• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Gambut

Menurut Andriesse, 1988 dalam Najiyati et al., 2005, secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim, (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu. Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada: (1) proses penimbunan, yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut, (2) proses kecepatan perombakan gambut, (3) proses kebakaran gambut, dan (4) perilaku manusia terhadap lahan gambut.

Kenampakan fisik khas air gambut dicirikan oleh warna larutan kuning-coklat yang kepekatannya memberikan gambaran tentang kualitas airnya. Warna kuning-coklat air gambut disebabkan oleh kandungan bahan organik terlarut yang dihasilkan oleh pelapukan sisa tumbuhan. Kualitas air gambut berbanding terbalik dengan kepekatan bahan organik terlarut. Ciri lain air gambut adalah kemasaman yang tinggi. Bahan organik terlarut di dalam air tersebut umumnya dalam bentuk asam organik hasil dekomposisi berupa asam, sehingga semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin pekat warna air dan kemasaman semakin meningkat. Umumnya air gambut memiliki pH di bawah 6 sedangkan pada air gambut yang pekat nilai pH bisa mencapai 3.5 (Page, 1997 dan Djuwansah, 2001 dalam

Djuwansah, 2007).

Gambut di alam dijumpai sebagai pasta berwarna coklat kehitaman yang mengandung banyak serat dan sisa tumbuhan dengan proporsi yang sangat ditentukan oleh tingkat pelapukannya. Berat jenis gambut tropis berkisar antara 0.05 g/cm3 sampai 0.4 g/cm3 dan sangat tergantung pada kandungan mineral dan kemampatan (packing) nya. Gambut segar yang lembab memiliki sifat koloidal yang hidrofil (mengikat air) yang membuat masa gambut dapat menahan air sekitar delapan kali dari volumenya. Kebanyakan tanah gambut yang masih belum tersentuh dijumpai dalam keadaan basah dengan muka air yang dekat atau di atas permukaan tanah (Djuwansah, 2007).

(2)

Karena dibentuk dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang berbeda, tingkat kematangan gambut bervariasi. Gambut yang telah matang akan cenderung lebih halus dan lebih subur. Sebaliknya yang belum matang, banyak mengandung serat kasar dan kurang subur. Serat kasar merupakan bagian gambut yang tidak lolos saringan 100 mesh (100 lubang/inci persegi) (Najiyati et al., 2005).

Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik, gambut dibedakan menjadi tiga yakni:

1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya bila gambut diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, maka kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (≥ ¾);

2. Hemik, yaitu gambut yang memiliki tingkat pelapukan sedang (setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (¼ dan < ¾); 3. Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang).

Bila diperas, gambut dengan mudah melewati sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (< ¼) (Najiyati etal., 2005).

Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam (Darmawidjaya, 1990 dalam Najiyati et al. 2005). Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap.

Wahyunto et al., 2003 membuat klasifikasi nilai berat jenis atau bobot isi (bulk density) tanah gambut di Sumatera sebagai berikut: gambut saprik nilai

(3)

bobot isinya sekitar 0.28 g/cc, hemik 0.17 g/cc dan fibrik 0.10 g/cc. Akibat berat jenisnya yang ringan, gambut kering mudah tererosi/terapung terbawa aliran.

Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang sangat besar. Apabila jenuh, kandungan air pada gambut saprik, hemik dan fibrik berturut-turut adalah <450%, 450-850%, dan >850% dari bobot keringnya atau 90% volumenya (Suhardjo dan Driessen, 1975, dalam

Najiyati et al. 2005). Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi air laut saat kemarau dapat dicegahnya.

