• Tidak ada hasil yang ditemukan

KALIMAH ṬAYYIBAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN LAFADZ LĀ ILĀHA ILLALLĀH. (QS. Ibrāhīm [14]: 24 dalamtafsir Al-Qusyairī)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KALIMAH ṬAYYIBAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN LAFADZ LĀ ILĀHA ILLALLĀH. (QS. Ibrāhīm [14]: 24 dalamtafsir Al-Qusyairī)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ILĀHA ILLALLĀH

(QS. Ibrāhīm [14]: 24 dalamTafsir Al-Qusyairī)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

Eneng Ima Siti Madihah NIM: 1110034000122

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)

Skripsi ini berjudul " Kalimah Ţayyibah Dan Hubungannya Dengan Lafadz Lâ Ilâ Illallâh: (QS. Ibrāhīm [14]: 24 dalam Tafsir Al-Qusyairȋ)" telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada: Kamis, 9 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir Hadis.

Ciputat, 9 Juli 2015 Ketua Merangkap Anggota,

Dr. M. Suryadinata, MA NIP: 19600908 198903 1 005

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Banun Baniningrum, M. Pd NIP. 19680618 199903 2 2001

Anggota, Penguji I

Prof. Dr. Hamdani Anwar NIP. 19530107 198303 1 001 Penguji II Eva Nugraha, MA NIP: 19710217 199803 1 002 Pembimbing Kusmana, MA NIP. 19650424 199503 1 001

(4)
(5)

i ABSTRAK

Eneng Ima Siti Madihah

Kalimah Ṭayyibah Dan Hubungannya Dengan Lafadz Lā Ilāha Illallāh: (QS. Ibrāhīm [14]: 24 dalamTafsir Al-Qusyairī)

Allah Swt menjadikan QS. Ibrāhīm [14]: 24 sebagai perumpamaan dalam menggambarkan iman dan makrifat. Dalam ayat tersebut lafadz kalimah ṭayyibah ditafsirkan sebagai lā Ilāha Illallāh yang digunakan sebagai legitimasi akan kevalidan iman dan makrifat seorang Muslim. Hal ini tercantum dalam tafsir Laṭā’if Isyārāt karya al-Qusyairī. Tafsir tersebut dikenal sebagai tafsir yang moderat, ini terlihat dari usaha beliau yang menyelaraskan antara syariat dan hakikat dalam pemahaman tasawufnya, bahwa dituntut adanya keseimbangan seorang Muslim dalam menjalankan ibadah syariat dan bertasawuf sebagai jalan hakikat.

Tasawuf menjadi salah satu aspek dari peradaban umat Muslim dari zaman ke zaman. Sehingga mengalami keterkikisan pemahaman mengenai substansinya. Dengan adanya pemahaman terhadap tasawuf yang padu, diharapkan dapat menjadi landasan utama untuk menghidupkan kembali nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw di era kontemporer. Seperti itu juga pemikiran al-Qusyairī mengenai tasawuf, bahwa tanpa pemahaman terhadap nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, setiap tantangan dan solusi yang diajukan serta jawaban yang diberikan terhadap setiap persoalan yang dihadapi umat Muslim tidak dapat mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam. Bahkan sangat memungkinkan untuk bertentangan dengannya.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang pantas diucapkan selain rasa syukur kepada Allah Swt yang begitu dalam atas segala nikmat yang tak mampu diurai. Shalawat berbingkai salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw pembawa kabar gembira dan kemenangan.

Setelah melalui tahap yang panjang untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam jenjang Strata I (SI) di Prodi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan cukup baik. Maka setelah syukur dan shalawat salam, ucapan terimakasih patut penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan banyak bantuan, pelajaran dan kontribusi dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Prof. Dr. Dede Rosyada), Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Prof. Dr. Masri Mansour, MA), Ketua Jurusan Tafsir-Hadis (Dr. Lilik Ummi Kaltsum), dan Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis (Banun Binaningrum, MA.), serta dosen-dosen yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis, juga kepada para staf dan pegawai yang telah menyiapkan sarana prasarana pembelajaran sehingga proses belajar dan mengajar dapat terselenggara dengan baik.

2. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Drs. Kusmana, MA selaku pembimbing dari skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membaca, memberi koreksi, kritik, dan saran-saran demi perbaikan penulisan skripsi ini.

(7)

iii

3. Kepada Ayahanda tercinta Drs. KH. Ahmad Zidni Ma’ani (alm.) dan Ibunda tercinta Romdlon Farihah, S. Pd. I. Salam hormat takdzim dan terimakasih sebanyak-banyaknya penulis haturkan atas kasih sayang, pengorbanan, doa-doa, dukungan, dan pendidikan yang telah mereka berikan, yang tidak pernah lekang ditelan masa. Kepada mereka berdua penulis dedikasikan skripsi ini. Semoga setiap manfaat dari skripsi ini dapat menjadi ladang pahala bagi mereka berdua. Kepada adik-kakak tercinta dan tersayang Ce Enung, Ka Shofie, De Ova, Aa Asep, Neng Ana, Arul, dede Ratu Jatiayu, Aa Rifqi, terimakasih banyak atas dukungan dan doa yang tiada henti kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Untuk Sahabat seperjuangan: Kuya Rangers (Fatwa, Azam, Acung, Dedi, Firman, Ozi, Reza, Jajang, kaji Angga, Miftah dll) juga kepada Nunung Iyoh Sunaziah, Umu Kultsum, Denis dan keluarga besar KOMFUSPERTUM kalian sahabat-sahabat terbaik di dunia, terimakasih atas rasa kekeluargaan dan persaudaraannya.

5. Sahabat/i Tafsir Hadis UIN Syarif hidayatullah angkatan 2010 (Hany, Popon, Sari, Bocil, Aan, Novi, Idoh, Gozali, Karomen, Hanif, Raja, Gusti, Ari, Pres Rasyidi, dll) terimakasih atas persahabatan, dukungan, dan motivasinya. Semoga kita dapat bersua dipuncak kesuksesan dan ilmu yang kita peroleh dapat bermanfaat. Kepada Gus Ahsan, penulis haturkan terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama ini sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada kakak-kakak senior yang sudah banyak membantu dengan meminjamkan buku-bukunya, semoga mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah Swt.

Pada akhirnya, penulis hanya mampu untuk menengadahkan tangan dan berdoa, kepada Allah swt penulis pasrahkan segalanya. Semoga Allah swt senantiasa ridla atas setiap langkah kita dan membukakan samudera ilmu-Nya untuk kita semua.

(8)

iv DAFTAR ISI ABSTRAK ……… i KATA PENGANTAR ……… ii DAFTAR ISI ……… iv DAFTAR TABEL ……… vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ……… vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 9

D. Metodologi Penelitian ……… 9

E. Tinjauan Pustaka ……… 10

F. Sistematika Penulisan ……… 12

BAB II: BIOGRAFI & PEMIKIRAN AL-QUSYAIRĪ A. Biografi Al-Qusyairī ……… 14

B. Riwayat Pendidikan Al-Qusyairī ………... 17

C. Karya dan Pemikiran Al-Qusyairī ...………... 19

BAB III: PERKEMBANGAN TAFSIR SUFI SEBELUM DAN SESUDAH AL-QUSYAIRĪ A. Sejarah Perkembangan Tasawuf ………... 30

B. Tafsir Sufistik Sebelum Al-Qusyairī ………... 34

(9)

v

D. Tafsir Sufistik Sesudah Al-Qusyairī ……… 46

BAB IV: TAFSIR KALIMAH ṬAYYIBAH QS. IBRĀHĪM [14]: 24 DAN LAFADZ LĀ ILĀHA ILLALLĀH

A. Tafsir Al-Qusyairī tentang QS. Ibrāhīm [14]: 24 ...….………... 54

B. Munasabah Ayat ………. 63

C. Sisi Moderat Penafsiran Al-Qusyarī atas QS. Ibrāhīm [14]: 24 …... 67 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ...………... 79

B. Saran dan Kritik ………. 79

(10)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perbandingan Penafsiran 3 Mufassir ……….. 53

(11)

vii PEDOMAN TRANSLITERASI A. Konsonan ﺀ = ’ ﺮ = r غ ═ gh ب ═ b ز ═ z ف ═ f ت ═ t س ═ s ق ═ q ث ═ ts ش ═ sy ك ═ k ج ═ j ص ═ ṣ ل ═ l ح ═ ḥ ض ═ ḍ م ═ m خ ═ kh ط ═ ṭ ن ═ n د ═ d ظ ═ ẓ و ═ w ذ ═ dz ع ═ ‘ (ayn) ة ═ h /ه ي ═ y

B. Vokal dan Diftong

Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong َ═ a َ —ا ═ ā ى َ ═ ī َ ═ i َ —ى ═ á و َ ═ aw َ ═ u َ —و ═ ū ي َ ═ ay

B. Keterangan Tambahan

1. Kata sandang لا (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya (نوعاملا) al-mā’ūn dan ( ةّمذلا ) al-dzimmah. Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.

