• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNJUK KERJA PEMBAKARAN BIOPELLET CANGKANG KAKAO MENGGUNAKAN BIOMASS GAS STOVE TOP-LIT UP DRAFT (TLUD) GASIFIER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNJUK KERJA PEMBAKARAN BIOPELLET CANGKANG KAKAO MENGGUNAKAN BIOMASS GAS STOVE TOP-LIT UP DRAFT (TLUD) GASIFIER"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

UNJUK KERJA PEMBAKARAN BIOPELLET CANGKANG KAKAO

MENGGUNAKAN BIOMASS GAS STOVE TOP-LIT UP DRAFT

(TLUD) GASIFIER

Dijan Supramono

1

, dan Rizka Widya Ariani

2

1Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Telp. : (021) 7863516. Fax. : (021) 7863515

E-mail: 1dsupramo@che.ui.ac.id; 2rizka.widyaariani@gmail.com

Abstrak

Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berpotensi dijadikan sebagai bahan bakar alternatif dilihat dari ketersediaannya dan kandungan volatile matter serta nilai kalor. Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar selama ini dilakukan dengan metode pembakaran langsung fasa padatan sehingga menimbulkan emisi CO yang tinggi. Pembakaran biomassa dengan kompor Top-Lit Up Draft (TLUD) Gasifier dapat menekan emisi CO yang rendah dengan menggunakan bahan bakar biomassa dalam fasa gas. Kompor TLUD menggunakan dua buah blower masing-masing untuk udara primer untuk devolatilisasi dan udara sekunder untuk menyempurnakan pembakaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi laju kedua udara terhadap optimasi hasil pembakaran meliputi suhu api, emisi CO dan efisiensi termal. Pembakaran mendekati stoikiometrik didapatkan pada rasio 3,00 yang menghasilkan suhu api rata-rata tertinggi 543,67oC. Emisi CO terendah didapatkan pada rasio 3,0 sebesar 61,857 ppm. Efisiensi termal tertinggi pada rasio 2,0 sebesar 21,25%. Pengaruh total udara yang semakin tinggi akan memaksimalkan pencampuran sehingga reaksi pembakaran menuju sempurna dan emisi CO yang dihasilkan rendah. Namun fluktuasi juga dapat terjadi pada laju alir udara yang besar sehingga emisi CO dapat tinggi. Pembentukan jelaga akibat kekurangan udara sekunder memperkuat radiasi dalam kompor. Efisiensi termal yang tinggi dipengaruhi besar oleh radiasi dari dalam kompor.

Kata kunci: biomassa cangkang kakao, emisi CO, pembakaran stoikiometrik, pirolisis, suhu api

Abstract

Biomass is another sustainable and renewable alternative energy sources that potential for fuel according to its volatile matter content and heating value. Burning of volatile matter from biomass will minimize CO emission inspite of burning the solid phase directly. The Top-Lit Up Draft Gasifier Stove was designed with two blowers that will supply primary air as devolatilization air and secondary air as combustion air. This research is proposed to measure the optimization of stove combustion including flame temperature, CO emission, and thermal efficiency by using Cocoa Pod Husk pellets under variation of air flow rate affection. The result is, the near-stoichiometric combustion is reached at ratio 3.00 which resulted highest mean flame temperature at 543.67 oC. The lowest CO emission is obtained at ratio

3.0 as 61.86 ppm. The highest thermal efficiency is obtained through ratio 2,0 at 21.25%. Effect of increasing the total air flow rate will maximize the mixing of air so that combustion goes to complete and CO emission will be lower. Beside that, fluctuation also can exists in higher air flow rate so CO emission will be higher. The formation of soot that is caused by leak of secondary air will strengthen the radiation inside the stove. The higher thermal efficiency is affected by radiation inside the stove.