Kadar abu merupakan petunjuk yang tepat untuk mengetahui keadaan tingkat kesuburan alami gambut. Suhardjo dan Driessen, 1975 serta Suhardjo dan Widjaya-Adhi, 1976 dalam Najiyati et al, 2005 telah meneliti kadar abu tanah gambut untuk tujuan reklamasi lahan di daerah Riau. Pada umumnya gambut dangkal (<1 m) yang terdapat di bagian tepi kubah mempunyai kadar abu sekitar 15%, bagian lereng dengan kedalaman 1-3 meter berkadar abu sekitar 10%, sedangkan di pusat kubah yang dalamnya lebih dari 3 meter, berkadar abu kurang dari 10% bahkan kadang-kadang kurang dari 5%. Hal ini sejalan dengan pengayaan oleh air sungai atau air laut atau kontak dengan dasar depresi.

2.2. Steel Slag

Steel Slag merupakan hasil sampingan dari proses pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Kandungan unsur-unsur dalam steel slag bervariasi tergantung dari sifat dan jenis steel slag. Pada umumnya steel slag mengandung Ca, Mg, Fe, Si, dan beberapa unsur mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

steel slag Indonesia (electric furnace slag) mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 42% Fe2O3, 7.2% Al2O3, 21.5% CaO, 11.2% MgO, 14.6% SiO2 dan

0.4% P2O5 (Suwarno dan Goto, 1997). Selain itu, steel slag juga mengandung

unsur-unsur sekunder yang terdiri dari Mg, Si, Mn, Cu, Co, dan Mo sehingga bahan ini sangat baik untuk digunakan sebagai pupuk (Boxus, 1965 dalam Rahim 1995).

(4)

Slag merupakan pupuk yang baik untuk lahan masam dan mempunyai efek pengapuran disamping mengandung unsur mikro (Ismunadji et al., 1991). Di Indonesia slag ini dapat diperoleh misalnya pada pabrik peleburan baja milik PT. Krakatau Steel di Cilegon yang mempunyai sisa-sisa pengecoran sampai beratus-ratus ton (Soepardi et al., 1979 dalam Rahim, 1995).

Barber, 1967 dan Christenson, 1982 dalam Priambudi, 1997 mengklasifikasikan slag kedalam tiga kelompok. Bentuk-bentuknya yaitu: (1)

blast furnace slag, (2) open-hearth slag, dan (3) basic slag.

Pembuatan BF slag dilakukan dengan cara penambahan kapur dan batubara pada biji besi dengan kadar tetap ke dalam tanur (blast furnace). Dengan pemanasan mencapai suhu 1500°C, biji besi tadi akan meleleh dan terakumulasi di bagian bawah tanur. Pada bagian atasnya terbentuk lapisan slag. Pada waktu yang tertentu slag ini dapat dikeluarkan melalui lubang pada dinding bagian bawah tanur. Bila slag encer tersebut langsung dimasukkan ke dalam air, maka terjadilah slag berbentuk butiran seperti pasir, yang disebut water granulated slag

atau quenched slag. Sedangkan bila slag encer tadi ditampung dalam wajan dan kemudian didinginkan perlahan-lahan, maka yang diperoleh adalah air cooled slag atau slowly cooled slag. Kedua bentuk slag tersebut mempunyai komposisi kimia yang sama. Bila keduanya ditumbuk dalam ukuran butir yang sama akan diperoleh pupuk yang disebut sebagai pupuk silikat (Oota, 1979 dalam Fattah, 1997). Daya netralisasi dari blast furnace slag sekitar antara 74-90 % (Tisdale et al., 1985 dalam Priambudi, 1997). Slag ini digunakan seperti bahan pengapuran yang lainnya yaitu guna menetralisir kemasaman tanah dan mensuplai kalsium serta magnesium (Barber, 1967 dalam Priambudi, 1997). Blast Furnace slag asal Jepang mengandung 35% CaO; 6.6% MgO; 34% SiO2 dan sedikit mengandung

Fe, Al, dan P (Suwarno dan Goto, 1997).

