَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ
) masihmenurut Ibn al-Jazari sebagai syadz. Artinya, qiraat Empat Imam: Hasan
Basri, Ibnu Muhaisin, Yahya al-Yazidi, dan al-Syanabudz tidak dapat diakui sebagai bacaan al-Qur’an yang sah, sebab memiliki nilai sanad yang
syazd.24
20 Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd. al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar fi al-
Qira'at al-Arba‘ ‘Asyar, (Kairo: Masyhad al-Husaini, t.t.), p. 9.
21 Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum
al-Qur’an, Cet.ke I, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), p. 318.
22 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, p. 428. 23 Al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar, p. 9.
E. Kaidah dan Istilah- Istilah Khusus dalam Ilmu Qiraat
Di dalam Ilmu Qiraat, baik Qiraat Tujuh maupun Qiraat Sepuluh dikenal dua macam kaidah yaitu:
1. Kaidah Umum (biasa disebut al-Qa`idat al-Usuliyyah).
Disebut kaidah umum apabila sebuah rumusan atau pedoman bacaan suatu lafaz oleh Imam Qiraat yang dapat diberlakukan di manapun berada di dalam al-Qur’an tanpa ada batasan ayat atau surat tertentu. Pembahasan kaidah umum biasanya terletak pada separoh bagian pertama;
sedang separoh bagian terakhir, untuk membahas kaidah khusus (Farsy
al-Huruf). Pengelompokan pembagian bahasan ini pada kenyataannya
tidaklah mutlak. Maksudnya bukan berarti pada bagian kelompok bahasan kaidah umum hanya membahas kaidah umum, dan pada bagian kelompok
bahasan kaidah khusus (Farsy al-Huruf) hanya membahas kaidah khusus,
sebab sebagian kecil kaidah khusus ada yang dibahas di dalam kelompok
kaidah umum, bagitu juga sebaliknya.25
Kaidah Umum terdiri dari banyak bab, yaitu: Basmalah, Hukum
Mim jama`,idgham kabir, Ha’ kinayah, mad dan qasr, dua hamzah dalam satu
kalimah, dua hamzah dalam dua kalimah, Hamzah mufrad, Pemindahan
harakat Hamzah ke huruf mati sebelumnya, Bacaan Imam Hamzah dan
Hisyam ketika waqaf pada Huruf Hamzah, idgham saghir, al-Fath, al-imalah
dan al-taqlil (baina baina), Madzhab al-Kisa’i dalam Imalah Ha’ ta’nits dan
huruf sebelumnya ketika Waqaf, Cara Imam Qiraat membaca Ra’, Hukum
Lam, waqaf pada akhir kalimah, waqaf pada Khat Utsmani, Ya’ idafah, Ya’
zaidah.
2. Kaidah Khusus (biasa disebut Farsy al-Huruf ).
Disebut Kaidah Khusus apabila sebuah rumusan atau aturan bacaan suatu lafaz oleh Imam Qiraat yang hanya dapat diberlakukan pada surat
atau ayat tertentu di dalam al-Qur’an. 26 Pembahasan bab-bab dalam
Kaidah Khusus tersebar dalam jumlah surat al-Qur’an, yaitu Farsy al-Huruf
surat al-Baqarah, Farsy al-Huruf surah Alu ‘Imran dan seterusnya. Contoh:
Bacaan lafaz
ﹶﻥﻮﻋﺪﺨﻳﺎﻣﻭ
surah al-Baqarah ayat 9: Ibnu Amir, ‘Asim, Hamzahdan al-Kisa’i membaca dengan Fathah Ya’ yang terletak sebelum huruf
Kha’ ( ﺥ ) yang mati; dan huruf Dal ( ﺩ ) yang terletak sesudah Kha’ ( ﺥ ) di
baca Fathah
ﹶﻥﻮﻋﺪﺨﻳﺎﻣﻭ
. Sedangkan Baqil Qurra’ (Imam Qiraat yang lain)
25 ‘Abd al-Fattah al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah fi al Qira'at al-Syab‘
(Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Dar, 1983), p.198.
membaca sebagaimana
ﹶﻥﻮﻋﺪﺨﻳ
tempat pertama, yakni seperti yang terdapatdi awal ayat 9, yaitu
ﹶﻥﻮﻋﺪﺨﻳ
ﺎﻣﻭ
.Adapun istilah-istilah khusus yang biasa dipergunakan di dalam Ilmu Qiraat, adalah sebagai berikut:
1. Qiraat( ﺓَﺀﺍﺮﻘﹾﻟﺍ )
Istilah qiraat atau qiraah dipergunakan sebagai istilah untuk
menyebut suatu bacaan lafaz al-Qur’an yang dinisbatkan kepada seorang Imam. Dengan demikian, bila yang disebut adalah Imam Qiraat, maka
berarti tidak ada ikhtilaf bacaan untuk kedua periwayat.27 Sebagai contoh,
jika ada bacaan suatu lafaz dinisbatkan kepada nama Imam ‘Asim, maka disebut Qiraat ‘Asim.
