• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGGUNAAN BENIH GENERASI F2 dan F3 TERHADAP PRODUKTIVITAS JAGUNG HIBRIDA SILANG TIGA JALUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGGUNAAN BENIH GENERASI F2 dan F3 TERHADAP PRODUKTIVITAS JAGUNG HIBRIDA SILANG TIGA JALUR"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGGUNAAN BENIH GENERASI F2 dan F3

TERHADAP PRODUKTIVITAS JAGUNG HIBRIDA

SILANG TIGA JALUR

Fauziah Koes dan Ramlah Arief

Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi 274 Maros, Sulawesi Selatan

cia_mmt99@yahoo.com ramlah.arief@yahoo.com

ABSTRAK

Penggunaan benih hibrida turunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masih menjadi pilihan petani khususnya pada pertanaman musim tanam kedua. Alasannya sangat sederhana yaitu harga benih hibrida mahal dan resiko gagal panen. Untuk menghindari kerugian, petani cenderung lebih memilih menanam generasi kedua (F2) dari pertanaman sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan benih generasi F2 dan F3 terhadap produktivitas jagung hibrida silang tiga jalur (STJ 01). Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu Bajeng di Takalar dan KP.Bajeng di Gowa dengan dua Musim Tanam yaitu MT. 2012 dan MT. 2013. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan. Benih yang digunakan sebagai perlakuan pada penelitian tahun 2012 di Bajeng Takalar merupakan benih generasi kedua (F2) hibrida Silang Tiga Jalur (STJ 01) yang berasal dari Gowa, Takalar, Sidrap, Luwu, Enrekang, Sulsel dan Donggala, Sulteng. Benih generasi ke tiga (F3) hibrida Silang Tiga Jalur (STJ 01) hasil pertanaman di Takalar digunakan sebagai benih yang ditanam di Bajeng Gowa pada tahun 2013. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah Analisis sifat fisik dan kimia tanah, Tinggi tanaman, Tinggi letak tongkol, Bobot tongkol kupasan, Kadar air panen, Panjang tongkol, Diameter tongkol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan benih generasi F3 jagung hibrida silang tiga jalur menurunkan hasil/produktivitas sebesar 21,82 %.

Kata kunci: benih, F2, benih F3, jagung, produktivitas, hibrida

PENDAHULUAN

Penyediaan benih jagung di tingkat petani melalui beberapa cara, yaitu : bantuan pemerintah (berupa BLBU atau subsidi harga benih), penyimpanan benih skala kecil oleh petani, melalui di kios/pasar, meninjam dan digantikan/dibayar pada saat panen/musim berikutnya, dan penangkaran benih oleh petani. Hingga saat ini di beberapa wilayah Indonesia, petani masih sulit memperoleh benih secara cepat, tepat dengan harga yang terjangkau. Harga benih F1 hibrida yang cukup tinggi (berkisar Rp. 40.000 – Rp. 70.000/kg) membuat sebagian besar petani tidak mampu membeli benih F1 pada setiap musim tanam. Akibatnya mereka memanfaatkan hasil panen jagung hibrida (F1) untuk digunakan sebagai benih (F2) seperti yang terjadi di kecamatan Sambelia kabupaten Lombok Timur. Bahkan di Alas Barat kabupaten Sumbawa para petani jagung memesan hasil panen jagung hibrida dari sawah irigasi dari kabupaten Lombok Timur untuk ditanam sebagai benih (F2) di lahan mereka (Saenong et al., 2009).

Hibrida adalah keturunan pertama dari hasil persilangan antara galur tetua silang dalam yang memiliki genotipe berbeda (Poehlman dan Sleper, 1995 dan Slamet,

(2)

1992). Menurut Hallauer dan Miranda (1988), terdapat tiga aspek utama yang harus dimiliki oleh suatu hibrida, yaitu keseragaman, hasil tinggi, dan stabilitas tinggi. Lebih lanjut dikemukakan oleh Slamet (1992) bahwa, suatu hibrida yang unggul harus mempunyai potensi hasil yang tinggi, baik bila ditanam di tempat yang sesuai maupun yang kurang sesuai.

Produksi benih jagung hibrida tidaklah merupakan hal yang sederhana. Sebagai gambaran, untuk memperoleh benih hibrida silang tiga jalur harus melalui tiga tahap. Mula-mula harus memperbanyak benih dasar galur-galur inbridanya, setelah itu membuat benih dasar silang tunggal, dan selanjutnya memproduksi benih sebar hibrida silang tiga jalur.

