• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KAPAS NONTRANSGENIK DI SULAWESI SELATAN. M. Basir Nappu, Syafruddin Kadir, M.Z. Kanro, dan Djafar Baco

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN KAPAS NONTRANSGENIK DI SULAWESI SELATAN. M. Basir Nappu, Syafruddin Kadir, M.Z. Kanro, dan Djafar Baco"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

P

engembangan kapas di Sulawesi Selatan sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Pengembangannya dilakukan melalui berbagai pola dengan meng-gunakan varietas konvensional atau kapas nontransgenik. Pada tahap awal pengembangan kapas melalui program intensifikasi kapas rakyat (IKR), luas pertanaman hanya 1.474 ha dengan

produksi 1.468 ton atau produktivitas 996 kg/ha. Pada tahun 1984/1985, luas per-tanaman meningkat menjadi 46.238 ha, tetapi produksi yang dicapai hanya 22.550 ton atau produktivitas menurun hingga 602 kg/ha. Selanjutnya, pada musim ta-nam 1994/1995, realisasi tata-nam mencapai 32.122 ha dengan produksi 7.294 ton atau produktivitas hanya 387 kg/ha (Direktorat

Jenderal Perkebunan 1998). Akibat pe-nurunan produksi tersebut maka per-mintaan bahan baku serat dalam negeri tidak terpenuhi sehingga Indonesia menjadi negara pengimpor kapas terbesar di dunia (Ali 1998).

Pada tahun 1995, produksi kapas dalam negeri masih di bawah 1% dari kebutuhan nasional. Kondisi ini

menyu-PENGEMBANGAN KAPAS NONTRANSGENIK

DI SULAWESI SELATAN

M. Basir Nappu, Syafruddin Kadir, M.Z. Kanro, dan Djafar Baco Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jalan Perintis Kemerdekaan km 17,5,

Kotak Pos 1234 Makassar 90243

ABSTRAK

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan sudah berlangsung lebih dari 20 tahun. Pengembangannya dilakukan melalui berbagai pola dengan menggunakan varietas konvensional atau kapas nontransgenik (Reba BTK 12, Deltapine 55, Tak Fa-1, Kanesia-2, dan Kanesia-3), kapas hibrida, dan kapas transgenik. Berbagai varietas kapas tersebut telah memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan kapas di Sulawesi Selatan. Varietas-varietas tersebut mempunyai potensi hasil tinggi, namun di tingkat petani potensi produktivitas tersebut belum tercapai karena adanya berbagai faktor penghambat. Dalam upaya mendukung pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, sejak dekade 1980-an dilakukan berbagai penelitian dan pengkajian untuk menghasilkan teknologi baik berupa komponen maupun paket teknologi. Namun, komponen atau paket teknologi tersebut belum sepenuhnya diterapkan oleh petani sehingga masih terdapat kesenjangan produktivitas yang cukup besar antara di tingkat penelitian dan di tingkat petani. Varietas kapas yang dikembangkan seperti Kanesia-2 dan Kanesia-3 secara genetik mempunyai daya hasil cukup tinggi dan berpotensi dikembangkan pada lahan kering dan lahan sawah sesudah padi, baik dalam pola monokultur maupun tumpang sari dengan kacang hijau atau kedelai. Produktivitas 1.500−2.000 kg/ha dapat tercapai dengan menerapkan teknologi budi daya kapas anjuran. Teknologi budi daya yang kritis di tingkat petani adalah mutu benih, penyiangan tepat waktu, dan pemupukan yang tepat. Mutu genetik benih kapas yang dikembangkan umumnya sudah menurun. Untuk menjamin kelangsungan pengembangan kapas varietas konvensional di Sulawesi Selatan, usaha perbenihan perlu ditangani secara khusus oleh kelembagaan yang khusus pula. Kata kunci: Kapas, tanaman nontransgenik, produktivitas, Sulawesi Selatan

ABSTRACT

Development of non-transgenic cotton in South Sulawesi

Cotton development in South Sulawesi has been undergoing more than 20 years through various developing patterns, using conventional or non-transgenic cotton varieties (Reba BTK 12, Deltapine 55, Tak Fa-1, Kanesia-2, Kanesia-3), hybrid, and transgenic cottons. These varieties give significant contribution to the cotton development in South Sulawesi. These varieties have high yield potential, however on farmer level, its potential productivity has not achieved yet because of many obstacles. To support cotton development in South Sulawesi, researches and assessments have been conducted since 1980 to create various technologies suitable for cotton farmers. However, the technologies are not applied completely yet by the farmers, so gap between the cotton productivity in its research level and farmer level is wide. Cotton varieties that had been developed so far, i.e. 2 and Kanesia-3, genetically have high yield and can be developed on dryland and paddy field that had been laid fallow, both monoculture and intercrop with mungbean or soybean. High productivity of 1,500−2,000 kg/ha was achieved by applying recommended technology. The critical cultivation technologies on farmer level are seed quality, on time weeding, and proper fertilizer application. The genetic quality of cotton seed that had been developed have dropped. To assure continuity of developing conventional cotton variety in South Sulawesi, the seed production effort needs to be handled specifically by special institution.

(2)

litkan posisi industri tekstil, apalagi diperburuk dengan terjadinya penurunan nilai rupiah.

