• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Konfusius yang Terefleksi dalam Pengajaran Para Guru CHHS 中中华语补习学校汉语老师教学实践中反映的孔子思想

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemikiran Konfusius yang Terefleksi dalam Pengajaran Para Guru CHHS 中中华语补习学校汉语老师教学实践中反映的孔子思想"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

44

Pemikiran Konfusius yang Terefleksi dalam Pengajaran Para

Guru CHHS

中中华语补习学校汉语老师教学实践中反映的孔子思想

Steffi Thanissa Halim, Elisa Christiana & Liejanto Wijaya

Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra

E-mail: Steffi_lin@hotmail.com, elisa_88@126.com, dan loliejanto@gmail.com 摘要 学习一种语言是离不开它的文化背景,包括离不开中国文化的汉语教学,而 中国文化却受到古代伟大思想家与教育家孔子的教育思想的影响。目前在泗 水已有各种大大小小的汉语补习班或补习学校,中中华语补习学校是其中之 一。此论文采用定性研究法,采访中中华语补习学校的六位汉语老师并分析 他们的教育方式是否反映了孔子的教育思想。分析结果表示六位受访者在他 们的教学中都不知不觉地实践了此思想,比如:“有教无类”、“因材施 教”、“尊师爱生”等,并把它作为他们教学的主要与基本原则。 关键词:孔子、教育思想、华文教学、中中华语补习学校、汉语老师 ABSTRAK

Pembelajaran sebuah bahasa tidak lepas dari budaya yang melatarbelakanginya, termasuk pengajaran bahasa Tionghoa yang juga tidak terpisahkan dari budaya Tionghoa, yang sangat terpengaruh oleh nilai-nilai Konfusius, seorang pemikir dan pendidik teragung pada masa Tiongkok kuno. Saat ini, di Surabaya sudah ada berbagai macam lembaga kursus bahasa Tionghoa, baik yang besar maupun kecil. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif, mewawancarai enam orang guru pengajar bahasa Tionghoa di Lembaga Kursus Bahasa Tionghoa CHHS yang merupakan salah satu lembaga kursus bahasa Tionghoa terbesar di Surabaya, dan menganalisis nilai-nilai pendidikan Konfusius yang terefleksi dalam proses belajar mengajar mereka. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa keenam narasumber telah secara tanpa sadar menerapkan nilai-nilai ini, antara lain: pendidikan untuk semua kalangan (Yǒu jiào wú lèi 有教无类), mengajar sesuai latar belakang dan kemampuan murid (Yīn cái shī jiào 因材施教), menghormati guru dan mencintai murid (Zūn shī ài shēng 尊师爱生 ) dan menjadikannya sebagai prinsip yang terutama dan mendasar dalam pengajaran mereka.

Kata-kata kunci : Konfusius, Nilai-nilai pendidikan, Pendidikan bahasa Tionghoa, Lembaga Kursus CHHS, Guru pengajar bahasa Tionghoa

(2)

45 PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi yang kian pesat, bahasa kini memiliki kedudukan dan peran yang semakin penting pula. Masyarakat modern jaman sekarang menuntut setiap orang untuk dapat menguasai berbagai macam bahasa asing. Semenjak tanggal 17 Januari 2000, dimana presiden keempat Indonesia, Bapak Abdurrahman Wahid, mengeluarkan Keppres No.6/2000 yang berisi tentang pencabutan Inpres no.14/1967 yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto mengenai larangan terhadap agama, budaya, dan bahasa etnis Tionghoa, pendidikan bahasa Tionghoa mulai bangkit dan berkembang lagi. Kini, di Surabaya sudah banyak berdiri lembaga kursus bahasa Tionghoa, baik besar maupun kecil, salah satunya adalah Kursus Bahasa Tionghoa CHHS yang merupakan sebuah lembaga kursus bahasa Tionghoa yang terkenal, terpercaya, dan memiliki jumlah murid dan guru yang cukup banyak di Surabaya.

Dalam mempelajari suatu bahasa asing, dengan sendirinya, kita bisa langsung merasakan unsur dan warna budaya yang terkandung dalam bahasa asing tersebut. Hal ini dikarenakan bahasa dan budaya memiliki kaitan yang sangat erat. Jika dipandang dari sudut antropologi, bahasa dan budaya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

Begitu pula halnya dengan budaya Tionghoa yang juga memiliki hubungan yang erat dengan bahasa Tionghoa. Karena dasar dan prinsip dari budaya Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran aliran Konfusianisme (RŭJiā 儒家) yang diajarkan oleh Konfusius (Kŏngzi), maka secara tidak langsung kita dapat merasakan pengaruh ajaran ini dalam setiap proses belajar dan mengajar bahasa Tionghoa. Sebagai seorang filsuf dan pendidik yang paling agung di Tiongkok, Konfusius memiliki jasa yang sangat besar dalam dunia pendidikan Tiongkok. Sepanjang hidupnya ia merumuskan banyak sekali nilai-nilai dan pandangan penting mengenai pendidikan.

Mengingat pemikiran Konfusius tentang pendidikan ini telah berusia lebih dari 2500 tahun dan keadaan masyarakat serta lingkungan pendidikan pada masa itu juga sangat berbeda dengan keadaan saat ini, maka penulis mengajukan judul penelitian ini untuk mengetahui apakah nilai-nilai pengajaran Konfusius juga tercermin dalam cara mengajar para guru bahasa Tionghoa di Surabaya pada masa kini, apa sajakah dan bagaimanakah cara mereka merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam pengajaran mereka, dan mengapa mereka menggunakan cara pengajaran mereka saat ini. Ruang lingkup penelitian ini meliputi pemikiran Konfusius tentang pengajaran dan pendidikan yang tertulis dalam kitab Lúnyǔ《论语》, termasuk teori tujuan pendidikan, teori target pendidikan, terori materi pendidikan, prinsip-prinsip dalam mengajar, hubungan guru dan murid, dan tuntutan terhadap guru. Subjek penelitian merupakan guru pengajar Bahasa Tionghoa di Lembaga Kursus Bahasa Tionghoa CHHS.

