• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Struktur Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-Ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deskripsi Struktur Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-Ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SUKU TAMIANG DI KABUPATEN ACEH TAMIANG

2.1 Letak Geografis dan Alam Kabupaten Aceh Tamiang

Tamiang merupakan perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas 1.957,02 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2010 berjumlah 251.914 jiwa. Secara gografisnya Kabupaten Aceh Tamiang terletak di bagian timur Provinsi Aceh pada posisi 97o43’41o,51” – 98o14’45o41” Bujur Timur 03o53’18o81” – 04o32’56o76” Lintang Utara dengan batas batas wilayah sebagai berikut :

a. Di sebalah barat berbatasan dengan kecamatan Langsa Timur.

b. Di sebalah timur berbatasan dengan kecamatan besitang kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

c. Di sebalah utara berbatasan dengan selat malaka / selat Sumatera. d. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi.

2.1.1 Iklim

(2)

2.1.2 Wilayah

Wilayah Tamiang terbagi atas tujuh Kecamatan yaitu sebagai berikut: 1. Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulau Tiga. 2. Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di Sungai Liput.

3. Kecamatan Kota Kualasimpang dengan pusat pemerintahan di Kota Kualasimpang.

4. Kecamatan Seruway dengan pusat pemerintahan di Seruway. 5. Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu. 6. Kecamatam Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru.

7. Kecamatan Rantau dengan pusat pemerintahan di Rantau (Kecamatan ini merupakan Kecamatan Termuda hasil Pemekaran dari Kecamatan Kejuruan Muda, diresmikan pada tanggal 9 September 2000).

Setelah Tamiang disahkan menjadi Kabupaten pada tahun 2002. Kecamatan Manyak Payed yang pusat pemerintahan di Tualang Cut bergabung kedalam wilayah Tamiang, dan berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur dengan demikian Kabupaten Aceh Tamiang menjadi 8 Kecamatan.

2.2 Bahasa dan Tulisan 2.2.1 Bahasa

Bahasa Tamiang seperti bahasa-bahasa lainnya di Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia namun yang menjadi keunikan bagi suku perkauman Tamiang 6 adalah selain bahasanya bahasa Tamiang suku dan

(3)

daerahnya juga bernama Tamiang. Masih sulit untuk diselusuri dan ditentukan mana diantara ketiga komponen tersebut (suku, wilayah, atau bahasa) yang lebih dahulu yang menyandang nama Tamiang.

Dalam menggunakan bahasa didaerah Tamiang ini dikenal dengan nama bahasa Kampong (bahasa Tamiang) yang mempunyai tiga dialek tetapi bagi suku perkauman Tamiang dapat dipahami walaupun dalam beberapa isitilah terdapat perbedaan pengertian. Meskipun dialek bahasa Tamiang terdiri dari tiga dialek yaitu: dialek ilek (dialek hilir), dialek tengah, dan dialek hulu. Nampun warganya saling memahami dan berpadu kuat sesuai dengan pesan raja Muda Sedia ‘’ller

boleh pecah. Ulu boleh pecah Tamiang tetap bersatu’’. Seperti yang diterangkan

diatas bahwa dialek bahasapun dipengaruhi oleh perbauran antara suku Gayo, Aceh, dan Melayu Deli.

2.2.2 Tulisan

Tulisan sistem huruf yang khas kepunyaan suku perkauman Tamiang asli zaman dahulu tidak ada. Tulisan-tulisan Tamiang menggunakan huruf Arab Melayu. Huruf ini dikenal setalah datangnya agama Islam di Aceh merupakan huruf-huruf yang banyak dijumpai pada batu nisan raja-raja. Sampai saat ini tulisan inilah yang digunakan dikalangan sebagai orang-orang tua. Bagi kalangan muda yang sebagian besar mengikuti pendidikan modern maka huruf ini hampir

(4)

tidak dikenal lagi mereka mengenal huruf-huruf yang digunakan di sekolah yaitu Latin.

