• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan

di Indonesia

(Sebuah Esai dalam Rangka Mengenang Almarhum Prof.

Koentjaraningrat)

Amri Marzali

(Universitas Indonesia)

Abstrak

This article is dedicated to the late Prof. Koentjaraningrat. It attempts to trace the history and the source of a concept and method used by Koentjaraningrat in a research and many of his speeches in the period of 1960-70s. The concept is called ‘orientasi nilai-budaya’. The author finds that the concept was borrowed from the concept ‘value orientation’ used by Florence Kluckhohn and Fred Strodbeck, which was printed in their book, Variations in Value Orientation (1961). The concept ‘value orientation’, was origi-nally stems from the concept ‘value’, which was once developed by Clyde Kluckhohn, the husband of Florence Kluckhohn, at Harvard University USA. This explanation, according to the author, is important for the student of anthropology in Indonesia. In the final of the article, the author attempts to apply the concept to the socio-cultural changes in contemporary Indonesia, particularly among the members of Is-lamic community.

Pengantar

Konsep ‘budaya’ atau ‘orientasi nilai-budaya’ telah menjadi beken di kalangan ahli ilmu-ilmu sosial di Indonesia semenjak diperkenalkan oleh Prof. Koentjaraningrat, pada akhir dasawarsa 1960an1. Koentjaraningrat sendiri

meminjam konsep di atas, beserta metodologinya yang khas, dari konsep dan metodologi

value-ori-entation yang dipaparkan oleh Florence R. Kluckhohn dan F.L. Strodtbeck dalam buku mereka yang berjudul Variations in Value Orien-tation (1961). (Untuk selanjutnya kedua pengarang ini, sepanjang berhubungan dengan buku di atas, kita sebut dengan singkatan K & S). Sebenarnya konsep value orientation berasal dari konsep value, yaitu sebuah konsep pokok dalam konteks theory of action. Sebagaimana dipahami umum, theory of action i n i dikembangkan oleh sarjana-sarjana besar ilmu sosial Amerika (sosiologi, antropologi, dan psikologi) yang bermarkas di Harvard University, pada dasawarsa 1940 - 1960. Para pelopor dari theory of action ini antara lain adalah Talcott

Par-1 Lihatlah buku-buku beliau antara lain, Kerangka Untuk

(2)

sons, Edward Shils, Gordon Allport, Henry Murray, dan Clyde Kluckhohn2. Sementara itu ahli

yang terutama mendalami pengembangan konsep value ini adalah almarhum Clyde Kluckhohn, seorang pakar antropologi, suami dari Florence R. Kluckhohn.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kembali sejarah perkembangan konsep ‘orientasi nilai-budaya’ Koentjaraningrat, yang berasal dari konsep value-orientation yang diuraikan dalam buku karangan K & S, dan yang seterusnya bersumber dari pemikiran C. Kluckhohn tentang value. Dengan cara ini diharapkan pembaca akan dapat memahami konsep ini secara kontekstual dan tepat guna.

Konsep

value

Karena sumber awal dari konsep ‘orientasi nilai-budaya’ adalah konsep value dari C. Kluckhohn, maka untuk mendalami pengertian konsep ‘orientasi nilai-budaya’ tersebut kita harus mengkaji dulu apa yang dimaksudkan dengan value oleh C. Kluckhohn. Setelah itu barulah kita meningkat membicarakan konsep value orienta-tion dari K & S.

Tentang konsep value, dikatakan oleh Clyde Kluckhohn dkk. sebagai berikut:

A value is a conception, explicit or implicit, dis-tinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influences the selection from available modes, means, and ends of action (Parsons and Shills 1965:395).

(Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang khas milik seseorang individu atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya diinginkan yang mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan)

Dari definisi di atas, yang perlu diperhatikan adalah kalimat kuncinya, bahwa value, atau ‘nilai’ dalam bahasa Indonesia, adalah ‘konsepsi tentang hal yang seharusnya diinginkan’. Di sini perlu diingatkan bahwa ‘hal yang seharusnya diinginkan’ adalah berbeda dari ‘hal yang diinginkan’. Kedua hal itu jangan dikelirukan. Sebagai konsepsi, nilai adalah abstrak, sesuatu yang dibangun dan berada di dalam pikiran atau budi, tidak dapat diraba dan dilihat secara langsung dengan pancaindera. Nilai hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia. Ucapan, perbuatan dan materi adalah manifestasi dari nilai.

