• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wrap Up A4 Bersin Di Pagi Hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Wrap Up A4 Bersin Di Pagi Hari"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Daftar Isi Skenario 1 Kata Sulit 2 Pertanyaan 2 Jawaban 2 Hipotesis 4 Sasaran Belajar

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernafasan Atas LO1.1 Makroskopis

LO1.2 Mikroskopis

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Pernafasan dan Mekanisme Pertahanan Saluran Pernafasan Atas

LI.3 Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi LO3.1 Definisi dan Klasifikasi Rhinitis Alergi LO3.2 Etiologi Rhinitis Alergi

LO3.3 Epidemiologi Rhinitis Alergi LO3.4 Patofisiologi Rhinitis Alergi LO3.5 Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi

LO3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Rhinitis Alergi LO3.7 Tatalaksana Rhinitis Alergi

LO3.8 Pencegahan Rhinitis Alergi LO3.9 Komplikasi Rhinitis Alergi LO3.10 Prognosis Rhinitis Alergi

LI.4 Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam tentang Pernafasan Daftar Pustaka

(2)

Seorang laki-laki, umur 20 tahun, selalu bersin-bersin di pagi hari, keluar ingus encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan juga timbul bila udara berdebu. Keluhan ini sudah dialami sejak kecil. Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa, kecuali penyakit asma pada ayah pasien.

(Skenario bertingkat, informasi selanjutnya tentang scenario tanyakan ke tutor)

(3)

1. Asma: Serangan berulang dispnea paroksismal dikarenakan peradangan jalan napas dan kontraksi spasmodik bronkus. Pertanyaan

1. Apa hubungan penyakit asma ayahnya dengan penyakit dia sekarang? 2. Mengapa bersin terjadi di pagi hari?

3. Mengapa mata terasa gatal?

4. Apa saja faktor resiko dari penyakit ini?

5. Apakah ada hubungannya memasukkan air ke dalam hidung dengan penyakit ini?

6. Apakah berbahaya atau tidak jika terjadi secara kronik? 7. Mengapa concha nasalis inferior mengalami udem? 8. Apa saja tanda rhinitis alergi?

9. Apa saja faktor pencetus rhinitis alergi? 10. Apakah rhinitis alergi bisa sembuh total? 11. Apa patofisiologi rhinitis alergi?

12. Apa saja pemeriksaan yang dibutuhkan? 13. Apa saja penanganan dan pencegahannya? Jawaban

1. Karena a

nak dengan rhinitis alergi biasa dilahirkan dengan keluarga yang memiliki riwayat atopi (dermatitis eksimatosa, urtikaria, asma).

2. Karena suhu di pagi hari rendah dan tungau yang ada pada kasur dapat merangsang bersin.

3. Tubuh terpapar alergen untuk pertama kali sehingga IgE berikatan pada sel mast, pada paparan kedua alergen akan berikatan dengan IgE yang nantinya akan mengaktifasi pengeluaran histamin. Histamin akan memberikan reaksi alergi pada tubuh seperti gatal, udem, bersin dll.

4. Suhu, genetik, ras.

5. Ada hubungannya, karena wudhu membersihkan alergen tapi tidak menyebabkan penyakit.

6. Berbahaya karena dapat menyebabkan penyakit lain seperti polip, sinusitis.

7. Sama seperti nomor 3.

8. Mayor: muka terasa seperti tertekan, anosmia/hiposmia, rasa seperti tersumbat, hidung tersumbat, sekret purulen, sekret purulen pada pemeriksaan, demam pada stadium akut.

Minor: batuk, demam pada stadium yang bukan akut, halitosis, lesu, sakit kepala, sakit gigi, otalgia.

Minimal 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor.

9. Polusi, tungau, musim (penyebaran serbuk sari), jamur, makanan, bulu hewan.

10. Bisa apabila imunoterapi tapi resiko terkena anafilaksis.

11. Hipersensitivitas 1 fase sensitasi, aktivasi, efektor  histamin, leukotrien, prostaglandin  hipersekresi mukosa, kongesti pada saluran

(4)

pernapasan (ductus nasolacrimalis  lacrimasi, OPTA  otalgia, n. olfactorius  anosmia).

12. Darah lengkap, sitologi sekret mukosa, radioimmunosorbent test, pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior dan posterior.

13. Tatalaksana: antihistamin, natriumkromalin, dekongestan, kortikosteroid, glukokortikoid.

Pencegahan: jauhi pencetus, imunoterapi.

Hipotesis

Rhinitis alergi adalah penyakit yang dipicu oleh alergen berupa polusi, tungau, jamur dan mempunyai faktor resiko seperti kelainan genetik. Ditandai dengan gejala mayor seperti anosmia dan gejala minor seperti batuk. Gejala tersebut terjadi karena reaksi hipersensitivitas 1. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan darah lengkap. Penyakit ini diatasi dengan mengkonsumsi antihistamin, dicegah dengan menjauhi alergen dan memperbanyak berwudhu.

(5)

Sasaran Belajar

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernafasan Atas LO1.1 Makroskopis

(6)

Hidung

Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas. a. Dua buah nares anterior = apertura nasalis anterior (lubang hidung)

b. Vestibulum nasi, bagian hidung tempat muara nares anterior pada mukosa hidung. Terdapat cilia yang berfungsi sebagai saringan udara.

Bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan disebut dengan cavum nasi, yaitu mulai dari nares anterior sampai ke nares posterior (choanae). Dilanjutkan ke daerah nasofaring. Cavum nasi (rongga hidung) berbentuk terowongan dari depan ke belakang. Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi oleh dinding yang berasal dari tulang dan mukosa disebut septum nasi. Yang dibentuk oleh tulang – tulang :

a. Kartilago septum nasi b. Os. Vomer

c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis

Dalam ilmu THT pemeriksaan hidung ada dua cara, yaitu memakai head lamp : a. Rhinoscopy Anterior, melihat secara langsung cavum nasi serta isinya b. Rhinoscopy Posterior, secara tidak langsung dari orofaring memakai kaca Pada rhinoscopy anterior, dalam cavum nasi pada sisi lateral terdapat concha – concha nasalis yang terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mukosa yang dapat mengeluarkan lendir. Ada empat buah concha nasalis :

a. Concha nasalis suprema b. Concha nasalis superior c. Concha nasalis media d. Concha nasalis inferior

Dan tiga buah saluran keluar cairan melalui hidung :

a. Meatus nasalis anterior (antara concha nasalis superior dan media) b. Meatus nasalis media (antara concha nasalis media dan inferior)

c. Meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla)

Sinus – sinus yang berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan Sinus Paranasal, antara lain :

(7)

a. Sinus sphenoidalis, mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior b. Sinus frontalis, mengeluarkan sekresinya ke meatus media

c. Sinus maxillaris, mengeluarkan sekresinya ke meatus media

d. Sinus ethmoidalis, mengeluarkan sekresinya ke meatus superior dan media Bila terdapat infeksi pada sinus dinamakan dengan sinusitis.Yang sering terjadi pada komplikasi penderita infeksi rongga hidung dan sakit gigi (rhinitis kronik), yaitu sinusitis maxillaries.Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui duktus nasolakrimalis, tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada nasofaring terdapat hubungan antara hidung dengan rongga telinga melalui osteum pharyngeum tuba auditiva austachii (o.p.t.a), torus tubarius.

