STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU EKONOMI
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
Zarah Puspitaningtyas
Universitas Jember
Abstract
Developing economics continues to this day. Development of economic science generates
theories relating to human behavior in an effort to meet their needs. Development of
science will continue to occur as a human being who is always faced with the challenge
to spur creativity. Humans with the ability to reason he thought, desire to always move
forward. Economics provides an understanding of the approach or procedure is
important in researching, analyzing, and solving problems related to human behavior or
conduct in an effort to meet the human needs that are not limited by the availability of
limited resources. The concept of economics should not be interpreted as a basic
assumption that human morality is to fight and fight each other. Associated with limited
resources compared to the human needs that are not limited to, judged to have efficiency
consequences. That economic actors oriented towards economic efficiency. Economic
efficiency should be understood as a moral obligation in life, an obligation to live in
harmony and not make a social waste. Therefore, we need to understand also that
economic power is a combination of competition and cooperation.
Keywords: philosophy of economics, the concept of economic science,
strategy of development economics
Abstrak
Ilmu ekonomi berkembang terus hingga saat ini. Perkembangan ilmu ekonomi
menghasilkan teori-teori terkait dengan perilaku manusia dalam upaya pemenuhan
kebutuhannya. Perkembangan ilmu akan terus terjadi seiring dengan keberadaan manusia
yang selalu dihadapkan pada tantangan untuk memacu daya kreatifitasnya. Manusia
dengan kemampuan akal pikirnya, berkeinginan untuk selalu melangkah maju. Ilmu
ekonomi memberikan pemahaman tentang pendekatan ataupun tata cara penting dalam
meneliti, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
tingkah laku atau perilaku manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dengan ketersediaan sumberdaya yang terbatas. Konsep ilmu ekonomi
tersebut seharusnya tidak dimaknai dengan suatu anggapan bahwa akhlak dasar manusia
adalah bertarung dan saling berebut. Berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya jika
dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, dinilai memiliki
konsekuensi efisiensi. Bahwa pelaku-pelaku ekonomi berorientasi pada efisiensi
ekonomi. Efisiensi ekonomi selayaknya dipahami sebagai suatu kewajiban moral dalam
hidup, suatu kewajiban hidup rukun dan tidak membuat pemborosan sosial. Sebab, perlu
kita pahami pula bahwa kekuatan ekonomi merupakan gabungan dari persaingan dan
kerjasama.
Keywords: filsafat ilmu ekonomi, konsep ilmu ekonomi,
strategi pengembangan ilmu ekonomi
PENDAHULUAN
Tiga asumsi dasar pengajaran Ilmu Ekonomi Neoklasikal yang parsial dan merupakan
mitos-mitos Kapitalisme Smithan, yaitu:
a. Kebutuhan manusia yang tidak terbatas,
b. Sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas, dan
c. Pengejaran akan pemenuhan maksimal kebutuhan individual (utility maximization of
self interest) yang relatif tidak terbatas (Swasono, 2005:2).
Ketiga asumsi tersebut mendasari perkembangan sistem ekonomi kapitalis, yang
dianggap lebih berhasil mensejahterakan masyarakat dibandingkan sistem ekonomi
sosialis. Bandingkan, misalnya, apa yang terjadi di antara Korea Utara dan Korea Selatan,
HongKong dan Taiwan dengan Cina Daratan (sebelum Deng Xiaoping), atau antara
Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum robohnya tembok Berlin. Namun, akhir-akhir
ini sistem ekonomi kapitalis ini mulai dipertanyakan berbagai para ahli apakah bisa
dipertahankan untuk mensejahterakan masyarakat.
Welfare economics sebagai jargon ekonomi, yang berkembang sejak tahun 1930-an,
memang sudah menimbulkan wacana untuk dikaji kembali. Sebab, welfare economics,
sebagai kontruksi ilmu ekonomi kapitalis, selalu mendasarkan analisis kesejahteraan yang
bebas nilai. Dimana hukum pareto efficiency atau juga sering disebut pareto optimally
menjadi salah satu pisau analisis dalam membuka tabir kegiatan ekonomi. Disebut paling
efisien karena tidak mungkin lagi meraih lebih dari itu tanpa menjadikan pihak lainnya
merugi. Disinilah welfare economics kandas karena pada akhirnya tidak bisa memberikan
jaminan konsisten tentang tujuan yang berdimensi kemanusiaan. Juga, berapa banyak
kesejahteraan yang bisa diwujudkan dalam batasan sumberdaya yang terbatas, tanpa
merusak keseimbangan ekonomi secara makro (Nasution, 2004).
Berdasar uraian di atas, kita ketahui dan pahami bahwa ilmu ekonomi berkembang terus
hingga saat ini. Ilmu ekonomi memberikan pemahaman tentang pendekatan ataupun tata
cara penting dalam meneliti, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan tingkah laku atau perilaku manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan
manusia yang tidak terbatas dengan ketersediaan sumberdaya yang terbatas.
Terdapat pendapat bahwa perkembangan ilmu ekonomi menghasilkan teori-teori terkait
dengan perilaku manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhannya. Teori-teori tersebut
akan terus berkembang seiring dengan perkembangan/ perubahan kebutuhan manusia,
serta ketersediaan sumber daya yang juga berkembang/ berubah. Demikian pula,
perkembangan ilmu pengetahuan akan terus terjadi seiring dengan keberadaan manusia
yang selalu dihadapkan pada tantangan alam, situasi, dan kondisi yang memacu daya
kreatifitasnya. Manusia, dengan kemampuan akal pikirnya, berkeinginan untuk selalu
melangkah maju. Semua itu karena didorong oleh rasa keingintahuannya.
Paper ini akan membahas tentang bagaimana strategi pengembangan ilmu ekonomi dalam
kaitannya dengan filsafat ilmu. Pembahasan ditujukan untuk mengetahui aspek
kefilsafatan dari bidang ilmu ekonomi. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan
sumbangan terhadap ruang lingkup dan perkembangan ilmu ekonomi.
RERANGKA TEORETIS
Filsafat ilmu bertujuan untuk memahami apa dan bagaimana hakekat dan sifat ilmu, serta
kedudukannya di dalam cakrawala pengetahuan manusia. Selain juga untuk memperluas
wawasan ilmiah guna menghadapi perkembangan ilmu yang secara cepat dan mendasar
dengan berbagai implikasinya dalam kehidupan umat manusia dewasa ini.
