• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERPAJAKAN. perlu diketahui bahwa ketika wilayah nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan pun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERPAJAKAN. perlu diketahui bahwa ketika wilayah nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan pun"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERPAJAKAN

A. Sejarah Perpajakan

Diketahui bahwa adanya Pajak sudah dari jaman kolonial. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika wilayah nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan pun sudah ada pungutan-pungutan semacam Pajak.

Pengenaan Pajak secara sistematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan Pajak terhadap tanah. Pengenaan Pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah sudah ada sejak jaman kolonial. Seperti ‘Contingenten” atau “Verplichte Leverantieen” yang lebih dikenal dengan Tanam Paksa, yang seperti diketahui menimbulkan perang Jawa6 pada tahun 1825-1830. kemudian oleh Gubernur Raffles, Pajak atas tanah disebut sebagai “Lamdrent” yang arti sebenarnya adalah “sewa tanah”7

Setelah penjajahan Inggris berakhir, Indonesia dijajah kembali oleh Belanda, Pajak tersebut kemudian berganti nama menjadi “Landrente” dengan sistem atau cara pengenaan yang sama. Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir, maka Pemerintah Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan klasiran dan pengukuran tanah milik perorangan yang diebut “rincikan”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente tahun 1939.

.

8

6

Soemitro Djojohardikusuma, Hukum PerPajakan, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2006, hal.8

7

Ibid, hal.9 8

(2)

Pada zaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan “Pajak Tanah”, dan setelah Indonesia merdeka namanya diubah menjadi “Pajak Bumi”. Kemudian istilah Pajak Bumi ini diubah menjadi “Pajak Hasil Bumi”.9

9

Siti Resmi, PerPajakan (Teori dan Kasus), Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal.19

Yang dikenakan Pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil yang keluar dari tanah merupakan obyek dari Pajak penghasilan yang pada saat itu namanya Pajak Peralihan. Oleh karena itu, Pajak Hasil Bumi ini kemudian dihapuskan pada tahun 1952 sampai pada tahun 1959. Rupanya Pemerintah menyadari kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi Pajak Hasil Bumi atas nilai tanah, bukan atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang. Undang-undang ini semula hanya mengatur tentang pungutan Pajak atas tanah adat adalah tanah yang dimiliki/dikuasai oleh orang-orang Indonesia asli, tidak termasuk tanah hak Barat, karena tanah Barat tersebut diatur berdasarkan ordonansi/Undang-Undang Verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verpanding Tahun 1928. tetapi, pada tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia. Hal itu sipertegas lagi dengan keputusan Presidium Kabinet tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor; 87/Kep/U/4/1967. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 11 Prp 1959 yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah yang diatur dalam Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Verponding 1928.

(3)

Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No. PM.PPU 1-1-3 Tanggal 1 November 1965. Pada saat yang bersamaan juga ada Pajak-Pajak lain yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan, seperti Inlands Verponding. Hal tersebut terjadi karena sekalipun IPEDA dimaksudkan untuk menghapuskan Pajak-Pajak itu, tetapi belum ada UU yang menghapuskan Verponding, Inlands Verponding dan Pajak Hasil Bumi. Di samping itu, masing-masing daerah dapat mengubah peraturan IPEDA.10

10

Subiyakto Iskandar, Mengenal Dasar-Dasar PerPajakan Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal.15

Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar Pajak dalam membiayai pembangunan yang sedang terus dilaksanakan, maka perlulah dipahami terlebih dahulu akan pengertian dari Pajak sendiri. Seperti diketahui bahwa Negara dalam menyelenggarakan Pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang berbunyi “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.

(4)

Dari uraian di atas nampak bahwa karena kepentingan rakyat, Negara memerlukan dana untuk kepentingan tersebut. Dana yang akan keluarkan ini tentunya di dapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan Pajak. Pemungutan Pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya sebagaimana di nyatakan dalam pasal 23 ayat 2 Undang-undang dasar 1945 yang menegaskan agar setiap Pajak yang akan dipungut haruslah berdasarkan Undang-undang. Pemungutan Pajak yang harus berlandaskan Undang-undang ini berarti pemungutan Pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya di dewan perwakilan rakyat (DPR) yang biasa disebut “berasaskan yuridis”. Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut Pajak.