Di negara-negara berkembang penggunaan benih hibrida regenerasi (recycled

hybrid) dianggap lebih murah dan menguntungkan dibandingkan penggunaan benih

F1 baru pada setiap musim tanam, seperti yang terjadi di Filipina (Sola et al. 2004 ; Heisey et al. 1997); dan di Nikaragua (Ortega-Sequera et al. 1993). Di India penggunaan benih regenerasi juga telah berkembang luas (Singh dan Morris 1997), sedangkan di Malawi, hasil yang sedikit lebih rendah tidak menjadi masalah bagi petani sehingga adopsi benih hibrida regenerasi tergolong cukup tinggi (Wright dan Tyler 1994).

Penurunan hasil yang terjadi akibat penggunaan benih F2 telah diteliti. Seperti yang dilakukan oleh Espinosa-Calderon et al. (1990) di Meksiko bahwa penurunan hasil akibat penggunaan benih F2 masing-masing sebesar 42% dari benih F1 silang tunggal dan 25% dari benih F1 silang ganda. Selanjutnya hasil penelitian Rudraprasad (2009) pada beberapa jagung varietas hibrida dan komposit, bahwa terjadi penurunan pada beberapa parameter pertumbuhan, hasil biji dan mutu hasil seperti daya simpan benih generasi F2 yang lebih rendah dibandingkan benih F1 melalui uji pengusangan cepat (Accelerated Aging Test).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan benih regenerasi terhadap pertumbuhan, hasil biji dan mutu benih jagung hibrida silang tiga jalur.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap : Tahap I tahun 2012, pertanaman dilaksanakan di lahan petani di Bajeng, Kab. Takalar. Benih F2 yang ditanam ialah benih yang berasal dari beberapa lokasi pertanaman F1 di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah (Perlakuan). Hasil penanaman di Kab. Takalar, selanjutnya disebut benih F3 ditanam di KP Bajeng Gowa pada tahun 2013.

Pertanaman F2

Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Agustus 2012 di lahan petani di Desa Bajeng, Kab. Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan.

Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat ulangan. Sebagai perlakuan adalah benih hasil panenan F1 (F2) yang berasal dari beberapa lokasi sebagai berikut : (1) F1 dari Takalar, Sulsel; (2) F1 dari Sulteng; (3) F1 dari Gowa, Sulsel; (4) F1 dari Luwu, Sulsel; (5) F1 dari Sidrap; dan (6) F1 dari Enrekang. Sebelum penanaman tanah diolah dengan cara membajak lalu dilakukan

(3)

penggaruan untuk menghancurkan bongkahan tanah dan dilakukan perataan serta rotary untuk lebih memperhalus tekstur tanah. Setiap perlakuan ditanam pada petak berukuran 2,8 x 9 m dengan jarak tanam 70 x 20 cm. Pertanaman dipupuk dengan pupuk urea 350 kg/ha dan pupuk phonska 200 kg/ha. Pupuk urea diberikan 2 kali yaitu pada tanaman berumur 10 hari setelah tanam (HST) bersamaan dengan pupuk phonska. Pupuk urea II diberikan pada tanaman berumur 30 HST. Pengairan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Panen dilakukan pada saat tanaman telah masak fisiologis yaitu dengan ditandai terbentuknya black layer pada biji.

Pertanaman F3

Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Agustus 2013 di Instalasi Kebun Percobaan Bajeng, Kabuipaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan.

Perlakuan dalam penelitian ini adalah benih F3 yang berasal dari panenan pertanaman di Bajeng Takalar pada MT 2012. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Setiap perlakuan ditanam pada petak berukuran 4,9 x 3 m dengan jarak tanam 70 x 20 cm. Pertanaman dipupuk dengan pupuk urea 350 kg/ha dan pupuk phonska 200 kg/ha. Pupuk urea diberikan 2 kali yaitu pada tanaman berumur 10 hari bersamaan dengan pupuk phonska. Pupuk urea II diberikan pada tanaman berumur 30 hari. Pengairan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Panen dilakukan pada saat tanaman telah masak fisiologis yaitu dengan ditandai terbentuknya black layer pada biji.

Parameter Pengamatan dalam penelitian ini adalah :

1. Analisis sifat fisik dan kimia tanah. Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia Tanah Balai Penelitian Tanaman Serealia.

2. Tinggi Tanaman (cm). Tanaman jagung tidak akan bertambah tingginya setelah stadia pembungaan. Tanaman dipilih sebanyak 10 tanaman secara acak disetiap petakan. Tinggi tanaman diukur dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan.

3. Tinggi Letak Tongkol (cm). Dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman. Tanaman diukur dari permukaan tanah sampai dasar kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas/tongkol yang normal perkembangannya.

4. Bobot Tongkol Kupasan. Tongkol yang dipanen, setelah dikupas ditimbang beratnya per petak. Data ini digunakan untuk menghitung hasil per petak, selanjutnya dikonversi ke satuam berat per satuan luas.