Open-hearth slag diproduksi dari hasil proses pembakaran yang di lakukan oleh pabrik baja (Barber, 1967 dan Christenson, 1982 dalam Priambudi, 1997). Kandungan slag ini terdiri dari ± 20 % besi dan 10% mangan. Basic slag

diproduksi dengan metode Open-Hearth dari pembuatan baja dengan kandungan fosfor yang tinggi. Kotoran besi terdiri dari silikat dan fosfor yang kemudian dicampur dengan kapur dan berubah menjadi slag. Slag kemudian didinginkan

(5)

dan kemudian dihaluskan. Slag jenis ini mempunyai daya netralisasi ± 60-70 % (Tisdale et al., 1985 dalam Priambudi, 1997).

Electric furnace slag adalah slag hasil reduksi pembakaran secara elektrik dari batuan fosfat dalam preparasi bahan-bahan fosfor. Slag ini terbentuk ketika pembakaran silikat dan kalsium oksida menghasilkan kalsium silikat dalam jumlah yang besar. Kandungan P2O5 0.9-2.3 dan daya netralisasinya ± 65-80 %

(Tisdale et al., 1985 dalam Priambudi 1997). Electric furnace slag merupakan campuran dari kalsium dan silikat dengan daya netralisasi tinggi, yaitu ± 89 %.

Electric furnace slag asal Indonesia mengandung 42% Fe2O3; 7.2% Al2O3, 21,5%

CaO; 11,2% SiO2; 0.4% P2O5 (Suwarno dan Goto, 1997).

Di Jepang, kebutuhan silikat diatasi dengan pemberian slag. Pemanfaatan

slag di bidang pertanian di antaranya sebagai sumber kalsium dan magnesium atau bahan pengapuran, sumber silikat, sebagai bahan amelioran dan untuk menurunkan kadar Fe dan Mn dalam tanah (Okuda dan Takahashi, 1962 dalam

Hidayatullah, 2006).

Apabila slag diberikan ke dalam tanah, maka akan terjadi beberapa perubahan. Perubahan ini dapat berpengaruh terhadap serapan hara oleh tanaman, baik hara yang sudah ada dalam tanah maupun hara dari slag. Penambahan slag

juga dapat mengakibatkan perubahan pH tanah, nisbah ionik tanah dan komposisi ion dalam jaringan tanaman (Farrar, 1969). Selanjutnya Oota (1979 dalam Rahim, 1995) menyatakan bahwa pemberian steel slag dalam tanah akan menghasilkan SiO2 koloidal yang kemudian berubah menjadi SiO3-2 dan dapat menyerap kation

bebas dalam tanah.

Pemberian slag ke dalam tanah yang diperlakukan dengan tingkat pemupukan N, P dan K berat dan ringan dapat membantu memperbaiki pertumbuhan tanaman padi yang ditumbuhkan dalam keadaan sawah. Perbaikan pertumbuhan bagian atas tanaman akibat pemberian slag dapat ditunjukkan oleh meningkatnya kandungan Si, N, P dan K dalam jaringan tanaman (Soepardi et al., 1979 dalam Fattah, 1997).

Berdasarkan percobaan (Oota, 1979 dalam Rahim, 1995), pemberian slag

masih dapat diharapkan pengaruhnya sampai dengan waktu penanaman yang keempat kalinya, yang berarti bahwa selama periode waktu tersebut masih ada

(6)

pengaruh slag dalam mempertahankan kadar silikat dan bahkan mungkin juga unsur hara atau faktor penunjang lainnya. Oleh karena terbukti bahwa pada tanah yang tidak diberi slag, selama periode tanam gandum ke-15, tanah menjadi masam dan tidak lagi terjadi perkecambahan.

