• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penentuan Dana OTSUS dan Realisas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Penentuan Dana OTSUS dan Realisas"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS REALISASI DANA OTONOMI KHUSUS DI PAPUA

DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK

ABSTRAK

Indonesia sebagai Negara Kesatuan, mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang. Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa termasuk daerah paling timur Indonesia, Papua.

Kebijakan otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

Namun pada kenyataannya kebijakan yang telah bergulir setidaknya 10 tahun, bagi papua dan papua barat seolah tidak mempengaruhi peningkatan pembangunan apapun di daerah yang terkenal dengan berbagai kekayaan alam itu. Banyak hal yang mempengaruhi masih sulitnya perkembangan pembangunan ekonomi pada daerah tersebut, dua diantaranya dalah adanya inefektivitas penyaluran dana dan berbagai penyimpangan dana yang terjadi.

(2)

LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai Negara Bangsa (Nation State), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang. Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu—yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik) serta menggunakan pendekatan keamanan—merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Papua, kondisi itu menjadi pemicu munculnya pergolakan di masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai bentuk reaksi, antara lain, munculnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Presidium Dewan Papua, pada awal tahun 2002, menerbitkan sebuah buku karangan Yorrys Th. Raweyai, dengan judul Mengapa Papua Ingin Merdeka. Judul bukunya mengundang pertanyaan yang sama di banyak kalangan; mengapa Papua (Irian) ingin merdeka? Pertanyaan itu lahir dari indikasi masih adanya gerakan di Papua yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Organisasi Papua Merdeka (OPM), bendera Bintang Kejora, dan semangat sebagian kaum muda Papua untuk memisahkan diri dari NKRI, masih belum padam.

(3)

belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua.

Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional yang bersifat khusus. Aspirasi dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua.

Kebijakan otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

TUJUAN PENELITIAN

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui realisasi dan dampak dari dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah kepada papua melalui prespektif ekonomi politik.

PEMBAHASAN Dana Otonomi Khusus

(4)

Nangroe Aceh Darussalam. Tujuan pemberian dana Otonomi khusus tersebut adalah untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat Papua. Secara khusus, dana Otonomi khusus diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua. Sepanjang 2002-2010 Pemerintah Pusat telah menggelontorkan dana Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai total Rp 28,84 triliun.

Sayangnya, selama 10 tahun UU Otonomi khusus yang telah dilaksanakan masih terdapat banyak penyimpangan dalam penggunaan dana Otonomi khusus tersebut. Dari total Rp 19,12 triliun yang telah disalurkan sejak 2002 hingga 2010, Rp 28,94 miliar diselewengkan dalam bentuk proyek fiktif, Rp 218,29 miliar dalam bentuk kelebihan pembayaran atau pembayaran yang tidak sesuai ketentuan, dan Rp 17,22 miliar dalam bentuk proyek terlambat dan tidak didenda. Sepanjang peridoe yang sama pula dana Otonomi khusus senilai Rp 2,35 triliun oleh Pemprov Papua dan Pemprov Papua Barat justru didepositokan di Bank Mandiri dan Bank Papua.

(5)

Tabel Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur pada Papua

Sumber : Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk Dana Otonomi Khusus Papua diolah

PDRB Papua

(6)

Index Pembangunan Manusia dan Angka Kemiskinan

Salah satu alasan utama bagi pemerintah untuk menerepkan kebijakan tersebut adalah untuk mencapai pemerataan dalam hal ekonomi. Bila dilihat dai beberapa aspek ekonomi seperti, Papua memang mengalami ketertinggalan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menunjukkan bahwa Provinsi Papua termasuk daerah yang belakang. Pada tahun 1996, IPM Provinsi Papua sebesar 60,2 dengan peringkat kedua terbawah setelah Nusa Tenggara Barat dan lebih rendah daripada IPM nasional sebesar 67,7. Namun, sayangnya kebijakan Otonomi Khusus tidak mengatasi ketertinggalan provinsi tersebut. Hingga tahun 2009, Provinsi Papua masih berada di posisi bawah. Dari 33 provinsi, Papua malah menempati posisi terakhir dengan IPM sebesar 64,53 (IPM nasional sebesar 71,76).