KAJIAN PUSTAKA

(3)

46

Menurut Huáng (2003:78), tujuan dari pendidikan yang dijalankan oleh Konfusius adalah untuk membina generasi baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau disebut juga xiū jǐ yǐ ān (修己以安), atau yangjuga dirangkum oleh salah satu murudnya yang bernama Zi Lù menjadi xué ér yōu zé shì (学而优则仕) yang berarti belajar untuk mejadi seorang pejabat yang bermartabat. Tujuan ini dipengaruhi oleh pandangan Konfusius terhadap bidang politik yang menganut prinsip Fù lǐ (复礼), yaitu kembali seperti pada jaman dinasti Xī Zhōu (西周). Karena itulah, ia kemudian mengajukan semboyan mengangkat orang-orang yang berbudi luhur atau jǔ xián cái (举贤才) menjadi tujuan dari pendidikan yang dijalankannya.

Zhūxī (朱熹) dalam buku Lúnyǔ Jízhù (论语集注) mengatakan: “Xián, yǒu dé zhě; Cái, yǒu néng zhě (贤,有德者;才,有能者)” yang berarti Xián adalah orang yang berbudi atau bermoral, sedangkan Cái, adalah orang yang berkemampuan. Maka dari itu, Xiáncái dapat didefinisikan sebagai orang yang bermoral dan berkemampuan.

Teori Target Pendidikan Konfusius – Yǒu Jiào Wú Lèi(有教无类)

Target pendidikan Konfusius dapat dirangkum dengan mengunakan satu kalimat terkenal yang berbunyi yǒu jiào wú lèi (有教无类 mengajar tanpa pandang bulu) yang tertulis pada kitab Lúnyǔ bagian Wèi líng gōng. Zhào (2006:84) mengatakan, makna yang terkandung dalam yǒu jiào wú lèi adalah tidak membedakan asal-usul negara, suku, jabatan, status sosial, usia, dan kemampuan dalam menerima murid. Selain itu, yǒu jiào wú lèi juga masih mengandung makna lainnya, yaitu mencetuskan keadilan dalam pendidikan. Bagi Konfusius, dalam dunia pendidikan tidak boleh ada diskriminasi, setiap murid harus diperlakukan secara sama dan tidak dibeda-bedakan (Fèng & Jiāo, 2010:2 ; Zhāng Chuánsuí, 2009:6). Materi Pendidikan Konfusius (Jiàoyù Nèiróng 教育内容)

Menurut Konfusius, seorang Jūnzǐ (君子) harus memiliki dua aspek utama dalam dirinya, yaitu pengetahuan atau Wén (文) dan kualitas atau Zhì (质). Demi tujuan inilah akhirnya Konfusius menggunakan empat pengajaran dan enam kitab (sì jiào hé liù jīng 四教和六经) sebagai materi utama dalam praktek pengajaraan dan pendidikannya (Lǐ Qiàn2003:61-62).

Empat pengajaran atau sì jiào (四教) terdiri dari Wén (文), Xing (行), Zhōng (忠), dan Xìn ( 信 ) dimana Wén ( 文 ) menunjuk pada pembelajaran mengenai pengetahuan, sedangkan Xíng (行 – moral), Zhōng (忠 – kesetiaan), dan Xìn (信 – kejujuran) mengacu ke pendidikan moral.

(4)

47

Enam kitab atau Liù jīng ( 六 经 ) terdiri atas kitab Shī ( 《诗》 ), kitab Shū (《书》), kitab Lǐ (《礼》), kitab Yuè (《乐》), kitab Yì (《易》), dan kitab Chūnqiū (《春秋》).

Konfusius juga memasukkan enam keahlian atau Liùyì (六艺) kedalam materi ajarnya. Enam keahlian ini terdiri atas Lǐ (礼) yang mengajarkan mengenai etika dan moral serta hubungan antar manusia (teori sopan santun dan tata cara), Yuè (乐) yang menunjuk pada pemantapan pengetahuan dan moral siswa melalui seni, Shè ( 射 ) yang menunjuk pada keahlian panahan, Yù ( 御 ) yaitu keahlian mengendarai kereta perang, Shū ( 书 ) yang mengajarkan tentang tulisan dan pengetahuan alam, dan Shù (数) yang menunjuk pada pengetahuan matematika dan kalenderisasi.

Jika dilihat lebih lanjut, Lǐ (礼) setara dengan pendidikan budi pekerti di jaman sekarang, Yuè (乐) setara dengan pendidikan seni, Shè (射) dan Yù (御) setara dengan pendidikan olahraga, sedangkan Shū (书) dan Shù (数) setara dengan pendidikan pengetahuan. Jadi, dapat dilihat bahwa sejak 2000 tahun yang lalu, Konfusius sudah mencetuskan dasar utama dalam pendidikan, yaitu pendidikan menyeluruh yang meliputi pendidikan moral, pengetahuan, olahraga, dan kesenian. Mempelajari Hal Baru dari Pengetahuan Lama (Wēn Gù Ér Zhī Xīn 温故而 知新)

Dalam kitab Lúnyǔ bagian Wéi zhèng, Konfusius mengatakan: “Wēn gù ér zhī xīn, Kěyǐ wéi shī yǐ (温故而知新,可以为师矣)” yang berarti bahwa guru yang sering melakukan review bisa menjadi guru yang baik. Menurut Zhāng Jiépíng (2002:51), Wēn gù ér zhī xīn (温故而知新) merupakan salah satu cara terbaik untuk memperkokoh pemahaman dan menggali pengetahuan yang baru. Zhāng Chuánsuí (2009:19) juga mengatakan bahwa Wēn gù (温故) berarti mencapai tahap paham dan mengerti melalui review atau belajar yang dilakukan berulang-ulang, sedangkan zhī xīn (知新) berarti mendapatkan pengetahuan baru setelah melalui wēn gù (温故). Karena itu, wēn gù (温故) dan zhī xīn (知新) merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Mengajar Sesuai Karakter Siswa (Yīn Cái Shī Jiào 因材施教)

Berdasarkan Yáng Guóxīn (2006:48) dan Hè (2006:57), makna dari yīn cái shī jiào ( 因 材 施 教 ) adalah memberikan pendidikan sesuai dengan kualifikasi, karakter dan level dari masing-masing siswa.