2. Tasydīd atau syaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-muwaṭṭaʽ. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia,

(12)

viii

ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya. C. Singkatan Swt = Subḥānahu wa ta’ālā As = ‘Alaihi al-Salām M = Masehi QS = al-Qur’ān Sūrah

Saw = Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam H = Hijriyah

r.a = Raḍiya Allāh ‘anhu w = Wafat

(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan al-Qur’an diyakini memiliki kebenaran mutlak, namun kebenaran produk penafsirannya bersifat relatif. Karena tafsir merupakan buah dari respon mufassir atas teks kitab suci, kondisi dan problem sosial yang terjadi dimasanya. Karenanya, ada jarak antara al-Qur’an dan mufassir. Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada waktu tertentu dalam sejarah sering kali menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Ayat-ayat tersebut tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan. Oleh karena itu, terutama seorang mufassir, dituntut untuk mampu menangkap ideal moral yang terkandung di dalam al-Qur’an.1 Hal itu terjadi karena manusia adalah makhluk yang terlampau bebas memahami kenyataan yang dihadapi, manusia adalah makhluk biologis yang memiliki insting dan kebutuhan sehingga pengetahuan dan pemahaman juga terbentuk dari kondisi materiilnya.2

Al-Qur’an adalah mukjizat agama Islam yang unik yang menyiratkan kecocokan dan koreksi atas ilmu pengetahuan. Dewasa ini, ketika disebutkan kata al-Qur’an maka yang terlintas di benak adalah sebuah kumpulan kertas yang dibaca oleh

1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKis, 2012), h. 56.

2 Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: LP3ES, 2009), h.

(14)

2

umat Islam yang bertuliskan bahasa Arab, dan disakralkan. Sugesti semacam inilah yang terjadi pada masyarakat, tanpa memandang bagaimana dan apa yang dimaksudkan dengan al-Qur’an dalam pandangan syariat.3

Pada awal penurunannya, menurut Nasr Hamid Abu Zaid, wahyu bergerak dari Allah menuju kepada manusia. Gerak tersebut dimaksudkan agar wahyu dieksplorasi, diungkap dan dijelaskan. Sebelumnya, wahyu diturunkan kepada manusia sebagai anggota masyarakat yang bertujuan untuk merekonstruksi realitas demi mewujudkan kemaslahatan manusia dan memenuhi kebutuhan materi dan rohaninya. Gerak manusia perspektif sufi dimaksudkan untuk membebaskan subjek-individu dengan jalan yang merangkul Yang Mutlak dan melebur dengan-Nya. Gerak menyingkapkan berubah menjadi gerak disingkapkan. Teks yang menyingkapkan sekadar menjadi alat untuk membuka dan menyingkapkan pembicara teks dan menyatu dengannya.4

Maksud al-Qur’an tersebut dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir, di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan para ‘ulamā yang disertai dalil-dalil, baik yang berasal dari hadīts dan sunnah Rasūl, bi al-ma‘tsūr,5

ataupun berasal dari pemikiran mereka

3 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir

Kalamullah, hal. 28.

4 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Al-Qur’an,

Penerjemah: Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 309.

5 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir

(15)

sendiri dan ilmu-ilmu yang mereka kuasai baik tentang bahasa, tasawuf atau keilmuan lainnya, yang biasa dikenal dengan penafsiran bi al-ra’yu.6

Dalam konteks penafsiran terhadap al-Qur’an akhirnya bermunculan berbagai corak dan cara menafsirkan kitab suci umat Islam tersebut. Sufisme, adalah salah satu sisi dalam Islam yang tidak luput dari perkembangan tafsir Qur’an. Artinya al-Qur’an ditafsiri dengan cara pandang para sufi. Sebab kenyataannya, sufi adalah jalan mistis yang ditempuh oleh para pencinta yang bertujuan mistik, tidak terlukiskan, tidak dapat dipahami dan tidak dapat dijelaskan dengan cara persepsi apapun; baik filsafat maupun penalaran tidak dapat mengungkapnya. Diperlukan pengalaman rohani yang tidak tergantung pada metode-metode indera ataupun pikiran, namun dibimbing oleh batin.7

Tafsir sufi tersebut disebut dengan tafsīr isyārī yang sumber penafsirannya selain riwayat dan nalar, adalah intuisi. Caranya ialah dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak sesuai dengan makna yang secara lahir, dengan berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak oleh orang-orang yang sedang menjalani suluk, dan bisa dikompromikan dengan dengan makna lahir.8 Menurut Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān mengenai tafsir isyari, ia mendefinisikan sebagai sebuah tingkatan di mana mufassir dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan dan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian tercurah ke dalam

6 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir

Kalamullah, hal. 235.

7 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Saparddi Djoko Damono (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2009), h. 2.

8 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir

(16)

4

hatinya limpahan gaib dan pengetahuan subhani.9 Iyāzī juga mendefinisikan tafsir isyāri dengan tafsir yang menggunakan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya nampak oleh orang-orang menapaki sulūk serta tidak berseberangan dengan syariat dan akal.10

Sebenarnya tidaklah mudah untuk para sufi untuk mendapatkan dan menemukan ide-ide tasawuf yang terkandung dalam al-Qur’ān, lalu melihat kenyataan yang ada pada diri mereka dalam menjadikan kitab suci sebagai bukti kebenaran atas madzhab keagamaan dan filosofis mereka. Gerakan tasawuf atau sufi yang berjalan secara gradual muncul dari sikap zuhud untuk melepaskan diri dari kehidupan duniawi. Selanjutnya, berjalan melalui pemikiran-pemikiran emanasi ketuhanan yang berujung pada perasaan rindu kepada Allah Sang Pencipta. Sehingga berlanjut pada kondisi peleburan wujud individu menuju hakikat Allah, dan juga berimbas kepada penafsiran terhadap al-Qur’an sebagai kalām Allāh yang mereka jadikan fondasi konsep pemikiran para sufi.11

Contoh tafsir isyari salah satunya adalah pada QS. Ibrāhīm [14]: 24.

































9 Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka

Litera AntarNusa, 2007), h. 495.

10 Sayyid Muhammad ‘Ali al-Iyāzi, Al-Mufassirūn; Hayātuhum wa Manhājuhum (Teheran:

Muassasah al-Ṯabā’ah wa al-Nasyr Wizārah al-Tsaqāfah al-Irsyād al-Islāmi, 1373), h. 58.

11Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern (Yogyakarta, eLSAQ

(17)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”. (Q.S.

Ibrahim[14]: 24)

Pada ayat di atas dikatakan bahwa kalimah ṭayyibah diibaratkan sebagai pohon yang baik, yang akarnya teguh dan batangnya menjulang tinggi ke langit. Perumpamaan tersebut menurut pemahaman penulis mengisyaratkan bahwa kalimah ṭayyibah adalah kalimat yang mempunyai isyarat yang kuat, baik bagi yang mengucapkan atau yang mendengarkan serta memiliki makna yang menjulang tinggi ke langit, makna yang tidak sembarang.

Ayat ini menarik untuk ditafsirkan dengan pemahaman mufassir sufi, terutama mufassir terdahulu. Karena menurut identifikasi penulis, ayat ini memberikan isyarat signifikansi moral dengan menggunakan analogi, yaitu kalimat yang baik (kalimah ṭayyibah) dan pohon yang baik (syajarah ṭayyibah) yang menarik untuk diulas lebih dalam terlebih ditilik dari sudut pandang sufi.

Berkenaan dengan tafsir kalimah ṭayyibah, mufassir non-sufi juga turut menafsirkan dengan berbagai macam pandangannya. Di antaranya adalah kalimat tauhid, atau kalimat iman,12 kalimah islām,13 keimanan14 dan iman kepada Allah Swt.15 Penulis menyimpulkan dari pendapat mufassir-mufassir di atas, bahwa kalimah ṭayyibah adalah kalimat tauhid yaitu kalimat lā ilāha illallāh yang dilafalkan dengan bertujuan meng-Esa-kan Allah Swt.

12 Quraish Shihab, Tafsīr Al-Misbāh, vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 55, dan Ibnu Katsir,

Tafsir al-Qur’an al-Karim, juz. IV (Beirut: Dār al-Fikr, 1980), h. 121.

13 Muhammad Ṭahir bin ‘Asyūr, Tafsīr Tahrīr wa Tanwīr, juz.xiii (Tunis: Dār

al-Tūnisiyyah, 1984), h. 224.