Persarafan hidung

Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung:

1. Bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensorik dari cabang nervus opthalmicus (N. V 1)

2. Bagian lainnya termasuk mukosa hidung cavum nasi dipersarafi oleh ganglion sfenopalatinum

3. Daerah nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari cabang ganglion pterygopalatinum

Nervus olfactorius (nervus I) memberikan sel – sel reseptor untuk penciuman yang terletak pada sepertiga bagian atas depan mukosa hidung, septum nasi dan concha nasalis, masuk cavum nasi melalui lamina cribosa os ethmoidalis. Serabut – serabut nervus olfactorius bukan untuk mensarafi tapi hanya untuk fungsional penciuman.

Vaskularisasi hidung

Pendarahan hidung berasal dari cabang – cabang A. opthalmica dan A. maxillaris interna

(8)

1. Arteri ethmoidalis anterior dengan cabang – cabangnya sebagai berikut : a. nasalis externa dan lateralis, a. septalis anterior

2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang- cabangnya : a. nasalis posterior, lateral dan septal, a. palatinus majus

3. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna

Ketiga pembuluh darah tersebut pada mukosa hidung membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh trauma atau infeksi sehingga menjadi sumber epitaxis (perdarahan hidung terutama pada anak).

Laring

Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka laring terbentuk oleh tulang dan tulang rawan ;

1. Os. Hyoid (1 buah)

a. Terbentuk dari jaringan tulang seperti besi telapak kuda b. Mempunyai dua buah cornu, yaitu cornu majus dan minus

c. Dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu d. Berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid

2. Cartilago Thyroid (1 buah)

a. Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan prominen’s laryngis atau Adam’s apple sehari – hari disebut jakun dan lebih jelas pada laki – laki

(9)

b. Melekat ke atas dengan os hyoid dan ke bawah dengan cartilago cricoid, ke belakang dengan arytenoid

c. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid d. Mempunyai cornu superior dan inferior

e. Pendarahan dari arteri thyroidea superior dan inferior 3. Cartilago Arytenoid (2 buah)

a. Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid di atas dari cartilago cricoid

b. Mempunyai bentuk seperti burung penguin, ada cartilago cornuculata dan cuneiforme

c. Kedua arytenoid dihubungkan oleh musculus arytenoideus transversus 4. Epiglottis (1 buah)

a. Tulang rawan berbentuk sendok

b. Melekat di antara kedua cartilago arytenoid c. Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis

d. Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui musculus aryepiglotica e. Pada waktu biasa epiglottis tebuka, tapi pada waktu menelan epiglottis

menutup aditus laryngis agar makanan tidak masuk ke larynx 5. Cartilago Cricoid

a. Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)

b. Berhungungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan musculus cricothyroid medial lateral

c. Batas bawah adalah cincin pertama trachea

d. Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot musculus cricoarytenoideus posterior dan lateral

LO1.2 Mikroskopis

Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dengan pembuluh darah. Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis

2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.

(10)

Dibagi menjadi pars konduksi dan Pars respirasi

Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan sel granul kecil.

Epitel respiratorik, Berupa epitel bertingkat Silindris bersilia dengan Sel goblet

Rongga hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

(11)

Sinus paranasalis

Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

Faring

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng. Laring

Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.

Epitel epiglotis, pada pars lingual Berupa epitel gepeng berlapis dan

(12)

Para pars laringeal berupa Epitel respiratori

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Pernafasan dan Mekanisme Pertahanan Saluran Pernafasan Atas

Inspirasi merupakan proses aktif, akan terjadi kontraksi otot – otot, inspirasi akan meningkatkan volume intratorakal, tekanan intrapleura di bagian basis paru akan turun dari normal sekitar -2,5 mm Hg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada awal inspirasi menjadi – 6 mm Hg. Jaringan paru semangkin tegang, tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif dan udara mengalir kedalam paru. Pada akhir inspirasi daya rekoil paru mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi, sampai tercapai keseimbangan kembali antara daya rekoil jaringan paru dan dinding dada. Tekanan didalam saluran udara menjadi sedikit positif dan udara mengalir meninggalkan paru, selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk menurunkan volume inratorakal, namun pada awal ekspirasi masih terdapat kontraksi ringan otot inspirasi, kontraksi ini berfungsi sebagai peredam daya rekoil paru dan memperlambat ekspirasi.

Sistem respirasi secara fisiologis meliputi : pernafasan luar dan pernafasan dalam. a. Pernafasan luar (eksternal) : pertukaran O2 – CO2 antar sel-sel tubuh

dengan udara luar.

b. Pernafasan dalam (internal) : respirasi sel didalam mitokondria intrasel, dimana metabolisme ini membutuhkan O2 dari kapiler jaringan dan menyuplai metabolit CO2 ke kapiler.

Proses pernafasan luar meliputi beberapa tahapan :

1. Ventilasi : pertukaran udara luar dengan alveol paru. Terdiri dari inspirasi dan ekspirasi.

2. Difusi : pertukaran O2 – CO2 antara udara alveol dengan kapiler paru.

a. Fase gas : pertukaran gas antara udara luar dengan udara alveol. Semakin berat molekul gas, semakin cepat proses difusinya. (O2> CO2)

b. Fase membran : pertukaran O2 – CO2 antara alveol dengan darah dalam kapiler paru melewati membran kapiler. Semakin tipis membran, semakin cepat difusinya.

(13)

c. Fase cairan : pertukaran O2 – CO2 dalam sirkulasi darah dengan hemoglobin dalam eritrosit. Semakin mudah larut, difusi semakin cepat. (CO2> O2 , karena daya larut CO2 24,3x > O2)

3. Perfusi : pengangkutan O2 dan CO2 oleh pembuluh darah paru ke kapiler jaringan atau sebaliknya.

4. Pertukaran O2 – CO2 antara darah di kapiler jaringan dengan sel-sel jaringan. Pengaturan pernafasan

Tiga pusat pengaturan pernapasan normal yaitu: 1) Pusat Respirasi

Terletak pada formatio retikularis medula oblongata sebelah kaudal. Pusat respirasi ini terdiri atas pusat inspirasi dan pusat ekspirasi.