Kemudian dalam hal angka kemiskinan, Provinsi Papua juga masih terpuruk. Selama sembilan tahun sejak diterapkannya kebijakan tersebut, angka kemiskinan di Papua masih tinggi.

Pada tahun 1999, jumlah penduduk Provinsi Papua yang berada di bawah garis kemiskinan sebanyak satu juta jiwa, meningkat dari tahun 1996 sebesar 830 ribu jiwa. Pada tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di bawah kemiskinan di Provinsi Papua sebesar 761 ribu jiwa dan 256 ribu jiwa di Provinsi Papua Barat, menempati posisi pertama dan kedua dengan persentase jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia.

Efektivitas Dana Otsus

(7)

berkisar 5,5 persen, kendati sudah menurun ketimbang tahun 2009 sebesar 7,73 persen. Jika melihat tren persentase penduduk miskin pada gambar 2, maka terlihat sebetulnya dana Otsus tidak berdampak signifikan.

Persentase Kemiskinan di Papua dan Papua Barat

Senada dengan penjelasan grafik tersebut, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa hasil evaluasi hasil penelitian Kemendagri, LAN dan Partnership menunjukan bahwa sedikitnya terdapat dua level kelemahan implementasi Otsus yang perlu segera dibenahi, pertama pada level kebijakan yang terlihat dari belum adanya petunjuk teknis sebagai penjabaran dari UU Otsus, belum ditetapkannya Perdasus tentang pembagian, pengelolaan serta penerimaan keuangan sebagai bagian dari implementasi otsus, dan pola hubungan kerja yang belum terbangun secara sinergis antara eksekutif, legislatif dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di daerah.

(8)

Pada awalnya, Otsus sangat didukung oleh pemangku kebijakan publik di Papua, sebagaimana tercermin dari pernyataan Gubernur Papua pada saat itu, JP Salossa. “Sekitar 75 persen warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara di daerah itu. Sarana dan prasarana transportasi di Papua sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Papua,” Gubernur merasa optimis dengan pemberlakuan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dapat mengangkat ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat di Tanah Papua.

Alokasi Dana Otsus tahun 2002 – 2012 Data dikompilasi dari BPS dan Ditjen Keuangan Daerah Kemdagri.

Sayangnya, sebagaimana terjelaskan pada gambar 3 yang membandingkan alokasi dana Otsus dengan penduduk miskin dan indeks pembangunan manusia, alokasi tersebut tidak mampu menjadi pengungkit signifikan. Alih-alih meningkatkan, terlihat jumlah penduduk miskin masih tinggi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu 72.

Mengapa terjadi inefektivitas?

Kami merangkum dari sejumlah hasil evaluasi dan penelitian, dan menyimpulkan tiga penyebab utama pengelolaan inefektivitas:

(9)

perencanaan dan penganggaran di Papua dan Papua Barat. Di satu sisi memang Otsus memberi peluang bagi Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, lembaga ini harus lebih banyak diberi peran dalam memfasilitasi masyarakat sipil dalam mendapatkan hak atas informasi publik. Prinsip transparansi dalam tata pemerintahan yang baik sesungguhnya memberi kesempatan bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam memantau pelayanan publik agar lebih berkualitas. Partisipasi ini akan memungkinkan terjadinya verifikasi kualitas pelayanan publik, sekaligus meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Tidak tersedianya data yang dapat diakses oleh masyarakat sipil dan bahkan pemerintah pusat tentu semakin menimbulkan pertanyaan lanjutan bagaimana dana otsus dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, apakah dapat akuntabel? Dengan indikasi penyelewengan dana Otsus sebesar Rp 4,12 triliun sebagaimana temuan BPK maka aspek transparansi ini patut menjadi prioritas untuk diselesaikan.