Keywords:biomass, CO emission, flame temperature, pyrolysis, stoichiometric air mixing

1. Pendahuluan

Di Indonesia, penggunaan sumber daya energi yang diterapkan masih terfokus pada sumber daya yang tidak dapat diperbarukan. Salah satunya kompor sebagai media pembakaran dalam rumah tangga selama ini menggunakan bahan bakar gas LPG, minyak tanah, dan

bahkan masih ada yang menggunakan kayu bakar. Sedangkan bahan bakar LPG ini ketersediaannya tidak dapat diperbaharui, sedangkan minyak tanah atau kayu bakar menghasilkan pembakaran yang tidak bersih. Berdasarkan visi yang telah dicanangkan pemerintah, yaitu visi 25/25, pemerintah Indonesia berkomitmen

(2)

meningkatkan penggunaan energi terbarukan sampai 25 % dari keseluruhan konsumsi energi pada tahun 2025. Salah satu energi alternatif dari alam yang terbarukan dan berpotensial untuk dijadikan bahan bakar adalah biomassa, mengingat Indonesia adalah negara yang kekayaan alamnya melimpah. Karakter dari biomassa yang dapat dipilih untuk dijadikan bahan bakar adalah berdasarkan kandungan volatile matter, fixed carbon, nilai kalor, moisture content, selulosa, dan lignin. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [1], potensi produksi biomassa mencapai 65 juta ton per tahun dan potensi energi yang dimiliki biomassa cukup besar yakni 885,2 juta GJ.

Salah satu biomassa yang banyak ditemui di Indonesia dan hingga kini belum optimal pemanfaatannya adalah limbah perkebunan cangkang buah kakao. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI, Indonesia menduduki peringkat ke tiga produsen kakao di dunia dengan tingkat pertumbuhan produksi 3,5%/tahun. Potensi biomassa cangkang kakao yang cukup tinggi ini ditunjukkan dengan tingginya potensi limbah kulitnya yang mencapai 5,8 ton/ha perkebunan [2].

Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar alternatif selama ini dilakukan dengan metode pembakaran langsung fasa padat dalam bentuk briket atau biobriket. Namun briket ini belum optimal efisiensinya dikarenakan emisi gas CO yang dihasilkan cukup tinggi mencapai 1000 ppm pada awal pembakarannya [3]. Biomassa cangkang kakao yang selama ini dimanfaatkan sebagai alternatif pakan ternak [4], pada tahun 2007 melalui sebuah seminar teknologi, biomassa cangkang kakao ini berhasil dimanfaatkan menjadi bahan bakar padatan atau briket yang dioptimasi pembakarannya dengan udara preheat [5]. Namun penemuan ini tetap memiliki kelemahan apabila dilihat dari segi kebersihan atau besarnya emisi gas karbon monoksida akibat pembakaran bahan bakar padat. Dalam upaya pengoptimalan biomassa sebagai bahan bakar perlu dilakukan proses gasifikasi biomassa untuk mendapatkan gas dari biomassa yang akan menjadi bahan bakar, yang disebut volatile matters. Biomassa juga dijadikan dalam bentuk pellet untuk efektifitas pemanfaatan biomassa karena pellet berupa padatan bertekanan tinggi.

Dengan menggunakan kompor biomassa Top-Lit Up

Draft (TLUD) Gasifier dengan sistem udara yang

disuplai secara paksa dengan masing-masing blower, di

mana dengan metode ini pengapian bahan bakar dimulai di atas unggun biomassa dan gas pirolisis sebagai bahan bakar dialirkan ke atas. Diharapkan hasil pembakaran dari gas biomassa berlangsung lebih sempurna dengan adanya pasokan udara primer untuk devolatilisasi dan adanya udara sekunder untuk membantu reaksi pembakaran sempurna sehingga meminimalkan emisi gas CO yang keluar. Oleh karena itu, keberhasilan pembakaran gas dari pellet biomassa akan sangat bergantung pada besar laju alir masing-masing udara dan pencampurannya. Dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pembakaran gas biomassa yang optimal menggunakan kompor TLUD dengan pencampuran udara yang tepat, dengan parameter nyala api biru, emisi CO yang rendah, dan efisiensi termal yang tinggi.

2. Metode Penelitian

Tahap pengujian ini dilakukan dengan proses gasifikasi biomassa terlebih dahulu dengan bagian atas unggun pellet biomassa disulut pada awalnya. Panas yang konstan dari api di atas ini akan turun untuk memanaskan unggun di bawahnya dan dengan suplai udara primer yang terbatas maka gas pirolisis akan naik keluar. Gas pirolisis ini akan terbakar di atas unggun dan dengan suplai udara sekunder untuk menyempurnakan pembakaran. Rasio besar kedua udara ini diatur sedemikian rupa agar tercipta pembakaran yang sempurna sehingga emisi gas CO yang dihasilkan sekecil mungkin dan efisiensi termal yang besar. 2.1 Tahap Preparasi Bahan Bakar

Biomassa dikeringkan lalu dihancurkan dengan

crusher hingga ukuran partikel 50 mesh.