2) Pusat Apneustik

Terletak pada pons bagian bawah. Mempunyai pengaruh tonik terhadap pusat inspirasi. Pusat apneustik ini dihambat oleh pusat pneumotaksis dan impuls aferen vagus dari reseptor paru-paru. Bila pengaruh pneumotaksis dan vagus dihilangkan, maka terjadi apneustik.

3) Pusat Pneumotaksis

Terletak pada pons bagian atas. Bersama-sama vagus menghambat pusat apneustik secara periodik.Pada hiperpnea, pusat pneumostaksis ini merangsang pusat respirasi.

Aktivitas pernapasan diatur secara kimia dan non-kimia. Penurunan PO2 , peningkatan PCO2 atau konsentrasi ion H darah akan meningkatkan aktivitas pusat respirasi. Perubahan yang berlawanan mempunyai efek hambatan terhadap aktivitas respirasi. Secara non-kimia, pengaturan aktivitas pernapasan adalah melalui suhu tubuh dan aktivitas fisik. Peningkatan suhu tubuh dapat meningkatkan aktivitas pernafasan.

Fungsi mukosa serta aktivitas cilia

Permukaan seluruh saluran pernafasan (dari hidung hingga ke bronchiolus terminalis), dijaga agar sebisa mungkin lembab. Kelembaban ini dijaga oleh mukosa yang melapisi seluruh permukaannya. Mukosa ini dihasilkan sebagian oleh sel goblet pada sel-sel epitel saluran pernafasan, dan juga oleh glandula submucosa. Selain itu, untuk selalu menjaga agar saluran pernafasan tetap lembab, ada mekanisme yang menyebabkan terperangkapnya partikel-partikel kecil yang terbawa oleh udara. Fungsi ini bermanfaat agar partikel tersebut tidak masuk hingga alveoli. Mukosa, dalam kasus ini, berperan untuk mengeluarkan partikel tersebut dengan cara sebagai berikut:

Seluruh permukaan saluran pernafasan, baik dari hidung hingga bronchiolus terminalis, dilapisi oleh epitel bersilia (dengan 200 cilia per 1 sel epitel). Cilia ini terus menerus bergerak sebanyak 10-20 kali per detik, dan arah gerakannya adalah

(14)

menuju faring. Oleh karena itu, sifat gerakan cilia dari paru adalah ke atas, sementara gerakan cilia dari hidung adalah ke bawah. Pergerakan yang terus menerus ini menyebabkan mukosa untuk mengalir secara perlahan, dengan kecepatan beberapa milimeter per menit menuju faring. Kemudian, mukosa dan partikel-partikel yg terlarut bisa tertelan, ataupun keluar karena mekanisme batuk.

Mekanisme refleks batuk

Broncus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan yang sangat halus, bahkan benda-benda asing yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan iritasi sehingga menyebabkan batuk. Laring dan carina (tempat bercabangnya trakea menjadi bronchi) adalah bagian tersensitif, sementara bronchiolus terminalis hingga ke alveolus sangat sensitif terhadap zat korosif, misalnya sulfur dioxide atau gas chlorine. Impuls saraf aferen dari saluran pernafasan umumnya melalui nervus vagus, yang diteruskan ke medulla otak. Oleh karena itu, beberapa urutan kejadian ‘mekanisme batuk’ dipicu oleh rangkaian neuron yang ada di medulla otak, dengan urutan sebagai berikut:

a. sebanyak 2.5 liter udara secara cepat diinspirasi.

b. Epiglottis menutup, dan pita suara menutup secara erat untuk menahan udara agar tidak keluar dari paru-paru.

c. Otot-otot abdominal berkontraksi secara kuat, sehingga dapat mendorong diafragma; bersamaan dengan itu, otot-otot ekspirasi (misalnya m. intercostalis interna) juga berkontraksi secara kuat. Akibatnya, tekanan di dalam paru-paru meningkat secara drastis, hingga pada tekanan 100 mmHg atau lebih.

d. Pita suara dan epiglottis secara cepat membuka, menyebabkan udara yang bertekanan tinggi dari paru-paru ‘meledak’ ke luar.

Oleh karena itu, kadang-kadang udara dapat dikeluarkan dari paru secepat 75-100 mph karena mekanisme batuk ini. Kompresi yang kuat oleh paru-paru ini menyebabkan kolapsnya bronchi dan trachea, akibatnya, struktur non-kartilago yang mereka miliki menjadi cekung ke dalam. Udara yang keluar secara cepat ini biasanya juga mengandung benda-benda asing yang ada di bronchi ataupun trachea.

Respon refleks bersin

Mekanisme terjadinya refleks bersin sebetulnya mirip dengan batuk, namun pada bersin, mekanisme utama terjadi pada rongga hidung. Stimulus yang merangsang terjadinya bersin mengiritasi bagian nasal; impuls aferen dihantarkan melalui nervus V menuju medulla, tempat di mana reflex dapat dipicu. Serangkaian mekanisme selanjutnya sama dengan batuk, namun pada bersin, terjadi depresi pada uvula, sehingga banyak udara yang keluar melalui hidung; hal ini dapat membersihkan saluran hidung dari benda asing.

(15)

Ukuran Partikel yang Terperangkap di Saluran Pernafasan

Turbulensi pada hidung memiliki fungsi untuk memisahkan partikel-partikel dari udara. Mekanisme ini cukup efektif karena partikel dengan ukuran lebih dari 6 µm dapat tersaring, sehingga tidak masuk hingga ke paru-paru. Ukuran ini sebetulnya lebih kecil dari satu sel darah merah.

Sisa partikelnya, dengan ukuran antara 1-5 µm dapat bersarang di bronchiolus (akibat dari gravitational precipitation). Contohnya, orang-orang yang bekerja sebagai penambang batubara dapat mengalami gangguan bronchiolus akibat dari penumpukan partikel-partikel debu halus. Beberapa partikel yang lebih kecil lagi (ukurannya di bawah 1 µm) dapat berdifusi dengan dinding alveoli dan beradhesi ke cairan alveolar. Partikel yang lebih kecil dari 0,5 µm dapat bertahan di udara alveolus, dan dapat dikeluarkan dengan cara ekspirasi. Misalnya saja, partikel rokok dengan ukuran 0,3 µm sebetulnya tidak dapat terpresipitasi sebelum masuk ke alveolus. Namun, sebanyak 1/3 dari partikel tersebut dapat berdifusi dengan alveoli.

Partikel-partikel yang terperangkap di alveoli dapat dihilangkan oleh makrofag alveolus, dan sebagiannya lagi dapat dibawa oleh saluran limfatik yang ada di paru-paru.

