• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB II"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

AGAMA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL

II.1. Sejarah Terbentuknya Agama Dalam Praanggapan Manusia Modern

Menurut praanggapan manusia modern, sejarah terbentuknya agama bermula dari

keberadaan manusia sebagai makhluk beragama(homo religious). Dalam pemikiran manusia modern, sebagai makhluk beragama manusia berbeda dengan makhluk lain, dimana manusia

tidak hanya membutuhkan sesuatu yang bersifat materiel biologis seperti: bertempat tinggal,

makan, minum, dan kawin, tetapi juga sesuatu yang bersifat rohani seperti berbakti,

berrekreasi dan rasa bahagia.1 Dalam menapaki perjalanan hidup guna untuk memenuhi

semua kebutuhannya, manusia menyadari bahwa mereka berulang kali ada dalam

ketidakpastian. Tidak semua yang menjadi keinginan manusia, baik itu keinginan yang tinggi

maupun keinginan yang rendah, dapat dicapainya, sekalipun manusia telah merencanakan

dengan perhitungan yang sangat cermat.

Baik manusia primitif yang batas-batas kemampuannya lebih sempit akibat dari

kurangnya pendidikan dan sarana-sarana yang dimilikinya, maupun manusia modern yang

lingkup kemahirannya dapat dikatakan sangat luas berkat pendidikan intelektualnya, pada

suatu titik tertentu mereka sama-sama menemukan dirinya ada dalam ketidakpastian dalam

mencapai cita-citanya baik yang sangat berguna bagi kepentingan pribadinya maupun untuk

kepentingan banyak orang. Berlandaskan pada pengalamannya, manusia juga menginsafi

bahwa dalam hidup ini, mereka memiliki ketidakmampuan dalam menjawab semua

persoalan hidup. Manusia mempunyai keterbatasan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan

fundamental, seperti pertanyaan: mengapa ada penyakit, mengapa manusia harus mati,

mengapa terjadi musibah yang mengerikan itu, apakah ada makna dibelakang semua kejadian

itu. Bertolak dari dua kelemahannya ini, manusia tidak menyerah kepada nasib, namun justru

melihat seluruh kompleks kelemahannya bukan sebagai rintangan yang menghalangi proses

perkembangannya, melainkan sebagai tantangan yang harus diatasi, minimal untuk

mengurangi pengaruh buruk dari ketidakpastian dan keterbatasan manusia.2

1

H.Dadang Kahmad,Sosiologi Agama,Cetakan Kelima(Bandung:Penerbit PT Remaja Rosdakarya,2009),19.

2

(2)

Dalam rangka berproses untuk bertumbuhkembang sebagai makhluk beragama,

manusia senantiasa berusaha menjinakkan lingkungan hidupnya yang ganas, dan selalu

berjuang untuk menguasai dan mengendalikannya. Hasil usaha dan perjuangannya dirakit

dalam suatu sistem sosial kultural yang semakin hari semakin disempurnakan untuk dijadikan

tempat tinggal dan tempat bersandar yang aman sentosa. Usaha-usaha manusia ini bergerak dalam dua bidang kebutuhan, yaitu kebutuhan akan kebahagiaan sekarang ini dan kebutuhan

akan kebahagiaan nanti. Dua jenis kebutuhan yang sangat mendasar ini dapat dikatakan

dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam dunia empiris dan dunia

supra-empiris. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain digambarkan sebagai di atas dunia ini,

dunia transenden, yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia, karena ada di luar dunia

pengalaman ini. Dalam mencapai dua jenis kebahagiaan yang dibutuhkannya, manusia

melakukan usaha religius dan usaha nonreligius. Manusia menempuh usaha nonreligius,

selama ia masih sanggup meraih kebahagiaan itu dengan kekuatan manusiawinya sendiri.

Sedangkan jalan religius ditempuhnya tatkala manusia merasa tidak berdaya sama sekali

untuk merebut kebahagiaan itu. Dalam usaha religius, manusia tidak menggunakan kekuatan

sendiri, tetapi tenaga lain yang dipercayai berada di dunia lain yang tidak dapat dijangkau

oleh pancaindera, namun dirasa bisa membantunya.3

Dalam usaha religiusnya sebagaimana termaksud di atas, sejarah menunjukkan bahwa

agama mengalami perkembangan bentuk-bentuk, dari bentuk keagamaan yang masih

sederhana menuju bentuknya yang modern. Adapun urutan perkembangan bentuk-bentuk

keagamaan itu adalah mulai dari munculnya pra-animisme yang meliputi magisme, animisme

dan kemudian agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan kekuatan gaib yang

dipercayai berada di dalam benda-benda yang tidak bernyawa seperti batu yang aneh dan

keris. Dalam animisme manusia berhubungan dengan dengan makhluk yang bernyawa,

khususnya makhluk halus atau roh-roh yang dipercayai memiliki kekuatan lebih tinggi

daripada manusia. Misalnya para arwah nenek moyang yang dipercayai sebagai roh-roh yang

menguasai sungai dan gunung. Dalam agama, manusia mengadakan hubungan dengan roh

yang tertinggi yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tidak terbatas yang oleh

agama-agama dunia disebut Tuhan, yang menciptakan dan menguasai alam semesta. Berdasarkan

pada sejarah terbentuknya agama, beberapa ahli seperti E.B.Tylor, James Fraser dan Andrew

Lang menyimpulkan bahwa agama itu ialah suatu sistem sosial yang dibuat oleh manusia,

berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris atau supernatural yang dipercayai dan

3

(3)

didayagunakan manusia untuk menentukan corak dan cara hidup dalam meraih apa yang

menjadi kebutuhannya.4

II.2. Pendefinisian Agama Secara Etimologis

Pengertian tentang agama bisa diungkap dalam definisi dan bisa pula dalam teori.

Namun definisi dan teori itu berbeda. Definisi menjelaskan suatu hal sehingga sedapat

mungkin semua yang didefinisikan tercakup dalam definisi dan yang tidak termasuk dalam

definisi tidak termasuk. Definisi tidak menjelaskan hubungan yang didefinisikan dengan hal

lain. Dalam definisi tidak dijelaskan tentang hubungan antara variabel bebas dengan variabel

terkait, antara faktor yang mempengaruhi dengan faktor yang dipengaruhi, atau antara

variabel independen dengan variabel dependen. Definisi adalah jawaban dari kata “what”. Oleh karena demikian pemahaman definisi, maka definisi tentang agama pada prinsipnya

menjelaskan apa itu agama.Sedangkan teori itu menjelaskan hubungan antara dua hal atau dua variabel atau lebih, antara variabel dependen dan variabel independen. Teori merupakan

jawaban dari pertanyaan “why” atau “how”. Oleh karena begitu pemahaman tentang teori, maka teori tentang agama pada prinsipnya menjelaskan hubungan yang ada antara agama dan

penganut agama, antara agama dan masyarakat.5

Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta. Agus Bustanuddin

mengatakan agama berasal dari kata a yang berarti tidak dan gam yang berarti pergi. Maka agama berarti “tidak pergi, tidak hilang atau tidak putus”. Agama diartikan demikian agaknya karena agama diajarkan oleh penganutnya secara turun-temurun atau karena agama pada

umumnya mengajarkan kekekalan hidup atau kematian bukanlah akhir kehidupan karena ada

lagi kehidupan selanjutnya di alam gaib dan akhirat.6 Oleh Dadang Kahmad kata gam

diterjemahkan dengankacau sehingga agama berarti tidak kacau. Bahwa agama berarti “tidak

kacau”, tulis Dadang Kahmad mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan

yang mengatur kehidupan manusia agar manusia sebagai penganut agama memiliki

pandangan hidup dan mempunyai jalan hidup yang tidak kacau tetapi teratur.7Menurut Harun

Nasution kata agama diartikan dengan “tuntutan”. Dengan mengartikan kata agamasebagai

4

D.Hendropuspito,O.C, Sosiologi Agama . . . , 33-4. Daniel L. Pas,Eight Theories of Religion,Second Edition(New York:Oxford University Press,2006),88-90.

5

Agus Bustanuddin,Agama dan Fenomena Sosial Buku Ajar Sosiologi Agama(Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia,2010),32-3.

