• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah korban seringkali kurang mendapat perhatian, kalaupun ada perhatian terhadap mereka, terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana yang terjadi. Sementara, kepentingannya untuk memperoleh pemulihan (reparation) yang efektif, seringkali tidak mendapat perhatian yang besar. Begitu jugalah halnya yang dirasakan oleh korban tindak pidana perkosaan. Kasus perkosaan telah banyak terjadi dan korbannya sangatlah menderita baik secara fisik maupun batin.

Beberapa contoh kasus perkosaan yang terjadi antara lain kasus perkosaan terhadap gadis remaja 15 tahun, ia menangis histeris saat diperiksa sebagai saksi korban didepan persidangan Pengadilan Negeri Bitung, ia dicegat dan diperkosa di jalan perkampungan oleh terdakwa pria beristri (29 tahun).1

1

Sumber

(2)

Kasus perkosaan lain yang pernah terjadi adalah kasus perkosaan di Gresik yang banyak melibatkan orang-orang dekat korban, Tahun 2009 sudah tercatat tiga kasus perkosaan, yakni di wilayah Kecamatan Kedamaean, Menganti, dan Sidayu. Terakhir korban yang masih duduk di kelas II SMA diperkosa kakak ipar dan tetangganya sendiri.2 Kasus perkosaan lainnya yaitu 168 kasus perkosaan terhadap warga keturunan Tionghoa yang terjadi pada saat kerusuhan, dua puluh diantara korban tewas karena terperangkap api dan dibunuh.3 Kasus selanjutnya adalah kasus perkosaan yang dialami seorang pembantu yang diperkosa oleh majikannya.4 Kasus perkosaan terhadap gadis keterbelakangan mental berinisial AP (14), yang diperkosa oleh sepupunya sendiri serta empat orang temannya, di Jalan Karya Setia Gang Kerabat Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat yang mengalami trauma pasca pemerkosaan yang menimpanya.5

Kasus perkosaan yang marak terjadi saat ini juga mengundang perhatian banyak pihak. Kasus Perkosaan yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah kasus baru Begitu juga kasus tindak pidana perkosaan di angkot yang sedang marak dibicarakan saat ini. Hal ini adalah beberapa contoh kasus perkosaan yang pernah terjadi. Hal ini juga menunjukkan bahwa kasus perkosaan bisa terjadi di berbagai tempat dan kondisi. 06/03/2013, pukul 12.15 Wib

5

(3)

namun merupakan kasus yang telah lama terjadi. Data Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan, lembaga negara yang memberikan upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus perkosaan terhadap perempuan mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2008 – 2010, Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 91.311 kasus. Sebagai catatan bahwa kurang dari 10 persen dari 91.311 adalah kasus kekerasan seksual yang didokumentasikan secara terpilah. Kasus kekerasan seksual tersebut kemudian dikenali menjadi sebelas kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Sementara itu sebanyak 82.985 adalah kasus gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Jumlah kasus di atas merupakan fenomena gunung es, jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus-kasus perkosaan yang dapat didokumentasikan. Perasaan malu, dianggap sebagai aib dan rendahnya keberpihakan masyarakat, pemerintah dan penegak hukum terhadap korban menjadi hambatan perempuan korban kekerasan untuk melaporkan kasus yang dialaminya.6

6

Sumber

Banyak Korban juga tidak berusaha mengadukan kasus yang menimpanya kepada pihak yang berwajib, karena dalam dirinya sudah tertanam sikap kekhawatiran dan ketakutan kalau cara yang dilakukannya bukan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah dan meringankan beban yang dihadapinya, melainkan akan menimbulkan beban yang lebih berat. Disamping takut disuruh mengungkap ulang atau mendeskripsikan kasus yang menimpanya, korban juga khawatir pihak yang berwajib tidak sungguh-sungguh

(4)

dalam menangani penderitaannya. Hal ini kiranya menunjukkan pada kita bahwa korban perkosaan belum menganggap bahwa hukum yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan ini belum dapat memberikan perlindungan padanya.

(5)

dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban agar korban dapat membantu dalam pengungkapan perkaranya.