2. Riwayat( ﺔـﻳﺍﻭﺮﻟﺍ )
Istilah riwayat atau riwâyah dipergunakan pada bacaan lafaz al-Qur’an
yang dinisbatkan kepada seorang Rawi/Perawi dari Imam Qiraat. Sebagai contoh, jika suatu bacaan lafaz dinisbatkan kepada Hafs dari Imam ‘Asim, maka bacaannya disebut Riwayat Hafs dari Imam ‘Asim.
3. Tariq( ﻖﻳﹺﺮﱡﻄﻟﺍ )
Istilah Tariq dipergunakan jika ada perbedaan bacaan suatu lafaz
yang dinisbatkan kepada seorang Tariq dari para Perawi.28 Sebagai contoh,
jika suatu bacaan lafaz dinisbatkan kepada Imam al-Syatibi dari para Perawi Hafs, maka bacaannya disebut menurut Tariq Imam al-Syatibi dari para Perawi Hafs.
4. Wajah( ﻪﺟﻮﻟﹾﺍ)
Istilah wajah dipergunakan untuk menyebut bentuk-bentuk bacaan
yang berbeda yang diperbolehkan bagi seorang pembaca untuk
memilihnya.29 Misalnya; ketika terjadi hukum Mad ‘Arid li al-Sukun, maka
mempunyai tiga wajah bacaan, yaitu al-qasr (2 harakat), al-tawassut (4
harakat), dan al-tul (6 harakat). Dengan demikian, seorang pembaca
al-Qur’an boleh memilih satu dari tiga wajah bacaan yang diperbolehkan.
27 Muhammad Salim Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah fi al- Qira'at al-Sab‘ min Tariq
al- Syatibiyyah (Al-Azhar: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1974), p. 13.
28 Ibid., p.13. 29 Ibid.
5. Mim Jama‘ (
ﹺﻊﻤﺠﹾﻟﺍ
ﻢﻴﻣ
) : ialah Mim (ﻡ
) yang menunjukkan "Jama‘ Mudzakkar" baik "Mukhatab" (orang kedua jama‘) sepertiﻢﹸﻜﹶﻟ
-
ﻢﺘﻧﹶﺍ
atau "Ghaib" (orang ketiga Jama‘) seperti
ﻢﻫ
.306. Sukun Mim Jama‘ (
ﹺﻊﻤﹶﳉﹾﺍ
ﹺﻢﻴﻣ
ﹸﻥﻮﹸﻜﺳ
) : ialah mim jama‘ dalam keadaan matiatau di-Sukun. Misalnya
ﺏﺍﺬﻋ
ﻢﳍ
.
7. Silah Mim Jama‘ (
ﹺﻊﻤﹶﳉﹾﺍ
ﹺﻢﻴﻣ
ﹸﺔﹶﻠﺻ
): ialah mim jama‘ di-dammah dandihubungkan (di-silahkan) dengan waw sukun lafziyyah.31 Misalnya,
ﻢﻬﹶﻟ
ﺏﺍﹶﺬﻋ
dibaca
ﺏﺍﹶﺬﻋ
ﻭ
ﻢﹶﳍ
.8. Dammah Mim Jama‘ Tanpa Silah (
ﺔﹶﻠﺻ
ﹺﺮﻴﹶﻏ
ﻦﻣ
ﹺﻊﻤﺠﹾﻟﺍ
ﹺﻢﻴﻣ
ﻢﺿ
): ialah mim jama‘ yang di-dammah . Misalnyaﹶﻥﻮﻨﻣﺆﹸﳌﺍْ
ﻢﻬﻨﻣ
.9. Idgham Kabir (
ﺮﻴﹺﺒﹶﻜﻟﹾﺍ
ﻡﺎﹶﻏﺩﻹﺍ
): ialah peristiwa idgham-nya huruf pertama yang hidup (berharakat) ke dalam huruf kedua yang juga hidup(berharakat); dengan cara men-sukun lebih dahulu pada huruf pertama,
kemudian di-Idgham-kan/dilebur menjadi huruf kedua, sehingga praktik
bacaannya menjadi huruf kedua yang di-tasydid.32 Misalnya
ﺎﻣ
ﻢﻠﻌﻳ
dibacaal-Susi-
ﺎﻣ
ﻢﹶﻠﻌﻳ
yakni ya‘ lamma.
10. Idgham Saghir (
ﺮﻴﻐّﺼﻟﹾﺍ
ﻡﺎﹶﻏﺩﻹﺍ
) : ialah peristiwa Idgham-nya huruf pertama yang mati ke dalam huruf kedua yang hidup(berharakat).33 Misalnya
ﻚﺑﺭ
ﻦﻣ
- dibaca oleh seluruh Imam Qiraat
dengan
ﻚﺑﺭ
ﻦﻣ
(mir rabbika) -
ﻢﹸﻜﹶﻠﻌﺟﹾﺫﺇ
dibaca Abu ‘Amr dan Hisyamdengan ij ja‘alakum.