6

Ibid, 29. 7

(4)

tuntutan, Harun Nasution memandang agama sebagai ajaran yang mengandung tuntutan

untuk mengerjakan ibadat dan tuntutan untuk menghindari perbutan haram.8

Kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris dan religie

dalam bahasa Belanda, dimana keduanya berasal dari bahasa latin religio dari akar kata

religare yang mempunyai beberapa arti yaitu: membaca, mengumpulkandan mengikat. Alasan kata yang mengandung tiga arti ini dipakai oleh agama karena ajaran agama yang

terkandung dalam kitab suci memang sering dibaca. Arti mengumpulkan juga dapat dipahami

karena ajaran agama dipercayai sebagai kumpulan cara mengabdi kepada Tuhan. Maksud lain

dari arti mengumpulkan ini juga dapat dihubungkan dengan sifat ajaran agama yang

mengumpulkan segenap aspek hidup dan kehidupan manusia penganutnya. Kemudian arti

mengikat juga dapat dipahami karena ajaran agama memang mengikat penganutnya untuk

melakukan suruhan dan menghentikan larangan.9

Menurut Agus Bustanuddin, dalam bahasa Arab agama disebut sebagai al-din. Lebih jauh Bustanuddin menunjukkan bahwa kata al-din mengandung beberapa arti yaitu: paksaan

dan tekanan, ketaatan dan peribadatan, pembalasan dan perhitungan, sistem dan cara. Bahwa

agama diartikan sebagai paksaandan tekanan karena agama memang dipandang sebagai

ajaran yang memaksa dan menekan penganutnya untuk mengamalkan ajarannya. Kalau tidak

diamalkan, Tuhan akan murka kepada penganut agama yang tidak mengamalkan itu, dan di

akhirat kelak akan mendapat azab-Nya berupa masuk ke dalam api neraka. Bahwa agama

didefinisikan sebagai ketaatandanperibadatan karena agama memang dipandang sebagai

ajaran yang mengandung tuntutan Tuhan agar kita taat dan beribadah kepadaNya. Bahwa

agama dimaknai sebagai pembalasandan perhitungankarena agama memang dilihat sebagai

ajaran yang memuat adanya pembalasan bagi setiap amal yang dikerjakan di dunia ini, baik

pekerjaan baik maupun pekerjaan buruk. Bahwa agama diartikan sebagai sistemdan

carakarena agama memang merupakan ajaran tentang sistem dan cara menjalani kehidupan

dalam berbagai aspeknya.10 Merujuk Al-Quran surat Al-Kafirun ayat 7 yang berbunyi:

“bagimu al-din kamu dan bagiku al-din aku”, mengindikasikan bahwa pengertian al-din yang

8

H. Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Jilid I (Jakarta:Universitas Indonesia Press,1979),1-2.

9 Ibid. 10

(5)

berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya tidak ditujukan kepada salah satu

agama. Al-din adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.11

II. 3. Pendefinisian Agama Dalam Kehidupan Masyarakat

Pengertian agama sebagaimana didefinisikan atau dipahami masyarakat, sama

beragamnya dengan arti agama secara etimologis. Pengertian agama dalam kehidupan

masyarakat yang beragam itu, tidak selalu sama dengan pengertian agama menurut bahasa.

Keragaman pengertian agama di masyarakat, atau dengan kata lain, beragamnya sudut

pandang dan persepsi tentang agama dari manusia penganut agama itu, disebabkan karena

dalam diri agama itu sendiri terkandung dua faktor yang berbeda jenis tetapi sama-sama

dinamis yaknitradisi kumulatif yang historisdaniman personal manusia. Tradisi kumulatif

historis adalah kehidupan religius pada masa silam sebagai gambaran konkret agama,12 yang

dialihkan dari satu generasi ke generasi lain. Sedangkan iman personal manusia yang

merupakan konseptualisasi hati manusia atas Sang Transenden, ada di dalam hati manusia

melampaui tradisi-tradisi agama.13

Beragamnya pemahaman masyarakat tentang agama, selain diakibatkan karena dalam

diri agama itu terkandung faktor-faktor tradisi kumulatif historis dan iman personal manusia,

juga disebabkan karena agama itu terdiri dari beberapa unsur. Beberapa unsur yang melekat

pada agama itu, sebagaimana dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes terdiri

dari: creed, code of behaviour, cult dan community-structure.14 Dengan adanya creed yang merujuk pada aspek kognitif dari agama, manusia dimungkinkan untuk membuat pilihan,

menafsirkan setiap kejadian dan merencanakan tindakan. Dengan adanya code of behaviour

yang merujuk pada aspek afirmatif dari agama, manusia mengafirmasi kredonya. Dengan

adanya unsur cult yang melekat pada agama, manusia tertuntun untuk berkomunikasi dengan

creed dan juga dengan sesama yang sewarga, sehingga cult itu bisa menambah intensitas kebersamaan mereka. Dengan adanya unsur community-structure yang tidak bisa lepas dari agama, yakni komunitas yang bersama-sama menjalankan creed, code of behaviour dan

11

H.Dadang Kahmad,Sosiologi Agama . . . , 13. 12

Contoh yang paling konkret menggambarkan tradisi kumulatif historis itu adalah: bangunan-bangunan peribadatan, kitab-kitab suci, sistem teologi, kode moral dan mitos-mitos.

13

Wilfred Cantwel Smith,The Meaning and End of Religion,terjemahan(Bandung:Mizan,2004),269. 14

(6)

cult,senyatanya agama itu melahirkan kesadaran pada manusia untuk memiliki kelompok keagamaan.15

Bertolak dari keberadaan agama seperti termaksud di atas, dan mencermati proses

pemahaman masyarakat terhadap agama, maka pemahaman dan penerimaan masyarakat

terhadap agama terkesan ambivalen. Ada model pemahaman dan penerimaan masyarakat

yang melihat agama itu sebagai kepercayaan yang pada satu pihak membangkitkan rasa

persatuan diantara komunitas yang seagama, namun pada pihak lain mempertajam konflik

antar penganut agama yang berbeda. Ada jenis sikap dan penerimaan masyarakat yang

memandang agama itu sebagai paham yang di satu pihak dapat memberikan rasa bahagia,

namun di lain pihak dapat juga menimbulkan rasa berdosa yang mendalam. Ada model sikap

dan penerimaan masyarakat yang menyikapi agama itu pada satu sisi sebagai keyakinan yang

menggerakkan optimisme dalam mengahadapi berbagai masalah kehidupan, namun pada sisi

lain sebagai keyakinan yang melahirkan sikap pasrah saja kepada nasib yang menimpa

mereka. Ada model sikap dan penerimaan masyarakat yang memposisikan agama itu di satu

pihak sebagai paham yang dapat membuat mereka menjadi lebih supel, terbuka atau inklusif

dalam bergaul, namun di lain pihak sebagai paham yang harus dipegang secara fanatik,

sehingga mereka lebih bersikap tertutup, eksklusif dan kaku.16

Melihat sejarah terbentukya agama, menyimak pendefinisian agama secara etimologis,

mencermati pemahaman masyarakat tentang agama yang sangat beragam karena agama

memang mengandung beraneka faktor dan unsur, dapat disimpulkan bahwa agama itu

kompleks. Dalam rangka memilah-milah agama yang kompleks itu agar kita bisa

memahaminya, sesuai dengan segi dan sisinya, nampaknya baik kita mengingat apa yang

dikatakan Joachim Wach bahwa agama itu memiliki tiga ekpresi umum. Secara teoritis

agama merupakan sistem kepercayaan. Secara praktis agama adalah sistem ibadah. Dan

secara sosiologis agama adalah sistem hubungan masyarakat.17Berdasarkan pada eksistensi

agama yang bisa dipilah demikian, dan demi kemajuan kita dalam beragama di masyarakat,

yakni menghadirkan keberagamaan yang melahirkan kesejahteraan masyarakat, kita patut

memahami dan memaknai agama dalam pendekatan sosiologis lebih daripada pendekatan

teologis. Hal itu dikatakan demikian karena pemahaman dan pemaknaan agama dalam

15

Meredith B. McGuire,Religion:The Social Context(California:Wadsworth,1992),16. 16

Agus Bustanuddin,Agama dan Fenomena Sosial . . . , 30-1. 17

(7)

pendekatan teologis sangat berbeda sekali dengan pemahaman dan pemaknaan agama dalam

pendekatan sosiologis.

II.4. Pemahaman Dan Pemaknaan Agama Dalam Pendekatan Teologis

Dalam pendekatan teologis, masyarakat pada umumnya memahami dan memaknai

agama yang dianutnya itu, sebagai sebuah institusi pemilik kebenaran yang melangit bukan

kebenaran yang membumi. Maksudnya dalam pendekatan teologis, agama pada umumnya

dipahami oleh para penganutnya bukan sebagai sebuah institusi yang tengah mencari

kebenaran yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia, namun sebagai sebuah institusi

penerima wahyu dari Tuhan Sang Mutlak sehingga ia sekaligus adalah sebuah institusi

pemilik kebenaran mutlak.18 Kemudian pengalaman banyak masyarakat di berbagai tempat

menunjukkan bahwa, ketika klaim kebenaran mutlak dari agama yang dianut oleh

sekelompok masyarakat dihadapkan pada klaim kebenaran agama yang lain, tidak jarang

menimbulkan benturan, perselisihan bahkan peperangan yang bernuansa agama.

Bahwa sebuah agama yang mengekpresikan dirinya sebagai pemilik kebenaran mutlak,

selalu mengakibatkan adanya benturan di masyarakat adalah suatu hal yang sangat wajar

terjadi. Hal itu dikatakan demikian, karena senyatanya tidak ada satu agamapun dan tidak ada

seorang manusiapun dapat membuktikan secara empirik bahwa dirinya menerima penyataan

atau pewahyuan dari Tuhan. Memang Tuhan sebagai Sang Mutlak itu ada dan berhubungan

dengan manusia, namun Ia tidak pernah hadir secara empirik dalam kehidupan manusia,

sehingga manusia juga tidak dapat berkomunikasi secara langsung dan empirik denganNya.

