• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN PULP SECARA NON KONVENSIONAL (PROSES ORGANOSOLV) (Makalah Teknologi Pulp dan Kertas) Oleh Kelompok 5

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBUATAN PULP SECARA NON KONVENSIONAL (PROSES ORGANOSOLV) (Makalah Teknologi Pulp dan Kertas) Oleh Kelompok 5"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN PULP SECARA NON KONVENSIONAL (PROSES ORGANOSOLV)

(Makalah Teknologi Pulp dan Kertas)

Oleh Kelompok 5

Anwika Utami Putri D. 1114051006 Isnaini Rahmadi 1114051028 M. Satria Gunawan 1114051032

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014

(2)

I PENDAHULUAN

Semakin meningkatnya populasi manusia serta meningkatnya kebutuhan literatur, terutama di negara-negara yang sedang berkembang menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi produk kertas dan paper board. Seiring dengan kebijakan revitalisasi industri kehutanan, ketersediaan kayu untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas menjadi kebutuhan yang mendesak. Peningkatan ini secara tidak langsung telah berdampak pula pada penurunan sumber daya hutan. Semakin berkurangnya sumber daya hutan pada beberapa tahun terakhir menyebabkan semakin meningkatnya produksi kertas yang menggunakan berbagai jenis tanaman non kayu. Pada tahun 2005, produksi pulp untuk produk kertas dan paper board dunia berkisar 187,6 juta ton, dimana 17,4 juta ton atau 9,27% berasal dari bahan non kayu (Bowyer et al., 2007). Hal ini menjadikan salah satu peluang alternatif dalam upaya mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan demand bahan baku kayu pulp tersebut. Sejumlah penelitian juga telah dilakukan untuk memperkenalkan sumber serat lignoselulosa yang baru sebagai sumber bahan baku pulp dan kertas (Jahan et al., 2007; Shatalov dan Pereira, 2006).

Selain itu, perkembangan teknologi yang berkenaan dengan pulp dan kertas semakin pesat dan lebih memperhatikan aspek lingkungan. Sejarah dimulai ketika tahun 3000 SM, mulai diperkenalkan sebuah alat tulis berbentuk lembaran – lembaran yang dibuat dengan menyatukan bagian–bagian tipis dari Bambu Mesir yang disebut dengan pipirus. Pada tahun 250 SM, Meng Teen dari Cina membuat bulu–bulu unta menjadi semacam kain dan digunakan sebagai alat untuk menulis. Pada tahun 105 SM, Tsui lau dari Cina membuat lembaran–lembaran tipis dari Kayu Rame dan kulit kayu. Rame dan kulit kayu ini ditumbuk dengan abu sehingga menjadi semacam bubur dan kemudian dikenal sebagai pulp. Bubur ini

(3)

kemudian dikeringkan dalam bentuk lembaran–lembaran tipis yang dikenal dengan kertas. Pada tahun 1867, Benyamin Chef Tilgham mencoba membuat pulp dengan menggunakan proses sulfit, ternyata pulp mempunyai rendemen yang tinggi dan warnanya lebih cerah. Tahun 1874, berdiri sebuah pabrik kertas pertama menggunakan proses sulfit di Swedia. Bahan kimia yang digunakan adalah Magnesian Bisulfit (Mg (HS)3)2) (Harsini, dan Susilowati, 2010).

Tahun 1884, Jerman meneliti pulp dengan lebih baik. Proses ini menggunakan perbaikan dari proses soda. Proses ini dikenal dengan proses Sulfat atau kraft, yang berarti kuat, maka pulp yang dihasilkan mempunyai kekuatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan proses lainnya. Proses ini mulai berkembang pada tahun 1926 dan dikenal dengan proses semi kimia. Proses kraft diakui mempunyai banyak segi positif, antara lain mampu mengolah semua jenis bahan baku dengan berbagai macam kualitas dan dapat menghasilkan pulp dengan kualitas yang sangat prima. Dilain pihak, proses konvensional ini juga mempunyai beberapa kelemahan, salah satunya adalah konstribusi terhadap pencemaran lingkungan (Harsini dan Susilowati, 2010).

