• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS. Myelopati ec Infeksi Virus dd Autoimun dengan APEG, IHD. Diajukan Kepada: Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS. Myelopati ec Infeksi Virus dd Autoimun dengan APEG, IHD. Diajukan Kepada: Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN KASUS

“Myelopati ec Infeksi Virus dd Autoimun dengan APEG, IHD”

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Saraf

Diajukan Kepada: Pembimbing:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc

Disusun Oleh:

Galih Okta Satria 1810221116

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

(2)

2 LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Telah dipresentasikan dan disetujui laporan kasus yang berjudul

Myelopati ec Infeksi Virus dd Autoimun dengan APEG, IHD

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Ambarawa

Disusun Oleh :

Galih Okta Satria 1820221116

Telah disetujui

Ambarawa, Maret 2020

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

(3)

3

Identitas Pasien

Nama : Tn. S

RM : 1815xxxx

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 19 Oktober 1970

Usia : 49 Tahun

Alamat : Merakmati

Status : Menikah

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 4 Maret 2020

Jam Masuk : 15:17:34

Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 3 Maret 2020 pukul 14.30 WIB di ruang perawatan Mawar RSUD Ambarawa, Semarang.

Keluhan Utama: Nyeri pada anggota gerak tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang : Tn.S datang ke RSUD dengan keluhan nyeri pada anggota gerak seluruh tubuh terutama tangan dan kaki sejak 4 hari SMRS, nyeri disarakan setelah mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi yang biasa diminum secara rutin dan setelah memotong keramik memakai gerindra lebih dari satu jam, nyeri dirasakan terus-menerus, nyeri juga dirasakan pada bagian uluhati namun tidak menjalar ke punggung, disertai dengan demam naik turun, mual serta muntah. Satu hari setelah masuk bangsal pasien merasakan nyeri semakin bertambah dan disertai dengan kram dan terasa kebas pada tangan dan kaki sehingga merasa terganggu dan tidak nyaman. Kemudian pasien dikonsulkan ke dokter spesialis saraf oleh dokter penanggung jawab sebelumnya. Pasien mengatakan sejak 2 bulan sebelumnya pernah merasakan kram, kebas dan tidak dapat menggerakan kaki. Keluhan ini dirasakan sering terjadi namun pasien

(4)

4 mengatakan dapat membaik sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Sejak 1 minggu terakhir pasien mengatakan tangan dan kaki semakin terasa kaku dan tidak membaik saat istirahat. Pasien sudah mengkonsumsi obat dari dokter keluarga namun tidak ada perbaikan. Keluhan ini di rasakan semakin lama semakin memberat sehingga timbul keluhan tidak bisa berdiri dan berjalan. Pasien mengeluhkan kekauan dirasakan semakin terasa pada malam hari sebelum tidur, jari-jari terasa kaku kadang disertai rasa panas, hal ini menyebabkan pasien kesulitan dalam memegang suatu benda dan melakukan aktivitas. Pasien harus menyeret kakinya untuk berjalan dan sendal yang dipakai sering terlepas dari kakinya. Pasien masih mampu sedikit merasakan saat kaki menapakan lantai, hal ini menyebabkan pasien kesulitan dalam melakukan pekerjaanya sebagai buruh toko bangunan sehingga sulit untuk mengangkut bahan material dan mengendarai mobil. Pasien memutuskan untuk datang ke RSUD Ambarawa karena saat ini rasa kram, kaku dan kesemutan pada jari semakin sering terjadi dan dirasakan semakin mengganggu pasien saat melakukan perkerjaan, ditambah lagi kekakuan pada jari tidak hanya terjadi pada malam hari namun terjadi pada siang hari juga saat pasien tidak menggunakan tanganya untuk berktivitas, ditambah lagi saat ini kaki kanan pasien lebih sering terasa berat sehingga psaien lebih sering pincang berjalan pincang, namun semua keluhan itu juga timbul tanpa penyebab / pencetus yang jelas dan hilang dengan sendirinya, oleh karena itu pasien ahirnya memutuskan untuk berobat karena keluhan sudah mengganggu aktivitas harianya baik dalam bekerja ataupun dirumah. Pasien juga mengatakan gatal di tubuhnya, gatal timbul bila setelah diberi tekanan, tahanan atau goresan yang lama dan berulang. Gatal dirasakan seperti ada guratan yang timbul bintik-bintik dikulit. Kemudian pasien dikonsulkan ke dokter spesialis kulit. Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran (-), kejang (-) dan bicara pelo (-). Keluhan ini membuat pasien tidak dapat bekerja seperti biasanya. Sesak nafas (-), dada berdebar (-), BAK normal, tidak ada keluhan mengompol dan BAK terputus-putus. BAB normal warna coklat dengan konsistensi lunak, frekuensi 1x/minggu.