Untuk memperoleh nilai yang terkandung dalam suatu ucapan atau suatu perbuatan, seseorang harus melakukan penafsiran dan penarikan kesimpulan (inferensi). Misalnya, ucapan ‘orang harus menghormati orang tua’ bukanlah sebuah nilai, tapi manifestasi dari suatu nilai yang diungkapan dalam kata-kata. Contoh lain, perbuatan ‘membungkuk ketika berjalan di depan orang tua’ bukanlah sebuah nilai, tapi menifestasi dari suatu nilai yang diungkapkan dalam bentuk perilaku. ‘Sebuah keris yang indah dan bertuah’ bukanlah nilai kultural, tapi manifestasi dari suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk materi. Tugas dari seorang peneliti adalah mengorek, atau mencari, nilai-nilai yang dihargai oleh suatu masyarakat melalui ucapan, perilaku dan hasil kelakuan anggota masyarakat tersebut.

Jadi, untuk menangkap nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, seorang peneliti tidak cukup hanya mengamati dan mencatat ucapan, perbuatan, atau materi yang dihasilkan oleh anggota masyarakat tersebut, tapi dia harus pandai mengorek dan menemukan konsepsi yang tersembunyi di bawah permukaan ucapan, perbuatan, dan materi tersebut.

Robert Bellah, dalam bukunya Tokugawa Religion (1957/1970), mengumpamakan ucapan,

2 Silahkan lihat a.l. buku John Gillin (ed.), For A Science

of Social Man, New York: Macmillan Company, 1958 (1954) dan buku Talcott Parsons & Edward Shils (eds),

(3)

perbuatan, dan materi tersebut sebagai the husk (kulit luar), atau sesuatu yang nyata, yang terlihat, dan yang berada di permukaan. Sedangkan nilai yang tersembunyi di bawah kulit tersebut disebutnya sebagai the kernel (inti).

Tentang sebuah agama dikatakan oleh Bellah demikian:

In order to understand a people and their reli-gion we need to know more than the formal creeds and doctrines to which they subscribe and in which they are enrolled. These are important facts but they tell us only about the husk of a religion. We must deal with the husk before we can come to the kernel, but it is the kernel if such we can call the inner meaning of a religion in the personalities of individuals, which is re-ally important for our understanding, though always difficult to grasp. Once we can grasp even imperfectly the place of a religion has in the thoughts, feelings, and aspirations of individu-als, then we can begin to see the way their reli-gious commitment shapes and influences the whole of their lives, and how other parts of their lives in turn affect their religion (garis bawah oleh AMZ).

(Dalam rangka memahami sebuah masyarakat dan agama mereka, kita perlu mengetahui tidak hanya sekedar pernyataan kepercayaan dan doktrin yang dianut dan dijalankan oleh penganutnya. Pernyataan dan doktrin tersebut memang fakta-fakta penting, tapi mereka hanya mengungkapkan kulit luar dari sebuah agama. Kita memang harus mempelajari kulit luar sebelum kita masuk mencapai inti, namun yang inti inilah yang merupakan makna utama dari sebuah agama yang terletak di dalam kepribadian penganutnya, yang sangat penting bagi pemahaman kita, meskipun hal ini selalu sukar untuk ditangkap. Begitu kita dapat menangkap tempat dari sebuah agama dalam pemikiran, perasaan, dan aspirasi penganutnya, barulah setelah itu kita dapat mulai melihat bagaimana komitmen keagamaan mereka membentuk dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka, dan bagaimana aspek-aspek lain dari kehidupan mereka, yang pada gilirannya, mempengaruhi agama mereka).

Metode penyimpulan dan penafsiran dalam kajian tentang nilai seperti di atas disebut sebagai metode verstehen, lawannya adalah metode erklaren. Dengan demikian, kajian tentang nilai

memerlukan tenaga peneliti yang benar-benar mempunyai kemampuan, baik dalam penguasaan konsep maupun dalam ketrampilan metodologis. Suatu nilai mencakup satu kode (tanda-tanda yang mengandung makna), dan satu standard (pengukuran, penilaian) yang cukup mantap dalam jangka waktu tertentu, yang berfungsi dalam mengorganisasikan atau mengatur satu sistem tindakan. Karena nilai mengandung pengertian standard, dengan demikian nilai menempatkan suatu hal, suatu tindakan, suatu ucapan, cara bertindak, atau tujuan dari tindakan dalam satu kontinuum ‘diterima-ditolak’. Nilailah yang menentukan tempat dari sebuah tindakan, ucapan, dan tujuan tindakan; apakah ditolak atau diterima, atau terletak antara ditolak dan diterima.