11). Ha’ Kinayah ( ﺔﻳﺎﻨﻜﹾﻟﺍُﺀﺎﻫ ) : ialah Ha’ tambahan yang menunjukkan Mufrad
Mudzakkar Ghaib (orang ketiga tunggal). Biasa juga disebut Ha’ Damir.34
Misalnya
ﻩﺩﺆﺑ
-
ﻪﹶﻠﻫﹶﺃ
-
ﻪ
ﻴﹶﻠﻋ
.30 Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, Cet. I, Jilid I, (Jakarta: Institut PTIQ &
IIQ Jakarta dan Darul ‘Ulum Press Jakarta, 2005), p. 28.
31 Al-Qadi, Al-Wafi, p. 51.
32 Abu al-Qasim ‘Ali bin ‘Utsman al-Baghdadi, Siraj al-Qari’ al-Mubtadi’, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), p. 32.
33 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 33. 34 Al-Qadi, Al-Wafi, p.68.
12. Silah Ha’ Kinayah35
(
ﺔﻳﺎﻨﻜﻟﹾﺍ
ِﺀﺎﻫ
ﹸﺔﹶﻠﺻ
): ialah menghubungkan ha’ kinayahdengan waw/ya’ lafziyyah.36 . Misalnya
ﺎ
ﻣ
ﻪَﹶﻟ
-
ﻢﹾﻠﻋ
ﻪِﹺﺑ
.13. Tanpa Silah Ha’ Kinayah37 (
ﺔﻳﺎﻨﻜﻟﹾﺍ
ِﺀﺎﻫ
ﺔﹶﻠﺻ
ﻡﺪﻋ
): biasa juga disebut qasrha’ kinayah ialah ha’ kinayah yang tidak dihubungkan dengan waw/ya’
lafziyyah, misalnya
ﺪﻤﹶﳊﹾﺍ
ﻪﻟﹺﻭ
.14. Huruf Mad ada 3 (tiga):
a. Alif (baik ada rasm atau tidak), sebelumnya berupa huruf yang
berharakat fathah. Misal, Alif pada lafaz
ﹶﻝﹶﺎﻗ
danﻚﻠـ
ٰﻣ
.b. Waw Sukun (baik ada Rasm atau tidak), sebelumnya berupa huruf yang
berharakatdammah. Misalnya, waw pada lafaz
ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ
dan lafaz
ﺡﺮﺻ
ﻪﻧﹺﺇ
.c. Ya’ Sukun (baik ada rasm atau tidak), sebelumnya berupa huruf yang
berharakat kasrah. Misalnya, Ya’ pada lafaz
ﹶﻞ
ﻴﻗ
dan Ya’ pada lafaz
ﻪﹺﺑ
ﻢﹾﻠﻋ
.Panjang bacaan Huruf Mad adakalanya al-Qasr (2 harakat), al-tawasut
(4 harakat), dan al-tul/al-isyba‘ (6 harakat).38
15. Huruf Lein(
ﹺﻦﻴﱠﻠﹾﻟﺍ
ﻑﺮﺣ
) ada 2 (dua):a. Waw Sukun yang sebelumnya berupa huruf berharakatfathah. Misalnya-
ﺓَﺀﻮﺳ
.b. Ya’ Sukun yang sebelumnya berupa huruf berharakat fathah. Misal-
ﺎًــﻴﺷ
.39Panjang huruf lein sama dengan huruf mad, yaitu adakalanya al-qasr (2
harakat), al-tawasut (4 harakat) dan al-tul (6 harakat).
16. Al- Mad (
ﺪـﹶﳌﹾﺍ
) : menurut bahasa ialah tambahan, dan menurut istilahmempunyai 2 arti, yaitu:
a. Memanjangkan bunyi huruf mad atau huruf lein, ketika huruf tersebut
bertemu dengan huruf Hamzah atau huruf mati.
35 Silah Ha’ Kinayah biasa juga disebut isyba‘ Ha’ kinayah atau mad 'Ha’ kinayah. 36 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 45.
37 Tanpa silah Ha’ kinayah biasa juga disebut qasr 'Ha’ kinayah atau ikhtilas Ha’
kinayah.
38 Sayyid Lasyin dan Khalid Muhammad Hafiz, Taqrib Ma‘ani fi Syarh Hirz
al-Amani fi al-Qira’at al-Sab‘, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1413 H./ 1992 M.), p. 63.
b. Meng-itsbatkan huruf mad alif dalam suatu kata (kalimah), namun bunyi
huruf mad tersebut tidak dipanjangkan melebihi dari aslinya, yakni tetap
dibaca 2 harakat.