Kemudian biomassa dicetak dalam bentuk pellet dengan alat pressure pelletizer dengan dengan ukuran diameter 0,6 cm dan panjang 3 cm. Dalam pencetakan pellet ini menggunakan campuran perekat larutan tepung kanji dengan perbandingan 70% massa biomassa : 30% tepung kanji.

2.2 Tahap Pengujian

Dilakukan pengujian pembakaran sebanyak delapan kali pengambilan data, dengan empat percobaan pertama memvariasikan laju udara sekunder dan besar udara primer yang tetap. Sehingga kemudian mendapatkan rasio udara dan total keduanya yang menghasilkan pembakaran yang paling optimal. Total udara yang menghasilkan pembakaran optimal ini menjadi total udara tetap untuk empat percobaan berikutnya, dengan besar udara primer semakin meningkat. 2.3 Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan untuk tahap preparasi alat dan pengujian adalah:

(3)

- pressure pelletizer dengan cetakan logam

- kompor TLUD dengan dua blower - anemometer - panci - termometer - termokopel jenis K - gas analyzer - neraca digital

- wadah, korek api, timer - biomassa cangkang kakao - tepung kanji

- alkohol

3. Hasil dan Pembahasan

Secara umum hasil pengukuran dirangkum dalam Tabel 1

Tabel 1. Keseluruhan Data Hasil Pengukuran

No. Laju alir ud primer (m3/s) Laju alir ud sekund er (m3/s) Total laju alir udara (m3/s) Rasio udara T api rata-rata (oC) Emisi CO rata-rata (ppm) Eff termal (%) 1. 0,007065 0,02119 0,02826 3,00 543,67 91,3 13,49 2. 0,007065 0,01766 0,02472 2,50 443,07 73,5 6,14 3. 0,007065 0,01413 0,02119 2,00 456,48 185,7 21,25 4. 0,007065 0,02566 0,03273 3,63 547,04 232,7 13,52 5. 0,007065 0,02119 0,02826 3,00 425,71 61,8 12,16 6. 0,008635 0,01962 0,02826 2,27 602,16 101,2 16,47 7. 0,010205 0,01805 0,02826 1,77 401,61 184,8 12,83 8. 0,011775 0,01648 0,02826 1,4 608,35 97,7 14,84

3.1 Pengukuran Suhu Nyala Api

Pengukuran suhu api ini dilakukan saat api sudah terbentuk stabil dan sudah mulai digunakan untuk memasak air. Api yang terbentuk stabil ini diukur dengan menggunakan termokopel jenis K dan data suhu direkam dalam program ADAM Builder yang diakses lewat komputer. Data suhu yang tercatat ini mulai dari api nyala hingga api redup dan mati, dengan interval 10 detik.

Gambar 1 merangkum data suhu api untuk pengujian nomor 1 sampai 4 berdasarkan pengaruh variasi laju udara sekunder sebagai udara pembakaran.

Gambar 1. Grafik Suhu Nyala Api terhadap Waktu Operasi Kompor Pengujian 1-4

Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa tren suhu api selama operasi kompor cenderung menurun pada menit ke-10 dan seterusnya. Hal ini disebabkan suplai volatile matter untuk pembakaran mulai semakin berkurang akan tetapi laju alir udara besarnya tetap, maka akan menurunkan suhu nyala api. Panas yang diberikan gas pirolisis tidak cukup dengan adanya jumlah udara sekunder yang besarnya tetap sehingga kondisi ini akan mendinginkan suhu nyala api. Fluktuasi yang terjadi pada setiap grafik dapat dikaitkan dengan adanya frekuensi yang dihasilkan oleh udara primer maupun udara sekunder. Besar kecilnya perbedaan frekuensi dari kedua udara ini akan berpengaruh pada amplitud yang dihasilkan sehingga membentuk fluktuasi yang tinggi atau rendah. Dalam pengujian ini, diasumsikan aliran udara primer berfluktuasi konstan dan aliran udara sekunder berfluktuasi dengan frekuensi yang bergantung laju alirnya, semakin besar laju alir maka semakin besar frekuensinya.

