Pemikiran Neo Sufisme dan Pembaruan Wujudiyah di Palembang: Studi atas Pemikiran Abd. Shamad al-Palimbani
Oleh: Miftah Arifin *
Abstrak
Salah seorang ulama nusantara yang berpengaruh di abad ke delapan belas adalah Abd. Shamad al-Palimbani. Ia berhasil membuat kemasan doktrin martabat tujuh dalam perspektif Imam Ghazali, yaitu memadukan dan mengkompromikan istilah-istilah teknis dalam tasawuf sehingga menghasilkan kemasan doktrin wujudiyah yang lebih ortodoks. Kitab Siyar al-Salikin yang bebahasa melayu menjadi salah satu rujukan penting dan banyak dibaca oleh masyarakat nusantara.
Kata kunci : al-Palimbani, wujudiyah, martabat tujuh, ghazalian A. Pendahuluan
Ketika polemik adanya doktrin wahdatul wujud meerebak di berbagai daerah di nusantara, hal sama juga terjadi di Kesultanan Palembang. Pada masa ini dilaporkan bahwasanya doktrin martabat tujuh yang cenderung rumit telah menjadi bacaan umum di kalangan masyarakat, sehingga dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan pemahaman secara salah oleh masyarakat yang masih awam dalam hal agama. Sementara di sisi lain jumlah dari guru-guru agama atau para ulama yang memahami doktrin martabat tujuh ini sangatlah terbatas. Hal ini menjadikan Shihabudin, salah seorang ulama di Palembang menulis sebuah kitab al-Risalah yang berisi uraian tentang mistik dan untuk menghindarkan syirik akibat pemahaman yang salah terhadap doktrin martabat tujuh yang telah menyebar di masyarakat.
Ulama berikutnya yang muncul dan bersinar di Palembang adalah Abd al-Shamad al-Palimbani. Meski dikatakan bahwa ia lebih banyak menghabiskan hidupnya di luar Palembang tetapi pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam kitab-kitabnya sangat mempengaruhi generasi berikutnya dengan gagasan neo sufisme (sufisme baru), dengan mengubah doktrin martabat tujuh berbaju ghazalian. Usaha yang dilakukan oleh al-Palimbani ini telah secara kentara menjadikan martabat tujuh bukan lagi hal yang tabu untuk dibaca dan dipelajari di kalangan masyarakat sunni. Kertas kerja ini hendak mendeskripsikan pemikiran neo sufisme
Palimbani dalam harmonisasi syari’ah dan tasawuf di nusantara. B. Kesultanan Palembang pada Abad ke-18 M
Salah satu pusat intelektual Islam nusantara adalah di Kesultanan Palembang, Sumatera Selatan. Setelah berdirinya kesultanan Palembang di abad ke-17, Islamisasi yang massif terjadi di Palembang dan sekitarnya. Di sisi lain para Sultan nampaknya mempunyai kepedulian yang khusus terhadap keilmuan Islam. Menurut Azra1, nampaknya para Sultan
menempuh berbagai cara untuk menarik minat para ulama terutama dari Timur Tengah untuk datang ke Palembang dan mengajarkan ilmu agama Islam di sana. Akibatnya semenjak abad ketujuh belas para imigran Arab terutama dari Hadramaut mulai berdatangan di Palembang dan semakin hari semakin bertambah banyak. Menjelang pertengahan abad ketujuh belas tersebut sudah terdapat beberapa ulama dari Arab yang mempunyai kedudukan penting di istana. Lebih lanjut Azra menjelaskan bahwa pada tahun 1754 – 1755 M. dilaporkan seorang Sayyid Aydarus menikah dengan saudara perempuan Sultan Mahmud dan beberapa sayyid lain menjadi pemimpin-pemimpin keagamaan yang diketuai oleh salah satu di antara mereka dan dikenal dengan sebutan tuan besar.
Kepedulian para sultan yang hendak menjadikan Palembang sebagai pusat ilmu keagamaan menjadikan Palembang memiliki banyak koleksi naskah-naskah karya ulama setempat dan salinan dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Timur Tengah. Akan tetapi nampaknya pembaruan ini hanya dalam lingkup istana saja, tidak menyebar keluar istana. Akibatnya naskah-naskah dan tradisi keilmuan hanya menjadi konsumsi istana dan kuat di lingkar istana. Nampaknya ada persamaan dengan tradisi yang ada di lingkungan kerajaan Buton di Sulawesi akan tradisi intelektualnya. Meski demikian, hal ini paling tidak menjadikan istana kesultanan Palembang menjadi pusat koleksi besar para ulama-ulama lokal dan internasional.2
Drewes3 dan juga Iskandar4 memberikan daftar naskah-naskah
1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, p. 244.
