• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN TERNAK PUYUH (Coturnix-coturnix japonica ) YANG DIBERI BUNGKIL KEPAYANG (Pangium edule reinw )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUMBUHAN TERNAK PUYUH (Coturnix-coturnix japonica ) YANG DIBERI BUNGKIL KEPAYANG (Pangium edule reinw )"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

684 PERTUMBUHAN TERNAK PUYUH (Coturnix-coturnix japonica )

YANG DIBERI BUNGKIL KEPAYANG (Pangium edule reinw ) Resmi1, Heru Handoko1, W.A. Sumadja1*, Maksudi1 dan W. Saputra2 1Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNJA.

Jl. Raya Jambi-Bulian Km 15 Mendalo, Jambi,

2Alumni Fakultas Peternakan Universitas Jambi, sekarang staf

PT. Charoen Pokphand, Tangerang

*Korespondensi Penulis: wiwahasumadja@unja.ac.id

ABSTRAK

Bungkil Kepayang merupakan limbah pembuatan minyak kepayang, memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bungkil kepayang terhadap pertumbuhan dan umur bertelur pertama. Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Percobaan Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tanggal 08 Januari sampai 04 Februari 2018. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah puyuh betina umur 21 hari sebanyak 200 ekor, bungkil kepayang, bungkil kedele, jagung kuning, tepung ikan, dedak halus, lysine, metionin dan topmix, 20 unit kandang puyuh “battery”dengan ukuran60x45x45 cm3 per unit. Rancangan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu P0= Ransum mengandung0%, Bungkil Kepayang, P1= Ransum mengandung 2,5%Bungkil Kepayang, P2= Ransum mengandung5%Bungkil Kepayang, P3= Ransum mengandung 7,5% Bungkil Kepayang. Peubah yang diamati meliputi Konsumsi ransum, Pertambahan bobot badan, Umur bertelur pertama, Bobot telur pertama dan Konversi ransum. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, bila berpengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji jarak jarak berganda Duncan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan bungkil kepayang dalam ransum puyuh hingga taraf 7,5% menurunkan konsumsi ransum (P<0,05), tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan (P>0,05) serta mempercepat umur bertelur pertama (P<0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, penggunaan bungkil kepayang dalam ransum puyuh pada taraf 7,5% dapat digunakan untuk ransum puyuh.

============================================================== Kata Kunci: Bungkil Kepayang, Pertumbuhan, Ternak Puyuh

(2)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

685 PENDAHULUAN

Salah satu ternak unggas sumber protein hewani yaitu ternak puyuh. Puyuh (Coturnix

coturnix japonica) merupakan salah satu komoditas unggas yang mempunyai peran dan

prospek yang cukup cerah sebagai penghasil telur. Puyuh juga memberi keuntungan dari daging sebagai salah satu alternatif yang mendukung ketersediaan protein hewani dengan harga murah dan mudah didapat, di samping itu bulu dan bahkan kotoran puyuh dapat dimanfaatkan.

Saat ini daging dan telur puyuh semakin dikenal masyarakat. Selain itu, dalam pemeliharaannya burung puyuh tidak membutuhkan areal yang luas dan pengembalian modalnya relatif cepat dikarenakan burung puyuh mencapai dewasa kelamin sekitar 41 hari dengan produksi telur antara 250 sampai 300 butir per tahun. Puyuh bersifat lebih adaptif pada berbagai kondisi lingkungan (penyakit dan suhu). Telur dan daging puyuh memiliki nilai gizi yang tinggi dan puyuh bersifat lebih toleran pada pakan dengan serat kasar tinggi dibandingkan dengan ayam ras (Listiowati dan Roospitasari, 2000; Nugroho dan Mayun, 1986) sehingga beternak puyuh dapat menjadi peluang usaha budidaya yang menjanjikan, baik dalam skala besar ataupun secara kecil.