Pada pengujian dengan rasio 3, suhu api rata-rata cukup tinggi dan stabil yaitu sebesar 543,67 oC, dengan komposisi udara primer 0,007065 m3/s dan

udara sekunder sebesar 0,021195 m3/s. Pada

komposisi ini dapat diduga campuran udara berada pada kondisi mendekati stoikiometrik. Pada rasio 2,5 dan 2,0 kondisi air lean maka tidak semua gas pirolisa terbakar. Suhu api lebih rendah karena laju pembentukan gas pirolisa kecil sehingga panas dari reaksi eksotermis kurang. Dapat juga karena kurangnya udara sekunder maka terbentuk jelaga, sehingga nyala api teradiasi ke dalam kompor. Dari segi fluktuasi, rasio 2,50 tertinggi. Diakibatkan frekuensi udara primer hampir sama besar dengan frekuensi udara sekunder. Fluktuasi berpengaruh pada emisivitas radiasi [6] oleh kareana itu dapat menurunkan suhu api. Pada rasio 3,63 kondisi air rich, suhu nyala api sedikit lebih tinggi dari rasio 3. Terjadi fluktuasi namun frekuensi masing-masing udara besar sehingga

0   100   200   300   400   500   600   700   800   900   1000   0   1   2   3   4   5   6   7   8   9  10  11  12  13  14  15  16  17  18  19  20  21   T  flame  ( C)   t  (menit)   Rasio  3   Rasio  2,5   Rasio  2   Rasio  3,63  

(4)

meredam fluktuasi (terukur dari tengah zona pembakaran).  

Pengujian berikutnya adalah dengan menggunakan rasio yang mendekati stiokiometrik sebagai campuran awal dengan komposisi udara primer sebagai laju awal dan divariasikan semakin besar untuk mengetahui hasil efisiensi pembakaran ini. Gambar 2 menunjukkan hasil pengujian suhu nyala api untuk pengujian nomor 5 sampai 8.

Gambar 2. Grafik Suhu Nyala Api terhadap Waktu Operasi Kompor Pengujian 5-8

Pada pengujian dengan rasio 3 ini memiliki suhu rata-rata yang tidak sama tingginya dengan rasio 3 pada pengujian tahap 1. Hal ini diakibatkan pellet sebagai bahan bakar yang digunakan pada pengujian ke 5 (rasio 3) ini masih mengandung air yang berasal dari proses pencetakan sehingga panas pembakaran pada 5 menit awal terkonsentrasi untuk menguapkan air yang terkandung di dalam pellet. Berikutnya pada rasio 2,27 memiliki suhu rata-rata yang lebih tinggi dari pengujian dengan rasio 3,0. Pada pengujian ini kondisi pembakaran kekurangan udara akan tetapi suhu rata-rata yang dihasilkan lebih tinggi. Hal ini dapat diakibatkan udara primer yang diberikan semakin besar sehingga laju pembentukan gas pirolisis semakin besar, sehingga panas eksotermis yang dihasilkan mendukung panas pembakaran sehingga suhu api menjadi tinggi.

Sedangkan pada rasio 1,77, suhu nyala api rata-rata yang dihasilkan lebih rendah. Hal ini diakibatkan udara sekunder semakin berkurang dengan semakin besarnya udara primer yang membentuk gas pirolisis. Kondisi ini menyebabkan tidak semua gas pirolisis yang terbentuk terbakar dengan oksigen. Kurangnya udara sekunder juga membuat panas untuk api pembakaran kurang besar sehingga panas dari api ini terkonsentrasi pada radiasi ke dinding dalam kompor sehingga suhu api sendiri akan turun. Selain itu, semakin berkurangnya udara sekunder menyebabkan pembentukan jelaga (soot)

dikarenakan pencampuran gas pirolisis dengan udara pembakaran yang tidak mencapai keadaan yang membuat nyala api pembakaran terbentuk sempurna. Jelaga yang terbentuk ini akan memperkuat efek radiasi panas ke unggun sehingga mendorong pirolisis lebih lanjut untuk memproduksi gas pirolisis [7].