Tuntutan masyarakat akan teknologi bersih semakin meningkat, baik di tingkat nasional maupun internasional, tentu hal tidak dapat diakomodasikan dengan menggunakan proses kraft. Agar produksi pulp yang dihasilkan dapat diterima di pasaran, maka harus dilakukan suatu usaha pencarian teknologi alternatif yang lebih aman terhadap lingkungan, yaitu proses organosolv. Proses organosolv adalah proses pemisahan serat dengan menggunakan bahan kimia organik seperti misalnya metanol, etanol, aseton, asam asetat, dan lain-lain. Proses ini telah terbukti memberikan dampak yang baik bagi lingkungan dan sangat efisien dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Dengan menggunakan proses organosolv diharapkan permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh industri pulp dan kertas akan dapat diatasi. Hal ini karena proses organosolv memberikan beberapa keuntungan, antara lain yaitu rendemen pulp yang dihasilkan tinggi, daur ulang lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, tidak menggunakan unsur sulfur

(4)

sehingga lebih aman terhadap lingkungan, karena menghasilkan limbah yang bersifat ramah lingkungan (Harsini dan Susilowati, 2010).

Selain itu, Dewi dkk, (2009), juga menyatakan bahwa pemanfaatan biomassa secara efisien dapat dilakukan dengan menerapkan konsep biomassrefining yaitu pemrosesan dengan menggunakan pelarut organik (organosolv processes), dengan cara melakukan fraksionasi biomasas menjadi komponen-komponen utama penyusunnya: selulosa, hemiselulosa dan lignin, tanpa banyak merusak ataupun mengubahnya. Ia juga mengungkapkan kelebihan dari proses organosolv dibandingkan dengan proses konvensional adalah:

1. Tidak menyebabkan timbulnya pencemaran gas-gas berbau.

2. Pelarut organik yang sudah dipakai dapat digunakan kembali setelah dilakukan pemurnian terlebih dahulu.

(5)

II BAHAN PELARUT ORGANIK UNTUK PROSES ORGANOSOLV

Beberapa jenis pelarut organik yang dapat digunakan dalam pembuatan pulp secara non konvensional atau metode organosolv antara lain etanol, metanol dan asam asetat. Berikut adalah penjelasan dari aplikasi pelarut organik tersebut.

A. Etanol

Etanol merupakan salah satu komponen kimia yang karateristiknya telah diketahui. Produk fermentasi yang tertua, yaitu hasil dari campuran madu-air yang dihasilkan lebah pada era Babilonia lama. Pada abad ke-11, destilasi etanol mulai dikembangkan dan penggunaanya pun sudah semakin meluas. Karateristik etanol antara lain berat molekul 46,7 g/mol, titik didih 78,32oC, titik beku -114,15oC dan densitas 0,78942 g/cm3. Lignin dapat dipisahkan dari kayu dengan pencucian menggunakan etanol. Larutan etanol dengan range konsentrasi menengah dapat digunakan untuk melakukan delignifikasi baik pada softwood maupun hardwood. Metode recovery etanol dalam proses ethanol pulping telah dipatenkan. Cairan lindi hitam di-flash, dan kemudian dievaporasi sebelum etanol didestilasi untuk recovery (Dewi, dkk, 2009).

Penggunaan larutan etanol telah dimatenkan sebagai metode pembuatan pulp berbahan baku kayu, yaitu dengan menggunakan larutan pemasak etanol dan Natrium Hidroksida (NaOH). Penambahan etanol ke dalam larutan soda memperbaiki selektivitas reaksi kepada lignin. Sedangkan keberadaan Natrium Hidroksida meningkatkan kemampuan etanol untuk mendelignifikasi pulp. Penggunaan etanol memungkinkan waktu pemasakan yang lebih singkat. Kekuatan pulp yang dihasilkan sedikit lebih rendah dari pulp kraft, tetapi brightness yang dihasilkan lebih tinggi dari pulp kraft. Etanol yang digunakan