Dasar dari Yīn cái shī jiào (因材施教) adalah pemahaman Konfusius terhadap sifat dasar manusia, yaitu Xìng Xiāng Jìn, Xí Xiāng Yuǎn (性相近,习相远) yang tertulis dalam kitab Lúnyǔ bagian YángHuò. Menurut Zhāng Chuánsuí (2009: 9), kunci utama dalam menjalankan Yīn cái shī jiào (因材施教) adalah pemahaman yang menyeluruh dan mendalam mengenai karakter tiap-tiap siswa. Konfusius mengamati dan mempelajari kebiasaan serta karakter para siswanya melalui cara

(5)

48

dialog dan observasi, dari situlah ia jadi memahami keadaan tiap-tiap siswanya. Kemudian dari pemahaman itu, ia menyusun pengajarannya sesuai dengan sifat, karakter, ketertarikan , dan kemampuan para siswanya yang berbeda-beda (Hè, 2006:57).

Prinsip Menginspirasi (Qǐfǎ Shì启发式), Mengajar di Waktu yang Tepat (Shìshí Ér Jiāo 适时而教), dan Kedudukan Guru (Jiāoshī De Dìweì 教师的 地位)

Tujuan dari cara menginspirasi ini adalah mengajarkan para siswa untuk bisa belajar mandiri dan berpikir kreatif (Jǔ yī fǎn sān 举一反三) (Wáng Shùnhóng, 2007:96). Zhāng Sījiān (2007:110) mengatakan bagi Konfusius, cara terbaik bagi siswa untuk belajar adalah dengan mengandalkan pemikirannya sendiri. Karena itu, dalam proses belajar mengajar, para guru harus mengajak mereka untuk aktif berpikir dan memberikan para siswa kesempatan untuk melakukan hal ini.

Kata menginspirasi atau Qǐfǎ ( 启 发 ) berasal dari kalimat yang dikatakan Konfusius dalam kitab Lúnyǔ bagian Shù ér yang berbunyi: “Bù fèn bù qǐ, bù fěi bù fā, jǔ yīyú bù yǐ sānyú fǎn, yì bù fù yě 不愤不启,不悱不发,举一隅不以三 隅反,亦不复也”. Kalimat ini memiliki arti bahwa seorang guru tidak akan bisa memancing seorang murid tanpa memberinya dorongan terlebih dahulu, tidak akan bisa menginisiasi seorang murid tanpa membuatnya merasa penasaran terlebih dahulu; jika tidak dapat membuat mereka berkembang, maka tidak akan bisa membuat mereka mencapai kecerdasan. Fèn (愤) merupakan keadaan dimana siswa berpikir karena ada suatu rasa penasaran yang menggelitik benak dan pikirannya namun masih belum mendapatkan pencerahan. Pada situasi seperti ini, seorang guru hendaknya membantu membuka jalan pikiran siswanya, inilah yang disebut sebagai qǐ ( 启 ). Fěi ( 悱 ) adalah kondisi dimana siswa yang berada dibawah tuntunan guru telah sedikit demi sedikit memiliki gambaran dan pemahaman kasar mengenai hal yang dipikirkan tadi, namun masih belum sempurna. Pada saat inilah, guru hendaknya memberikan arahan yang benar sehingga siswa dapat memahami dan mengutarakan pemahamannya tersebut, inilah yang disebut dengan fā (发). Dapat kita lihat, dalam praktek pengajarannya, Konfusius selalu menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar. Ia selalu mengusahakan agar siswa bisa berpikir secara aktif dan memecahkan masalah atau menemukan penyelesaian sendiri. Sedangkan baginya, seorang guru hanya berfungsi sebagai pengarah dan penyemangat yang berada di sisi siswa (Lǐ Qiàn, 2003:62-63).

Cara Memuji (Biǎoyáng Shì表扬式)

Cara pendidikan yang dipraktekkan Konfusius adalah cara pendidikan yang berpusat pada pujian (Biǎoyáng 表扬) terhadap siswa. Ia sangat mementingkan memuji dan mendorong sisi positif siswa. Menurut Konfusius, tiap-tiap siswa memiliki harga dirinya masing-masing. Maka, yang harus dilakukan oleh seorang guru adalah menggunakan pujian dan rasa harga diri seorang siswa untuk mendorongnya agar belajar dan berpikir lebih baik lagi. Meskipun suatu saat

(6)

49

seorang guru harus memarahi atau mengkritik siswanya, seorang guru hendaknya memperhatikan kata-katanya agar tidak menyakiti hati dan perasaan siswanya (Lǐ Qiàn, 2003:62-63).

Penyatuan Belajar dan Berpikir (Xué Sī Hé Yī 学思合一)

Konfusius mengatakan bahwa belajar (xué 学) dan berpikir (sī 思) adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan (Lǐ Qiàn, 2003:53). Dalam kitab Lúnyǔ bagian Wéi zhèng, Konfusius berkata: “Xué ér bù sī zé wǎng, sī ér bù xué zé dài 学而不思则 罔,思而不学则殆” yang berarti belajar tanpa berpikir tidak akan ada gunanya, begitu juga dengan berpikir tanpa belajar. Bagi Konfusius, belajar dan berpikir merupakan dua hal utama dalam pendidikan. Keduanya sama penting sehingga tidak boleh hanya mementingkan salah satunya saja. Tujuan dari penggabungan antara keduanya adalah untuk membentuk kebiasaan belajar yang baik bagi siswa, mengembangkan kekreatifan siswa, serta membantu siswa untuk mendapatkan manfaat utama dari proses belajar (Wáng Méngméng & Wáng Cōng, n.d.:162 ; Hé, 2006:57).

Menghormati Guru dan Mencintai Murid (Zūn Shī Ài Shēng 尊师爱生) Menurut Yáng Guóxīn (2006:49), proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru dan murid secara bersama-sama untuk saling membantu dan belajar. Dalam proses ini, hubungan guru dan murid memegang peranan yang sangat penting. Maka dari itu, seorang guru harus dapat membangun hubungan yang saling menghormati dan saling menyayangi diantara dirinya dan muridnya. Konfusius juga beranggapan demikian. Hubungan antara Konfusius dan para muridnya sangat dekat dan harmonis (Lǐ Rúmì, 2011:272). Di satu sisi, Konfusius sangat menyayangi murid-muridnya. dan di sisi lain, murid-murid Konfusius juga sangat menghormati beliau.