Faktor yang terpenting dalam pemeliharaan puyuh adalah pakan, sebab 70-80% biaya yang dikeluarkan peternak digunakan untuk pembelian pakan. Pakan unggas yang digunakan saat ini oleh peternak adalah pakan komersil yang sebagian bahannya diimpor dari luar negeri. Hal ini menyebabkan harga pakan komersil yang relatif mahal dan tidak stabil. Untuk itu perlunya mencari pakan alternatif dengan memanfaatkan sumber bahan pakan yang ada disekitar kita yang nilai nutrisinya masih baik dan lebih murah. Salah satu limbah yang masih dapat dimanfaatkan adalah bungkil kepayang.

Bungkil kepayang merupakan hasil sampingan dari produksi minyakkepayang, menurut data di Kesatuan Pengolahan Hutan (KPH) Kabupaten Sarolangun tahun 2016, produksi buah kepayang segar mencapai 870 Ton dan menghasilkan 570 Ton bungkil dari pengolahan minyak. Pangium edule Reinw atau yang biasa disebut masyarakat dengan nama kluwak, kluwek, picung, atau kepayang dapat digolongkan sebagai jenis pohon serbaguna karena hampir semua bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan seperti daun, kulit kayu, batang, biji, daging buah dan bungkil biji.

(3)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

686 Limbah dari pembuatan minyak kepayang adalah ampas atau bungkilnya, yang sejauh ini limbah tersebut masih belum dimanfaatkan dengan baik, dengan mengolah bungkil ini harapannya dapat membantu masyarakat dalam mengelolah limbah dengan baik, bernilai guna dan ekonomis. Kandungan protein kasar bungkil kepayang 18,95 %, serta kasar 4,04 % dan Energi Metabolisme 4817kkal/kg (Yningsih dkk. 2004), dengan melihat kandungan protein dan Metabolis Energi yang relatif baik maka bungkil kepayang masih bisa digunakan sebagai bahan penyusun ransum untuk pertumbuhan ternak puyuh.

Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan penelitian tentang “Penggunaan BungkilKepayang (Pangium edule Reinw) Dalam Ransum Puyuh (Coturnix-Coturnix

Japonica)Terhadap Pertumbuhan dan Umur Bertelur Pertama”.

BAHAN DAN METODE 2.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dikandang percobaan Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Lama penelitian berlangsung selama 28 hari mulai dari tanggal 08Januari sampai dengan 04Februari 2018.

2.2. Materi dan Peralatan

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak puyuh yang berumur 21 hari sebanyak 200 ekor. Ransum yang digunakan adalah ransum yang diformulasikan sendiri dengan bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun ransum adalah Bungkil kepayang, jagung kuning, tepung ikan, dedak, bungkil kedele, lysine, methionine dan topmix. Bungkil kepayang didapat dari limbah produksi rumah tangga daerah Sarolangun di Desa Sungai Bemban Kecamatan Batang Asai. Puyuh, jagung kuning, tepung ikan, dedak, bungkil kedeledan topmix di dapat di poultry shop yang ada di kota Jambi, sedangkan lysine dan methionin didapat dari bogor.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah 20 kandang ternak Puyuh tipe

“battery”, dilengkapi tempat pakan, tempat minum, peralatan pendukung yang

digunakan untuk pemeliharaan puyuh, timbangan digital merk “camry” kapasitas 5 kg digunakan untuk menimbang pakan dan bobot badan puyuh dengan skala 1 g dan

(4)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

687 penimbangan telor menggunakan timbangan neraca analitik merk “acis” kapasitas 500 g dengan ketelitian 0,1 g.

2.3. Metode

2.3.1. Persiapan Kandang

Seminggu sebelum ternak dimasukan terlebih dahulu dilakukan sanitasi dan desinfeksi kandang untuk membunuh mikroba patogen yang ada dalam kandang. Kandang yang digunakan adalah kadang kelompok tipe “battery” yang berukuran 60x45x45cm3/unit, setiap unit kandang berisi 10 ekor puyuh dan menggunakan tempat penampungan kotoran.