Suwarno (1993) dalam percobaan pot telah mempelajari pengaruh electric furnace slag Indonesia, converter furnace slag Jepang dan dolomit dalam rotasi tanaman shorgum-turnip-turnip pada tanah Andosol. Hasilnya menunjukkan bahwa slag Indonesia sama baik dengan slag yang berasal dari Jepang untuk pengapuran pada tanah Andosol dan pengaruhnya lebih baik dari dolomit. Pengaruh electric Furnace slag Indonesia dan converter furnace slag Jepang dengan kalsit dan dolomit dalam rotasi tanaman kedelai-shorgum-bayam pada tanah Podzolik Merah Kuning menunjukkan bahwa bahan-bahan pengapuran tersebut memperbaiki pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman tersebut. Meskipun demikian, perbedaan pengaruh slag, kalsit, dan dolomit tidak nyata.

Lian, 1976 dalam Rahim, 1995 melaporkan bahwa pemberian slag di Taiwan dengan dosis 1.5 ton/ha masih menunjukkan pengaruhnya sampai 4.7 tahun, sedangkan pemberian di Jepang dengan dosis 1.5-2.0 ton/ha memberikan pengaruh cukup baik selama dua tahun.

Penelitian yang dilakukan Suwarno dan Goto (1997) pada tanah Andosol menunjukkan bahwa pemberian slag mampu meningkatkan pH, Ca, Mg dapat ditukar, Si, dan P tersedia serta mengurangi Al dapat ditukar. Slag merupakan pupuk yang baik untuk lahan masam dan mempunyai efek pengapuran disamping mengandung unsur mikro (Ismunadji et al., 1991) dan menurut Silva, 1971 dalam

Rahim, 1995, pemberian slag dapat mengurangi sifat beracun dari Fe dan Al. Slag

yang diberikan mampu menekan ketersediaan Fe dan Al baik yang terdapat bebas dalam larutan tanah maupun yang dapat ditukar.

Slag mengandung Al dan Fe relatif banyak yang bila terhidrolisis menghasilkan ion hidrogen sehingga akan meningkatkan kemasaman tanah. Namun, menurut Farrar (1969) kedua unsur tersebut berada dalam bentuk senyawa oksida yang daya larutnya rendah.

(7)

2.3. Karakteristik Tanaman Padi

Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk ke dalam famili graminae dan genus Oryzae (De Datta, 1981). Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian-bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, dan daun, sedangkan organ generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga.

Padi dapat tumbuh baik pada kisaran suhu rata-rata harian 27-37°C, dengan radiasi matahari rata-rata 300 kal/cm2. Padi merupakan tanaman berhari pendek. (Yoshida, 1981). Umur tanaman dan lama setiap fase tumbuh berbeda menurut varietas dan tinggi tanaman. Lama fase vegetatif cepat, reproduktif dan pematangan gabah pada umumnya hampir sama. Perbedaan umur antar macam-macam varietas padi disebabkan oleh adanya perbedaan waktu fase vegetatif lambat. Varietas yang berumur panen 130 hari, pada umumnya tidak mempunyai fase vegetatif lambat, sedangkan varietas yang berumur kurang dari 130 hari, terjadi saling tindih (overlap) antara fase vegetatif cepat dan reproduktif, artinya pembentukan primordial sudah terjadi sebelum jumlah anakan maksimum dicapai. Varietas yang berumur panen lebih dari 130 hari mempunyai fase vegetatif yang lebih lama (Anonim, 1983).

Padi merupakan tanaman berhari pendek, berfotosintesis mengikuti jalur C-3, tetapi laju fotosintesis padi lebih tinggi dari tanaman C-3 lainnya, yaitu 40-50 mg CO2/dm2/jam. Kisaran suhu optimum untuk fotosintesis khususnya varietas

padi Indika adalah 25-33°C. Suhu udara tinggi diperlukan pada fase vegetatif untuk merangsang anakan, tetapi pada fase reproduktif dari stadia pengisian gabah sampai panen diperlukan suhu sejuk. Suhu rata-rata harian <20°C menyebabkan perkecambahan terhambat, pembungaan terhambat dan kehampaan tinggi (Yoshida, 1981).