Mekanisme transfer bersifat tanpa syarat tertentu. Peraturan Menteri Keuangan mengenai besaran dana otsus Papua dan Papua Barat setiap tahun memang menyebutkan prioritas penggunaan untuk pendidikan dan kesehatan, namun tidak disertai prasyarat tertentu supaya pemerintah di kedua provinsi dan kabupaten / kota tidak mendapatkan transfer terlalu mudah. Secara jumlah juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pengalaman di banyak tempat dan berbagai negara berkembang dan negara maju menunjukkan transfer tanpa syarat cenderung menjadi disinsentif karena membuat pemerintah daerah lebih mengandalkan dana tersebut ketimbang penerimaan daerah. Dampak lanjutannya ialah kondisi ilusi fiskal, di mana dana transfer khusus ini tidak mampu meningkatkan perekonomian daerah, dan hingga masa tenggat 25 tahun (berarti tersisa 13 tahun lagi) berpotensi kedua provinsi tetap bergantung pada anggaran dari pusat.

(10)

Standar Pelayanan Minimum bidang Kesehatan, di mana jumlah Kabupaten di Papua dan Papua Barat yang menyampaikan laporan tak mencapai 15%, jauh di bawah provinsi lain yang sebagian besar sudah mencapai 100%. Data menunjukkan dari beberapa tahun sampai 2010 dan 2011 tidak ada perbaikan signifikan, itupun validitas data belum dapat dijamin. Secara kerangka logis, harapannya capaian di tingkat IPM tentu kemungkinan besar bakal tercapai jika capaian antara, yaitu target capaian SPM dapat diraih.

Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan dana Otonomi Khusus Papua sejak tahun 2002 - 2010 yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat ke Prov Papua sebesar Rp 28 Trilyun.

Berikut temuan penyimpangan penggunaan dana Otsus Papua yang ditemukan BPK:

1. Rp 566 miliar pengeluaran dana Otsus tidak didukung bukti yang valid. Dalam pemeriksaan tahun 2010 dan 2011, ditemukan Rp 211 miliar tidak didukung bukti termasuk realisasi belanja untuk PT TV mandiri Papua dari tahun 2006-2009 sebesar Rp 54 miliar tidak sesuai ketentuan. Dan Rp 1,1 miliar pertanggunganjawaban perjalan dinas menggunakan tiket palsu. Serta temuan sebelumnya belum sepenuhnya ditindaklanjuti Rp 354 miliar.

2. Pengadaan barang dan jasa melalui dana Otsus senilai Rp 326 miliar tidak sesuai aturan. Antara lain: Pertama, Rp 5,3 miliar terjadi di Kota Jayapura tahun anggaran 2008 tidak melalui pelelangan umum. Kedua pengadaan dipecah Rp 1.077.476.613 terjadi di Kabupaten Merauke tahun 2007 dan 2008. Ketiga, pengadaan tanpa adanya kontrak Rp 10 miliar yang terjadi di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, tahun anggaran 2009. Di samping itu terdapat temuan tahun 2002-2009 yang belum ditindaklanjuti Rp 309 miliar.

(11)

fiktif tersebut: detail engineering design PLTA Sungai Urumuka tahap tiga Rp 9,6 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua.

Kedua, detail engineering design PLTA Sungai Mambrano tahap dua Rp 8,7 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Ketiga, studi potensi energi terbarukan di 11 kabupaten Rp 3,1 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Keempat, fasilitas sosialisasi anggota MRP periode 2010-2015, Rp 827,7 miliar pada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat daerah tahun 2010. Sedangkan bagian tindak lanjut tahun sebelumnya Rp 6 miliar.

4. Rp 1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, didepositokan. Dengan rincian Rp 1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20 November 2008. Rp 250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009 dan Rp 350 miliar pada Bank Papua dengan no seri A09610 per 4 Januari 2010. Penempatan dana Otsus dalam bentuk deposito bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 Permendagri 13 th 2006.

Menyinggung soal sah tidaknya penunjukan Bank Mandiri sebagai pemegang kas, UU juga memungkinkan hal itu. “Sebagaimana bunyi pasal 179 Permendagri 13 Tahun 2006. Pasal 1 berbunyi, bendahara umum daerah adalah saya sebagai Kepala BPKAD, menunjuk bank daerah yang sehat untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran kas. Ayat 2, penunjukan itu harus dengan keputusan Kepala Daerah dan Ayat 3, harus beritahukan DPRP. Ketiga-tiganya kita penuhi,”.