Berbagai varietas kapas telah di-kembangkan dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan kapas di Sulawesi Selatan. Varietas-varietas kapas yang dikembangkan di Sulawesi Selatan adalah Reba BTK 12, Deltapine 55, Tak Fa-1, Kanesia-2, Kanesia-3, kapas hibrida, dan kapas transgenik. Varietas-varietas tersebut mempunyai potensi hasil tinggi, namun potensi hasil tersebut belum dapat dicapai di tingkat petani karena belum didukung oleh penerapan teknologi budi daya yang sesuai. Selain oleh varietas, keberhasilan pengembangan suatu ta-naman juga ditentukan oleh penerapan teknologi budi daya yang tepat.

Dalam upaya mendukung pengem-bangan kapas di Sulawesi Selatan, sejak tahun 1980-an telah dilakukan berbagai penelitian dan pengkajian untuk men-dapatkan teknologi yang sesuai, baik berupa komponen maupun paket tekno-logi. Namun, komponen atau paket teknologi tersebut belum sepenuhnya diterapkan oleh petani sehingga senjang produktivitas antara di tingkat penelitian dan di tingkat petani masih cukup besar.

Makalah ini menyajikan keragaan pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, varietas-varietas unggul kapas yang dapat dikembangkan dan tingkat pro-duktivitasnya, serta teknologi budi daya anjuran. Informasi yang disajikan di-harapkan dapat menjadi masukan dalam upaya perbaikan produktivitas kapas di tingkat petani.

KERAGAAN

PENGEMBANG-AN KAPAS DI SULAWESI

SELATAN

Luas Area, Produksi, dan

Produktivitas

Di Sulawesi Selatan, pelaksanaan prog-ram IKR dimulai tahun 1978 pada area 1.018 ha dengan produktivitas 1.102 kg/ ha. Area terluas (25.961) ha dicapai pada tahun 1985 dengan produktivitas hanya 477 kg/ha. Setelah itu, luas pertanaman kapas hingga tahun 2000 terus menurun menjadi 5.361 ha dengan produktivitas 492 kg/ha (Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan 1998) (Tabel 1). Data tersebut

Tabel 1. Area tanam dan realisasi area panen kapas di Sulawesi Selatan, 1978−−−−−2001.

Area (ha) Produksi Produktivitas

Musim tanam

Tanam Panen (t) (kg/ha)

1978 1.018 979 1.079 1.102 1979 2.117 1.958 2.350 1.200 1980 4.503 4.289 4.717 1.118 1981 7.290 6.798 5.932 873 1982 9.588 8.427 5.929 705 1983 12.325 10.313 6.252 606 1984 8.578 7.651 7.729 1.010 1985 25.961 20.492 9.781 477 1986 16.995 9.456 3.576 378 1987 11.222 5.286 1.399 264 1988 6.735 5.507 2.507 455 1989 6.008 5.495 2.695 402 1990 2.990 2.423 1.127 465 1991 3.454 2.913 2.023 694 1992 13.150 10.124 6.111 603 1993 19.883 14.088 7.713 548 1994 18.223 12.855 6.731 534 1995 18.913 10.690 5.164 482 1996 25.426 12.137 4.892 403 1997 11.876 5.944 2.490 419 1998 9.168 5.641 2.721 482 1999 9.284 5.156 2.070 401 2000 5.361 2.841 1.400 492 2001 4.482 − − −

Sumber: Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan (2001).

menunjukkan bahwa tingkat produk-tivitas yang rendah merupakan masalah utama dalam pengembangan kapas.

Agaknya terdapat korelasi negatif antara luas daerah pengembangan dengan produktivitas. Pada tahun 1978, misalnya, luas daerah pengembangan hanya 1.018 ha, tetapi produktivitasnya mencapai 1.102 kg/ha, sementara pada tahun 1985 luas daerah pengembangan mencapai 25.961 ha tetapi produktivitas-nya haproduktivitas-nya 477 kg/ha. Keproduktivitas-nyataan ini menunjukkan bahwa makin luas daerah pengembangan, manajemen usaha tani makin rumit dan makin tidak dikuasai oleh pengelola.

Riwayat Pengembangan

Varietas Kapas di Sulawesi

Selatan

Sejak awal pengembangan IKR tahun 1978 hingga tahun 1983, varietas Reba BTK 12 mendominasi pertanaman kapas di Sulawesi Selatan. Namun pada tahun 1984/1985, varietas tersebut mulai

diganti-kan oleh Deltapine 55 ( DP-55 ). Pada tahun 1986 sampai awal 1990-an dikem-bangkan varietas yang didatangkan dari Thailand yaitu Tak Fa-1. Pergantian varietas kapas terus dilakukan dan pada tahun 1992−2000 dikembangkan varietas Kanesia-2, Kanesia-3, dan kapas hibrida eks India. Perkembangan penggunaan varietas dan produktivitas kapas di Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 2.

Pergantian varietas ternyata belum berhasil meningkatkan produktivitas kapas, bahkan produktivitasnya cen-derung menurun. Hal ini membuktikan bahwa varietas bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan pengem-bangan kapas. Perbaikan varietas tanam-an perlu diikuti oleh peneraptanam-an tekno-logi budi daya seperti penyiangan, pe-mupukan yang tepat, dan pengendalian hama.

Pada musim tanam 1995/1996, varietas Kanesia-2 mendominasi daerah pengembangan kapas di Sulawesi Selatan. Hanya beberapa daerah saja yang meng-gunakan varietas lain seperti Tak Fa-1 dan hibrida. Daerah penyebaran varietas kapas

(3)

mupukan, penyiangan, dan teknik pengendalian hama. Eksistensi paket teknologi di tingkat petani disajikan dalam Tabel 5.