2 Lihat, GWJ. Drewes, Directions on Travelers on the Mystic Path, the Hague : KITLV,
1977.
3 Lihat, GWJ. Drewes, “Palembang Manuscripts and Author”, dalam Directions on
Travelers on the Mystic Path, the Hague : KITLV, 1977, p. 198 – 237.
koleksi di istana Palembang pada abad ke -18 M. yang merupakan hasil karya ulama lokal dan internasional. Terdapat naskah dengan judul Idrak Haqiqah fi takhrij ahadits °ariqa karya Ali bin Hasan bin Sadaqa Mishri yang ditulis pada tahun 1640 M. Atau naskah Umdat Murid li al-Jawharat al-Tawhid bertanggal ditulis pada tahun 1650 M. Terjemahan kitab al-Hikam karya ibn Athaillah ke dalam bahasa Melayu sebagai koleksi Sultan Ahmad Najmudin (1754 – 1777 M.). Di samping itu kitab karya dari ulama-ulama nusantara yang berasal dari luar Palembang juga tersebut dalam daftar naskah tersebut, seperti kitab Asrar Arifin karya Nur Din Raniri, Daqa’iq Huruf, Umdat Muhtajin, karya ‘Abd Rauf al-Sinkili. Dan naskah-naskah yang berbahasa Jawa seperti Serat Wulang Jayalengkara yang dikoleksi oleh Sultan Muhammad Baha’udin (1774 – 1803 M.), serta karya-karya dari ulama dan penulis dari Palembang sendiri semisal Shihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhrudin, Abd al-Shamad al-Palimbani, Muhammad Muhyidin bin Syaikh Shihabudin, Kemas Muhammad bin Ahmad dan sebagainya.
Kitab-kitab yang beredar di Palembang tersebut meliputi kitab-kitab dalam bidang hadits, fiqih, tasawuf, teologi, sejarah. Namun dalam pengamatan Drewes kitab yang dihasilkan oleh Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani tidak nampak dan tidak dijumpai dalam koleksi tersebut, yang ada justru kitab dari Nur al-Din al-Raniri dan ‘Abd al-Rauf al-Sinkili.5 Hal ini menunjukkan nampaknya ulama-ulama di Palembang menghindar untuk mempelajari kitab-kitab yang dianggap bermasalah.
Ulama-ulama yang ada sebelum Abd al-Shamad al-Palimbani seperti misalnya Shihabuddin bin Abdullah Muhammad6 menulis terjemahan dalam bahasa Melayu dari Jawharat al-Tawhid yang diselesaikan pada tahun 1163/1750 karya Ibrahim al-Laqani (w. 1631), sebuah risalah tentang persoalan mistik yang didasarkan pada Risalah fi al-Tawhid karya Syekh Raslan al-Dimasqi, serta kitab Aqidat al-Bayan tentang sifat dua puluh. Khusus tentang risalah pendek tentang persoalan mistik, menurut penelitian Drewes, kitab tersebut ditulis untuk menghindarkan masyarakat dari persoalan syirik dan zindik yang mulai menyebar ke masyarakat akibat doktrin martabat tujuh yang mulai tersebar di masyarakat tanpa dibarengi
Robson (ed), A Man of Indonesian Letters, Essays in Honour of Professor A Teew, Forris Publication, 1986, p. 67 – 72.