Belajar Bersama (Jiào Xué Xiāng Zhǎng 教学相长)

Dalam mengajar, Konfusius selalu mempertahankan hubungan yang sederajat dengan muridnya. Konfusius juga selalu bersikap rendah hati dan selalu bersedia belajar dari para muridnya (Lǐ Qiàn, 2003:63). Menurutnya, proses belajar mengajar sebenarnya tidak hanya merupakan proses dimana guru menyebarkan pengetahuan, tetapi juga merupakan proses dimana guru juga bisa belajar sesuatu dari muridnya. Karena itu belajar dan mengajar tidak dapat dipisahkan dan harus berkembang bersama-sama (Shí & Wáng Qiǎohóng, 2005:155).

Kitab Lúnyǔ bagian Shù ér metuliskan: “Sān rénxíng, bì yǒu wǒ shī yān. 三人 行,必有我师焉。” kalimat ini berarti dalam sekerumunan orang pasti ada seseorang yang bisa menjadi seorang guru (lebih menonjol). Hú (2012:121) mengatakan, kalimat ini menunjukkan kerendah-hatian Konfusius yang menganggap bahwa dimana saja pasti akan ada orang lain yang lebih baik daripadanya, karena itu ia bersedia belajar dari orang lain, bahkan dari muridnya sendiri.

(7)

50

Memberikan Teladan (Yǐ Shēn Zuò Zé, Yán Chuán Shēn Jiào 以身作则, 言传身教)

Bagi Konfusius, seorang guru haruslah bisa menjadi panutan bagi muridnya, ia beranggapan bahwa pengajaran yang paling efektif adalah melalui tindakan guru itu sendiri, bukan dari perkataan atau ucapan saja (Zhāng Chuánsuí, 2009:20). Menurutnya, profesi guru adalah profesi mulia yang bertujuan untuk membina dan memupuk kualitas seorang murid melalui kualitas dirinya sendiri, Seorang guru juga merupakan teladan bagi muridnya. Karena itu seorang guru hendaknya menggabungkan pengajaran melalui ucapan dan tindakan, jadi tidak hanya mengajar melalui mulut atau perkataan saja, tetapi juga mengajar melalui segala tindakan dan cara hidupnya.

Tak Kenal Lelah Dalam Belajar dan Mengajar (Xué Ér Bù Yàn, Huì Rén

Bù Juàn 学 而 不 厌 , 诲 人 不 倦 ), dan Tidak Mempunnyai Kepentingan

Pribadi (Wúsī Wú Yǐn 无私无隐)

Berdasarkan Zhào (2006:85), selama hidupnya, Konfusius selalu suka belajar (xué ér bùyàn 学而不厌). Selain itu, terhadap orang lain, terutama terhadap muridnya, ia juga selalu mendidik tanpa kenal lelah (huì rén bù juàn 诲人不倦). Selama hidupnya, ia sangat menyukai belajar dan tidak pernah merasa puas dengan pengetahuan yang ia miliki. Dalam mendidik, Konfusius berharap semua guru dapat mendidik murid tanpa kenal lelah, menyebarkan pengetahuan tanpa takut kerepotan, dan selalu berusaha untuk membuat muridnya mengerti tentang apa yang diajarkan (Lǐ Qiàn, 2003:64). Selain itu, Konfusius juga beranggapan bahwa seorang guru hendaknya bersikap jujur kepada muridnya dan tidak mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Zhào (2006:85) mengatakan, Konfusius mengibaratkan seorang guru sebagai sebuah tongkat bagi muridnya, berfungsi untuk membantu muridnya belajar berjalan perlahan-lahan hingga suatu hari ia bisa berjalan bahkaan berlari sendiri dan meninggalkan tongkat tersebut.

Pengarahan dalam Cara Belajar (Xué Fǎ Zhǐ Dǎo 学法指导)

Menurut Zhāng Jiépíng (2002:51), karakteristik utama Konfusius dalam pemikirannya mengenai pendidikan adalah bahwa ia sangat memperhatikan cara belajar murid-muridnya. Tujuannya adalah untuk mendidik muridnya agar belajar dengan cara yang benar. Bagi Konfusius, hanya mengajarkan tentang pengetahuan tidaklah cukup, murid juga perlu diajarkan mengenai cara belajar dan mempraktekkan ilmunya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono (2012:25-36) dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, pendekatan kualitatif dapat membantu peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal yang diteliti. Target dari penelitian ini adalah

(8)

51

guru-guru pengajar bahasa Tionghoa di Lembaga Kursus Bahasa Tionghoa CHHS yang telah berpengalaman mengajar di CHHS selama minimal 2 tahun dengan batasan usia 20-40 tahun dan pendidikan terakhir minimal S1. Berdasarkan kriteria di atas, penulis kemudian menyesuaikan dengan tingkatan kelas yang ada di Lembaga Kursus Bahasa Tionghoa CHHS dan mengambil dua orang guru dari masing-masing tingkat kelas untuk diwawancarai.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Menurut Sugiyono (2012:320), metode wawancara ini lebih bebas daripada teknik wawancara terstruktur. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai persoalan yang diteliti. Setelah semua data telah terkumpul dan tertranskrip, barulah peneliti mulai melakukan pemilahan, penyusunan, dan penganalisisan data.

HASIL ANALISIS

Dibawah ini merupakan data latar belakang dan informasi umum dari keenam narasumber yang penulis dapatkan.

Tabel 1 Data Latar Belakang Narasumber Narasumber Item A B C D E F Usia 33th 29 th 24 th 30 th 39 th 25 th Pengalaman Mengajar ±7 th ±6 th >2 th ±7 th (di CHHS ±6 th) ±10 th (di CHHS ±5 th) >2 th Pendidikan Terakhir S1 S1 S1 S2 S1 S1 Kelas yang diajar di CHHS Anak-anak dan Dewasa Kelompok bermain dan TK Kelompok bermain dan dewasa Dewasa TK dan anak-anak Kelompok bermain dan TK Agama Buddha Kristen

Protestan Konghucu Buddha

Kristen

Protestan Katolik Dalam hal tujuan pendidikan, keenam narasumber mengatakan bahwa mereka ingin agar murid-muridnya dapat menguasai bahasa Tionghoa dengan baik, terus mengalami kemajuan dalam belajar, dan menjadi orang yang pandai dalam berbahasa Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa mereka ingin membuat anak didiknya menjadi seorang yang berkemampuan (Yǒu Néng 有能). Mereka juga berharap agar murid-muridnya bisa menjadi orang yang sopan serta memiliki kepribadian yang baik, menjadi orang yang bermoral dan berbudi (Yǒu dé 有德). Menurut salah satu narasumber, tugas seorang guru bukan hanya mendidik muridnya untuk menjadi pandai, tetapi juga untuk membina sifat dan kepribadian anak didiknya. Selain itu, keenam narasumber juga ingin agar murid-muridnya dapat berhasil, memiliki prestasi, dan bisa berguna bagi masyarakat di sekitarnya.