5. Kadar Air Panen (%). Pengukuran kadar air panen menggunakan alat Seed Moisture Tester. Pengukuran data kadar air dilakukan bersamaan dengan pengukuran berat tongkol kupasan

6. Panjang Tongkol (cm). Panjang tongkol diukur pada pangkal sampai ke ujung tongkol yang berbiji

7. Diameter Tongkol

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik lokasi pengujian berupa sifat fisik-kimia tanah untuk MT 2012 dan MT 2013 disajikan pada Tabel 1.

(4)

Hasil analisis tanah pada lahan percobaan di KP Bajeng menunjukkan tekstur tanah ringan - sedang dengan 87% fraksi tanah terdiri dari debu dan pasir, sedangkan liat hanya 13%. pH tanah tergolong agak masam yaitu 5, 6. Kandungan P tanah adalah 29,99 ppm termasuk tinggi.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah lokasi pengujian produktivitas silang tiga jalur pada MT 2012 dan MT 2013.

Uraian Bajeng (Gowa) Bajeng (Takalar)

Tekstur : Loam Silty loam

Liat (%) 13 47 Debu (%) 47 44 Pasir (%) 40 9 pH Air (1:2,5) 5,6 6,26 KCL (1:2.5) 5,0 5,28 C,Organik (%) 1,94 0,73 N- total (%) 0,09 0,09 C/N - 8,11 P Bray 1 (ppm) 29,90 35,20 Olsen (ppm) Total (mg/100 gr) K. Total (mg/100 gr) Kdd (me /100 gr ) 0,43 0,35 Cadd (me /100 gr ) 6,12 9,06 Mgdd (me /100 gr ) 1,02 3,91 Nadd (me /100 gr ) 0,19 0,32 Al-dd (me/100 gr) - H+ (me/100 gr) 0,06 0,03 Kejenuhan DHL (mmhos) KTK (me/100 gr) 9,8 11,27 Kejenuhan basa (%) 79,0 122,36 Contoh tanah dianalisis di Laboratorium Balitsereal Maros

Pengamatan terhadap karakter agronomis menunjukkan tinggi tanaman pada saat panen menunjukkan bahwa pada MT 2012 benih F2 yang berasal dari Takalar dan Enrekang (187,67 cm dan 188,33 cm) tanamannya relatif lebih pendek dibandingkan dengan benih F2 yang berasal dari Labuan Sulteng (205 cm) . Informasi tentang tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol sangat penting untuk budidaya jagung karena daerah-daerah tertentu yang cocok untuk tanaman yang lebih pendek, terutama pada daerah yang tinggi dengan tiupan angin kencang (Azrai et al, 2004). Sedangkan untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata untuk benih F3 yang ditanam pada MT 2013 di Kabupaten Gowa. Pada pengamatan tinggi letak tongkol benih F2 dan benih F3 memperlihatkan semua perlakuan berbeda nyata (Tabel 2).

Karakter tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol sangat berperan terhadap hasil. Menurut Basir, et al. (1998), karakter letak tongkol mempunyai peran besar dan positif terhadap hasil. Kedua karakter tersebut akan memberi sumbangan yang nyata baik terhadap kuantitas maupun kualitas hasil. Apabila letak tinggi tongkol dengan

(5)

tinggi tanaman seimbang atau letak tongkol pada pertengahan batang maka yang demikian termasuk posisi tanaman yang ideal. Letak tongkol yang terletak pada pertengahan tinggi tanaman dan bila didukung oleh batang yang kuat akan menyebabkan tanaman tahan rebah, dan bila letak tongkol lebih tinggi dari pertengahan batang maka peluang untuk terjadi rebah batang atau tanaman akan patah.

Tabel 2. Karakter agronomis benih F2 dan F3 dari beberapa lokasi produksi hibrida silang jalur pada MT 2012 dan MT 2013 di Kabupaten Takalar dan Gowa Sulawesi Selatan

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Tinggi Letak Tongkol (cm) Benih F2 Benih F3 Benih F2 Benih F3 Takalar Sulsel 187,67 c 171,07 tn 92,17 cd 75,50 b Donggala Sulteng 205,00 ab 179,60 83,67 e 73,67 b Gowa Sulsel 197,00 b 179,83 97,67 a 87,67 a Palopo Sulsel 198,33 b 178,97 89,75 d 79,75 ab Sidrap Sulsel 211,67 a 175,97 95,08 b 85,08 a Enrekang Sulsel 188,33 c 178,80 94,42 bc 84,42 a

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan, tn = tidak nyata

Panjang tongkol dan diameter tongkol pada benih F2 (MT. 2012) tidak berbeda nyata antar setiap perlakuan (Tabel 3). Tetapi benih F3 memperlihatkan hasil berbeda nyata antar setiap perlakuan. Panjang tongkol benih F3 yang ditanam pada MT 2013 bervariasi antara 16,89 cm sampai 19,68 cm. Hasil analisis keragaman memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada benih F3 (MT. 2013).