Penggunaan benih bermutu tanpa kabu-kabu belum menjadi pilihan petani karena belum disediakan oleh perusahaan pengelola. Benih yang digunakan masih berupa benih berkabu-kabu yang mutu fisiknya kurang terjamin. Biji yang rusak atau biji yang tidak berkembang sem-purna tidak diseleksi sehingga ikut digunakan sebagai bahan tanam. Bila proporsi biji yang rusak tinggi maka daya tumbuh benih di lapangan rendah. Benih dengan mutu fisik yang rendah akan merugikan petani karena menurun-kan jumlah tegamenurun-kan. Pendapatan juga menurun sebagai akibat meningkat-nya penggunaan tenaga kerja untuk penyulaman.

Pengolahan tanah secara intensif jarang dipraktekkan, umumnya petani melakukan pengolahan tanah secara sederhana (minimum tillage). Kapas ditanam setelah panen jagung dengan

Tabel 5. Eksistensi teknologi budi daya kapas di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Komponen teknologi % petani Benih

Berkabu-kabu 1001)

Tanpa kabu-kabu (delinted) 0 Varietas

Tak Fa-1/111 (Kanesia-2) 100 Pengolahan tanah Intensif 0 Minimum 100 Jarak tanam Sesuai anjuran 0 Alur bajak 1002) Penyiangan Intensif 0 Herbisida 100 Pemupukan Waktu pemberian

Pupuk I bersamaan tanam 0

7−10 HST 87,50 Tidak menentu 12,50 Takaran Sesuai paket 8 5 Melebihi paket 1 5 Cara

Alur bajak ditutup 1 0

Tidak ditutup 9 0

Cara pengendalian hama

Pestisida 37,50

Tanaman perangkap jagung 62,50

1)Disiapkan oleh perusahaan pengelola. 2)Kekurangan tenaga kerja.

Sumber: Kanro et al. (1997). Tabel 2. Produktivitas beberapa varietas kapas di Sulawesi Selatan, 1978−−−−−

2000.

Periode Varietas di tingkat petani (kg/ha)Produktivitas rata-rata

1978/1979−1983/1984 Reba BTK 12 943

1984/1985−1986/1987 Deltapine 55 621

1987/1988−1992/1993 Tak Fa-1 480

1993/1994−2000 Kanesia-2, Kanesia-3 470

dan kapas hibrida Sumber: Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan (2001).

Tabel 4. Keragaman jumlah buah kapas varietas Kanesia-2 pada lahan petani di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1997.

Contoh Jumlah Rata-rata Selang jumlah Standar Koefisien

tanaman jumlah buah buah baku keragaman

I 2 0 17,40 11−26 4,19 24,09

II 2 0 16,70 12−25 3,38 20,27

III 2 0 16,35 9−2 0 3,30 18,95

Sumber: Kanro et al. (1998).

Tabel 3. Keragaan produktivitas varietas kapas di beberapa daerah pengembangan IKR di Sulawesi Selatan, MT 1995/1996.

Varietas Lokasi Produktivitas(kg/ha)

Kanesia-2 Bajeng, Gowa 210

Bonto Nompo, Gowa 654

Kelara, Jeneponto 487

Pa’jukukang, Bantaeng 838

Tompobulu, Bantaeng 609

Bisappu, Bantaeng 777

Hibrida Parangloe, Gowa 131

Bungaya, Gowa 139

Batang, Jeneponto 192

Tak Fa-1 Tompobulu, Gowa 289

Binamu, Jeneponto 409

Tamalatea, Jeneponto 285

Bangkala, Jeneponto 250

Sumber: Kanro dan Nappu (1998). dan tingkat produktivitasnya pada tahun 1996 diperlihatkan pada Tabel 3.

Varietas-varietas kapas yang di-kembangkan di Sulawesi Selatan pada umumnya sudah lama bergulir di dae-rah pengembangan tanpa ada upaya pemurnian. Akibatnya mutu genetiknya menurun sehingga produktivitasnya juga rendah. Kemurnian varietas berdasarkan kriteria keragaman jumlah buah telah diobservasi pada tiga petak lahan petani. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa variabilitas jumlah buah sudah sangat besar, interval jumlah buah antara 9−20

dan 11−26 buah/pohon dengan koefisien keragaman 18,95−24,09 (Tabel 4). Untuk mempertahankan tingkat produktivitas yang menguntungkan, pemurnian varietas sudah dilakukan sejak tahun 1996.

Eksistensi Teknologi Budi Daya

Kapas di Tingkat Petani

Teknologi budi daya yang eksis di tingkat petani telah diobservasi, meliputi peng-gunaan benih, varietas, pengolahan tanah, pengaturan jarak tanam,

(4)

pe-cara menebar benih pada alur bajak sehingga jarak tanamnya tidak teratur. Cara tanam seperti ini dilakukan petani untuk menanggulangi kekurangan te-naga kerja. Untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi pada budi daya dengan pengolahan tanah minimum, penyiangan harus segera dilakukan setelah tanaman tumbuh (Young 1982).

Takaran pupuk yang digunakan umumnya sudah sesuai dengan paket, namun cara pemberiannya belum sem-purna. Kebanyakan petani meletakkan pupuk di atas permukaan tanah tanpa ditutup sehingga kurang dapat me-ningkatkan produktivitas, serta menim-bulkan pemborosan penggunaan pupuk.