14 Ahmad Musthafā al-Maraghi, Tafsīr al-Maraghī, juz. xiii(Mesir: t.p, 1946), h. 148. 15

(18)

6

Kalimah tauhīd disampaikan oleh Rasulullah Saw disertai dengan simbol yang spesial yang mencerminkan esensinya dan terangkum dalam satu kalimat yaitu lā ilāha illallāh, di dalamnya terkandung makna penolakan terhadap sikap penuhanan selain kepada Allah Swt dan pemantapan pemilikan ketuhanan bagi Allah Swt semata. Maka, hanya Allah-lah Tuhan sesungguhnya, sedangkan tuhan-tuhan sesembahan manusia adalah palsu dan khayal yang tercipta karena kebodohan dan kekacauan pikiran manusia.16

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairāh.17

َأ ْنَع ،ِشَمْعَْلْا ِنَع ،َةَيِواَعُم وُبَأ اَنَ ثَّدَح : َلَاَق ، ٍبْيَرُك وُبَأَو ،َةَبْيَش يِبَأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اَنَ ثَّدَح

،ٍٍِِاََ يِب

ا ىَّلََ ِللها ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ،َةَرْ يَرُه يِبَأ ْنَع

:َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُلله

«

،ِهَّلِِ ُدْمَحِْاَو ،ِللها َناَحْبُس َلوُقَأ ْنََلْ

ُسْمَّشِا ِهْيَلَع ْتَعَلَط اَّمِم َّيَِِإ ُّبَحَأ ،ُرَ بْكَأ ُللهاَو ،ُللها َّلَِإ َهَِِإ َلََو

»

Lafadz lā ilāha illallāh adalah salah satu kalimat yang disukai oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw menyampaikan hadits di atas agar umat manusia dapat mengetahuinya sehingga mereka mengamalkannya.

Kesuksesan perkembangan tafsir, begitu pula dengan perjalanan sufi, bergantung pada kemampuan sufi dalam memadukan prestasi karya dan perbuatan dengan doktrin-doktrin mapan. Mengenai tafsir bercorak sufi, Al-Iyāzi memasukkan tafsīr al-Qusyairī sebagai salah satu kategori tafsir bercorak sufi pertama yang menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Ia dianggap berhasil dalam memadukan sufi dengan konsep ajaran Islam konvensional. Kitab tafsirnya menafsirkan ayat-ayat

16 Syekh Yusuf Qaradhawī, Esensi Tauhid; Hakikat At-Tauhid (Jakarta: Yayasan Alumni

Timur-Tengah, 2010), h. 49.

17 Al-Imām Abī Husain Muslīm Ibn Hujāj al-Qusyairī al-Naisābūrī, Shahīh Muslīm (Kairo: Dār

(19)

Qur’an melalui isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya. Munir Sulthon menjelaskan tentang manhaj penafsiran al-Qusyairi, beliau mengatakan.18

“Al-Qusyairī menafsirkan dengan melihat lafadz al-Qur’an, bahwa di balik lafadz-lafadz tersebut terdapat sebuah permata (sesuatu yang berharga) yang tidak mampu dipahami dengan baik, tidak akan berhenti hanya pada pemaknaan lafadz secara bahasa saja. Hingga ditemukan maksud ayat-ayat tersebut dalam tafsir”.

Al-Qusyairī menjelaskan QS. Ibrāhīm [14]: 24 di atas, bahwa kalimah ṭayyibah adalah syahādah ulūhiyyah dan nubuwwah yang akan menjadi ṭayyibah jika bersumber dari hati yang ikhlas.19 Sekilas, penafsirannya memang tidak jauh berbeda dengan mufassir yang sudah dijelaskan sebelumnya. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa tafsir al-Qusyairī adalah tafsir isyari dan di dalam tafsirnya mengandung isyarat-isyarat yang tidak dijelaskan dalam tafsir bercorak non-isyari. Selain itu, tafsir al-Qusyairī menarik untuk diulas karena ia merupakan salah satu tokoh tasawuf pada saat di mana tasawuf mengalami degradasi pemahaman dan pengamalan. Sebagai seorang yang beraliran Ahl Sunnah wa al-Jamā’ah, tafsir dan karya-karyanya yang lain pun berorientasi pembaharuan dengan cara kembali merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, sehingga atas apa yang al-Qusyairī lakukan menjadi motivasi dan rujukan bagi ulama-ulama setelahnya terutama dalam bidang tasawuf.

18 Muhammad ‘Ali Iyāzi, Al-Mufassirūn; Hayātuhum wa Manhājuhum (Teheran: Mua‘ssas

Ṭabā’ah wa al-Nasyr Wizārat al-Tsaqāfah al-Irsyād al-Islāmȋ, 1973), h. 606.

19 Abū al-Qasīm ‘Abd Allāh Karīm Hawazin al-Qusyairī al-Naisaburī, Laṭā’if al-Isyārāt, juz. II

(20)

8

Hal inilah yang akhirnya melatar belakangi penulis memilih judul skripsi: “KALIMAH ṬAYYIBAH QS. IBRĀHĪM [14]: 24 DAN HUBUNGANNYA DENGAN LAFADZ LĀ ILĀHA ILLALLĀH”, untuk menafsirkan kalimat tersebut dengan pemahaman para sufi dengan konsep dan pemikiran mereka yang moderat. Dengan demikian, dapat diketahui apakah penafsiran sufi masih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular. Demikianlah, hal tersebut merupakan salah satu upaya interpretatif untuk memperluas konotasi al-Qur’an sebagai sebuah teks yang Nasr Hamīd menyebutnya sebagai teks yang dapat ditafsirkan secara terbuka.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa lafadz lā ilāha illallāh adalah kalimat yang baik, kalimat yang juga Allah sukai jika diucapkan oleh hamba-Nya, sehingga Allah Swt mengibaratkannya seperti pohon yang baik, yang menancap akarnya dengan kuat dan batangnya menjulang tinggi. Hal itulah yang mendasari penulis ingin menganalisis lebih jauh lagi pemahaman kalimat tersebut dalam kacamata sufistik. Tanpa mengesampingkan makna-makna lahiriyah ayat-ayat al-Qur’an.

Penulis membatasi dan memfokuskan pembahasan pada tafsir QS. Ibrāhīm [14]: 24 pada tafsir al-Qusyairī, Laṭā’if al-Isyārāt. Melalui pembatasan ini, maka dapat diformulasikan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Al-Qusyairī

(21)

menafsirkan QS. Ibrāhīm [14]: 24 dan hubungan kalimah ṭayyibah dengan lafadz lā ilāha illallāh?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penafsiran al-Qusyairī terkait QS. Ibrāhīm [14]: 24 dan menjelaskan hubungan kalimah ṭayyibahdengan lafadz lā ilāha illallāh. Penelitian ini juga secara akademik bermanfaat untuk memperkuat pernyataafn orang-orang terdahulu yang sudah melakukan penelitian bahwa ada tafsir sufi yang bersifat moderat. Sedang secara praktis dapat digunakan sebagai bahan acuan kurikulum ketafsir-hadisan di bidang tafsir.

D. Metodologi Penelitian

Untuk menyelesaikan batasan masalah di atas, Penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Artinya penulis bermaksud memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang sudah terklasifikasi dan sesuai tema. Dikarenakan penelitian ini bersumber dari Al-Qur’an, maka penelitiannya pun dilakukan dengan menggunakan studi pustaka (library research) dengan menggunakan berbagai kitab tafsir, hadits dan buku-buku primer dan sekunder yang relevan dengan tema pembahasan, seperti:, Tafsir Laṭā’if al-Isyārāt karya al-Qusyairī sebagai buku rujukan primer, Tafsīr al-Tustarī karya Sahl al-Tustarī, Tafsir Haqā‘iq al-Tafsīr karya Al-Sulamī dan juga karya-karya ilmiah yang sesuai dengan penelitian, seperti kamus, buku-buku mengenai Islam, tasawuf, dan buku pendukung lainnya.

(22)

10

E. Tinjauan Pustaka

Tiga hal yang menjadi pokok bahasan penelitian ini, yaitu al-Qusyairī, kalimah ṭayyibah, dan lā ilāha illallāh. Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Di antara karya-karya tersebut adalah:

Islam Mistik; Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf karya Julian Baldick yang diterjemahkan oleh Satrio Wahono. Buku itu membahas tentang: a) sufi dalam pendekatan historis, b) teks-teks sufistik, c) kontruksi dan sistematisasi sufisme, d) sufi memasuki dunia modern. Di dalamnya disertakan pemikiran al-Qusyairī dan juga tokoh-tokoh sufi lainnya.20

Annabel Keeler, menulis artikel yang berjudul “Sūfī Tafsīr as a Mirror: al-Qushayrī the Murshid in his Latā’if al-Ishārāt”. Di-Indonesia-kan oleh Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong dalam Journal of Qur’ānic Studies. Di dalamnya mengkaji tentang pemahaman sufistik, pengaruh eksoterik terhadap esoterik dan menjelaskan pemahaman Qusyairȋ yang dituangkan ke dalam tafsirnya, Laṭā’if al-Isyārāt.21

Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, menulis buku berjudul Makdal ilā Tasawwuf al-Islām yang dialih bahasakan oleh Subhan Anshori dengan judul Tasawuf Islam: telaah Historis dan Perkembangannya. Membahas tentang: a)

20 Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, terj. Satrio Wahono

(Jakarta: Serambi, 2002), h. 7.