Vokalisasi

Mekanisme ‘berbicara’ tidak hanya melibatkan sistem respirasi, tetapi juga melibatkan (1) Pusat saraf pengatur berbicara di cortex cerebral, (2) Pusat pengatur respirasi di otak dan (3) Struktur artikulasi dan resonansi mulut dan saluran hidung. Secara mekanis, berbicara melibatkan 2 fungsi, yaitu (1) Fonasi, yang dapat dilakukan oleh laring, dan (2) Artikulasi, yang dapat dilakukan oleh struktur mulut.

Fonasi

Laring merupakan tempat yang sudah beradaptasi menjadi vibrator. Elemen getar pada laring adalah plica vocalis, atau lebih sering dikenal sebagai pita suara. Pada gambar B, terlihat bentuk-bentuk bukaan pita suara apabila dilihat dengan menggunakan larngoscope. Pada saat pernafasan biasa, pita suara ini terbuka lebar agar udara lebih mudah masuk. Pada saat fonasi, kedua pitanya bergerak mendekat sehingga terdapat celah yang dilewati udara dan menimbulkan getaran. Nada yang dihasilkan oleh vibrasi ini ditentukan oleh seberapa meregangnya pita suara, dan juga ditentukan oleh seberapa dekatnya jarak celah antara satu pita suara dengan pita suara lainnya.

(16)

Gambar 11. (A) Anatomi laring; (B) Fungsi fonasi dari laring, menunjukkan posisi dari pita suara pada keadaan fonasi yang berbeda-beda

Sistem Pertahanan di Hidung dan Oropharynx

Udara yang dihirup masuk melalui hidung atau mulut dan diteruskan ke bagian glotis, kemudian ke bagian extrathorax sebelum masuk ke thorax. Apabila bernafas dengan menggunakan hidung, udara disaring dan dilembabkan serta suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh oleh turbinat (conchae) dan mucosa faring posterior. Apabila terjadi obstruksi nasal, ataupun kebutuhan pernafasan yang melebihi 20-30 L/menit, maka diperlukan pernafasan dari mulut. Udara yang dihirup dari mulut dapat masuk ke trakea tanpa dikondisikan (tanpa disaring dan disesuaikan suhunya).

Beberapa substansi yang ada di sekresi hidung dapat membantu mengendalikan populasi bakteri maupun virus. Substansi yang dimaksud terutama adalah lisozim dan imunoglobulin (sekretori IgA yang membasahi permukaan mukosa saluran pernafasan). Sekresi nasal kaya akan IgA, di mana imunoglobulin tipe ini disintesis secara lokal di bagian sel plasma submukosa. Selain IgA, terdapat juga imunoglobulin tipe lain seperti IgG, namun dalam jumlah yang lebih sedikit. IgE secara normal tidak diproduksi, terutama pada orang yang tidak mengalami atopi (nonatopik). Meski demikian, IgE memiliki peranan yang penting pada penderita rhinitis alergi.

(17)

Gambar 12. Komponen lumen mucosal saluran pernafasan. Sel epitel silindris berlapis dengan cilia dilapisi oleh mucus (diproduksi oleh sel goblet dan glandula bronchialis), dan juga cairan yang mengandung berbagai macam protein, termasuk immunoglobulin dan komponen sekretori. Beberapa sel juga dapat ditemukan di permukaannya, misalnya limfosit dan makrofag. Pada lapisan submucosa di bawah membrana basalis, terdapat sel plasma dan sel mast; sel plasma menghasilkan immunoglobulin A sementara sel mast menghasilkan mediator alergi, misalnya histamine.

LI.3 Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi LO3.1 Definisi dan Klasifikasi Rhinitis Alergi

Rhinitis didefinisikan sebagai kondisi inflamasi mucosa nasal, yang menyebabkan gejala klinis meliputi obstruksi nasal, hiperirritabilitas, dan hipersekresi. Sementara rhinitis alergi adalah radang selaput lendir hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas/alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin, rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.

Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :

(18)

Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada pada Negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merha, gatal disertai lakrimasi).

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah allergen inhalan terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 :

LO3.2 Etiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rhinitis alergi. Penyebab tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alegi lain seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.

Rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi perennial diantaranya debu tungau (Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus), jamur, binatang peliharaan, dan binatang pengerat. Faktor resiko terpaparnya debu tungau biasanya karpet, sprei, suhu tinggi, dan kelembaban udara. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.

(19)

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

a. Allergen inhalan yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya, debu rumah, tungau, serpihan epitel bulu binatang, serta jamur.

b. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang.

c. Allergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin atau sengatan lebah.

d. Allergen kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

LO3.3 Epidemiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi mempengaruhi sekitar 40% anak-anak dan 20-30% orang dewasa. Pada anak (<2 tahun) diagnosis rhinitis alergi lebih sulit ditegakkan. Keluhan pertama biasanya muncul pada usia sekolah.

LO3.4 Patofisiologi Rhinitis Alergi

Mukosa saluran nafas selalu terpapar oleh bermacam alergen yang terbawa oleh udara nafas. Pada penderita yang mempunyai bakat alergi, alergen yang terbawa udara nafas akan menyebabkan sensitisasi mukosa respirasi. Akibat sensitisasi ini, apabila terjadi paparan berikutnya akan menimbulkan gejala alergi. Selengkapnya imunopatogenesis rinitis alergi adalah sebagai berikut:

A. Fase sensitisasi

Alergen yang terhirup bersama udara nafas akan terdeposit dalam mukosa hidung yang kemudian diproses oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Didalam endosom alergen diproses menjadi bentuk fragmen peptide (berupa 7 sampai 14 asam amino) yang akan berikatan dengan molekul MHC (major histocompatibility complex) kelas II, yang disintesis di vesikel golgi. Dengan gerakan intraseluler, endosom yang mengandung peptide bergabung (intersect) dengan vesikel yang berisi molekul MHC kelas II dan membentuk ikatan non kovalen. Fusi antara endosom dengan membran plasma akan mengekspresikan komplek peptide dan MHC kelas II di permukaan sel penyaji.

Tipe polimorfik molekul MHC kelas II yang diekspresikan oleh tiap-tiap individu akan menentukan afinitas molekul terhadap peptide antigen spesifik, yang akan berperanan pada respon sistem imun terhadap protein spesifik. Sel penyaji antigen ini akan berjalan melintasi adenoid, tonsil dan limfonodi regional. Pada area sel T limfonodi, antigen dipresentasikan pada sel Th 0 yang baru keluar dari timus. Diduga sel Th 0 ini mengekspresikan tanda permukaan sel yang dapat membuat sel tersebut tinggal di pembuluh darah mukosa saluran nafas.