Riwayat Penyakit Dahulu :

(5)

5  Riwayat alergi : disangkal

 Riwayat kencing manis : disangkal  Riwayat batuk lama : disangkal  Riwayat jantung : Hipertensi (+)  Riwayat kebas berulang : ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Diabetes melitus disangkal, Hipertensi (+)

Riwayat Pengobatan : Berobat dengan dokter umum namun tidak ada perbaikan.

Riwayat Kebiasaan : Pasien bekerja sebagai supir lebih dari 10 tahun, dan saat ini bekerja buruh di Toko bangunan mengangkat beban berat ± 30 kg, dan memotong kramik dengan grinda. Pasien tidak merokok dan tidak minum minuman keras.

Riwayat Trauma : Disangkal

Anamnesis Sistem :

a. Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (+), muntah menyembur tiba-tiba (-), pingsan (-), kelemahan anggota gerak (+), perubahan tingkah laku (-), demam (+), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (+), BAB (+), BAK (+). b. Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (+)

c. Sistem Respirasi : Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-) d. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), BAB normal (+)

e. Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (+) f. Sistem Integumen : Ruam merah (+) Gatal (+) g. Sistem Urogenital : BAK normal (+)

(6)

6 Resume :

Pasien mengeluhkan kesemutan, rasa tebal dan kekakuan pada jari tangan dan keluhan rasa berat pada kaki yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu dan semakin memberat sekitar 1 minggu terahir. Keluhan bersifat kumat-kumatan dan mereda dengan sendirinya, namun jika serangan terjadi saat bekerja akan mengganggu aktivitas pasien. Pasien mengatakan demam naik turun dan pada daerah sekitar kram ksemutannya terasa gatal, gatal timbul bila setelah diberi tekanan, tahanan atau goresan yang lama dan berulang. Gatal dirasakan seperti ada guratan yang timbul bintik-bintik. Pasien kooperatif, tidak ada disorientasi, penurunan kesadaran bicara pelo, riwayat trauma (-), sakit kepala (+), rasa mengganjal saat menelan (-), mual (+), demam (+), BAK normal.

Diskusi I

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang (Baehr, Mathias. 2010). Berdasarkan anamnesa dikatakan bahwa adanya gangguan pada tangan dan kaki berupa kelemahan dan kekakuan yang merupakan tanda dari gangguan motor neuron, dan disertai adanya gangguan pada aspek sensoris yaitu tetraparesis. Paresis memiliki arti kelemahan dan tetraparesis digunakan untuk mendeskripsikan penurunan kemampuan motorik pada keempat ekstremitas.

Mielopati

Definisi: adalah hilangnya bertahap fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan pada tulang belakang. Myelopathi dapat langsung disebabkan oleh cedera tulang belakang yang mengakibatkan berkurangnya sensasi atau kelumpuhan. Penyakit degeneratif juga dapat menyebabkan kondisi ini, dengan derajat yang bervariasi dari kehilangan sensasi dan gerakan. Proses non inflamasi pada Medula spinalis

(7)

7 misalnya yang disebabkan oleh prosestoksik, nutrisional, metabolik dan nekrosis yang menyebabkan lesi pada Medula spinalis.

Derajat mielopati dapat di bagi menjadi :

a. Grade 0 : Melibatkan akar saraf, tidak di sertai penyakit pada medulla spinal b. Grade 1 : Gejala penyakit pada medulla spinalis tetapi tidak sulit berjalan. c. Grade 2 : kesulitan berjalan ringan, tetapi tidak menghambat aktivitas

sehari-hari.

d. Grade 3 : perlu bantuan dalam berjalan.

e. Grade 4 : kemampuan berjalan dengan alat bantu. f. Grade 5 : hanya di kursi roda atau berbaring.

Etiologi : Pada pasien berusia 50-an penyebab SPONDILOSIS SERVIKAL. Pada keadaan ini terjadi penyakit degenaratif (osteoartrosis) vertebra servikal yang dapat menyebabkan kompresi medula spinalis karena adanya kalsifikasi, degenerasi, protrusi,diskus intervertebra, pertumbuhan tulang yang menonjol (osteofit) dan penebalan ligamentum longitudinal. Pada pasien berusia 40-an kebawah penyebab tersering terjadinya mielopati adalah SKLEROSIS MULTIPLE. Kondisi degeneratif dapat menyebabkan gangguan ini dengan variasi derajat kehilangan sensasi dan kemampuan mobilisasi dan koordinasi. Penyebab lainnya antara lain herniasi diskus yaitu pengurangan diameter kanal tulang belakang dan kompresi sumsum tulang belakang, instabilitas spinal, kongenital stenosis, inflamasi, autoimun sistemik (SLE, Multiple sklerosis, Sjorgen syndrome), Neoplasma, penyakit vaskular. Degenerasi akibat penuaan tulang belakang dan sistem peredaran darah juga menjadi penyebab mielopati.

Patofisiologi: Mielopati lengkap menggambarkan cedera tulang belakang yang mengakibatkan tidak ada sensasi bawah asal dari cedera tulang belakang. Medula spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan akselerasi, deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh tekanan yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medula spinalis mengalami kompresi, tertarik atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C1 dan C2, C4, C6 dan T11 atau L2.