Nilai, dalam pengertiannya sebagai standard, adalah konsepsi tentang the desirable. The desir-able tidak sama dengan the desired. The desir-able adalah konsepsi tentang sesuatu ‘yang seharusnya diinginkan’, sedangkan the desired adalah hal ‘yang diinginkan’. Nilai merupakan kriteria dalam menentukan tentang apa yang seharusnya diinginkan seseorang sebagai anggota suatu masyarakat, bukan tentang apa yang diinginkannya.

Nilai yang dianut seseorang, atau suatu masyarakat, biasanya berbentuk samar-samar. Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk verbal secara komplit dan tepat oleh pemiliknya. Dia lebih implisit daripada eksplisit. Dia berbentuk ide, atau pemikiran, yang abstrak dan sangat umum.

(4)

memberikan persetujuan atau penolakan. Metode ini disebut v e r b a l i z a b i l i t y . Verbalizability adalah satu cara untuk menguji kebenaran dari kesimpulan tentang suatu nilai yang diperoleh oleh seorang peneliti.

Pada umumnya ahli-ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi, menggunakan konsep nilai secara kasar, kurang tajam, bahkan kadang-kadang membingungkan. Sebagian ahli antropologi, seperti Linton dalam buku The Study of Man (1936) misalnya, menyamakan konsep nilai dengan sikap atau sikap mental. Sebagian sarjana lain menyamakan konsep nilai tersebut dengan kode moral, kepercayaan yang dipegang teguh, aspirasi kebudayaan, bahkan sampai kepada sanksi.

Satu kecenderungan umum yang lain adalah menyamakan konsep nilai dengan konsep budaya. Ini jelas tidak betul. Budaya adalah sesuatu yang lebih luas dari nilai. Jika kita menerima pandangan bahwa budaya adalah suatu sistem ideational, maka nilai, bersama dengan konsep-konsep sejenis itu, misalnya ethos, kepercayaan, worldview adalah unsur dari budaya. Satu pembicaraan khusus perlu untuk menjelaskan perbedaan definisi dan isi dari konsep-konsep tersebut: nilai, kepercayaan, ethos, dan worldview.

Satu titik penting yang membedakan nilai dengan kepercayaan bisa juga diberikan seperti berikut ini. Nilai mengacu kepada kategori good dan bad, dan right dan wrong; sementara itu kepercayaan mengacu kepada kategori true dan false, dan correct dan incorrect. Kepercayaan dalam pengertian populer sering juga diartikan sebagai the desirable yang disetujui dan diperintahkan oleh Tuhan. Jadi, bagaimanapun, dalam hal tertentu nilai dan kepercayaan mempunyai suatu titik persamaan. Dua-duanya mengandung pemikiran tentang standar, atau pengukuran.

Dalam rangka pengembangan konsep nilai ini, dan penerapannya dalam penelitian yang empirikal, Department of Social Relations,

Harvard University, telah menyelenggarakan satu proyek penelitian besar yang melibatkan puluhan tenaga ahli, baik dosen maupun mahasiswa, terhadap lima suku-bangsa Indian yang mendiami daerah Rimrock di bagian barat New Mexico, pada tahun 1949-1955. Proyek ini diberi nama Comparative Study of Value in Five Cultures. Hasil dari proyek penelitian ini dilaporkan dalam buku People of Rimrock; A Study of Value in Five Cultures, yang disunting oleh Evon Z. Vogt dan Ethel M. Albert (Harvard University Press, Cambridge-Massachusetts, 1967).