5 GWJ. Drewes,Directions for, p. 217.
6 Tidak diketahui riwayat hidupnya dengan jelas, tetapi Drewes memperkirakan
bahwa yang bersangkutan hidup pada pertengahan abad ke -18 seperti terlihat dari karya-karya yang diinisiasikan kepadanya. Lihat, GWJ. Drewes, Directions for, p. 219
dengan guru-guru agama yang mumpuni. Untuk menghindari hal itu Shihabudin lebih banyak mengajarkan doktrin-doktrin tasawuf dari al-Junayd, al-Qusyairi dan al-Ghazali.7
Ulama yang lain adalah Kemas Fakhrudin. Masa hidupnya juga tidak dapat diketahui dengan pasti. Azra8, Winstedt9 menyatakan bahwa masa hidup Kemas Fakhrudin adalah (1133 – 1177 H./ 1719 – 1763 M.), pernah melewatkan hidupnya di India selama kurang lebih empat tahun, namun nampaknya memilih menetap di Makkah atau Madinah sampai akhir hayatnya. Di sanalah ia menulis karya-karyanya antara lain Kitab Mukhtasyar merupakan terjemahan berbahasa Melayu dari Risalah al-Tawhid dengan komentar dari Zakariya al-Anshari (ulama Mesir, w. 1520 M.) dan Abd al-Ghani bin Isma’il al-Nabulusi (w. 1731 M.), menerjemahkan bagian dari Futuh al-Sya’m dari Abu Isma’il al-Bashri (wafat pada akhir abad ke -2 Hijriyah), Khawas al-Qur'an al-Azim, serta menerjemahkan Tuhfat Zaman fi ¨arf ahl Yaman karya dari Saddad al-Himyari. Kitab yang terakhir ini ditulis atas permintaan Pangeran Ratu.10
C. Sketsa Biografi Abd al-Shamad al-Palimbani
Perhatian terhadap madhab wahdat al-wujud dan karya-karya yang berkaitan dengan ini baru ditunjukkan oleh Abd al-Shamad al-Palimbani dalam karya monumentalnya Siyar al-salikin ila ibadat Rabb al-‘Alamin. Nama lengkapnya adalah Abd Shamad bin Abd Allah Jawi al-Palimbani, tetapi sumber-sumber Arab menyebutnya dengan Sayyid Abd al-Shamad bin Abd al-Rahman al-Jawi. Menurut Tarikh Salasilah Negeri Kedah Palimbani dilahirkan sekitar 1116/1704, ayahnya adalah Abd al-Jalil bin Abd al-Wahab bin Ahmad al-Madani, seorang ulama sufi di San’a dan pernah menjabat sebagai mufti besar di Kerajaan Kedah, tetapi kemudian menikah dengan wanita Palembang, Raden Ranti.11
7 GWJ. Drewes, Directions for , p. 219. 8 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, p. 245.
9 Winsteadt, R. A History of Classical Malay Literature, Oxford Univerity Press,
Kuala Lumpur, 1972, p. 152.
10 GWJ. Drewes, Directions for, p. 221 – 222.
11 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, p. 245 – 246. Chatib Cuzwain, 1985, Mengenal
Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf “Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani Ulama Palembang Abad ke -18, Jakarta : Bulan Bintang, hal 8 - 11. lihat juga Chatib Cuzwain, 1986, “Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani, “Suatu Studi Mengenai Perkembangan Islam di Palembang dalam Abad ke -18 Masehi”, dalam Gadjahnata (ed), Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta : UI Press, p. 178 – 182.
Meski masa hidupnya tidak diketahui dengan pasti angka-angka tetapi Azra12, Cuzwain13 memperkirakan bahwa rentang hidup Abd al-Shamad al-Palimbani antara 1704 – 1785 M, ketika ia menyelesaikan kitab Siyar al-Salikin ila Ibadah Rabb al-‘Alamin.14 Azra menyimpulkan bahwa
sebagian besar kehidupan al-Palimbani dihabiskan di Arabia, bahkan dengan memperhatikan sumber-sumber Arab Azra menyakini bahwa al-Palimbani juga meninggal di Arabia, tempat ia menulis dan mengajar. Meski al-Palimbani menetap dan mencurahkan ilmunya di Arabia, tetapi ia tidak melupakan tradisi Islam nusantara. Hal ini dibuktikan dengan ditulisnya kitab-kitab yang berbahasa Melayu yang tentunya diperuntukkan untuk masyarakat Melayu sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Di antara guru-guru al-Palimbani yang paling terkenal adalah Muhammad bin Abd Karim Sammani, Muhammad bin sulayman al-Kurdi dan Abd’ al-Mun’im al-Damanhuri,15 Ibrahim al-Ra’is al-Zamzami (1698 – 1780), Muhammad Murad al-Husayni (1759 – 1791 M.), Muhammad bin al-Jawhari al-Mishri (1720 – 1772 M.), Atha’illah al-Azhari al-Makki. Al-Palimbani memiliki teman se-perguruan yang berasal dari nusantara yang belajar bersama-sama di Arabia yaitu Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd al-Wahhab al-Bugis, Abd al-Rahman al-Jawi dan Dawud al-Fatani.16 Persinggungannya dengan ulama-ulama di Timur Tengah
tersebut tak pelak lagi memberikan pengaruh yang besar terhadap pandangannya tentang bidang-bidang agama Islam khususnya fiqih, tasawuf, terutama mendamaikan antara tasawuf yang dipandang heterodok dengan para penentangnya, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd Rauf
12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, p. 246. 13 Chatib Cuzwain, Mengenal Allah, p. 12.
