• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) PULAU WIE TAMBELAN DI LAGOI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas) PULAU WIE TAMBELAN DI LAGOI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU HIJAU

(Chelonia mydas) PULAU WIE TAMBELAN DI LAGOI

Erpa Mardiana¹, Arief Pratomo², Henky Irawan² Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang Nomor HP. 0853664028571; E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan penetasan telur penyu hijau (Chelonia

mydas) Pulau Wie Tambelan yang di tetaskan di Lagoi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 30

Maret s/d 20 Mei 2013 di lokasi penetasan telur penyu Pulau Wie Tambelan dan Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi). Hasil akhir di uji dengan uji ANOVA untuk mengetahui pengaruh lokasi penetasan telur penyu. Jumlah telur yang digunakan sebanyak 400 butir telur yang dibagi menjadi 2 bagian, 200 butir telur ditetaskan di Pulau Wie dan 200 butir ditetaskan di Labor Konservasi Banyan Tree. Dari 200 butir telur di bagi menjadi 4 bagian, masing-masing sarang dimasukkan 50 butir telur. Keberahasilan menetas (hatching success) di Pulau Wie Tambelan 98.5% sedangkan penetasan di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) 85.5% dengan perbedaan nyata antara penetasan telur penyu di Pulau Wie Tambelan dan Labor Konservasi Banyan Tree adalah (α=0,05). Masa inkubasi telur penyu hijau Pulau Wie dan Labor Konservasi Banyan Tree 50 hari. Keberhasilan penetasan telur penyu secara semi alami di Pulau Wie Tambelan dan Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) dipengaruhi oleh bebrapa faktor antara lain: pemindahan telur, kualitas telur, suhu sarang. Jika dilihat dari faktor suhu maka nilai parameter yang diperoleh masih tergolong normal untuk penetasan telur penyu hijau.

Kata kunci: Keberhasilan Penetasan Telur, Chelonia mydas, Pulau Wie Tambelan dan Lagoi Abstract

This research intent to know hatches success zoom green turtle egg (Chelonia mydas) Wie

Tambelan's island that at hatch at Lagoi. This research is done on the fifteenth 30th March s /

d. 20th May 2013 at egg hatches location Wie Tambelan's Island turtle and Labor Banyan

Tree's Conservation (Lagoi). End product at tests by quiz ANOVA to know hatches location

influence turtle egg. Total egg that is utilized as much 400 eggs which are divided as 2 a part,

200 eggs hatch at Wie's Island and 200 numbers hatch at Labor Banyan Tree's Conservation.

Of 200 eggs at divide to become 4 a part, each den is inserted 50 eggs. Success hatches

(hatching success) at Wie Tambelan's Island 98.5% meanwhile hatches at Labor Banyan

Tree's Conservation (Lagoi) 85.5% by distinctive realities among turtle egg hatch at Wie

Tambelan's Island and Labor Conservation Banyan Tree is (α =0,05). Green turtle egg

incubation period Wie's Island and Labor Banyan Tree's Conservation 50 days. Egg hatch

success natural half ala turtle at Wie Tambelan's Island and Labor Banyan Tree's

Conservation (Lagoi) regarded by severally factor for example: egg move, egg quality, den

temperature. If is seen from temperature factor therefore acquired parameter point still

normal rank for green turtle egg hatch.

(2)

PENDAHULUAN

Kepulauan Riau (Kepri) merupakan lokasi sebaran habitat penyu untuk jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik

(Eritmochelys Imbricata) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) WWF (2005). Menurut PPSPL UMRAH (2009), Kepulauan Tambelan merupakan habitat penyu utama jenis penyu hijau dan penyu sisik. Penyu Tambelan dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mengkonsumsi dan memperdagangkan telur, daging dan cangkang / karapas penyu.

Penyu hijau merupakan hewan terancam punah dan dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Di tingkat nasional penyu hijau telah dilindungi oleh pemerintah melalui penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain.