Pada rasio yang lebih kecil lagi yaitu 1,4 menghasilkan suhu api rata-rata yang paling tinggi. Pada pengujian ini udara primer yang digunakan mencapai nilai tertinggi dari keseluruhan percobaan. Besarnya laju udara primer ini menyebabkan laju pembentukan gas pirolisis semakin besar sehingga dengan udara sekunder yang terbatas maka tidak semua gas pirolisis terbakar, atau kondisi ini dinamakan fuel rich. Namun dengan laju alir udara sekunder yang rendah maka tidak terjadi resirkulasi yang besar di daerah dekat lubang udara sekunder, oleh karena itu dimungkinkan terjadi penetrasi yang baik antara gas pirolisis dengan udara sekunder sehingga pembakaran menjadi lebih baik dan menghasilkan suhu nyala api rata-rata yang tinggi. 3.2 Pengukuran Emisi CO

Tahapan pengukuran emisi CO selama pengujian pembakaran ini dilakukan dengan menggunakan peralatan Gas Analyzer, dengan ujung probe didekatkan ke bagian luar cerobong untuk merekam besarnya gas CO yang diemisikan dalam ppm. Gambar 3 menunjukkan grafik profil emisi gas CO yang dihasilkan pada pengujian 1 sampai 4 seiring berjalannya waktu operasi kompor

 

Gambar 3. Grafik Emisi CO terhadap Waktu Operasi Kompor Pengujian 1-4

Profil dari emisi gas CO untuk setiap pengujian menggambarkan suatu tren yang meningkat setelah menit ke 10. Posisi api pada kondisi ini juga sudah menurun dan akan mati sehingga tidak akan cukup kuat untuk terbakar bersama udara sekunder, sehingga gas pirolisis dan CO yang sudah terbentuk tidak dapat bereaksi menjadi CO2.   0   100   200   300   400   500   600   700   800   900   1000   0   1   2   3   4   5   6   7   8   9  10  11  12  13  14  15  16  17  18  19  20   T  flame  ( C)   t  (menit)   Rasio  3   Rasio  2,27   Rasio  1,77   Rasio  1,4   0   50   100   150   200   250   300   350   400   450   500   550   600   0   2   4   6   8   10   12   14   16   18   20   emi si  CO  (p pm)   waktu  (menit)   Rasio  3   Rasio  2,5   Rasio  2   Rasio  3,63  

(5)

Pada rasio 3 ini campuran udara mencapai kondisi yang mendekati stoikiometrik karena udara primer cukup untuk memproduksi gas pirolisis dan udara sekunder yang diberikan cukup untuk mengoksidasi gas pirolisis menuju kesempurnaan pembakaran menjadi CO2 sehingga emisi CO

menjadi rendah. Reaksi oksidasi dari CO menjadi CO2 merupakan reaksi endotermis dan

membutuhkan residence time yang lebih lama, sehingga dengan suhu nyala api yang tinggi akan mempercepat reaksi konversi ini sehingga gas CO yang terbentuk tidak banyak.  

Pada pengujian dengan rasio 2,50, berdasarkan grafik suhu nyala api sebelumnya bahwa fluktuasi sangat tinggi sekali, oleh karena itu dapat menyebabkan CO terkontak lebih banyak dengan udara sehingga mendorong pada pembentukan CO2. Maka pada rasio ini emisi CO rendah.

Sedangkan pada rasio 2, udara sekunder yang disuplai lebih sedikit, menghasilkan emisi CO tinggi. Kondisi ini dikatakan pembakaran dalam keadaan kekurangan udara yang diakibatkan efek jelaga dan radiasi maka mendorong pembentukan CO2 yang sedikit dan CO yang banyak.

Pada rasio 3,63, menghasilkan emisi CO yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan semakin besar udara sekunder yang disuplai sehingga kondisi pembakaran adalah kelebihan udara. Semakin besarnya laju alir udara sekunder akan menyebabkan terjadinya resirkulasi di daerah dekat lubang udara sekunder sehingga mencegah penetrasi dengan gas pirolisis. Kondisi ini menyebabkan pencampuran udara tidak tepat sehingga reaksi pembentukan CO2 dari CO yang

berjalan lambat dan memiliki waktu tinggal yang lama tidak sempat bereaksi dengan laju udara sekunder yang disuplai berlebih.