Penderita dengan kecenderungan atopik, reseptor antigen spesifik sel Th 0 (TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC kelas II, CD 28 dengan B7 serta molekul

(20)

asesoris pada sel T ( CD2, LFA-1) dengan ligand pada sel penyaji antigen, memicu terjadinya rangkaian aktivitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan, sel T CD4 dapat mengalami polarisasi menjadi sel Th 1 dan atau sel Th 2 yang tergantung dari tipe antigen, dosis, tipe sel APC, microenviroment sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik.

Sel T CD4+ pada individu yang atopik mengalami polarisasi menjadi sel Th 2 dan akan menghasilkan berbagai sitokin antara lain 3, 4, 5, 9, 10, IL-13, GM-CSF yang akan mempertahankan lingkungan pro atopik ( terutama IL-4) yaitu menginduksi sel B yang memproduksi Ig E dan menghambat produksi sitokin sel Th 1. Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus dan presentasi alergen oleh sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 maka sel B akan memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan beredar bebas dalam sirkulasasi, berikatan dengan reseptornya (high affinity receptors mast, yang kemudian keluar dari sirkulasi berada dalam jaringan termasuk mukosa hidung. Dalam fase ini maka sesorang sudah dalam keadaan sensitif.

B. Fase elisitasi

Terjadinya gejala-gejala rinitis ditandai dengan dimulainya aktivasi sel mast yang diakibatkan oleh paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah sensitif. Terjadi cross- linking dua molekul IgE pada permukaan sel mast dengan alergen (multivalent/bivalen). Akibatnya terjadi aktifasi guanosin triphosfate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospholipase C untuk mengkatalisa phosphatidyil inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosfate (IP3) dan diacyglicerol (DAG) pada membrane PIP2. IP3 menyebabkan pelepasan ion calcium intraseluler (Ca2+) dari reticulum endoplasma. Ca2+ di sitoplasma secara langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase A, dan komplek Ca2+ kemudian mengaktifkan enzim myosin light chain kinase C. Sehingga hasil akhir aktivasi ini terbentuk lipids mediators ( newly formed mediators) seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrin C4 (LCT4), platelet activating factor dan exocytosis sekresi granula yang berisi mediator kimia (preformed mediators) seperti histamin, tryptase, bradykinin. Histamin merupakan mediator penting yang dihasilkan dari degranulasi sel mast, merupakan penyebab lebih dari 50% gejala rinitis alergi. Histamin dimetabolisme oleh histamine N-methyltransferase (HMT) pada sel epitel maupun endotel.

Reseptor histamin H1 terdapat pada sel endotel, yang apabila diinduksi dapat menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan rinore. Selain itu histamin juga terikat pada resptor H1 di saraf nociceptive tipe C. Saraf ini secara luas bercabang di epitel dan submukosa. Neuron berasal dari cabang pertama dan kedua nervus trigeminus. Salah satu fungsi penting dari saraf nociceptive mengaktifkan pusat

(21)

gatal, mengerakkan reflek sistemik seperti bersin-bersin dan reflek parasimpatik yang mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar. Gejala-gejala hidung gatal, rinore, kongesti dan bersin yang disebabkan pelepasan mediator kimia oleh sel mast akibat paparan alergen disebut reaksi fase cepat.

Apabila mediator-mediator telah mengalami metabolisme dan dibersihkan dari mukosa, gejala-gejalanya akan berkurang. Tetapi setelah reaksi fase cepat, adanya pelepasan sitokin dan aktivasi sel endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam.2 Keadaan ini secara klinik ditandai dengan penebalan mukosa hidung yang dapat dideteksi dengan adanya kenaikan resistensi nasal airflow dengan sedikit perubahan pada gejala hidung lainnya. Gambaran khas reaksi fase lambat ditandai dengan tertariknya berbagai sel inflamasi khususnya eosinofil pada mukosa hidung. Kenaikan eosinofil dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kadar eosinophil cationic protein (ECP) dan produk eosinofil lainnya pada sekresi hidung.

Mekanisme tertariknya eosinofil sampai ke lokasi alergi dipengaruhi sekresi sitokin oleh sel mast, eosinofil dan sel Th 2, yang dapat meningkatkan ekspresi molekul adhesi endotel (IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF) dan eosinofil chemoattractant (eotaxin, IL-5, RANTES). Oleh pengaruh IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat meningkatkan survival eosinofil dijaringan. Eosinofil dalam perjalannya dari sirkulasi sampai ke lokasi alergi melalui beberapa tahap yaitu perpindahan eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan berikatan secara reversibel dengan sel endotel (rolling) yang disebabkan interaksi antar E-selectin dengan glikoprotein eosinofil.

Selanjutnya oleh karena pengaruh sitokin (IL-4) terjadi peningkatan ekspresi molekul adhesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell adhesion molecule-1), VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-VCAM-1). VCAM-VCAM-1 bersifat spesifik terhadap perlekatan eosinofil karena eosinofil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1, sehingga ekspresi VCAM-1 meningkat pada rinitis alergi. Dengan adanya ikatan antara VCAM-1 dan VLA-4 ini eosinofil semakin kuat melekat pada endotel, kemudian terjadi perubahan bentuk dan diikuti migrasi eosinofil keluar dari pembuluh darah lewat celah antar sel endotel (diapedesis) untuk selanjutnya menuju lokasi alergi.

Tertariknya eosinofil ditempat alergi menyebabkan perubahan mukosa saluran nafas. Pelepasan granula eosinofil yang mengandung berbagai macam mediator kimia yaitu major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derived neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO) yang berikatan dengan proteoglikan dan hyaluran membran basalis menyebabkan disagregasi sel dan deskuamasi epitel. Protein ini juga merusak membran sel yang berakibat kematian sel. EDN dapat menginaktifkan saraf mukosa dan EPO menyebabkan kerusakan sel oleh karena radikal bebas.

(22)

Gambar 14. Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kasus rhinitis alergi dan asma

Singkatnya, terjadinya rhinitis alergi adalah sebagai akibat dari respon hipersensitivitas tipe 1. Respon ini melibatkan produksi IgE yang berlebihan, dan dikategorikan sebagai reaksi atopic. Pada pasien dengan disposisi atopic (atau yang memiliki ‘bakat’ genetik), reaksi alergi bermula dengan sensitasi terhadap alergen spesifik (pada kasus rhinitis alergi, umumnya alergen yang ada di udara), yang dapat menginduksi terbentuknya antibodi IgE. Reaksi ini terjadi karena cascade reaction sel T, sel B, dan sel plasma.