Pemindahan telur dari sarang alami kesarang semi alami dilakukan setelah ± 1 jam induk meninggalkan sarang. Hal ini diperkuat oleh pendapat Limpus et al. (1989) dalam Silalahi (1989), mengatakan bahwa dalam selang waktu dua jam setelah diletakkan oleh induk, telur masih dalam keadaan toleran terhadap perubahan posisi, karena mata tunas masih mampu menuju kepermukaan. Menurut Alfian (1989) dalam Silalahi (1990) waktu pemindahan telur yang terbaik adalah segera setelah pelepasan telur hingga waktu 2 jam kemudian. Bila lebih dari 2 jam 45 menit maka penanganannya harus lebih hati-hati dengan memperhatikan posisi telur, yaitu bagian atas telur harus tetap berada di atas hingga peletakan telur di sarang semi-alami.

Keberhasilan penetasan telur penyu sangat ditentukan oleh penguasaan teknik persiapan media, penanganan kesehatan dan kebersihan telur, penanganan anakan penyu saat menetas, pemberian pakan tukik, kesehatan lingkungan dan media pemeliharaan tukik sampai siap ditebar ke laut.

Upaya penetasan telur penyu di luar habitat asal perlu dilakukan bila habitat asalnya sudah rusak.

Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat keberhasilan penetasan telur penyu hijau berasal dari Pulau Wie Tambelan yang di tetaskan di Lagoi.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan mulai dari akhir Maret hingga Mei 2013 di lokasi penangkaran penyu Pulau Wie (Tambelan) dan Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) Kabupaten Bintan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan variabel yang diamati yaitu variabel terikat (respon) yaitu: jumlah tukik hidup dan aktif (T1), jumlah tukik mati (T2), jumlah tukik lemas (T3), jumlah tukik mati dalam telur (T4) dan jumlah telur dengan embrio yang tidak jadi (T5). Sedangkan variabel bebas (perlakuan). Adapun variabel terikat meliputi: jarak relokasi sarang, car pengangkutan, umur telur, suhu dalam sarang dan jenis telur.

Pengamatan penyu yang naik ke pantai dilakukan pada pukul 17.00 WIB. Pengamatan dilakukan untuk melihat dari awal penyu naik ke pantai, mencari lokasi bertelur, proses penggalian lubang hingga bertelur. Lama waktu yang dibutuhkan hingga penyu selesai bertelur ± 4 jam dimulai saat naik ke pantai hingga penyu tersebut selesai bertelur.

Penggalian sarang alami dilakukan setelah penyu selesai bertelur dan meninggalkan sarang. Penggalian sarang dilakukan untuk mengeluarkan telur satu per satu dan dimasukkan kedalam wadah pemindahan telur kemudian dipindahkan ke sarang semi alami. Penanaman telur kesarang semi alami dilakukan setelah satu per satu telur yang berada di tiap sarang dipindahkan kedalam wadah pemindahan yang kemudian telur tersebut diangkat meuju ke sarang semi alami. Telur yang berada di dalam wadah pemindahan dikeluarkan satu persatu dan dimasukkan kedalam sarang yang telah tersedia. Jumlah telur yang dimasukkan disetiap sarang berjumlah 50 butir. Hal tersebut di lakukan dengan 4 kali ulangan hingga telur yang berada pada 4 sarang alami tersebut pindah kesarang semi alami.

Pengangkutan dan pemindahan telur penyu dari sarang semi alami Pulau Wie ke Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) dilakukan setelah telur berusia 25 hari hal ini dilakukan karena pada usia tersebut embrio telur sudah terbentuk secara sempurna dan telur tahan terhadap perubahan atau goncangan. Telur yang direlokasi berjumlah 4

(3)

sarang, sebelum direlokasi sarang-sarang tersebut digali dengan tujuan mrngeluarkan telur-telur yang ada didalamnya dan dimasukkan kedalam Styrofoam (wadah relokasi) yang sudah diisi sedeikit pasir didalamnya. Setelah semua telur terisi didalam Styrofoam langkah selanjutnya adalah menambahkan pasir dengan tujuan agar telur tertimbun oleh pasir setelah selesai styrofoam di tutup dan diikat. Perjalanan dari Pulau Wie untuk sampai ke Lagoi memmbutuhkan ± 33 jam.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Selanjutnya data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di lokasi tersebut. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil perhitungan dan tabulasi data tingkat penetasan telur penyu hijau untuk tiap perlakuan akan dianalisis dengan Statistik One