(8)

8 Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T12-L1. Fraktur lumbal adalah faktor yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan menyebabkan iskemia pada medula spinalis.

Hiperekstensi, jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia dewasa yang memiliki perubahan degeneratif vertebra, usia muda yang mendapat kecelakaan lalu lintas dan mengalami cedera leher saat menyelam.jenis cedera ini menyebabkan medula spinalis bertentangan dengan ligamentun flava dan mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari medula spinalis dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medula spinalis.

Kompresi, cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh dari ketinggian,dengan posisi kaki kaki atau bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medula spinalis. Diskus dan fragmen tulang dapat masuk ke medula spinalis. lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medula spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.

(9)

9 Gambar 4 : Peta Miotom

Manifestasi Klinis: Tanda-tanda awal mielopati yaitu hilangnya bertahap keterampilan motorik halus dan kelambatan atau kekakuan dalam berjalan. Seorang dokter mengevaluasi pasien untuk jenis myelopathy mungkin pemberitahuan meningkat struktur otot di kaki dan koordinasi yang buruk ketika seseorang berjalan.

Orang dengan myelopathy dapat mengalami satu atau lebih gejala berikut: 1. Rasa berat dikaki atau kelambatan atau kekakuan dalam berjalan. 2. Ketidakmampuan untuk berjalan dengan langkah cepat.

3. mengalami gangguan sensori, namun kecuali mielopati memburuk, jarang mencapai tingkat yang jelas

4. Intermiten penembakan nyeri ke lengan dan kaki (seperti tersengat listrik), terutama ketika menekuk kepala mereka ke depan (dikenal sebagai fenomena Lermitte)

Sedangkan tanda lainnya adalah:

1. Kikuk atau lemah tangan, dengan perasaan tebal dan kelemahan pada kaki dan tangan.

2. Tonus otot kaki meningkat 3. Kaku pada leher

4. Reflek tendo dalam lutut dan pergelangan kaki meningkat

5. Perasaan asimetris pada kaki dan lengan mengakibatkan sensasi posisi pada lengan dan kaki menghilang sehingga sulit berjalan.

(10)

10 6. Kehilangan kontrol pada spinter, akibatnya terjadi inkontinensia urine. 7. Perubahan pada peristaltik usus.

Pemeriksaan Diagnostik:

a. X-ray : Abnormal gerakan atau tidak stabil berupa foto polos vertebra AP/Lateral/Oblique

b. CT-Scan : Otot polos dengan potongan-potongan dapat menunjukkan osteopit yang berada di dalam spinal colum.

c. MRI : Dapat menunjukkan jaringan lunak di sekitar tulang (saraf, diskus) selain tulang.

d. EMG : mengevaluasi jalur motoric dari saraf.

e. SSEP : (Somato Sensory Evoked Potensial) mengukur kemampuan sensorik saraf. Dengan sebuah listrik di lakukan dengan merangsang lengan atau kaki dan kemudian membaca sinyal di otak.

f. Pemeriksaan laboratorium meliputi darah rutin, kimia darah, urin lengkap.

Penatalaksanaan: 1. Terapi Konservarif

a. Terapi Fisik

b. Kontrol nyeri : istirahat, pengaruran posisi yang nnyaman, kompres es, terapi panas ultrasound, traksi

c. Blok saraf berupa injeksi steroid pada epidural 2. Pembedahan

a. Disectomy Fusi

b. Corpectomy dan strut graft

c. Laminectomy : Prosedur pembedahan untuk mengurangi tekanan pada sumsum tulang belakang, karena stenosis tulang belakang.

Komplikasi: Ketagihan obat, Kehilangan sensasi, Tidak bisa bergerak bebas, Cacat tulang belakang, BAK sering.

(11)

11 Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut

Definisi : Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) atau dikenal sebagai pustular drug rash, pustular eruption, atau toxic pustuloderma adalah suatu keadaan inflamasi pada kulit dan membran mukosa yang jarang terjadi, ditandai oleh onset yang akut dari pustul-pustul steril nonfolikular dan disertai resolusi yang cepat.

Epidemiologi : Insidens PEGA lebih sedikit dibandingkan reaksi alergi obat lainnya. dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan etiologinya; 10 pasien diduga disebabkan oleh obat sistemik dan 6 pasien yang bukan disebabkan karena obat. Semua pasien tersebut diterapi dengan kortikosteroid sistemik, baik oral maupun injeksi. PEGA lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rerata usia 56 tahun.