Di dalam tiap-tiap masyarakat, dimana ada hubungan antara manusia dengan manusia, selalu ada peraturan yang mengikatnya yakni hukum-hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban manusia.

Demikian juga dengan Pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban menyerahkan sebagian kepada Negara dalam bentuk Pajak untuk membantu Negara dalam meningkatkan kesejahteraan umum.

Terdapat berbagai ragam mengenai definisi Pajak di kalangan para sarjana ahli di bidang perpajakan. Di antara para sarjana tersebut, yang disitir oleh Santoso Brutodiharjo menyebutkan bahwa Pajak adalah iuaran pada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya, menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat

(5)

ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Pemerintahan.11

1. N.J.Feldmann, Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menuntut pengeluaran-pengeluaran umum.

Selanjutnya menurut pendapat para sarjana sebagaimana dirangkum oleh Wirawan B. Ilyas dalam bukunya “Hukum Pajak” menyebutkan antara lain :

2. MJH. Smeeths, memberikan definisi Pajak sebagai berikut Pajak adalah prestasi Pemerintahan yang tentang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra, prestasi, yang dapat ditujukan dalam hal yang individual maksudnya adalah membiayai pengeluaran Pemerintah. 3. Soeparman Soemahadjaya, dalam disertasinya yang berjudul “Pajak

berdasarkan asas gotong-royong” memberikan definisi Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

4. Rochmat Soemitro, dalam disertasinya yang berjudul: “Pajak dan Pembangunan”, memberikan definisi Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang (dapat

11

Santoso Brotodiharjo., Konsep dan Dasar PerPajakan, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.20

(6)

dipaksakan) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.12

Berdasarkan pengertian Pajak di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian Pajak, yaitu:

1. Pembayaran Pajak harus berdasarkan Undang-undang 2. Sifatnya dapat dipaksakan

3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh si pembayar

4. Pemungutan Pajak dilakukan oleh Negara baik oleh Pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta).

5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.

Dengan melihat definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, maka “unsur-unsur” yang terdapat dalam definisi-definisi tersebut adalah : 1. Bahwa Pajak itu adalah suatu iman, atau kewajiban menyerahkan sebagian

kekayaan (pendapatan) kepada Negara.

2. Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib atau dapat dipaksakan

3. Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang.

4. Tidak ada jasa timbal balik (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk.

5. Uang yang dikumpulkan tadi oleh Negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat.13

12

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton., Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hal. 4-5

(7)

Pada dasarnya Pajak dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Menurut Golongannya adalah :

a. Pajak langsung, yaitu Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak tidak Langsung, yaitu Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya adalah :

a. Pajak subjektif, yaitu Pajak yang terpangkal atau berdasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif yaitu Pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang Mewah 3. Menurut Lembaga Pemungutnya

a. Pajak Pusat, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.

Contoh: Pajak penghasilan, Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai

b. Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

13

(8)

Pajak Daerah terdiri atas:

1) Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.

Ada 4 macam tarif Pajak: 1. Tarif sebanding/profosional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapa pun jumlah yang dikenai Pajak sehingga besarnya Pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai Pajak.

Contoh: Untuk Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2. Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai Pajak sehingga besarnya Pajak yang terutang tetap.

Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp1.000,00

2. Tarif Progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai Pajak semakin besar.

(9)

Menurut Kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi: a. Tarif Progresif: Kenaikan persentase semakin besar

b. Tarif Progresif Tetap: Kenaikan persentase tetap

c. Tarif Progresif degresif: Kenaikan persentase semakin kecil. 4. Tarif Degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai Pajak semakin besar.