(9)

52

Dapat disimpulkan, tujuan pengajaran dari seluruh narasumber adalah untuk mendidik murid-muridnya menjadi seorang manusia yang utuh dan berbakat, menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan dan moralitas yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka semua telah merefleksikan teori tujuan pendidikan Konfusius dalam peengajaran mereka.

Dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa keenam narasumber dalam pengajarannya tidak mempermasalahkan latar belakang, keadaan, perbedaan suku, dan usia murid-murid mereka, serta bersikap adil kepada seluruh murid. Bagi mereka, seorang guru tidak seharusnya memilih-milih murid, terutama karena alasan latar belakang, usia, apalagi etnis murid. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah merefleksikan prinsip mengajar tanpa pandang bulu (Yǒu jiào wú lèi 有教无类) Konfusius.

Dalam bidang materi, keenam narasumber sepakat bahwa mereka lebih mementingkan sikap muridnya. kebanyakan dari para narasumber mengatakan bahwa mereka lebih menghargai murid yang rajin dan serius belajar daripada murid yang pandai namun nakal. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih mementingkan pendidikan moral bagi murid-muridnnya.

Mengenai materi pengetahuan (zhì 智), seluruh narasumber menyatakan, selain mengajarkan bahasa Tionghoa dan memperhatikan kemajuan muridnya dalam penguasaan bahasa Tionghoa, mereka juga sering mengajarkan pengetahuan mengenai kebudayaan dan keadaan negara Tiongkok.

Mengenai materi kesehatan atau olahraga, seluruh narasumber setuju bahwa kesehatan murid adalah yang terutama.. Jika ada murid yang tiba-tiba sakit, mereka akan langsung memberi pertolongan, menyuruh murid tersebut untuk beristirahat dan tidak memaksanya untuk terus mengikuti pelajaran. Dua dari keenam narasumber terkadang juga akan mengajarkan kepada muridnya untuk menjaga kesehatan diri mereka masing-masing.

Seorang narasumber yang juga mengajar di salah satu universitas di Suranbaya juga sering mendorong murid-muridnya untuk berolahraga melalui kegiatan di kampus. Menurutnya, hanya melulu belajar tidaklah baik untuk kesehatan, karena itu tetap harus diimbangi dengan olahraga.

Mengenai materi seni, tiap narasumber memiliki cara penerapkan yang berbeda-beda. D mendorong muridnya untuk belajar bahasa Tionghoa melalui karya-karya seni seperti lagu atau film berbahasa Tionghoa atau mengikuti kelas-kelas dan lomba-lomba yang berhubungan dengan kesenian tradisional Tionghoa, seperti tarian suku-suku minoritas Tiongkok atau permainan alat musik tradisional Tiongkok. E dan F umumnya menggunakan kerajinan tangan seperti menggambar, mewarna atau melipat kertas untuk mengajak murid-muridnya belajar bahasa Tionghoa.

Dapat disimpulkan, di antara keenam nara sumber, D, E, dan F sudah menerapkan dan merefleksikan keempat prinsip dasar dalam teori materi pendidikan Konfusius, yaitu etika dan moral (dé 德), pengetahuan (zhì 智), olahraga atau kesehatan (tǐ

(10)

53

体 ), dan seni (měi 美) dalam pengajaran mereka. Namun ada juga sebagian lainnya, yaitu A, B, dan C yang nampak lebih mementingkan unsur moral (dé 德), pengetahuan (zhì 智 ), dan olahraga atau kesehatan (tǐ 体 ) dalam pengajaran mereka dan nampaknya belum menerapkan dan merefleksikan prinsip seni (měi 美).

Dalam bidang prinsip-prinsip pendidikan, prinsip (wēn gù ér zhī xīn 温故而知新), mengajar sesuai karakter siswa (yīn cái shī jiào 因材施教), prinsip menginspirasi (qǐfǎ shì 启发式), mengajar di waktu yang tepat (shìshí ér jiāo 适时而教), penyatuan antara belajar dan berpikir (xué sī hé yī 学思合一), dan kedudukan guru (jiāoshī de wèizhì 教师的位置, serta prinsip cara memuji (biǎoyáng shì 表扬 式 ) secara umum sudah terefleksikan melaalui cara pengajaran keenam narasumber.

Kebanyakan dari para narasumber menyatakan mereka pasti akan berusaha mencari waktu untuk mempersiapkan materi sebelum mengajar, minimal sehari sebelumnya. Menurut B, persiapan mengajar merupakan hal yang sangat penting bagi seorang guru. Melalui persiapan mengajar, seorang guru baru akan dapat menguasai materi pelajaran dan mengetahui bagian-bagian mana saja yang memerlukan penekanan, selain itu juga dapat membantu guru untuk menghindari kesalahan dalam mengajar.

Selain itu, persiapan mengajar juga merupakan kesempatan bagi setiap guru untuk mengulang dan belajar kembali, memperkuat, memperdalam pemahaman setiap guru terhadap materi (bahasa Tionghoa) sekaligus mempersiapkan bagaimana cara terbaik untuk mengajarkannya kepada para murid.

Meskipun tidak semua, namun dapat dikatakan sebagian besar dari narasumber sudah melakukan pengulangan, mempelajari kembali serta mendapatkan pengetahuan baru dari materi-materi yang sudah pernah mereka pelajari sebelumnya, serta mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk mengajar di kelas selanjutnya melalui waktu persiapan mengajar. Hal ini membuktikan bahwa mereka telah menerapkan dan merefleksikan prinsip wēn gù ér zhī xīn (温 故而知新) ini dalam pengajaran mereka.