Pemahaman terhadap aspek kefilsafatan akan membawa kita memahami hakekat dan sifat
ilmu ekonomi. Apa, bagaimana, dan untuk apa hakekat dari mempelajari perilaku
manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhan/ keinginannya (wants) yang relatif tak
terbatas, dengan ketersediaan sumberdaya (resources) yang relatif terbatas ?
Mengapa Manusia Wajib Mencari Ilmu?
Manusia untuk dapat hidup di dunia ini harus memiliki sains atau ilmu pengetahuan yang
cukup, karena manusia mempunyai kebutuhan hidup. Suriasumantri (2007:19)
mengungkapkan ada beberapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini
berdasarkan pengetahuannya, yaitu:
a. Ada orang yang tahu di tahunya,
b. Ada orang yang tahu di tidaktahunya,
c. Ada orang yang tidak tahu di tahunya, dan
d. Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, hendaknya manusia “tahu di tahunya” dan
“tahu di tidaktahunya”. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu
dan apa yang kita belum tahu, dengan kata lain, berfilsafat berarti berendah hati
mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui.
Auguste Comte mengungkapkan bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga
tahapan historis, yaitu: (1) teologi, (2) metafisik, dan (3) ilmiah. Dalam tahap teologi,
fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap
metafisik, manusia akan mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari setiap fenomena
yang terjadi. Dan, dalam tahapan ilmiah, usaha untuk menjelaskan fenomena akan
ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar fenomena (Sugiyono, 2001).
Ilmu merupakan pengetahuan, akan tetapi tidak semua pengetahuan merupakan ilmu.
Ilmu merupakan belief system, artinya, bahwa ilmu itu kebenarannya didasarkan pada
keyakinan atau kepercayaan, meskipun kebenarannya bersifat relatif. Ilmu juga dapat
didefinisikan sebagai akumulasi pengetahuan yang menjelaskan kausalitas (hubungan
sebab-akibat) dari suatu obyek menurut metode-metode tertentu yang merupakan suatu
kesatuan sistematis. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya. Hasil kegiatan
keilmuan merupakan alat untuk meramalkan (prediction) dan mengendalikan (control)
gejala-gejala alam.
Pengetahuan merupakan persepsi subyek (manusia) atas obyek (riil dan gaib) atau fakta.
Pengetahuan merupakan bentukan pola pikir asosiatif antara pikiran dan kenyataan
sebenarnya yang didasarkan pada kumpulan pengalaman sendiri maupun orang lain di
suatu bidang tertentu tanpa memahami adanya hubungan sebab-akibat yang hakiki dan
universal. Oleh karena itu, pengetahuan belum dapat digolongkan sebagai ilmu, karena
belum dapat menjelaskan pertanyaan: “mengapa”.
Kata sains yang merupakan padanan kata ilmu pengetahuan atau sering disebut hanya
dengan kata ilmu berasal dari kata science (Inggris) atau scientia (Latin). Menurut
Alfandi dalam Dahlan (2003), ilmu (ilmu pengetahuan) adalah sistem pengetahuan di
bidang tertentu yang bersifat umum, sistematis, metodologis, logis, objektif, empiris,
memuat dalil-dalil tertentu menurut kaidah umum, berguna untuk mencari kebenaran
ilmiah yang kemudian akan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup manusia.
Ilmu Pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang benar yang disusun dengan
sistem dan metode tertentu untuk mencapai tujuan yang berlaku secara universal dan
dapat diuji/ diverifikasi kebenarannya. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang
sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
menunjukkan sebab-akibatnya (Lanur, 1983:7).
Maricar (2004) mengungkapkan bahwa Ilmu Pengetahuan memiliki ciri-ciri, antara lain:
(a) bukan satu, melainkan banyak (plural); (b) bersifat terbuka (dapat dikritik); dan (c)
berkaitan dalam memecahkan masalah.
Kebenaran ilmiah perlu dicari karena dengan mendapatkan kebenaran ilmiah maka akan
diperoleh kesesuaian atau kesamaan antara pikiran manusia dengan keadaan sebenarnya
yang bersifat runtut (coherent, consistent), logis (logic), dan saling berhubungan
(corenpondence) yang membentuk sistem tertentu. Kebenaran ilmiah umumnya hanya
dapat diperoleh dengan melakukan penelitian. Sekitar 99% diperoleh dengan keringat
(kerja) dan hanya sekitar 1% yang diperoleh berdasarkan intuisi atau kebetulan (Dahlan,
2003).
Manusia, sebagai seorang ilmuwan tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi
pandang ilmu itu sendiri. Manusia tersebut senantiasa ingin melihat hakekat ilmu dalam
kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Apakah itu kaitan ilmu dengan moral, agama,
ataupun dengan kebahagiaan bagi dirinya (Budiantoro, 2011).
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Pokok permasalahan yang dikaji dalam filsafat ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal,
yaitu:
a. Logika
: apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah;
b. Etika
: mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk; dan
c. Estetika : apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (Suriasumantri,
2007:32)
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakekat ilmu pengetahuan tertentu
secara rasional. Filsafat Ilmu Pengetahuan bertugas memberi landasan filosofis untuk
minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmiah. Secara substantif
fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu
masing-masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis diharapkan
dengan
dibantu
metodologi,
pengembangan
ilmu
dapat
mengoperasionalkan
pengembangan konsep, tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing
(Sutatminingsih, 2002). Jadi, Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang
mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar
kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakekat ilmu. Terdapat tiga dimensi atau landasan utama dalam
filsafat ilmu, yaitu:
a. Ontologi: apa yang dikaji oleh pengetahuan itu ? => merupakan hakikat yang ada dan
merupakan asumsi dasar bagi yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran;
b. Epistemologi: bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut ? => sarana,
sumber, tatacara untuk menggunakannya dengan langkah-langkah progesinya menuju
pengetahuan (ilmiah); dan
c. Aksiologi: untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan ? => nilai-nilai (value)
sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu (Sutatminingsih, 2002;
Suriasumantri, 2007:35)
Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Dengan
mengetahui dan memahami jawaban dari pertanyaan ketiga dimensi filsafat ilmu di atas
maka kita dapat membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia (Suriasumantri, 2007:35)
Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
Filsafat Ilmu menjelaskan tentang inti ilmu (science); apa yang menjadi landasan
asumsinya, bagaimana logikanya, apa hasil-hasil empirik yang dicapainya, dan
batas-batas kemampuannya. Dalam filsafat ilmu dapat diketahui kedudukan ilmu dalam
pengetahuan, sifat-sifat dan asumsi dasar ilmu, komponen-komponen ilmu dan upaya
membangun ilmu yang belum diketahui, serta memperbaiki ilmu yang diragukan
kebenarannya.