Telah kita ketahui bahwa perempuan korban kekerasan biasanya mengalami luka batin (psikologis) yang luar biasa, sehingga upaya-upaya pemulihan terhadap korban haruslah penting dilakukan oleh semua pihak. Ironisnya pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban masih jauh dari yang diharapkan. Korban perkosaanselain mengalami luka secara fisik dan psikis juga harus menanggung sendiri biaya pengobatan di rumah sakit.7 Dalam proses peradilan pidana, keberadaan korban perkosaan tetap mengkhawatirkan. Keterwakilannya oleh jaksa tidak menjadikan peristiwa yang dialami menjadi terganti. Dihukumnya pelaku perkosaan tidak menghilangkan rasa traumatis yang diderita korban.8 Bahkan seringkali ungkapan-ungkapan yang menyudutkan korban sering sekali terdengar disampaikan oleh berbagai pihak yang membuat semakin melemahnya posisi korban. Hukum seharusnya mampu memberi keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban. Keadilan bagi korban paling tidak akan berbentuk hukuman yang setimpal bagi para pelaku, dan perlindungan yang efektif bagi korban. Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius.9

7

Sumber: Koran Kompas, edisi Sabtu, 17 Desember 2011, Pemerkosaan di Angkot: Korban Masih Biayai Pengobatan Sendiri, hlm.26

8

Rena Yulia, 2010, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta, Penerbit Graha Ilmu, hlm. 13

9

Dikdik M.Arief Manshur dan Elisatris Gultom,2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta, Penerbit PT Rajagrafindo persada, hlm. 23

(6)

ini, maka perlu dilakukan pembaharuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan ini, masalah perlindungan korban ini perlu pengaturan yang memadai untuk memulihkan kondisi sosial-ekonomi para korban kejahatan serta, perlu diatur mengenai pemulihan korbannya serta hak-hak para korban tersebut secara tegas, begitu juga dengan perumusan tindak pidananya.

Kita menyadari bahwa upaya keadilan bagi korban pada gilirannya akan sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan kita sekarang dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap harkat, martabat, dan hak asasi manusia.10 Budaya keadilan dimulai dari tumbuhnya rasa hormat kita pada korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk, dan ungkapan.11 Keadilan harus ditegakkan. Korban harus dipulihkan dan dihormati. Itulah pesan utama dalam praktek kehidupan kita kedepan terutama dimasa transisi ini.12

10

Theo Van Boven, 2002, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, hlm. ix

11 Ibid., 12

Ibid., hlm x

(7)

yang secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana perkosaan, baik berupa perlindungan fisik, psikis, dan hak untuk memperoleh restitusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan dan sebagai usaha untuk menanggulangi tindak pidana perkosaan yang akhir-akhir ini semakin marak diberitakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban?

2. Hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

(8)

2. Mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban.

Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya tentang pemahaman bagaimana hukum memberi perlindungan terhadap korban, khususnya korban perkosaan. 2. Manfaat Praktis

Memberi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam upaya penegakan hukum tindak pidana perkosaan, khususnya dalam hal perlindungan terhadap korban.

D. Keaslian Penulisan

(9)

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat penulis katakan bahwa skripsi ini merupakan karya penulis yang asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana pada hakikatnya berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda (WVS) yaitu strafbaarfeit. Strafbaarfeit ini diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit ini adalah sebagai berikut:13

1 Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro

2 Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal abiding, dalam buku beliau Hukum Pidana

13

(10)

3 Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin Delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan mausia yang pasif atau negative (nalaten). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut.14 Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.15

Beberapa pengertian Tindak pidana yang dirumuskan oleh para ahli yaitu:16

1. D. Simons

Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut;

a. Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif (tidak berbuat).

14

Ibid., hlm. 70 15

Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, Penerbit UMM Press, hlm. 102

16

(11)

b. Diancam dengan pidana c. Melawan hukum

d. Dilakukan dengan kesalahan

e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab 2. J. Bauman

Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

3. Wirdjono Prodjodikoro

Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

4. Pompe

Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah

feit (tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.