21 Annabel Keeler, “Sûfī Tafsīr as a Mirror: Qushayrī the Murshid in his Lathā’if

(23)

karakteristik tasawuf secara umum yang ada pada keseluruhan model tasawuf dalam berbagai macam peradaban yang berbeda-beda, b) mengemukakan berbagai macam pemikiran yang mengkaji sumber-sumber kemunculan tasawuf, c) membahas gerakan zuhud yang muncul pada abad pertama Hijriyah, d) mengupas kecenderungan yang berbeda dalam tasawuf dan juga perkembangannya, e) memberikan gambaran tentang pemikiran tasawuf salah satunya adalah al-Qusyairȋ dan juga uregensinya di dalam tasawuf Islam.22

Michael A. Sells menulis buku berjudul Early Islamic Mysticism yang di terjemahkan oleh Slamet Riyadi dengan judul Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi. Di dalamnya membahas tentang metode dan cara-cara sufi klasik menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, salah satu teks sufi yang diangkat dalam buku tersebut adalah teks al-Qusyairī.23

Tafsīr al-Mufassirūn karya Muhammad Husain al-Dzahabī dan Al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhājuhum karya Muhammad ‘Alī Iyyāzī, kedua kitab tersebut berisikan tentang biografi dan manhāj al-fikr para mufassir.

Adapun penelitian yang penulis lakukan adalah untuk melengkapi dan menutupi hal-hal yang belum dibahas oleh penulis-penulis di atas dengan memfokuskan penelitian ini pada QS. Ibrāhīm [14]: 24, sebab pada ayat tersebut tercermin keseimbangan antara syariat dan hakikat yang ditawarkan al-Qusyairī

22 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya,

terj. Subhan Ansori (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. x.

23 Michael A. Sells, Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. Slamet Riyadi

(24)

12

dalam pemahaman tasawufnya. Oleh karena itu, akan ada persamaan dalam penelitian ini dengan tulisan-tulisan di atas karena penulis juga mengutip pendapat orang-orang yang sudah terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap al-Qusyairī.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab dengan perincian sebagai berikut :

Bab I, adalah pendahuluan yang mengurai masalah secara umum tentang tema dari penelitian ini yang terangkum dalam latar belakang masalah. Selanjutnya, menjabarkan pembatasan dan perumusan masalah untuk mencapai tujuan dan maksud dari penelitian. Kemudian penulis memaparkan metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian.

Bab II, memaparkan tentang biografi al-Qusyairī, dimulai dari latarbelakang keluarganya, riwayat pendidikan, pemikiran serta karya-karyanya. Dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh lingkungan bagi al-Qusyairī dalam bertasawuf.

Bab III, mengkaji secara umum perkembangan tasawuf dilanjutkan dengan menjelaskan tafsir-tafsir sufistik pada masa sebelum, sezaman dan sesudah al-Qusyairī disertai dengan penafsirannya mengenai QS. Ibrāhīm [14]: 24. Hal ini bertujuan untuk melihat perkembangan pola pemahaman mufassir sufi dari waktu ke

(25)

waktu. Sehingga dapat dilihat corak dan ragam pemahaman tasawuf dan juga pengaruhnya kepada al-Qusyairī.

Bab IV, menjelaskan tafsir kalimah ṭayyibah dengan lafadz lā ilāha illallāh yang terdapat dalam al-Qur’an kemudian menafsirkannya dalam dimensi sufistik Islam perspektif al-Qusyairī, dan menyelaraskannya dengan pengaruh eksternal dan internal yang melatar belakanginya mengambil jalan tasawuf dan membuat karya tafsir sufistik.

Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian skripsi ini. Kesimpulan yang terangkum di sini sebagai jawaban atas pertanyaan dari rumusan dan batasan masalah. Serta saran dan kritik yang membangun untuk memperbaiki skripsi ini, agar bermanfaat untuk bersama.

(26)

14

BAB II

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AL-QUSYAIRĪ

Setiap mufassir memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan juga perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat. Memahami hal tersebut, menurut Quraish Shihab adalah penting dan mutlak guna memahami hasil pemikiran seseorang dan pada akhirnya dapat mengantarkan pembaca pada penilaian terhadap pendapat mufassir yang bersangkutan. Sehingga, dapat dinilai apakah pendapat tersebut laik untuk dianut atau ditolak.1

A. Biografi Al-Qusyairī

Nama lengkap al-Qusyairī adalah ‘Abd al-Karīm ibn Hawazīn ibn ‘Abd Allāh ibn Ṭalhah al-Qusyairī . Panggilannya adalah Abū al-Qasīm,2 sedang gelarnya cukup banyak, seperti al-Naisabūrī, dari kata Naisabur yang merupakan sebuah kota di Khurasan, salah satu ibukota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan di samping Balkh, Harrat dan Marw, dan ditempat inilah al-Qusyairī tinggal sampai

1 Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manār (Jakarta: Lentera

Hati, 2006), h. 1.

2 Muhammad Husain Al-Dzahabī, Al-Tafsīr Al-Mufassirūn, jilid III (Kairo: Dār al-Hadīts,

(27)

akhir hayatnya.3 Gelar yang lainnya yaitu al-Qusyairī.4 Selain itu, al-Qusyairī pun diberi gelar al-Syāfi’ī karena bermadzhabkan Syāfi’ī yang dipelopori oleh Muhammad ibn Idrīs ibn Syāfi’ī (150 H/767 M.-204 H./820 M.).5

Al-Qusyairī lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M di Istiwa kawasan Naisabur dan di Naisabur pula ia wafat pada pagi hari ahad, tanggal 16 Rabī’ al-Akhīr 465H./1073 M. ketika ia berusia 87 tahun,6

tempat ia lahir dan wafat itu adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Kini termasuk negara Iran.7 Jika ditinjau dari tahun lahir hingga wafatnya, beliau hidup pada masa kekhalifahan ‘Abbāsiyyah.8

Masa kecil beliau sedikit yang mengetahuinya. Namun, yang jelas beliau lahir sebagai yatim, ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian, pendidikannya diserahkan kepad Abū al-Qasīm al-Yamanī, salah seorang terdekat

3 Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyah, terj.Umar Faruq (Jakarta: Pustaka Amani,

2007), h. 1.

4

Bahwa al-Qusyairī ini dinisbatkan pada marga dari Sa’ad al-Asyirah al-Qahṭaniyah yang menempat wilayah Hadramaut, Yaman. Versi lain mengatakan Qusyair adalah Ibn Ka’ab ibn Rabī’ah ibn Amīr ibn Ṣa’ṣa’ah ibn Mu’āwiyah ibn Bakr ibn Hawāzin ibn Manṣūr ibn Ikrimah ibn Qais ibn Ailān. Al-Qusyairī juga diberi gelar al-Istiwaī, sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Lihat Abū al-Qasīm al-Qusyairī,

Risālah al-Qusyairiyyah, h. 1-2.

5 Beberapa gelar kehormatan lain juga disematkan kepadanya, karena keluhuran ilmunya di

dunia Islam dan dunia tasawuf, di antaranya adalah Zain al-Islām, al- Imām, al-Ustādz, al-Syaikh dan lain-lain. Lihat Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 2.

6 Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 3.

7 Michael A. Sells, Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. D. Slamet Riyadi

(Bandung: Mimbar Pustaka, 2003), h. 129.

8

Pada masa pemerintahan ‘Abbāsiyyah, terbagi kepada empat bagian yaitu Abbasiyyah I yaitu tahun 132 H/750 M.-232 H./847 M., ‘Abbāsiyyah II pada tahun 232 H./847 M.-334 H./946 M.,

‘Abbāsiyyah III 334 H./946 M.-467 H./1075 M., dan ‘Abbāsiyyah IV yaitu tahun 467 H./1075 M.-656

H./1261. Lihat M.A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Buton Bintang, 1975), cet. I, h. 183.