Sifat pemungutan Pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dari Pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah. Agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk Undang-undang. Unsur pemaksaan disini berarti apabila wajib Pajak tidak mau membayar Pajak, Pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar wajib Pajak mau melunasi utang Pajaknya.

Dilihat dari lingkungannya, hukum Pajak merupakan bagian dari hukum publik, yakni bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dengan warganya, terhadap peraturan dan cara-cara penerapannya dalam Pemerintahan.

Hukum Pajak dimaksud adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara Pemerintah selaku pemungut Pajak dengan masyarakat sebagai wajib Pajak. Dalam pengertian mengatur siapa-siapa sebenarnya wajib

(10)

Pajak, atau subjek Pajak dan objek Pajak, timbulmnya kewajiban Pajak, cara pemungutannya, cara penagihan dan sebagainya.

Sebagai hukum, peraturan perpajakan termasuk di dalamnya hak dan kewajiban, dan sanksi-sanksi baik secara administratif maupun pidana sehubungan dengan adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuannya.

Menurut Gunardi & Wirawan, hukum Pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut:

1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.

2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara Pemerintah dengan rakyatnya.14 Dalam hukum Pajak sehubungan dengan pengertian, terdapat perbedaan, yakni hukum Pajak material dan hukum formal.

Menurut Muqodim bahwa hukum Pajak mengatur hubungan antara Pemerintah (fiscus) selaku pemungut Pajak dengan rakyat sebagai wajib Pajak.15

1. Hukum Pajak Materiil, menurut norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai Pajak (objek Pajak) siapa yang dikenakan Pajak (subjek), berapa besar Pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang Pajak, dan hubungan hukum antara Pemerintah dan Wajib Pajak

Ada 2 macam hukum Pajak yakni:

14

Gunardi dan Wirawan Ilyas, PerPajakan, Buku I, Penerbit LPFE-UI, Jakarta, 2001, hal.85

15

Muqodim, PerPajakan, Buku I, Edisi ke 2, Penerbit Undang-Undang Press, Yogyakarta, 2000, hal.125

(11)

2. Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata cara mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara malaksanakan hukum Pajak materiil).

Hukum ini memuat antara lain:

1. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang Pajak.

2. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuata dan peristiwa yang menimbulkan utang Pajak. 3. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan,

dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.

Dari uraian pengertian hukum Pajak material dan hukum Pajak formal tersebut, jelas bahwa yang menimbulkan hutang Pajak adalah hukum material, sedang hukum Pajak formal mengatur syarat-syarat pelaksanaan hukum Pajak materil. Tetapi ada juga peraturan atau hukum formal yang mengakibatkan terhutang Pajak telah ditentukan oleh hukum material, tetapi pemungutannya tidak mungkin diselenggarakan misalnya “surat ketetapan Pajak tambahan”.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum Pajak mencari dasar kemungkin pemungutannya atas dasar kejadian-kejadian, keadaan dan perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata, seperti warisan, pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahank, perpindahan hak dan sebagainya.

Timbulnya hubungan hukum Pajak dengan hukum lainnya, misalnya hukum perdata, karena di dalamnya mengatur berbagai masalah yang berhubungan antara masyarakat dengan Pajak, demikian juga Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan wewenang berdasarkan ketentuan hukum yang diterapkan terhadap perpajakan.

(12)

Hukum Pajak sering juga disebut hukum fiskal. Istilah hukum fiskal digunakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia, perkataan atau istilah Pajak sering disamakan dengan istilah fiskal. Kata “fiskal” berasal dari kata latin yang berarti kantong atau keranjang uang.

Hukum Pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara Pemerintah sebagai pemungut Pajak dan rakyat sebagai pembayar Pajak.16

1. Siapa-siapa yang wajib Pajak (subjek Pajak)

Dengan kata lain perkataan hukum Pajak menerangkan :

2. Objek-objek apa yang dikenakan Pajak (objek Pajak) 3. Kewajiban wajib Pajak terhadap Pemerintah.

4. Timbulnya dan hapusnya hutang Pajak. 5. Cara penagihan Pajak dan

6. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan Pajak.17

Hukum Pajak merupakan salah satu bagian dari hukum-hukum administrasi Negara.