Way ANOVA menggunakan program

Statistical Product and Service Solution (SPSS).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase tingkat keberhasilan penetasan telur penyu hijau tiap sarang di Pulau Wi Tambelan dan Labor Konsevasi Banyan Tree dijadikan dalam tabel 1 dan 2 Tabel 1. Tabel penetasan telur penyu hijau tiap sarang di Pulau Wie Tambelan.

Lubang ke Penangkaran Penyu Pulau Wie Tambelan T1 T2 T3 T4 T5 1 50 0 0 0 0 2 47 0 0 0 3 3 50 0 0 0 0 4 50 0 0 0 0 Total 198 Persentase 98.5%

Tabel 2. Tabel penetasan telur penyu hijau tiap sarang di labor konservsi banyan tree

Lubang ke Penangkaran Penyu Pulau Wie Tambelan T1 T2 T3 T4 T5 1 48 0 0 0 2 2 44 0 0 0 6 3 40 0 0 0 10 4 39 0 0 1 10 Total 171 Persentase 85.5%

Hasil analisis data persentase tingkat keberhasilan penetasan telur penyu hijau menggunakan uji one-Way ANOVA disajikan dalam tabel 1.

Tabel 3. Uji one-Way ANOVA Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau

Sum of Squares Df Mean Squares F Sig Between Groups 84,500 1 84,500 8,817 ,025 Within Groups 57,500 6 9,583 Total 142,000 7

Pengujian statistik menggunakan uji

one-Way Anova pada penetasan telur Penyu

Hijau didapatkan bahwa ada perbedaan yang nyata dari rata-rata persentase tingkat penetasan telur penyu hijau tersebut dengan nilai signifikan 0.025. Dengan pernyataan apabila nilai signifikan < 0.05 maka ada tingkat perbedaan yang nyata dan sebaliknya jika nilai siginfikan ≥ 0.05 maka tidak ada perbedaan yang nyata. Dengan demikian persentase perbedaan yang nyata antar perlakuan penetasan Pulau Wie (Tambelan) 98.5% dan Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) 85.5%.

Suhu permukaan sarang di Pulau Wie juga mempengaruhi suhu dalam sarang. Kisaran suhu permukaan antara 24.5 ºC hingga 40 ºC. Pada kondisi tersebut suhu cenderung stabil. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Goin et al (1978) bahwa perkembangan suhu secara teratur dan bertahap pada batas-batas suhu yang baik (25ºC - 32ºC) akan menghasilkan laju tetas yang terbaik dan waktu pengeraman yang relatife singkat sedangkan suhu dalam sarang di Pulau Wie

(4)

yang diamati saat penelitian berkisar antara 24 ºC hingga 28.88 ºC. Pada suhu tersebut masih tergolong normal untuk penetasan telur penyu. Hal ini diperkuat oleh pendapat Yusuf (2000), suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan dengan baik adalah 24ºC - 33ºC. Dengan demikian suhu dalam sarang di Pulau Wie tergolong normal untuk pembentukan embrio serta penetasan telur penyu.

Suhu permukaan di Labor Konservasi banyan Tree dengan kisaran 27.13ºC – 28.75ºC. dalam hal ini, suhu cenderung naik walaupun naiknya tidak terlalu tinggi sedangkan suhu dalam sarang sangat tinggi pada pengamatan hari pertama yaitu 29.38ºC – 29.63ºC dan turun pada pengamatan ke dua dengan kisaran suhu 28.33ºC. Kemudian suhu stabil serta terjadi peningkatan suhu pada pengamatan yang ke 5 dengan kisaran suhu yang terjadi pada siang hari yaitu 29.38ºC, hingga hari terakhir kisaran suhu stabil 28.88ºC – 29.13ºC. Pada kisaran suhu tersebut suhu sangat baik untuk penetasan telur penyu. Dengan kisaran suhu diatas didapatkan penetasan telur penyu hijau pada hari ke 50. Baik penetasan di Pulau Wie (Tambelan) maupun penetasan telur penyu hijau yang ada di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi). PEMBAHASAN