(28)

16

keluarga al-Qusyairī, dan kepadanya lah al-Qusyairī belajar bahasa Arab dan sastra.9 Dia mendapatkan pendidikan Islam yang baik pada saat itu, menghafal al-Qur’an, mempelajari hukum Islam dan juga teologi Asy’ārī.10

Pada masanya, penguasa di negerinya membebankan pajak kepada rakyat, sehingga ia merasa terpanggil untuk mempelajari ilmu hitung ke Naisabur karena melihat kondisi rakyatnya yang menderita akibat pajak tersebut. Agar ia bisa menjadi pegawai penarik pajak dan dapat meringankan beban pajak yang memberatkan rakyat. Setibanya di Naisabur, ia bertemu dengan Syekh Abū ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali al-Naisābur yang masyhur dikenal dengan al-Daqqāq, seorang pemuka yang terkenal di zamannya. Ketika mendengarkan kata-kata al-Daqqāq, ia sangat mengaguminya. Al-Daqqāq sendiri memiliki firasat mengenai kecerdasan muridnya tersebut. Karena itu al-Daqqāq mendorong muridnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, al-Qusyairī merevisi keinginan awalnya untuk menjadi petugas penarik pajak, dan memilih jalan tarikat.11

Sang guru menyarankan untuk ia mempelajari syariat terlebih dahulu sebelum menapaki tasawuf. Karena melihat kecerdasan dan kecakapannya, al-Daqqāq menikahkan al-Qusyairī dengan putrinya yaitu Fāṭimah bint al-Daqqāq. Fāṭimah adalah seorang perempuan yang memiliki prestasi di bidang sastra, dan tergolong wanita ahli ibadah pada masanya. Ia juga meriwayatkan beberapa hadits.

9 Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 3.

10 Michael A. Sells, Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, h. 129. 11

(29)

Perkawinannya dengan al-Qusyairī berlangsung antara tahun 405-412 H./1014-1021 M.12

B. Riwayat Pendidikan Al-Qusyairī

Pengaruh al-Daqqāq sangat kuat dalam membentuk kepribadian al-Qusyairī. Hal ini dikarenakan al-Daqqāq adalah seorang sufi yang mempunyai ilmu yang sangat dalam. Al-Daqqāq juga seorang sufi yang sangat terkenal pada zamannya, karena mempunyai kata-kata yang indah, ilmu yang banyak dan luas serta perilaku yang baik. Al-Daqqāq mengikuti tarekat tasawuf yang dimiliki oleh Imam Junaidi, beliau juga mengambil madzhab fiqh al-Imām Syāfi’ī, belajar pada Imam al-Qaffāl, Imam Al-Haṣāri dan yang lainnya. Al-Daqqāq hanya menjalankan ibadah dan tarekat tasawuf yang diambil dari al-Nasr Abadz.13

Al-Qusyairī memiliki disiplin dalam menentukan bidang keilmuan yang akan ia pelajari. Seperti pada bidang ushūl al-dīn ia belajar menurut madzhab Imam Abū al-Hasan al-Asy’ārī.14 Nama guru yang acap kali ia sebutkan dalam kutipan kitabnya adalah al-Daqqāq dan juga guru dari al-Daqqāq yaitu al-Sulamȋ.15 Al-Daqqāq memang sangatlah berpengaruh pada pemikiran al-Qusyairī.

12

Dari pernikahannya tersebut al-Qusyairī memiliki enam putra dan seorang putri. Keenam putranya, semua namanya diawali ‘Abdu, seperti Abu Sa’īd ‘Abd Allāh, Abū Sa’īd ‘Abd al-Wahīd, Abū Manṣūr ‘Abd al-Rahmān, Abū al-Naṣr ‘Abd al-Rahīm, Abū al-Faṭ ‘Ubaidillāh, Abū al-Mudzaffār ‘Abd al-Mun’im, sedang putrinya bernama ‘Ammat al-Karīm. Lihat Abū al-Qasīm al-Qusyairī,

Risālah al-Qusyairiyyah, h. 4-5.

13 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif Metode Para Ahli

Tafsir, terj. Faisal Saleh & Syahdianor (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), h. 180.

14 Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 6. 15

(30)

18

Al-Qusyairī juga berguru fiqh16, dan mempelajari ilmu kalam serta ushūl fiqh.17 Al-Isfarayini salah satu gurunya membangunkan madrasah di Naisabur dan al-Qusyairī belajar disana. Dari semua yang ia pelajari dan telaah, ia menguasai doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang dikembangkan Al-Asy’ārī dan murid-muridnya.18

Al-Qusyairī juga merupakan ahli bahasa dan sastra, sehingga dikenal pula sebagai penyair yang hebat dan cemerlang. Syair-syair yang dikarangnya kebanyakan menggambarkan tentang ṭarīqah dengan untaian bahasa yang lembut nan indah. Dikutip dari Thabaqat al-Syāfi’iyyah:

Wahai Dzat Yang membuat syukurku menjadi pendek dari kekokohan-Nya. Setiap bibir kelu jika menjunjung keluhuran-Nya.

Sedangkan kemurahan-Nya, tunggal tiada serupa. Melampaui waktu yang berlalu maupun yang akan tiba. Tiada abad yang meninggalkan-Nya.

Tiada paksa yang menyentuh-Nya. Tiada singkap yang menampakkan-Nya. Tiada tirai yang menyembunyikann-Nya. Tiada jumlah yang mengumpilkan-Nya. Tiada kontra yang menghalangi-Nya. Tiada batas yang memotong-Nya. Tiada tetes yang melimpahi-Nya. Tiada jagat yang membatasi-Nya. Tiada mata yang memandang-Nya.

Dan tiada dalam angan yang dilihat untuk menyamai-Nya. Keagungan-Nya azali, tiada sirna-Nya.

Kerajaan-Nya abadi, tak satupun dibutuhkan-Nya.19

16 Al-Qusyairī belajar fiqh kepada Abū Bakr Muhammad bin Abū Bakr Al-Ṭūsī (w. 405 H).

Lihat Muhammad Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsīr Al-Mufassirūn, 329. Ia juga ia belajar fiqh kepada Abū ‘Abbās bin Syuraih, dan kepada Abū Manshūr Abū al-Qahīr bin Muhammad al-Baghdādȋ at-Tamimī (w. 429), al-Qusyairī belajar madzhab Syari’ī. Lihat Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 238.

17

Al-Qusyairī belajar ilmu kalam dan uṣūl-fiqh kepada Abū Bakr bin Farauk (w. 406). Setelah wafatnya Abū Bakr bin Farauk, iapun menjadi murid dari Abū Ishāq Al-Isfarayini (w. 418 H). Lihat Muhammad Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsīr Al-Mufassirūn, 329.

18 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 238. 19

(31)

Al-Qusyairī dikenal sebagai al-Imām pada zamannya. Ia pun memiliki forum imla’ hadits di Baghdad pada tahun 432 H./1040 M. Kemudian, forum tersebut berhenti dan dimulai lagi ketika ia kembali ke Naisabur pada tahun 455 H./1063 M. Majelis tadhkīr yang ada pada zamannya, tidak luput ia isi dengan keilmuannya. Ilmunya sangat berpengaruh hingga meresap kedalam sanubari pada pendengarnya.20 Karena kemasyhuran ilmunya, banyak pula yang berguru kepadanya.21

C. Karya dan Pemikiran Al-Qusyairī

Seperti yang dikutip dalam muqaddimah Risālah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairī adalah sosok ulama yang menguasai ilmu keislaman, mulai dari bidang tasawuf22, fiqh23, hadits24, tafsir25, dan kalam26. Dari semua karyanya yang sampai ke tangan generasi Muslim pada saat ini, ada dua kitab yang masyhur yaitu Laṭā’if al-Isyārāt dalam bidang tafsir dan Risālah al-Qusyairiyyah dalam bidang tasawuf. Dua karya tersebut dianggap menjadi karya terbaik dan terpenting dari kalangan Syāfi’iyyah dan Asy’ariyyah.

20

Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 7.

21 Di antara murid-muridnya adalah Abū Ibrāhīm- Ismāīl bīn Hasan al-Husaini (w. 531 H./1137

M.). Abū Muhammad- Ismāīl bīn Abī al-Qasīm al-Ghāzȋ al-Naisabūr. Abū al-Qasīm- Sulaimān bīn Nashīr bīn ‘Imrān al-Anshārī (w. 512 H/1118 M.). Abū Bakr- Syah bīn Ahmad al-Syadiyakhi. Abū Muhammad- ‘Abd al-Jabbār bīn Muhammad bīn Ahmad al-Khiwarī. Abū Bakr bīn ‘Abd al-Rahmān bīn ‘Abd Allāh al-Bahirī. Abū Muhammad- ‘Abd Allāh bin ‘Aṭa al-Ibrāhīmī al-Hiwarī. Abū ‘Abd Allāh- Muhammad bin Afdhal bin Ahmad Firawī (441 H./1050 M.-530 H./1136 M.). ‘Abd al-Wahhāb bin al-Syah Abu al-Futūh al-Syadiyakhī al-Naisaburī. Abū ‘Alȋ- al-Fudhail bin Muhammad bin ‘Alī Qashbanī (w. 444 H./1052 M.). Abu Fatīh- Muhammad bin Muhammad bin ‘Alī al-Khuzaimī. Lihat Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 8.

22 Risālah al-Qusyairiyyah dan Adāb al-Shūfiyyah, lihat Muqaddimah Risālah al-Qusyairiyyah,

terj. Umar Faruq (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 12.