Permasalahan Strategik yang Belum Terpecahkan

(12)

keseluruhan maupun dalam proses pembangunan di daerahnya sendiri. Di sinilah pentingnya Wawasan Nusantara dimana segenap komponen bangsa seiring, sejalan, harmoni, dan bersama-sama membangun NKRI. Melalui pemahaman Wawasan Nusantara yang komprehensif integral, masyarakat Papua akan tetap menjadi bagian dari NKRI.

Demikian pula, hasil pembangunan yang belum memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Papua selama puluhan tahun sangat mengecewakan masyarakat Papua. Ungkapan kekecewaan itu disalurkan dalam bentuk tuntutan kemerdekaan atau memisahkan diri dari NKRI. Masyarakat Papua memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi itu secara terbuka setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan muncul era reformasi.

Secara umum, permasalahan stratejik di tanah Papua yang belum terpecahkan sampai saat ini, antara lain:

1. Belum terbangunnya hubungan sistemik antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat dalam menjalankan program otonomi khusus di Papua dan Papua Barat untuk mewujudkan tanah Papua yang mandiri, maju, dan sejahtera.

2. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Papua belum meningkat, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan sukar diperoleh dengan mudah.

3. Sumber daya manusia masih kurang dengan mimimnya anggota masyarakat Papua terdidik.

4. Infrastruktur yang tidak memadai sehingga tidak dapat menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat.

5. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Percepatan Pembangunan belum berjalan baik.

(13)

7. Masih adanya gerakan separatis yang akan memisahkan Papua dari NKRI sehingga keutuhan NKRI tetap menjadi ancaman.

Ancaman Disintegrasi Gerakan Separatis Papua

Papua, pada awalnya dikenal dengan nama Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengganti nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Nama Irian Jaya tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2000. Berdasarkan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua, DPRD Provinsi Irian Jaya, melalui Surat Keputusan Nomor 7/DPRD/2000 tertanggal 16 Agustus 2000 mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua. Pada tahun 2004, wilayah Papua dibagi oleh Pemerintah menjadi dua provinsi; wilayah bagian timur tetap memakai nama Provinsi Papua, sedangkan wilayah bagian barat diberi nama Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) yang kemudian berubah nama menjadi Papua Barat.

Sebelum keluarnya UU No.21 tahun 2001, kerap terjadi gerakan-gerakan separatis di Papua. Salah satu contoh gerakan separatis di Papua adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Salah satu pemicu utama muncul gerakan-gerakan separatis seperti OPM biasanya disebabkan karena adanya pembangunan yang tidak merata, terutama di tanah Papua. Pada konsideran UU No. 21 tahun 2001 pada poin d yang menyatakan bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus.

(14)

Dengan demikian, perlu ditingkatkan hubungan sistemik antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan di Papua guna mendukung Otonomi Khusus.

Kesimpulan

Meskipun dana Otonomi Khusus yang dikucurkan pemerintah ke Papua telah mencapai Rp38 triliun sejak 2002 hingga tahun ini, tetapi angka itu tidak paralel dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Belum paralelnya nilai dana yang dikeluarkan untuk Papua dengan tingkat kesejahteraan menunjukkan Otonomi Khusus belum berhasil memberdayakan masyarakat Papua secara merata.

Memang hal ini masih menjadi PR besar pemerintah pusat dan daerah karena meski dana yang dikucurkan sudah mencapai Rp38 triliun akan tetapi angka kemiskinan di daerah paling ujung Indonesia ini masih tinggi. Untuk itu diperlukan kebijakan dan program yang tepat agar komitmen pemerintah dalam memajukan daerah dan masyarakat Papua bisa berjalan efektif. Terdapat berbagai hambatan yang membuat sistem Otonomi Khusus itu belum maksimal kalau tidak dikatakan gagal. Salah satu hambatan itu adalah ketidaksempurnaan aturan pelaksanaan UU Otonomi Khusus, termasuk Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Selain itu, juga adanya kelemahan dalam pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan dana Otsus oleh pemerintah pusat. Hambatan lainnya datang dari akibat lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan di antara pemerintah daerah itu sendiri. Pada bagian lain dari pidatonya, dia mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam membangun Papua agar ketimpangan kesejahteraan wilayah itu dengan provinsi lain bisa dihilangkan. Dia menilai sangat ironis kalau Papua yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, setelah 50 tahun kembali ke NKRI, namun rakyatnya masih miskin.