Misalnya, lafaz
ﺖﺳﺭﺩ
dalam surat al-An‘am ayat 105, Ibn Katsir danAbu ‘Amr membaca lafaz tersebut dengan al-mad, artinya meng-isbatkan
huruf mad (Alif) sesudah د (dal), yakni
ﺖﺳﺭﺩ
.4017. Al- Qasr ( ﺮـﺼﹶﻘﹾﻟﺍ) : menurut bahasa ialah tertahan, dan menurut istilah mempunyai 2 (dua) arti, yaitu:
a. Tanpa memanjangkan bunyi huruf mad atau huruf lein. Maksudnya untuk
huruf mad atau huruf lein dipanjangkan sebagaimana aslinya, yaitu 2
harakat.
b. Membuang huruf mad alif dari suatu kata (kalimah). Misalnya, lafaz
ﺖﺳﺭﺩ
bacaan Imam Tujuh selain Ibn Katsir dan Abu ‘Amr adalahal-qasr, artinya membuang Alif sesudah د (dal) yakni
ﺖﺳﺭﺩ
.4118. Mad Muttasil:42 ialah apabila ada huruf mad yang sesudahnya berupa
huruf Hamzah di dalam satu kata (kalimah).43 Sebagai contoh
–
ﺖَـﻴﺳ
َﺀﻮﺳ
-َﺀﺎﺟ
.19. Mad Munfasil:44 ialah apabila ada huruf mad yang sesudahnya berupa
huruf Hamzah di lain kata/kalimah.45 Misalnya:
ﹶﻝﹺﺰﻧﹸﺃﺎﻣ
–
ﺎﻬﻳﹶﺄ
ٰﻳ
ﺍﻮﹸﻗ
ﻢﹸﻜﺴﹸﻔﻧﹶﺃ
–
ﷲﺍ
ﹶﱃﹺﺇ
ﻩﺮﻣﹶﺃﻭ
ﻰﻓ
ﺎﻬﻣﹸﺃ
-
ﹶﻞﺻﻮﻳ
ﹾﻥﹶﺃ
ﻪﹺﺑ
20. Mad Badal (
ﹺﻝﺪـﺒﻟﹾﺍ
ﺪـﻣ
) : ialah apabila ada huruf mad yang sebelumnyaberupa huruf Hamzah (baik hamzah tsabit atau hamzah mughayyar).
Contoh huruf mad yang sebelumnya berupa hamzah tsabit adalah
ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ
-
ﻰﺗﻭﹸﺃ
-
ﹴﺶﻳﺮـﹸﻗ
ﻑﹶﻼﻳﻹ
ِContoh huruf mad yang sebelumnya berupa hamzah mughayyar adalah ﻦﻣﺍَﺀﻦﻣ ketika dibaca yang dibaca dengan al-naql.46
40 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, pp. 72-73. 41 Ibid., p. 73.
42 Di dalam Ilmu Tajwid biasa disebut Mad Wajib Muttasil . 43 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 49.
44 Di dalam Ilmu Tajwid biasa disebut Mad Jaiz Munfasil. 45 Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah, p. 25.
21. Tashil Hamzah Baina-Baina 47 (
ﻦﻴـﺑ
ﻦﻴﺑ
ﹸﻞﻴﹺﻬﺴﺘﻟﺍ
/
ﻦﻴﺑ
ﻦﻴﺑ
ﺓﺰﻤﹶﳍﹾﺍ
ﹸﻞﻴﹺﻬﺴﺗ
) : ialahbacaan khusus huruf Hamzah. Di dalam praktik apabila Hamzah
berharakat Fathah (َء) maka bunyinya antara Hamzah yang berharakat
Fathah dan Alif (ha-samar). Apabila Hamzah berharakat Dammah (ُء)
maka bunyinya antara Hamzah yang berharakat Dammah dan Waw
(hu-samar). Apabila Hamzah berharakat Kasrah (ِء) maka bunyinya
antara Hamzah yang berharakatKasrah dan Ya’ (ha-samar).48
22. Al-Idkhal(
ﹸﻝﺎـﺧﺩِﻹﹾﺍ
): ialah peristiwa masuknya Alif antara dua Hamzah)
َﺀﺍَﺀ
-ِﺀﺍَﺀ
-ُﺀﺍَﺀ
( , sehingga Hamzah pertama mempunyai panjang bacaan 2
harakat.49 Misalnya
ﻝﺰﻧﺅﺍَﺀ
،
ﺍﺫﺇﺍَﺀ
،
ﻢﻬﺗﺭﹶﺬﻧﹶﺃﺍَﺀ
.23. Al-Ibdal (
ﹸﻝﺍﺪﺑِﻹﹾﺍ
): ialah peristiwa pergantian huruf.50 Misalnya, Hamzahkedua pada
ﺔـﻳﺍَﺀ
ِﺀﺎﻤـﺴﻟﺍ
ﻦـﻣ
di-ibdalkan dengan Ya’. Artinya bacaanHamzah kedua diganti menjadi Ya’.