Oleh karena itu, belum ada seorang manusia yang dapat membuktikan secara empirik bahwa

ia telah berjumpa dengan Tuhan Sang Mutlak itu. Penyataan Yang Mutlak dalam

kenyataannya selalu secara tidak langsung, yaitu bisa melalui penglihatan atau bisa dalam

mimpi. Kenyataan ini tidak dapat membuktikan bahwa penyataan Sang Mutlak itu adalah

suatu kebenaran yang bersifat empirik. Kenyataan seperti ini adalah kenyataan yang tidak

rasional, tidak berhubungan dengan akal pikiran manusia. Bahwa penyataan Sang Mutlak itu

tidak rasional, memang bukan harus diartikan sebagai sesuatu yang tidak benar.Namun ia tidak dapat dibuktikan seperti halnya menunjukkan vidio yang dapat dilihat secara obyektif.19

18

Peter Berger, “Religion and Global Society”, dalam Mark Juergensmeyer(ed.),Religion in Global Civil Society(New York:Oxford University Press,2005),21.

19

(8)

Bahwa penyataan Sang Mutlak kepada seseorang tidak dapat dibuktikan secara

obyektif, adalah karena penyataan itu bersifat subyektif. Penyataan yang bersifat subyektif itu

adalah berupa pemahaman, perasaan, kesadaran dan keyakinan seseorang akan keberadaan

Sang Mutlak yang tidak dapat dirasakan oleh semua orang secara sama. Pemahaman dan

keyakinan dari seseorang atau sebuah agama akan keberadaan Sang Mutlak yang demikian

ini, adalah sebuah pemahaman atau keyakinan mereka sendiri yang dibangun berdasarkan

interpretasi. Oleh karena pemahaman dan keyakinan seseorang atau sebuah agama akan

keberadaan Sang Mutlak dan tentang kebenaran mutlak bersifat interpretasi, maka seorang

manusia atau setiap agama tidak boleh mengklaim secara mutlak bahwa pemahaman dan

keyakinannya adalah benar seratus persen berasal dari Sang Mutlak, dan juga tidak boleh

memposisikan diri sebagai pribadi dan institusi pemilik Kebenaran Yang Mutlak.Hal itu

dikatakan demikian karena keyakinan seseorang atau sebuah agama akan Sang Mutlak dan

Kebenaran Mutlak, yang bertumpu pada interpretasi manusia atas pengalamannya dengan

Sang Mutlak, pasti banyak melibatkan unsur kemanusiaan dan kebudayaan yang mengitari

seseorang atau sebuah agama itu.20

Bahwa semua yang ada dalam setiap agama tidak sepenuhnya berasal dari Sang

Mutlak, sehingga agama tidak memiliki kebenaran mutlak, karena pemutlakan kebenaran itu

hanya berada dalam diri Sang Mutlak itu sendiri; tetapi justru semua yang ada dalam agama

adalah pemahaman manusia terhadap Sang Mutlak dalam budayanya masing-masing, terlihat

jelas dalam penamaan yang dilakukan oleh masing-masing agama akan Sang Mutlak itu.

Beberapa contoh dapat diungkap di sini, bangsa Yahudi menyebut Sang Mutlak itu Yahweh. Bangsa Arab menyebutNya Allah Subhanahu wa Tahala. Bangsa Indonesia menyebutNya Tuhan. Ketika Sang Mutlak itu dipahami secara budayawi seperti ini, maka pemahaman akan

Sang Mutlak itu menjadi pemahaman berdasar pada budaya dari masing-masing bangsa.

Penamaan Sang Mutlak itu sebagai Allah Subhanahu wa Tahala berasal dari budaya Arab. Penamaan Sang Mutlak itu sebagai Tuhan berasal dari budaya Indonesia.21

Melihat fakta bahwa pemahaman dan keyakinan manusia akan Sang Mutlak sangat

budayawi sifatnya karena dipengaruhi oleh aspek sosiokultural, maka pemahaman dan

pemaknaan agama dalam pendekatan teologis, yang melihat agama itu memiliki kebenaran

yang absolut karena mendapat wahyu dari Sang Mutlak, sangat tidak berdasar dan tidak

20

John A. Titaley,Religiositas di Alinea . . . , 29-32. 21

(9)

realistis. Oleh karena begitu realitanya, maka agama wahyu dan pemahaman agama hanya

berdasarkan pada pendekatan teologis, tidak akan pernah mampu menuntun masyarakat

mengekspresikan keberagamaan yang mewujudkan bumi bersukacita dalam damai sejahtera.

Dalam rangka menata masyarakat dan demi terciptanya dunia yang mensejahtera, maka

pemahaman dan pemaknaan agama dalam pendekatan sosiologis sangat patut dilakukan.22

II.5. Pemahaman Dan Pemaknaan Agama Dalam Pendekatan Sosiologis

Dalam memahami dan memaknai agama secara sosiologis, para sosiolog tidak

memposisikan agama sebagai ajaran Tuhan yang sakral tetapi sebagai fenomena sosial.

Dalam memposisikan agama sebagai fenomena sosial, para sosiolog membangun teori

tentang agama berdasar pada analisa terhadap cara beragama masyarakat. Dalam menganalisa

cara beragama masyarakat, para sosiolog menemukan bahwa cara beragama masyarakat

sering dipengaruhi oleh pranata kehidupan manusia diluar agama seperti : ekonomi, politik,

dan budaya. Para sosiolog meyakini bahwa kemiskinan, tekanan politik, dominasi ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta ekspansi budaya asing acapkali mempengaruhi kehidupan

beragama masyarakat. Berangkat dari keyakinannya ini, maka dalam membangun teori

tentang agama, para sosiolog mengkaji pengaruh dari berbagai pranata kehidupan terhadap

agama. Jadi titik tolak kajian para sosiolog dalam membangun teori tentang agama bukan

wahyu Tuhan atau ajaran agama mengenai suatu masalah, tetapi justru pranata sosial yang

diduga sangat mempengaruhi cara beragamanya masyarakat.23

Para sosiolog yang cukup berperan dalam pembahasan agama sebagai fenomena sosial

ialah: Karl Marx24, Max Weber25 dan Emile Durkheim.26 Masing-masing teori dari mereka

22

Agus Bustanuddin,Agama Dan Fenomena Sosial . . . , 34-35. 23

Ibid, 13-15. 24

(10)

tentang agama sebagai fenomena sosial yang melucuti corak transendental agama, namun

mendorong praktek agama yang bersanding dan bergulat dengan masalah-masalah sosial dan

dengan institusi-institusi sosial, guna untuk mensejahterakan masyarakat, dapat dipaparkan

seperti di bawah ini.

II.5.a. Teori Karl Marx Tentang Agama Sebagai Fenomena Sosial

Teori Marx tentang agama, berangkat dari pemahamannya tentang sejarah dan

kesadaran diri serta dibangun berdasarkan pada kritiknya terhadap pengeksploitasian agama

di Eropa yang dilakukan oleh negara dan kaum kapitalis pada jamannya.

Johnson,Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perpectives,Diindonesiakan oleh Robert M.Z.Lawang, Cetakan Kedua (Jakarta:PT Gramedia,1988), 122.

25

Max Weber lahir di Erfurt Thuringia 1864 tetapi dibesarkan di Berlin. Keluarganya adalah orang Protestan kelas menengah atas. Ayahnya adalah seorang hakim di Erfurt dan ketika ia dan keluarganya pindah ke Berlin dia menjadi seorang penasihat di pemerintahan kota dan kemudian menjadi anggota Prussian House of Deputies dan German Reichstag. Ayah Weber juga terlibat dalam Partai Liberal Nasional. Ayah Weber nampaknya tidak memiliki keyakinan yang mendalam atau idealisme yang tinggi, sehingga ia senang dengan kompromi politik dan menyukai kehidupan gaya berjuis. Ibunya yang bernama Helene Fallenstein Weber memiliki watak yang sangat berbeda dengan ayahnya. Keyakinan agama Ibu Weber serta perasaan saleh Calvinis yang ada dalam dirinya jauh lebih besar daripada suaminya. Ketika masih kecil Max Weber adalah seorang pemalu dan sering sakit, namun dia adalah seorang yang sangat jenius. Pada usia 18 tahun Weber belajar hukum di Universitas Heidelberg. Selama menjadi mahasiswa Max Weber berinteraksi dekat dengan tantenya Ida adik dari Ibunya yang kawin dengan Herman Baumgarten. Ida sama seperti Ibunya Weber adalah seorang yang sangat saleh. Paman dan tantenya ini hidup rukun, berbeda dengan ayah dan ibunya. Paman dan tantenya sangat memberi kehangatan emosional kepada Max Weber. Max Weber sangat dipengaruhi oleh paman dan tantenya. Sebagai akibatnya Weber sangat mengikuti ibunya. Weber menolak sikap ayahnya yang amoral dan mengarahkan perilakunya kepada ideal-ideal etika Protestanisme. Iklim sosial dan politik di Jerman pada masa Weber, juga diakibatkan oleh revolusi industri walaupun itu terjadi lebih kemudian di Jerman daripada di Prancis dan Inggris. Struktur politik dan sosial di Jerman pada masa Weber sangat tegang dan kontradiktif. Perkembangan industri dan kekuasaan ekonomi berjuis meluas dengn pesat di belahan barat Jerman, sedangkan di bagian timur Jerman masih didominasi oleh pola feodal tradisional dimana gaya hidup masih sangat aristokratik. Struktur ekonomi Jerman dikuasai oleh sistem industri dan kaum berjuis, sedangkan struktur poliitik dan sistem budaya masih dikuasai oleh nilai-nilai tradisional. Di atas kontradiksi internal yang sangat mendasar ini, ada panggilan pada bangsa Jerman untuk mewujudkan tujuan nasionalisme Jerman yakni Jerman yang kuat, satu dan dominan dalam bidang kebudayaan. Berdasarkan pada panggilan nasionalisme Jerman ini, maka sekalipun Max Weber simpatik terhadap masalah-masalah kelas pekerja, perhatian utama Weber adalah bahwa kelas pekerja itu harus terlibat dalam mendukung tujuan nasionalisme jerman. Informasi ini ada pada Doyle Paul Johnson,Sociological Theory Classical Founders and contemporary Perspectives,Diindonesiakan oleh Robert M.Z.Lawang, Cetakan Kedua(Jakarta:PT Gramedia,1988), 209-213).

