• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI MENGOPTIMALKAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI MENGOPTIMALKAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Indonesia is  a nation  inhabited by people with diverse religious, ethnic, and social backgrounds. Plurality is an indisputable reality in this archipelago. On the one hand, this pluralism becomes the social capital of nation-building, and on the other hand the latent potential of social conflict. Humans are both indiviudu creatures as well as social beings. As social beings of course human beings are required to be able to interact with other individuals in order to meet their needs. In living a social life in society, an individual will be faced with groups of different colors with him one of which is the difference of religion. Live his social life can not be denied there will be friction-friction that will occur between groups of people, both related to race and religion. In order to maintain unity and unity in society it is necessary to respect each other and respect each other, so that friction-friction that can lead to disputes can be avoided. Communities are also required to keep each other’s rights and obligations between them from each other. All religions come from God Almighty who is revealed through His revelation or holy word to glorify human life. Through His holy teachings, it is hoped that human beings will become human beings who possess noble character. As long as the doctrine which is practiced by man does not deviate from the path of truth, then the differences that exist in every religion need not be disputed. By living side by side without questioning religious differences, it actually shows the implementation of the teachings of religion itself. Religious people are human beings capable of dampening any emotional upheaval arising from differences in patterns of religious life that differ from individual to individual, so violence in the name of religion can be avoided. Is not the flowers of the garden looks beautiful precisely because the colors of different flowers. Differences are not a barrier to knit the ropes of the brotherhood and build a harmony of life. Keywords: Optimizing, Tolerance, Interfaith People

UMAT BERAGAMA

Oleh  I Wayan Sapta Wigunadika Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja I. PENDAHULUAN  Indonesia adalah bangsa yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang agama, etnis,  dan  kelompok­kelompok  sosial  yang beragam.  Kemajemukan merupakan  realitas yang tak terbantahkan di bumi Nusantara ini. Satu  sisi,  kemajemukan  ini  menjadi  modal sosial pembangunan bangsa, dan di  sisi  lain menjadi potensi laten konflik sosial. Manusia adalah makhluk  indiviudu sekaligus sebagai makhluk  sosial.  Sebagai  makhluk  sosial tentunya  manusia  dituntut  untuk  mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka

memenuhi  kebutuhannya.  Dalam  menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok­ kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah  perbedaan agama.  menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan­gesekan yang akan dapat terjadi antar  kelompok  masyarakat,  baik  yang berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat  maka  diperlukan  sikap  saling menghormati dan saling menghargai, sehingga

(2)

gesekan­gesekan  yang  dapat  menimbulkan pertikaian dapat  dihindari. Masyarakat  juga dituntut  untuk  saling  menjaga  hak  dan kewajiban  diantara  mereka  antara yang satu dengan yang lainnya.

Pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2  disebutkan  bahwa  “Negara  menjamin kemerdekaan  tiap-tiap  penduduk  untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu.” Olehnya itu kita sebagai warga Negara  sudah sepatutnya menjunjung tinggi  sikap  saling  toleransi  antar  umat beragama dan saling menghormati antar hak dan kewajiban  yang ada  diantara kita  demi keutuhan Negara.

 Dalam konteks Agama Hindu, paham toleransi  tercermin  oleh  pustaka  suci Bhagavadgita sebagai berikut.

“ Ye yatha mam pradyante, tams tathai’ vaa bhajamy  aham  mama  vartma’  nuvartate, manusyah partha sarvasah.” (B.GIV.11) Terjemahannya; Jalan manapun ditempuh manusia ke arah­Ku semuanya Ku terima Dari mana­ mana semua mereka menuju jalan­ Ku oh Partha. “Yo-yo yam yam tanum bhaktah  sraddhaya rcitum icchati,

tasya-tasya  calam  sraddham,  tam  eva vidadhamy aham.” (B.G.VII.21)

Terjemahannnya.