24. Sakin Mafsul( ﹸﻝﻮـﺼﹾﻔﻤﹾﻟﺍﻦﻛﺎﺴﻟﺍ): ialah apabila ada huruf sahih mati di
akhir kata (bukan huruf mad), sesudahnya berupa Hamzah Qata‘
yang menjadi awal kata berikutnya.51 Misalnya
ﻦﻣﺍَﺀ
ﻦﻣ
-
ﻢﻴﻟﹶﺃ
ﺏﺍﹶﺬﻋ
-
ﹸﻞـﻧﹶﺃﺍﻮﹶﻟﺎﻌﺗ
. Arti "Waqaf" pada sakin mafsul adalah waqaf pada kata (lafaz)yang awalnya berupa Hamzah Qata‘; sedang arti "Wasal" padanya adalah
menyambung bacaan antara kata (lafaz) yang awalnya berupa Hamzah
Qata‘ dengan lafaz sesudahnya.
25. Lam Ta‘rif/Al-Ta‘rif (
ﻒﻳﹺﺮﻌﺗ
ﹾﻝﺃ
/
ﻒﻳﹺﺮﻌﺘﻟﺍ
ﻡﹶﻻ
) : ialah apabila ada "ﻝﺍ " masukpada kalimah yang awalnya berupa Hamzah Qata‘.52 Misal
ﹺﺽﺭَﻷﺍ
ﻰﻓ
-
ﹸﻥﺎﺴﻧِﻹﹾﺍ
–
ﹸﺓﺮﺧَﻷﹾﺍ
. Berarti lafazﺪـﻤﹶﳊﹾﺍ
–
ﻦﲪﺮـﻟﺍ
dan yang semisal tidakdisebut lam ta‘rif/al-ta‘rif.
47 Bacaan Tashil Hamzah Baina-Baina tidak bisa tepat kecuali dimusyafahahkan
dengan guru ahli.
48 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 71. 49 Al-Qadi, Al-Wafi fi syarh al-Syatibiyyah, p. 88.
50 Al-Imam Abu Hafs Umar al-Ansari, Al-Mukarrar fi ma Tawatara min al- Qira'at
al-Sab‘ (Singapura: Al-Haramain li al-Tiba‘ah, t.t.), p. 9.
51 Fathoni,Kaidah Qiraat Tujuh, Cet ke 1, Jilid I, p. 148. 52 Al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar, p. 59.
26. Hukum
ٌﺀﻲـﺷ
-
ٍﺀﻲـﺷ
-
ﺎــﻴﺷ
: ialah hukum bacaan huruf lein yangsesudahnya berupa Hamzah khusus di tiga lafaz ini.53 Artinya untuk
semisal lafaz
ﺔـﹶﺌﻴﻬﹶﻛ
walaupun sebelum Hamzah berupa huruf lein, tidakdisebut mempunyai hukum
ْﺀﻰـﺷ
, sekalipun untuk riwayat Warsy adakesamaan bacaan.
27. Tashil/Takhfif (
ﻒـﹺﻴﻔﺨﺘﻟﺍ
/
ﹸﻞﻴﹺﻬـﺴﺘﻟﺍ
) : ialah peristiwa berubahnya bunyihuruf Hamzah yang meliputi tashil baina-baina – Naql – al-ibdal –
al-hadzf (membuang Hamzah) .54
28. Al-Isymam (
ﻡﺎﻤﺷِﻹﺍ
): ialah memajukan kedua bibir ke depan dengantanpa suara, sebagai isyarat bahwa asal harakat hurufnya adalah dammah,
serta-merta sesudah huruf tersebut di-sukun karena di-waqafkan.55
Bacaan-Bacaan al-isymam ini juga dipakai di dalam bacaan huruf ﺹ pada
lafaz
ﻁﺍﺮﺻ
/
ﻁﺍﺮِﺼﻟﺍ
untuk khalaf;56ﺹ Sukun yang terletak sebelum د (dal),misalnya ﺔﻳﺪﺼﺗ untuk bacaan Hamzah dan al-Kisa’i; pada lafaz
ﹶﻞﻴﹶﻗ
cs.untuk bacaan Hamzah dan al-Kisa’i.
29. Al-Raum (
ﻡﻭﺮﻟﺍ
): ialah melemahkan suara huruf yang berharakatsehingga sampai tinggal-1/3 nya; ketika pembaca mewaqafkan lafaz
yang akhirnya berharakat dammah (marfu‘) atau kasrah (majrur).57
Digambarkan, bahwa orang butapun masih dapat mencermati bacaan
Raum ini. Adapun al-Ikhtilas adalah melemahkan suara huruf yang
berharakat sehingga tinggal 2/3-nya, misalnya dammah ر ( Ra’)
ﻢﹸﻛُﺮﻣﺄﻳ
dibaca al-ikhtilas; artinya suara dammah ﺭ (Ra’) dilemahkan sampai
tinggal 2/3-nya.58
30. Tashil Hamzah Baina-Baina Bi al-Raum
ﹸﻞﻴﹺﻬﺴﺘﻟﺍ
/
ﹺﻡﻭﺮﻟﺎﹺﺑ
ﻦﻴﺑ
ﻦﻴﺑ
ﹶﺓﺰﻤﹶﳍﺍ
ﹸﻞﻴﹺﻬﺴﺗ
)
ﻦﻴﺑ
ﻦﻴﺑ
ﹺﻡﻭﺮﻟﺎﹺﺑ( : ialah huruf Hamzah di akhir kalimah (lafaz) yang
53 ‘Abd al-Fattah al-Qadi, Al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-‘Asyr al-Mutawatirah
min Tariqai al-Syatibiyyah wa al-Durrah, Cet. ke I, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1981), p. 24.