23

Ahkām al-Syar’ī, lihat Muqaddimah Risālah al-Qusyairiyyah, h. 12.

24 Al-Arbā’ūn fi al- Hadīts, lihat Muqaddimah Risālah al-Qusyairiyyah, h. 12.

25 Laṭā’if al-Isyārāt dan al-Tafsīr al-Kabīr, lihat Muqaddimah Risālah al-Qusyairiyyah, h. 12. 26 Syakayah Ahl al-Sunnah bi Hikāyah mā Nālahum min al-Mihnah, lihat Muqaddimah Risālah

(32)

20

Al-Qusyairī adalah salah satu tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting karena karya-karyanya tentang sufi dan tasawuf aliran Suni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang menyebabkan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada zaman itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.27 Untuk komitmennya terhadap tasawuf, beliau mengarang sebuah kitab yaitu Risālah al-Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya kepada kebenaran teologi Asy’ari yang ia pahami sebagai konteks spirit hakiki Islam.28

Al-Qusyairī merupakan pembela yang paling tangguh pada aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujasamah dan Syī’ah. Akibat dari tindakannya tersebut, ia dipenjara lebih dari sebulan atas perintah Taghrul Bek karena hasutan salah seorang menterinya yang menganut paham Mu’tazilah Rafidhah. Menurut B. Khallikan, al-Qusyairī adalah seorang yang mampu mengkompromikan antara syariat dengan hakikat.29 Sehingga, meskipun ia terkenal sebagai seorang teolog, ia juga dikenal sebagai tahfidz, ahli bahasa dan sastra, ahli hadits dan juga seorang penyair. Meskipun pada akhirnya dunia tasawuf lebih dominan dalam mempopulerkan kebesarannya.

27

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 238.

28 Selain kitab Risālah, dalam pleidoinya terhadap paham Asy’ari ia pun mengarang kitab lain

seperti, Syakayatu Ahl Sunnah bi Hikāyati mā Nālahum min Mihnah. Lihat Abū Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 7.

29

(33)

Dalam karyanya, Risālah Qusyairiyyah, dapat dilihat adanya upaya dari al-Qusyairī untuk mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahl al-Sunnah, sebagaimana pernyataannya:30

“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan Tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan Tauhid kaum salaf maupun Ahl al-Sunnah, yang tidak tertandingi serta tidak mengenal macet. Mereka pun tahu hak lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Oleh karena itu, tokoh aliran ini, al-Junaidi, mengatakan bahwa Tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gambling. Hal seperti ini dikatakan Abu Muhammad al-Jariri bahwa barang siapa tidak mendasari ilmu Tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu kedalam jurang kehancuran.”

Secara implisit, dalam ungkapan al-Qusyairī tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syaṭahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.

Dalam mukadimah tafsirnya, al-Qusyairī juga menyebutkan tentang kecenderungannya terhadap tasawuf:

“Segala puji bagi Allah SWT yag memberikan keterangan hati bagi para aulia-Nya dan memberikan jalan kebenaran bagi mereka yang mengikuti-Nya. Tuhan yang menurunkan kitab al-Furqan sebagai penjelas dan pemberi petunjuk kepada Nabi Saw, dan menjadikannya sebagai mukjizat dan pegangan bagi para ulama sesudah Rasulullah Saw. Tuhan memberikan kemuliaan kitab tersebut dengan menurunkan beberapa kisah terdahulu dan menurunkan ayat-ayat lain, ada yang muhkam dan

mutasyabihat, ada yang naskh dan ada yang mansūkh, ada berupa ancaman dan ada

yang berupa peringatan …”

“Kitab ini berisikan isyarat-isyarat al-Qur’an dengan pemahaman ahli ma’rifat, baik dari ucapan mereka maupun dari kaidah yang mereka buat. Kami membuat buku ini dengan kedua metode tersebut, buku ini dibuat dengan gaya ringkas dan simple agar

30Abū Wafā’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

(34)

22

tidak membosankan, dengan berharap kepada Allah Swt agar memberikan karunianya, agar menjauhkan dari kesalahan, memberikan petunjuk kepada kebenaran, serta dengan shalwat salam kepada Nabi kita Muhammad Saw …”31 Sekilas tentang mukadimah yang ditulis al-Qusyairī dalam tafsirnya, seperti yang beliau sebutkan bahwa kitab tersebut adalah pemahaman isyarat-isyarat al-Qur’an yang dipahami oleh orang ma’rifat. Isyarat yang dimaksudkan adalah pemahaman hikmah secara halus, yaitu pemahaman berdasarkan hakikat. Sekalipun berdasarkan hakikat, namun tidak keluar dari syariat.

Dikatakan, bahwa tafsir seperti ini, yaitu corak sufi, memang lain daripada yang lain. Di mana setiap tafsir al-Qur’an berpegang kepada ilmu dan perangkat tafsir (seperti aspek kebahasaan, nahwu, ṣarf, bahasa arab dan perangkat lainnya) serta tidak menafikan ada makna lain selain makna yang dilihatnya melalui frame intuisi yang diperoleh melalui proses olah batin dan membuahkan sebuah intuisi.32

Al-Qusyairī memang masyhur dengan pemikiran tasawufnya. Pada masanya, ia banyak mengkritisi para sufi yang senantiasa menggunakan pakaian-pakaian orang miskin dan pakaian-pakaian bulu, sedang perbuatannya bertentangan dengan pakaian yang dikenakan itu. Karenanya, ia menekankan untuk adanya perbaikan batin dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunah. Ia memberikan gambaran tentang

31 Mani’ ‘Abd Halīm Mahmūd, Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif Metode Para Ahli

Tafsir, terj. Faisal Saleh & Syahdianor (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), h. 183.

32 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir

(35)

keadaan para sufi pada kurun waktu abad ketiga dan kelima Hijriyah, atas penyelewengan yang mereka lakukan, dengan mengatakan:33

“Mayoritas para sufi yang sesungguhnya telah musnah. Tak ada yang tersisa dari golongan mereka pada masa kita, kecuali hanya bekasnya saja”. Menurut penulis, hal ini lah yang menjadi salah satu latar belakang beliau untuk membuat karya-karya sufistiknya. Hal itu diawali pada kurun waktu ke-3 Hijriyah, keadaan sufi waktu itu berkonsentrasi membicarakan masalah kondisi jiwa dan tingkah laku manusia. Sehingga intelektual dan perbuatan mereka sangat diwarnai dengan nuansa etika yang mendorong mereka untuk memperdalam kajian tentang manusia, dan perincian kondisi prilakunya. Pada akhirnya mendorong mereka untuk berbicara tentang intuisi, mekanisme dan metodenya, serta perkataan tentang dzat Tuhan dari tinjauan hubungan-Nya dengan manusia, dan hubungan manusia dengan-Nya. Kemudian, muncullah perkataan fana’ sufi, seperti yang dilakukan oleh Abū Yazīd al-Bustamī. Pada kurun ke-3 ini juga terdapat salah satu tipe yang dicetuskan oleh al-Hallāj (309 H), yang menyebabkannya dihukum mati karena perkataannya tentang hulūl (penitisan), karena nampak pada pemikirannya unsur-unsur asing di luar Islam. Hal demikian terjadi hingga abad ke-4 Hijriyah.34

Sedangkan, tasawuf pada kurun waktu ke-5 Hijriyah tampaknya berorientasi pada sebuah pembaharuan, dengan cara mengembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini al-Qusyairī dan al-Harawī merupakan dua tokoh yang

33 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

h. 178.

34 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

(36)

24

mempopulerkan aliran tasawuf Suni. Nantinya digunakan oleh al-Ghazālī di seperdua kurun tersebut, dan terjadilah penyebaran yang amat luas di berbagai kawasan dunia Islam.35

Tasawuf Islam pada awal pembentukan ilmiahnya adalah dengan bercirikan etika-etika keagamaan, sehingga secara otomatis sumber pertamanya adalah Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi rujukan utama, Sunnah dan juga kondisi-kondisi sahabat serta perkataan-perkataan mereka. Namun, seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkataan sahabat tidak ada yang keluar dari dua sumber Islam tersebut. Al-Tūsī telah menjelaskan dalam kitabnya, al-Lumā’, bahwa sufi senantiasa berakhlak baik, terpuji, mengkaji arti kondisi dan keutamaan amal perbuatan, karena meneladani perbuatan Nabi Saw, sahabat, tābi’īn dan tābi’ tābi’īn.36

Al-Qusyairī mengatakan bahwa, para Sufi di zamannya kurang memperhatikan agama dan tak berhati-hati di dalamnya. Menolak pembagian halal dan haram, serta meninggalkan kehormatan dan kesopanan, menganggap enteng pelaksanaa ibadah, merendahkan puasa dan shalat, hilangnya sifat menjauhkan diri dari dosa dan berlakulah sebuah kemudahan, sehingga berlakulah bagi mereka pengharaman syariat.37 Perkataan al-Qusyairī di atas nampaknya tidak berlebihan, karena tak lain adalah sebuah keluhan beliau atas keadaan pemahaman tasawuf pada

35 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

h. 176.