Kegiatan ilmiah memerlukan penalaran metodologis yang pada umumnya berkaitan erat
dengan bidang ilmu yang menjadi induknya. Penelitian ilmiah merupakan sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang akan ditunjukkan pada kebenaran hasil
penelitian melalui penggunaan metodologi yang sistematis dan konsisten serta
dikomunikasikan dengan bahasa ilmiah (Lasiyo, 2006). Jadi, upaya membangun dan
memperbaiki kebenaran ilmu dilakukan dengan prosedur tertentu menurut metode ilmiah
berupa langkah-langkah sistematis, disebut sebagai metodologi penelitian. Upaya
semacam ini disebut penyelidikan (inquiry) yang dapat dilakukan baik secara empirik
maupun non-empirik. Secara empirik, yaitu, dilakukan melalui penelitian (research) dan/
atau pemeriksaan (investigation), dengan menggunakan prinsip-prinsip observasi
(pengamatan).
Metodologi Penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu (science)
berdasarkan tradisi-tradisinya yang terdiri dari dua bagian, deduktif dan induktif.
Hasil-hasil yang dicapai disebut pengetahuan (knowledge); baik yang bersifat deskriptif
(kuantitatif dan kualitatif) maupun bersifat hubungan. Metodologi (Dahlan, 2003)
merupakan ilmu yang membicarakan metode-metode ilmiah yang meliputi: unsur dari
metode ilmiah, langkah-langkah kerjanya, jenis-jenisnya sampai kepada batas-batas dari
metode ilmiah.
Berpikir metodologis salah satunya bisa dilakukan melalui proses
logico-hipotetico-verificatif, yaitu suatu proses yang sistematis sejak perumusan masalah sampai dengan
tahap penarikan kesimpulan. Metode Ilmiah (scientific method) merupakan prosedur yang
mencakup berbagai tindakan, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh
penemuan baru atau mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada. Metode berpikir
dapat dibedakan metode ilmiah yang bersifat umum (yaitu: metode analisis-sintesis,
deduksi-induksi) dan metode penyelidikan ilmiah (yaitu: metode siklus empiris dan
metode linier) (Lasiyo, 2006).
Metode siklus empiris, pada umumnya diterapkan terhadap objek-objek yang bersifat
kealaman. Metode ini diawali dengan pengamatan atau observasi terhadap kasus-kasus
sejenis, kemudian secara induktif membuat hipotesis sebagai simpulan sementara yang
masih harus dikaji dan dibuktikan (diverifikasi). Hasil pengkajian berupa penerimaan
atau penolakan terhadap hipotesis yang diajukan. Penggunaan metode ini akan sampai
pada hipotesis, teori dan hukum-hukum (Lasiyo, 2006).
Metode linier, pada umumnya diterapkan pada objek ilmiah yang bersifat kejiwaan atau
kerokhanian, antara lain: bidang politik, ekonomi, sosial, humaniora, kebudayaan, dan
agama. Metode ini bersifat lurus kedepan sehingga seolah-olah bersifat terbuka dan
sementara, biasanya dimulai dengan tahap persepsi (yaitu: pengumpulan bahan-bahan
baik yang bersifat pra-ilmiah maupun ilmiah), kemudian tahap konsepsi (yaitu: menyusun
bahan-bahan dalam suatu sistematika atau pola yang sudah dirancang sebelumnya), dan
tahap terakhir adalah tahap prediksi dalam rangka menarik simpulan yang bersifat umum
yang menyangkut objek penelitian ilmiah. Penggunaan metode ini akan sampai pada
norma atau hukum-hukum umum (general laws), dimana dalam kasus-kasus tertentu ada
kemungkinan terjadi penyimpangan terhadap hukum-hukum umum (Lasiyo, 2006).
Metode Ilmiah merupakan langkah-langkah sistematis keilmuan (Lasiyo, 2006) yang
meliputi: (1) metode penelitian, terdiri dari: mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi
masalah; menyusun kerangka pikiran (logical construct); dan merumuskan hipotesis
(jawaban rasional terhadap masalah), dan (2) tehnik penelitian, terdiri dari: menguji
hipotesis secara empirik; melakukan pembahasan; dan menarik kesimpulan.
Dalam dunia ilmiah dikenal tiga metodologi, yaitu: (1) apriori, (2) aposteriori, dan (3)
reduksionis dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Apriori, merupakan pengetahuan
yang berdasarkan kesimpulan dari hal yang telah ditentukan dan bukan dari pengalaman.
Apriori mengacu pada definisi atau berasal dari ide-ide yang sudah diterima. Apriori
digunakan dalam konteks deduktif, pasti, benar secara universal, dan intuitif. Aposteriori,
merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman. Pengetahuan ini hanya
dapat dirumuskan setelah ada observasi atau eksperimen. Aposteriori digunakan dalam
konsteks empiris, induktif dan probable. Reduksionis, merupakan perangkat metodologi
yang membawa data dan persoalan dalam bentuk yang cocok bagi analisis data atau
pemecahan persoalan tersebut. Bentuk yang cocok ini dapat berarti penyederhanaan hal
yang asalnya rumit. Dalam filsafat ilmu pengetahuan ada keyakinan bahwa semua bidang
ilmu pengetahuan dapat direduksi dalam satu bentuk metodologi yang merangkum
prinsip yang dapat diterapkan pada semua gejala (Sugiyono, 2001).
Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian bersifat mengisi dan memperluas cakrawala
kognitif tentang apa yang disebut ilmu (science), yang diharapkan timbulnya pengertian
untuk berdisiplin dalam berkarya ilmiah, sekaligus meningkatkan motivasi para ilmuwan
untuk melaksanakan tugas keilmuannya. Masing-masing ilmuwan selalu dituntut untuk
menyesuaikan metodologi penelitiannya dengan disiplin ilmunya, agar penelitian yang
dilakukan tersebut dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan, misalnya, untuk
menjelaskan, membuat ramalan (prediksi), mengontrol atau mengawasi benar-tidaknya
hasil-hasil ilmu pengetahuan (Soetriono dan Hanafie, 2004:66; Lasiyo, 2006).