26

(11)

Pemahaman Marx tentang sejarah berbeda dengan pemahaman Hegel walaupun Marx

dengan jujur mengakui bahwa Hegellah yang memberikan dia sebuah perangkat analisis

sejarah yang sangat penting. Menurut Hegel sejarah adalah perkembangan dan konflik

berbagai prinsip abstrak kebudayaan, agama, dan filsafat melalui proses dialektik. Bahwa

sejarah ada dalam proses dialektik, dijelaskan oleh Hegel, karena dalam sejarah selalu ada

konflik antara kondisi sekarang dengan kondisi sebelumnya, namun dalam setiap kondisi itu

terdapat benih-benih dari destruksi dan transformasi dirinya menuju tingkat yang lebih tinggi.

Lebih jauh, Hegel mengemukakan bahwa proses dialektika sejarah ini, berlangsung dalam

dunia ide melalui berpikir murni dan sempurna dalam dirinya di bawah kendali atau kontrol

“sang ide kekal”. Maksud Hegel, aktivitas-aktivitas berpikir di bawah bimbingan “sang idea

kekal” ini, berlangsung terpisah dari aktivitas-aktivitas nyata dalam dunia sosial.Manusia bekerja dengan kategori-kategori universal sebagai kebenaran-kebenaran kekal yang terberi

dalam pikiran manusia.27

Pendekatan Hegel terhadap sejarah seperti tersebut di atas bersifat idealistik,

transendentalis dan spekulatif. Pendekatan yang demikian ini cukup berpengaruh di Jerman

pada masa Marx. Para filsuf dan teolog kritis Jerman pun yang oleh Marx disebut “kaum

ideologi“ seperti Bruno Bauer sering terperangkap olehnya dan sulit melepaskan diri

darinya. Penilaian ini didasarkan pada fakta bahwa, ketika “kaum ideologi” Jerman mencoba

mengelaborasi pemahaman sejarah Hegel yang bercorak dialektis idealis, sebagai titik tolak

kritisisme mereka terhadap sistem sosial kapitalis pada jaman mereka, yang nyata-nyata

menimbulkan problem-problem material kehidupan, mereka senyatanya tetap berpegang pada

keyakinan bahwa pergulatan dialektis ide-ide lama dan baru yang merubah sejarah

berlangsung dalam dunia idea, sehingga mereka tidak mengambil bagian dalam kondisi

sosial-kritis. Melihat fakta ini, oleh Marx, kaum ideologi dikatakan tidak sungguh-sungguh

menggunakan filsafat atau ilmu untuk menangani problem-problem material kehidupan nyata

yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi dan sistem produksi masyarakat kapitalis.28

Sementara Hegel dan kaum ideologi Jerman berpendirian bahwa proses terbentuknya

dialektika ide-ide lama dan baru yang mentransformasi sejarah, ada pada dunia ide sehingga

kebenaran dalam pikiran manusia adalah kebenaran yang terberi oleh sang ide kekal, Marx

27

Greggory Baum, Religion and Alienation, A Theological Reading of Sociology,Second Edition(Ottawa:Saint Paul University,2006), 33. Robert C.Tucker,The Marx-Engels Reader(New York&London:W.W Norton&Company,1978),66-125.

28Rolan Boer, “Friends, Radical and Estranged: Bruno Bauer and Karl Marx”.Journal,

(12)

justru berpendapat bahwa proses dialektis ide-ide yang mentransformasi sejarah itu, dibentuk

dalam dunia material-sosial. Oleh karena proses dialektis antara ide-ide lama dan baru yang

mentrasformasi sejarah berlangsung dalam dunia sosial, maka menurut Marx , elemen utama

dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan sosial sehari-hari. Produksi dan

reproduksi sosial ini, dilakukan oleh manusia sendiri dalam dunia nyata sebagai pencipta

sejarahnya. Penciptaan sejarah manusia, dalam pengamatan Marx, dilakukan manusia di

bawah asumsi-asumsi dan kondisi-kondisi tertentu, serta berlangsung dalam kontestasi

konfliktual antara berbagai kekuatan kehendak, paham, cita-cita dan program. Produksi dan

reproduksi kehidupan sehari-hari, di mata Marx, menjadi medan pengembangan berbagai

teori atau ilmu29. Sebagai produksi sosial, teori atau ilmu itu, dalam pandangan Marx,

merupakan pengorganisasian konsep-konsep yang berlangsung dalam masyarakat, yang harus

digunakan secara efektif agar menjadi kekuatan praktis yang membebaskan dan mengubah

dunia.30

Pemahaman Marx mengenai kesadaran dirijuga tidak sama dengan pemahaman Hegel.

Menurut Hegel kesadaran diri merupakan konsep dasar utama yang mengintegrasikan proses

mengetahui manusia. Kesadaran diri ini, di mata Hegel, dibentuk melalui proses mental atau

berpikir secara abstraktif pada tataran ideal, dalam dunia idea, dunia yang mengatasi dan

terpisah dari dunia sosial material faktual. Lebih jauh Hegel mengemukakan bahwa

kesadaran diri abstraktif yang egoistik ini, melahirkan konsep-konsep berupa: relasi sosial,

karya manusia, dan ketidakbebasan manusia. Bagi Marx kesadaran diri abstraktif egoistik ini

memproduksi kesadaran diri palsu, yaitu suatu keadaan mental yang tercekoki oleh

konsep-konsep yang mengaburkan pemahaman masyarakat akan kekuatan-kekuatan yang secara

nyata membimbing dan mengarahkan pemikiran mereka. Oleh Marx kesadaran diri palsu itu,

dikarakterisasi sebagai ketidaksadaran manusia akan keasalan ide-ide yang mencekoki

mereka itu adalah dari dalam kondisi-kondisi sosial dan dan juga sebagai ketidaksadaran

manusia akan peran yang dimainkan oleh ide-ide termaksud dalam rangka mempertahankan

atau mengubah kondisi-kondisi yang melingkupi mereka.31

29

Robert C. Tucker,The Marx-Engels Reader . . . , 67,71,301. 30

Stephen A.Resnick and Richard D.Wolff, Knowledge and Class:A Marxian Critique of Political Economy (Chicago: University of Chicago Press,1989), 27. Lihat juga Robert C.Tucker,The Marx-Engels Reader . . . , 143-5.

31

(13)

Pemahaman Marx tentang kesadaran diriitu, sebagaimana menampak nyata dalam

pengembangan pikiran Marx yang dilakukan oleh George Lukacs dan Antonio Gramsci,

adalah kesadaran sosial yang bersifat riil dan komunal sehingga tidak bersifat individual. Hal

itu terjadi demikian, karena ia muncul dari kelompok kelas terjajah yang menceburkan diri

dan hidup dalam seluruh pengalaman kelas terjajah. Kesadaran diri yang demikian ini, bukan

merupakan bentukan realitas-realitas spiritual, tetapi justru ia terbentuk dari realitas-realitas

sosial. Oleh karena begitu pembentukannya, maka kesadaran sosial itu adalah expressi diri

dari masa kelas terjajah yang sadar akan penderitaannya, dan yang kini siap mewujudkan

mimpinya akan transformasi sosial melalui persuasi, intelektual, kultural dan moral.32

Pada jamannya, Marx memang melihat bahwa ide-ide yang berkuasa adalah ide-ide

kelas penguasa, yaitu kelas yang menguasai kekuatan material dan intelektual masyarakat.