Hukum Pajak mempunyai hubungan yang erat dengan bidang hukum lainnya seperti hukum pidana dan hukum perdata.

Hukum Pajak harus memberikan jaminan hukum dan keadilan yang tega, baik untuk Negara selaku pemungut Pajak (fiskus), maupun kepada rakyat selaku wajib Pajak.

16

Siti Resmi, PerPajakan (Teori dan Kasus), Buku 2, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal. 24

17

(13)

Di Negara-Negara yang menganut faham hukum, segala sesuatu yang menyangkut Pajak harus ditetapkan dalam Undang-Undang. UUD 1945 dicantumkan pasal 23 ayat 2 sebagai dasar hukum pemungutan Pajak oleh Negara. Dalam pasal itu ditegaskan bahwa pengenaan dan pemungutan Pajak termasuk bea dan cukai) untuk keperluan Negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang.

Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 mempunyai arti sangat dalam yaitu menetapkan nasib rakyat, yang harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan peraturan DPR sebagai wakil rakyat.

Dengan ditetapkannya Pajak dalam bentuk undang-undang berarti Pajak bukan perampasan hak/kekayaan rakyat karena sudah disetujui oleh wakil-wakil rakyat, juga tidak dapat dikatakan sebagai bayaran suka rela, oleh karena Pajak mengandung kewajiban bagi rakyat untuk mematuhi kewajibannya, dapat dikenakan sanksi.

Di samping adanya undang-undang yang memberikan jaminan hukum kepada wajib Pajak agar keadilan dapat diterapkan, maka faktor lainnya yang harus diperhitungkan oleh Negara adalah agar perbuatan peraturan Pajak diusahakan agar mencerminkan rasa keadilan bagi wajib Pajak, sebab tingkat kehidupan serta daya pikul anggota masyarakat tidak sama. Anggota masyarakat ada yang mampu, kurang mampu dan tidak mampu.

Perundang-undangan perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945, di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi kewajiban perpajakan sebagai kewajiban keNegaraan. Dengan undang-undang dimaksud

(14)

tersusun sistem pemungutan Pajak yang memberi kepercayaan lebih bwesar keapda anggota masyarakat selaku wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Demikian juga jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan pada masyarakat.

Bahwa wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif sekaligus memenuhi syarat-syarat objektif, yaitu bagi wajib Pajak dalam negeri yang memperoleh atau menerima penghasilan yang melebihi batas minimum kena Pajak yang disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dan jika wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang ada di Indonesia, tidak bergantung pada batas minimum (PTKP)

Dari ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Pajak Nasional, terdapat hak-hak dan kewajiban wajib Pajak seperti Kewajiban wajib Pajak :

1. Melaksanakan pendaftaran diri untuk memperoleh nomor pokok wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas diri wajib Pajak. Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak telah terdapat di Direktorat Jenderal Pajak.

2. Mengambil sendiri blanko Surat Pemberitahuan (SPT) di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(15)

3. Wajib Pajak mengisi dengan benar dan lengkap dan menandatangani sendiri surat pemberitahuan Pajak dan kemudian mengembalikan surat pemberitahuan itu kepada Kantor Inspeksi Pajak.

4. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan-pencatatan.18 Hak-hak wajib Pajak :

1. Wajib Pajak mempunyai hak untuk tanda bukti pemasukan surat pemberitahuan.

2. Wajib Pajak menyampaikan hak mengajukan permohonan penundaan penyampaian surat pemberitahuan.

3. Wajib Pajak mempunyai hak untuk melakukan pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah dimasukkan.

4. Wajib Pajak mempunyai hak mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran Pajak sesuai dengan kemampuannya.

5. Wajib Pajak berhak mengajikan permohonan pengambilan kelebihan pembayaran Pajak serta memperoleh kepastian terbitnya Surat keputusan kelebihan pembayaran Pajak.

6. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan pembetulan, salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam penerapan peraturan perundang-undangan Pajak.

7. Wajib Pajak berhak mengajukan keberatan dan berhak atas kepastian terbitnya Surat keputusan atas surat permohonan keberatannya.

18

(16)

8. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding atas keberatannya yang telah diputuskan oleh Direktur Jenderal Pajak.

9. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan Pajak yang salah atau keliru.

10. Wajib Pajak berhak memberi kuasa khusus kepada orang lain yang dipercayai untuk melaksanakan kewajiban perpajakan.19

B. Dasar Hukum Perpajakan

Sebelum berbicara jauh tentang masalah perpajakan, sebaiknya kita lihat dulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan Pajak tersebut. Menurut Rachmat Soemitro, mendefinisikan Pajak tersebut sebagai berikut:

“Pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal-balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum Pemerintah. Dapat dipaksakan maksudnya bahwa bila hutang Pajak tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan “kekerasan” seperti surat paksa dan sita. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu adalah seperti halnya retribusi.”20

Sebagai sebuah pungutan yang dilakukan oleh Negara kepada rakyat, pemungutan Pajak harus didasarkan pada hukum, dimana salah satunya mensyaratkan bahwa setiap tindakan penguasa Negara harus didasarkan pada

19

Ibid, hal. 114 20

(17)

hukum, maka hal tersebut memang harus dipenuhi. Pungutan Pajak harus dapat dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengurangi kemampuan ekonomis dan daya beli masyarakat tidak dapat dilakukan secara serampangan dan serambangan. Dalam hal pemungutan Pajak, Undang-Undang Dasar 1945 menentukan pada pasal 23A yang menyatakan bahwa : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang”.

Pemungutan Pajak harus didasarkan pada undang-undang mengingat Pajak itu merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah yang tidak ada imbalannya yang dapat dtunjukkan secara langsung. Disamping apa yang ditentukan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, masih ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk sahnya pemungutan Pajak, yakni:

“Pasal 16 ICW (Indische Comptabilititswet) menentukan bahwa penambahan atau pengurangan Pajak tidak mungkin berlaku sebelum hasil penambahan atau hasil perubahan undang-undang Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan. Sementara itu, di dalam pasal 17 ICW ditentukan bahwa semua penghapusan dan pengurangan Pajak harus dilakukan sesuai dengan undang-undang dan pemberlakuan kedua pasal ini mendasarkan pada pasal II aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar 1945.

Dasar hukum yang telah disebutkan di atas, kemudian dijabarkan ke dalam berbagai ketentuan undang-undang di bidang Pajak, di antaranya :

(18)

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara PerPajakan (KUTAP);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tenang Pajak Penghasilan (PPh);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 187 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPn.BM);

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan; 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai;

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

(19)

9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

C. Jenis-Jenis Pajak

Pajak dapat dikelompokkan ke dalam berbagai jenis dengan mempergunakan kriteria-kriteria tertentu. Pajak dapat dilihat dari segi administrative juridis, dari segi titik tolak pungutannya, berdasarkan sifatnya dan berdasarkan kewengan pemungutannya.

1. Dari Segi Administratif Yuridis

Penggolongan Pajak dari sisi ini akan menghasilkan apa yang sering dikenal dengan Pajak langsung dan Pajak tidak langsung. Kedua jenis Pajak tersebut masih dapat dibagi lagi ke dalam dua segi yang lain yaitu dari sisi yuridis dan ekonomis.

a.) Segi Yuridis

Suatu jenis Pajak dikatakan sebagai Pajak langsung apabila dipungut secara periodik, yakni dipungut secara berulang-ulang, tidak hanya satu kali pungut saja dengan menggunakan penetapan sebagai dasarnya dan kohir.21