Apapun  bentuk    kepercayaan  yang  ingin dipeluk oleh penganut agama, dengan bentuk apapun keyakinan yang tak berubah­ubah itu sesungguhnya Aku sendiri yang mengajarnya. Kutipan tersebut menyiratkan bahwa keyakinan untuk memeluk agama, menjalankan keyakinan merupakan hak bagi setiap orang. Agama  hindu  merupakan    agama  yang mengayomi budaya lokal dimana segala jenis kegiatan  keagamaan  disesuaikan  dengan keadaan daerah setempat.  Seperti misalnya di Bali, Sebuah kearifan lokal yang bernama Desa, Kala,  Patra yang  bermakna Tempat, Waktu

(lampau,Kini dan Nanti), serta teks otoritas atau kitab suci(  bisa juga  disebut keadaan)  yang selayaknya  dijadikan  pedoman  dalam melakukan  sesuatu  hal  agar  dapat  tercapai dengan baik

Faktanya,  konflik  berbasis  agama masih ditemukan di negeri ini. Konflik SARA selalu menjadi tantangan yang sangat berat bagi bangsa Indonesia yang majemuk.  Konflik ini menunjukkan kepalsuan atas sikap kita yang mengaku berbhineka tunggal ika. Ada beberapa faktor kenapa agama menjadi salah satu pemicu konflik  yang efektif. Pertama, pengalaman sejarah konflik antar agama yang menorehkan kecurigaan di antara pemeluk agama. Kedua, klaim  kebenaran  mutlak  agama  yang menganggap agama orang lain salah. Ketiga, klaim  agama  yang  membabi  buta menumbuhkan  sifat  fanatisme  agama. Keempat, fanatisme  dan  klaim  kebenaran mendorong  seseorang  pemeluk  agama menyebarkan  agama  kepada  orang  yang berbeda agama.

Agama  yang  sejatinya  lahir  untuk memberikan kedamaian, justru diekspresikan secara tidak pas oleh pemeluknya. Selain faktor etnisitas, agama  turut menyumbang  konflik sosial.  Faktor  sosial,  ekonomi  dan  politik menyumbang  konflik.  Faktor  sosial, lingkungan, pendidikan dan politik ikut andil dalam mempengaruhi pemahaman keagamaan seseorang.  Lingkungan  juga  akan mempengaruhi  pemahaman  seseorang. Demikian  pula  pendidikan,  orang  yang berpendidikan  tinggi  berbeda  memahami agama  dengan  orang  yang  berpendidikan rendah. Agama adalah alat yang efektif dalam menggerakkan  kepentingan  politik  guna mencapai tujuan tertentu.

II. PEMBAHASAN

Toleransi  adalah  suatu  sikap  atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan,  di  mana  seseorang menghargai  atau menghormati setiap tindakan yang orang lain

(3)

lakukan. Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap  kelompok­kelompok yang  berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu  masyarakat  mengizinkan  keberadaan agama­agama  lainnya.  Istilah toleransi  juga digunakan  dengan  menggunakan  definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain­lain. Hingga saat  ini  masih banyak  kontroversi dan kritik mengenai prinsip­prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.

Proses penyebaran dan perkembangan agama­agama di Indonesia berlangsung dalam suatu  rentangan waktu  yang  cukup  panjang sehingga terjadi pertemuan  antara yang  satu dengan yang lainnya. Dalam pertemuan agama­ agama tersebut timbullah potensi integrasi dan potensi  kompetisi  tidak  sehat  yang  dapat mengakibatkan disintegrasi. Potensi integrasi diartikan  sebagai  suasana  keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan terutama intern umat beragama dan antar umat beragama. Potensi integrasi  tersebut tidak dapat dipisahkan  dari  nilai­nilai  luhur  bangsa Indonesia  sebagaimana  tercermin  dalam suasana hidup kekeluargaan, hidup bertetangga baik dan gotong royong. Hal ini dapat dilihat dari  hubungan  harmonis  dalam  kehidupan beragama seperti saling hormat menghormati, kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, saling bersikap toleransi, sehingga dalam sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terjadi perang antar penganut agama. Hubungan kerjasama antar pemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari­hari, seperti saling  tolong­ menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan  dalam membangun  bangsa  dan  negara. Potensi  kompetisi  berarti  suasana  saling persaingan dalam  dinamika  pergaulan,  baik intern  umat  beragama  maupun  antar  umat beragama. Kompetisi ini dapat berjalan secara