Etiologi : Sekitar 90% kasus PEGA disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas terhadap obat. Berdasarkan hasil penelitian EuroSCAR, obat-obatan dibagi atas yang berisiko tinggi, kurang berisiko, maupun yang tidak berhubungan dengan PEGA. Obat-obatan yang berisiko paling tinggi untuk menyebabkan PEGA meliputi pristinemisin, aminopenisilin, kuinolon, hidroksiklorokuin, golongan sulfonamide, terbinafrin, dan diltiazem. Obat yang kurang berisiko antara lain ialah kortikosteroid, antibiotik golongan makrolid, oxicam anti-inflammasi nonsteroid (AINS), dan semua antiepilepsi kecuali valproic acid. Dilaporkan pula obat-obatan yang sering digunakan atau diketahui berisiko menimbulkan sindrom Steven-Johnson/nekrolisis epidermal toksik (NET) tetapi tidak berhubungan secara bermakna terhadap angka kejadian PEGA ialah asetaminofen, benzodiasepin, inhibitor ACE, beta bloker, asam asetilsalisilat, calcium channel blocker (CCB), diuretik golongan tiazid, alopurinol, dan sefalosporin. Reaksi sensitivitas terhadap merkuri, pemberian vaksinasi pada populasi pediatri serta gigitan laba-laba juga diduga menjadi faktor penyebab PEGA. Infeksi diduga dapat menyebabkan terjadinya PEGA namun belum didapatkan banyak bukti, tetapi beberapa laporan menyebutkan bahwa infeksi virus (infeksi parvovirus, sitomegalovirus, dan coxackie B4 virus) berhubungan dengan PEGA. Infeksi saluran kemih berulang serta pneumonia juga pernah dilaporkan sebagai penyebab

(12)

12 PEGA. Reaksi tersebut diduga kuat karena penggunaan terapi antiinfeksi yang diresepkan untuk penanganan penyakit dan bukan karena infeksi tersebut.

Pathogenesis : Patofisiologi erupsi obat pada kulit belum diketahui secara jelas namun dapat disebabkan oleh proses imunologik, klasifikasi mekanisme imun maupun non imunologik. Salah satu yang melibatkan proses imunologik ialah PEGA dan dikategorikan dalam reaksi hipersensitifitas tipe IV yaitu reaksi hipersensitifitas yang tertunda (delayed hypersensitivity) karena dimediasi oleh sel T. Setelah konsumsi obat, antigen-presenting cells (APCs) mengaktivasi sel T reaktif spesifik obat yaitu major histocompatibility complex (MHC) kelas I (CD4+) dan MHC kelas II (CD8+) di kelenjar getah bening. Obat akan terikat secara kovalen pada kompleks peptida/ MHC dan non-kovalen, diikuti dengan migrasi ke dermis dan epidermis. Fase II, drug-presenting keratinocytes di MHC kelas I dan sel-sel Langerhans (di MHC kelas I dan II) menstimulasi sel T untuk memroduksi kemokin poten CXCL8 (interleukin 8) yang bertanggung jawab untuk mengawali proses aktivasi dan perekrutan neutrofil dalam proses peradangan dimediasi oleh nerofil pada kulit yang disebabkan oleh sitotoksisitas obat dan sitokin inflamasi serta faktor kemotaktik seperti IL-5, interferon-gamma (IFN-ɣ), granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF), yang akan mengubah faktor pertumbuhan (TGF-β) dan regulated on activation, normal T cell expressed and secreted (RANTES). Sel T spesifik obat baik CD4(+) maupun CD8(+) keduanya bersifat sitotoksik dan akan mengakibatkan sekresi sitokin. Sel T menghasilkan perforin/granzyme B dan mengaktifkan mekanisme Fas/FasL-killing yang akan mengakibatkan kematian keratinosit sehingga terjadi kerusakan jaringan dan memungkinkan pembentukan vesikel subkorneal yang berisi sel CD4+. Fase lanjut ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil di lokasi peradangan ke molekul adesi (misalnya ICAM-1). Migrasi neutrofil polimorfonuklear (PMN) ini bersamaan dengan meningkatnya CXCL8 melewati dermis dan epidermis masuk ke dalam dan mengisi vesikel sehingga terbentuk pustul yang steril. Studi akhir-akhir ini menyatakan kemungkinan keterlibatan IL-8 keratinosit dan obat yang dapat mengaktivasi sel Th17 pada patogenesis PEGA. Sel Th17 dan IL22 sebagai produk utamanya ditemukan meningkat nilainya pada pasien PEGA bila dibandingkan kelompok kontrol. Interleukin-17 dan IL-22

(13)

13 menstimulasi keratinosit untuk memroduksi IL-8 sehingga terbentuk infiltrat subkorneal berisi neutrofil yang merupakan karakteristik dari PEGA. Predisposisi genetik juga diduga menjadi dasar pemicu reaksi serta perubahan neutrofil tetapi masih sedikit data yang mendukung hal ini. Bernhard et al. menemukan peningkatkan ekspresi HLA pada pasien dengan PEGA bila dibandingkan dengan populasi umum.

Gambaran Klinis : Gambaran klinis yang khas dari PEGA berupa erupsi akut pustul steril nonfolikular diatas kulit yang eritematosa, diawali ataupun disertai keluhan pruritus dan demam (>38°C). Timbul pustul kecil seperti kepala peniti berukuran <5 mm, berwarna putih, terkadang eritema edematous dan kadang mirip dengan Nikolsky Sign, predileksinya di lipatan tetapi umumnya tersebar, menyerupai lesi target. Kelainan PEGA dapat sembuh sendiri namun erupsi pustular pada kulit dapat bertahan rerata 9 hari (4-14) hari kemudian diikuti deskuamasi. Linfadenopati juga bisa terjadi.