Alasan untuk mengadakan penelitian ini dikatakan oleh Clyde Kluckhohn sebagai berikut: Pada masa kini terdapat kesepakatan umum di kalangan ahli pemikir bahwa masalah ‘nilai’ merupakan masalah yang sangat penting, baik secara praktis maupun secara teori keilmuan. Telah banyak pembicaraan dilakukan di kalangan ilmuan sosial tentang ‘nilai’ ini. Demikian juga, sejumlah makalah yang merangsang pun sudah ditulis or-ang tentor-ang hal tersebut. Namun demikian, sampai masa kini baru ada sangat sedikit penelitian empiris mengenai hal ini. Masalah ini sangat mendesak untuk diteliti lebih jauh, baik secara teoritis maupun secara praktis3.

Beberapa pertanyaan pokok yang menjadi dasar dalam penelitian di Rimrock di atas adalah sebagai berikut:

• Nilai apakah yang menjadi ciri-ciri khas masing-masing kelompok masyarakat di daerah ini?

• Bagaimanakah posisi dari masing-masing sistem nilai di dalam totalitas struktur dan fungsi ekonomi masing-masing masyarakat?

• Dengan proses pengajaran dan pembelajaran informal dan formal macam apa sistem nilai diturunkan pada setiap masyarakat?

• Perubahan macam apa yang telah terjadi pada nilai dalam berbagai periode?

(5)

• Tekanan situasi apakah yang membuat perubahan pada nilai? Bagaimanakah perbedaan reaksi dari masing-masing kelompok terhadap tekanan yang sama, karena masing-masing kelompok mempunyai tradisi kebudayaan yang berlainan, dan juga perbedaan struktur sosial.

• Seberapa jauhkah keanekaragaman tipe kepribadian masing-masing kelompok? Kalau keanekaragaman ini memang ada, bagaimanakah hubungannya dengan kelestarian dari beberapa sistem nilai, perlawanan terhadap perubahan, pola khusus perubahan yang terjadi pada masing-masing kelompok.

• Apakah artinya sistem nilai bagi individu masing-masing kelompok?

• Semua pertanyaan diatas dapat dikatakan sebagai pecahan dari masalah pokok penelitian, yaitu: Mengapa perbedaan sistem nilai terus berlangsung pada lima kelompok masyarakat yang sebenarnya menghadapi persoalan yang sama dalam hal penyesuaian diri terhadap lingkungan ekologi yang sama; padahal kesemua kelompok tersebut mengalami kontak dan dorongan difusi nilai satu sama lain.

Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan berbagai teknik penelitian, yaitu:

• wawancara formal dan informal dalam rangka mengorek pernyataan pernyataan informan,

• observasi lapangan terhadap perilaku rutin dan terhadap respon pada masalah-masalah yang terjadi secara berulang,

• mencari pilihan-pilihan nilai melalui kuestioner formal,

• menemukan respon terhadap stimulus yang dapat diukur, seperti color chart, tachisto-scope images, dan projective test,

• tape recording dalam interaksi kelompok kecil,

• merekam, dengan berbagai cara yang sesuai, sastra lisan, musik, dan kesenian,

Sementara itu data hasil penelitian d i a n a l i s i s d a n d i i n t e r p r e t a s i k a n d e n g a n berbagai macam cara, yaitu: analisis statistik, analisis isi dan thema, deskripsi etnografi, dengan menggunakan berbagai konsep teoritis dari ilmu-ilmu sosial.

Di samping buku utama seperti yang disebutkan di atas, proyek penelitian ini juga menghasilkan berbagai makalah dan buku yang ditulis oleh perorangan anggota peneliti. Masing-masing menerapkannya pada berbagai suku-bangsa, baik di dalam Amerika, maupun di luar Amerika4. Termasuk ke dalam hasil karya

indi-vidual ini adalah buku karangan K & S di atas. Dua di antara buku hasil penelitian individual tentang nilai ini, yaitu buku Bellah (The Religion of Tokugawa) dan buku H. Geertz (The Javanese Family), beruntung sekali telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Konsep

value-orientation

secara umum

Sekarang kita beralih pada konsep value-orientation. Value-orientation, atau ‘orientasi-nilai’, sebagai sebuah konsep, di satu pihak nampak lebih khusus daripada konsep nilai, karena ditujukan kepada hal-hal yang sudah tertentu. Namun di pihak lain konsep ini nampak lebih luas, karena di samping m e n y a n g k u t h a l - h a l y a n g s e h a r u s n y a diinginkan juga menyangkut hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan. Dikatakan oleh

4 Misalnya, Thomas F. O’Dea, The Mormons. Chicago:

University of Chicago Press, 1957. Robert N. Rapoport,

(6)

C. Kluckhohn bahwa orientasi nilai adalah suatu konsepsi yang umum dan terorganisasi tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusia dengan manusia, dan tentang the desirable dan non-desirable.