54 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 110.
55 ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Mu’min al-Wasiti, Al-Kanzu fi al-Qira’at al-‘Asyr (Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah,1998), p. 99.
56 Al-Ansari-al, Al-Mukarrar fi ma Tawatara min al- Qira'at al-Sab‘, p. 8. 57 Al-Wasiti, Al-Kanzu, p. 99.
dibaca tashil baina-baina, namun suaranya dilemahkan sehingga sampai
tinggal 1/3-nya.59
31. Al-Fath (
ﺢﺘﹶﻔﹾﻟﺍ
): ialah terbukanya mulut ketika pembaca al-Qur’anmengucapkan Alif, bukan Alif yang berharakatFathah – sebab Alif tidak
pernah menerima harakat.60
32. Imalah Kubra (
ﻯﺮﺒﹸﻜﹾﻟﺍ
ﻪﹶﻟﺎﻣﻹﺍ
): ialah bunyi Alif yang diucapkan antaraFathah dan Kasrah, dan antara Alif dan Ya’. al-imalah al-kubra biasa juga
disebut al-imalah al-mahdah (
ﹸﺔﻀﺤﹶﳌﺍ
ﹸﺔﹶﻟﺎﻣﻹﺍ
) atau idja‘ (ﻉﺎﺠﺿﻹﺍ
).61 Di dalampemakaian istilah, biasanya al-imalah al-kubra hanya akan disebut
"al-imalah" saja.
33. Imalah Sughra(
ﻯﺮﻐﺼﻟﹾﺍﹸﺔﹶﻟﺎﻣِﻹﹾﺍ
) : ialah bunyi Alif yang diucapkan antaraal-Fath dan al-imalah al-kubra. Al-imalah ini juga biasa disebut al-taqlil )
ﹸﻞﻴـﻠﹾﻘـﺘﻟﹾﺍ
( atau baina-baina(
ﻦﻴﺑ
ﻦﻴﺑ
).6234. Imalah Ha’ Ta’nits (
ﺚﻴﹺﻧﺀﹾﺄـَﺘﻟﺍ
ِِﺀﺎﻫ
ﹸﺔﹶﻟﺎﻣﹺﺇ
)
: ialah bacaan al-imalah pada ha’ta’nits dan huruf sebelumnya, ketika waqaf.63 Misalnya
ﹲﺔﹶﻔﺷﺎﹶﻛ
dibacakasyifeh. Kebalikan bacaan imalah ha’ ta’nits adalah al-fath ha’ ta’nits
ﺢْﺘﹶﻓ
)ِﺀﺎﻫ
ﺚﻴﹺﻧﹾﺄَـﺘﻟﺍ
( .
35. Tarqiq Ra’ (
ِﺀﺍ
ﺮﻟﺍ
ﻖﻴﻗﺮﺗ
) : Bacaan tarqiq ra’ hanya dipakai untuk Riwayah Warsy yang menjadi ciri khas bacaannya, yakni bacaan tipispada huruf "Ra’" yang berharakat Fathah atau Dammah, tentunya
dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
ﺍﺮﻴﺧ
dibaca "khaira".6436. Tafkhim Ra’ (
ِﺀﺍﺮﻟﺍ
ﻢﻴﺨﹾﻔـﺗ
): ialah bacaan tebal pada Ra’. Untuk bacaan ini bagi orang Indonesia tidak ada kesulitan, sebab Hafs biasa mempergunakan bacaan ini.37. Taghliz Lam (
ﹺﻡﱠﻼﻟﺍ
ﹾﻆﻴﻠﻐﺗ
): ialah bacaan tebal pada Lam. Misalnya ketikapembaca al-Qur’an mengucapkan lafaz
ا
. Namun dalam Ilmu Qiraat,
59 Sayyid Lasyin, dan Khalid Muhammad al-Hafiz. Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh Hirz
al-Amani fi al-Qira’at al-Sab‘, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1413 H./1992), p. 107.
60 Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, Jilid II, p. 28. 61 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 140. 62 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 103.
63 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 141.
bacaan taghliz lam ini menjadi ciri khas Riwayah Warsy.65 Misalnya
“Lam” pada
ﻢﹺﻬﺗﹶﻼﺻ
ﻦﻋ
dibaca oleh Warsy dengan taghliz, yakni "la"dibaca seperti Lam-nya lafaz
ا
. Lawan bacaan dari taghliz lam adalah"tarqiq lam".