Dalam mengajar, baik ketika menjelaskan materi, memberikan pujian atau kritikan maupun membangun hubungan dengan muridnya, keenam narasumber juga telah dapat menyesuaikan cara mengajar mereka dengan karakteristik (ketertarikan, usia, hobi, latar belakang bahasa, level, dan keadaan) tiap-tiap murid. Selain itu, sebagian besar dari narasumber juga sangat menekankan prinsip ini dalam pengajaran mereka dan menganggap bahwa setiap guru harus melihat dan memahami muridnya terlebih dahulu sebelum menentukan cara pengajaran yang akan digunakan. Hal ini membuktikan bahwa para narasumber telah merefleksikan prinsip yīn cái shī jiào (因材施教) Konfusius melalui pengajaran mereka, bahkan juga telah menjadikan prinsip ini sebagai pegangan dan prinsip utama mereka dalam mengajar.

(11)

54

Dari hasil wawancara dapat dilihat, beberapa narasumber telah menerapkan prinsip menginspirasi dalam cara pengajaran mereka. Narasumber yang mengajar murdi dewasa (SMP ke atas), yaitu A dan D, umumnya menggunakan contoh-contoh kalimat untuk menjelaskan tata bahasa, memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk berpikir secara mandiri terlebih dahulu. Ketika muridnya dirasa sudah memiliki sedikit pengertian, barulah mereka memberikan kesimpulan. Narasumber yang mengajar anak-anak (usia kelompok bermain hingga SD), yaitu B, C, dan F, umumnya menggunakan gambar, kartu huruf, benda nyata, gerakan atau deskripsi lisan untuk menjelaskan suatu kosakata, memberi kesempatan bagi murid-muridnya untuk berpikir dan menebak terlebih dahulu baru kemudian memberi pengarahan lanjutan.

Berbeda dengan lainnya, E sering kali menggunakan benda-benda yang ada di sekitar kelas untuk memperagakan beberapa gerakan dan menyuruh muridnya menjelaskan hal tersebut dengan menggunakan materi yang baru dipelajari. Ini merupakan cara E memberi kesempatan bagi muridnya untuk berpikir dalam belajar, membuat mereka berpikir dan mencari jawaban secara mandiri terlebih dahulu.

Mengenai posisi guru, keenam narasumber mengatakan bahwa mereka menganggap dirinya merupakan pemimpin, pengarah dan pembantu muridnya dalam belajar. E juga menambahkan bahwa dirinya juga berfungsi sebagai pendorong bagi murrid-muridnya. Sebagian besar dari para narasumber juga setuju bahwa mereka seharusnya berdiri di samping muridnya dan melihat serta menempatkan diri di posisi murid. Meskipun begitu, di antara keenam narasumber, B, C, dan F juga merasa bahwa dirinya juga harus bisa berada di depan dan di belakang muridnya pula, sesuai dengan kebutuhan dari si murid.

Meskipun cara yang digunakan beragam, namun keenam narasumber secara umum sudah dapat dikatakan telah merefleksikan nilai-nilai pengajaran Konfusius dalam bidang “qǐ fǎ shì (启发式)”, “shì shí ér jiào (适时而教)”, “xué sī hé yī (学 四 合 一 )”, dan “lǎoshī de wèizhì ( 老师 的位置 )” dalam pengajaran mereka, dimana mereka tidak selalu menjadikan dirinya sebagai pusat belajar-mengajar, tetapi juga memberikan kesempatan bagi muridnya untuk berpikir secara mandiri, menemukan, mengerjakan, serta memahami sendiri arti dari setiap kosakata atau tata bahasa Tionghoa dan memberikan pengarahan di saat yang tepat sehingga murid-muridnya bisa lebih memahami apa yang mereka pelajari dan tidak mudah melupakannya.

Selain itu, menurut hasil wawancara, sebagian besar dari para narasumber menyatakan bahwa pujian memiliki arti yang penting dalam dunia pengajaran. Menurut mereka, pujian merupakan cara yang paling baik untuk mendorong muridnya untuk belajar dan membuat murid menjadi lebih tertarik dan giat dalam belajar. Berdasarkan D, melalui pujian, murid akan merasa bahwa dirinya sudah bisa, sudah mengalami kemajuan, serta dapat membuat mereka termotivasi untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuannya. Dalam memberi pujian, para narasumber menyatakan mereka akan melihat muridnya terlebih dahulu dan menyesuaikan cara memberi pujian dengan usia dan ketertarikan murid

(12)

masing-55

masing. Umumnya, bila muridnya masih kanak-kanak, mereka akan memberikan stiker, stempel atau menggunakan cara menukar hadiah sebagai bentuk pujian dan dorongan bagi muridnya agar lebih giat belajar. Sedangkan bagi murid dewasa, umumnya mereka hanya akan menggunakan cara pujian lisan. Meskipun begitu, mereka juga menegaskan bahwa terkadang, mereka juga merasa perlu mengkritik muridnya. Menurut mereka, kritikan juga merupakan cara lain untuk mendorong murid belajar, terutama bagi murid yang bermasalah atau merupakan kasus khusus. Namun, agar lebih efektif, dalam memberikan dorongan ini, guru tetap harus melihat keadaan, kebutuhan dan sifat murid, apakah mereka butuh pujian ataukah kritikan.

Mengenai hubungan guru dan murid, Hasil wawancara menunjukkan bahwa keenam narasumber menganggap bahwa hal ini merupakan salah satu faktor penting dalam proses belajar mengajar. Dengan adanya hubungan yang baik antara guru dan murid, proses belajar-mengajar juga bisa menjadi lebih efektif. Karena itu, mereka semua mengatakan bahwa selalu berusaha untuk membangun hubungan yang baik dan berbaur dengan murid-muridnya. Meskipun begitu, ada beberapa narasumber yang juga mengaku bahwa mereka tidak akan bersikap sembarangan bila bersama dengan muridnya. Bagi mereka, membangun hubungan yang baik dengan murid adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap guru, namun hubungan yang terbentuk tidak boleh terlalu dekat dan harus ada batasannya. Hal ini bertujuan agar murid tidak meremehkan dirinya sebagai guru, tetap menghormatinya. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk mengajarkan murd untuk bersikap sopan kepada orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua. F memiliki pandangan yang berbeda dengan narasumber lainnya. Menurutnya, untuk mendidik sikap hormat murid terhadap guru tidak harus menggunakan cara yang keras atau tegas. Baginya, cara terbaik adalah dengan membuat muridnya merasakan cinta dan kehangatannya terhadap mereka. Mengenai bentuk hubungannya, para narasumber yang mengajar anak-anak, yaitu B, C, dan E, umumnya membentuk sebuah hubungan seperti ibu dan anak, sedangkan narasumber yang mengajar kelas dewasa, yaitu A dan D, mendekati, memahami dan mengajar muridnya melalui interaksi yang sejajar, baik sebagai teman maupun kakak.