Di sini konsepsi tersebut ditempatkan dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungannya dan hubungan antar manusia. Orientasi-nilai, sebagai sebuah konsepsi, mempengaruhi perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam dan dengan manusia yang lain. Dikatakan oleh C. Kluckhohn, dalam Parsons dan Shils (1965:411), bahwa secara formal orientasi-nilai dapat didefinisikan sebagai:

... a generalized and organized conception, in-fluencing behavior, of nature, of man’s place in it, of man’s relation to man, and of the desirable and nondesirable as they may relate to man-en-vironment and interhuman relations.

(... satu konsepsi yang umum dan bersistem (mempengaruhi perilaku) tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusia dengan manusia, dan tentang yang seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya diinginkan, sebagaimana mereka itu dapat dikaitkan dengan hubungan manusia-lingkungan dan antar-manusia)

Kiranya konsep orientasi-nilai inilah kemudian yang dikembangkan metode penelitiannya oleh Florence Kluckhohn dan Strodtbeck dalam buku Variations in Value Ori-entation, dan yang kemudian diperkenalkan oleh Prof. Koentjaraningrat ke Indonesia dengan nama ‘orientasi nilai-budaya’.

Konsep ‘orientasi-nilai’ menurut F.

Kluckhohn dan Strodtbeck

Dalam rangka memahami konsep orientasi-nilai yang dipopulerkan oleh F. Kluckhohn dan Strodtbeck (atau disingkat K & S), sekali lagi diingatkan bahwa konsep tersebut dasarnya merupakan buah pemikiran Clyde Kluckhohn dalam konteks theory of action. Kedua, juga perlu

diperhatikan bahwa penelitian K & S, yang hasilnya kemudian ditulis dalam buku Variations in Value Orientation, dilakukan dalam rangka proyek penelitian nilai dari Harvard University. Kekhasan dari penelitian K & S dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan ahli-ahli lain adalah bahwa mereka menggunakan metode ‘kuesioner formal’ untuk pengumpulan data dan metode statistik untuk analisa data. Jadi metode penelitian mereka adalah bersifat kwantitatif. Sementara itu ahli-ahli lain, ada yang menggunakan metode etnografi kwalitatif (yaitu Hildred Geertz dan O’Dea), ada yang menggunakan Test Roschach (yaitu Kaplan), dan ada pula yang menggunakan teknik rekaman atas diskusi kelompok kecil (yaitu Von Mering).

Metode penelitian K & S ini dapat dipelajari baik melalui buku mereka yang telah disebutkan di atas, atau dari buku-buku karangan Koentjaraningrat, maupun dari sebuah skripsi seorang sarjana antropologi yang dibimbing oleh Prof. Koentjaraningrat5.

Sehubungan dengan metode kwantitatif ini, saya masih ingat pengalaman pribadi saya bersama beberapa rekan mahasiswa antropologi, baik di Universitas Indonesia maupun di Universitas Gadjah Mada, membantu Prof. Koentjaraningrat dalam menyebarkan kuesioner ‘orientasi nilai-budaya’ di kalangan responden, yang terdiri dari berbagai suku-bangsa di Indonesia pada sekitar akhir tahun 1960-an. Sayang sekali sampai kini kami tidak mendengar lagi tentang hasil dari penelitian skala besar ini.

Teori K & S tentang orientasi-nilai digunakan untuk melihat susunan variasi orientasi-nilai baik di dalam satu masyarakat tertentu maupun untuk membandingkan perbedaan orientasi-nilai antara berbagai masyarakat. Dengan demikian berarti bahwa K & S menerapkan metode dan tujuan

5 Silahkan lihat, Hendro Budidharmono, Orientasi

(7)

penelitian sosiologis (kwantitatif) terhadap data dan masalah kajian nilai dalam antropologi. Juga di sini kita menemukan aspek universal dari orientasi nilai, karena penelitiannya menyangkut masalah umum manusia yang muncul dari situasi hidup manusia.