Kelas berkuasa memproduksi ideologi dominan yang senyatanya adalah kesadaran palsu

untuk mempertahankan status hegemoni dan dominasi sosial, politik dan ekonomi mereka

atas masyarakat. Mereka mendiseminasi kesadaran palsu untuk menguasai kesadaran

masyarakat. Dalam menghegemoni kesadaran sosial masyarakat, kelas berkuasa melakukan

indoktrinasi, tekanan dan pembatasan serta pengawasan terhadap masyarakat. Dalam mengindoktrinasi masyarakat, Marx juga menyaksikan bahwa negara dan masyarakat

memposisikan agama sebagai institusi yang memiliki daya otoritatif metafisik, lalu

mengeksploitasinya sebagai bagian dari sistem penghasil dan indoktrinator kesadaran sosial

palsu atau ideologi dominan kelas berkuasa.33

Bertolak dari pemahamanya tentang perkembangan sejarah dan tentang kesadaran

sosial, demikian juga berangkat dari pengamatannya bagaimana agama diposisikan dan

dieksploitasi oleh negara dan kelas kapitalis seperti terpapar di atas, Marx meyebut agama

yang bercorak transendental, yang dengan impresi metafisiknya dipakai untuk memproduksi

kesadaran palsu, hiburan semu, dan mencipta dunia lain sebagai ilusi atau fantasi-fantasi

metafisik yang mampu membuat masyarakat tidak menyadari realitas sosial historisnya,

sehingga manusia tidak pernah meraih kebahagiaan yang sejati, bukanlah agama dalam arti

yang sebenarnya. Marx berpandangan demikian karena baginya agama yang bercorak

transendental itu senyatanya adalah produksi dari keteralienasian manusia. Dengan mengikuti

32

George Lukacs,History and the Class Consciousness:Studies in Marx Dialectics

(Cambridge&Massachusetts:The MIT Press,1971),41-82. Antonio Gramsci,Selection from The Prison Notebooks(New York:International Publisher,1971),45,47,114,120,206,238.

33

(14)

teori Ludwig Feuerbach tentang keatheisan agamawi, Marx menegaskan bahwa agama itu dibuat oleh manusia sendiri, namun hasil karyanya itu diasingkan darinya sehingga ia

teralienasi dari karyanya, dan hasil karyanya itu diobyektifikasi kepada Sang Ideal lalu ia

menundukkan diri kepada Sang Ideal itu yang sesungguhnya adalah karyanya sendiri. Marx

menganalogikan pandangannya ini dengan cara produksi dari kaum buruh di pabrik. Apa

yang dihasilkan kaum buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam bentuk

benda fisik. Setelah benda diproduksi, benda itu menjadi komoditas dengan kebebasan dan

kekuatan yang lebih besar dari pembuatnya. Kaum buruh teralienasi dari karyanya bahkan

kaum buruh tunduk tidak berdaya atas hasil kerjanya sendiri.34

Dalam mengembangkan teori Ludwig Feuerbach tentang “keatheisan agamawi” yang

oleh Marx dinilai hanya berdasar pada ilusi idealistik, dalam arti hanya berupa faham bahwa

kecerdasan dapat merubah kesadaran manusia, tidak bersentuhan dengan fakta sosial padahal

fakta sosial berupa penderitaan manusia itulah yang menyebabkan manusia mencipta ilusi

keagamaan. Marx memandang esensi agama itu sebagai opium dalam arti sebagai ekspresi

historis dari penderitaan manusia dan sekaligus sebagai protes atas penderitaan manusia itu.

Dengan memandang agama demikian, Marx menunjukkan bahwa agama itu adalah produksi

dari sistem sosial, politik, ekonomi dan kultur suatu masyarakat, guna untuk penciptaan

masyarakat egaliter bebas, dan manusiawi.35

II.5.b. Teori Max Weber Tentang Agama Sebagai Fenomena Sosial

Teori Weber tentang agama berangkat dari pemahamannya mengenai esensi perilaku

sosial. Menurut Weber tindakan sosial itu, dalam bentuknya yang paling dasar senyatanya

ditentukan atau digerakkan oleh nilai agama yang berorientasi ke dunia ini.36 Weber juga

menegaskan bahwa tindakan sosial yang digerakkan oleh nilai agama yang berorientasi ke

dunia ini, tidak bisa dipisahkan dari nilai agama yang bersentuhan dengan ekonomi, sebab

manusia adalah makhluk berekonomi.37 Sembari memposisikan Hindu, Budhisme, Judaisme,

Kristen dan Islam sebagai agama, Weber mengemukakan bahwa perilaku keberagamaan

34

Gregory Baum,Religion and Alienation . . . , 34-5. Robert C.Tucker,The Marx-Engels Reader . . . ,

53-4,71-2.

35.Andrew M.McKinnon,”Opium as Dialectic of Religion:Metaphor, Expression and Protest” dalam Warren S. Goldstein(ed.), Marx, Crtical Theory,and Religion - A Critique of Rational Choice

(Leiden/Boston:Brill,2006),11-29. 36

Guenter Roth and Claus Wittich(ed.),Max Weber:Economy and Society,Vol.I(Los Angeles:University of California Press,1978),399.

37

(15)

dari sebuah agama dalam berekonomi pasti pada berbeda, sebab nilai penggerak perilaku itu

dibuat oleh masing-masing agama. Dengan berpijak pada pemahamannya yang demikian,

Weber berpendirian bahwa, perilaku keberagamaan dari sebuah agama dalam berekonomi

sangat ditentukan oleh nilai, doktrin, etika, dan ide-ide yang dibuat oleh masing-masing

agama.38

Dalam menunjukkan kebenaran dari pendiriannya tersebut di atas,Weber memaparkan

adanya perbedaanmakna etika tarakdi kalangan kaum Katolik dan Protestan di Jerman,

sehingga kedua denominasi ini memiliki perilaku keberagamaan yang berbeda dalam cara

mereka berekonomi. Dalam “etika tarak Katolik”, panggilan kerja itu dibuat sangat berbentuk

monastic asceticism dan bersifat other worldly,sedangkan dalam “etika tarak Protestan”

panggilan kerja itu berbentuk non monastic asceticism dan bersifat inner worldly. Dalam etika tarak Katolik, “kebiaraan” yaitu panggilan menjauhkan diri dari dunia untuk

melaksanakan suatu hidup meditasi adalah sangat sentral. Sedangkan dalam etika

tarakProtestan, panggilan yang justru sentral adalah bekerja di dalam dunia dan mengubah

dunia menjadi sebuah biara. Etika tarak Katolik menekankan perhatian umat pada kehidupan

sesudah kematian, sehingga memandang kegiatan ekonomi sebagai sesuatu yang tidak

penting karena bersifat duniawi semata. Sedangkan etika tarak Protestan, dalam setiap

pelaksanaan tugas di dunia ini, menekankan gaya hidup tidak menuruti kenikmatan

materialistik, sehingga bisa mengejar tujuan hidup lebih tinggi yang bersifat spiritual yaitu

memuliakan Tuhan. Etika tarak Protestan mengajar umat untuk rajin menunai semua tugas di

dunia, untuk bersikap jujur dan tidak serakah dalam bekerja serta berhemat dalam mengelola

hasil kerja demi kemuliaan Tuhan. Melalui paparan ini, Weber memperlihatkan bahwa etika

asketik yang dibangun kaum Protestan, membentuk perilaku umat untuk menempatkan

pekerjaan ekonomi dan sekuler lainnya adalah juga pekerjaan yang berkarakter agamawi.39

Bahwa “etika tarak Protestan” menempatkan pekerjaan ekonomi dan sekuler lainnya sebagai pekerjaan yang berkarakter agamawi, sehingga membuat orang-orang dari golongan

Protestan lebih maju dibandingkan dengan orang-orang dari kelompok Katolik, baik dalam

bertransisi diri dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi kapitalis,40 maupun dalam

38

Max Weber,The Protestant Ethic And The Spirit of Capitalism,Translated by Talcott Parsons with a Foreword by R.H. Tawney(New York:Dover Publications INC.,2003),xiv-xvi,1(b),1(c),20,26,27,40,43.

39

Max Weber,The Protestant . . . , xvii,2,6,27,62,79,81,98,109-110,163,169-170. 40

(16)

berbisnis,41 Weber berpendapat bahwa hal itu terjadi demikian, karena dalam kelompok

Protestan khususnya pada denominasi Calvinis ada doktrin tentang predistinasi danada nilai pada predestinasi itu yang menjiwai etika asketik Protestan. Dalam pengamatan Weber, doktrin ini sangat berpengaruh dalam denominasi Calvinis dan juga cukup bergema dalam

denominasi-denominasi Protestan lainnya seperti pada denominasi Methodis, Baptis dan

Pietis. Pada dirinya dan pada mulanya, doktrin predestinasi memang hanya mengajarkan

umat untuk percaya bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang terpilih (selamat) dan siapa

yang tidak terpilih (binasa). Namun dalam perkembangannya, ketika umat memerlukan tanda

bahwa seseorang diselamatkan atau tidak, makna predestinasi juga menampilkan pengajaran

bahwa kekayaan yang diburu dan dihasilkan oleh seseorang dalam pekerjaannya, merupakan

tanda bahwa orang itu adalah orang yang terpilih dan diselamatkan. Melalui analisa ini,

Weber ingin menegaskan bahwa makna doktrin predestinasi yang dibuat oleh kaum Protestan

yang sesunguhnya adalah rasionalisasi agama (rasionalisasi keyakinan Protestan), sangat

membentuk perilaku mereka dan sekaligus sangat membantu mereka dalam menyikapi spirit

kapitalisme yang melanda mereka.42

Dalam menggambarkan secara dramatis betapa berpengaruhnya keyakinan agama yang

dirasionalisasi dengan roh kapitalismebagi perilaku keberagamaan dalam berekonomi, Weber

dengan merujuk tulisan Martin Offenbacher menuturkan tentang beberapa perbedaan yang

ada antara tradisi Katolik dan Protetsan yang terkait dengan kehidupan ekonomi.