2.3 Mata Pencaharian Hidup

Suku Perkauman Tamiang umumnya hidup dari hasil sawah mereka (dalam bahasa Tamiang sawah disebut belang atau hume). Sawah ini dibentuk berpetak-petak yang dipisahi dengan “batas” (pematang). Pengairan disawah sangat tergantung pada turunnya hujan. Sehingga tanaman padi hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun. Sawah dibajak dengan memakai sapi atau karbau memakan waktu sampai satu bulan (sekarang telah banyak menggunakan peralatan modern dengan tractor atau jacktor dan telah ada pengairan (irigasi), serta dengan berbagai komoditas padi yang dibudidayakan sehingga penanaman dapat dilakukan lebih dari satu kali setahun).

Di samping berbelang (sawah). Suku perkauman Tamiang juga mengerjakan ladang (dalam bahsa Tamiang ladang disebut padang) biasanya padang mereka agak jauh dengan desa tempat tinggal mereka. Ladang dibuka (dikerjakan) dengan sistem menebang dan membakar hutan yang letaknya ada sebagian dilerang bukit. Pekerjaan berladang ini merupakan pekerjaan sambilan yang dikerjakan dengan mencangkul tanah. kemudian baru ditanam dengan berbagai macam tanaman seperti padi darat, cabai, jagung, dan tanaman palawija serta sayur-sayuran lainnya (holtikultura).

(5)

perahu dayung (sampan) cara menangkap ikan udang dan kepiting dilakukan dengan beberapa cara diantaranya ngejang yaitu bubu yang dibuat dari rotan dengan bentuk melingkar yang panjangnya sekitar1 meter dan dengan diameter 0,5 meter, salah satu ujungnya ditutup dan ujungnya yang lain dibuka sebagai pintu masuk dengan cerocok atau jeruji yang berbentuk kerucut dipasangkan menjorok kebagian dalam berfungsi agar ikan dan binatang lain yang sudah masuk tidak akan berani keluar lagi. Bubu tersebut dikelilingi (dipagar) dengan jang yang terbuat dari rotan juga bentuknya seperti krei.

Disamping itu juga alat yang biasa dipakai adalah pancing atau kail, jaring, jala, tombak, ambe (jaring berbentuk hampir seperti kerucut yang dipsang dekat muara sungai atau sering tanggok yang berdiameter 3-4 meter dan panjang 5-6 meter). Khusus untuk kepeting digunakan alat yang diberi nama “angkol” yaitu jaring yang dipasang pada tangkai yang terbuat dari bambu dengan bentuk melengkung dan bersilang empat, panjang sisi sekitar 30 cm di persilangkan tangakai inilah digantung umpan (biasanya ikan-ikan busuk atau sejenisnya).

2.4 Sistem Kekerabatan

(6)

untuk anak mereka berdasarkan keturunan fungsi dan status sosial dari keluarga si gadis sebaiknya orang tua si gadis menerima lamaran tersebut sesuai pula dengan ketentuan diatas, hal ini berlaku timbale balik antara keluarga laki-laki maupun perempuan.

Perwakilan juga sebagai upaya untuk melanjutkan keturunan, oleh sebab itu pasangan dari anak mereka harus benar-benar diketahui dahulu asal usulnya sehingga keterunan yang dihasilkan juga memiliki status yang jelas dalam suatu keturunan misalnya anak keturunan raja dengan anak yang mempunyai keturunan yang sama yang jelas setiap anak tidak akan dikawinkan dengan anak yang tidak diketahui asal-usul keluarganya baik anak laki laki maupun anak perempuan.

2.5 Sistem Kemasyarakatan

Kesatuan teritorial dari bentuk yang terkecil sampai yang terbesar dalam suku perkauman (kumpulan beberapa kemukiman) dan kewedanaan yang terdiri dari beberapa kecamatan. Status kewedanaan kemudian berubah status menjadi Pembantu Bupati Wilayah III.