(6)

dalam larutan pemasak dapat diregenerasi dengan cara flashing dan distilasi. Dengan cara tersebut, kehilangan etanol selama proses dapat diabaikan. Pulp yang dimasak dengan alkohol membutuhkan waktu dan energi yang lebih sedikit pada saat proses beating. Penambahan reagen anorganik (seperti NaOH) pada larutan etanol dalam proses pemasakan pulp berbahan baku ampas tebu menurunkan tekanan digester dan menghasilkan pulp dengan sifat-sifat mekanis yang lebih baik. Pulp yang dihasilkan dari proses ini lebih mudah untuk di-bleaching (Dewi, dkk, 2009).

Pada pembuatan pulp berbahan baku jerami padi oleh Dewi, dkk (2009), dengan meningkatnya konsentrasi etanol yang digunakan pada larutan pemasak, maka kandungan lignin yang hilang dari pulp semakin banyak. Sedangkan selulosa tetap tidak terdegradasi sampai konsentrasi tertinggi yaitu 40%. Bertambahnya konsentrasi etanol maka rendemen pulp yang dihasilkan akan semakin rendah. Rendemen pulp tertinggi adalah 52,27% pada konsentrasi etanol 10%, sedangkan rendemen pulp terendah adalah 42,41% pada konsentrasi etanol 40%. Penambahan konsentrasi etanol mengakibatkan semakin besarnya konsentrasi ion OH- yang ada pada larutan pemasak sehingga kemampuan delignifikasi semakin baik. Dengan kata lain semakin banyak lignin yang terlarut, sehingga rendemen semakin rendah.

Kandungan selulosa pulp akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi etanol yang digunakan pada larutan pemasak. Terjadinya hal ini dikarenakan jika semakin besar konsentrasi etanol maka semakin banyak juga lignin yang terlarut. Dengan semakin besarnya konsentrasi etanol juga akan mengontrol degradasi agar lebih mengarah ke lignin. Kandungan selulosa tertinggi didapat pada konsentrasi etanol 40% yaitu sebesar 85,88%. Selain itu, bertambahnya konsentrasi etanol, maka kandungan lignin yang terdapat pada pulp akan berkurang. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya konsentrasi etanol maka kekuatan delignifikasi pada larutan pemasak akan bertambah kuat. Didapat kandungan lignin terendah 3,31% pada konsentrasi etanol 40%. Sehinggga konsentrasi etanol terbaik yang didapat

(7)

pada penelitian tersebut adalah 40% dengan kondisi temperatur 95oC dan lama pemasakan 75 menit.

B. Metanol

Metanol murni, pertama kali berhasil diisolasi tahun 1661 oleh Robert Boyle, yang menamakannya spirit of box, karena ia menghasilkannya melalui distilasi kotak kayu. Metanol adalah salah satu senyawa hidrokarbon dari golongan alkohol(CnH2n+2O) dengan gugus alkil hidroksil (-OH). Alkohol memiliki

keisomeran fungsi dengan eter. Rumus umum metanol adalah CH4O atau sering

ditulis CH3-OH. Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan

atmosfer metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Metanol adalah salah satu produk pemanfaatan CO2 yang dapat diubah menjadi bahan bakar

hidrokarbon cair melalui teknologi konversi yang tersedia pada saat ini. Metanol juga merupakan salah satu produk kimia utama yang dalam jumlah besar digunakan sebagai bahan baku pada berbagai industri seperti formaldehida, klorometana, amina asetat dan juga sebagai alternatif energi baru yang ramah lingkungan.