Orang-orang Katolik pada umumnya lebih tenang, mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk

memperoleh sesuatu, mereka lebih menyukai pekerjaan dengan kenyamanan yang terjamin

walau hanya dengan mendapat penghasilan yang lebih kecil daripada memilih pekerjaan yang

penuh resiko kendati jenis pekerjaan itu memberi banyak kesempatan untuk mendapat

kehormatan dan kekayaan. Jika kepada orang Katolik dan orang Protestan diperhadapkan

pilihan “makan enak atau tidur enak”, Weber berkomentar, “Protestant prefers to eat well, the Catholic to sleep undisturbed”.43 Tidak berseberangan dengan maksud Weber untuk menunjukkan bahwa ajaran agama senyatanya sangat berpengaruh terhadap perilaku

keagamaan dalam berekonomi, walau dengan gambaran yang terBalik Weber bertutur bahwa

saja. Mereka memburu uang lebih banyak dari yang diperlu. Max Weber,The Protestant Ethic . . . , 21-31, 52,81.

41

Data statistik di negara-negara Eropa pada jaman Weber menunjukkan bahwa, para pemimpin bisnis dan pemilik modal maupun karyawan perusahaan yang memiliki kemampuan tinggi ataupun staf terdidik, baik secara teknis maupun komersil, ternyata kebanyakan adalah orang-orang Protestan. Max Weber,The Protestant Ethic . . . , 35.

42

Max Weber,The Protestant Ethic . . . , 9,11,81,98-108. 43

(17)

kapitalisme di dunia Timur seperti di India, Cina dan di dunia Timur Tengah seperti di

Madinah tidak bisa maju semaju di dunia Barat, dilatari oleh nilai-nilai agama yang tidak

terasionalisasi dengan roh kapitalisme, yakni nilai-nilai agama yang tidak melegitimasi

pergerakan kapitalisme.44

Dengan memperhatikan konteks sosial dari negara Jerman pada jamannya, yang ada

dalam masa transisi dari sistem ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi kapitalis,

menyimak cita-citanya agar Jerman tetap menjadi negara bersatu, maka melalui teorinya

bahwa tindakan keberagamaan dalam berekonomi sangat ditentukan oleh doktrin (baca: nilai)

hasil rasionalisasi agama dalam menyikapi roh kapitalisme, Weber mau memperlihatkan

bahwa agama itu adalah sistem nilai yang dibangun berdasar pada pemikiran-pemikiran

rasional, bukan berdasar pada hal-hal yang tidak rasional dan yang tidak mengandung fantasi

atau mitos, agar para pemeluk agama itu merasa puas dan aman mengekspresikan perilaku

keberagamaannya dalam berekonomi, bermasyarakat dan berpolitik guna untuk menunjang

kesejahteraan masyarakat.45

II.5.c. Teori Emile Durkheim Tentang Agama Sebagai Fenomena Sosial

Dengan maksud untuk mengetahui bentuk dasar dari agama agar dari padanya

ditemukan apa itu agama,46 Durkheim meneliti dan menganalisa sistem agama primitif dari

suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia. Durkheim meneliti dan menganalisa

keyakinan dari masyarakat primitif ketimbang keyakinan dari masyarakat modern, dengan

alasan karena konteks keyakinan pada masyarakat primitif yang sederhana seperti masyarakat

Aborigin, dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibandingkan dengan konteks

keyakinan masyarakat modern yang kompleks.47Penggalian Durkheim tentang esensi agama

pada masyarakat primitif, dikatakannya juga sama sekali tidak menurunkan nilai agama,

karena bagi Durkheim agama primitif itu, tidak kurang terhormat dibandingkan agama

lainnya. Semua agama di mata Durkheim merespon kebutuhan yang sama dari manusia,

44

H.H.Gerth and C.Wright Mills(Transl and Eds)Max Weber,Essays in Sociology(New York:Oxford University Press,1958),399-415, 417-444. Guenther Roth and Claus Wittich (eds)Max Weber, Economy And Society,Volume I, An Outline of Interpretive Sociology(Berkeley:The University of California Press,1978),611-634.

45

Guenther Roth and Claus Wittich (eds.) Max Weber, Economy And Society, Volume I, An Outline of Interpretive Sociology (Berkeley:The University of California Press,1978), 410,427-432,444-446,576-589.Richard L. Means, “Weber’s Thesis of the Protestant Ethic:The Ambiguities of Received Doctrine”,The Journal of Religion,Vol.45,No.1(Jan.,1965),1-11.

46

Emile Durkheim,The Elementary Forms of Religious Life(New York:The Free Press,1995), 21. 47

(18)

memainkan peran yang sama, bergantung pada sebab yang sama, meskipun dengan jalan

yang berbeda, sehingga dengan demikian, agama primitif dapat berfungsi untuk menunjukkan

sifat kehidupan keagamaan dengan baik.48

Melihat sikap Durkheim terhadap semua agama seperti terurai di atas, menampak jelas

bahwa ia tidak melihat agama itu dari sudut pandang supernatural dan tidak mengartikan

agama itu sebagai keyakinan pada “adanya spiritual being”. Budhisme yang tidak memiliki ide tentang Tuhan dan roh, demikian juga beberapa sekte dalam Budhisme yang juga

menolak eksistensi Tuhan dan dewa-dewi, oleh Durkheim diposisikan sebagai agama49.

Sebelum meneliti bentuk-bentuk dasar kehidupan agamawi suku Arunta, Durkheim telah

memiliki pemahaman tentang “belief”, “ritus”, “perbedaan antara magis dan agama”.

Belief” dipahami sebagaistates of opinion and consist of representations,dan

“ritus”sebagaitindakan komunitas yang mengekspresikan states of opinion itu.50 Bagi

Durkheim “magis” itu merupakan upaya individual, sedangkan “agama”, baginya tidak dapat

dipisahkan dari gagasan komunitas dan institusi sosial, sebab lembaga ini menurut Durkheim

yang menilai dan melegitimasi sesuatu itu bersifat sakral atau profan.51Berdasarkan

pemahaman yang telah ada padanya pada masa pra penelitian, dan berdasarkan pada

temuan-temuannya tentang bentuk-bentuk dasar kehidupan keagamaan suku Arunta, Durkheim

berkesimpulan,bahwa karakteristik paling mendasar dari setiap agama bukanlah terletak pada

elemen-elemen supernatural seperti keyakinan manusia tentang Tuhan, roh dan akhirat,

melainkan terletak pada elemen-elemen natural (sosial) dari masyarakat tentang “yang

sakral”.52

Dalam menjabarkan pemahamannya bahwa karakteristik agama yang paling dasar

terletak pada elemen-elemen natural (sosial)“dari masyarakat”, Durkheim mengatakan bahwa

agama adalah fakta sosial bukan fakta individual. Sebagai fenomena sosial agama tidak

dapat dipisahkan “dari masyarakat”, karena agama dijiwai oleh masyarakat; dan “masyarakat juga tidak bisa dipisahkan dari agama, karena masyarakat dijiwai oleh agama. Dengan

maksud untuk menjelaskan perihal hubungan antara agama dan msyarakat yang demikian itu,

Durkheim mengemukakan bahwa sekumpulan orang pada taraf tertentu yang membentuk

sebuah masyarakat, secara otomatis akan melahirkan sebuah agama yang akan menjiwai dan

48

Emile Durkheim,The Elementary Forms of Religious . . . , 3. 49

Ibid., 28. 50

Ibid., 34. 51

Ibid., 3,39. 52

(19)

dijiwai mereka. Dengan ungkapan lain, menurut Durkheim sekumpulan orang pada taraf

tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, secara otomatis akan memiliki kesadaran

kolektif (moralitas bersama) yang akan menjiwai mereka dan juga yang akan dijiwai oleh

mereka.53

Dalam menjelaskan “gagasan tentang masyarakat adalah jiwa dari agama”,Durkheim

mengemukakan bahwa masyarakat itu selalu terhisab dalam dan terkendali oleh “kesadaran

kolektif mereka sendiri yaitu moralitas mereka atau agama mereka”.54 Oleh karena masyarakat dijiwai oleh kesadaran kolektif itu, maka masyarakat dalam perjalanan dan

perkembangannya, selalu dimampukan untuk memiliki sebuah karakter moral

berupasolidaritas,yang sangat mendukung terbentuknya kohesi sosial.55Berkenaan dengan

fakta bahwa keberadaan masyarakat itu, berkembang dari masyarakat sederhana menuju

masyarakat modern, Durkheim melihat bahwa masyarakat sederhana, memiliki bentuk

solidaritas sosial yang berbeda, dengan bentuk solidaritas sosial yang ada pada masyarakat

modern. Masyarakat sederhana menjalani bentuk “solidaritas sosial mekanik”, sedangkan

masyarakat modern mengembangkan bentuk “solidaritas sosial organik”.56

Menurut analisa Durkheim, pada solidaritas mekanik yaitu solidaritas diantara

kelompok masyarakat yang warganya sangat homogen, dimana para warga masyarakat

memiliki banyak kesamaan, kepribadian tiap individu nyaris menghilang, karena ia bukanlah

sepenuhnya sebagai seorang individu lagi, melainkan sebagaimahluk kolektif.