2.3.2. Persiapan Ransum

Ransum yang digunakan terdiri dari Bungkil Kepayang, jagung, tepung ikan, dedak, bungkil kedele,lysine, methionine dan topmix. Ransum disusun sesuai dengan kebutuhan zat makanan puyuh fase grower menurut NRC. (1994). Sebagaimana tertera pada Tabel 1, 2 dan 3. Pembuatan ransum dilakukan dengan cara menngelompokan masing masing bahan terlebih dahulu dengan ukuran yang sama, kemudian mencampurkan bahan yang jumlahnya sedikit dan tekstur lebih halus terlebih dahulu, kemudian tambahkan sedikit demi sedikit bahan yang berjumlah banyak. Kemudian ransum tersebut dicampur sampai homogen.

(5)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

688 Tabel 1. Kandungan bahan penyusun ransum perlakuan

Zat Makanan Jagung Kuning Tepung Ikan Dedak Bungkil kedele Bungkil Kepayang Lysine Meti onin Top mix Bahan kering 86,00 b 86,00b 86,00b 86,00b 91,2c - - - Protein kasar 8,30 b 52,60b 8,50b 44,60b 18,95 c - - - Lemak kasar 4,10 b 6,80b 4,20b 1,10b 44,79c - - - Serat kasar 2,20b 2,20b 17,00b 4,40b 4,04c - - - Kalsium 0,02b 5,58b 0,20b 0,29b 0,99c - - 5,38d Fospor 0,23b 3,37b 1,10b 0,60b 0,27c - - 1,14d Lysine 0,29b 3,97b - 0,50b - 0,25 - - Metionin 0,18b 1,30b 0,16b 2,56b - - 0,25 - Metabolis me 0,34 b 2,20b 0,26b 1,28b - - - - EM (Kkal/kg) 3321 b 3080a 2200a 2400a 4817c - - -

Ket. a) Hasil Analisa LaboratoriumFakultas Peternakan Universitas Jambi Tahun 2016.b) Hartadi,

et al., (1980). c) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan

Institute Pertanian Bogor (2017).d) Label komposisi kandungan dalam kemasan Topmix.

Tabel 2. Komposisi Bahan Penyusun dan Kandungan Zat Makanan Ransum Berdasarkan 90% Bahan Kering.

Bahan Perlakuan(%) P0 P1 P2 P3 Bungkil Kepayang 0 2,50 5,00 7,50 Jagung kuning 42,50 40,00 37,50 36,00 Tepung Ikan 16,00 16,00 16,00 15,00 Dedak 18,50 18,50 18,50 19,00 Bungkil kedele 21,50 21,50 21,50 21,00 Lysine 0,25 0,25 0,25 0,25 Methionin 0,25 0,25 0,25 0,25 Topmix 1,00 1,00 1,00 1,00 Jumlah 100 100 100 100

(6)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

689 Tabel 3. Kandungan zat makanan ransum perlakuan Berdasarkan 90% Bahan

Kering.

Zat Makanan Perlakuan(%)

P0 P1 P2 P3 Protein Kasar 24,18 24,43 24,68 24,28 Lemak Kasar 4,31 5,31 6,30 7,27 Serat Kasar 5,63 5,67 5,71 5,82 Kalsium 1,05 1,07 1,09 1,06 Phosphor 1,01 1,67 1,02 0,99 Lysine 0,91 0,90 0,89 0,84 Methionin 1,35 1,32 1,29 1,24

Energi Metabolisme (Kkal/kg) 2958,72 2990,66 3022,61 3056,02 Keterangan : Hasil perhitungan antara kandungan bahan (Tabel 1) dengan komposisi bahan penyusun (Tabel 2).

2.3.3. Pemberian ransum dan air minum

Air minum dan ransum yang telah disusun sesuai perlakuan diberikan kepada ternak puyuh secaraad libitum.

2.3.4. Pengacakan Perlakuan dan Pengacakan Puyuh

Penempatan puyuh dan pemberian ransum perlakuan didalam kandang dilakukan secara acak. Kandang di urutkan dari nomor 1 sampai 20 kemudian dilakukan pengacakan perlakuan beserta ulangannya terlebih dahulu dengan menggunakan lotre. Puyuh diambil secara acak kemudian ditimbang sebagai bobot badan awal lalu ditempatkan berdasarkan hasil urutan kandang. Setiap unit kandang diisi dengan 10 ekor puyuh.