Pemeriksan penunjang: Pemeriksaan histopatologik menunjukkan gambaran khas pustul spongiformis sub/intrakorneal, intraepidermal maupun gabungan keduanya yang ditemukan lebih dari 90% kasus dan Pemeriksaan laboratorium Abnormalitas hasil laboratorium pada pasien PEGA umumnya tidak spesifik. Kenaikan hitung neutrofil (>7) dari pemeriksaan laboratorium ditemukan pada 90% kasus. Adanya peningkatan eosinofilia ringan di sekitar 30% kasus PEGA. Fungsi renal sedikit menurun (bersihan kreatinin <60Ml), Hipokalemia, Hiper AFP, keterlibatan genetik tertentu.

Diagnosis banding: Meliputi psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch, subkorneal pustular dermatosis, vaskulitis pustular, sindroma reaksi hipersensitifitas, atau pada kasus PEGA yang berat dapat menyerupai NET. yang paling mendekati yaitu psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch dan subkorneal pustular dermatosis. Psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch Psoriasis pustulosa tipe Von Zumbusch atau psoriasis pustulosa generalisata akut (PPGA) memiliki gambaran lesi kulit berupa pustul steril dengan diameter 2-3 mm yang timbul diatas plak eritematosa tersebar merata dari batang tubuh, ekstremitas, dan seluruh tubuh. Perbedaan gambaran klinis yaitu pada PPGA, pustul berkonfluen membentuk formasi lake of

(14)

14 pus berukuran beberapa sentimeter. Sebelum timbul lesi kulit dapat diawali dengan keluhan sistemik yaitu demam, menggigil, nyeri kepala, malaise, dan anoreksia. Perubahan gambaran histopatologik seperti hiperkeratosis, parakeratosis, stratum granulosum menipis, pemanjangan rete ridge, indeks mitosis tinggi, dan penipisan suprapapillary plate jauh lebih menonjol pada PPGA. Penyakit ini umumnya didapatkan pada jenis kelamin perempuan berusia di atas 40 tahun dengan etiologi belum diketahui. Gambaran klinis yang khas berupa pustul ataupun vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul di atas dasar kulit eritematosa, menyebar ke perifer, central healing, dan menyembuh meninggalkan area eritematosa berbentuk polisiklik disertai munculnya lesi baru. Penatalaksanaan : Pengobatan spesifik pada PEGA umumnya tidak diperlukan dikarenakan karakter penyakit yang dapat sembuh sendiri. Tidak ada terapi yang tersedia untuk mencegah perluasan lesi dan penurunan lebih lanjut dari kondisi umum pasien. Penghentian terapi obat yang diduga penyebab merupakan pilihan utama. Pengobatan simtomatis seperti antipiretik maupun antihistamin dapat digunakan untuk meringankan keluhan pasien. Antibiotik harus digunakan ketika terdapat diagnosis infeksi yang jelas. Pada kebanyakan kasus dapat digunakan kortikosteroid sistemik, dan kasus yang jarang dapat diberikan infliximab dan etanercept yang dapat dengan cepat menghentikan terbentuknya pustul dan mempercepat resolusi putul.

Prognosis : PEGA umumnya baik dan dapat sembuh sendiri, terutama setelah penghentian obat yang diduga sebagai penyebab, kecuali bila didapatkan adanya infeksi sekunder pada lesi atau pasien usia lanjut dengan demam tinggi.

Diagnosis Sementara

1. Diagnosis klinis : Tetraparese Spastik akut 2. Diagnosis topis : Medula Spinalis

3. Diagnosis etiologi : Mielopati ec Infeksi Virus dd/ Autoimun 4. Diagnosis tambahan: Pruritus ec Tekanan berulang

(15)

15 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Berat badan : 70 kg

Tinggi badan : 165 cm IMT : 25,7 kg/m2 2. Vital Sign

Tekanan darah : 130/90 mmHg Frekuensi nadi : 84 kli/menit Frekuensi nafas : 20 kali/menit Suhu : 380 C per axilla 3. Status Generalis

Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) Hidung : Nafas cuping hidung (-), perdarahan (-), lendir (-) Mulut : Tidak ada bercak multiple keputihan di faring Telinga : Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-)

Leher : Tampak simetris, deviasi trakea (-), KGB tidak teraba, JVP 5±2 cmH2O

Thoraks Paru

Inspeksi : Gerak dada simetris saat statis dan dinamis,venektasi (-), spider naevi (-)

Palpasi : Taktil fremitus kedua paru simetris Perkusi : Sonor pada kedua paru

Auskultasi : Vesicular kedua lapang paru, ronkhi (-/-) , wheezing (-/-) Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V Linea midclavicularis Perkusi

Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra

(16)

16 Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra

Pinggang Jantung: ICS II linea parasternal sinistra Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reg, murmur (-) gallop (–) Abdomen

Inspeksi : Datar, sikatriks (-), Ascites (-), Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen, shifting dullnes(-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrik (-), hepar dan lien tidak teraba massa (-), turgor baik, ascites (-)

Pinggang : Nyeri ketuk CVA (-/-) Ekstremitas

Inspeksi : tidak ada kelainan

Palpasi : Akral teraba hangat, CR < 2s. UKK : Plak Makula Eritema Generalisata

4. Status Neurologis

Kesadaran kuantitatif : GCS (E4V5M6) Orientasi : Baik

Jalan pikiran : Baik/koheren Kemampuan bicara : Baik

Sikap Tubuh : Simetris Gerakan Abnormal : – Pemeriksaan Saraf Kranial:

Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri

N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N

N. II. Optikus Daya penglihatan N N

Pengenalan warna N N

Lapang pandang N N

N. III. Okulomotor

Ptosis – –

Gerakan mata ke medial N N

Gerakan mata ke atas N N

Gerakan mata ke bawah N N

Ukuran pupil 3 mm 3 mm

(17)

17

Refleks cahaya langsung + +

Refleks cahaya konsensual + +

N. IV. Troklearis Strabismus divergen – –

Gerakan mata ke lat-bwh – –

Strabismus konvergen – – N. V. Trigeminus Menggigit – – Membuka mulut – – Sensibilitas muka + + Refleks kornea N N Trismus – –

N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral N N

Strabismus konvergen – –

N. VII. Fasialis Kedipan mata N N

Lipatan nasolabial Simetris Simetris

Sudut mulut Simetris Simetris

Mengerutkan dahi Simetris Simetris

Menutup mata N N

Meringis N N

Menggembungkan pipi N N

Daya kecap lidah 2/3 ant + +

N. VIII.

Vestibulokoklearis

Mendengar suara bisik + +

Mendengar bunyi arloji + +

Tes Rinne TDL TDL

Tes Schwabach TDL TDL

Tes Weber TDL TDL

N. IX.

Glosofaringeus

Arkus faring Simetris Simetris

Daya kecap lidah 1/3 post N

Refleks muntah N

Sengau –

Tersedak –

N. X. Vagus Denyut nadi 84 x/menit

Arkus faring Simetris Simetris

Bersuara N

Menelan N

N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala N N

Sikap bahu N N

Mengangkat bahu N N

Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi

N. XII. Hipoglossus

Sikap lidah N

Artikulasi N

Tremor lidah –

Menjulurkan lidah Simetris

Trofi otot lidah –

Fasikulasi lidah – Jenis Pemeriksaan Ekstremitas Superior (Dextra/Sinistra) Ekstremitas Inferior (Dextra/Sinistra)

(18)

18 Sensorik

Raba halus + +

Raba kasar + +

Nyeri/Termal ↓ Setinggi 1/3 distal Antebrii

↓ Setinggi 1/3 distal Tibia

Pemeriksaaan Motorik Neurologis 1. Reflek Fisiologis 2. Trofi 3. Reflek Motorik 4. Reflek Patologis 5.Tonus 6.Klonus

7.Sensibilitas: Sulit dinilai.

↑ ↑

EU EU EU EU

+

+

+

+

3555

3555

5553

5553

Hiper Hiper Hiper Hiper

(19)

19 Pemeriksaan Laboratorium RSUD Ambarawa 2 Maret 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hemoglobin 14,8 13,2 – 17,3 g/dl Leukosit 17,1

3,8-10,5 Ribu Eritrosit 6,24 4,5-5,8 Juta Hematokrit 42 37-47 % Trombosit 366 150-400 Ribu MCV 80 L 82-95 fL MCH 28 >27 Pg MCHC 35 32-37 g/dl RDW 11.4 10-15 % MPV 6,3 7-11 mikro m3 Limfosit 2,22 1,0-4,5 103/mikro m3 Monosit 1.06 0,2-1,0 103/mikro m3 Granulosit 3 2-4 103/mikro m3 Neutrophil 13,6

1.8-7.5 103/mikro m3 Neutrophil % 79,3

50-70 % Limfosit% 13 L 25 – 40 % Monosit% 6,17 2 – 8 % Granulosit% 74,5 50- 80 % PCT 0,2 0,2 – 0,5 % PDW 18,7 10 – 18 % GDS 125 H 74 – 106 mg/dL G2PP - <120 SGOT 28 0 – 50 U/L SGPT 86 H 0 – 50 IU/L Ureum 30 10 – 50 mg/dL Kreatinin 1,34 H 0,62 – 1,1 mg/dL Asam Urat 4,84 2 – 7 mg/dL Cholesterol 152 < 200 dianjurkan, 200 – 239 res sedang, > 240 resti mg/dL HDL 40 28 – 63 mg/dL LDL 80 < 150 mg/dL Trigliserida 106 70 – 140 mg/dL DISKUSI II

Pada pemeriksaan fisik saat pasien ditemui memiliki status generalisata yang baik, dengan tidak adanya penurunan kesadaran, didapatkan adanya kontak mata, namun ditemukan kelainan pada motorik pasien dapat menggerakan sesuai

(20)

20 instruksi pemeriksa dan verbal pasien dapat menjawab pertanyaan dan menjelaskan keluhannya dengan baik.