Perangkat-perangkat adat di desa yang sudah ada dalam suku perkauman Tamiang berdasakan kedudukan dan fungsinya adalah:

a. Urang tuhe kampong, sebagai penasehat gecik (kepala kampong). b. Imam, yang mengurus masalah didesa.

c. Ketue belang (tetuhe belang), yang mengurus masalah sistem persawahan. d. Pawang laot, yang mengatur masalah nelayan dan peraturan-peraturan

(7)

e. Pawang rimbe, yang mengatur masalah ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam memasuki hutan, dan peraturan membuka areal hutan.

f. Kepale pecan, yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan dan mengutip retribusi pasar (pecan).

g. Syahbandar, yang mengurus dan mengatur lalulintas laut dan sungai serta tambatan perahu dan sampan.

Pemerintahan kampong (desa) terdiri dari beberapa pejabat yaitu:

a. Gechik atau kepala desa, dalam suku perkauman Tamiang gechik ada juga yang menyebut datok berkewajiban menjaga ketertiban, keamanan dan adat dalam kampong (desanya) dan memberikan keadilan dalam setiap menyelesaikan perselisihan dengan berpegang teguh kepada langkah-langkah yang telah menjadi suatu keyakinan yang disebut dengan 16 falsafah (pusaka) Tamiang. Ke-16 falsafah tersebut adalah: kaseh, sayang, tilek, pandang, alang, tolong, berat, bantu, salah, tegah, benar, papah,

sidek, siasat, usul, dan periksa.

(8)

sesuatu yang memungkinkan dapat menghalangi penyelesaiannya maka harus tolong. Berat, janganlah memberatkan persoalan atau salah satu individunya, bila persoalan tersebut dirasa berat maka harus dibantu.

Salah, bila ada pihak yang memang nyata-nyata berbuat salah berilah petunjuk dan nasehat atau tegah. Benar, bila ada pihak yang benar maka tuntun atau papah agar tidak terseret dalam emosi yang membuat semakin ruwetnya persoalan. Jangan terlalu cepat mempercayai keterangan atau pengakuan suatu pihak untuk membuktikannya haruslah diselidiki atau sidek. Terhadap orang yang melakukan sidek juga harus ada orang lain yang menyelidiki yaitu siasat, guna melihat kejujuran orang yang melakukan sidek. Setelah segala tahap selesai barulah ada usul yang kemudian dilanjukan pada suatu periksa untuk mengambil keputusan.

Dengan ke 16 falsafah tersebut sebesar apapun permasalahan dikampong tetap diselesaikan dengan tidak ada satu pihakpun yang merasa dirugikan. Keterikatan adat jualah yang membuat masyarakat suku perkauman Tamiang tidak pernah merasa ketidakadilan dalam suatu penyelesaian permasalahan. Jabatan gecik biasanya dipilih yang pada waktu dulu tidak terbatas berapa lama periodesasinya.

(9)

menyangkut keagamaan maupun sosial misalnya kenduri. Pesta perkawinan dan lain sebagainya tidak afdhal dan tidak sempurna bila tidak ikut serta imam, oleh sebab itu imam benar-benar sebagai panutan dalam masyarakat dan orang yang mampu menyelesaikan seluruh persolan agama islam, sehingga keluarga imampun menjadi cerminan terhadap sikap dan prilaku dari pada imam tersebut. Dahulu imam ini dibawahi oleh Raje Imam yaitu orang yang memberi nasehat kepada setiap imam, dan Raje Imam ini juga yang berperan untuk melakukan pernikahan kepada setiap orang yang akan melakukan perkawinan. Setiap kecamatan hanya ada satu Raje Imam, namun sekarang jabatan ini sudah tidak ada lagi karena sudah ada lembaga pemerintah di Kecamatan yaitu Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA Kec) yang mengkoordinasi seluruh imam yang ada dalam Kecamatan tersebut,

(10)

Kemudian adalah gabungan dari beberapa kampong (desa) merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama. Jabatan Kepala Mukim dalam suku perkaumam Tamiang biasanya dijabat secara turun temurun, maka setiap yang menjadi kepala mukim adalah orang-orang tertentu yang memiliki status sosial, keturunan dan kemampuan yang diakui kepala mukim ini membawahi dari beberapa kepala desa dan merupakan tempat bermusyawarah kepada desa yang ada dalam kemukimannya. Untuk hal-hal tertentu terutama yang menyangkut adat dan pembangunan didesa meskipun telah mendapat suatu keputusan dalam musyawarah didesa namun tetap dibicarakan kembali dengan

kepala mukim.