14 Lihat Al-Palimbani, Siyar al-salikin ila Ibadah Rabb al-‘Alamin, empat jilid,
Beirut:Dar al-Fikr, tanpa tahun. Selanjutnya disebut Siyar al-salikin .
15 A later instance of a comparable constellation of elements occurs in the
mid-eighteenth century under the aegis of the Sultanate of Palembang in south Sumatra. It is possible to document the relationship between 'Abd al-Samad (1703-1788) of Palembang, and Arab scholars in the Holy Land, including the Egyptian Azharite professor Ahmad b. 'Abd al-Mun’im al-Damanhuri who visited Mecca in 1763, and Muhammad b. 'Abd al-Karim al-Samman (1719-75) who founded the Sammaniyya tariqa. 'Abd al-Samad was inducted into this tariqa, and through his students in Mecca returning home to Sumatra, it was established in Palembang where it flourished within the founder's life-time. lihat .W.J. Drewes, Directions for Travelers on the Mystic Path, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (VKI) 81 (The Hague, 1977), p.. 219-20.
Sinkili, sehingga Bruinessen mengatakan bahwa Abd Shamad al-Palimbani barangkali merupakan ulama yang paling terpelajar di sepanjang sejarah nusantara.17
Semasa hidupnya al-Palimbani adalah ulama yang produktif menghasilkan karya tulis baik dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab. Menurut Drewes18, al-Palimbani setidaknya menulis tujuh buah, sementara Cuzwain19 menambahkan sebanyak satu buah sehingga kesemuanya
berjumlah delapan buah yaitu Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tawhid, ditulis dalam bahasa Melayu di Mekkah pada 1764 M, Nasihat al-Muslimin wa ta©kirat al-Mu’minin fi fa«ail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-mujahidin fi sabilillah, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqati Iman al-Mu’minin berbahasa Melayu yang ditulisnya pada 1774 M, Urwat Wusqa wa silsilat ®li al-Ittiqa, Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin ditulisnya pada tanggal 1778 M, Ratib Abd al-Shamad, Siyar al-Salikin ila ‘Ibadat Rabb al-‘Alamin pada tahun 1779 M, Zadd al-Muttaqin fi Tawhid Rabb al-‘Alamin.20
Pada masanya (abad ke -18 M.) di Palembang juga terjadi konflik antara penganut wujudiyah (doktrin martabat tujuh) dengan para ulama, sehingga Shihabuddin bin Abdullah Muhammad perlu menulis sebuah kitab Risalah Tawhid agar masyarakat terhindar dari persoalan syirik dan zindik.21 Tidak diketahui bagaimana dan siapa yang membawa ajaran ini ke
Palembang pada abad-abad tersebut.
Dalam salah satu bagian dari Kitab al-Risalah yang ditulisnya Shihabudin menceriterakan tentang doktrin wahdat al-wujud dan ajaran martabat tujuh yang disalah tafsirkan oleh orang awam sehingga mereka tersesat dari jalan yang benar. Hal ini terjadi karena memang pada masa itu ajaran wahdat al-wujud dan martabat tujuh sudah sangat terkenal di masyarakat Jawi (Nusantara), tetapi ulama-ulama yang mampu mengajarkan doktrin tersebut secara tepat dalam jumlah yang sangat terbatas, akibatnya banyak terjadi salah tafsir dari masyarakat awam. Oleh karena itu Shihabudin dalam Risalahnya menyatakan hendaknya kitab-kitab yang mengajarkan tentang doktrin wahdat al-wujud jangan disebarluaskan di kalangan orang awam, sehingga hanya menjadi konsumsi secara terbatas.22
17 Lihat Bruinessen, Kitab Kuning, p. 270.
18 Lihat GWJ. Drewes, Directions for., hal 222 – 224. 19 Chatib Cuzwain, Mengenal Allah,. P. 22.
20 Lihat GWJ. Drewes, Directions for, p. 222 – 224. Lihat juga Cuzwain, Mengenal
Allah, p. 22 – 30.