Strategi dan Komponen-komponen Pengembangan Ilmu
Pengetahuan merupakan pembentukan pemikiran asosiatif yang menghubungakn atau
menjalin sebuah pikiran dengan kenyataan atau dengan pikiran lain berdasarkan
pengalaman berulang-ulang tanpa pemahaman mengenai kausalitas (sebab-akibat) yang
hakiki dan universal => dapat menjawab tentang “apa” dari suatu kenyataan atau
kejadian. Diperlukan definisi untuk menjawab pertanyaan “apa”. Sedangkan, ilmu adalah
akumulasi pengetahuan yang menjelaskan kausalitas (hubungan sebab-akibat) dari suatu
obyek menurut metode-metode tertentu yang merupakan suatu kesatuan sistematis =>
dapat menjawab tentang “mengapa” dari suatu kenyataan atau kejadian. Diperlukan
proposisi menjawab pertanyaan “mengapa”. Definisi dan proposisi sama-sama terdiri dari
lebih dari satu variabel.
Komponen ilmu yang hakiki adalah fakta dan teori. Komponen lainnya adalah fenomena
dan konsep. Fenomena merupakan gejala atau kejadian yang ditangkap indera manusia.
Karena, dijadikan masalah yang ingin diketahui, maka diabstraksikan dengan
konsep-konsep. Konsep merupakan istilah atau simbol yang mengandung pengertian singkat dari
fenomena (penyederhanaan dari fenomena). Konsep yang semakin mendasar akan sampai
pada variabel-variabel. Variabel meruapakan suatu sifat atau jumlah yang mempunyai
nilai “kategorial” baik kualitatif maupun kuantitatif. Makin berkembang suatu ilmu
makin berkembang pula konsep-konsepnya untuk sampai kepada variabel-variabel dasar
itu.
Melalui penelaahan yang terus-menerus, ilmu akan sampai pada hubungan-hubungan
(relationship) yang merupakan hasil akhir dari ilmu. Hubungan-hubungan yang telah
ditemukan dan ditunjang oleh data empirik disebut fakta. Ilmu merupakan fakta. Dan,
jalinan fakta-fakta menurut ”meaningfull construct” disebut teori. Jadi, teori merupakan
seperangkat konsep, definisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain,
yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan
(explanation) dan meramalkan (prediction) fenomena-fenomena.
Fakta berperan sebagai pijakan, formulasi, dan penjelasan teori, yaitu:
a. Fakta memulai teori, bahwa teori berpijak pada satu atau lebih fakta hasil penemuan
(discovery), baik disengaja maupun tidak;
b. Fakta menolak dan mereformasi teori yang telah ada; dan
c. Fakta mendefinisikan kembali atau memperjelas definisi-definisi yang ada dalam teori
(Soetriono dan Hanafie, 2004:109).
Pengembangan Ilmu melalui Logika
Logika adalah kepandaian atau kecakapan untuk berpikir lurus dan memutuskan secara
tepat. Logika mempelajari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil
kesimpulan secara benar, untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Oleh karena itu,
logika diperlukan dalam pengembangan ilmu dan penarikan kesimpulan yang bersifat
ilmiah. Unsur utama logika adalah pemikiran dan keputusan (Lanur, 1983:7; Soetriono
dan Hanafie, 2004:92)
Carl Hempel dan Peter Oppenheim dalam Sugiyono (2001) berpendapat bahwa
kemampuan ilmu adalah untuk menjelaskan serta memprediksi. Bahwa, kemampuan
menjelaskan suatu ilmu harus mempunyai struktur logika umum, yaitu: (a) ada sedikitnya
satu hukum atau teori yang bersifat universal; dan (b) satu pernyataan tambahan yang
relevan (asumsi) yang merupakan kondisi batas. Kemampuan menjelaskan digunakan
untuk menerangkan kejadian alam maupun masyarakat yang telah terjadi, sedangkan
kemampuan memprediksi berhubungan dengan hal yang belum terjadi. Kesatuan ilmu
dalam kemampuan untuk menjelaskan maupun untuk prediksi sering disebut logika
simetri (logical symmetry). Namun, logika simetri ini mendapat banyak kritikan, yaitu
bahwa prediksi tidak harus berimplikasi pada penjelasan dan sebaliknya.
Pembahasan logika simetri menurut David Hume dalam Sugiyono (2001), antara lain: (a)
induktif dan deduktif; (b) dapat dibuktikan dan tidak dapat dibuktikan; dan (c) verifikasi
dan falsifikasi.
Pengembangan Ilmu melalui Intelectual Activity
Intelectual Activity merupakan upaya manusia untuk mempelajari atau mengamati
fenomena yang dihadapi sampai pada akarnya, misalnya dengan mencari relevansi atau
hubungan antara satu fenomena dengan fenomena yang lainnya (Soetriono dan Hanafie,
2004:88). Oleh karena itu, intelectual activity merupakan kegiatan pencarian atau
pengembangan ilmu. Sekalipun demikian, setiap pengembangan ilmu harus diupayakan
agar memperoleh tingkat kebenaran yang universal. Bukankah Ilmu Pengetahuan
merupakan pengetahuan yang dapat dipercaya obyektivitasnya karena didasarkan pada
pengetahuan yang dibuktikan melalui observasi?
Inductivism, Deductivism, dan Falsificationism
Inductivism (Pendekatan Induktif/ Metode Induktif/ Inductive Inference) bahwa
pengembangan ilmu dimulai dari observasi atau pengamatan. Kegiatan pengamatan ilmu
harus memiliki susunan pemikiran yang normal dan utuh, serta harus penuh kepercayaan
terhadap apa yang dapat didengar, dilihat dan seterusnya, dihubungkan dengan situasi
pengamatan yang dilakukan tanpa disertai prasangka. Susunan tersebut akan melahirkan
pernyataan yang dianggap sebagai pernyataan ilmiah.
Hukum atau teori harus dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris dengan
menggunakan data-data. Hukum dan teori yang dibangun sebagai pengetahuan ilmiah
harus merupakan pernyataan yang bersifat universal statement. Bahwa, pernyataan yang
ditarik harus bisa digeneralisir, oleh karena itu, hasil observasi harus didasarkan pada
semua situasi dan semua tempat.