Tabel 3. Panjang Tongkol (cm) dan Diameter Tongkol benih F2 dan F3 dari beberapa lokasi produksi hibrida silang jalur pada MT 2012 dan MT 2013 di Kabupaten Takalar dan Gowa Sulawesi Selatan

Perlakuan Panjang Tongkol (cm) Diameter Tongkol Benih F2 Benih F3 Benih F2 Benih F3 Takalar Sulsel 19,27 tn 17,56 ab 5,08 tn 4,76 tn Donggala Sulteng 19,41 17,34 ab 5,04 4,65 Gowa Sulsel 19,76 19,68 a 5,09 4,66 Palopo Sulsel 18,61 16,89 b 5,02 4,70 Sidrap Sulsel 19,01 17,61 ab 5,00 4,62 Enrekang Sulsel 18,10 17,58 ab 4,81 4,68

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan tn = tidak nyata

Dari segi produktivitas terlihat bahwa benih F2 yang ditanam hasilnya lebih tinggi bila dibandingkan benih F3. Ini menujukkan bahwa ada penurunan produktivitas dengan penggunaan benih regenerasi rata-rata sebesar 21,82 % (Gambar 1). Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi penurunan kualitas benih sesudah masak fisiologis. Oleh karena itu panen mestinya dilakukan pada saat masak fisiologis

(6)

Gambar 1. Produktivitas (ton/ha) benih F2 dan F3 yang berasal dari beberapa lokasi produksi hibrida Silang Tiga Jalur

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan benih regenerasi benih hibrida silang tiga jalur dari F2 ke F3 dapat menurunkan hasil sebesar 21,82 %.

DAFTAR PUSTAKA

Azrai, M., F. Kasim, M.B.Pabendon, J.Wargiono, J.R. Hidayat, dan Komaruddin. 2004. Penampilan beberapa genotipe jagung protein mutu tinggi (QPM) pada lahan kering dan lahan sawah. Penelitian Pertanian. 23 (3): 123 – 131.

Espinosa-Calderon AE, MT. Robledo & RV. Bernal. 1990. Capacidad productiva de semilla F1, F2 y F3 del hibrido simple de maiz H-34. Proceedings of the 12th National Congress of Phytogenetics, 3-7 September, Ciudad Juarez, Chihuahua, Mexico.

Hallauer, A.R. and J.B. Miranda. 1988. Quantitative Genetic in Maize Breeding. Iowa State University Press, Ames, USA.

Heisey P, ML. Morris, D. Byerlee and MA. Lopez-Pereira. 1997. Economics of hybrid maize adoption. In: M. L. Morris (ed.), Maize Seed Industries in Developing Countries. Lyn Reinner Publishers, Boulder, Colorado, USA.

Ortega-Sequiera I, Bos H & Pasquier J. 1993. Semillas, sistemas locales de provision de semillas de maiz y frijol. In: Cuadernos del Centro Para la Investigacion, la Promocion y el Desarollo Rural y Social (CIPRES), Managua, Nicaragua

Poehlman and Sleper, 1995. Breeding Field Crops. Fourth Edition. Iowa State University, Ames, USA.

Saenong, S. Margaretha, M.Sudjak, Y. Sinuseng, F. Koes dan O. Komalasari. 2009. Pembentukan dan pemantapan produksi benih bermutu mendukung Industri benih berbasis komunal. Laporan Akhir Tahun. Balai Penelitian Tanaman Serealia.

(7)

Singh RP and ML. Morris. 1997. Adoption, management and impact of hybrid maize seed in India. CIMMYT Economics Program Working Paper 97-05. Mexico. Slamet, S. 1992. Pembuatan Jagung Hibrida. Makalah Disampaikan pada Latihan

Produksi Jagung Hibrida di Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang pada Tanggal 7-8 September1992. Hal 1-8.

Sola , M. G. P., J. S. Lales, G. M. Villegas, and A. L. Tagle. 2004. Response of Recycled Hybrid Maize (Zea mays L.) to Different Levels of Nitrogen Application. Philippine Journal of Science 133 (1) : 23-31.

Wright M and P. Tyler. 1994. Traditional seed saving practices in Northern Ghana and Central Malawi, R2102(S), NRI. Chatham.

Gambar

Gambar 1. Produktivitas (ton/ha) benih F2 dan F3 yang berasal dari beberapa lokasi           produksi  hibrida Silang Tiga Jalur

Referensi

Dokumen terkait