HASIL-HASIL PENELITIAN

VARIETAS DAN

TEKNO-LOGI BUDI DAYA KAPAS

Varietas Unggul Kapas

Perbaikan varietas kapas diprioritaskan untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangga hama yang merupakan kendala produksi utama di Indonesia. Hingga tahun 1993 telah dilepas tujuh varietas unggul kapas yaitu Kanesia-1, Kanesia-2, dan LRA 5166 yang dilepas tahun 1990 serta Kanesia-3, Kanesia-4, Kanesia-5, dan Kanesia-6 yang dilepas tahun 1993, serta dua galur baru yang sedang disiapkan untuk dilepas (Hasnam dan Sumartini 1994). Varietas-varietas baru tersebut lebih tahan terhadap

Sundap-teryx biguttula (dahulu Empoasca)

sehingga lebih sedikit membutuhkan insektisida dan memberikan kesempatan kepada agensia hayati untuk berperan lebih aktif. Produktivitas rata-rata varie-tas baru tersebut dengan 3−4 kali aplikasi pestisida (3 l/ha) mencapai 2,20 t/ha, yang berarti menghemat biaya proteksi 50% (dari rata-rata 6 l/ha), meningkatkan produktivitas 300%, serta memperbaiki mutu serat. Produktivitas varietas unggul dan galur baru kapas diperlihatkan pada Tabel 6.

Mutu serat varietas baru tersebut cukup baik untuk memproduksi benang 30 dan 40’S. Selain tahan terhadap hama S. biguttula, Kanesia-3, Kanesia-4, dan 88004/1/2 juga toleran untuk di-tumpangsarikan dengan palawija.

Potensi produktivitas kapas pada lahan sawah bera cukup tinggi, yaitu

rata-Tabel 7. Hasil rata-rata delapan varietas kapas di Takalar, Sulawesi Selatan.

Varietas berbiji (kg/ha)Hasil kapas

Tak Fa-I/III 2.020 LRA 5166 2.140 Reba BTK 12/28 2.230 Quebracho 1.940 ISA 204 A 1.870 Tak Fa-1 1.920 DPL-55 2.020 Reba P-279 2.060

Sumber: Tandisau et al. (1990).

Tabel 6. Keragaan varietas atau galur unggul kapas di lahan kering Sulawesi Selatan, 1993/1994−−−−−1994/1995.

Produktivitas (kg/ha)

Varietas Pasirian Genteng Bone

1993/1994 1994/1995 1993/1994 Kanesia-1 2.485 2.122 1.981 Kanesia-2 2.200 1.948 1.929 Kanesia-3 2.408 2.230 1.779 Kanesia-4 2.920 2.382 1.961 LRA 5166 1.772 2.241 1.929 88004/1/2 2.491 2.636 1.939 88002/14/3 2.687 2.201 1.959

Sumber: Kasryno et al. (1998).

rata 2.025 kg/ha (Tabel 7). Tandisau et al. (1990) melaporkan hasil penelitian delapan varietas kapas pada lahan sawah bera di Takalar, Sulawesi Selatan. Semua varietas yang diuji memperlihatkan hasil yang cukup tinggi, berkisar antara 1.870−

2.230 kg/ha (Tabel 7). Hasil kapas berbiji Reba BTK 12/28 cenderung lebih tinggi dibanding varietas lainnya, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Agaknya potensi hasil Reba BTK 12/28 secara genetik memang lebih tinggi dari varietas lainnya. Pengujian di Lombok dan Jawa Timur juga memperlihatkan bahwa hasil kapas berbiji Reba BTK 12/28 cenderung lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya (Hasnam dan Isdijoso 1989).

Penelitian tumpang sari kapas de-ngan kacang hijau juga telah dilaksanakan pada lahan sawah bera. Nappu et al. (1990) mengombinasikan empat varietas kapas dan kacang hijau. Hasilnya me-nunjukkan bahwa hasil kapas berbiji dalam pola monokultur berkisar antara 1.200−2.070 kg/ha, sedangkan hasil

kacang hijau dalam pola tumpang sari berkisar antara 500−700 kg/ha (Tabel 8). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa lahan sawah bera selain berpotensi untuk pengembangan kapas, juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kacang hijau dalam bentuk tumpang sari dengan kapas.

Sebagai upaya mendukung pengem-bangan kedelai di Sulawesi Selatan dan untuk menghindari kompetisi pengguna-an lahpengguna-an, dilakukpengguna-an pula penelitipengguna-an tumpang sari kapas dengan kedelai di lahan sawah sesudah padi. Hasil peneliti-an menunjukkpeneliti-an bahwa produktivitas semua varietas kapas yang ditanam secara tumpang sari menurun diban-dingkan bila ditanam secara monokultur, tetapi dari segi diversifikasi usaha tani cukup menguntungkan (Tabel 9). Hasil kedelai dalam pola tumpang sari dengan kapas berkisar antara 420−973 kg/ha. Hasil tertinggi diperoleh pada tumpang sari kapas Tak Fa-1 dengan kedelai Wilis, masing-masing 1.490 dan 973 kg/ha (Nappu et al. 1991). Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa varie-tas kapas dapat ditanam secara mono-kultur maupun tumpang sari dengan potensi hasil yang cukup tinggi. Pola tumpang sari dapat dikembangkan pada lahan kering atau lahan sawah sesudah padi.

Paket Teknologi Budi Daya

Anjuran

Penerapan satu komponen teknologi saja pada budi daya kapas belum mampu meningkatkan produktivitas karena komponen lain menjadi faktor pembatas.