21

Soeparmoko, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 2002, hal.17

Sebagai contoh, Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Penghasilan ini dipungut secara periodik setiap tahun atau setiap masa Pajak, di mana pemungutannya digunakan penetapan dalam SPT. Sedangkan Pajak tidak langsung dipungut secara incidental (tidak berulang-ulang) dan tidak

(20)

menggunakan kohir. Jadi Pajak tidak langsung hanya dipungut sesekali ketika terpenuhi yafbestand seperti yang dikehendaki oleh ketentuan undang-undang. Contoh Pajak tidak langsung adalah Bea Materai atau juga Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa. Dalam Bea Materai, pengenaan Pajak itu hanya dilakukan terhadap dokumen. Ketika seseorang itu membuat dokumen itu, ia akan dikenai Pajak, sehingga apabila tidak dibuat dokumen terhadap sebuah perjanjian perdata misalnya, maka juga tidak dikenakan Pajak. Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai, di mana Pajak dikenakan apabila terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila tidak terjadi penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, maka juga tidak dikenakan Pajak.

b.) Segi Ekonomis

Suatu jenis Pajak ini dikatakan sebagai Pajak langsung apabila beban Pajak tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Jadi, dalam hal ini antara pihak yang dikenai kewajiban atau dalam hal ini antara pihak yang dikenai kewajiban atau ditetapkan untuk membayar Pajak dengan pihak yang benar-benar memikul beban Pajak, merupakan pihak yang sama. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak bertindak sebagai penanggung jawab Pajak. Mereka yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak itu bertindak sebagai penanggung Pajak, karena ketika ia menerima penyerahan barang atau jasa maka di samping membayar harga juga ia

(21)

membayar Pajak yang kemudian dikreditkan Pengusaha Kena Pajak dikreditkan. Sementara konsumen itu sendiri sebagai destinataris yang memikul beban Pajak dan memang demikianlah dituju oleh pembuat undang-undang.

2. Berdasarkan Titik Tolak Pungutannya

Pembedaan Pajak dengan menggunakan dasar titik tolak pungutannya ini akan menghasilkan dua jenis Pajakm yakni Pajak subjektif dan Pajak objektif. a.) Pajak Subjektif adalah Pajak yang pengenaannya berpangkal pada diri

orang/badan yang dikenai Pajak (wajib Pajak). Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya baru kemudian dicari syarat-sayart objeknya. Jadi, yang diperhatikan pertama kali adalah subjeknya (orang atau badan) baru kemudian dicari objeknya. Siapa saja yang dikategorikan sebagai subjek Pajak itu sudah ditentukan dan setelah mereka ini memenuhi syarat sebagai subjek baru kemudian dilihat apakah mereka mempunyai/memperoleh penghasilan yang memenuhi syarat untuk dikenai Pajak.

b.) Pajak Obektif yaitu Pajak yang pengenaannya berpangkal pada objek yang dikenai Pajak, dan untuk mengenakan Pajaknya harus dicari subjeknya. Jadi, pertama-tama yang dilihat adalah objeknya yang selain benda dapat pula berupa keadaan, peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan timbulnya kewajibanm membayar, kemudian baru dicari subjeknya (orang atau badan) yang bersangkutan langsung tanpa mempersoalkan apakah subjek itu sendiri berada di Indonesia atau tidak.

(22)

3. Berdasarkan Sifatnya

Pembagian Pajak dengan mendasarkan sifatnya ini akan memunculkan apa yang disebut sebagai Pajak yang bersifat pribadi (persoonlijk) dan Pajak kebendaan (zakelijk). Pembagian yang seperti itu kurang disetujui oleh Prof. PJA. Adriani dan Prof. Smeets sebagai nama lain Pajak subjektif dan objektif, karena istilah Pajak zakelijk dapat disalahartikan dan ditafsirkan seolah-olah dalam menetapkan Pajak ini tidak dapat diindahkan sama sekali pribadi seseorang wajib Pajak. Padahal dalam banyak hal keadaan wajib Pajak mempengaruhinya, walaupun bersifat sekunder.