Syarat-syarat untuk menarik generalisasi menurut inductivism, yaitu:
a. Daerah observasi sebagai dasar menarik pernyataan universal (generalisasi) harus
luas/ banyak.
b. Observasi harus dilakukan berulang kali pada bermacam-macam situasi.
c. Tidak ada satu pernyataan hasil observasi yang bertentangan dengan hukum umum
(Soetriono dan Hanafie, 2004:96).
Fakta diperoleh melalui pengamatan
Induktif Hukum dan teori
Berpikir induktif berangkat dari hal-hal yang bersifat khusus menuju umum
(generalisasi). Berpikir secara induktif harus disertai tingkat kejujuran yang tinggi, jika
tidak demikian, maka induktif akan menghasilkan manipulasi. Akibatnya, pernyataan
yang dijadikan sebagai hukum teori dan dipakai untuk menentukan deduksi logis, akan
salah.
Masalah yang dihadapi dalam inductivism antara lain:
a. Batas jumlah dan variasi situasi pengamatan yang bisa dipakai sebagai dasar untuk
menarik pernyataan.
b. Perbedaan antara lingkungan (kebudayaan) orang yang menarik induksi dengan
lingkungan pengamatan.
c. Sejauh mana pembuat pernyataan bisa melepaskan diri dari prasangka pribadi.
d. Lebih krusial adalah menghubungkan semua kejadian dengan situasi dari obyek yang
diamati (Soetriono dan Hanafie, 2004:96).
Deductivism (Pendekatan Deduktif/ Metode Deduktif/ hypothetico deductive model)
merupakan pemikiran yang didasarkan pada hukum dan teori. Berpikir deduktif
berangkat dari hal-hal yang bersifat umum menuju khusus (particular). Akan tetapi
metode deduktif hanya mampu sebagai alat untuk menjelaskan dalam dunia keilmuan
(explanatory capability)
Hukum dan teori
Deduktif
Prediksi dan eksplanasi
Falsificationism merupakan suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap
teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya cocok dengan hasil observasi
atau percobaan. Bahwa, ilmu dipandang sebagai suatu set hipotesis yang bersifat tentatif
untuk menggambarkan atau menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe.
Jadi, menurut paham ini, tidak ada suatu ilmu yang dibuat manusia bisa persis seratus
persen sama apabila dikonfrontir dengan hasil pengamatan dari kenyataan yang ada
(Soetriono dan Hanafie, 2004:98).
Logika yang mendasari falsificationism adalah bahwa meskipun observasi yang
dilakukan banyak (berulang kali), namun tetap tidak akan bisa merekam semua aspek
dunia yang tidak terbatas. Karl Popper dalam Sugiyono (2001) mempertemukan filosofi
keilmuan antara metode induktif dengan metode deduktif. Bahwa, teori ilmiah yang
terbaik harus dapat difalsifikasi (ditolak/ falsifiable) setidaknya secara prinsip bila tidak
sesuai dengan kenyataan empiris. Sedangkan, Thomas Kuhn dalam Sugiyono (2001)
menciptakan paradigma yang merupakan dasar utama dalam bidang ilmiah. Bahwa,
dalam kenyataannya teori utama dalam ilmu pengetahuan alam tidak dapat difalsifikasi
secara langsung. Bila prediksi dari teori yang dihasilkan salah, logika saja tidak cukup
untuk menentukan bahwa teori pokok atau asumsi tambahannya salah. Setiap individu
tetap memiliki kebebasan untuk mempertahankan teori utamanya dan menolak asumsi
tambahan. Oleh karena itu, tidak ada metode yang obyektif yang dapat menentukan teori
yang lebih benar atau lebih baik.
Peranan Teori dalam Pengembangan Ilmu
Konsep Teori Ilmiah, antara lain:
a. Teori ilmiah merupakan pengetahuan ilmiah mencakup penjelasan mengenai suatu
sektor tertentu dari suatu disiplin ilmu, dan dianggap benar;
b. Teori ilmiah biasanya terdiri dari hukum-hukum, yaitu: pernyataan (statement) yang
menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau lebih; dan
c. Teori ilmiah memerlukan tingkat keumuman yang tinggi, yaitu: bersifat universal
supaya lebih berfungsi sebagai teori ilmiah (Soetriono dan Hanafie, 2004:109).
Tiga syarat utama Teori Ilmiah, yaitu:
b. Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, dan
c. Dapat mengganti teori lama yang tidak cocok dengan pengujian empiris dan fakta
(Soetriono dan Hanafie, 2004:109).
Peranan Teori dalam Pengembangan Ilmu, antara lain:
a. Teori sebagai orientasi. Memberikan orientasi kepada para ilmuwan, sehingga dengan
teori tersebut dapat mempersempit cakupan yang akan ditelaah, dan dapat menentukan
fakta-fakta mana yang diperlukan;
b. Teori sebagai konseptual dan klasifikasi. Memberikan petunjuk kejelasan hubungan
antara konsep-konsep dan fenomena atas dasar klasifikasi tertentu;
c. Teori sebagai generalisasi (summarizing). Memberikan rangkuman terhadap
generalisasi empirik dan antar hubungan dari berbagai proposisi (teorema: kesimpulan
umum yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, baik yang akan diuji maupun
yang telah diterima);
d. Teori sebagai peramal fakta. Yang dimaksud dengan meramal adalah berpikir deduktif
dengan konsekuensi-konsekuensi logis (baik menurut waktu maupun tempat). Jadi,
teori membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta, dengan cara membuat
“ekstrapolasi” dari yang sudah diketahui kepada yang belum diketahui; dan
e. Teori menunjukkan adanya kesenjangan dalam pengetahuan. Dengan diketahuinya
kesenjangan dalam pengetahuan, maka akan memberikan kesempatan kepada kita
untuk menutup kesenjangan tersebut, dengan melengkapi, menjelaskan, dan
mempertajamnya (Soetriono dan Hanafie, 2004:109).
Teori Ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya
terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal
yang dapat diobservasi/ diamati (Sugiyono, 2001).