Gambar 4 menunjukkan grafik emisi CO yang dihasilkan pada pengujian 5 sampai 8

Gambar 4. Grafik Emisi CO terhadap Waktu Operasi Kompor Pengujian 5-8

Emisi gas CO rata-rata paling rendah dicapai melalui rasio 3. Pada pengujian ini besar laju alir udara sekunder paling besar jumlahnya sehingga dapat membakar gas pirolisis dan CO yang terbentuk dari pembakaran dengan udara primer menjadi CO2. Pada pengujian ini berarti

pencampuran kedua udara pada kondisi yang tepat sehingga pembakaran mendapatkan konsentrasi oksigen yang cukup untuk memenuhi waktu tinggal karbon menjadi karbon dioksida.

Untuk rasio 2,27 dan 1,77, besar udara sekunder semakin sedikit sedangkan udara primer yang diberikan semakin besar. Kondisi ini menyebabkan laju pembentukan gas pirolisis semakin meningkat akan tetapi udara pembakaran tidak cukup untuk membakar gas pirolisis dan CO yang terbentuk ini, oleh karena itu CO yang diemisikan pada pengujian dengan rasio 2,27 lebih besar dari pengujian pada rasio 3, dan pada rasio 1,77 emisi CO rata-rata lebih besar dari pengujian pada rasio 3 dan juga 1,77.

Pada pengujian dengan rasio 1,4 menghasilkan emisi CO rata-rata yang rendah namun tidak lebih rendah dari pengujian pada rasio stoikiometriknya. Kondisi ini dapat disebabkan suhu nyala api yang dicapai sangat tinggi sehingga pembakaran mengarah ke sempurna. Laju udara sekunder pada rasio 1,4 yang rendah dapat menyebabkan penetrasi yang lebih baik dengan gas pirolisis sehingga pencampuran udara kebih baik. Oleh karena itu emisi CO lebih rendah.

3.3 Pengukuran Efisiensi Termal

Pengujian ini dilakukan secara simultan dengan pengukuran emisi CO dengan selama kompor beroperasi sambil melakukan pendidihan air. Air yang digunakan untuk proses pendidihan ini sama untuk setiap pengujian yaitu 1 L atau dapat disetarakan dengan 1 kg pada kondisi ambien. Massa air setelah pendidihan dan suhu air mendidih dicatat setelah proses pendidihan selesai. Efisiensi termal dihitung menggunakan rumus

water boiling test [8]

! =!  ×  !!!  ×   !!− !! +  !!  ×  !!!  ×   !!− !! +  !!  ×  !! !"!"  ×  !  ×  ! ×100%

Dengan efisiensi termal kompor biomassa dihitung dengan membandingkan panas yang diperlukan untuk pemanasan air hingga mendidih dan mengalami penguapan dengan panas yang diberikan dari bahan bakar.

Tabel 2 memuat hasil perhitungan efisiensi termal untuk delapan percobaan

0   50   100   150   200   250   300   350   400   0   2   4   6   8   10   12   14   16   emi si  CO  (p pm)   waktu  (menit)   Rasio  3   Rasio  2,27   Rasio  1,77   Rasio  1,4  

(6)

Tabel 2. Hasil Pengukuran Efisiensi Termal No. Rasio Laju Udara Massa Air yang Menguap (kg) Suhu air maksimum (oC) Efisiensi Termal (%) 1 3,00 0,15 90 13,49 2 2,50 0,025 78 6,14 3 2,00 0,29 100 21,25 4 3,63 0,15 90 13,52 5 3,000 0,13 90 12,16 6 2,273 0,20 98 16,47 7 1,769 0,14 88 12,83 8 1,400 0,17 98 14,84

Pengujian rasio 3,00 adalah pengujian dengan perbandingan udara yang mendekati stoikiometrik namun menghasilkan efisiensi termal yang tidak cukup tinggi dibanding pengujian lainnya. Pada dasarnya efisiensi termal yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh besarnya suhu nyala api yang menandakan tingginya panas pembakaran. Pada rasio 2,00 memiliki efisiensi paling tinggi padahal memiliki suhu nyala api yang rendah. Pada suhu yang tidak terlalu tinggi yang disebabkan pembakaran kekurangan udara maka panas dari api akan terkonsentrasi untuk radiasi dalam kompor. Hal ini didukung dengan material kompor yang dapat menyerap panas radiasi banyak. Terjadinya radiasi ini menambah kuantitas panas yang diradiasikan ke dasar panci dan dikonveksikan ke air melalui dasar panci. Sehingga suhu air mendidih lebih tinggi dan lebih cepat tercapai meskipun suhu api tidak tinggi.