a.) Pajak yang bersifat pribadi, yakni Pajak yang dalam penetapannya memperhatikan keadaan dari diri serta keluarga wajib Pajak. Dalam penentuan besarnya utang Pajak, keadaan dan kemampuan wajib Pajak diperhatikan. Contoh dari Pajak yang bersifat pribadi ini dapat dilihat di dalam Pajak Penghasilan.

b.) Pajak yang bersifat kebendaan, adalah Pajak yang dipungut tanpa memperhatikan diri dan keadaan si wjib Pajak. Pajak yang bersift kebendaan ini umumnya merupakan Pajak tidak langsung. Akan tetapi, dalam hal tertentu, misalnya wajib Pajaknya merupakan seorang pensiunan yang semata-mata hidup dari uang pensiunan itu dapat mengajukan permohonan pengurangan Pajak. Demikian pula apabila terjadi bencana alam.

(23)

4. Berdasarkan Kewenangan Pemungutannya

Dengan mendasarkan pada kewenangan pemungutannya, maka Pajak dapat digolongkan menjadi dua yakni Pajak yang dipuungut oleh Pemerintah pusat (Pajak pusat), dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah (Pajak daerah).

a.) Pajak Pusat, yakni Pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada Pemerintah pusat. Yang tergolong jenis Pajak ini antara lain, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn.BM), Bea Materai dan Cukai. b.) Pajak Daerah, yakni Pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada

Pemerintah daerah, baik pada Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Daerah Tingkat II. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan :

Pasal 2 :

1.) Jenis Pajak Propinsi terdiri atas : a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan

e. Pajak Rokok.

2.) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas : a. Pajak Hotel;

(24)

c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Di samping jenis-jenis Pajak yang telah disebutkan di atas, masih dimungkinkan adanya Pajak Kabupaten/Kota yang lain asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya yang bersifat Pajak (bukan retribusi), objek Pajaknya bukan menjadi objek Pajak propinsi, dan sebagainya. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dulu dikenal adanya banyak Pajak daerah, seperti Pajak radio, Pajak bangsa asing Pajak pemotongan hewan Pajak rumah tangga, dan sebagainya yang jenisnya begitu banyak. Perlu diingat bahwa di samping Pajak daerah, juga dikenal apa yang dinamakan sebagai retribusi daerah yang dibagi ke dalam tiga golongan, yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

Dari bentuk dan bagian-bagian tubuh yang dianggap kurang memuaskan, sudah dapat tergambarkan bagaimana sebenarnya bentuk tubuh yang ideal menurut pandangan para

Berdasarkan hasil penelitian analisis vegetasi dengan menggunakan metode titik yang dilakukan di Hutan BIOLOGI FMIPA UM, yang dilakukan sepanjang 7

Tambahan Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor  5105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Huruf hijaiyah Huruf hijaiyah Huruf hijaiyah Gambar 3.16 Tampilan Belajar Tanwin Dhomah.. Pada gambar 3.16 bisa kita lihat bahwa terdapat pop up huruh tanwin dhomah dan

Kedua cenderung kemajuan teknologi informasi telah dijadikan komoditi untuk melakukan kejahatan siber ( cybercrime), baik kejahatan berupa hacking, pembobolan kartu

Laporan Eksekutif Hasil Sensus Penduduk 2010 di Kabupaten Ciamis merupakan angka sementara menyajikan data dasar penduduk yang diperoleh dari hasil olah cepat pencacahan

Raja kami, raja dari pihak perempuan kami dan terlebih-lebih kepada Paman yang akan jadi menantu kami, terima kasih yang baik hati kami sampaikan pertama sekali kami

Gambar 1 menjelaskan bahwa desain use case sebagai alat bantu user dalam mencari kode Dandelion Adapun kegiatan yang dapat dilakukan user pada aplikasi adalah :