Penggunaan masalah penelitian di atas dalam kajian komparatif dilakukan atas dasar asumsi bahwa semua masyarakat dalam semua kurun waktu menghadapi sejumlah masalah tertentu yang harus mereka selesaikan. Dalam hal ini K & S mengajukan lima masalah pokok yang dihadapi manusia secara universal, yaitu:

• persoalan mengenai sifat dasar manusia (human nature),

• persoalan hubungan manusia dengan alam,

• persoalan titik masa yang menjadi perhatian kehidupan manusia,

• persoalan mengenai kegiatan manusia,

• persoalan hubungan antara manusia dengan sesamanya.

Sebenarnya K & S mempunyai pikiran bahwa masih ada satu lagi persoalan pokok kehidupan manusia yang menjadi masalah keenam, yaitu pandangan manusia tentang ruang dan kedudukan mereka dalam ruang tersebut. Kendatipun demikian, K & S belum dapat mematangkan

masalah yang satu ini sampai waktu mereka melaksanakan penelitian.

Asumsi kedua mengatakan bahwa meskipun terdapat berbagai macam variasi jalan penyelesaian terhadap setiap masalah di atas, n a m u n j a l a n p e n y e l e s a i a n y a n g s a n g a t mungkin tidaklah bersifat random maupun terbatas, tapi mempunyai variasi yang jelas. Dalam hal ini K & S mengajukan tiga pilihan jalan penyelesaian bagi setiap masalah yang dipandang mereka umum dilakukan orang. Di bawah ini dilampirkan skema pilihan jawaban yang sudah dirancang oleh K & S yang dikutip dari buku karangan Prof. Koentjaraningrat, R i n t a n g a n - r i n t a n g a n M e n t a l D a l a m Pembangunan Ekonomi Indonesia (1969:22-25).

Asumsi ketiga, semua alternatif dalam penyelesaian masalah terdapat dalam semua masyarakat dalam semua waktu. Yang berbeda hanya preferensinya. Setiap masyarakat mempunyai sejumlah variasi pilihan atau pilihan pengganti, di samping pilihan dominan atas orientasi nilai.

Sistem nilai dan perubahan

sosial-kultural di Indonesia

Di atas telah diuraikan secara sekilas konsep dan metode penelitian ‘orientasi

nilai-Tabel 1: Kerangka Orientasi Nilai Budaya

Hakekat dan sifat hidup Hidup adalah buruk hidup adalah baik hidup adalah buruk tapi harus diperbaiki Hakekat kerja Kerja adalah untuk

hidup

kerja adalah untuk mencari kedudukan

kerja adalah untuk menambah mutu karya Hakekat kedudukan

manusia dalam ruang dan waktu

masa lalu masa kini masa depan

Hakekat hubungan manusia dengan alam

tunduk pada alam mencari keselarasan hidup dengan alam

menguasai alam

Hakekat hubungan manusia dengan manusia

memandang pada tokoh-tokoh atasan

mementingkan rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong r oyong)

mementingkan rasa tidak tergantung pada sesamanya (berjiwa individualistik)

(8)

budaya’ dari Prof. Koentjaraningrat. Kini saya ingin membicarakan konsep nilai dalam p e n g e r t i a n y a n g l e b i h u m u m , d a n mengaitkannya dengan perubahan yang terjadi di Indonesia.

Seperti pola kehidupan sosial, nilai yang hidup dalam suatu masyarakat juga mempunyai pola dan sistem. Di dalam suatu masyarakat dikenal adanya berbagai nilai yang saling terkait satu sama lain, antara lain nilai dalam bidang ekonomi, nilai bidang politik, nilai bidang keagamaan, nilai dalam kehidupan kekeluargaan, dsb. Dalam kenyataan, tidak semua nilai mendapatkan tempat yang sama dalam kehidupan suatu masyarakat. Pada satu masyarakat nilai keagamaan lebih ditekankan daripada nilai ekonomi, sedangkan pada masyarakat yang lain nilai kekeluargaan mendapat tempat yang lebih penting dari pada nilai politik.

Demikian juga, dalam suatu masyarakat dapat terjadi perubahan pada nilai utamanya dari satu masa ke masa yang lain. Indonesia pada zaman demokrasi terpimpin (1959-1965) memberi penekanan lebih berat pada nilai politik dari pada nilai ekonomi. Kepedulian utama dari nilai politik adalah pada tujuan hidup bersama dan kesetiaan kepada bangsa dan negara. Tujuan utama dari revolusi Indonesia pada zaman demokrasi terpimpin adalah suatu masyarakat sosialisme Pancasila.