2.3.5. Pengumpulan Data

Penimbangan bobot badan dilakukan pada hari pertama puyuh pemeliharaan umur 21 hari, kemudian selanjutnya dilakukan penimbangan rutin setiap 2 minggu. Penimbangan konsumsi ransum dilakukan diakhir minggu selama pemeliharaan dengan cara menghitung selisih antara ransum yang diberikan dengan ransum yang tersisa.

(7)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

690 2.4. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu:

P0 = Ransum mengandung 0 % Bungkil Kepayang P1 = Ransum mengandung 2,5 % Bungkil Kepayang P2 = Ransum mengandung 5 % Bungkil Kepayang P3 = Ransum mengandung 7,5 % Bungkil Kepayang 2.5. Peubah yang Diamati

Adapun peubah yang diamati pada penelitian ini yakni konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, umur bertelur pertama, bobot telur pertama dan konversi ransum.

1. Konsumsi ransum dihitung dari selisih antara ransum yang diberikan pada awal minggu dengan sisa ransum diakhir minggu yang sama (g/ekor/hari). Konsumsi ransum diketahui berdasarkan rumus sebagai berikut:

Konsumsi ransum = ransum yang diberikan (g) - ransum sisa (g)

2. Pertambahan bobot badan yaitu selisih antara bobot badan akhir minggu dengan bobot awal minggu yang sama (g/ekor/hari). Penimbangan dilakukan setiap 2 minggu menggunakan timbangan digital dengan ketelitiaan 1 (g).

3. Umur telur bertelur pertama dihitung jika setiap unit ditemukan minimal satu butir telur pertama (hari).

4. Bobot telur pertama didapat dari bobot timbang telur puyuh umur bertelur pertama (g/butir).

5. Konversi ransum dihitung dengan cara menjumlahkan semua pakan yang telah habis dibagi pertambahan bobot badan (PPB) ternak puyuh. Jika terdapat puyuh yang mati atau harus dikeluar maka bobot badan nya ditimbang dan dimasukan dalam perhitungan.

Rumus konversi ransum = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛

(8)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

691 2.6.Analisis Data

Data yang diperoleh dari setiap parameter yang diamati dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan model persamaan berikut :

Yij = µ + αi + Eij

i = 1, 2, 3, 4 (banyaknya perlakuan) j = 1, 2, 3, 4 , 5 (banyaknya ulangan) Yij = Nilai Pengamatan yang diukur

µ = Pengaruh dari rata – rata peubah yang diamati αi = Pengaruh perlakuan ke – i

Eij = Pengaruh Galat Percobaan ulangan ke - j dan perlakuan ke – i

Data yang terhimpun dianalisis menggunakan analisis ragam sesuai rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Bila terdapat pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, umur bertelur pertama, bobot telur pertama dan konversi ransum pada puyuh umur 21-49 hari pada masing-masing perlakuan disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil rataan pengamatan semua parameter selama penelitian.

PEUBAH PERLAKUAN P0 P1 P2 P3 Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 20,71±0,34 a 20,14±0,66 ab 20,06±1,36 ab 18,85±1,05b Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari) 2,90±0,18 2,77±0,10 2,73±0,07 2,79±0,18 Umur Bertelur Pertama (hari) 43,00±0,71 ab 41,80±0,33bc 41,20±0,45c 43,80±1,30a

Bobot Telur Pertama

(g/butir) 9,52±2,16 8,19±1,04 8,04±0,40 8,38±1,08 Konversi Ransum 7,17±0,53 7,27±0,33 7,35±0,62 6,77±0,28

(9)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

692 3.1. Konsumsi Ransum

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum. Dari hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa P1 dan P2 tidak beda nyata (P<0,05) dengan PO, sedangkan P3 nyata menurunkan konsumsi dibandingkan P0 (P<0,05). Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum menurun pada P3 yaitu sebesar 18,85 (g/ekor/hari) dibawah perlakuan P0, P1 dan P2 dengan rataan konsumsi masing-masing yaitu 20,71, 20,14 dan 20,06 (g/ekor/hari).