Wilayah Tamiang merupakan bagian dari Daerah Provinsi Aceh, maka segala struktur dan Birokrasi Perintahan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Aceh oleh Pemerintah Pusat diberi hak penuh untuk mengurus daerahnya sebagai daerah istimewah yang kemudian Aceh dinamakan Provinsi Daerah Istimewah Aceh (Dista) sesuai dengan keputusan Perdana Menteri R.I. No. 1/Missi/1959 yang berarti istimewa dalam hal: (a) keagamaan, (b) peradatan, dan (c) pendidikan.

(11)

dangan syara’, adat dipangku, syara’ dijunjong, resam dijalin, qanun diator,

duduk setikar. Dalam kaitan falsafah ini membuktikan bahwa adat dan nilai-nilai agama tak dapat dipisahkan seperti satu adanya, dalam melaksanakan adat tetap berpegang pada ajaran agama, sehingga setiap menetapkan aturan adat tetap mengacu pada ketentuan agama yaitu agama Islam karena masyarakat suku perkauman Tamiang seluruhnya beragama Islam, kebiasaan adat dijalin dan hukum diatur dalam suatu musyawarah.

Agama Islam lebih menonjol dalam segala bentuk dan manifestasinya didalam masyarakat yang seirama dengan perlakuan adat. Sehingga kelihatanlah agama Islam telah mempengaruhi sifat kekeluargaan, seperti perkawinan, harta waris dan kematian, apalagi sejak berlakunya syariat Islam di Aceh segala sesuatu penyelesaian tetap mengacu pada ajaran Islam.

Keterikatan agama ini juga mempengaruhui dalam menentukan pendidikan, banyak masyarakat suku perkauman Tamiang memasukan anaknya pada sekolah-sekolah agama, kalaupun mereka sekolah disekolah umum namun pada siang atau sore hari bahkan malam hari mereka harus dididik dalam pelajaran agama. Hal ini juga yang membuat banyaknya Pasantren dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) didirikan didaerah ini.

(12)

Kabupaten kearah menuju Banda Aceh sebagai Ibu kota Provinsi). Disadari atau tidak keterikatan primordialisme telah mempengaruhi laju pembangunan di Aceh Timur, salah satu penyababnya karena birokrasi ditingkat Kabupaten lebih didominasi oleh orang-orang wilayah barat, sehingga Bupati Aceh Timur sejak zaman Orde Baru tidak pernah diduduki oleh orang wilayah timur (Tamiang). Perubahan yang dirasakan sangat lambat ini belum mampu untuk mangankat tingkat ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat seperti apatis meresponsif terhadap setiap pembangunan apalagi yang bersifat Swakarya, karena kebanyakan masyarakat lebih dibebani untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, dan banyaknya janji-janji yang diucapkan oleh pemimpin tidak pernah dijalankan secara konsekwen, perubahan kebudayaan dalam arti meteri hampir tidak kelihatan. Komunikasi dan keamanan telah terakumulasi dalam bentuk ketakutan.

2.6 Sistem Kepercayaan Animisme

Pujaan disini dapat diartikan kepada segala sesuatu upaya untuk menakhlukkan atau membuat orang atau sesuatu yang mampu menerima menjadi takluk atau tertarik mendengarnya sehingga dapat menurut.