Perbedaan umur antara tanaman padi terletak paada fase vegetatif. Untuk varietas padi yang berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropik, maka fase vegetatifnya memerlukan waktu 60 hari, fase reproduktif 30 hari, dan pemasakan 30 hari tinggi (Yoshida, 1981).

(8)

Menurut Yoshida (1981) pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi tiga fase, yakni fase vegetatif, reproduktif, dan fase pemasakan.

1. Fase Vegetatif, meliputi pertumbuhan mulai kecambah sampai dengan inisiasi primordial malai. Selama fase vegetatif, anakan tanaman bertambah dengan cepat, tanaman bertambah tinggi, dan daun tumbuh secara reguler. Anakan aktif ditandai dengan pertambahan anakan yang cepat sampai tercapainya anakan maksimum. Setelah anakan maksimum tercapai, sebagian dari anakan akan mati dan tidak menghasilkan malai, yang disebut sebagai anakan tidak efektif.

2. Fase Reproduktif, dimulai dari inisiasi primordial malai sampai berbunga (heading). Ditandai dengan memanjangnya ruas teratas pada batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Di samping itu, stadia reproduktif juga ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan. Inisiasi primordial malai biasanya dimulai 30 hari sebelum bunga. Pembungaan merupakan stadia keluarnya malai. Dalam suatu rumpu atau komunitas tanaman, fase pembungaan memerlukan waktu 10-14 hari. Antesis telah mulai bila benang sari bunga yang paling ujung pada tipe cabang malai telah tampak keluar.

3. Fase Pemasakan, dimulai dari berbunga sampai masak panen. Ditandai dengan bobot jerami mulai turun, bobot gabah meningkat dengan cepat dan terjadi penuaan daun. Fase pemasakan terdiri dari masak susu (dough), masak bertepung, menguning, dan masak panen. Periode pemasakan kira-kira membutuhkan waktu kira-kira-kira-kira 30 hari.

2.4. Silikat

Salah satu komponen utama tanah mineral adalah silikat (Krauskopf, 1967;Takahashi dan Miyake, 1977). Hal tersebut tercermin dalam jumlah Si yang melimpah pada kerak bumi (Beckwith dan Revee, 1963).

Silikat merupakan penyusun dari sepuluh hingga lima puluh persen abu jaringan tanaman dan binatang. Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa silikat diperlukan untuk pertumbuhan padi, terutama pada tanah-tanah yang yang

(9)

kekurangan silikat tersedia. Sommer (dalam Okuda dan Takahashi, 1964), mengemukakan bahwa tidak adanya silikat dalam larutan hara nyata dapat menghambat pertumbuhan padi. Hal ini menunjukkan bahwa Si merupakan unsur hara yang bersifat ‘beneficial’ bagi pertumbuhan padi (Rahim, 1995).

Imaizumi dan Yoshida (1958) mengemukakan bahwa asam silikat yang larut dalam asam lemah berkorelasi baik dengan serapan silikat oleh tanaman, sedangkan silikat yang larut dalam basa tidak mencerminkan ketersediaan silikat untuk tanaman.

Pengaruh positif silikat terhadap pertumbuhan tanaman tersebut menurut Silva (1971) sebagai akibat dari: (1) adanya kenaikan penyerapan fosfor oleh tanaman; (2) penggunaan fosfor oleh tanaman lebih efektif; (3) kadar kalsium, kalium dan basa lain dalam tanaman meningkat; dan (4) kadar silikat dalam tanaman juga meningkat.

Kekurangan silikat pada padi dapat menimbulkan gejala daun bagian bawah berwarna coklat dan sewaktu-waktu dapat terjadi nekrosa, abu-abu dan akhirnya menjadi bercak daun. Penyakit ini lambat laun dapat juga terjadi pada daun teratas, dan kulit gabah umumnya berwarna coklat gelap serta gabah lebih kecil dibandingkan dengan yang tumbuh normal (Mitsui dan Takatoh, 1963).