Apabila penderita telah beberapa kali terpapar antigen spesifik, antigen tersebut akan diikat oleh dua antibodi IgE, yang mana IgE ini sudah berikatan dengan sel mast. Sel mast ini banyak terdapat pada lapisan submucosa dari saluran pernafasan dan saluran pencernaan, serta terdapat juga di bagian subconjunctiva mata, dan lapisan subkutan dari kulit. Akibatnya, reaksi IgE ini menyebabkan degranulasi sel mast, yang kemudian menstimulasi terjadinya respon infalmasi dengan menyebabkan pelepasan mediator seperti histamine, leukotrien, sitokin, prostaglandine, dan platelet-activating factor. Rekasi ini termasuk reaksi early-phase atau humeral reaction, dan terjadi dalam waktu 10-15 menit setelah terjadinya paparan alergen; pengeluaran histamine menyebabkan gejala seperti bersin-bersin, rinorrhea, gatal-gatal, vasodilatasi, dan sekresi glandular.

Pelepasan sitokin dan leukotrien kemudian menyebabkan influks dari sel inflamatori (umumnya eosinofil) ke tempat terjadinya reaksi alergi (kemotaksis). Respon inflamasi ini termasuk rekasi late-phase atau celullar reaction, yang

(23)

umumnya terjadi dalam waktu 4-6 jam setelah sensitasi pertama. Reaksi ini dapat memperpanjang respon alergi hingga selama 48 jam. Respon inilah yang menyebabkan gejala kongesti nasal.

Gambar 15. Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernafasan atas yang ditandai dengan rinorrhea, bersin-bersin, gatal, dan kongesti hidung, serta gatal pada palatum

LO3.5 Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau

(24)

bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

Manifestasi Keterangan

Hidung gatal dan bersin-bersin >5x setiap serangan

Histamin – reseptor di ujung saraf vidianus (menggiatkan kerja parasimpatis)

Rinore (ingus encer, jernih dan banyak)

Vasodilatasi, pembesaran sel goblet dan hipersekresi mukus Mata terasa gatal, merah dan

berair (lakrimasi)

Efek inflamasi histamin pada konjungtiva mata melalui duktus nasolakrimalis

Konka membengkak, berwarna pucat/kebiruan

Peningkatan permeabilitas vaskuler - proliferasi jar. ikat dan hiperplasia mukosa, pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal.

Hidung tersumbat

Vasodilatasi sinusoid dan hipersekresi mucus dan edema konka

LO3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Rhinitis Alergi Diagnosis

(25)

Sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah bersin berulang. Gejala lain juga sering dikeluhkan. Tanyakan pula pola gejala beserta onset dan keparahannya. Identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan, kondisi lingkungan, dan pekerjaan. Rhinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shiner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat allergic salute. Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan secret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu dapat pula ditemukan konjugtivitis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

PEMERIKSAAN PENUNJANG A. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radioimunosorbent test ) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test ) atau ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay Test ). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

B. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

(26)

Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test ”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Pemeriksaan IgE total serum

Kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada orang atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (o-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rhinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meingkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostic.

Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode RAST/ Radioallergosorbent test)

Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu allergen. Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik (>85%), akurat dapat diulang dan bersifat kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan allergen terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada tes kulit. Cara lain adalah modified RAST dengan sistem scoring.

Pemeriksaan lain

Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik :

(27)

1. Hitung jenis sel darah tepi

Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rhinitis alergi, tetapi kurang bermakna secara klinik.

2. Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung

Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan), kerokan, bilasan, dan biopsy mukosa. Pengambilaan sediaan untuk pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan allergen atau saat bergejala berat dan biasanya hanya untuk keperluan penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih.

3. Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas tersedia) Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil pemeriksaan diagnostic primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum tes ini lebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik. Tes provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk terjadinya reaksi anafilaksis.

4. Tes fungsi mukosilier (menilai gerakan silia) Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian.

5. Pemeriksaan aliran udara hidung

Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri (anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik misalnya pasca tes provokasi hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.

6. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT scan maupun MRI (bila fasilitas tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi), perselubungan homogeny serta gambaran batas udara cairan di sinus maxilla. Diagnosis banding

(28)

Suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topical dalam waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

2) Rhinitis non alergi eosinofilik

Terjadi kebanyakan pada orang dewasa. Gejalanya bertahan lama, membran mukosa pucat, mungkin disertai polip hidung atau penyakit sinus.

3) Rhinitis neutrofilik (menular)

Terjadi selama tahun-tahun awal masa kanak-kanak. Terdapat keluhan rinore kronis dan penyumbatan hidung, kebanyakan pada cuaca dingin.

4) Rhinitis vasomotor

Menggambarkan suatu gangguan yang diduga akibat dari ketidak seimbangan sistem pengendalian saraf otonom terhadap vaskularisasi mukosa dan kelenjer mukosa, dimana gejalannya memberi kesan sebagai rhinitis alergika namun penyebab alerginya belum dapat diketahui.

LO3.7 Tatalaksana Rhinitis Alergi Non-farmakologi

Hindari pencetus (alergen). Farmakologi

FARMAKOKINETIK 1. Antihistamin AH1

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorbsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam,sedangkan beberaoa derivate piperizin seperti meklizin dan hidrokzin memiliki masa kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya anti histamine generasi II. Dfenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. Hidroksizin merupakan prodrug, dan metabolit aktif hasil karboksilasi adalah setirizin, sedangkan feksofenadin merupakan metabolit aktif hasil karboksilasi

(29)

terfenadin. AH1 diekskresi melalui urin stelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

AH2

a. Simetidin dan Ranitidin

Bioavalibiltas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorbsi simetidiin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segra setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorbs simetidin terutama terjadi pada meit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya pada cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.

Bioavabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira – kira 1.7-3 jam pada orang deasa, dan memanjang pada orang tuag dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidine secara oral, dan ne secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine mengalami metabolsime lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melewati tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresikan dalam urin dalam bentuk asal. Meskipun dari penilitian tidak didapatkan efek yang merugikan pada fetus, namun karena simetidin, ranitidine, dan antagonis reseptor H2 lainnya dapat melalui plasenta maka penggunaannya hanya bila sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melewati ASI dan dapat mempengaruhi fetus.

b. Famotidine

Famaotidin mencapau kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavaibilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidine-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebih 20 jam.

c. Nizatidin

Bioavaibiltas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolirgenik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh

(30)

plasma 1½ jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal: 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

2. Kortikosteroid

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup baik. Untuk mencapau kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivate sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorbsi, mula kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolone bentuk aktifnya dalam tubuh.

Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, saku konjungtiva dan ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteorid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendahm sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitasnya ikatnya relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat dengan albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid; kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonjugasi dengan asam glukornat dan aldosterone afinitasnya rendah.

3. Nasal Dekongestan

A-agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rhinitis alergika atau rhinitis vasomotor dan pada pasien infeksi saluran napas atas dengan rhinitis akut. Obat-obatan ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor α1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.