(5)

cara maupun takarannya, penyiangan tepat waktu dan intensif, penerapan PHT, dan menggunakan benih bermutu mam-pu mencapai hasil 2.700 kg/ha. Jumlah petani yang mampu dan mau melaksana-kan komponen teknologi tersebut secara lengkap hanya sekitar 4% dari petani kooperator OFR di Jeneponto tahun 1992. Jadi, dengan teknologi yang ter-sedia serta bimbingan yang intensif, produktivitas kapas rakyat bisa diting-katkan 4−5 kali dari produktivitas yang ada.

Penelitian serupa juga dilakukan di Desa Balong, Kecamatan Ujung Loe, Kabupaten Bulukumba pada musim tanam 1996/1997 (Kanro et al. 1997). Teknologi yang dikaji meliputi benih bermutu, varietas unggul Kanesia-2 dan Kanesia-3, tumpang sari kapas dengan kedelai, serta pengendalian hama ter-padu. Selain itu, dikaji pula teknik budi daya yang diterapkan petani, yaitu peng-olahan tanah, penanaman, penyiangan, pemupukan, panen, dan pascapanen. Tanggapan petani terhadap teknologi yang diintroduksi dan teknik budi daya anjuran disajikan pada Tabel 11. Sekitar 70% petani kooperator telah meng-gunakan benih tanpa kabu-kabu dan 30% masih menggunakan benih berkabu. Penggunaan benih tanpa kabu-kabu dapat menjamin kualitas fisik benih yang baik karena disiapkan melalui proses sortasi beberapa kali. Untuk men-jamin kelangsungan usaha tani kapas, masalah perbenihan perlu ditangani secara khusus.

Kepercayaan petani terhadap Kane-sia-2 cukup tinggi, yakni 75% petani memilih menanam Kanesia-2, sisanya 25% menanam Kanesia-3. Hal ini karena Kanesia-2 lebih dulu dikenal petani daripada Kanesia-3 walaupun daya hasil kedua varietas ini di tingkat petani relatif seimbang (Tabel 12). Tingkat produktivitas tersebut dicapai pada kondisi pertanaman terawat dengan baik, benih bermutu baik, bebas gulma, dan pengendalian hama sesuai dengan panduan.

Tanaman jagung yang semula ditanam sebagai perangkap hama ber-kembang menjadi tanaman produksi. Populasi tanaman jagung lebih banyak dalam pola strip cropping, yaitu tiap empat, baris kapas disisipkan satu baris jagung. Produktivitas jagung cukup tinggi, mencapai 1,50 t/ha. Untuk mengefektifkan pengendalian hama, Tabel 8. Rata-rata hasil kapas berbiji dan kacang hijau pada pola tanam

tumpang sari dan monokultur di lahan sawah bera di Gowa, Sulawesi Selatan, 1990.

Pola tanam/varietas Hasil (kg/ha)

Kapas Kacang hijau

Reba BTK 12/28, monokultur 2.070 −

+ Lokal 1.440 630

+ No. 129 1.600 690

Tak Fa-1, monokultur 1.610 −

+ Lokal 1.300 500

+ No. 129 1.380 660

LRA 5166, monokultur 1.200 −

+ Lokal 970 700

+ No. 129 1.130 630

Tak Fa-1/111, monokultur 1.640 −

+ Lokal 1.440 620

+ No. 129 1.580 580

Sumber: Nappu et al. (1990).

Penggunaan benih bermutu menjadi kurang berarti dalam peningkatan pro-duktivitas kapas tanpa didukung teknik budi daya lainnya seperti pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama. Makin banyak komponen teknologi yang mampu diterapkan petani, makin tinggi produktivitas yang dicapai.

Hasil on farm research (OFR) di Jeneponto menunjukkan bahwa pe-nerapan satu komponen teknologi yang tidak diikuti oleh komponen-komponen teknologi yang lain tidak berhasil mencapai produktivitas yang tinggi. Beberapa komponen teknologi usaha tani

kapas di lahan kering yang dapat men-jadi penyebab hilangnya hasil yaitu waktu tanam terlambat, penyiangan tertunda, serta pengendalian hama dan pemupukan tidak tepat waktu. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Kanro

et al. (1992) di Kabupaten Jeneponto

(Tabel 10). Penerapan satu komponen teknologi yaitu benih bermutu, tanpa diikuti penerapan komponen teknologi yang lain secara tepat, hanya mampu mencapai produktivitas 1.360 kg/ha. Sebaliknya, penerapan komponen tek-nologi secara utuh yang meliputi tanam tepat waktu, pemupukan tepat waktu baik Tabel 9. Hasil kapas berbiji dan kedelai dalam pola monokultur dan

tumpang sari kapas dan kedelai di Gowa, Sulawesi Selatan, 1990.

Pola tanam/varietas Hasil (kg/ha)

Kapas Kedelai

Tak Fa-1, monokultur 2.387 −

+ Wilis 1.490 973 + Tidar 1.587 537 + Tambora 1.947 837 Kanesia-1, monokultur 1.853 − + Wilis 1.743 757 + Tidar 1.823 450 + Tambora 1.840 687 Kanesia-2, monokultur 2.083 − + Wilis 1.627 920 + Tidar 1.887 420 + Tambora 1.793 683 LRA 5166, monokultur 2.637 − + Wilis 1.850 913 + Tidar 1.917 440 + Tambora 1.827 607

(6)

Tabel 10. Hubungan antara penerapan komponen teknologi dengan produktivitas kapas di Jeneponto, Sulawesi Selatan, 1991. Komponen teknologi yang diterapkan Jumlah Produktivitas

petani (%) kapas (kg/ha)

Benih bermutu tanpa kabu-kabu 100 1.360

Tanam tepat waktu; benih bermutu 5 0 1.480

Pemupukan tepat waktu; benih bermutu 3 8 1.787

Penyiangan intensif; benih bermutu 4 7 1.650

PHT: penyemprotan insektisida berdasar- 5 2 1.340

kan panduan; benih bermutu

Tanam tepat waktu; pemupukan tepat 1 9 1.931

waktu; benih bermutu

Tanam tepat waktu; pemupukan tepat waktu; 9 2.150

penyiangan intensif; benih bermutu

Tanam tepat waktu; pemupukan tepat 4 2.700

waktu; penyiangan intensif; penerapan PHT; benih bermutu

Sumber: Kanro et al. (1992).