Selain itu, dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa keenam narasumber cukup rendah hati dalam mengajar dan bersedia untuk belajar dari murid-muridnya. Mereka bersedia belajar dari muridnya, mau berjalan beriringan, saling membantu, saling belajar, dan bersama-sama dengan muridnya mendapatkan kemajuan. Selain itu, melalui mengajar, keenam narasumber juga mengaku mendapatkan banyak hal, antara lain: peningkatan kemampuan dan teknik mengajar, pengetahuan dalam bidang bahasa Tionghoa, serta nilai-nilai kehidupan. Hal-hal di atas membuktikan bahwa sebagian besar narasumber, yaitu A, B, D, E, dan F telah merefleksian prinsip Jiào Xué Xiāng Zhǎng (教学相长) dalam pengajaran mereka.

Mengenai tuntutan terhadap guru, sebagian besar dari mereka dapat dikaatakan telah memenuhi tuntutan-tuntutan diatas. Dalam hal memberikan teladan (Yǐ Shēn Zuò Zé 以身作则),mereka semua berusaha selalu menggunakan bahasa Tionghoa

(13)

56

saat berkomunikasi dengan muridnya (selama dan seusai pelajaran), A juga mengajar dengan serius, D bersedia belajar dari orang lain, bahkan muridnya sendiri, dan F berani mengakui kesalahannya. Mereka tidak hanya mengajar, memberi peringatan atau hukuman melalui cara lisan (menggunakan perkataan) saja, tetapi juga memberikan dirinya sebagai contoh dan teladan bagi murid-muridnya melalui setiap tutur kata dan perbuatan mereka.

Dalam hal Tak Kenal Lelah dalam Belajar (Xué Ér Bù Yàn 学而不厌), Hanya ada sebagian dari narasumber yang dapat memenuhi prinsip ini. Mereka adalah D, E, dan F. Bagi mereka, sebagai seorang guru, dirinya semakin harus belajar dan meningkatkan kemampuan mereka dalam berbahasa Tionghoa. E mengumpamakan hal ini seperti ia menyediakan air bagi murid-muridnya dan sebagai seorang guru, ia harus terus menjaga ketersediaan airnya dan terus memperbaharui air yang ia miliki, yaitu dengan terus mempelajari hal-hal baru. Mengenai prinsip huì rén bù juàn (诲人不倦), keenam narasumber tampak sudah dapat melakukannya dengan lebih menyeluruh. Menurut hasil wawancara, mereka semua bersedia membantu murid-muridnya untuk belajar dan memberi bimbingan baik di dalam maupun di luar kelas. Ketika pelajaran, mereka juga berusaha menjelaskan dengan baik dan membuat murid-muridnya memahami materi yang mereka ajarkan.

Para narasumber juga mengaku bahwa mereka juga pernah melakukan kesalahan dalam mengajar, misalnya: salah menulis karakter Tionghoa atau salah membaca nada. Menurut mereka, melakukan kesalahan adalah sebuah hal yang wajar dan tidak dapat dihindari sebagai seorang guru, namun jika melakukan kesalahan, mereka merasa tetap harus mengakuinya dan meminta maaf serta memperbaiki kesalahan tersebut. Jika tidak, mereka justru akan membuat murid mereka mempelajari hal yang salah Selain itu, sebagai seorang guru, mereka juga bersedia mengajarkan segala pengetahuan dan kebenaran yang mereka ketahui kepada murid-muridnya serta berharap agar murid-muridnya bisa sukses dan berprestasi. Hal-hal ini membuktikan bahwa para narasumber ini jujur dan tidak menyimpan kepentingan pribadi dari murid-muridnya dan tidak menghambat proses belajar para muridnya hanya demi melindungi reputasi mereka ataupun karena alasan pribadi lainnya. Dapat dikatakan, sebagian besar dari mereka telah benar-benar mencerminkan prinsip wú sī wú yǐn (无私无隐).

Para narasumber sangat menekankan bahwa murid-murid harus belajar lagi di rumah. Menurut mereka, hal ini dapat sangat membantu muridnya dalam belajar. Selain mendorong muridnya untuk belajar di rumah, keenam narasumber juga menyatakan bahwa mereka akan selalu mengajak murid-murdnya untuk mengulang pelajaran terlebih dahulu dalam setiap kelas. D dan E juga memperhatikan bagaimana cara murid-muridnya dalam belajar. Jika mereka menyadari ada yang salah dari cara belajar muridnya, mereka akan memberikan saran mengenai beberapa cara belajar yang mereka anggap lebih baik untuk kemudian dicoba oleh murid-muridnya. Dalam belajar, D juga tidak ingin muridnya hanya menghafal tanpa mengerti dan memahami apa yang dipelajari. Menurutnya, mengerti dan memahami merupakan cara belajar terbaik karena dengan begitu, murid akan lebih mudah mengingat apa yang mereka pelajari.

(14)

Hal-57

hal ini membuktikan bahwa keenam narasumber sangat memperhatikan serta membimbing muridnya dalam cara hal belajar sehingga sudah memenuhi tuntutan prinsip xué fǎ zhǐdǎo (学法指导).

KESIMPULAN

Hasil analisis pada bab 4 menunjukkan bahwa meskipun setiap narasumber memiliki cara dan penekanan yang berbeda, namun secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pengajaran dalam pemikiran Konfusius tentang pendidikan sudah terefleksikan dalam pengajaran merekayang meliputi bidang tujuan, target, materi, prinsip-prinsip dalam mengajar, hubungan dengan murid, dan tuntutan terhadap guru. Selama proses wawancara, penulis juga sama sekali tidak menyinggung mengenai nilai-nilai pengajaran Konfusius kepada setiap narasumber. Selain itu, dari tabel perkenalan latar belakang narasumber juga dapat diketahui bahwa keenam narasumber ini memiliki kepercayaan agama yang berbeda-beda. Namun, hasil wawancara menunjukkan bahwa pengajaran mereka telah merefleksikan nilai-nilai pengajaran dalam pemikiran Konfusius mengenai pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun nilai-nilai pengajaran yang terdapat dalam pemikiran Konfusius tentang pendidikan ini merupakan teori yang sudah kuno, namun ternyata masih dapat digunakan dalam dunia pengajaran saat ini dan telah menjadi bagian yang penting, mendasar serta universal dalam dunia pendidikan sehingga tidak peduli apa agama atau kepercayaan dari narasumber, mereka semua dapat secara tidak sadar telah memakai dan menerapkan nilai-nilai pengajaran Konfusius ini ke dalam cara mereka mengajar.