Berdasarkan penelitian Harsini dan Susilowati (2010) tentang Pemanfaatan Kulit Buah Kakao dari Limbah Perkebunan Kakao sebagai Bahan Baku Pulp dengan Proses Organosolv diperoleh bahwa semakin lama waktu pemasakan, maka kadar pulp yang diperoleh semakin meningkat, namun jika waktu terlalu lama akan menghasilkan penurunan persen pulp. Semakin lama waktu pemasakan maka alpha sellulosa yang dihasilkan akan semakin tinggi, dan akan mencapai titik maksimal pada waktu pemasakan 2,5 jam. Semakin bertambahnya konsentrasi metanol juga sangat berpengaruh terhadap terurainya alpha sellulosa. Tetapi

(8)

apabila terlalu banyak metanol akan menyebabkan rusaknya sellulosa dan larut dalam pemasakan. Sehingga menyebabkan penurunan alpha sellulosa yang dihasilkan. Kadar metanol terbaik pada 40 %, dengan kondisi waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu 50oC, akan diperoleh kadar pulp tertinggi sebesar 52,78 %.

C. Asam Asetar

Pelarut organik yang banyak dikembangkan para peneliti salah satunya adalah asam asetat, baik digunakan dengan katalis maupun tanpa katalis dapat memisahkan secara selektif sellulosa, hemisellulosa dan lignin dari berbagai biomasa. Misalnya pada ampas tebu, kayu lunak dan kayu keras. Untuk menghasilkan pulp yang baik yang perlu diperhatikan disamping tipe dan macam pelarut organik yang digunakan adalah: Delignifikasi berlangsung semaksimal mungkin serta menghindari terjadinya reaksi-reaksi repolimerisasi lignin yang telah larut. Degradasi polisakarida dijaga agar hanya terjadi pada hemisellulosa dan tidak sampai terjadi pada sellulosa.

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi asam asetat yang digunakan sebagai larutan pemasak akan mempengaruhi kadar alfa selulosa yang didapat. Semakin besar konsentrasi larutan asam asetat akan memberikan kadar alfa selulosa yang lebih besar. Hal tersebut pada konsentrasi asam asetat 90% memiliki titik maksimum kadar alfa selulosa yang lebih tinggi daripada konsentrasi asam asetat 75% dan 60% yaitu sebesar 84,6% pada waktu pemasakan 60 menit dengan suhu 100 °C. Begitu juga dengan konsentrasi asam asetat 75% pada waktu pemasakan 90 menit pada suhu 100 °C memiliki titik maksimum kadar alfa selulosa sebesar 74,3% yang lebih tinggi daripada titik maksimum konsentrasi asam asetat 60% pada waktu 90 menit suhu 100 °C yang hanya menghasilkan kadar alfa selulosasebesar 65,2%. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tingginya konsentrasi asam asetat yang digunakan, menyebabkan lebih banyak asam asetat yang dapat mengikat lignin.

(9)

Degradasi dari lignin menyebabkan alfa selulosa yang sebelumnya terikat oleh lignin akan terlepas dari lignin, sehingga didapat kandungan pulp dengan kadar alfa selulosa yang lebih tinggi. Adanya titik maksimum dan penurunan untuk kadar alfa selulosa yang didapat untuk setiap beda konsentrasi larutan pemasak. Adanya titik maksimum dan adanya penuruan kadar alfa selulosa disebabkan oleh waktu atau lama proses pemasakan berlangsung. Penurunan kadar alfa selulosa yang terjadi dikarenakan dengan semakin tinggi pemakaian konsentrasi asam asetat untuk hidrolisis bahan baku, menyebabkan alfa selulosa yang sebenarnya mudah untuk terhidrolisis akan mengalami gangguan dalam hidrolisis sehingga kadar alfa selulosa mengalami penurunan. Ketika larutan pemasak sudah hampir menghidrolisis lignin sepenuhnya, maka larutan pemasak juga bereaksi dengan ikatan selulosa sehingga merusak ikatan polimerisasi alfa selulosa dan membuat kadar dari alfa selulosa menurun.