21 Lihat GWJ. Drewes, Directions for, p. 219.
Tidak seperti ulama Palembang yang tersebut sebelumnya yaitu Shihabuddin bin Abdullah Muhammad yang lebih berorientasi kepada tasawuf Ghazalian, Palimbani lewat dua karya utamanya yaitu Siyar al-Salikin dan Hidayah al-Salikin, al-Palimbani mencoba melakukan seperti yang diperbuat oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili yaitu melakukan kompromi dan penafsiran terhadap doktrin-doktrin yang dianggap sesat. Meskipun bahwa kitab Siyar al-Salikin dan Hidayah al-Salikin dikatakan sebagai adaptasi dari kitab Ihya ‘Ulum Din dan Bidayah Hidayah karya al-Ghazali, tetapi ternyata al-Palembani memperkaya kitabnya tersebut (terutama Siyar al-Salikin) dengan memasukkan karya-karya yang lain dari kitab Hikam karya ibn Atha Allah, Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi, Futuhat Makkiyah ibn ’Arabi, Insan Kamil nya Jili, Tuhfah Mursalah nya Burhanpuri, Syarah Hikam ibn Atha Allah oleh al-Qusyasyi, al-Maslak al-Mukhtar karya Ibrahim al-Kurani, Jawhar al-Haqa’iq nya Syams al-Din al-Sumatrani, Ta’yid al-Bayan Hasyiyah nya ‘Abd al-Rauf al-Sinkili dan sebagainya.23
Dalam pandangannya tentang ajaran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani, al-Palimbani justru memasukkan kitab-kitab kedua orang ini ke dalam golongan muntahi, artinya kitab bacaan tasawuf bagi salik yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi dan mendalam. Dalam hal ini al-Palimbani membagi penganut tasawuf menjadi tiga golongan yaitu mubtadi’, mutawasit dan muntahi,24 disertai dengan kitab-kitab standar yang menjadi bacaan masing-masing golongan ini.
Dimulai dari golongan yang pertama, kitab-kitab yang menjadi bacaan standar golongan ini adalah karya-karya al-Ghazali, seperti Bidayah al-Nihayah, Minhaj al-Abidin, Arba’in fi U¡ul al-Din, Ihya’ Ulum al-Din, dan sebagainya; dan juga kitab Qut al-Qulub dari Abu Thalib al-Makki, Risalah al-Qusyairiyah karya Abu al-Qasim al-Qusyairi, kitab al-Ghunyah karya Abd Qadir Jailani, kitab ‘Awarif Ma’arif karya Syihabudin Umar
Mystic Path, the Hague:KITLV p. 88 – 99.
23 Lihat, Siyar al-Salikin, Jus III, p. 176 – 184.
24 Golongan mubtadi’ adalah golongan orang yang mempunyai nafsu yaitu orang
yang sedang akan belajar ilmu tarekat, yang belum suci hatinya dari maksiyat batini, memiliki sifat riya’ dan ujub, mudah marah dan sebagainya. Golongan mutawasith adalah golongan orang yang mempunyai hati yaitu orang yang sedang mendalami ilmu tarekat, dan telah suci hatinya dari maksiyat batin. Golongan muntahi adalah golongan orang yang mempunyai ruh, telah suci hatinya dari maksiyat batin dan telah suci hatinya dari selain Allah yaitu orang yang telah makrifat kepada Allah. Lihat Siyar al-SalikIn, III, p. 177 – 178.
Suhrawardi, Adab al-Muridin karya Muhammad bin Habib al-Suhrawardi, Miftah al-Falah karya Ibn ‘Athaillah, Al-Futuhat al-Ilahiyyah karya Zakariya al-Anshari, kitab Madarij al-Salikin, al-Matn al-Kabir wa al-Shaghir karya Abd al-Wahhab al-Sya’rani, al-Simth al-Majid karya Ahmad al-Qusyasyi, al-Itqa§ li al-Taqarrub bi al-Nawafil karya Ibrahim al-Kurani, dan seterusnya. Terdapat sekitar 56 karya yang menjadi bacaan standar golongan pertama ini.25 Pemilihan kitab-kitab ini tentu saja bukan secara acak akan tetapi
secara metodologis. Nampaknya al-Palimbani hendak menekan kepada para pemula yang hendak menjalani ilmu tarekat bahwasanya syari’at tetap menjadi landasan pertama dan utama untuk menempuh jalan sufi.