baik atau dalam suasana damai, dan dapat pula terjadi dalam  berbagai bentuk  pertentangan, benturan atau friksi. Dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia diakui pernah terjadi ketegangan  atau friksi, namun masih  dalam batas­batas kewajaran sebagai suatu dinamika dalam hubungan pergaulan atau interaksi antar umat beragama. Salah satu penyebab terjadinya ketegangan  atau  konflik  dalam  kehidupan beragama  adalah akibat  politik  pecah  belah (devide  et  impera)  penjajah.  Dalam  usaha politik  tersebut  pihak  penjajah  sering memanfaatkan perbedaan agama atau paham agama untuk menumbuhkan atau mempertajam konflik­konflik di kalangan bangsa Indonesia yang sedang berjuang meraih kemerdekaan.

Dalam  terminologi  yang  digunakan oleh  Pemerintah  secara  resmi,  konsep kerukunan  hidup  beragama  mencakup  3 kerukunan.  yaitu  :  kerukunan  intern  umat beragama, kerukunan antar umat yang berbeda­ beda agama, dan kerukunan antara (pemuka) umat  beragama  dengan  Pemerintah.  Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah “Tri  Kerukunan  “.  Upaya  mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak terlepas dari faktor  penghambat  dan  penunjang.  Faktor penghambat kerukunan hidup beragama selain warisan  politik  penjajah  juga  fanatisme dangkal, sikap  kurang bersahabat,  cara­cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa meng¬indahkan peraturan perundang­undangan  yang  berlaku,  dan pengaburan  nilai­nilai  ajaran  agama  antara suatu agama dengan agama lain; juga karena munculnya  berbagai  sekte  dan  faham keagamaan  kurangnya  memahami  ajaran agama  dan peraturan  Pemerintah dalam  hal kehidupan beragama. Faktor­faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama antara lain adanya sifat bangsa Indonesia yang religius, adanya  nilai­nilai  luhur  budaya  yang  telah berakar  dalam  masyarakat  seperti  gotong royong, saling hormat menghormati kebebasan

(4)

menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, kerjasama di kalangan intern umat beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan Pemerintah.  Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang ini, faktor­faktor pendukung  adalah  adanya  konsensus­ konsensus  nasional  yang  sangat  berfungsi dalam pembinaan kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila, Undang­Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang­undangan yang berlaku di  bidang  atau  yang  berkaitan  dengan kerukunan hidup beragama.

Dalam  memantapkan  kerukunan hidup  umat beragama perlu dilakukan suatu upaya­upaya  yang  mendorong  terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :

1. Memperkuat  dasar­dasar  kerukunan internal dan antar umat

beragama,  serta  antar  umat  beragama dengan pemerintah.

2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan  implementasi  dalam  menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.

3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan  kerukunan  hidup  intern  dan antar umat beragama.

4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya  nilai­nilai kemanusiaan  dari seluruh  keyakinan  plural umat  manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama  dalam  melaksanakan  prinsip­ prinsip berpolitik  dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.

Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya  bahwa  nilai­¬nilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya

selektifitas kualitas moral seseorang dalam komunitas  masyarakat  mulya,  yakni komunitas  warganya  memiliki  kualitas ketaqwaan dan nilai­nilai solidaritas sosial. 5. Melakukan pendalaman nilai­nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan  kepada  nilai­nilai Ketuhanan,  agar  tidak  terjadi penyimpangan­penyimpangan  nilai­nilai sosial  kemasyarakatan  maupun  sosial keagamaan.

6. Menempatkan  cinta  dan  kasih  dalam kehidupan  umat  beragama  dengan  cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor­faktor tertentu. 7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu

realita  dalam kehidupan  bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik  yang  dapat  memperindah fenomena kehidupan beragama.