Masa inkubasi telur pada hari ke 50, semua telur yang berada dilokasi penangkaran Pulau Wie Tambelan maupun Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) menetas. Jumlah telur yang menetas di Pulau Wie Tambelan sebanyak 197 butir dari jumlah 200 butir telur dan yang gagal menetas 3 butir dalam kondisi embrio tidak jadi. Sedangkan telur yang berada di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) yang berhasil menetas sebanyak 171 butir dari jumlah 200 butir telur dan yang gagal dalam kondisi embrio tidak jadi sebanyak 28 butir dan 1 butir telur dengan kondisi embrio mati didalam telur. Dengan demikian persentase keberhasilan penetasan telur penyu hijau dipenangkaran Pulau Wie Tambelan 98.5% sedangkan persentse keberhasilan penetasan telur penyu hijau di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) 85.5%. Berdasarkan uji ANOVA tingkat keberhasilan penetasan telur penyu di Pulau Wie Tambelan berbeda nyata dengan keberhasilan penetasan telur penyu di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi). Walau demikian penetasan telur

penyu diluar habitat asal masih layak untuk dilakukan.

Kegagalan penetasan telur penyu dengan embrio yang tidak jadi disebabkan kegagalan saat telur masih berada di Pulau Wie Tambelan. Hal ini bukan disebabkan oleh penanganan saat pemindahan namun dikarenakan telur tersebut dalam kondisi tidak baik untuk ditetaskan sebab pada usia setelah 25 hari seharusnya telur-telur tersebut telah terbentuk embrio yang sempurna sehingga mampu utuk dibawa atau diangkut dengan jarak yang jauh Limpus (1984) dalam darmawan (1997).

Keberhasilan penetasan telur penyu dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: a. Suhu

Suhu mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu, jika suhu terlalu rendah di bawah 24ºC dapat mengakibatkan lamanya masa inkubasi telur sedangkan jika suhu terlalu tinggi diatas 33ºC dapat mengakibatkan tukik mati. Menurut Yusuf (2000) suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan dengan baik adalah 24 ºC – 33 ºC. b. Umur Telur

Pemindahn telur ke sarang semi alami dilakukan setelah ± 1 jam induk meletakkan telur ke sarang alami. Pemindahan telur dilakukan dengan tidak mengubah posisi awal telur (membalikkan telur), hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam pembentukkan embrio walaupun pada usia 1 jam setelah induk meletakkan telur ke dalam sarang telur masih toleran terhadap perubahan (oviposisi). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Limpus (1984) dalam

Darmawan (1997), selama 2 jam pertama setelah telur diletakkan oleh induk, keadaan substansi isi telur tidak mengalami banyak perubahan (masih toleran terhadap terjadinya perubahan letak posisi). Pemindahan telur dari Pulau Wie (Tambelan) ke Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) dilakukan setelah telur berusia 25 hari tepatnya pada hari ke 28. Pemindahan pada usia setelah 25 hari dilakukan untuk menghindari keggalan dalam penetasan. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Limpus (1984) dalam Darmawan (1997), setelah telur berusia 600 jam (25 hari) menunjukkan adanya perkembangan embrio yang sempurna.

(5)

Telur lebih toleran terhadap adanya perubahan letak posisi telur, bahkan telur tersebut dimungkinkan untuk diangkat jarak jauh sampai berpuluh jam. Sejauh ini belum ada bukti yang kuat tentang kelayakan penetasan telur penyu diluar habitat aslinya akibat jarak tempuh dan waktu yang lama. Kegagalan penetasan dengan embrio yang tidak jadi disebabkan kegagalan saat telur masih berada di Pulau Wie Tambelan. Penelitian ini berhasil melakukan penetasan telur penyu dari Pulau Wie (Tambelan) ke Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) atau ke Bintan dengan jumlah persentase yang menetasa di Pulau Wie (Tambelan) 98.5% sedangkan di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) 85.5%.