Pada zaman Orde Baru Suharto, nilai utama dari masyarakat Indonesia adalah nilai ekonomi, yang perhatian utamanya adalah pada peningkatan produksi. Penilaian diletakkan pada rasionalisasi metode produksi, yaitu mencapai hasil yang sebanyak-banyaknya dengan cara pengeluaran enerji dan biaya yang sekecil-kecilnya.

Seterusnya, dalam zaman demokrasi terpimpin Soekarno, buruh dan tani adalah sokoguru revolusi. Untuk kesejehteraan merekalah terutama revolusi Indonesia ditujukan. Pada zaman pembangunan ekonomi Suharto, buruh dan tani adalah alat produksi untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi dicapai dengan cara meningkatkan produksi dengan penggunaan enerji dan biaya yang murah, maka konsekwensinya buruh diupah serendah-rendahnya dan nilai tukar petani ditekan pada paras yang paling bawah. Jadi kita melihat bahwa perubahan rejim pemerintah dari Soekarno kepada Suharto bukan hanya dalam arti perubahan pola perilaku dan institusi politik, tapi juga perubahan pada aspek nilai, yaitu dari penekanan pada nilai politik ke penekanan pada nilai ekonomi. Karena perobahan perilaku dan institusi politik berada pada aspek sosial, yaitu perilaku empiris, dan perubahan nilai berada pada aspek kultural, yaitu ideasional dan abstrak, maka perubahan yang terjadi dari rejim Soekarno kepada rejim Suharto sekaligus merupakan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.

Pergeseran nilai keagamaan dalam

masyarakat Indonesia

Kini tibalah saya pada bagian terakhir dari pembicaraan saya, yaitu tentang pergeseran nilai keagamaan, khususnya agama Islam, dan perubahan sosial di Indonesia. Gambaran perubahan yang akan saya berikan dibatasi pada kurun Orde Baru saja, yaitu kurang-lebih dua dasawarsa dari awal tahun 1970-an sampai awal 1990an, kecuali kalau saya sebutkan tentang kurun tertentu di luar kurun tersebut.

Di atas sudah saya nyatakan bahwa di Indo-nesia telah terjadi pergeseran nilai secara umum, dari penekanan pada nilai politik ke nilai ekonomi. Apakah dampak dari perubahan-penekanan nilai ini terhadap nilai-nilai keagamaan bangsa Indo-nesia yang beragama Islam? Untuk sementara saya belum mampu mendiskusikan hal ini secara terinci. Saya hanya akan memberikan beberapa petunjuk di bawah ini, sebagai bahan pembicaraan lebih lanjut.

(9)

masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam, menjadi bersikap-pandang makin pragmatis, materialistik, hedonistik dan individualistik. Dalam hal tertentu, sikap pandang ini telah menjauhkan umat Islam Indonesia dari akhlakul korimah.

Kedua, sebaliknya, pembangunan juga telah melahirkan sisi lain dalam sikap-pandang umat Islam Indonesia. Sebagai sebuah kelompok sosial-politik, mereka mulai memiliki rasa percaya diri. Makin lama mereka makin menemukan identitas mereka sebagai kelompok mayoritas dan pribumi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari gaya kehidupan sehari-hari dan dalam perilaku beribadah.

Ketiga, pengaruh budaya politik dalam birokrasi Indonesia yang didominasi oleh satu orsospol (Golkar) dan budaya dari suatu suku-bangsa tertentu (Jawa), yang penekanan perhatiannya sangat diberikan pada usaha untuk mempertahankan mayoritas tunggal, stabilitas pemerintahan, keamanan rakyat, harmonis, hierarki tradisional, dsb. cenderung lebih mengutamakan etika pergaulan sosial, sebaliknya menurunkan moral keislaman, khususnya dalam sektor birokrasi pemerintahan. Demi keselamatan hidup pribadi, orang cenderung berlaku hipokrit, atau munafik.