         Adapun langkah­langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 (empat) strategi yang mendasar yakni:

1) Para pembina  formal termasuk  aparatur pemerintah dan para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan  komponen  penting  dalam pembinaan  kerukunan  antar  umat beragama.

2) Masyarakat umat beragama di  Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap  mental  dan pemahaman  terhadap ajaran  agama  serta  tingkat  kedewasaan berfikir  agar  tidak  menjurus  ke  sikap primordial.

3) Peraturan  pelaksanaan  yang  mengatur kerukunan  hidup  umat  beragama  perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti  oleh  seluruh  lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak  terjadi  kesalahpahaman  dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh

(5)

masyarakat,  akibat  adanya  kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat beragama.

4) Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah­wadah  musyawarah  antar  umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.

Dalam  upaya  memantapkan  kerukunan hidup antar  umat beragama, hal yang  cukup serius  kita perhatikan  yakni fungsi  pemuka agama/tokoh agama/tokoh masyarakat.        Diakui secara jujur bahwa masyarakat kita yang relegius memandang bahwa pemuka agama/tokoh agama/tokoh masyarakat adalah figur  yang  dapat  diteladani  dan  dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat oleh mereka akan dipercaya dan diikuti secara taat dan loyal. Adapun yang menjadi strategi dalam pembinaan kerukunan  umat beragama  dapat dirumuskan bahwa salah satu pilar utama untuk memperkokoh  kerukunan  nasional  adalah mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Dalam  tatanan  konseptual  kita  semua mengetahui bahwa agama memiliki nilai­nilai universal yang dapat mengikat dan merekatkan berbagai komunitas sosial walaupun berbeda dalam hal suku bangsa, letak geografis, tradisi dan perbedaan kelas sosial. Hanya saja dalam implementasi, nilai­ nilai  agama  yang  merekatkan  berbagai komunitas  sosial  tersebut  sering  mendapat benturan, terutama karena adanya perbedaan kepentingan  yang  bersifat  sosial  ekonomi maupun  politik  antar  kelompok  sosial  satu dengan yang lain. Dengan pandangan ini, yang ingin kami sampaikan adalah bahwa kerukunan umat beragama memiliki hubungan yang sangat erat  dengan  faktor  ekonomi  dan  politik, disamping faktor­faktor lain seperti penegakan hukum,  pelaksanaan prinsip­prinsip  keadilan dalam masyarakat dan peletakan sesuatu pada proporsinya.  Dalam kaitan  ini strategi  yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : A. Memberdayakan  institusi  keagamaan,

artinya lembaga­lembaga keagamaan kita

daya gunakan secara maksimal sehingga akan  mempercepat  proses  penyelesaian konflik antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan  tersebut  dimaksudkan untuk  lebih  memberikan  bobot/warna tersendiri  dalam menciptakan  persatuan dan kesatuan yang hakiki tentang tugas dan fungsi masing­masing lembaga keagamaan dalam  masyarakat  sebagai  perekat kerukunan antar umat beragama.

B. Membimbing umat beragama agar makin meningkat  keimanan  dan  ketakwaan mereka  kepada Tuhan Yang  Maha  Esa dalam suasana rukun baik intern maupun antar umat beragama.

C. Melayani  dan  menyediakan  kemudahan beribadah bagi para penganut agama. D. Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah sesuatu agama. E. Mendorong peningkatan pengamalan dan penunaian ajaran agama. F. Melindungi agama dari penyalah gunaan dan penodaan.

G. Mendorong  dan  mengarahkan  seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai Pancasila  dan konstitusi  dalam tertib hukum bersama.

H. Mendorong,  memfasilitasi  dan mengembangkan  terciptanya dialog  dan kerjasama antara pimpinan majelis­majelis dan  organisasi­organisasi  keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama. I. Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi. J. Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia (pemimpin agama dan pemimpin masyarakat  lokal)  untuk  ketahanan  dan kerukunan masyarakat bawah.

K. Fungsionalisasi pranata lokal. seperti adat istiadat, tradisi  dan norma­norma  sosial yang mendukung upaya kerukunan umat beragama.