c. Jumlah Telur

Jumlah telur juga mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu. Sarang dengan jumlah telur 50 butir telur penyu memiliki keberhasilan penetasan yang lebih baik dari pada sarang dengan jumlah telur 75 dan 100 butir (Silalahi, 1989).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil uji ANOVA didapatkan bahwa penetasan telur penyu hijau yang berasal dari Pulau Wie (Tambelan) berbeda nyata dengan penetasan telur penyu hijau di Labor Konservaasi Banyan Tree (Lagoi). Dengan tingkat penetasan telur penyu di Pulau Wie (Tambelan) lebih tinggi dibanding tingkat penetasan telur penyu di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi).

2. Keberhasilan penetasan telur penyu hijau dengan 200 butir telur penyu yang ditetaskan di Pulau Wie (Tambelan) 197 butir berhasil menetas dan 3 butir gagal menetas disebabkan embrio yang tidak jadi, dengan persentase 98.5%. Sedangkan dari 200 butir telur penyu hijau yang ditetaskan di Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) sebanyak 171 butir berhasil menetas, 29 butir gagal menetas dengan rincian 1 butir telur dengan embrio yang mati didalam telur dan 28 butir embrio yang tidak jadi. Kegagalan penetasan dengan embrio yang tidak jadi bukan akibat proses penanganan

pemindahan telur dari sarang alami ke sarang semi alami.

SARAN

a. Perlu adanya penelitian ulangan tentang penetasan telur penyu di luar habitat aslinya dengan menggunakan metode yang sama untuk standarisasi penetasan secara Ex-situ. b. Perlu adanya pertimbangan bagi stakeholder terkait tentang konservasi penyu di luar habitat asli untuk mengatasi penurunan populasi penyu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada ke dua orang tua Ibrahim (Ayah) dan Muniar (Ibu) yang telah memberikan dukungan do’a, moril maupun materil demi tercapainya tujuan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Arief Pratomo, ST, M.Si dan Bapak Henky Irawan, S.Pi, MP, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis hingga selesai. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Ishardi dan Labor Konservasi Banyan Tree (Lagoi) yang telah mengizinkan lokasi untuk penulis melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, R.D. 2007. Analisis Keberhasilaan

Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi-Alami di Pantai Pangumbuhan, Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ali, Z.M. 2004. Karya Ilmiah Pelestarian

Penyu Hijau di Pantai Selatan Tasikmalaya. Karya Ilmiah Tentang

Pelestarian Penyu Hijau : Tasikmalaya.

Asrul, S.A. 2000. Karakteristik Biofisik

Habitat Peneluran Dan Hubungannya Dengan Sarang Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) Di Pantai Sinding Kerta, Cipatujuh, Tasikmalaya, Jawa Barat.

(6)

Ilmu Perikanan Dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Bowen BW, Meylan AB, Ross JP, Limpus CJ,

Balazs GH, Avise JC. 1992. Global

population structure and natural history of the green turtle Chelonia mydas in terms of matriachal phylogeny in Evolution 46 (4) :

865-881.

Bustard, R. H. 1972. Sea Turtle: Natural History and Conservation. Collins. Sydney.

Ciriacy-Wantrup SV. 1968. Resource Conservation : Economic and Policies. 3 rd edn, University of California Press: 395 pp.

Darmawan, R. 1997. Pengaruh Waktu

Pemindahan Telur dari Sarang Alami ke Sarang Semi Alami terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea).

Prosiding Workshop Penelitan dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Bogor.

Goin, C.J., O.B. Goin and G.R. Zug. 1978.

Introduction to Herpetology. Third

ed. W.E. Freeman and Co. San Fransisco. P 1111-115;267-269. Hirth, H.P. 1971. Syinopsys of Biologi Data on

Time Green Turtle, Chelonia mydas

(Linneaus, 1758). FAO, Fisheries Sypnosys.

http//www.kathyboast.com pedoman teknis pengelolaan konservasi penyu

Limpus, C J. 1995. Marine Turtle Biology Dalam Marine Turtles of Indonesia: Population Viability and Conservation Assessment and Management Workshop. A Collaborative Workshop: PHPA, Taman Safari Indonesia, PKNSI. Cisarua, Indonesia, 198 hal.