Sementara untuk bacaan golongan mutawasith antara lain kitab yang mulai bersifat filosofis teologis seperti al-Hikam dan Lathaif al-Minan karya ibn Athaillah, dan Syarah al-Hikam oleh antara lain Muhammad bin Ibrahim bin Abbad, Ahmad bin Abrahim bin Allan al-Naqsabandi, Ahmad al-Qusyasyi, dan lain sebagainya. Dan juga kitab Futuh al-Ghayb karya Abd al-Qadir al-Jailani, a-Masabir karya Abd Allah al-Suhrawardi, Risalah Qawanin al-Ahkam karya Muhammad Abi al-Mawahib al-Sadzili, Jawahir al-Khamsah karya Muhammad al-Ghawts, Risalah Asrar al-Ibadat karya Muhammad al-Samman, dan sebagainya.26
Adapun kitab yang diperuntukkan golongan muntahi adalah kitab-kitab yang filosofis, rumit, dan terkadang kontroversial seperti kitab-kitab Futuhat al-Makkiyah, Mawaqi’ al-Nujum, dan Fusus al-Hikam karya ibn ‘Arabi serta syarahnya oleh Abd al-Ghani al-Nabulusi, Ali al-Maha’imi, kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili, al-Sirr al-Mansun, Miskat al-Anwar karya al-Ghazali, Tuhfah al-Mursalah ila ruh al-Naby karya Fadlullah Burhanpuri, Maslakh Mukhtar karya Ibrahim Kurani, Jauhar Daqa’iq dan Tanbih Tullab fi Ma’rifah Malik Wahhab karya Syams al-Din Al-Samatrani, Ta’yid al-Bayan Hasyiyah atas Idhah al-Bayan fi Tahqiq Masa’il al-A’yan karya ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, dan sebagainya.27
Pemilahan dan pembedaan kitab-kitab tersebut dilakukan secara sadar oleh al-Palimbani untuk menghindarkan para penganut tasawuf dari kebingungan intelektual. Oleh sebab itu, al-Palimbani menyarankan hanya golongan yang telah mencapai tingkatan muntahi lah yang dianjurkan membaca kitab-kitab tersebut. Sebab jika kitab-kitab ini dibaca oleh orang-orang yang belum mapan, maka dikhawatirkan akan terjerumus kepada
25 Detailnya lihat Siyar al-Salikin, III, 177 – 181. 26 Detailnya lihat Siyar al-Salikin, III, 181 – 183. 27 Detailnya lihat Siyar al-Salikin, III, 183 – 184.
kesesatan dan menjadi golongan wujudiyah mulhidah.
D. Pembaruan Wujudiyah Abd al-Shamad al-Palimbani
Seperti para pendahulunya, al-Palimbani mencoba mengkompromi-kan tasawuf ibn ‘Arabian dengan Ghazalian dengan membuat penafsiran-penafsiran tentang konsep-konsep yang mengundang kontroversi, seperti yang dilakukan al-Qusyasyi, al-Kurani, al-Sinkili maupun al-Maqassari. Hampir di keseluruhan karya-karyanya al-Palimbani selalu menekankan pentingnya pemenuhan kewajiban-kewajiban syari’at di jalan mistis tetapi menolak mistisisme spekulatif yang tidak terkontrol yang ia namakan dengan doktrin wujudiyah mulhidah.