Pada pemeriksaan tanda vital tekanan darah pasien adalah 130/90 mmHg dalam batas normal, nadi 84x/menit dengan irama regular dan isi cukup, laju nafas 20x/mnt dalam batas normal, suhu 38 derajat (febris), dan saturasi dalam keadaan baik.

Pada pemeriksaan didapatkan adanya tetraparese, hipereflek, reflek patologis (+), kram otot, tungkai berat sehingga menyeret, kesulitan melakukan pekerjaan dengan tangan menggambarkan tidak hanya ada lesi pada UMN saja. Dimana lesi UMN atau spastisitas ditandai dengan adanya hiperreflek, hipertonus, reflek patologi (+). Tanda Spastik didapatkan pada ujung ke 4 anggota gerak sehingga kemungkinan lesi ada pada daerah medula spinalis. Tidak ada kelainan pada nervus kranialis, tidak ada gangguan kognitif sehingga bias mencoret kemungkinan kelainan pada otak dan pada basiler. Pada pasien ini didapatkan gambaran klinis lesi Medula Spinalis. Pasien juga mengeluhkan gatal di tubuhnya gatal timbul bila terkena tekanan, tahanan atau goresan.

Dari hasi laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan Neutrofil (13.600), Leukosit (17.100), GDS (125), HDL (40), Kreatinin (1,34), SGPT (86) namun hal itu tidak menutup kemungkinan adanya proses patologis yang berhubungan dengan medula spinalis (hipersensitivitas, infeksi, alergi obat-obatan atau autoimun), oleh karena itu untuk mengetahui secara pasti penyebab dari keluhan yang dialami pasien, dapat dilakukan pemeriksaan X-Ray posisi standar (anteroposterior, lateral) untuk vertebra servikal, dan posisi ap dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal serta MRI. Selain itu, penyakit yang menyertai pasien seperti AGEP perlu dilakukan pemeriksaan Histopatologi karena dapat menjadi faktor resiko terjadinya Autoimun serta rutin meminum obat anti hipertensi agar tekanan darah terkontrol.

(21)

21 Diagnosis Akhir :

Diagnosis klinis : Tetraparase spastik akut, paresthesia, kram otot, febris. Pruritus Diagnosis topis : Medula spinalis

Diagnosis etiologi : Mielopati et causa Infeksi Virus dd/ Autoimun Diagnosis tambahan: Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut, IHD Penatalakasanaan

1. Farmakologi

1. IVFD Asering 20 tpm

2. Inj Metilprednisolon 125 mg/6jam (tap off) 3. Inj Meticobalamin 500 mg/12jam

4. Inj Ondansentron 4 mg/12 jam 5. Inj Ceftriaxone 2x1 gram 6. PO Loratadine 1x1 7. PO N-Asetil sistein 2x1 8. PO Lansoprazole 1x1 9. PO Clopidogrel 1x75 10.PO Nitrocaf 1x2,5

11.Atopiclair lotion 40 + Hidrokortison Cr 10 da in pot PROGNOSIS

 Death : Dubia ad bonam  Disease : Dubia ad bonam  Dissability : Dubia

 Discomfort : Dubia

 Dissatisfaction : Dubia ad bonam  Distutition : Dubia ad bonam Diskusi III

Metil prednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. Efek

(22)

22 glukokortikoid (sebagai anti-inflamasi) yaitu menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien).

Mecobalamin adalah koenzim yang mengandung vitamin B12 yang ikut berpartisipasi dalam reaksi transmetilasi. Mecobalamin adalah homolog vitamin B12 yang paling aktif di dalam tubuh. Mecobalamin bekerja dengan memperbaiki jaringan syaraf yang rusak. Mecobalamin juga terlibat dalam maturasi eritroblast, mempercepat pembelahan eritroblast dan sintesis heme sehingga dapat memperbaiki status darah pada anemia megaloblastik. Uji klinis tersamar ganda menunjukkan bahwa Mecobalamin tidak hanya efektif untuk anemia megaloblastik, namun juga untuk neuropati perifer.