Hasilini menunjukkan bahwa penggunaan bungkil kepayang pada taraf 7,5% menurunkan konsumsiransum. Menurunnya konsumsi ransumpada P3 didugadisebabkan oleh tingginya kadar lemak kasar serta kandungan energi metabolisransum. Kandungan lemak kasar pada P3 7,32% dan energi metabolisme 3056,62 (kkal/kg). Batas maksimal kandungan lemak kasar dalam ransum adalah 7% dan energi metabolisme 2900 kkal/kg (SNI, 2006). Tujuan burung puyuh mengkonsumsipakan yaitu untukmemenuhikebutuhan energi danzatmakanan lainnya, sehinggaapabila kebutuhanenergi terpenuhimaka burungpuyuhakan berhentimakan Setiawan(2006).Didukung oleh pendapat(Wahju,1997) bahwa konsumsi pakan akanmeningkat jika diberi ransum dengan energi rendah danakanmenurunjika diberiransum dengan energitinggi.

Pertama-tama puyuhmengkonsumsi ransumdigunakanuntukmemenuhi kebutuhan energinya, danbilasudahterpenuhi makasecaranaluriahpuyuh berhentimakan.Ransumdengankandungan energitinggi,mengakibatkan puyuh mengkonsumsi ransumrendahkarenakebutuhanenegicepatterpenuhi. Sebaliknya kandunganenergiransumrendah,makauntukmemenuhikebutuhan

energiyangsamadiperlukankonsumsiransumyanglebihbanyak Garnida, (2002). Konsumsi ransum yang dicapai dalam penelitian ini sudah memenuhi kebutuhan konsumsi untuk puyuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunarno (2004) yaitu konsumsi ransum puyuh umur 21 sampai 55 hari sekitar 14-24 (g/ekor/hari).

Hasil penelitian ini lebih tinggi di bandingkan dengan penelitian Palupi, et al., (2016) bahwa konsumsi ransum puyuh umur 21-58 hari sebesar 16,85-19,36 (g/ekor/hari). Rendahnya konsumsi ransum didugakarena perbedaan ukuran tubuh puyuh yang lebih kecil. Sedangkan hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian

(10)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

693 Hanifa (2016) yang menyatakan konsumsi ransum pada umur 21-42 hari sebesar 21,69 (g/ekor/hari). Tingginya konsumsi ransum diduga karena kandungan energi metabolisme pada perlakuan tersebut lebih rendah yaitu berkisar 2529-2664 (kkal/kg).

3.2. Pertambahan Bobot Badan

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Tabel4 menunjukkan hasil rataan pertambahan bobot badan yang didapatkan untuk masing-masing perlakuan P0, P1, P2, dan P3 adalah sebesar 2,90, 2,77, 2,73 dan 2,79 (g/ekor/hari). Pertambahan bobot badan yang relatif sama diduga meskipun angka konsumsi pada P3 menurun akan tetapi jumlah protein yang dibutuhkan puyuh untuk pertumbuhan puyuh masih tercukupi hal ini dapat dilihat dari persentase protein dari semua perlakuan yang relatif sama, protein yang ada dalam bungkil kepayang diduga masih baik secara kualitas terbukti dari pertumbuhan puyuh yang relatif sama. Pada P3 konsumsi energi dan proteinnya relatif sama sehingga masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok puyuh, konsumsi protein 4,58-5,01 (g), dan energinya 57,62-61,27 (kkal/kg).

Konsumsi protein pada penelitian ini melebihi kebutuhan protein pada penelitian Widjaastuti dan Kartasudjana (2006), dalam penelitiannya menyatakan bahwa konsumsi protein sebesar 3,49 (g/ekor/hari) telah cukup memenuhi hidup pokok untuk pertumbuhan. Kebutuhan protein diperlukan untuk hidup pokok, jaringan, bulu dan produksi telur. Bila kebutuhan protein untuk hidup pokok, jaringan dan bulu sudah terpenuhi, maka kelebihan konsumsi protein tersebut digunakan untuk mempersiapkan jaringan baru berupa organ reproduksi pada saat menjelang dewasa kelamin, sehingga kebutuhan protein untuk pertumbuhan sama tercermin dari pertambahan bobot badan yang tidak berbeda Garnida, (2002). Jumlah konsumsi pakan yang berbeda antar perlakuan tidak menjamin terjadinya perbedaan bobot badan puyuh, hal ini dikarenakan kecernaan pakan yang berbeda (Pranata, 2015).

Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Ramdani (2017) bahwa pertambahan bobot badan puyuh umur 21-42 hari sebesar 2,4-2,6 (gram/ekor/hari), rendahnya pertumbuhan diduga karena protein perlakuan yang lebih rendah, protein yang digunakan adalah 20%. Menurut (Morrison,1967) bahwa kualitas

(11)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

694 dan kuantitas protein merupakan hal yang penting dalam pemeliharaan unggas. Kandungan protein akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan.Sedangkan hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Irawan (2017) yang menyatakan pertambahan bobot badan pada umur 21-42 hari sebesar 3,7-3,8 (g/ekor/hari), tingginya pertambahan bobot badan diduga karena ransum yang digunakan pada peneltian tersebut merupakan ransum komersial BR 1 produksi PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk.

3.3. Umur Bertelur Pertama

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap umur bertelur pertama. Dari hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa P3 tidak beda nyata (P>0,05) dengan P0, sedangkan P1 dan P2 beda nyata (P<0,05) dengan P3. Tabel 4 menunjukkan bahwa P2 menghasilkan umur bertelur pertama yang paling cepat yaitu 41,20 hari. Cepatnya umur bertelur pertama pada P2 diduga pada penggunaan bungkil kepayang (5%) konsumsi ransum lebih banyak, serta lemak kasar perlakuan dalam ransum masih dalam batas toleransi untuk ternak puyuh. Lemak kasar pada perlakuan P2 adalah 6,30% sedangkan batas toleransi lemak kasar untuk konsumsi puyuh fase grower adalah 7% (SNI, 2006). Namun penggunaan bungkil kepayang dengan taraf yang lebih tinggi (P3) menunjukan umur bertelur pertama yang sama dengan (P0).

Hasil penelitian ini relatif sama dengan penelitian pendapat Nugroho dan Mayun (1986) dimana puyuh pertama kali bertelur berumur 6 minggu(41 hari). Umur bertelur pertama burung puyuh dipengaruhi oleh bobot badan burung puyuh. Bobot badan burung puyuh umur42 hari pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pendapat Anggorodi (1995) bahwa rata–rata bobot puyuh betina saat bertelur pertama atau dewasa kelamin adalah 120( g). Utomo,etal.,(2014) menambahkan bahwa umur bertelur pertama pada burung puyuh dicapai lebih lama apabila laju pertumbuhan burung puyuh rendah sebaliknya lebih cepat apabila bobot puyuh tinggi. Umur bertelur pertama pada penelitian ini lebih cepat dari pada penelitian Irawan (2017) yang menyatakan bahwa umur bertelur pertama pada puyuh adalah 49-52 hari, lambatnya umur bertelur pertama diduga karena laju pertumbuhan puyuh yang rendah.

(12)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

695 Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot telur pertama.Tabel 4 menunjukkan hasil rataan bobot bertelur pertama yang didapatkan untuk masing-masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 adalah sebesar 9,52, 8,19, 8,04 dan 8,38 (g/butir). Hal ini diduga karena kandungan protein ransum yang relatif sama sehingga bobot telur yang dihasilkan tergolong sama, hal ini didukung oleh pendapat Anggorodi (1985) yang menyatakan bahwa fungsi protein bagi unggas digunakan dalam pertumbuhan dan pergantian jaringan, selain itu berfungsi juga dalam pembentukan telur.

Rata-rata bobot telur pertama dari penelitian ini sebanding dengan laporan Nugroho dan Mayun (1986) bobot telur saat permulaan bertelur yaitu sekitar 8,25-10,1 (g/butir). Bobot telur yang dihasilkan saat permulaan bertelur berukuran kecil, ukuran telur membesar sesuai dengan pertambahan umur dan akan mencapai ukuran telur yang standar. Moritsu, et al., (1997) menyatakan bahwa bobot telur standar pada puyuh adalah 10 gram.