Tanggungjawab Sosial Pengembangan Ilmu
Setiap ilmu akan dipertanyakan manfaatnya. Oleh karena itu, merupakan suatu kesadaran
bahwa ilmuwan (sebagai pengembang ilmu) adalah manusia yang hidup atau berada di
tengah-tengah manusia lainnya. Hal inilah yang menuntut agar ilmuwan dalam
mengaplikasikan ilmunya mengenal konteks dimana ilmunya diaplikasikan (Soetriono
dan Hanafie, 2004:97). Bahwa, bermanfaatnya suatu ilmu harus dihubungkan dengan
konteks dimana ilmu tersebut akan diterapkan. Dengan kata lain, perkembangan ilmu
harus disesuaikan dengan kebutuhan manusia, sehingga ilmu tersebut benar-benar
bermanfaat bagi manusia dan dapat diaplikasikana atau diterapkan oleh manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Efektivitas dari suatu ilmu harus dikaitkan dengan lingkungan dimana ilmu itu akan
diterapkan atau dimanfaatkan. Setiap ilmu untuk kepentingan manusia. Tetapi aplikasinya
perlu dipertanyakan untuk manusia yang mana. Jika kesadaran ini dapat diterapkan, maka
kekhawatiran bahwa ilmu akan menjajah manusia tidak akan terjadi. Sebab, ilmu yang
diterapkan adalah ilmu yang memang sesuai dengan konteks dimana ilmu itu diterapkan.
Strategi Pengembangan Ilmu Ekonomi
Pada perkembangan peradaban manusia, ilmu terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu:
a. Ilmu yang mempelajari setiap/ seluruh gejala, bentuk dan eksistensinya yang erat
hubungannya dengan alam beserta isinya dan secara universal mempunyai sifat yang
pasti dan sama serta tidak dipisahkan oleh ruang dan waktu, disebut ilmu eksakta,
contoh: fisika, kimia dan biologi;
b. IImu yang mempelajari seluruh gejala manusia dan eksistensinya dalam
hubungannya pada setiap aspek kehidupan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
dinamakan ilmu sosial/ non eksakta, misalnya: ekonomi, politik, psikologi, sosiologi,
hukum, administrasi dan lain-lain; dan
c. IImu humaniora, kumpulan pengetahuan yang erat hubungannya dengan seni,
misalnya: seni tari, seni lukis, seni sastra, dan seni suara (Dalimunthe, 2003).
IImu ekonomi merupakan salah satu disiplin ilmu sosial atau non-eksakta. Lalu,
bagaimanakah strategi pengembangan ilmu ekonomi? Bagaimanakah aspek kefilsafatan
dari bidang ilmu ekonomi? Apakah perlu dilakukan reformasi terhadap
pemikiran-pemikiran ekonomi yang telah berkembang selama ini?
Jika Ilmu Pengetahuan tertentu dikaji dari ketiga dimensi atau landasan utama filsafat
ilmu (yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi) maka akan diketahui esensi atau
hakikat, yaitu: inti atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar,
dari ilmu pengetahuan tersebut. Jadi, strategi untuk mengembangkan ilmu ekonomi
diperlukan penelusuran dari dimensi-dimensi berikut ini:
Ontologi
eksistensi (keberadaan) dan esensi (keberartian) ilmu-ilmu ekonomi
apa yang dimaksud ilmu ekonomi ?
Epistemologi metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu
ekonomi bagaimana cara ilmu ekonomi berkembang ?
Aksiologi
manfaat dari ilmu-ilmu ekonomi untuk apa ilmu ekonomi
berkembang ?
Ilmu Ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam
upayanya untuk memenuhi kebutuhan (wants) yang tidak terbatas dengan ketersediaan
sumber daya (resources) yang terbatas. Berikut beberapa konsep tentang ilmu ekonomi:
a. Ekonomi sebagai ilmu moral (Adam Smith dalam Alhabshi, 2007), yaitu: ekonomi
sebagai suatu ilmu untuk mengkaji tentang moral manusia serta cara-cara bagaimana
menjaga dan meningkatkan moral manusia ini;
b. Ekonomi sebagai ilmu praktek terkait dengan pengeluaran dan peningkatan kekayaan
(J.S. Mill dalam Alhabshi, 2007), yaitu: ekonomi adalah cara yang bersistem atau cara
yang baik untuk menghasilkan pengeluaran barang dan jasa untuk manusia dan cara
yang baik untuk menningkatkan kekayaan yang datang dari usaha pengeluaran
tersebut; dan
c. Ekonomi sebagai satu kajian mengenai tingkah laku/ perilaku manusia dalam
kehidupan sehari-sehari (Alfred Marshall dalam Alhabshi, 2007), yaitu: bagaimana dia
mendapatkan pendapatan dan bagaimana dia menggunakan pendapatan tersebut.
Selanjutnya, perkembangan teori ekonomi modern, mengkaji perilaku manusia bahwa
manusia mempunyai kebutuhan (wants) yang tidak terbatas sedangkan sumber yang ada
(termasuk kemampuan, teknologi) adalah terbatas. Oleh karena itu, jika bertujuan
mencapai kepuasaan, manusia harus memilih, antara lain: apa sajakah barang dan jasa
yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya; bagaimana mengeluarkan barang dan jasa
tersebut dengan cara yang paling baik (bermutu, murah, cepat, memenuhi kebutuhan
manusia, sesuai, dll. => disebut juga efisien); dan untuk siapa barang dan jasa tersebut
dikeluarkan.
Ketiga asumsi dasar (mitos kapitalisme Smithan) seperti yang telah penulis ungkapkan
diawal paper ini, memiliki konsekuensi dengan suatu anggapan bahwa akhlak dasar
manusia adalah bertarung dan saling berebut. Sehingga lahirlah gagasan tentang
berlakunya perfect individual liberty dalam wujud semangat individu untuk bersaing dan
membentuk mekanisme free competition dalam kehidupan berekonomi. Free competition
diasumsikan berwujud sebagai perfect competition dengan perfect information. Dan, pada
tataran makro imperfect competition dilihat sebagai imperfect market, atau pasar yang
terdistorsi (Swasono, 2005:3).