Tabel 11. Tanggapan petani terhadap teknologi anjuran penanam-an kapas di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1996.

Komponen teknologi % petani

Benih

Berkabu-kabu 301)

Tanpa kabu-kabu (delinted) 7 0 Varietas

Kanesia-2 7 5

Kanesia-3 2 5

Tumpang sari dengan kedelai 902)

P H T

Penanaman jagung sebagai 1003)

perangkap Scouting 8 0 Tanpa scouting 2 0 Pengolahan tanah Sederhana 100 Intensif Penyiangan Intensif Herbisida 1004) Pemupukan Tepat waktu 3 0 Tidak menentu 7 0 Cara pemupukan Ditutup 4 0 Tidak ditutup 6 0

1)Kekeringan setelah tanam menyebabkan

daya kecambah benih turun drastis.

2)Kedelai sempat dipanen, tetapi kekeringan

pada kegiatan pascapanen menyebabkan biji kedelai rusak.

3)Tanaman perangkap dikembangkan pula untuk

produksi.

4)Keterbatasan tenaga kerja.

Sumber: Kanro et al. (1997). rambut jagung perlu dibuang untuk

memusnahkan telur-telur Helicoverpa

armigera yang terdapat pada rambut

tersebut. Untuk meningkatkan pen-dapatan petani dari jagung, populasi tanaman dapat diperbanyak dengan kombinasi dalam tiap tiga baris kapas ditanam satu baris jagung.

Pengolahan tanah secara sederhana sudah dapat dipraktekkan petani. Peng-olahan tanah diawali dengan penyemprot-an herbisida untuk mematikpenyemprot-an gulma. Selanjutnya dilakukan pembajakan tanah satu alur tiap 100 cm. Alur mata bajak ini digunakan sebagai barisan penanaman kapas. Cara pengolahan tanah dan penanaman seperti ini dapat menghemat penggunaan tenaga kerja 20−30 HOK/ha. Penyiangan pertama dilakukan dengan mencabut rumput yang terdapat di sekitar tanaman. Penyiangan kedua umumnya menggunakan herbisida untuk menekan gulma yang tumbuh di antara barisan tanaman, sedangkan gulma yang tumbuh dalam barisan tanaman dicabut seperti cara penyiangan pertama. Cara penyiangan seperti ini dapat menjamin

tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik.

Pemupukan masih menjadi masalah bagi petani terutama cara pemberiannya. Dengan bimbingan intensif, baru 40% petani yang mengikuti anjuran untuk membenamkan pupuk ke dalam tanah, 60% sisanya masih belum mengikuti anjuran dengan alasan kekurangan tenaga kerja dan desakan kegiatan usaha tani lain yang bersamaan dengan kapas. Oleh karena itu, diperlukan cara pemberian pupuk yang lebih efisien sehingga mudah diikuti oleh petani. Pencampuran pupuk dengan tanah atau pasir sebelum di-aplikasikan di lapangan perlu dipelajari efektivitasnya. Pencampuran pupuk dengan tanah bertujuan untuk meng-hindari kehilangan unsur melalui peng-uapan. Cara ini relatif mudah diikuti oleh petani.

Dari berbagai hasil penelitian ter-sebut dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai produktivitas kapas yang menguntungkan maka paket teknologi budi daya anjuran perlu diterapkan secara utuh. Paket teknologi dimaksud meliputi:

1) Varietas unggul Kanesia-2 dan Ka-nesia-3.

2) Benih bermutu tanpa kabu-kabu dengan daya tumbuh minimum 85%. 3) Pemupukan tepat waktu dan tepat

takaran dengan waktu aplikasi dua kali. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanam dengan takaran 25 kg ZA + 100 kg SP-36 + 50 kg KCl/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 4 minggu setelah tanam (MST) dengan takaran 100 kg urea/ha. 4) Pengendalian hama secara terpadu

yang meliputi penggunaan tanaman perangkap jagung, penggunaan pes-tisida berdasarkan scouting system; ambang kendali H. armigera = 4 temuan/25 tanaman contoh.

5) Penyiangan tepat waktu pada umur 3 dan 6 MST.

Kapas umumnya ditanam pada lahan kering setelah panen jagung sehingga waktu tanam merupakan hal yang kritis dalam budi daya kapas. Kesalahan dalam Tabel 12. Produktivitas kapas Kanesia-2 dan Kanesia-3 di Bulukumba,

Sulawesi Selatan, 1996.