Pada umumnya pupuk silikat diperoleh dalam bentuk slag (sisa-sisa besi, feronikel dan peleburan bijih mangan). Susunan mineralogi slag sangat kompleks. Beberapa mineral silikat utama yang terdapat dalam slag adalah walastonit, dikalsium silikat, gehlenit, anortit dan sebagainya (Oota, 1979). Oleh karena slag

mempunyai daya larut yang berbeda-beda, maka pengaruh slag berbeda menurut jenis mineral silikat yang dikandungnya.

2.5 Logam Berat dalam Tanah

Logam berat merupakan suatu unsur logam yang tergolong sebagai unsur dengan berat molekul yang tinggi. Beberapa unsur logam merupakan unsur logam berat yang sering dihasilkan oleh proses undustri antara lain Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Chromium (Cr), Cadmium (Cd), Air raksa (Hg), Nikel (Ni), Seng (Zn), dan Arsenik (As). Unsur-unsur tersebut sudah dapat menjadi racun bagi makhluk hidup dalam kadar yang rendah (Anonim, 1976)

(10)

Subowo, et al., 1999 menyatakan bahwa adanya logam berat dalam tanah pertanian dapat menurunkan produktivitas pertanian dan kualitas hasil pertanian selain dapat membahayakan kesehatan manusia melalui konsumsi pangan yang dihasilkan dari tanah yang tercemar logam berat tersebut.

Kandungan logam berat di dalam tanah secara alamiah sangat rendah, kecuali tanah tersebut sudah terlebih dahulu tercemar (Tabel 1). Kandungan logam berat dalam tanah sangat berpengaruh terhadap kandungan logam pada tanaman yang tumbuh di atasnya, kecuali terjadi interaksi di antara logam itu sehingga terjadi hambatan penyerapan logam tersebut oleh tanaman. Akumulasi logam dalam tanaman tidak hanya tergantung pada kandungan logam dalam tanah, tetapi juga tergantung pada unsur kimia tanah, jenis logam, pH tanah, dan spesies tanaman yang sensitif terhadap logam berat tertentu (Darmono, 1995). Tabel 1. Kandungan Logam Berat dalam Tanah Secara Alamiah

Unsur Logam Kandungan dalam tanah

As (Arsenik) ppm 100 Co (Kobalt) 8 Cu (Tembaga) 20 Pb (Timbal) 10 Zn (Seng) 50 Cd (Cadmium) 0.08 Hg (Merkuri) 0.03

Sumber : Peterson dan Aloway, 1979 dalam Darmono, 1995.

Menurut Darmono (1995), interaksi logam berat lingkungan tanah dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : a) proses sorbsi atau desorbsi, b) difusi pencucian, dan c) degradasi.

Referensi

Dokumen terkait

Kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Kebersihan, Pertamanan dan Perkuburan dan Bidang Perumahan, Pemukiman dan Air Bersih Pada Seksi Pengembangan Air Bersih dan Sanitasi Dinas

Since 2009 Telkom expanded its business portfolio into TIMES: Telecommunication, Information, Media &amp; Edutainment, and Service.. Telkom

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2013 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

[r]

Director of Enterprise &amp; Business Service : Muhammad Awaluddin Director of Wholesale &amp; International Service : Ririek Adriansyah.. Director of Consumer Service :

Dengan ini kami mengundang Perusahaan Saudara untuk mengikuti Pembuktian Kualifikasi Perusahan untuk:. Pekeriaan Lokasi Sumber

Pada hari ini hari Rabu tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Mei tahun Dua Ribu Tiga Belas,kami yang bertanda tangan dibawah ini selaku Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang

Until September 29, 2011, Telkom has bought back 141.31Mn shares through the Indonesia Stock Exchange (“IDX”) and New York Stock Exchange (“NYSE”).. amounting Rp1.03Tn or 21% of