Keempat, kemajuan dalam pendidikan umum/ sekuler di satu pihak, dan kehausan umat Islam akan interpretasi ajaran agama yang lebih

tepat-g u n a d a n l e b i h r e l e v a n d e n tepat-g a n s i t u a s i kehidupan masa kini, telah melahirkan ulama-ulama gaya baru dengan latar belakang urban dan pendidikan universitas umum. Ulama-ulama tradisional dengan latar belakang rural dan pendidikan keagamaan makin kentara keterbatasan wawasannya dalam membantu umat Islam awam untuk memecahkan masalah kehidupan yang makin kompleks.

Terakhir, urbanisasi yang terjadi secara besar-besaran pada masa akhir-akhir ini, telah menimbulkan keperluan baru di kalangan migran Islam di perkotaan. Mereka telah meninggalkan kerukunan kehidupan desa, yang tidak ditemukan di kota. Mereka memerlukan satu lembaga kerukunan baru. Mungkin masjid dapat digunakan sebagai pusat pengikat kerukunan umat, menggantikan ‘kerukunan desa’ dan ‘kerukunan kekerabatan’ yang mereka tinggalkan di desa.

Sayang sekali sampai kini, sebagian besar kegiatan masjid baru pada sektor ibadah sembahyang berjamaah. Akan lebih menolong banyak bagi para migran baru dari desa ini kalau masjid juga dapat mengembangkan diri dalam fungsi pendidikan anak-anak dan berbagai kegiatan sosial lain. Pokoknya masjid harus dapat mengembangkan fungsinya sebagai ‘pusat komunitas’ yang mengikat umat yang tinggal di sekelilingnya.

Kepustakaan

Bellah, R. N.

1970 (1957) Tokugawa Religion. Boston: Beacon Press.

Geertz, H.

1961 Javanese Family. New York: The Free Press of Glencoe.

Gillin, J. (ed.)

(10)

Hendro Budidharmono

1971 Orientasi Nilai-Budaya Pada Masyarakat Desa Klopoduwur. Skripsi Sarjana Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Kluckhohn, F. R. dan F. L. Strodtbeck

1961 Variations in Value Orientation: A Theory Tested in Five Cultures. Evanston, Illinois: Row, Peterson and Co.

Koentjaraningrat

1969 Kerangka Untuk Meneliti Faktor-faktor Sosial-Budaya Dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bhratara.

1969 Rintangan-rintangan Mental Dalam Pemabangunan Ekonomi di Indonesia. Jakarta: Bhratara.

1975 Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Linton, R.

1936 The Study of Man. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc.

O’Dea, T. F.

1957 The Mormons. Chicago: University of Chicago Press.

Parsons, T. dan E. Shils (eds)

1965 (1951) Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.

Rapoport, R. N.

1954 ‘Changing Navaho Religious Values: A Study of Christian Missions to the Rimrock Navahos’, Cambridge, Mass.: Papers of the Peabody Museum of American Archaelogy and Ethnology, Vol. 41, No. 2,.

Vogt, E. Z. dan E. M. Albert

Gambar

Tabel 1: Kerangka Orientasi Nilai Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Berikut syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muhtasib : a. Merdeka, akil baligh dan adil. Memiliki pandangan yang luas serta berpegang teguh kepada ajaran Islam. Memiliki

Hal tersebut merupakan salah satu risiko audit yang masuk dalam jenis risiko deteksi karena dengan penolakan kerjasama agen akan menjadikan tim

Telah diturunkan persaman untuk evolusi faktor skala, parameter Hubble, kerapatan materi- energi dan tekanan alam semesta dalam model kosmologi brane yang memiliki

Tim Fakultas Hukum UMS, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia Dalam Proses Peradilan Pidana, Sumbangan Untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Makalah, Seminar Nasional yang

Kompleksnya permasalahan yang dimiliki oleh anak tunaganda dalam menjalani kehidupan sehari-harinya dan harapan orang tua akan masa depan yang lebih baik pada anaknya

Untuk menganalisis validitas kriteria dapat digunakan rumus r product moment Contoh Uji Reliabilitas Contoh Perhitungan Korelasi Butir untuk soal bentuk uraian No Responden No

Agar penelitian ini terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka penulis membatasi permasalahan pada peran lembaga simpan pinjam perempuan (SPP)

PTK dari sekolah naungan Kemendikbud yang akan mutasi sekolah induknya ke Madrasah naungan Kemenag tidak lagi melalui prosedur persetujuan mutasi keluar oleh Admin