Varietas Luas Produksi Produktivitas

(ha) (kg) (kg/ha)

Kanesia-2 2,25 3.873,80 1.721,68

Kanesia-3 4,25 7.281,70 1.713,34

(7)

menentukan waktu tanam akan berakibat pada gagalnya pertanaman karena ke-keringan. Waktu tanam paling lambat untuk daerah pengembangan kapas di Sulawesi Selatan sudah ditetapkan dan berbeda-beda menurut lokasi. Minggu tanam paling lambat (MPL) masing-masing lokasi pengembangan kapas di Sulawesi Selatan dirinci pada Tabel 13.

Gambar 1. Pertanaman tumpang sari kapas Kanesia-3 dengan pola empat baris

diselingi satu baris jagung Arjuna, di antara kapas ditanami dua baris kedelai varietas Wilis (Kanro et al. 1997).

Gambar 2. Keragaan pertanaman kapas Kanesia-3 dan jagung Arjuna tanpa

tumpang sari dengan kedelai (Kanro et al. 1997).

pembuahan. Pada kondisi curah hujan yang cukup, penerapan teknik budi daya seperti ini diharapkan dapat meningkat-kan pendapatan sekitar Rp634.000−

Rp1.147.420/ha.

Tingkat produktivitas 750−1.000 kg/ha atau setara pendapatan kapas Rp218.435−Rp723.320/ha dicapai oleh 33,30% petani peserta. Produktivitas ini merupakan produktivitas rata-rata yang dicapai oleh petani setiap musim tanam kapas. Sekitar 44,40% petani hanya mampu mencapai produktivitas kurang dari 750 kg/ha. Petani yang tergolong

dalam kelompok ini umumnya menanam kapas dua kali karena adanya kerusakan benih atau cekaman air saat penanaman.

Sekitar 2% petani melakukan modifi-kasi dalam penanaman kapas, kedelai, dan jagung dalam pola tumpang sari. Modifikasi dilakukan dengan mengurangi populasi kapas hingga 50% dan me-ningkatkan populasi jagung sampai 100% dari anjuran. Produktivitas kapas, kedelai, dan jagung relatif seimbang masing-masing 632, 676, dan 1.500 kg/ha dengan pendapatan Rp1.091.600/ha. Pola tanam ini dapat menjadi pola tanam alternatif

Pendapatan Usaha Tani Kapas

Analisis pendapatan usaha tani kapas dalam pola tumpang sari dengan kedelai dan jagung telah dilakukan melalui kegiatan pengkajian sistem usaha per-tanian berbasis kapas di Bulukumba pada musim tanam 1996/1997. Pendapatan merupakan fungsi dari produktivitas tanaman dan biaya yang dikeluarkan. Produktivitas kapas dan jagung masing-masing adalah 632−1.645 kg/ha dan 215−

1.500 kg/ha. Perbedaan produktivitas terutama disebabkan oleh perbedaan ting-kat pemeliharaan kapas dan perbedaan populasi tanaman kedelai dan jagung (Gambar 1 dan 2). Produktivitas dan pendapatan dibagi dalam tiga kelompok seperti terlihat pada Tabel 14.

Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa sudah terdapat 20,30% petani yang mampu menghasilkan kapas berbiji 1.000−1.645 kg/ha . Petani yang tergolong dalam kelompok ini mempunyai kemam-puan menerapkan teknologi anjuran yang meliputi pengendalian gulma dan pemupukan secara tepat waktu, tepat takaran, dan tepat cara. Produktivitas tersebut sudah cukup tinggi, tetapi masih di bawah produktivitas optimum. Hal ini terutama disebabkan oleh cekaman air pada awal pertumbuhan dan fase Tabel 13. Minggu tanam paling lam-bat (MPL) untuk masing-masing daerah pengem-bangan kapas di Sulawesi Selatan.

Lokasi MPL

Gowa Minggu I Desember

Takalar Minggu III Desember Jeneponto Minggu I Februari Bantaeng Minggu I April Bulukumba Minggu IV Maret

Bone Minggu I April

(8)

dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan sudah berlangsung lebih dari 20 tahun dengan produksi dan produktivitas yang berfluktuasi. Penerapan teknologi anjuran hingga 100% mampu memberi pendapatan Rp1.147.420. Oleh karena itu, pengem-bangan kapas di Sulawesi Selatan perlu mendapat perhatian.

Varietas kapas yang dikembangkan seperti Kanesia-2 dan Kanesia-3 secara genetik mempunyai daya hasil yang cukup tinggi. Varietas-varietas tersebut ber-potensi untuk dikembangkan pada lahan kering dan lahan sawah sesudah padi, baik dalam pola monokultur maupun tumpang sari dengan kacang hijau atau kedelai. Produktivitas 1.500−2.000 kg dapat tercapai bila diikuti dengan penerapan teknologi budi daya kapas anjuran. Selain varietas unggul, paket tek-nologi anjuran yang perlu diterapkan di tingkat petani adalah penggunaan benih bermutu tanpa kabu-kabu dengan daya

DAFTAR PUSTAKA

Ali, F. 1998. Kebutuhan produksi tekstil nasional terhadap bahan baku kapas. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. hlm. 1−14. Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan. 1998.

Program pengembangan intensifikasi kapas rakyat Propinsi Sulawesi Selatan. Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. 21 hlm.

Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan. 2001. Keragaan pengembangan kapas di Sulawesi Selatan tahun 1978−2001. Dinas Perkebun-an Propinsi Sulawesi SelatPerkebun-an, Makassar. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1998. Peluang

dan program pengembangan kapas di Indonesia. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. hlm. 56−66.

Hasnam dan S.H. Isdijoso. 1989. Hasil-hasil penelitian kapas tahun 1986−1989 di NTT, NTB, dan Jatim. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Agriculture Support Project). Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian, Jakarta. 28 hlm.