Masing-masing individu terserap dalam kepribadian kolektif. Bahwa solidaritas

masyarakat-masyarakat tradisional bersifat mekanis”,oleh Durkheim dipertegas dengan mengatakan, bahwa itu terjadi demikian karena masyarakat-masyarakat tradisional dipersatukan oleh

kenyataan, bahwa setiap orang lebih kurang sama dalam banyak hal, dan karenanya mereka

mempunyai banyak kesamaan. Dalam masyarakat tradisional, tulis Durkheim, solidaritas

sosial masyarakat sangat dijiwai oleh kesadaran kolektif yang otentik, yaitu kesadaran untuk

saling memerlukan, tidak terutama bertalian dengan kebutuhan materi, namun terkait dengan

kesadaran akan hidup bersama. Lebih jauh Durkheim juga menulis, bahwa dalam masyarakat

yang solidaritasnya bersifat mekanis, dorongan kolektif sangat kuat, sehingga setiap kali

53

Daniel L.Pas,Eight Theories of Religion(New York:Oxford University Press,2006), 218. 54

Emile Durkheim,The Elementary Forms . . . , 419. 55

Emile Durkheim,The Division of Labor in Society(New York:The Free Press,1984), 27,13. 56

(20)

dorongan itu berlangsung, kehendak setiap anggota bergerak secara spontan dan seperasaan,

dengan tujuan untuk memelihara kesatuan sosial.57

Catatan akhir Durkheim tentang masyarakat yang solidaritas sosialnya bersifat mekanis

ialah masyarakat itu menerapkan hukum secara represif. Hal itu terjadi demikian, karena pada masyarakat tradisional dimana solidaritas sosialnya bersifat mekanis, sebuah tindakan

seseorang yang melawan peraturan masyarakat, dipandang sebagai tindakan yang menyerang

kesadaran kolektif masyarakat. Setiap pelanggaran terhadap moralitas bersama dilihat sebagai

serangan kolektif. Oleh karena begitu pandangan masyarakat mekanis, maka hukuman bagi

seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap sistem nilai yang dianut bersama,

dimaksudkan sebagai jalan untuk melindungi dan memeliara solidaritas sosial.58 Oleh karena

begitu tujuan eksekusi hukuman, maka penerapan hukuman pada masyarakat mekanis

memang sangat bersifat represif, tidak mengenal toleransi. Penerapan hukuman yang

demikian itu, merupakan ungkapan kemarahan kolektif masyarakat mekanis atas tindakan

seseorang karena dinilai sebagai tindakan yang menyerang dan mengancam kesadaran

kolektif masyarakat.59

Mengenai solidaritas organik, dikemukakan oleh Durkheim, bahwa itu muncul secara otomatis pada masyarakat modern, ketika pluralitas, heterogenitas dan pembagian kerja

menjadi sangat kompleks. Pada masyarakat dengan solidaritas sosial organis, masyarakat

sangat menghargai kebebasan, bakat, prestasi dan karier individual. Dalam masyarakat yang

solidaritas sosialnya bersifat organis, keadaan masyarakat dengan spesialisasi yang

berbeda-beda dalam bidang pekejaan dan peranan sosial, menciptakan ketergantungan yang mengikat

secara materiil antar warga masyarakat, karena masing-masing warga tidak dapat lagi secara

sendiri, memenuhi seluruh kebutuhan material mereka. Menurut pengamatan Durkheim,

keadaan masyarakat dalam solidaritas sosial oraganis yang demikian itu, memang tidak

membunuh kesadaran kolektif masyarakat, namun ia cendrung membuat corak kesadaran

kolektif masyarakat bersifat abstrak dan umum. Kesadaran kolektif yang bersifat tidak konkret ini, membuka peluang bagi masyarakat untuk mengagungkan kebebasan, perbedaan

dan kepentingan individu. Melihat kenyataan ini, Durkheim mengingatkan bahwa solidaritas

57

Emile Durkheim,The Division of Labour in Society(New York:Free Press,1984),179-181,267-276. 58

Ibid., 228. 59

(21)

sosial dan integrasi sosial akan terancam, jika kebebasan, perbedaan dan kepentingan

individu merugikan masyarakat secara keseluruhan.60

Pada masyarakat dimana solidaritas bersifat organis, dikatakan oleh Durkheim bahwa,

tindakan kejahatan dari seorang warga masyarakat dipandang sebagai tindakan yang

menyerang orang lain, bukan sebagai tindakan yang menyerang kesadaran kolektif

masyarakat. Bertolak dari pandangan yang demikian, masyarakat yang solidaritasnya bersifat

organis, tulis Durkheim, selalu memposisikan dan memfungsikan hukum sebagai alat untuk

memelihara pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu dan

kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat yang solidaritas sosialnya

bersifat organis, eksekusi hukuman bagi warga yang melakukan kesalahan selalu bersifat

restitutif. Maksudnya, proses penghukuman selalu melalui pertimbangan-pertimbangan yang berguna bagi pelaku kejahatan memperoleh pemulihan atas derita yang diakibatkan oleh

kejahatannya. Dalam mempertimbangkan pemberian hukuman, masyarakat yang berhukum

restitutif selalu berjuang mencari keputusan tentang hukuman apa yang paling tepat

dijatuhkan kepada pelanggar, agar keputusan itu dapat digunakan oleh pelaku kejahatan

sebagai upaya rehabilitasi diri.61

Dalam menjabarkan “gagasan tentang agama itu adalah jiwa dari masyarakat”

Durkheim mengemukakanbahwa,bukan agama yang menghasilkan masyarakat yang

terintegrasi, namun fenomena terintegrasinya masyarakat itu dalam kesadaran kolektif adalah

sebuah agama. Di tangan Durkheim agama benar-benar adalah jiwa masyarakat62. Hal itu

terjadi demikian karena agama (kesadaran kolektif )dimana padanya kesadaran pribadi dari

masing-masing anggota masyarakat terserap, terakomodir dan menyatu berasal dari

masyarakat. Kesadaran kolektif (agama)yang menyerap dan memproyeksikan kesadaran

masing-masing pribadi anggota masyarakat “ada di dalam tubuh masyarakat”.63Oleh karena

agama adalah jiwa masyarakat, maka Durkheim juga berpendapat bahwa, persoalan agama

60

Emile Durkheim,The Division of Labor . . . , 228-230. 61

Ibid., 230-3. 62

Ibid., 85. 63

(22)

sesunguhnya adalah persoalan masyarakat. Pendapat ini diperlihatkannya ketika dia

membahas fenomena bunuh diri. Menurut Durkheim, peristiwa bunuh diri terutama yang

bersifat egoistik, bukan sebagai tindakan individu, dengan argumentasi bahwa tindakan itu

dipicu oleh sejumlah kekuatan yang berada di atas kontrol individu, yakni kekuatan yang ada

di dalam masyarakat.64

Selanjutnya, dalam meneguhkan pandangannya bahwa karakteristik agama yang paling

dasar terletak pada elemen-elemen natural (sosial) dari masyarakat tentang “yang sakral”, Durkheim pertama sekali, mengemukakan bahwa seluruh keyakinan keagamaan yang ada di

dunia, baik yang sederhana, maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik

umum yaitu, mereka memisahkan antara yang sakral dan yang profan. Kemudian Durkheim

menyatakan bahwa dikotomi tentang “yang profan” dan “yang sakral” tidak dalam arti

sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa “yang profan sebagai keburukan” dan” yang sakral sebagai kebaikan”. Di mata Durkheim “yang profan” merupakan bagian keseharian

dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Hal-hal yang profan, baginya, tidak memiliki

pengaruh yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu.