36 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

h. 39.

37 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

(37)

masanya. Menurutnya, perbaikan perlu dilakukan, yaitu mengembalikan pada paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang dipelopori oleh Asy’āri, al-Muhāsibī, Junaidī dan pendahulu-pendahulunya yang lain.38

Atas pemikirannya, kekritisannya, dan juga popularitasnya, ia mendapatkan cobaan dan kedengkian dari para fuqahā‘ dikota tempat ia berdiam. Mereka menghalang-halangi tersebarnya pemikiran beliau yang menyebabkan ia populer. Mereka melakukan propaganda, dengan memfitnah, membuat tuduhan-tuduhan dusta dan menyebarkan kebohongan kepada orang sekitar al-Qusyairī. Pada akhirnya, ia mengalami siksaan, cacian dan pengusiran akibat dari propaganda yang dilakukan orang-orang yang dengki terhadapnya. Mereka yang iri dan dengki terhadap beliau adalah orang-orang Muktazilah dan Hambali yang pada saat itu memiliki pengaruh pada pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar raja menangkap al-Qusyairī dan mencekalnya dari kegiatan dakwah dan agar dilaknati di setiap masjid-masjid di negeri itu, dan berakibat pada bercerai-berainya murid-murid beliau, serta orang-orang terdekatnya. Sedangkan, majelis zikir yang dimilikinya itu dikosongkan , hingga sampailah pada puncaknya, beliau terusir dari Naisabur dan terjadi selama 15 tahun yakni dari tahun 440 H-455 H. Akhirnya, beliau pergi ke Baghdad dan diterima dengan baik oleh penguasa di sana. Kemudian, ketika terjadi peristiwa Thurghulbeg berakhir, dan tampuk kepemimpinan beralih ke Abū Syuja’, ia kembali ke Naisabur dan menetap di sana sampai sepuluh tahun hingga muridnya bertambah banyak dan

38 Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya,

(38)

26

merupakan masa yang paling membahagiakan bagi dirinya.39 Peristiwa-peristiwa di atas terjadi karena adanya pemahaman yang berbeda dalam agama, yang menimbulkan kedengkian yang berlebihan.

Itulah sekilas pemikiran, pemahaman dan keyakinan al-Qusyairī tentang tasawuf, yang kemudian ia implementasikan kedalam tafsirnya, yaitu Laṭā’if al-Isyārāt, ia menyebutkan bahwa tafsirnya yang bercorak sufi mencakup “Laṭā’if asrārihī wa anwārihī (seluk-beluk rahasia dan cahaya-Nya), daqīq isyāratihī (kiasan-Nya yang sangat halus), khafī rumūzihī (alegori-(kiasan-Nya yang tersembunyi), dan maknūnātihī (rahasia-Nya yang tersembunyi). Al-Qusyairī menekankan bahwa ini semua merupakan kreasi Allah, dengan mengatakan bahwa Allah telah lawwaha (membuka) semua misteri yang tersembunyi ini kepada dan untuk hamba-hamba-Nya yang terpilih (asrār al-ashfiyā’).40

Untuk menjelaskan keragaman penafsiran esoterik al-Qur’an, al-Qusyairī menjelaskan: “para Sufi mengartikulasikan makna esoterik al-Qur’an berdasarkan berbagai marātib (tingkat) anwār wa aqdārihim (cahaya dan kemampuan mereka).41 Artinya, tidak semua mufassir dapat menafsirkan al-Qur’an dengan kacamata sufistik. Karena tidak semua mufassir dapat menafsirkan al-Qur’an dengan jalan sufisme. Maka, Islam memiliki banyak corak dan ragam pemikiran mengenai al-Qur’an, yang mencirikan bahwa Islam kaya akan ilmu pengetahuan.

39

Abū al-Qasīm al-Qusyairī, Risālah al-Qusyairiyyah, h. 9.

40 Annabel Keeler, “Tafsir Sufistik Sebagai Cermin: Al-Qusyayrī Sang Mursyid dalam

Karyanya Laṭā’if al-Isyārāt”, JSQ, Vol. II, No. 1, 2007, h. 174.

41 Annabel Keeler, “Tafsir Sufistik Sebagai Cermin: Al-Qusyayrī Sang Mursyid dalam

(39)

Laṭā’if al-Isyārāt cenderung moderat, seperti yang dilansir oleh Annabel Keeler dalam artikelnya. Ia menjelaskan bagaimana al-Qusyairī sangat berhati-hati dalam melakukan penafsiran. Contohnya adalah ketika al-Qusyairī menafsirkan QS. Al-Fātihah [1]: 7.42



















































.

“…(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

(QS. Al-Fatihah[1]: 7)

Menurutnya … al-ladzīna an‘amta ‘alaihim…“mereka yang menjaga syariat ‘inda ghalabah bawādih al-haqā’iq (ketika memiliki realitas/keinginan yang sangat banyak dalam hati mereka), sehingga mereka tidak meninggalkan hadd al-‘ilm (batas pengetahuan), atau dalam banyak hal tidak meninggalkan syariat.43 Lafadz qīla yang terdapat pada penafsirannya mencirikan bahwa al-Qusyairī juga mengutip pendapat lain dan tidak hanya menggunakan pendapatnya sendiri dalam menafsirkan suatu ayat.

Muhammad ‘Alī Iyāzī menerangkan tentang manhāj al-tafsīr al-Qusyairī, menurutnya dalam menafsirkan ayat-ayat, al-Qusyairī menggunakan makna lahir dulu baru kemudian ia memasukkannya kedalam makna batin. Ia juga bersandar pada al-hadīts al-syarīf dan terkadang menyertakan pula kisah isrā’iliyyāt seperti kisah-kisah para Nabi, kisah-kisah-kisah-kisah zaman dahulu yang masuk akal bagi yang

42 Annabel Keeler, “Tafsir Sufistik Sebagai Cermin: Al-Qusyayrī Sang Mursyid dalam

Karyanya Laṭā’if al-Isyārāt”, h. 180.

43

(40)

28

mendengarnya.44 Mengutip dari Annabel Keleer, menurutnya tafsir sufistik biasanya menyertakan elemen-elemen teologis, khususnya yang berhubungan dengan preordinasi Allah. Tetapi dalam Laṭā’if al-Isyārāt, al-Qusyairī tidak terlena dalam pembahasan dan argumentasi teologis; masalah dogma lebih banyak muncul sekilas, misalnya ketika ia memberikan penjelasan eksoterik atas QS. Al-Baqarah [2]: 02.45











.. .

“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat..” “Hakikat iman adalah membenarkan kemudian meyakini, membenarkan dengan akal dan meyakininya dengan kesungguhan. Maka, orang beriman ialah orang yang membenarkan keyakinannya dan membenarkan jihadnya”

Artinya, bahwa Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa.Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Menurut al-Qusyairī, “yang gaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia”.46

Percaya kepada yang gaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada keberadaannya. Aspek-aspek teologis tidak terlalu dibahas lebih dalam oleh al-Qusyairī, bahwa ia menyadari yang gaib adalah hal yang iḍṭirār yaitu sesuatu yang melewati ilmu pengetahuan, berbeda dengan syariat yang dalam hal ini adalah praktik sholat yang dilakukan oleh seorang hamba yang merupakan istidlāl yaitu mengandung deduksi dan analogi terlebih dahulu.

44 Muhammad ‘Alȋ Iyāzȋ, Al-Mufassirūn: Hayātuhum wa Manhājuhum, h. 607.

45 Annabel Keeler, “Tafsir Sufistik Sebagai Cermin: Al-Qusyayrī Sang Mursyid dalam

Karyanya Laṭā’if al-Isyārāt”, h. 182.