Hasnam dan S. Sumartini. 1994. Deskripsi varietas unggul kapas (Gossypium hirsutum L.). Seri

Tabel 14. Produktivitas tanaman dan pendapatan sistem usaha tani berbasis kapas, di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1996.

Produktivitas (kg/ha) Petani Penerimaan Biaya Pendapatan

Kapas Kedelai Jagung (%) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)

1.000−1.645 72−170 215−864 20,30 1.054−1.632.420 420−485.000 634.000−1.147.420 750−1.000 44−164 266−840 33,30 706.435−1.208.320 425−475.000 218.435−723.320

< 750 85−632 200−920 44,40 496.960−842.000 400−475 96.960−367.000

632 676 1.500 2 1.591.600 500.000 1.091.600

Sumber: Kanro et al. (1997).

tumbuh minimum 85%, pemupukan tepat waktu dan tepat takaran, pengendalian hama secara terpadu, dan penyiangan tepat waktu.

Mutu genetik benih kapas yang dikembangkan selama ini umumnya sudah menurun. Untuk menjamin kelang-sungan pengembangan kapas varietas konvensional di Sulawesi Selatan, per-benihan perlu ditangani secara khusus oleh kelembagaan yang khusus pula. Selain itu, guna menjamin keberhasilan usaha pengembangan kapas perlu ditemukan model pengembangan yang sesuai.

Edisi Khusus: 6/VIII/1994. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. 10 hlm.

Kanro, M.Z., M. Sahid, M.B. Nappu, dan M. Sjafaruddin. 1992. On farm research pola usaha tani kapas di lahan beririgasi setengah teknis. Laporan Hasil Penelitian 1990/ 1991−1991/1992. Sub Balai Penelitian Ta-naman Tembakau dan Serat, Bajeng. 29 hlm. Kanro, M.Z., M.A. Bilang, M.B. Nappu, dan S. Kadir. 1997. Pengkajian sistem usaha pertanian berbasis kapas berwawasan agribisnis. Laporan Hasil Penelitian, Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Per-tanian Gowa. 27 hlm.

Kanro, M.Z. dan M.B. Nappu. 1998. Penerapan teknologi pada beberapa daerah pengem-bangan kapas di Sulawesi Selatan. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. hlm. 239−244.

Kanro, M.Z., M.B. Nappu, S. Kadir, M. Azis, G. Aidar, dan H. Juddawi. 1998. Pengkajian paket teknologi budi daya kapas di Sulawesi Selatan. Makalah Temu Informasi Teknologi Pertanian, Instalasi Penelitian dan Peng-kajian Teknologi Pertanian Ujung Pandang, 26−27 Februari 1998. 10 hlm.

Kasryno, F., T. Sudaryanto, dan Hasnam. 1998. Peranan penelitian dalam mendukung peningkatan produksi kapas nasional. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. hlm. 74−94.

Nappu, M.B., C. Lopulisa, J. Limbongan, dan Asmin. 1990. Pengujian beberapa varietas kapas dengan kacang hijau dalam pola tumpang sari di lahan sawah bera. Prosiding Seminar Budi Daya Kapas di Lahan Sawah. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. hlm. 95−106.

Nappu, M.B., A. Sulle, dan S. Kadir. 1991. Pola tanam kapas dengan kedelai di lahan sawah bera setelah padi. Laporan Hasil Penelitian Kapas 1989/1990−1990/1991. Sub Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Bajeng. hlm. 57−68.

Tandisau, P., Hasnam, dan C. Lopulisa. 1990. Adaptasi beberapa varietas kapas di lahan sawah sesudah padi. Prosiding Seminar Budi Daya Kapas di Lahan Sawah. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. hlm. 107−112. Young, H.M. 1982. No-Till Farming. No-Till

Gambar

Tabel 1. Area tanam dan realisasi area panen kapas di Sulawesi Selatan, 1978 −−−−− 2001.
Tabel 4. Keragaman jumlah buah kapas varietas Kanesia-2 pada lahan petani di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1997.
Tabel 7. Hasil rata-rata delapan varietas kapas di Takalar, Sulawesi Selatan.
Tabel 10.     Hubungan antara penerapan komponen teknologi dengan   produktivitas kapas di Jeneponto, Sulawesi Selatan, 1991.
+3

Referensi

Dokumen terkait

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro. 2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi

Abstrak: Telah dihasilkan modul mata kuliah Gelombang berbasis STEM yang telah dilakukan dan diujicobakan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika angkatan 2016

Perbandingan dengan angka SR untuk kelompok umur ‘tetanggga terdekatnya’ kedua angka SR yang tidak logis itu tampaknya terkait dengan kesalahan pelaporan umur

lebih cepat dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Oleh karena itu guru diwajibkan beradabtasi dengan menggunakan startegi baru dalam sistem pembelajaran

Untuk mendukung penjelasan dan analisis pelaksanaan prinsip-prinsip technopreneurship yang ada pada CV Wahana Putera Ideas, maka pendekatan yang ditetapkan oleh Peneliti

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan diketahui bahwa korelasi antara kedudukan terhadap gaya kepemimpinan sebesar 0,451 adalah signifikan, sehingga

Adapun karakteristik alternatif mata pencarian responden yang bertempat di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang yang melakukan mobilitas tenaga kerja dari sektor

Dalam kegiatan menggambar motif hias, banyak dari peserta didik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya peserta didik yang sangat sederhana,