Pemikiran ilmu ekonomi neoklasikal (Swasono, 2005:4) mengasumsikan manusia
rasional (disebut juga homo economicus) sebagai manusia yang berdasar inisiatif
individunya mengejar utilitas ekonomi optimal, yang mencari maximum gain dan
minimum sacrifice, yang bersaing dalam mekanisme pasar, yang menjadi aktor bebas di
pasar bebas, dan yang meneguhkan doktrin non-interference berdasar individual freedom
of action. Selanjutnya, asumsi tersebut, yang terbentuk dari ideologi liberalisme (berdasar
individualisme), berubah menjadi suatu mindset dan dalam perkembangannya telah
mengabaikan kedudukan ilmu ekonomi sebagai suatu ilmu moral.
Perlu kita ketahui, bahwa kedudukan ilmu ekonomi sebagai suatu ilmu moral
sesungguhnya diawali oleh Adam Smith (Swasono, 2005:9), seorang ilmuwan moral
science, yang secara formal tidak pernah menjadi student of economics. Mengutip tulisan
Swasono (2005:9), bahwa sebagai suatu ilmu moral maka ilmu ekonomi secara
imperative mengenal keadilan (justice/ fairness), peduli dengan persamaan (equality) dan
pemerataan (equity), kemanusiaan (humanity), serta menghormati nilai-nilai agama
(religious values). Sebagai suatu ilmu moral maka ilmu ekonomi secara etikal mengenal
dan menghormati pula “kepentingan-kepentingan bersama”, seperti social welfare, public
needs, public interest, solidarity; dan mengenal serta menghormati
“kepentingan-kepentingan individu” seperti liberty, the pursuit of happiness, compassion, goodness,
altruism dan semacamnya.
Berkaitan dengan resource allocation, efisiensi menjadi kata kunci dalam ekonomi.
Pemikiran ekonomi neoklasikal, yang berdasar self-interest berorientasi pada efisiensi
ekonomi. Efisiensi ekonomi yang dimaksudkan, baik dalam tataran mikro maupun
konteks pelaku ekonomi individual, adalah berdasar paham kompetitivisme, yaitu
efisiensi yang terkait dengan upaya individual mencapai kepuasan maksimal (ekuilibrium
pada fungsi preferensi) ataupun upaya badan usaha komersial mencapai laba maksimal
(ekuilibrium pada kongruensi fungsi biaya dan fungsi penerimaan). Selanjutnya,
berkembang menjadi paham fundamentalisme pasar dengan mekanisme persaingan bebas
sempurna/ pasar bebas sempurna. Dan, lahirlah kapitalisme global dan globalisasi
ekonomi.
Paham strukturalis, baik strukturalisme awal maupun neostrukturalisme, adalah paham
yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan
sosial-ekonomi. Kaum strukturalis menempatkan ilmu ekonomi pada peran normatifnya dalam
rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan sosial-ekonomi, menolak mekanisme pasar
bebas. Strukturalisme berorientasi pada strukturisasi dan restrukturisasi ekonomi dengan
mengintervensi pengaturan dan pengontrolan mekanisme pasar. Strukturalisme peduli
akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi dan menuntut pelaku ekonomi
sebagai homo ethicus, yang berpedoman pada suatu hubungan ekonomi berdasar
moralitas dan etika ekonomi.
Oleh karena itu, perlu kita pahami, bahwa kekuatan dalam ekonomi adalah persaingan
(competition) dan kerjasama (cooperation). Pemikiran ekonomi mengakui kerjasama
mutualitas sebagai suatu kekuatan ekonomi, maka efisiensi merupakan suatu kewajiban
moral dalam hidup berekonomi, suatu kewajiban hidup rukun, tidak membuat
pemborosan sosial, untuk membentuk “a peaceful society” suatu kewajiban hidup
ber-ukhuwah. (Swasono, 2005:78)
Bagaimanakah ilmu ekonomi yang berkembang hingga saat ini?
a. Pemikiran neoklasikal, bertitik tolak dari paham self-interest, yaitu maksimasi gain
dan minimasi sacrifice sesuai perilaku homo economicus. Cenderung mengabaikan
implikasi asumtif mono-utilitas terhadap kenyataan bi-utilitas (atau multi-utilitas)
yang mengandung unsur-unsur moralitas yang lebih kompleks;
b. Kelanjutan pemikiran neoklasikal, ilmu ekonomi menyandarkan diri pada paham
kompetitivisme, yaitu kompetisi bebas atau persaingan bebas, tanpa memperhatikan
apakah asumsi-asumsi dasar yang menyertainya realistik atau tidak, baik dalam
kerangka empirik ataupun moralitas ekonominya, telah membentuk suatu mindset atau
budaya ekonomi;
c. Fundalisme pasar (market fundalistme) dengan mekanisme persaingan bebas
sempurna/ pasar bebas sempurna. Fundalisme pasar ini melahirkan kapitalisme global
dan globalisasi ekonomi; dan
d. Perkembangan ilmu ekonomi telah mengabaikan metode induktif, dan lebih
menekankan metode deduktif. Akibatnya, banyak kehilangan pemahaman mengenai
realitas dan kenyataan empirik, serta canggung dalam penyelesaian masalah.
Metodologi Ilmu Ekonomi
Teori ekonomi selalu dimulai dengan pernyataan dasar yang dianggap benar yang dikenal
sebagai asumsi. Asumsi tersebut dapat diperoleh dari pengamatan empiris yang terjadi
berulang-ulang, diambil dari kesimpulan filsafat, atau dari ilmu pengetahuan lain. Dan,
asumsi tetap dianggap benar sampai ada pembuktian bahwa asumsi itu salah dan harus
dibatalkan (refutable). Serangkaian pernyataan dasar yang berkaitan secara logis dan
konsisten disebut model atau teori. Rangkaian pernyataan ini dapat disampaikan dalam
bentuk bahasa, grafik atau dengan rumus matematika (Sugiyono, 2001).
Dewasa ini tujuan ilmiah dari ilmu ekonomi tidak lagi hanya untuk mencari kebenaran
atau mencari hubungan yang pasti tentang sebab-akibat (causality), sebab hubungan
tersebut dapat bermacam-macam sifatnya, seperti: korelasi, intendependensi,
koeksistensi, dan sebab-akibat. Model atau teori ekonomi dapat dikatakan baik apabila
mampu menjadi instrumen, antara lain untuk: menjelaskan keadaan yang terjadi dalam
masyarakat (explanatory capability), serta melakukan prediksi tentang hal-hal yang dapat
terjadi (predictive capability). Hal ini sangat penting bagi pengambilan keputusan
kebijaksanaan atau membuat perencanaan. Kekuatan suatu model atau teori ekonomi
akan teruji karena kemampuannya menjelaskan gejala yang ada atau dapat memprediksi
yang akan terjadi dan ternyata benar.