Saran

(15)

keterbukaan informasi publik. Partisipasi masyarakat dilakukan untuk menilai 3 hal di masing-masing tahap pelaksanaan kegiatan, yaitu; (a) efektivitas, atau sejauh mana manfaat program dengan menggunakan dana Otsus dapat dirasakan masyarakat; (b) kepatuhan terhadap prosedur, atau apakah ada sanksi terhadap kecurangan dan penyelewengan; dan (c) akses, atau apakah masyarakat mudah mendapatkan informasi penting yang diperlukan. MRP perlu berperan lebih strategis dengan memfasilitasi masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan di setiap tahap program.

Perbaikan mekanisme transfer. Pemerintah pusat perlu merumuskan perbaikan mekanisme transfer dari tanpa syarat menjadi bersyarat. Prasyarat yang digunakan dibuat secara bertahap sesuai situasi di Papua dan Papua Barat yang memang memerlukan kebijakan afirmatif. Sebagai contoh, pada tahun pertama pemerintah pusat mengenakan persyaratan pelaporan monev SPM pendidikan dan kesehatan minimal 70%, kemudian tahun kedua target dinaikkan mencapai 100%, lalu tahun ketiga dan berikutnya dikaitkan dengan validitas data. Dapat juga ditambahkan pada 3 tahun terakhir masa otsus, syarat pencapaian SPM diberlakukan.

Koordinasi lintas K/L dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pemerintah pusat dapat membentuk tim lintas K/L dalam memantau dan mengevaluasi program dan penggunaan dana Otsus dan dikaitkan dengan syarat dalam perubahan mekanisme transfer. Setiap temuan bermasalah tentu harus diusut, supaya tidak ada istilah ungkapan ‘Dana Otsus tak perlu diusik karena sebagai sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka’.

Daftar Pustaka

(16)

Gabriel Almond dan Bingham Powell Jr., Pendekatan Pembangunan Terhadap system Politik. 1989, CV. Rajawali, Jakarta.

Irham Fahmi, 2006, Analisis Investasi dalam Perspektif Ekonomi dan Politik, Refika Aditama, Bandung

Irham Fahmi, 2010, Pengangantar Politik Ekonomi, Alfabeta, Bandung

Anonim, 2010, Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, FTP:

http://www.kemitraan.or.id/uploads_file/20130131073026.Evaluasi%20Otsus %20Papua%20dan%20Papua%20Barat.pdf diakses pada 9 Juni 2013

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh PT CDM Indonesia Jaya 6) dinyatakan bahwa pembangunan proyek PLTMH ini tidak layak secara ekonomis dengan alasan keuntungan dari

Hasil yang diperoleh yaitu pengembangan instrumen asesmen kinerja pada praktikum sistem respirasi serangga yang telah di validasi secara konten menunjukkan bahwa validasi

7. Kami tidak membuat perjanjian lain dengan Penjamin Emisi Efek dalam rangka Penawaran Umum ini selain perjanjian yang telah diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran... Kami

Dalam rangka pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tersebut, Presiden dibantu oleh sebuah Dewan yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden

Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah mengimplementasikan sistem informasi bidikmisi pada Politeknik Negeri Padang dengan aplikasi web sebagai sisi server yang dapat

Arsitektur sistem Tracking Pos PT Pos Indonesia Kantor Pos Pemeriksa Surabaya Selatan ini terbagi atas tiga bagian utama, yaitu: MyProject MIDlet untuk user

Berdasarkan data yang terdapat pada tabel tersebut, peningkatan pH tanah, kandungan kalsium tanah dan kulit buah tidak berkorelasi terhadap penurunan getah kuning pada

 90 % dari draf yang disiapkan pemerintah mengalami perubahan yang sangat mendasar, baik dari segi substansi maupun formulasi rumusannya, yang disepakati pada