(6)

L. Mengundang partisipasi semua kelompok dan  lapisan  masyarakat  agama  sesuai dengan potensi  yang  dimiliki  masing¬­ masing melalui kegiatan­kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerja sama sosial dan sebagainya.

M. Bersama­sama  para  pimpinan  majelis­ majelis  agama,  melakukan  kunjungan bersama­sama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat beragama.

N. Melakukan  mediasi  bagi  kelompok­ kelompok masyarakat yang dilanda konflik dalam rangka untuk  mencari solusi  bagi tercapainya rekonsiliasi sehingga konflik bisa dihentikan dan tidak berulang di masa depan. O. Memberi sumbangan dana (sesuai dengan kemampuan) kepada kelompok­kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi dari daerah asal mereka karena dilanda konflik sosial  dan  etnis  yang  dirasakan  pula bernuansakan keagamaan.

P. Membangun kembali sarana­sarana ibadah yang  rusak  di  daerah­daerah  yang masyarakatnya  terlibat konflik, sehingga mereka  dapat  memfungsikan  kembali rumah­ rumah ibadah tersebut.

Pada dasarnya, tidak ada agama apapun di dunia  ini  yang  secara normatif mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan kekerasan terhadap sesama  manusia, sekalipun  terhdap orang  yang  memiliki  perbedaan  keyakinan. Apabila ajaran agama dipahami secara sempit, mengutamakan  subjektifitas  pribadi  dan mengesampingkan objektifitas, serta berupaya memaksakan kemutlakan ajarannya pada orang lain yang berbeda keyakinan, maka hal inilah yang  memunculkan  sikap  intoleransi  dan berujung pada konflik.

Semua  agama  berasal  dari Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan melalui wahyu atau sabda  suci­Nya  untuk  memuliakan  hidup

manusia.  Melalui  ajaran­ajaran  suci­Nya, diharapkan umat manusia menjadi insan yang memiliki budi pekerti yang luhur. Selama ajaran yang diamalkan manusia tidak menyimpang dari  jalan  kebenaran,  maka  sesungguhnya perbedaan –perbedaan yang ada dalam setiap agama tidak perlu dipermasalahkan. Dengan hidup  berdampingan  tanpa  mempersoalkan perbedaan agama, sesungguhnya menunjukkan implementasi  dari ajaran  agama itu  sendiri. Manusia yang beragama adalah manusia yang mampu  meredam setiap gejolak emosi  yang timbul  akibat  perbedaan  pola  kehidupan beragama  yang berbeda  antara individu satu dengan individu lainnya, sehingga kekerasan atas nama agama  dapat dihindari. Bukankah bunga­bunga taman tampak indah justru karena warna­warni  bunganya  berbeda­beda. Perbedaan bukanlah penghalang untuk merajut tali  persaudaraan  dan  membangun keharmonisan hidup.

III. PENUTUP

 Dalam konteks Agama Hindu, paham toleransi  tercermin  oleh  pustaka  suci Bhagavadgita sebagai berikut. “ Ye yatha mam pradyante, tams tathai’ vaa bhajamy aham mama vartma’ nuvartate, manusyah partha sarvasah.” (B.GIV.11) Terjemahannya; Jalan manapun ditempuh manusia ke arah­Ku semuanya Ku terima Dari mana­ mana semua mereka menuju jalan­ Ku oh Partha.

Yo-yo  yam  yam  tanum bhaktah  sraddhaya rcitum icchati,

tasya-tasya  calam  sraddham,  tam  eva vidadhamy aham.” (B.G.VII.21)

Terjemahannnya.

Apapun  bentuk    kepercayaan  yang  ingin dipeluk oleh penganut agama, dengan bentuk apapun keyakinan yang tak berubah­ubah itu sesungguhnya Aku sendiri yang mengajarnya.