Sedangkan hal-hal yang sakral, di tangan Durkheim, adalah hal-hal yang superior, berkuasa

dan selalu dihormati. Hal-hal yang sakral memiliki pengaruh luas, menyatukan dan

mengakomodir kepentingan-kepentingan individu dalam sebuah kolektifitas masyarakat,

serta menentukan kepentingan dan kesejahteraan seluruh angota masyarakat.65

Berdasarkan pada pandangannya bahwa karakteristik paling mendasar dari agama

terletak pada konsep manusia tentang “yang sakral”, dan berdasarkan pada pemahamannya bahwa “yang sakral” itu, adalah hal-hal yang menyatukan kepentingan-kepentingan individu dalam sebuah kolektifitas masyarakat, dan yang menentukan kesejahteraan masyarakat, maka

Durkheim memandang agama itu sebagai sistem keyakinan dan praktek kehidupan dalam

sebuah masyarakat yang menyatukan kepentingan masing-masing anggota masyarakat dan

yang menentukan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat.66 Agama yang di mata

Durkheim adalah kesadaran kolektif yaitu pengakuan akan “moralitas masyarakat” yang

menyatukan kepentingan masing-masing angota masyarakat dan yang menentukan

kesejahteraan seluruh masyarakat, oleh Durkheim dikatakan, muncul saat masyarakat ada

dalam kesadaran“collective effervescent”, yaitu saat dimana masing-masing anggota

64

Emile Durkheim,Suicide:A Study in Sociology(New York:Free Press,1968), 79-180,229,278-282. 65

Ibid. 66

(23)

masyarakat menyadari kepentingan-kepentingan individunya menyatu dalam kolektifitas

masyarakat.67

Bertolak dari fakta adanya “collective effervescent” dengan pengertian seperti tersebut

di atas, Durkheim berpendapat bahwa bentuk dasar dari agama adalah “totemisme”.Dalam

menjelaskan pandangannya bahwa “totemisme” adalah bentuk dasar dari agama, Durkheim

mengemukakan bahwa dalam masyarakat primitif, setiap binatang “yang bukan “totem”boleh

diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk “yang profan”.Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai totem adalah sakral bagi seluruh anggota marga dan terlarang bagi

seluruh anggota marga untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai

korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacarakeagamaan. Durkheim juga

mengutarakan bahwa, lambang atau simbol binatang totemsangat berarti bagi marga sehingga

dipujanya, karena binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian dari yang

sakral”, akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang

sakral.Sikap tersebut dapat dilihat ketika margatersebut mengadakan upacara-upacara

keagamaan yang selalu menggunakan simbol-simbol dari totem mereka. Totem-totem

tersebut yang terbuat dari ukiran kayu atau batu, diletakkan ditengah-tengah mereka ketika

upacara keagamaan sedang digelar. Upacara religius yang demikian ini, diadakan untuk

mempertebal perasaan dan kesadaran kolektif yang mempersatukan seluruh anggota marga.68

Dalam penjelasannya tentang totemisme seperti terpapar di atas, terlihat analisa

Durkheim bahwa, totemisme adalah hal yang paling penting dalam masyarakat Arunta,

dengan alasan seluruh aspek kehidupan komunitas Arunta sangat dipengaruhi oleh

totem-totem mereka. Menurut Durkheim, totem-totem bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, totem-totem bisa

dipandang sebagai “bentuk tampak dari sesuatu yang impersonal dan tak bernama”, yang meskipun terdapat pada manusia, hewan, tumbuhan dan benda, namun tidak dapat

dicampurbaurkan dengan mereka. Sesuatu yang impersonal ini, akan hidup terus dan tetap

sama. Dia menghidupi generasi yang lalu, generasi sekarang dan generasi yang akan

datang69. Kedua, totem juga bisa dilihat sebagai “simbol marga” dari sebuah masyarakat.

Totem adalah benderanya marga, tanda yang dipergunakan oleh marga untuk membedakan

67

Daniel L. Pas,Eight Theories . . . , 238. 68

Emile Durkheim,The Elementary Forms . . . , 320. 69

(24)

dirinya dengan marga lain. Jadi, totem adalah simbol dari “sang impersonal ” (“tuhan”) dan

juga simbol dari “marga”.70

Bahwa totem merupakan simbol “Tuhan”(“dewa”) dan sekaligus “marga”, adalah

karena tuhan dan marga merupakan hal yang senyatanya sama.71Dewa dari marga itu

sesungguhnya adalah marga itu sendiri, yang dipersonifikasikan dan digambarkan dalam

imajinasi, di bawah bentuk binatang atau tumbuhan yang dapat dilihat dan bertindak sebagai

totem. Oleh karena begitu keadaannya, maka pemujaan marga pada seorang dewa atau

dewa-dewa, sesungguhnya adalah pemujaan marga pada dirinya. Binatang dan tanaman menjadi

simbol totem, sebab ia objek yang konkret, dekat dan terkait erat dengan pengalaman

sehari-hari masyarakat. Kemudian, dengan diukirnya totem di kayu atau batu, pertama dimaksudkan

bahwa totem itu yakni marga itu sendiri adalah objek yang konkret. Lalu, terukirnya totem di

kayu atau batu juga menimbulkan implikasi pada setiap orang bahwa marga yang menuntut

kesetiaan dari semua anggota, tidak hanya sesuatu yang dibayangkan, namun sesungguhnya

marga adalah hal yang riil yang menginternalisasikan dirinya pada kehidupan dan pemikiran

setiap warganya.72 Bahwa “totemisme” adalah format dasar dari agama ditegaskan kembali

oleh Durkheim dengan mengatakan, “what is fundamental to totemisme is that the people of the clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents, are held to be made of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms were bridged”.73

II.6. Agama Sebagai Fenomena Sosial Dalam Konsepsi Marx. Weber Dan Durkheim

Dalam menelisik teori Marx, Weber dan Durkheim tentang agama, terlihat jelas bahwa

skema pemikiran mereka bertiga dalam membahas agama, adalah berupa gagasan-gagasan

70

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 142,147,154,208. 71

Dalam hal ini, Durkheim mengemukakan bahwa bagi anggota masyarakat, masyarakat itu memang merupakan dewa. Maksudnya, sebagai dewa masyarakat lebih tinggi dari individu bahkan individu bergantung pada masyarakat. Bak Dewa, masyarakat juga memberikan rasa tentram pada masing-masing individu. Hal itu dilakukan masyarakat melalui kekuatan kolektifnya yang menyusup menjadi bagian integral dalam diri anggota masyarakat. Bahwa masyarakat itu adalah dewa, terlihat juga dari segi moral, sebab masyarakat memiliki otoritas moral terhadap anggotanya. Dalam hal ini, jika seorang anggota masyarakat telah melakukan kewajiban moralnya dengan baik, ia akan dihargai oleh masyarakat sehingga ia akan mendapat keamanan dan kedamaian dalam batinnya. Jika secara moral seorang anggota masyarakat hidup selaras dengan sesama masyarakat, masyarakat akan memberikan dukungan terhadapnya sehingga ia akan merasa kuat. Kekuatan yang diterima oleh seseorang dari masyarakat seperti kekuatan yang diterimanya dari dewa. Emile Durkheim,The Elemntary Forms . . . , 153-7.

72

Emile Durkheim,The Elementary Forms . . . , 208-9. 73

(25)

mengenai agama yang terkait dengan kehidupan sosial dan bermuara pada kebersamaan

sosial.

Marx menghendaki agar agama itu dipahami sebagai ekspresi penderitaan masyarakat

dan sekaligus sebagai protes atas penderitaan itu demi kesejahteraan manusia. Weber

mendambakan agar nilai-nilai agama itu merupakan rasionalisasi keyakinan agama terhadap

masalah-masalah sosial, agar perilaku keberagamaan manusia medatangkan kemajuan yang

mendamaikan. Durkheim mengharap agama dimengerti sebagai kesadaran kolektif, dimana semua kepentingan–kepentingan individu menyatu dalam sebuah kolektifitas masyarakat,

berupa kehendak bersama akan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat,sehingga kehendak

setiap anggota masyarakat bergerak secara spontan dan seperasaan, menunduk dan menuju

pada kehendak dari kesadaran kolektif yakni kohesi sosial.Konsepsi agama dari Marx, Weber

dan Durkheim menolong kita untuk melihat agama sebagai sebuah fakta sosial. Sebagai

sebuah fakta sosial, agama sudah sepatutnya berinteraksi dan bersanding dengan institusi

sosial lainnya demi kemaslahatan sosial.

Khusus terkait dengan gagasan Durkheim agar agama dipahami sebagai kesadaran

kolektif menunjukkan bahwa di tangan Durkheim agama itu adalah sebuah moralitas

masyarakat, atau sebuah sumber otoritas milik bersama sebuah masyarakat, dimana padanya

terakomodir dan menyatu kepentingan-kepentingan pribadi warga masyarakat. Moralitas

masyarakat atau sumber otoritas milik bersama sebuah masyarakat ini, berfungsi untuk

melegitimasi batas-batas yuridiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan transendental

bagi masyarakat, demi terciptanya integrasi masyarakat, dimana pluralisme dan toleransi

dapat berjalan berkesinambungan dalam masyarakat. Agama dalam arti yang demikian,

dalam terminologinya Durkheim disebut dengan moralitas masyarakat atau kesadaran

Referensi

Dokumen terkait

Berikut beberapa tugas rutin yang diamanahkan pada bidang litbang KONI.. kabupaten

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

[r]

[r]

Desain tempat wudhu sangat beraneka ragam, namun dalam aspek kebersihan dan kesucian lebih baik didesain dengan menggunakan kran dengan penampung air yang

1) Learning environment using media Pathilan game already looks more relaxed, lively and conducive. This shows that the purpose of using Pathilan game to get more lively

[r]

[r]