Pada awal mulanya dizaman sebelum Islam masuk ke Aceh, Orang Tamiang memiliki kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan kepada serba sukma (segala roh yang mendiami tempat-tempat tertentu). Ada 4 pokok pandangan (anggapan) terhadap kepercayaan animisme ini yaitu:

(13)

3. Roh-roh manusia yang mati mempengaruhi keadaan hidup bagi manusia yang masih hidup oleh sebab itu boleh dipuja.

4. Dewa-dewa, jin-jin dan keadaan alam gaib yang juga mempengaruhi keadaan manusia yang masih hidup wajib dipuja.

Untuk memupuk dan mempertebal rasa keberanian dan keyakinan pada diri sendiri dalam suku perkauman Tamiang digunakan juga beberapa rangkaian kata yang merupakan mantra-mantra, baik merupakan hasil pujaan terhadap dewa-dewa dan jin-jin maupun yang merupakan kepercayaan belaka. Untaian kata-kata itu secara ilmu bahasa sukar untuk dapat dikatakan apakah itu berbentuk pantun, syair atau jenis lain, karena kadang kala dari suatu rangkaian itu dapat berbaur antara beberapa jenis hasil sastra lama.

Hampir disetiap kegiatan masyarakat tidak terlepas dari berbagai pujaan-pujaan, seperti: turun kesawah, menanam padi, mengetam padi, mengerik padi, mendirikan rumah, perkawinan, kematian, melahirkan anak dan pemujaan-pemujaan lainnya. Arwah nenek moyang yang mereka puja, berguna untuk melindungi anak cucuk mereka dari segala bencana, dibuatlah berbagai syarat untuk menghindari kemurkaan dan amarah dari arwah-arwah nenek moyang yang dapat memberi bencana yang tidak baik tersebut. Pemujaan ini dapat dilakukan secara langsung maupun dengan perantara pawing/guru yang telah dapat berhubungan langsung dengan benda (roh-roh) yang dipuja.

(14)

Buaya, sebagai penghormatan maka dipanggil dengan sebutan “nenek” atau

“datok. Bila pemujaan tersebut telah menyatu sebagai satu kehidupan dalam diri

si pemuja, maka binatang-binatang ini dapat menjadi penjaga terhadap sesuatu yang tidak senonoh didalam kampung atau dimana sipemuja berada. Bila hal ini terjadi tanpa perlu dipanggil binatang-binatang ini akan datang sendiri untuk memporak porandakan sipelaku maksiat/kejahatan tersebut.

2.7 Sistem Kesenian

Seni budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu suku bangsa selalu mempunyai pola dan corak yang khusus, pola dan corak yang khusus ini pula yang dapat membedakan antara seni budaya suatu suku bangsa dangan suku bangsa lainya. Suatu kelompok masyarakat dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari dalam lingkungan kebudayaannya, mereka tidak akan pernah lagi meliht corak khas kebudayaannya, sebaliknya terhadap kebudayaan suku bangsa lain mereka akan merasakan corak khas tersebut apalagi corak khas itu sangat berbeda dengan corak kebudayaan yang mereka miliki.

Koentjaranungrat dalam buku Antropologi menyatakan bahwa “corak khas

(15)

Seni budaya yang dimiliki oleh suku perkauman Tamiang adalah salah satu dari sekian banyak seni budaya dari suku bangsa lainya memiliki pola dan corak yang spesifik. Seni budaya ini lahir dari suatu kebiasaan yang beradaptasi dari kolompok masyarakat yang kemudian menimbulkan suatu kesadaran identitas dan diikat pula dengan kesatuan bahasa sehingga menimbulkan rasa memilki yang mengikat.

2.7.1 Seni Tari dan Nyanyian

Dalam seni budaya suku Tamiang yang tradisional sukar untuk menentukan apakah tari mengikuti nyanyi atau nyanyi pengiring tari. Karena setiap tari di daerah Tamiang selalu disertai dengan nyanyian berbentuk syair ataupun berbalas pantun. Pola dasar dari gerak tari pada seni budaya suku perkauman Tamiang adalah gerak melingkar atau saling memotong silih berganti, dengan hentakan kaki sebagai irama dasar dan ditingkahi oleh suara gelang kaki. Setelah berkembang barulah diikuti diiringi dengan instrument yang sederhana seperti gendang, seruling, dan biola. Namun dibeberapa tempat yang terpencil tarian ini hanya diiringi oleh irama lesung ataupun ketukan pada kayu yang disusun pada unjuran kaki (terdiri dari tiga atau lima potong kayu).

Referensi

Dokumen terkait