Al-Palimbani menyebutkan golongan sufi gadungan termasuk di dalamnya wujudiyah yang mulhidah. Golongan yang dimaksud oleh al-Palimbani adalah kaum hubbiyah, awliyaiyah, samrakhiyah, khaliyyah, waqifiyyah, mutakasiliyah, hululiyah, mujassimah, ibahiyah, hururiyah, mutajahiliyyah, dan wujudiyah.28 Adapun yang dimaksud dengan golongan
wujudiyah di sini adalah kaum yang i’tikad dan katanya la ila ha illa Allah diyakini sebagai tiada wujudku hanya wujud Allah, yakni bahwa aku wujud Allah. Lagi pula mereka itu menyatakan bahwa inna al-Haqq subhanahu wa ta’ala laisa bi maujud illa fi §imni wujud al-ka’inat, yakni bahwa sesungguhnya Haqq Ta’ala tiada wujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk, maka mereka itu mengitsbatkan keesaan Haqq Ta’ala di dalam wujud makhluk……mereka juga berkata “kami dengan Allah sebangsa dan sewujud”. Golongan yang berpendapat seperti dihukumi kafir oleh al-Palimbani.29 Maka dalam pandangan al-Palimbani terdapat dua golongan
wujudiyah, yaitu wujudiyah mulhidah (ateis) yang memiliki keyakinan seperti tersebut dan wujudiyah muwahidah, yaitu sufi sebenarnya yang tidak berpandangan seperti sufi gadungan tersebut.
Sementara untuk menjelaskan tentang kemajemukan alam semesta al-Palimbani mengadopsi konsep martabat tujuh al-Burhanpuri dengan beberapa modifikasi. Menurut al-Palimbani wujud Allah yang Esa tersebut dapat dikenal dengan tujuh tahapan. Martabat yang pertama adalah martabat ahadiyah yang dinamakan juga dengan la ta’ayun dan martabat al-itlaq yaitu ibarat dari semata-mata esensi-Nya, yakni memandang dengan hatinya akan wujud Allah dengan tiada iktibar sifat, af’al dan asma-Nya.
28 Al-Palimbani, Tuhfah al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin, MS Jakarta:
Perpustakaan Nasional, ML 719, hal 14 – 16.
Martabat kedua adalah martabat wahidah yang disebut juga ta’ayun al-awwal, dan haqiqat al-muhammadiyah, yaitu ilmu Tuhan mengenai esensi dan sifat-Nya serta alam semesta ini secara global. Martabat ketiga adalah martabat al-wahidiyyah, dinamakan juga haqiqat al-insaniyah yakni ilmu Tuhan atas dirinya dan alam semesta secara terinci. Ketiga martabat ini menurut al-Palimbani adalah qadim dan azali karena ketika itu belum ada yang maujud kecuali zat Allah semata, sementara alam semesta sudah ada dalam ilmu Allah tetapi belum §ahir di dalam wujud luar (kharij).30
Martabat keempat adalah alam arwah yakni nur Muhammad yang dijadikan dari nur-Nya yang merupakan asal segala roh di alam ini. Martabat kelima adalah alam mitsal pemisahan atau deferensiasi atas roh tunggal ke dalam roh-roh perseorangan. Martabat keenam adalah alam ajsam yaitu alam-alam benda yang terdiri dari empat unsur api, angin, tanah dan air. Martabat yang ketujuh adalah martabat insan yaitu kesatuan dari keseluruhan martabat yang terdahulu maka disebut juga martabat al-jami’ah. Disebut juga martabat ta’ayun akhir yaitu penampakan §ahir Allah yang kemudian sekali.31
Meski Palimbani mengadopsi konsep martabat tujuh al-Burhanpuri, tetapi ia menafsirkan doktrin ini dalam perspektif ghazalian. Menurut al-Palimbani, al-Ghazali membagi tiga tingkatan manusia dalam menuju makrifah kepada Tuhan-Nya yaitu martabat pertama dinamakan nafs al-ammarah yaitu jiwa yang selalu menyuruh berbuat maksiat dan segala kejahatan dan tidak mencela atas kejahatan. Martabat kedua; dinamakan nafs al-lawwamah, yaitu jiwa yang mencela adanya kejahatan dan ia tiada ridha kepadanya, dan hatinya selalu ingin berbuat kebaikan, tetapi masih ada sifat ‘ujub dan riya’ di dalam hatinya. Martabat ketiga adalah nafs al-mutmainnah, yaitu jiwa yang telah mempunyai ketetapan hati untuk selalu berbuat kebaikan, dan ia tidak ridho atas segala kejahatan. Inilah martabat orang yang telah sampai kepada Tuhan.32
Nampaknya al-Palimbani tidak puas dengan penjelasan yang diberikan oleh al-Ghazali sehingga kemudian ia menyempurnakan tingkatan manusia menjadi tujuh tingkatan. Nampaknya ia ingin memadukan konsep martabat tujuh dalam mencapai martabat insan kamil ke dalam madhab Ghazalian. Menurut al-Palimbani jiwa manusia memiliki
30 Al-Palimbani, Siyar Salikiin, IV, hal 103 – 105. Bandingkan dengan
al-Burhanpuri, Tuhfah, p. 130 – 131. lihat juga al-Sumatrani, Jauhar al-Daqa’iq, p. 249 – 258.