Marquez, M. R. 1990. Sea Turtle of The

World. An Annotated and Ilustrated

Catalogue of Sea Turtle Spesies Knoen to Date. FAO Fusheries Syinopsis No. 125, vol. 11. Rame. 43 P.

Natih, N.M.N. 1989b. Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia mydas), Melakukan Penelitian Peneluran di Pantai Pangumbahan. Jurusan Management

Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan. Bogor. (hlm 31)

Nawal Al-Mukhaini, Taher A. Ba-Omar, Ibrahim Y. M., Sulyma Al-Barwani. 2010. Zoology. Embryonic staging of

the Green Turtle, Chelonia mydas. 51

: 39-50

Nuitja, I.N.S. 1983. Studi Ekologi Peneluran

Penyu Daging (Chelonia mydas) di Pantai Sukamade, Kabupaten Banyuwangi. Direktorat Pembinaan

Penelitian Pendidikan dan Pengabdian pada Masyarakat, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. (hlm 121)

Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi

Pelestarian Penyu Laut. IPB Press.

Bogor.

PPSPL UMRAH, 2009. Kajian Perlindungan

Penyu Di Kabupaten Bintan.

UMRAH. Tanjungpinang.

Rudiana, E. dkk. 2004 Tingkat Keberhasilan

Penetasan dan Masa Inkubasi Telur Penyu Hijau. Jurusan Ilmu Kelautan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

Salm, R. and M. Halim. 1984. Marine

Conservation Data Atlas Indonesia.

IUCN/WWF Prroject 3108 Marine Conservation. Bogor.

Silalahi, C.P. 1989. Pengaruh Jumlah Telur

terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas).

Skripsi. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Silalahi, S. 1990. Pengaruh Perlindungan

Sarang dan Kepadatan Telur Terhadap Laju Tetas Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Pangumbuhan. Tesis. Pasca Sarjana.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hal.

Sutanto,I dan Kuncoro. 1969. Penyu Laut,

Produktivitas dan Pembinaannya di Indonesia. Rimba Indonesia Bogor.

Bogor

Troeng, S. 1997. Pemanfaatan Penyu di

Indonesia. Proseding Workshop Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Watlands International, A

Environment Australia, PHPA. Bogor.

WWF. 2005. Indonesian Sea Turtle Conversation. Yayasan WWF Indonesia.

(7)

WWF-Wallacea. 2000. Program Pelatihan

Ekowisata Untuk Pelestarian Penyu dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kepulauan Derawan.

[email protected] (13

Nopember 2003)

Yusuf, A. Mengenal Penyu. Yayasan Penyu Lestari. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PENGARUH PERBEDAAN KARAKTERISTIK PASIR PANTAI TERHADAP PERSENTASE KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) DALAM UPAYA KONSERVASI.. PENYU

PENETASAN TELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) PADA SARANG ALAMI DAN SEMI ALAMI DI PANTAI TAMAN,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persentase penetasan telur Penyu Lekang di sarang dengan naungan terpal lebih tinggi daripada di sarang semi alami dengan

adalah pelaksanaan penelitian dengan pengambilan sampel dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap penyu yang naik ke pantai pengamatan langsung kepada sarang penyu

Ukuran panjang karapas induk penyu hijau yang mendarat dan membuat sarang di pulau Sangalaki bervariasi, panjang karapas berkisar antara 86 - 107 cm dan kedalaman sarang yang

Penangkaran Penyu di Pantai Tongaci melakukan pengambilan telur Penyu Sisik dari Pantai Bedukang sebanyak tiga sarang (sebagai ulangan) dan dipindahkan ke tempat

Di Pulau Sangalaki, banyak dijumpai predator telur seperti biawak, ketam putih dan kepiting, tetapi berbeda dengan Pulau Derawan yang predatornya adalah manusia.Dapat dikatakan bahwa