Penelitian tentang pembuatan pulp dan kertas dari alang-alang menggunakan metode organoslv asam asetat diawali dengan bahan baku alang-alang dipotong-potong sekitar 1 cm sebanyak 10 gram. kemudian alang-alang dikeringkan dan dimasak dengan menggunakan larutan pemasak asam asetat dengan perbandingan 10:1 sebanyak 100 mL untuk 10 gram dengan variasi konsentrasi serta suhu yang berbeda. Pulp dari alang-alang kemudian dimasak dengan waktu yang berbeda dan terhadap hasil hidrolisis kemudian dilakukan uji KAS untuk menentukan kadar alfa selulosa dan uji bilangan Kappa. Pulp yang telah dimasak kemudian diuji karakteristiknya dan dibandingkan dengan pulp komersial yang biasa dipakai oleh pabrik kertas pada umumnya. Produk yang dihasilkan berupa pulp alang-alang yang dipisahkan terlebih dahulu dari larutan pemasaknya, lalu dimasukkan ke dalam oven sampai kering.

Pada penelitian, asam asetat dengan konsentrasi 90% dan pada suhu pemasakan 100°C selama 60 menit, memberikan pulp dengan kadar alfa selulosa sebesar 84,6% dan lignin sebesar 23,6628. Jika dibandingkan dengan pulp yang dipersyaratkan oleh pabrik kertas yang mengandung kadar alfa selulosa sebesar 86% dan lignin 19,2041. Kadar alfa selulosa pulp dari alang-alang tersebut masih

(10)

lebih rendah, sedangkan untuk lignin masih lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pemilihan jenis bahan baku dan jenis proses pemasakan yang digunakan. Umumnya pabrik menggunakan bahan baku berjenis hardwood yang mengandung kadar alfa selulosa dan lignin yang lebih besar dari nonwood, tetapi jenis proses pemasakan pada pabrik yang umumnya memakai proses kraft memberikan kadar alfa selulosa dan degradasi lignin yang lebih baik.

(11)

III FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBUATAN PULP DENGAN PROSES ORGANOSOLV

Faktor- faktor yang berpengaruh dalam pembuatan pulp sebagai berikut :

A. Konsentrasi Pelarut

Semakin tinggi konsentrasi larutan alkali, akan semakin banyak selulosa yang larut. Larutan NaOH dapat berpengaruh dalam pemisahan dan penguraian serat selulosa dan nonselulosa.

B. Perbandingan Cairan Pemasak terhadap Bahan Baku

Perbandingan cairan pemasak terhadap bahan baku haruslah memadai agar pecahan-pecahan lignin sempurna dalam proses degradasi dan dapat larut sempurna dalam cairan pemasak. Perbandingan yang terlalu kecil dapat menyebabkan terjadinya redeposisi lignin sehingga dapat meningkatkan bilangan kappa (kualitas pulp menurun). Perbandingan yang dianjurkan lebih dari 8 : 1. Dengan konsentrasi larutan pemasak yang makin besar, maka jumlah larutan pemasak yang bereaksi dengan lignin semakin banyak. Akan tetapi, pemakaian larutan pemasak yang berlebihan tidak terlalu baik karena akan menyebabkan selulosa terdegradasi. Asam asetat bisa digunakan sebagai larutan pemasak sampai dengan konsentrasi 100%.

(12)

C. Kecepatan Pengadukan

Pengadukan berfungsi untuk memperbesar tumbukan antara zat-zat yang bereaksi sehingga reaksi dapat berlangsung dengan baik.

D. Temperatur Pemasakan

Temperatur pemasakan berhubungan dengan laju reaksi. Temperatur yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya pemecahan makromolekul yang semakin banyak, sehingga produk yang larut pelarut pun akan semakin banyak. Dengan meningkatnya suhu, maka akan meningkatkan laju delignifikasi (penghilangan lignin). Namun, Jika suhu di atas 160˚C menyebabkan terjadinya degradasi selulosa.

E. Lama Pemasakan

Lama pemasakan yang optimum pada proses delignifikasi adalah sekitar 60- 120 menit dengan kandungan lignin konstan setelah rentang waktu tersebut. Semakin lama waktu pemasakan, maka kandungan lignin di dalam pulp tinggi, karena lignin yang tadi telah terpisah dari raw pulp dengan berkurangnya konsentrasi NaOH akan kembali menyatu dengan raw pulp dan sulit untuk memisahkannya lagi. Dengan semakin lamanya waktu pemasakan akan menyebabkan reaksi hidrolisis lignin makin meningkat. Namun, waktu pemasakan yang terlalu lama akan menyebabkan selulosa terhidrolisis, sehingga hal ini akan menurunkan kualitas pulp.