DAFTAR REFERENSI

Alwasilah, A. C. (2011). Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakuan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Barnadib, S. I. (1982). Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP.

Chaer, A., & Agustina, L. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Feng, W.Q., & Jiao, Y.R. (2010, agustus). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Yǔ Wǒguó Xiàndài Jiàoyù Sīxiǎng De Yīzhì Yǔ Chōngtú. Nèiménggǔ Shīfàn Dàxué Xuébào (Jiàoyù Kēxué Bǎn) , 23(8), 1-4.

He, X. Y. (2006, maret). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Duì Xiàndài Jiàoyù De Qǐshì. Xīchāng Xuéyuàn Xuébào - Shèhuì Kēxué Bǎn, 18(1), 54-59.

Hu, Y.F. (2002). Qiǎn Lùn Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng. Jiàoyù Yánjiū , (12), 120-121. Huang, J.G. (2003). Guānyú Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng De Zài Rènshí. Yùlín Shīfàn

Xuéyuàn Xuébào (Zhéxué Shèhuì Kēxué), 24(2), 78-81.

Lei, Y. (2012). Lúnyǔ: Xiànzhuāng Jīngdiǎn. Kunming: Yúnnán Jiàoyù Chūbǎn Shè.

Li, R.M. (2011). Rújiā Jiàoyù Lǐlùn Jí Qí Xiàndài Jiàzhí. Beijing: Zhōnghuá Shūjú.

(15)

58

Li, Q. (2003, September). Cóng "Lúnyǔ" Kàn Kǒngzǐ De Jiàoyù Sīxiǎng. Xīchāng Shīfàn Gāoděng Zhuānkē Xuéxiào Xuébào , 15(3), 60-64.

Lina. (2006). Perkembangan Pengajaran Bahasa Tionghoa di Surbaya. (TA No. 02010024/CHI/2006). Unpublished Undergraduate Thesis, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Liu, X. (2010). Duìwài Hànyǔ Jiàoyù Xué Yǐn Lùn. Beijing: Běijīng Yǔyán Dàxué Chūbǎn.

Mahjunir. (1967). Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan. Jakarta: Bratara.

Pannen, P. (2001). Pendidikan Sebagai Sistem. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.

Parsono. (1990). Materi Pokok Landasan Kependidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Shi, H.L., & Wang, Q.H. (2005, Januari). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Jí Qí Duì Xiàndài Jiàoyù De Yìyì. Líng Líng Xuéyuàn Xuébào, 26(1), 154-156. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003

Wang, A. (2011). The Wisdom of Confucius. Jakarta: Gramedia.

Wang, M.M., & Wang, C. (2010, Oktober). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Jí Qí Qǐshì. Cáizhì , (30), 162.

Wang, S.H. (2007). Zhōngguó Gàikuàng. Beijing: Běijīng Dàxué Chūbǎn Shè. Yang, G.X. (2006). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Duì Shíshī Sùzhì Jiàoyù De Qǐshì.

Jiàoyù Tànsuǒ, (182), 48-49.

Yang, Z. (2008, November). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Duì Dāngdài Chuàngxīn Jiàoyù De Qǐshì. Guìzhōu Dàxué Xuébào (Shèhuì Kēxué Bǎn) , 26(6), 88-92.

Zhang, C.S. (2009). Jiědú Zhōngguó Gǔdài Jiàoyù Sīxiǎng. Guangzhou: Guǎngdōng Jiàoyù Chūbǎn Shè.

Zhang, J.P. (2002). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Duì Dāngjīn Jiàoyù De Qǐshì. Jiǔjiāng Zhíyè Jìshù Xuéyuàn , (1), 50-51.

Zhang, S.J. (2007, agustus). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng Duì Gāoxiào Jiàoyù Gǎigé De Zuòyòng Yánjiū. Shāndōng Xíngzhèng Xuéyuàn Shāndōng Shěng Jīngjì Guǎnlǐ Gànbù Xuéyuàn Xuébào , (84), 109-111.

Zhao, Y.S. (2006, Febuari). Kǒngzǐ Jiàoyù Sīxiǎng De Xiàndài Yìyì. Xúzhōu Gōngchéng Xuéyuàn Xuébào, 21(2), 84-86.

Zhou, W.X. (2000, Desember). Kǒngzǐ De Jiàoyù Sīxiǎng. Jiāxìng Gāoděng Zhuānkē Xuéxiào Xuébào, 13(4), 29-32.

Gambar

Tabel 1 Data Latar Belakang Narasumber Narasumber   Item  A  B  C  D  E  F  Usia   33th  29 th  24 th  30 th  39 th  25 th  Pengalaman  Mengajar  ±7 th  ±6 th  >2 th  ±7 th  (di CHHS  ±6 th)  ±10 th  (di CHHS ±5 th)  >2 th  Pendidikan  Terakhir  S1

Referensi

Dokumen terkait

Selama Anas Malik menjadi bupati, banyak kemajuan yang telah dicapai Kabupaten Padang Pariaman terutama dalam aspek sosial dan ekonomi yang paling pokok

Aktivitas promosi yang dilakukan oleh Bank Nagari Cabang Pekanbaru. selain untuk memperkenalkan tabungan SIKOCI dan SIMPEDA

PERANCANGAN KAMPANYE PEMERIKSAAN GIGI SEJAK DINI UNTUK ANAK SEKOLAH

Dalam menggunakan komputer, manusia dituntut untuk selalu menggunakan indra penglihatan untuk mengetahui aktivitas computer yang terjadi, hal ini sangat

Hasil Adjusted R Square = 0,896, artinya besarnya kemampuan produk, harga, promosi, distribusi, pelayanan dan kelas sosial dalam menjelaskan keputusan pembelian sebesar

Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah suatu kegiatan terpadu yang dilakukan manusia untuk memperoleh informasi yang terkandung

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dan pengetahuan gizi terhadap kejadian kegemukan pada siswa SDN 01

Mf, NCCUNAKAN TXND'(ATAN ANALYNC E]ERARCHI. JURUSAN TEKN]K