38. Ya’ Idafah (
ﺔﹶﻓﺎﺿﻹﺍ
ُﺀﺎﻳ
): ialah Ya’ tambahan yang menunjukkanMutakallim, yakni Ya’ yang bukan sebagai lam fi‘il dan bukan sebagai
kerangka kata (kalimah).66 Misal
ﻰﹺﻧﺪﹺﺠﺘﺳ
-
ﻰﻧﺇ
dan lain-lain. ImamQiraat ada yang membaca Fathah dan ada yang membaca Sukun Ya’
)
ﺳﹺﺇ
ﹸﻥﺎﹶﻜ
ِﺀﺎﻴﻟﹾﺍ
( .
39. Ya’ Zaidah (
ﺓﺪﺋﺍﺰﻟﺍ
ُﺀﺎﻳ
): ialah Ya’ yang terletak di akhir kata (kalimah),namun tidak ada rasmnya (tidak tertulis).67 Oleh karena itu, di antara
bacaan Imam Qiraat berkisar antara membuang/hadzf Ya’ (
ﺀﺎﻴﻟﺍ
ﻑﺬﺣ
)dan itsbat Ya’(
ِﺀﺎﻴﻟﺍ
ﺕﺎﺒﹾﺛﹺﺇ
) . Misalnyaﹺﻉﺍَﺪﻟﺍ
ada yang membaca hadzf Ya’ (al-da‘i) dan ada yang membaca itsbat Ya’ (al-da‘i).
40. Al- Naql (
ُﹺﻞـﹾﻘـﻨﻟﺍ
)
: ialah memindahkan harakat huruf Hamzah kehuruf mati sebelumnya, kemudian Hamzah (di dalam bacaan)
dibuang.68 Misalnya
ﺢﹶﻠـﹾﻓﹶﺃ
ﺪﹶﻗ
dibaca qadaflaha,ﹶﻥﺎﺴﻧِﻹﹾﺍ
ﱠﻥﹺﺇ
dibaca
innalinsana.
41. Saktah(
ﺖﹾﻜﺴﻟﺍ
) : ialah berhenti sejenak selama 2 harakat tanpa nafas.69Misalnya-
ﻦﻣﺍَﺀ
ﻦﻣ
dibaca man saktah amana,ﹺﺽﺭَﻷﹾﺍ
ﻰﻓ
dibaca fil saktahardi.42. Tahqiq (
ﻖﻴﻘﺤﺘﻟﺍ
) biasa juga disebut ﺖﹾﻜﺳ ﹺﺮ ﻴﹶﻏ ﻦﻣ ﻖﻴﻘﺤﺘﻟﺍ : ialah bacaan yangtidak al-naql dan juga tidak Saktah. Lebih mudah disebut bacaan biasa
sebab bunyi huruf Hamzah tidak berubah sebagaima bacaan Hafs.
Misalnya
ﺢﹶﻠﹾﻓﹶﺃ
ﺪَﹶﻗ
dibaca qad-aflaha,ﹺﺽﺭَﻷﹾﺍ
ﻰﻓ
dibaca fil- ardi.43. Dzawat al- Ya’ (
ِﺀﺎﻴﻟﹾﺍ
ﺕﺍَﻭﹶﺫ
) : ialah setiap Alif asliyyah (bukan zaidah) diakhir kata (kalimah) yang asalnya dari Ya’. Kadang-kadang terdapat
pada akhir kata yang berharakat Fi'il, misalnya
ﰉﺃ
–
ﻯﺮﺘﺷﺇ
, atau Isim,
65 Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi al- Qira'at al-‘Asyr, Juz II, p. 83. 66 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 160.
67 Fathoni,Kaidah Qiraat Tujuh, Jilid II, p. 140. 68 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 104. 69 Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah, p. 27.