(7)

 Diakui secara jujur bahwa masyarakat kita yang relegius memandang bahwa pemuka agama/tokoh agama/tokoh masyarakat adalah figur  yang  dapat  diteladani  dan  dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat oleh mereka akan dipercaya dan diikuti secara taat dan loyal. Adapun yang menjadi strategi dalam pembinaan kerukunan  umat beragama  dapat dirumuskan bahwa salah satu pilar utama untuk memperkokoh  kerukunan  nasional  adalah mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pada dasarnya, tidak ada agama apapun di dunia ini yang secara normatif mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan kekerasan terhadap sesama manusia, sekalipun terhdap orang yang memiliki perbedaan keyakinan. Apabila ajaran agama dipahami secara sempit, mengutamakan subjektifitas  pribadi dan  mengesampingkan objektifitas,  serta  berupaya  memaksakan kemutlakan  ajarannya pada  orang lain  yang berbeda  keyakinan,  maka  hal  inilah  yang memunculkan sikap intoleransi dan berujung pada konflik.

Semua  agama  berasal  dari Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan melalui wahyu atau sabda  suci­Nya  untuk  memuliakan  hidup manusia.  Melalui  ajaran­ajaran  suci­Nya, diharapkan umat manusia menjadi insan yang memiliki budi pekerti yang luhur. Selama ajaran yang diamalkan manusia tidak menyimpang dari  jalan  kebenaran,  maka  sesungguhnya perbedaan –perbedaan yang ada dalam setiap agama tidak perlu dipermasalahkan. Dengan hidup  berdampingan  tanpa  mempersoalkan perbedaan agama, sesungguhnya menunjukkan implementasi  dari ajaran  agama itu  sendiri. Manusia yang beragama adalah manusia yang mampu  meredam setiap gejolak emosi  yang timbul  akibat  perbedaan  pola  kehidupan beragama  yang berbeda  antara individu satu dengan individu lainnya, sehingga kekerasan atas  nama agama  dapat dihindari. Bukankah bunga­bunga taman tampak indah justru karena warna­warni  bunganya  berbeda­beda. Perbedaan bukanlah penghalang untuk merajut

tali  persaudaraan  dan  membangun keharmonisan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Mantik,  Agus  S.2007.Bhagavad  Gita. Surabaya:Paramita. Harum, Akhmad.____.Sikap Toleransi Dalam Kehidupan Beragama.(diakses tanggal 14 februari 2014. (http://bukunnq.wordpress.com/sikap­ toleransi­dalam­kehidupan­beragama/) Setiadi,Elly M. Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta Dan Gejala permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.  Jakarta: prenada  Media Group.

Yamin,  Moh.  Vivi  Aulia.2011.Meretas Pendidikan  Toleransi,  Pluralisme  dan Multikulturalisme  sebuah  keniscayaan peradaban.Malang:Madani Media.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada pengalaman kami dan informasi yang ada, diharapkan tidak ada efek yang membahayakan jika ditangani sesuai dengan rekomendasi dan tindakan pencegahan yang sesuai

Atas kejadian tersebut juga meluncurkan 2 Unit Mobil Water Kenon dari Ditsabhara dan Brimobda Sulteng ke TKP dan berusaha memadamkan Api tersebut dan dibantu 4 Unit

Hasil yang diperoleh memberikan informasi bahwa ekstrak daun Tembakau dan ekstrak daun Zodia pada pengujian terhadap larva Aedes aegypti memberikan

Dalam pengerjaan laporan ini difokuskan pada perancangan antarmuka, langkah yang dilakukan untuk merancang aplikasi ini adalah dengan menganalisis gedung dan sumber

Teknologi terbaru pengendalian hama penggerek batang padi perlu disesuaikan dengan harga gabah pada saat panen, yaitu segera dilaksanakan 4 hari setelah penerbangan ngengat yang

Fasilitas pinjaman yang belum ditarik

Orangtua yang menerapkan strength- based parenting cenderung memberikan saran dan motivasi kepada remaja untuk terus menemukan potensinya, lalu memberikan pujian

belum mematuhi standar operasional prosedur (SOP) yang dibuat untuk memperlancar penyelesaian pelayanan. selain itu badan Lingkungan Hidup Kota Semarang belum dalam