Sistem ekonomi juga mempengaruhi perkembangan ilmu ekonomi. Sistem ekonomi ialah
cara sesuatu ekonomi disusun, diatur dan dilaksanakan. Jenis sistem yang dilaksanakan
bergantung kepada falsafah yang dipegang oleh masyarakat yang melaksanakan kegiatan
ekonomi. Falsafah ini akan menentukan hukum-hukum ekonomi, institusi yang
dibutuhkan serta cara kegiatan ekonomi disusun dan dilaksanakan. Sistem ekonomi yang
kita kenal, antara lain: sistem ekonomi kapitalis, sosialis, dan campuran.
SIMPULAN
Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan ketersediaan
sumberdaya yang terbatas, telah kita pahami sebagai konsep ilmu ekonomi. Konsep
tersebut seharusnya tidak dimaknai dengan suatu anggapan bahwa akhlak dasar manusia
adalah bertarung dan saling berebut.
Berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya jika dibandingkan dengan kebutuhan manusia
yang tidak terbatas, dinilai memiliki konsekuensi efisiensi. Bahwa pelaku-pelaku
ekonomi berorientasi pada efisiensi ekonomi, artinya dalam pelaksanaan kegiatan
ekonomi demi tercapainya kepuasan maka manusia seharusnya dapat mempertimbangkan
atau memilih produk apa yang dibutuhkan, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa
produk tersebut diproduksi.
Efisiensi ekonomi selayaknya dipahami sebagai suatu kewajiban moral dalam hidup
berekonomi, suatu kewajiban hidup rukun, tidak membuat pemborosan sosial, untuk
membentuk “a peaceful society” suatu kewajiban hidup ber-ukhuwah. Sebab, perlu kita
pahami pula bahwa kekuatan ekonomi merupakan gabungan dari persaingan dan
kerjasama.
Pemahaman terhadap kekuatan ekonomi oleh pelaku-pelaku ekonomi, diharapkan akan
membawa perkembangan ilmu ekonomi ke arah perbaikan moral manusia. Bukankah,
seharusnya, kedudukan ilmu ekonomi adalah sebagai ilmu moral? Dengan kata lain,
perkembangan ilmu ekonomi diharapkan akan sesuai dengan harkat manusia dalam
lingkup moralitas ekonomi dan menuntut pelaku ekonomi sebagai homo ethicus, yang
berpedoman pada suatu hubungan ekonomi berdasarkan moralitas dan etika ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Alhabshi. 2007. Pengenalan Kepada Ekonomi.
Http://www.ekonkur.com
Budiantoro
T.
2011.
Perbedaan
Berfikir
Filsafat
dan
Berfikir
Filsafati.
Http://kerjaituindah.blogspot.com/2011/01/perbedaan-berfikir-filsafat-dan.html
Dahlan. 2003. Sumberdaya Hutan Diciptakan Tuhan Sebagai Objek Ilmu dan Penelitian:
Manusia Diwajibkan Mencari Ilmu. Graduate Program/ s3. Institut Pertanian
Bogor.
Dalimunthe. 2003. Sejarah Perkembangan Ilmu Manajemen. USU Digital Library.
Lanur A. 1983. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lasiyo. 2006. Handout Filsafat Ilmu Pengetahuan. Sekolah Pascasarjana UGM.
Yogyakarta.
Maricar. 2004. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Program s3. UGM. Yogyakarta.
Nasution. 2004. Pengembangan Ekonomi Islam dan Kualitas Hukum Ekonomi
Konvensional. Seminar Nasional Signifikansi Hukum Islam dalam Merespon
Isu-isu Global. Medan.
Soetriono dan R. Hanafie. 2004. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. BPUJ
(Penerbit Universitas Jember).
Sugiyono. 2001. Metodologi Ekonomi Positivisme. Program s3. UGM. Yogyakarta.
Suriasumantri. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Sutatminingsih. 2002. Aktualitas Filsafat Ilmu dalam Perkembangan Psikologi. USU
Digital Library.
Swasono. 2005. Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas. Pusat
Studi Ekonomi Pancasila UGM. Yogyakarta.
B
BI
IO
OD
DA
AT
TA
A
I
I..DDAATTAAPPRRIIBBAADDII
1. Nama : Dr. ZARAH PUSPITANINGTYAS, S.Sos., SE, M.Si. 2. Tempat, tgl lahir : BONDOWOSO, 20 FEBRUARI 1979
3. Agama : ISLAM 4. Pekerjaan : DOSEN
5. Instansi : UNIVERSITAS JEMBER
6. Alamat : JL. LETJEND. SUPRAPTO IA NO. 41 JEMBER 68122
Telepon /hp/e-mail : 031–91790220, HP. 0811 352 532 e-mail: zara_4yu@yahoo.com
I
III..PPEENNDDIIDDIIKKAANN
1. SDN. KEPATIHAN 1 JEMBER – TAHUN 1985 – 1991 2. SLTPN 3 JEMBER – TAHUN 1991 – 1994
3. SMUN 1 JEMBER – TAHUN 1994 – 1997 4. Perguruan Tinggi :
a. S1 : UNIVERSITAS BRAWIJAYA (ILMU ADMINISTRASI NIAGA) Tahun 1997 – 2001
b. S1 : UNIVERSITAS WIDYAGAMA LUMAJANG (AKUNTANSI) Tahun 2008 – 2009
c. S2 : UNIVERSITAS AIRLANGGA (MAGISTER AKUNTANSI) Tahun 2004 – 2006
d. S3 : UNIVERSITAS AIRLANGGA (ILMU EKONOMI/ AKUNTANSI) Tahun 2007 – 2011
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini saya:
Nama : Dr. ZARAH PUSPITANINGTYAS, S.Sos., S.E., M.Si. Institusi : Universitas Jember – Program Studi Administrasi Bisnis Alamat : Jl. Letjen. Suprapto IA No. 41 Jember
Telp. : 0811 352 532
Menyatakan bahwa artikel ini merupakan hasil karya saya sendiri, dan belum pernah diterbitkan atau tidak sedang diterbitkan di jurnal lain.
Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Surabaya, 20 Februari 2012 Yang Menyatakan,