α1-agonis yang selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa. α1-agonis dapat diberikan per oral (pseudoefedrin, efedrin, dan fenilpropanolamin) atau secara topical (xylometazoline, naphazoline, tetrahydrozoline, oxymetazoline, epinefrin, phenylephrine).

FARMAKODINAMIK 1. Antihistamin

(31)

AH 1

Anti histamin yang digunakan sebagai anti alergi adalah golongan antagonis reseptor H1 atau AH1. Secara farmakodinamik, AH1 dapat menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam otot polos. AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Bronkokonstriksi, peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin dapat dihambat dengan baik. Mekanisme aksi dari antihistamin diantaranya adalah:

a. Mengeblok kerja histamin pada reseptornya

b. Berkompetisi dengan histamin untuk mengikat reseptor yang masih kosong. Jika histamin sudah terikat, antihistamin tidak bisa memindahkan histamin.

c. Pengikatan AH1 mencegah efek merugikan akibat stimulasi histamin seperti vasodilatasi, peningkatan sekret gastrointestinal dan respirasi serta peningkatan permeabilitas kapiler.2

AH 2

Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.

2. Kortikosteroid

Merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi rhinitis alergi hingga saat ini. Efek utama steroid topikal pada mukosa hidung antara lain mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil, mengurangi edema intrasel, dan menghambat reaksi fase lambat yang diperantarai sel mast. Sedangkan efek sampingnya meliputi bersin, perih pada mukosa hidung, sakit kepala dan infeksi Candidia albicans.

EFEK SAMPING 1. Antihistamin AH1

Efek samping yang disebabkan oleh penggunaan AH1 dapat muncul pada dosis terapi meskipun jarang yang bersifat serius dan bisa hilang bila pengobatan

(32)

diteruskan. Toleransi individu juga bisa berbeda-beda terhadap munculnya efek samping. Efek tersering adalah sedasi, yang kadang justru berguna supaya pasien dapat beristirahat. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain ternyata dapat mengurangi efek sedasi ini.

Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, dan tremor. Efek samping lain yang sering muncul adalah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping tersebut dapat berkurang apabila diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu antihistamin non sedatif, lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan.

Efek samping lain yang mungkin muncul oleh AH1 adalah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan. Insiden efek samping karena efek antikolinergik lebih sedikit pada pasien yang mendapatkan antihistamin nonsedatif.

Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazol, itrakonazol atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dapat mengakibatkan perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes). Keadaan tersebut disebabkan karena antimikroba tersebut menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh enzim CYP3A4 sehingga kadar antihistamin dalam darah naik.

Selain memberikan efek samping, terdapat juga laporan mengenai kasus keracunan AH1. Efek sentral AH1 pada anak dapat berupa perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis, dan kejang.

AH2

Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

(33)

2. Kortikosteroid

Efek samping kortikosteroid tergantung pada dosis dan durasi penggunaan. Pemakaian yang singkat dari prednisone, contohnya, biasanya ditoleransi dengan baik dengan efek samping yang sedikit dan ringan. Jangka panjang, dosis-dosis tinggi dari kortikosteroid biasanya menghasilkan efek-efek sampingan yang dapat diprediksi dan berpotensi serius. Efek-efek sampingan yang umum termasuk muka yang membulat (muka bulan), jerawat, bulu tubuh yang meningkat, diabetes, kenaikkan berat badan, hipertensi, katarak-katarak, galukoma, kepekaan terhadap infeksi-infeksi yang meningkat, kelemahan otot, depresi, insomnia, keadaan jiwa yang terombang-ambing, perubahan-perubahan pribadi, sifat lekas marah, dan penipisan tulang-tulang (osteoporosis) dengan ditemani suatu peningkatan risiko dari retak/patah tulag dari tulang belakang karena tekanan (compression fractures). Anak-anak pada yang terkena efek samping kortikosteroid dapat mengalami pertumbuhan kerdil.

Komplikasi yang paling serius dari penggunaan kortikosteroid jangka panjang adalah aseptic necrosis dari sensi-sendi pinggul. Aseptic necrosis berarti kematian dari jaringan tulang. Itu adalah suatu kondisi yang menyakitkan yang akhirnya dapat menjurus pada keperluan mengganti pinggul-pinggul secara operasi. Aseptic necrosis juga telah dilaporkan pada sendi-sendi lutut. Tidak diketahui bagaimana kortikosteroid menyebabkan aseptic necrosis. Kejadian aseptic necrosis yang diperkirakan diantara pemakai-pemakai kortikosteroid adalah 3-4%. Pasien-pasien pada kortikosteroid yang mengembangkan sakit di pinggul-pinggul atau lutut-lutut harus melaporkan sakitnya pada dokterdengan segera. Diagnosis yang lebih awal dari aseptic necrosis dengan penghentian kortikosteroid telah dilaporkan pada beberapa pasien mengurangi keparahan kondisi dan mungkin membantu menghindari pergantian pinggul.

Memperpanjang penggunaan kortikosteroid dapat menekan kemampuan kelenjar-kelenjar adrenal tubuh untuk menghasilkan cortisol (suatu kortikosteroid alami yang perlu untuk berfungsinya tubuh dengan baik). Penghentian kortikosteroid secara tiba-tiba dapat menyebabkan gejala-gejala yang disebabkan oleh suatu kekurangan kortisol alami (suatu kondisi yang disebut kekurangan adrenal). Gejala-gejala dari kekurangan adrenal termasuk mual, muntah, dan bahkan shock. Mencabut kortikosteroid terlalu cepat juga dapat menghasilkan gejala-gejala sakit-sakit sendi, demam, dan rasa tidak enak badan (malaise). Oleh karenanya, kortikosteroid perlu dikurangi secara berangsur-angsur (tapering off) daripada diberhentikan secara tiba-tiba. Bahkan setelah kortikosteroid dihentikan, kemampuan kelenjar-kelenjar adrenal untuk menghasilkan kortisol dapat tetap tertekan berbulan-bulan sampai dua tahun. Kelenjar-kelenjar adrenal yang tertekan mungkin tidak mampu menghasilkan cukup kortisol untuk membantu

(34)

tubuh menangani stres seperti kecelakaan-kecelakaan, operasi, dan infeksi-infeksi. Pasien-pasien ini akan memerlukan perawatan dengan kortikosteroid (prednisone, hydrocortisone, dllnya.) selama situasi-situasi yang penuh stres untuk menghindari pengembangan kekurangan adrenal.

Karena kortikosteroid tidak bermanfaat dalam mempertahankan remisi dari radang borok usus besar dan penyakit Crohn dan karena mereka mempunyai efek-efek sampingan yang dapat diprediksi dan berpotensi serius, obat-obat ini harus dipakai untuk jangka waktu sesingkat mungkin.