3.5. Konversi Ransum

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum.Tabel4 menunjukkan hasil rataan konversi ransum yang didapatkan untuk masing-masing perlakuan P0, P1, P2, dan P3 adalah sebesar 7,17, 7,27, 7,35 dan 6,77. Nilai konversi yang relatif sama meskipun di P3 penggunaan bungkil kepayang 7,5% terjadi penurunan angka konversi ransum, diduga karena angka konsumsi ransum pada P3 yang lebih rendah sedangkan pertambahan bobot badannya yang relatif sama, walaupun konsumsi ransum menurun kandungan protein pada masing-masing perlakuan tergolong sama serta kandungan nya masih cukup baik.

Hal ini memberikan pengertian bahwa efiisiensi penggunaan ransum pada puyuh periode pertumbuhan dicapai pada kandungan energy metabolis ransum diatas 2900 kkal/kg. Sejalan dengan temuan Pandelaki,at al., (1982), bahwa efisiensi penggunaan ransum atau konversi ransum puyuh periode grower yang terbaik yaitu pada tingkat energy 2900 kkal/kg ransum, tetapi pada tingkat energy yang lebih tinggi (3000 kkal/kg) tidak berbeda nyata. Lebih lanjut dikatakannya, puyuh lebih cenderung untuk mengurangi

(13)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

696 kebutuhan energinya dan bahkan dalam menggunakan energi yang dikonsumsi lebih efisien pada kondisi ransum berenergi tinggi.

Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Pratidina (2017) bahwa rataan konversi ransum puyuh umur 21-42 hari berkisar 7,35-9,34, Hal ini diduga ransum yang mengandung bungkil inti sawit memiliki kualitas nutrient yang kurang baik sehingga terjadi peningkatan angka konversi ransum.

Banyaknya ransum yang dikonsumsi tidak diimbangi dengan pertambahan bobot badan puyuh. Sedangkan hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Asiyah, et al., (2013) bahwa rataan konversi ransum puyuh umur 21-42 hari yang mengkonsumsi 2 pakan sumber energi (bekatul dan jagung) serta 2 pakan sumber protein (tepung ikan dengan bungkil kedelai) fase grower yaitu 4,27.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Penggunaan bungkil kepayang dalam ransum puyuh sampai taraf 7,5% dapat digunakan dalam ransum puyuh untuk pertumbuhan dan umur bertelur pertama.

4.2. Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan taraf yang lebih tinggi dan pada ternak yang lain.

(14)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

697 DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Indonesia University Press. Jakarta.

Asiyah, N., D. Sunarti, dan U. Atmomarsono. 2013. Performa burung puyuh (coturnix coturnix japonica) umur 3 sampai 6 minggu dengan pola pemberian pakan bebas pilih (free choice feeding). Animal Agricultural Journal 1:497 – 502.

Astawan, M. 2009. Kluwak Kaya Antioksidan. PT. Gramedia. Jakarta.

Badan Standar Nasional Indonesia. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3906-2006, Pakan puyuh dara (Guail grower). Jakarta.

Garnida, D. 2002. Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum dan Tingkat Kepadatan dalam Kandang Terhadap Performan Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)Periode Pertumbuhan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hartadi, H., Soedomo, R., Soekanto, L dan T., Allen D.1980. Tabel-Tabel Dari

Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. The International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station. Logan, Utah.

Irawan, S. L. 2017. PengaruhPemberian Tomat dalamAir MinumTerhadap PertumbuhanPuyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) di Daerah Tropis. Skripsi. Fakultas Peternakan,Universitas Jambi,Jambi.

Ismawati, B. 2011. Bobot, Komposisi Fisik dan Kualitas Interior Telur Puyuh (Coturnix coturnix japonica) yang diberi Suplemen Omega-3. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Petanian Bogor, Bogor.

Listiyowati, E., dan K. Roospitasari. 2000. Puyuh Tata Laksana Budidaya Secara Komersil. Penebar Swadaya. Jakarta.