4. Kesimpulan

1. Semakin besar laju alir udara sekunder akan menyempurnakan pembakaran sehingga emisi CO rendah

2. Untuk pengujian efek kenaikan laju alir udara primer, semakin besar udara primer seiring dengan semakin sedikitnya udara sekunder akan menghasilkan emisi CO yang tinggi

3. Kondisi kekurangan udara dapat menyebabkan pembentukan jelaga sehingga memperkuat efek radiasi dalam kompor sehingga suhu api turun namun panas dapat meningkatkan efisiensi termal 4. Efisiensi termal yang tinggi dipengaruhi oleh

tinggi suhu api yang memberikan panas konveksi dari panci ke badan air sehingga air mendidih cepat dicapai

5. Warna nyala api jingga dan keunguan di sekitar lubang udara sekunder diakibatkan pencampuran udara yang tepat paling banyak di sekitar lubang udara sekunder.

Daftar Acuan

[1] Anonim. (2011). Potensi Besar Biomassa [online]. Jakarta. http://www.ebtke. esdm.go.id/Energi-Terbarukan.htm. [Accessed 16 June 2013] [2] Direktorat Jenderal Perkebunan. (2012). Pedoman

Umum Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar. Jakarta:

Kementerian Pertanian RI. Pp. 7-18.

[3] Balla, L. (2005). Briket Batubara [online]. Jakarta. http://www.tekmira.esdm.go.id/BRIKET/berita.h tm [Accessed 20 May 2012]

[4] Aminah, S. and Layla, Z. (2004). Pemanfaatan Kulit Kakao Sebagai Pakan Ternak Kambing PE di Perkebunan Propinsi Lampung. Proceedings of

the Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Bogor. Pp. 1.

[5] Syamsiro, M., and Saptoadi, H. (2007). Pembakaran Briket Biomassa Cangkang Kakao - Pengaruh Temperatur Udara Preheat. Proceedings of the

Seminar Nasional Teknologi. Yogyakarta. Pp.

12-23.

[6] Poitou, D. and Hafi, M. (2007). Diagnosis of Turbulence Radiation Interaction in Turbulent Flames and Implications for Modeling in Large Eddy Simulation. Journal of Science, 31. Pp. 371-381.

[7] Fitzpatrick, E.M., Bartle, K.D., Kubacki, M.L., Jones, J.M, Pourkashanian, Ross, A.B., Williams, A., and Kubica, K. (2009). The Mechanism of the Formation of Soot and Other Pollutants during the Co-firing of Coal and Pine Wood in a Fixed Bed Combustor. Journal of Fuel, 88. Pp. 2409-2417.

[8] Regional Wood Energy Development Programme in Asia. (1993). Improved Solid Biomass Burning

Cookstoves: a Development Manual. FAO UN,

Field Document no.44. Bangkok. Pp. 24-38, 69, 95.

Gambar

Tabel 1. Keseluruhan Data Hasil Pengukuran  No.  Laju alir  ud primer  (m 3 /s)  Laju  alir ud sekunder  (m 3 /s)  Total  laju alir udara (m3/s)  Rasio udara  T api rata-rata (oC)  Emisi  CO rata-rata (ppm)  Eff  termal (%)  1
Gambar  2  menunjukkan  hasil  pengujian  suhu  nyala api untuk pengujian nomor 5 sampai 8
Tabel 2. Hasil Pengukuran Efisiensi Termal   No.   Rasio Laju  Udara  Massa Air  yang Menguap (kg)  Suhu air  maksimum (oC)  Efisiensi Termal (%)  1   3,00  0,15  90  13,49  2   2,50  0,025  78  6,14  3   2,00  0,29  100  21,25  4   3,63  0,15  90  13,52

Referensi

Dokumen terkait