(23)

23

FOLLOW UP

Tanggal Jam Pemeriksaan Terapi

2-3-2020 HP 2

07.00 S : Demam , Kringat dingin, Nyeri perut, Nyeri sendi, Kaku bagian tangan dan kaki. Gatal seluruh tubuh. O : CM, gizi baik TV : HR = 85 x/1’ SpO2: 98% RR = 20 x/1’ TD: 130/80 S = 37,8oC (per axiler) A: IHD Program:  Konsul Sp.S  Konsul Sp.KK  Inf. RL 20 Tpm  Inj. Ceftriaxone 2x1gr  Inj. Ondansentron 2x1  PO. Loratadine 1x1  PO. Lansoprazole1x1  PO. Clopidogrel 1x75 3-3-2020 HP 3

07.00 S : Kaku bagian tangan susah menggenggam dan baal pada kaki sulit berjalan. O : CM, gizi baik

TV : HR = 85 x/1’ SpO2: 98% RR = 20 x/1’ TD: 130/80 S = 37,6oC (per axiler) A: Mielopati ec Infeksi Virus dd Autoimun, AGEP, IHD

 Inf. RL 20 Tpm  Inj. Metilprednisolon 4x125 mg  Inj. Mecobalamin 1x1  Inj. Ceftriaxone 2x1gr  Inj. Ondansentron 2x1  PO. Loratadine 1x1  PO. Lansoprazole1x1  PO. Clopidogrel 1x75  PO. N-Asetil Sistein 2x1

 Atopiclair lotion + Hidrokortison Cr 10

4-3-2020 HP 4

07.00 S : Kaku berkurang bagian tangan susah menggenggam dan baal pada kaki sulit berjalan.

O : CM, gizi baik

TV : HR = 86 x/1’ SpO2: 98% RR = 20 x/1’

S = 37.5oC (per axiler) A: Mielopati ec Infeksi Virus dd Autoimun, AGEP, IHD

 Inf. RL 20 Tpm  Inj. Metilprednisolon 2x125 mg  Inj. Mecobalamin 1x1  Inj. Ceftriaxone 2x1gr  Inj. Ondansentron 2x1  PO. Loratadine 1x1  PO. Lansoprazole1x1  PO. Clopidogrel 1x75  PO. N-Asetil Sistein 2x1

 Atopiclair lotion + Hidrokortison Cr 10

(24)

24

5-3-2020 HP 5

07.00 S : Demam (-) Kaku (-) bagian tangan bisa menggenggam dan kaki bisa berjalan. O : CM, gizi baik

TV : HR = 84 x/1’ SpO2: 98% RR = 18 x/1’

S = 36,8oC (per axiler) A: Mielopati ec Infeksi Virus dd Autoimun, AGEP, IHD

Program: BLPL  Inf. RL 20 Tpm  Inj. Metilprednisolon 2x125 mg  Inj. Mecobalamin 1x1  Inj. Ceftriaxone 2x1gr  Inj. Ondansentron 2x1  PO. Loratadine 1x1  PO. Lansoprazole1x1  PO. Clopidogrel 1x75  PO. N-Asetil Sistein 2x1

 Atopiclair lotion + Hidrokortison Cr 10

(25)

25

DAFTAR PUSTAKA

Belda W, Ferolla AC. Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) case report. Rev Inst Med Trop S. Paulo 2005;47(3):171-6.

Budianti WK. Erupsi obat alergik. In: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (7th ed). Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2015; p. 190-5

Harsono. 2009.Kapita Selekta Neurologi.Yogyakarta: UGM

Kardaun SH, Kuiper H, Fidler V, Jonkman MF. The histopathological spectrum of acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) and its differentiation from generalized pustular psoriasis. J Cutan Pathol. 2010;37:1220-9

Klezl Z, Coughlin TA. Focus on cervical myelopathy. British Editorial Society of Bone and Joint Surgery; 2012.

Marina S, Kristina Semkova K, Guleva D, Kazandjieva J. Acute generalized exanthematous pustulosis AGEP: a literature review. Scripta Scientifica Medica. 2013;45(4):7-12.

Marjono,Mahar.Sidharta.Priguna.2003.Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: PT Dian Rakyat

Price, A., Sylvia & Wilson, M., Lorraine.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.Jakarta : EGC

Schmalstieg William F, Brian GW. Approach to acute or subacute myelopathy. Department of Neurology: Mayo Clinic College of Medicine. 2010; 75:S2-S8.

Sherwood,Lauralee.2002.Fisiologi Manusia Dari sel ke system. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Sidorofff A, Dunant A, Viboud C, Halevy S, Bavink JN, Naldi L et al. Risk factors for acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP)results of a multinational case-control study (EuroSCAR). British J Dermatol. 2007;157:989-96

Sjamsuhidajat R, de Jong W.2005.Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2.Jakarta: EGC Sousa AS, Papaiordanou F, Tebcherani AJ, Lara OA, Marchioro FG. Acute

generalized exanthematous pustulosis x von Zumbusch’s pustular psoriasis: a diagnostic challenge in a psoriatic patient. An Bras Dermatol 2015;90(4):557-60.

(26)

26 Volume ke-2. Edisi ke-7. United states: Elsevier; 2012.

Yeung JT, John IJ, Aftab SK. Cervical disc herniation presenting with neck pain and contralateral symptoms: a case report. J Med Case Rep. 2012; 6:166

Gambar

Gambar 3 : Peta Dermatom

Referensi

Dokumen terkait