(13)

F. Ukuran Bahan Baku

Ukuran bahan baku yang berbeda menyebabkan luas kontak antar bahan baku dengan larutan pemasak berbeda. Semakin kecil ukuran bahan baku akan menyebabkan luas kontak antara bahan baku dengan larutan pemasak semakin luas, sehingga reaksi lebih baik.

(14)

IV PENUTUP

Pembuatan pulp dengan proses konvensional mempunyai beberapa kelemahan, salah satunya adalah konstribusi terhadap pencemaran lingkungan walaupun menghasilkan pulp dan kertas yang lebih baik. Agar produksi pulp yang dihasilkan dapat diterima di pasaran, maka harus dilakukan suatu usaha pencarian teknologi alternatif yang lebih aman terhadap lingkungan, yaitu proses organosolv. Proses organosolv adalah proses pemisahan serat dengan menggunakan bahan kimia organik seperti misalnya metanol, etanol, aseton, asam asetat, dan lain-lain. Proses organosolv memberikan beberapa keuntungan, antara lain yaitu rendemen pulp yang dihasilkan tinggi, daur ulang lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, tidak menggunakan unsur sulfur sehingga lebih aman terhadap lingkungan, karena menghasilkan limbah yang bersifat ramah lingkungan.

Pembuatan pulp berbahan baku jerami padi diperoleh konsentrasi etanol terbaik adalah 40% dengan temperatur 95oC dan lama pemasakan 75 menit. Hal ini karena karena kandungan selulosa tertinggi dan kandungan lignin terendah. Sedangkan pada pelarut metanol, pembuatan pulp menggunakan bahan baku kulit buah kakao menunjukkan hasil semakin bertambahnya konsentrasi metanol juga berpengaruh terhadap terurainya alpha sellulosa. Kadar metanol terbaik pada 40 %, dengan kondisi waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu 50oC, akan diperoleh kadar pulp tertinggi. Selanjutnya, penelitian pembuatan pulp dan kertas dari alang-alang menggunakan metode organoslv asam asetat. Pada penelitian ini, asam asetat dengan konsentrasi 90% dan pada suhu pemasakan 100 °C selama 60 menit, memberikan pulp dengan kadar alfa selulosa terbesar dan lignin terendah. Faktor- faktor yang berpengaruh dalam pembuatan pulp antara lain konsentrasi pelarut, perbandingan cairan pemasak terhadap bahan baku, kecepatan pengadukan, temperatur pemasakan, lama pemasakan dan ukuran bahan baku.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Bowyer, J.L., R., Schmulsky, J. G. Haygreen. 2007. Forest Products and Wood Science : An Introduction. 5th Ed. Iowa State Press. USA

Dewi, T. K., , A. Wulandari dan Romy. 2009. Pengaruh Temperatur, Lama Pemasakan, dan Konsentrasi Etanol pada Pembuatan Pulp Berbahan Baku Jerami Padi dengan Larutan Pemasak NaOH-Etanol. Jurnal Teknik Kimia, Vol. 16, No. 3: 11—20

Harsini, T. dan Susilowati. 2010. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao dari Limbah Perkebunan Kakao sebagai Bahan Baku Pulp dengan Proses Organosolv. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, Vol.2, No. 2 :80-89

Jahan, M. S., R., Chowdhury, A., Islam, M.K. 2007. Pulping of Dhaincha (Sesbania aculeata). Celluse Chem. Technol 41. 413 – 421

Shatalov, A.A. dan H. Pereira. 2006. Papermaking Fibers From Giant Reed (Arundo donax L) Advanced Ecologically Friendly Pulping and Bleaching Technologies. Bioresources Journal 1 (1) 2006. 45 – 61

Referensi

Dokumen terkait