3. Imunoterapi : terapi desensitisasi

Imunoterapi bertujuan untuk meningkatkan tingkat toleransi individu terhadap paparan aeroallergen. Mekanisme bagaimana cara kerja imunoterapi saat ini masih belum bisa dijelaskan; beberapa pendapat mengatakan bahwa imunoterapi dapat menginduksi produksi antibodi ‘pemblokir’, dan juga regulasi terhadap serangkaian respon imun yang menyebabkan reaksi alergi.

Indikasi imunoterapi adalah apabila adanya farmakoterapi yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang, atau terapi yang inadekuat (ataupun intoleransi terhadap obat), dan juga sensitivitas terhadap alergen yang signifikan. Sebelum melakukan imunoterapi, klnisi harus memastikan bahwa pasien mengalami atopic, yaitu dengan cara memeriksakan IgE pasien terhadap spesifik alergen.

Cara tatalaksana imunoterapi (di Amerika Serikat) adalah dengan meningkatkan dosis paparan antigen secara bertahap, hingga gejala berkurang. Pada beberapa klinik, imunoterapi sublingual menjadi pilihan. Imunoterapi lebih umum dilakukan di Eropa dan cenderung lebih aman dan mudah untuk dilakukan mandiri di rumah .

(35)
(36)

LO3.9 Komplikasi Rhinitis Alergi

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

LO3.10 Prognosis Rhinitis Alergi

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

(37)

Pintu masuk kotoran ke dalam tubuh, salah satunya adalah melalui lubang hidung. Berbagai kotoran dan debu yang beterbangan dan tak terlihat oleh mata, dapat terhirup masuk ke dalam hidung. Apalagi dengan polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Hal itu dapat menyebabkan kesehatan terganggu. Karena itu, sebaiknya kita senantiasa menjaga kebersihan hidung dengan cara membersihkannya menggunakan air, yaitu memasukkannya (menghirup) ke dalam hidung kemudian dikeluarkan kembali.

Dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Salim, tentang manfaat kesehatan wudhu, dijelaskan, bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar, maka tubuh seseorang akan terhindar dari segala penyakit. “Sesungguhnya cara berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan lalu berkumur-kumur, kemudian mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung lalu mengeluarkannya. Langkah ini dilakukan sebanyak tiga kali dan seterusnya.” Dan berdasarkan analisisnya, orang-orang yang tidak berwudhu, maka warna hidung mereka memudar dan berminyak, terdapat banyak kotoran dan debu. Ditambah lagi, rongga hidung mereka itu memiliki permukaan yang lengket dan berwarna gelap. Adapun orang-orang yang teratur dalam berwudhu, jelas Salim, permukaan rongga hidungnya tampak cemerlang, bersih, dan tidak berdebu. Selain itu, jumlah kuman tampak lebih banyak terdapat pada rongga hidung orang yang tidak berwudhu, dan itu menjadi tempat pertumbuhan kuman penyakit. Kondisi tersebut, akan mempercepat pertumbuhan dan penularan kuman penyakit lainnya. Sementara itu, orang-orang yang senantiasa mengerjakan wudhu, maka hidung mereka tampak bersih dari kuman. Bahkan, lanjut Salim, tempat pertumbuhan kuman relatif tidak ada.

Penelitian Muhammad Salim ini juga menjelaskan, bahwa orang yang berwudhu dengan memasukkan air ke dalam rongga hidungnya, kendati hanya sekali, maka hal itu dapat membersihkan hidung dari separoh penyakit.

Selanjutnya, bila memasukkan air ke dalam rongga hidung sebanyak dua kali, maka dapat menambah sepertiga kebersihan. Kemudian, jika memasukkan air sebanyak tiga kali, maka hidung benar-benar bersih dari kuman.

Dari hal yang tampaknya kecil dan bahkan disepelekan, ternyata wudhu mengandung hikmah yang sangat besar manfaatnya bagi kesehatan seseorang. Rasul SAW bersabda: “Sempurnakan wudhu, lakukan istinsyaq, yaitu memasukkan air ke dalam lubang hidung, kecuali jika kamu berpuasa.”

Secara ilmiah telah dibuktikan, besarnya manfaat yang bisa dipetik dari wudhu, terutama dalam hal membersihkan lubang hidung. Logikanya, apabila sekali berwudhu dan melakukan istinsyaq, maka hal itu dapat menjaga kebersihan

Gambar

Gambar 11. (A) Anatomi laring; (B) Fungsi fonasi dari laring, menunjukkan posisi dari pita suara pada keadaan fonasi yang berbeda-beda
Gambar 12. Komponen lumen mucosal saluran pernafasan. Sel epitel silindris berlapis dengan cilia dilapisi oleh mucus (diproduksi oleh sel goblet dan glandula bronchialis), dan juga cairan yang mengandung berbagai macam protein, termasuk immunoglobulin dan
Gambar 14. Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kasus rhinitis alergi  dan asma
Gambar   15.  Rhinitis   alergi   merupakan   penyakit   inflamasi   pada   saluran pernafasan atas yang ditandai dengan rinorrhea, bersin-bersin, gatal, dan kongesti hidung, serta gatal pada palatum

Referensi

Dokumen terkait

Berikut adalah hasil pengujian yang telah dilakukan pada rancangan aplikasi publikasi digital video dan text berjalan menggunakan JavaFX. Hasil Pengujian Antar muka

Kecepatan konduksi biasa digunakan untuk syaraf sensorik yang dapat di ukur dengan menstimulasi satu bagian dan merekam pada beberapa bagian atau beberapa lokasi yang diketahui

Pada formula 3 yang mengandung kombinasi glycolic acid dan salcylic acid dengan formula 0 yang mengadung basis gel didapatkan hasil yang sangat berbeda nyata dimana

Kabupaten Ogan Komering Ilir No...

330 13032915710505 MAFRIKHA Guru Bahasa Inggris SMP NURUSSYIBYAN PAGUYANGAN MENGULANG SUTN, SUTL, Kab. ROMLI Seni Budaya SMP MUHAMMADIYAH 1 SIRAMPOG MENGULANG SUTN,

T ujuan penelitian ini adalah untuk : 1) Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan perkawinan beda agama. 2) Mengetahui pelaksanaan perkawinan beda agama

Dalam bagian ini akan disajikan hasil dan pembahasan konteks pemakaian istilah asing bidang fashion di kalangan sosialita kota Bandung. Pristiwa tutur

Outlook energi Indonesia 2013 : pengembangan energi dalam mendukung sektor transportasi dan industri pengolahan mineral = Indonesia energy outlook 2013 : energy development