Moritsu, Y., K.E. Nestor, D.O.Noble, N.B. Antony, and W.C. Bacon. 1997.Divergent selectionforbody weightand yolkfrecursor inCoturnix coturnix japonica. Poultry Science. 76:437-444.

Morrison,F.B.1967.FeedandFeeding.TheMorrisonPublishingCo.Clinton,Iowa,USA. National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Edition. National

Academy Press. Washington, DC.

Nugrohodan I .G. Mayun. 1986. Beternak Burung Puyuh. Eka Offset. Semarang.

Palupi, R., E. Sahara dan Prawoto. 2016. LevelTepungKulit UbiKayu FermentasidalamRansumTerhadap Performa ProduksiPuyuh Umur 1 - 8Minggu. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 5 (1) : 10-17

Pandelaki, S., Tristiati, Sunarso dan W. Sarengat, 1982. Pengaruh beberapa tingkat energi dan protein yang sama dalam ransum terhadap pertambahan berat badan pada periode starter, awal peneluran dan produksi telur pada burung puyuh (coturnix coturnix japonica). Hal. 281 dalam : Proceedings Seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jilid I. Departemen Pertanian, 12-14 Februari 1982. Bogor.

Praditina, G. 2016. Performa Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Betina Fase Grower Pada Ransum Yang Mengandung Bungkil Inti Sawit. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi.

Pranata,A.2015. Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Kelapa Sawit yang Difermentasi Menggunakan Isolat Selulolitik dari Belalang Kembara pada Pakan Terhadap Penampilan Produksi Puyuh Jantan. Jurnal PT Padma Karya Prima. 39 (1): 49-56.

(15)

ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN :

DOI :

698 Ramdani, M 2017.Pengaruh Penggunaan Enzim Mananase Dalam Ransum Yang Mengandung Bungkil Inti Sawit Terhadap Pertumbuhan Puyuh. Skripsi. Fakultas Peternakan,Universitas Jambi,Jambi.

Setiawan, D. 2006. Performa ProduksiBurung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)pada PerbandinganJantan danBetinayang Berbeda. Skripsi. ProgramStudi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan,Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Steel R.G. D. and Torrie J. H. 1993. Principle Andprocedure of Statistics. 2nd Edition. McGraw-hill book Company Aukland. Newzeland.

Sunarno. 2004. Potensi BurungPuyuh. Majalah Poultry Indonesia (Edisi Februari).61. Utomo, J.W., A.A. Hamiyanti, dan E.Sudjarwo. 2014. Pengaruh penambahan tepung

darah pada pakan terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan serta umur pertama kali bertelur burung puyuh. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 41 - 48.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Edisi 3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Widjaastuti, T.danR. Kartasudjana.2006.PengaruhPembatasanRansumdan Implikasinya Terhadap Performa Puyuh Petelur padaFase Produksi Pertama. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran,Bandung.

Yuningsih, R. Damayanti, Murdiati, dan Darmono. 2004. Kandungan dan stabilitas sianida dalam tanaman picung (Pangium edule reinw) serta pemanfaatannya. Laporan Hasil Badan Penelitian Kehutanan 2004. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Gambar

Tabel 4. Hasil rataan pengamatan semua parameter selama penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat defoliasi memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi ubi jalar meliputi parameter jumlah daun, panjang daun, intersepsi cahaya, berat umbi dan

Khusus untuk Peserta Kliring Lokal yang Penyelenggaranya adalah pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, pengenaan biaya sebagaimana dimaksud dalam angka 1

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran peningkatan keterampilan proses sains antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran levels of inquiry

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ PENERAPAN TAX PLANNING

[r]

Pemanfaatan Fly Ash Batubara Menjadi Membran Silika untuk Penurunan Kadar Logam Mn dalam Larutan Artifisial (dengan Variasi

Pemotongan kuda yang dilakukan satu hari sebelum tradisi cemme passili ’ dilakukan untuk disuguhkan kepada tamu menandakan bahwa masyarakat di Dusun Ulo-ulo

Sehubungan dengan penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga), dan telah dilakukannya evaluasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga untuk penawaran paket pekerjaan