misalnya
-
ﻯَﻭﺄﹶﳌﺍ
baik ketika Alif tersebut tertulis dalam MasahifUtsmaniyah dengan bentuk Ya’ sebagaimana
ﰉﺃ
–
ﻯﻭﺄﳌﺍ
, maupun tetaptertulis dengan Alif, misalnya
-
ﺎﺼﹾﻗَﻷﹾﺍ
/
ﺎَﻐﹶﻃ
.7044. Alif Ta’nits
(
ﺚﻴﹺﻧﺎﺘﻟﺍ
ﻒﻟﹶﺃ
): ialah setiap Alif yang terdapat pada wazanﻰﻠﻌﻓ
-ﻰﻠﻌﹶﻓ
-ﻰﻠﻌﹸﻓ
-
ﱃﺎﻌﹸﻓ
dan
ﱃﺎﻌﹶﻓ
. Misalnya-
ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ
–
ﻰﺗﻮﹶﳌﺍ
–
ﻰﺴﻴﻋ
–
ﱃﺎﺴﻛ
.7145. Ru'us al-Ay (
ِﹺﻯﻷﹾﺍ
ﺱﻭُﺀﺭ
): ialah Alif yang terletak di setiap akhir ayat dalam sebelas surat berikut: Taha, an-Najm, al-Syams, al-A‘la, al-Lail,al-Duha, al-‘Alaq, al-Nazi‘at, ‘Abasa, al-Qiyamah dan al-Ma‘arij.72
46). Dzur Ra’(
ِﺀ
ﺍﺮﻟﺍ
ﻭﹸﺫ
)
; ialah Alif di ujung lafaz (kalimah) yang asalnya dariYa’/Alif Ta’nits/Alif yang tertulis dalam Masahif Utsmaniyah dengan
bentuk Ya’, dan terletak sesudah Ra’ , misalnya
ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ
–
ﻯﺮﹾﻛﱢﺬﻟﺍ
.7347. Ra’ Mutatarrifah Maksurah
(
ﹲﺓﺭﻮﺴﹾﻜﻣ
ﹲﺔﹶﻓّﹺﺮﹶﻄﺘﻣ
ٌﺀﺍﺭ
): ialah Alif yang terletaksebelum-Ra’ yang berharakat Kasrah yang berada di ujung kata
(kalimah). Misalnya
ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ
–
ﻢﻫﹺﺭﺎﺼﺑﺃ
ﻰﻠﻋﻭ
.74 Apabila "Waqaf" pada lafazyang semisal
ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ
, maka hukum "Ra’" bagi Imam Qiraat atau Perawiyang membaca al-imalah baik al-sughra maupun al-kubra, adalah "Tarqiq
Ra’".75
F. Penutup
Eksistensi Qiraat Sab‘ah mulai dekade 70-an mulai bergairah lagi dipelajari oleh para pencinta al-Qur’an dibanyak negara Islam, dan dikaji pada berbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal di Indonesia, diantaranya di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan Institut PTIQ Jakarta. Bahkan mulai tahun 2002 ketika diselenggarakan STQ Nasional di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) salah satu cabang yang
dimusabaqahkan adalah Qiraat Sab‘ah. Mengingat kehadiran Qiraat Sab‘ah
termasuk kajiannya masih dianggap sebagai pendatang baru di Indonesia
70 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 103. 71 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 125. 72 Al-Qadi, Al-Wafa fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 146. 73 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 132. 74 Al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar, p. 83. 75 Al-Qadi, Al-Wafa fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 169.
maka wajar bila masih belum begitu banyak yang mengetahui duduk soal ragam bacaan al-Qur’an ini.
Daftar Pustaka
al-Ansari, Al-Imam Abu Hafs Umar, Al-Mukarrar fi ma Tawatara min al-
Qira'at al-Sab‘, Singapura: Al-Haramain li al-Tiba‘ah, t.t.
al-Baghdadi, Abu al-Qasim ‘Ali bin ‘Utsman, Siraj al-Qari’ al-Mubtadi’,
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Dimyati, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd. Ghani. Ithaf Fudala' al-
Basyar fi al- Qira'at al-Arba‘ ‘Asyar, Kairo: Masyhad al-Husaini, t.t.
al-Jazari, Al-Hafiz Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad Ibn,
Al-Nasyr fi al- Qira'at al-‘Asyr, Juz I, Kairo: Dar al-Misriyyah, t.t.
al-Qadi, `Abd al-Fattah, Al-Budur al-Zahirah fi al-Qira'at ‘Asyr
al-Mutawatirah min Tariqai al-Syatibiyyah wa al-Durrah, Cet. ke I, Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1981.
al-Qadi, `Abd al-Fattah, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah fi al Qira'at al-Syab‘,
Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Dar, 1983.
al-Wasiti, ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Mu’min, Al-Kanzu fi al-Qira'at al-‘Asyr,
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah,1998.
al-Zarksyi, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdullah, Al-Burhan fi ‘Ulum
al-Qur’an, Cet.ke I, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al ‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Jilid I, Kairo: al-Halabi, t.t.
Buhuts Qur'aniyyah. Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah al-Mu‘tamar al-Sadis, IV.
Kairo: al- Syirkah al- Misriyyah li al-Tiba‘ah wa al-Nasyr, 1971.
Fathoni, Ahmad, Kaidah Qiraat Tujuh, Cet.ke 1, Jilid I, Jakarta: Institut
PTIQ & IIQ Jakarta dan Darul ‘Ulum Press Jakarta, 2005.
Lasyin, Sayyid dan Khalid Muhammad al-Hafiz, Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh
Hirz al-Amani fi al-Qira'at al-Sab‘, Madinah: Maktabah Dar
al-Zamân, 1413 H./ 1992.
Mahmud, ‘Abdullah, ‘Ulum al-Qur'an wa al-Tafsir, Kairo: Dar al-‘Ulum li
al- Tiba‘ah, t.t.
Muhaisin, Muhammad Salim, Al-Irsyadat al-Jaliyyah fi al- Qira'at al-Sab‘ min
Tariq al- Syatibiyyah, Al-Azhar: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah,
1974.
Qattan-al Manna‘, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.