46

(41)

Mengenai metode penafsiran al-Qusyairī, seperti yang dikutip oleh Novizal Wendry, ia mereview disertasi milik Abdurrahim Yapono yang berjudul ‘Abd al-Karīm al-Qusyayrī dan Sumbangannya dalam Tafsir Simbolik: Analisis Karya Laṭā’if al-Isyārāt, bahwa:47

“Penafsirannya ditulis dengan ringkas untuk tidak membosankan pembaca. Metodologi yang diterapkan Qusyayrī adalah menafsirkan Qur’ân dengan al-Qur’ân, al-Qur’ân dengan hadits Nabi, sabab al-nuzūl, dan al-nāsikh wa al-mansūkh. Selain itu, al-Qusyayrī menafsirkan basmalah pada setiap awal surah dengan penafsiran yang berbeda-beda, menafsirkan huruf muqaththa‘ât, menerapkan metode pengambilan istinbâth (berdasarkan makna muhtamal dan siyâq al-kalâm), tematik,perbandingan, analisis aspek kebahasaan, kepercayaan pada nūr

al-muhammadī, abdāl, awtād dan quthūb. Berdasarkan uraian Bisyûnî, sebagaimana

dicatat Abdurrahim, bahwa al-Qusyairî membangun makna isyaratnya atas makna tafsir (ẓāhir), yaitu dengan mengiaskan makna zhāhir kepada makna baru. Abdurrahim menambahkan bahwa al-Qusyayrī juga membangun makna isyaratnya atas makna takwil. Buktinya, al-Qusyayrī menyejajarkan antara makna tafsir dan takwil, untuk kemudian menyebutkan isyarat yang dikandung ayat dengan kata kunci

al-isyārah minhādan semisalnya. Al-Qusyayrī juga membangun makna isyarat

berdasarkan penemuan sains ketika itu. Isyarat seperti inilah yang ia maksudkan dengan lathīfah-Laṭā’if bentuk jamak.”

Penulis berasumsi bahwa al-Qusyairī adalah seorang sufi dan mufassir yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an, namun tidak keluar dari dasar utama agama Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Begitu pula dalam memegang teguh keyakinan terhadap sufi Suni yang ia yakini merupakan manhāj yang harus disebarkan dengan baik kepada orang-orang yang sedang menjalani tarekat agar tidak keluar dari koridor keislaman yang semestinya, dan tidak meninggalkan syariat.

47 Novizal Wendry, “Penafsiran Simbolik al-Qusayri Dalam Laṭā’if al-Isyārāt”, JSQ, Vol. II,

(42)

30 BAB III

PERKEMBANGAN TAFSIR SUFI SEBELUM DAN SESUDAH AL-QUSYAIRĪ

A. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Tasawuf Islam tidak muncul dalam konteks “tiba-tiba”, tetapi didahului oleh beberapa praktik sebelumnya dari beberapa tradisi agama semitik lain, seperti agama Yahudi1 dan Kristiani2 ataupun tradisi agama di India3. Kemunculan tasawuf dalam tradisi agama Islam diawali dengan fenomena upaya penyucian diri seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Madinah yang terkelompok di serambi Masjid Madinah.4 Seperti yang dilakukan oleh Abū ‘Abd Allāh al-Jarrāh (w. 18 H), Abū Zār al-Ghiffarī (w. 22 H), Salmān al-Farisī (w. 32 H) dan ‘Abd Allāh bin Mas’ūd (w. 33 H). Mereka tidak hanya melakukan praktik ibadah secara khusyu’, tetapi juga dzikir dan konsistensi dalam sikap walaupun datang berbagai godaan dari kehidupan duniawi5.

Menginjak abad kedua Hijriyyah, asketisme Islam mulai lebih ketat dan ekstrem dan mengembangkan rasa takut kepada murka Allah Swt, serta rasa takut

1

Muhammad Jalāl Syarāf, Tasawuf Islam Madzhab Baghdad, terj. Subhan Anshari (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014), h. 25.

2 Muhammad Jalāl Syarāf, Tasawuf Islam Madzhab Baghdad terj. Subhan Anshari (Tangerang

Selatan: Gaya Media Pratama, 2014), h. 34.

3

Abū Wafa’ al-Ghanimī al-Taftazanī, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan Perkembangannya, terj. Subkhan Anshorin, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 27.

4 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), h.

36.

5

(43)

pada siksa neraka di akhirat. Seperti yang dilakukan para zuhud dari Basrah yaitu Malīk bin Dīnār dan Hasan al-Baṣrī (w. 110 H).6 Berbeda dengan para zuhud yang berasal dari Kufah, mereka lebih bercorak idealis, gemar pada hal yang bersifat imajinatif yang dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahami bacaan dan sedikit cenderung pada paham Syi’ah.7

Dari sini pula berkembanglah sufisme dan mulai disusun konsep-konsep tata cara ibadah dan pola-pola kehidupan lainnya, agar lebih sistematis. Perkembangan selanjutnya dalam tasawuf dan seiring bertambahnya jumlah masyarakat yang menggandrungi tasawuf, muncul gerakan yang mensistematisasi tasawuf, dengan kata lain, tasawuf berubah menjadi gerakan keagamaan.

Pemaknaan tasawuf sendiri berasal dari kata ṣūf (kain wol), Goldziher dan Nicholson sebagai orientalis yang mengkaji tentang Islam pun membenarkan asal kata tersebut, karena kata tersebutlah yang sesuai dengan kebahasaan dan sesuai pula dengan realita yang ada.8 Dikutip dari sumber yang sama, Nicholson mengambil argumentasinya dari sebagian buku-buku di Eropa pada abad 18, dan menyimpulkan bahwa ṣūf adalah satu-satunya kata yang sesuai dengan kebahasaan. Noeldeke juga mengatakan hal yang selaras di penghujung tahun 1894, ia mengukuhkan pendapat Goldziher dan Nicholson dengan mengatakan bahwa penisbatan sufi terhadap ṣūf (kain wol) dikuatkan oleh perkataan penulis Muslim sendiri.9 Menurut Goldziher, tasawuf muncul akibat perasaan berdosa dan ketakutan atas siksa api neraka, seperti

6 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, h. 70. 7 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, h. 70-71. 8 Muhammad Jalāl Syarāf, Tasawuf Islam Madzhab Baghdad, h. 36. 9

(44)

32

yang dipraktikkan oleh kaum Sufi yang mencerminkan adanya pengaruh dari ajaran Buddhaisme.10

Selain itu, menurut Ibn Manbāh bahwa ajaran tasawuf Islam tidak lepas dari pengaruh agama samawi sebelumnya, salah satunya agama Kristen. Ia menggambarkan Isa AS sebagai ahli zuhud, dan gambaran tersebut sampai pula kepada umat Islam. Ternyata hal itu juga menjadi pendorong umat Islam untuk memasuki kehidupan zuhud dan peribadatan. Ṣūf, digambarkan oleh agama Kristen sebagai gambaran pengikut-pengikut Isā bin Maryam yang menggunakan jubah kain wool, pakaian dan celana pendek atau celana cingkrang tanpa alas kaki, rambut dan kumis tak tertata rapi, raut muka yang menguning karena menahan lapar. Gambaran inilah yang menurut Goldziher merupakan bentuk tiruan yang dilakukan ahli ibadah dan ahli zuhud Islam. Kebiasaan menggunakan kain wool tersebut teridentifikasi mulai terjadi pada masa Khalifah ‘Abd al-Malīk bin Marwān (685 M.-705 M.), dan pada masa itulah kata sufi juga mulai muncul.11

Berbeda dengan Joseph Van Hamer, ia mengatakan bahwa sufi berasal dari orang-orang India klasik yang terkenal dengan sebutan “ahli hikmah yang telanjang” (Gymnosophisis), yaitu penamaan yang diberikan orang Yunani kepada orang India yang senantiasa telanjang, tidak menggunakan pakaian sehelaipun dan menghabiskan waktunya untuk melakukan perenungan dan memikirkan Allah. Ia mendefinisikan

10 Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), h.

60.

11 Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Hersri Setiawan (Jakarta: INIS, 1991),

Gambar

Tabel 1.1 Perbandingan Penafsiran 3 Mufassir ……………………………..  53  Table 1.2 Perbandingan Penafsiran al-Qusyairī dan 3 Mufassir lainnya ……  76
Tabel 1.1: Perbandingan Penafsiran 3 Mufassir
Tabel 1.2: Perbandingan Penafsiran al-Qusyairī dan 3 Mufassir lainnya

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi tepung kayambang dan limbah udang terfermentasi (TKF dan TLUF) terhadap kualitas telur itik

Keterbatasan waktu, alat dan bahan dalam pembelajaran biologi yang menjadi penghambat kegiatan praktikum di ruang laboratorium, oleh sebab itu dengan menggunakan laboratorium

Berdasarkan hasil penelitian dengan 98 responden dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara kepatuhan penggunaan obat hipoglikemi oral (OHO) pada pasien

Selain dapat mencukupi kebutuhan gizi keluarga dengan protein nabati (kacang- kacangan, sayuran, buah-buahan) maupun protein hewani (ikan, unggas, maupun

Hasil percobaan proses batch menunjukkan bahwa akumulasi PHB paling tinggi dicapai pada percobaan dengan konsentrasi amonium awal 1,20 g/l dan konsentrasi oksigen terlarut 5

Perilaku terhadap kebersihan lingkungan adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagau determinan kesehatan manusia (Notoatmodjo, 2007: 122). Manusia selalu hidup

Namun angkutan kota di Semarang masih belum menjukan kualitas keselamatan yang baik sehingga perlu diadakan kampanye sosial untuk menyadarkan para pengelola angkutan

Puji syukur kehadiart Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pengetahuan Orang Tua Tentang