31 Al-Palimbani, Siyar al-Salikiin, IV, p. 104 – 105. 32 Al-Palimbani, Siyar al-Salikin, III, p. 6 – 8.
tujuh peringkat yaitu nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-mutmainnah, nafs al-radhiyah, nafs al-mardiyah, dan nafs al-kamilah.33 Peringkat pertama sampai dengan peringkat tujuh menggambarkan tingakatan-tingkatan dalam martabat tujuh, tetapi dibungkus dalam perspektif ghazalian. Nampaknya al-Palimbani mencoba memadukan antara metafisika ‘Arabian dengan pelaksanaan syari’at dalam tasawuf Ghazali.
Menurut al-Palimbani sebetulnya paham wahdat al-wujud dalam perspektif ibn Arabi merupakan tingkatan tauhid paling tinggi yang merupakan tujuan kaum sufi jika dilihat dalam perspektif al-Ghazali. Menurut al-Palimbani dengan mengutip al-Ghazali menyatakan bahwa tingkatan tauhid ada empat yaitu pertama, orang yang mengatakan la ila ha illa Allah tetapi hatinya lalai; kedua, orang yang mengucapkan kalimat la ila ha illa Allah serta mengimani makna; ketiga, adalah tauhid orang yang dekat dengan Allah (muqarrabin), yang memandang dengan mata hatinya bahwasanya alam dan isinya sebagai ciptaan Allah SWT; keempat, tauhidnya orang siddiqin yaitu orang yang memandang dengan mata hatinya tiada yang lain selain zat Allah yang wajib al-wujud, dinamakan pula dengan istilah fana di dalam tauhid, maka ia tidak lagi melihat dirinya, karena batinnya telah tenggelam dalam memandang (syuhud) Tuhan yang Esa yang sebenar-benarnya.34
E. Penutup
Usaha-usaha yang dilakukan oleh al-Palembani dalam mengkompromikan tasawuf dengan syariat menjadikan doktrin wujudiyah dapat relatif di terima di kalangan ulama syari’at. Dengan kemasan dalam perspektif Ghazalian, al-Palimbani menyajikan wajah yang berbeda tentang unsur-unsur dalam doktrin martabat tujuh. Usaha ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peranan jaringan tarekat samaniyah yang dikatakan bahwa al-Palimbani sebagai orang yang pertama kali membawa tarekat ini ke nusantara.
33 Al-Palimbani, Siyar al-Salikin, III, p. 9 – 12.
34 Lihat al-Palimbani, Siyar al-salikin , IV, p. 102 – 103. lihat juga al-Ghazali, Ihya
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Cuzwain, Chatib, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf “Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani Ulama Palembang Abad ke -18, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.
________, “Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani, “Suatu Studi Mengenai Perkembangan Islam di Palembang dalam Abad ke -18 Masehi”, dalam Gadjahnata (ed), Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta : UI Press, 1986.
Drewes, GWJ, Directions on Travelers on the Mystic Path, the Hague : KITLV, 1977.
________, “Palembang Manuscripts and Author”, dalam Directions on Travelers on the Mystic Path, the Hague : KITLV, 1977.
Al- Ghazali, Ihya Ulum al-Din, IV, Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
Al-Palimbani, Siyar al-salikin ila Ibadah Rabb al-‘Alamin, empat jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
________, Tuhfah al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin, MS Jakarta: Perpustakaan Nasional, ML 719.
Shihabudin, “Risalah” dalam GWJ. Drewes, 1977, Directions on Travellers on the Mystic Path, the Hague:KITLV
T. Iskandar, “Palembang Kraton Manuscripts” dalam CMS Hekwig & SO. Robson (ed), A Man of Indonesian Letters, Essays in Honour of Professor A Teew, Forris Publication, 1986.
Winsteadt, R. A History of Classical Malay Literature, Oxford Univerity Press, Kuala Lumpur, 1972.