2. Tindak Pidana Perkosaan

KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (rape) pada Pasal 285 yang bunyinya sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ini mempunyai unsur-unsur yakni:

(12)

2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 3. memaksa

4. seorang wanita bersetubuh dengan dia 5. diluar perkawinan

Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. 17

Seorang terdakwa dapat dikatakan bersalah karena melakukan tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah apabila terbukti mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana perkosaan tersebut. Disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang:

Karena seperti yang telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.

18

a. adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan;

17

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm. 97

(13)

b. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan memakai kekerasan;

c. adanya kehendak atau maksud si terdakwa untuk memaksa;

d. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang wanita yang bukan istrinya.

e. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya diluar perkawinan.

Jika salah satu kehendak/maksud dan pengetahuan terdakwa tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan tindak pidana yang ia dakwakan kepadanya, dan hakim akan memberi putusan bebas dari tuntutan hukum bagi terdakwa.19

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/ politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial,

2. Pengertian Pembaharuan Hukum Pidana

kebijakan

19

Ibid., hlm.98

(14)

dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah diakatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).20

Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/ penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

21

1) Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

20

Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, hlm. 30

21

(15)

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan);

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio cultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

(16)

sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda dan dielakkan lagi eksistensinya.

Menurut Muladi ada tiga metode pendekatan dalam kebijakan criminal dan penalisasi, yaitu:22

a. Metode evolusioner (Evolutionary approach)

Metode ini memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang sudah lama ada dalam KUHP; b. Metode Global (Global Approach)

Metode ini dilakukan dengan membuat peraturan tersendiri diluar KUHP, misalnya Undang-Undang Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.

c. Metode Kompromis (compromise Approach)

Metode ini dilakukan dengan cara menambah bab tersendiri dalam KUHP mengenai tindak pidana tertentu, misalnya tambahan Bab XXIX a dalam KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarana/Prasarana Penerbangan.

3. Aspek Perlindungan Terhadap Korban

Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami

22

(17)

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Arif Gosita memberikan definisi tentang korban yaitu mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.23

Korban juga didefinsikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan yaitu Orang yang secara individual Maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan ( by act) maupun karena kelalaian (by Omission).24

Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa istilah korban tidak hanya mengacu kepada perseorangan saja melainkan mencakup juga kelompok dan masyarakat. Pengertian di atas juga merangkum hampir semua jenis penderitaan yang diderita oleh korban. Cedera fisik maupun mental juga mencakup pula derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban, seperti mengalami

23

Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, hlm. 90

24

(18)

trauma. Mengenai penyebabnya ditunjukkan bukan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dilakukan tetapi juga meliputi kelalaian.25

Dari perspektif ilmu Victimologi korban tersebut yang hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, dapat diklasifikasikan secara global menjadi:26

a. Korban kejahatan (victim of crime) sebagaimana termaktub dalam ketentuan hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai

penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan tradisional, kejahatan kerah putih (white collar crime), serta victimless crimes yaitu viktimisasi dalam korelasinya dengan penegak hukum, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;

b. Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power). Pada konteks ini lazim disebutkan dengan terminology political victimology dengan ruang lingkup abuses of power, Hak Asasi Manusia (HAM) dan terorisme;

c. Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang bersifat non-penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang bersifat administrative bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang lingkupnya bersifat economic victimology; dan

25

Ibid., hlm. xiv 26

(19)

d. Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan bermasyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksi moral.

Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan dalam ranah ketentuan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu:27

1. dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);

2. dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/ santunan atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain: pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Ada beberapa argumentasi dan justifikasi mengapa korban kejahatan memerlukan beberapa perlindungan. Mardjono Reksodiputro menyebutkan dari pendekatan kriminologi ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu mendapat perhatian, yaitu:28

27

Ibid., hlm. 250

(20)

1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan ( offender-centered);

2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal (terutama statistik yang berasal dari kepolisian); ini dilakukan melalui survai tentang korban kejahatan (victim surveys);

3. Makin disadari bahwa disamping korban kejahatan konvensional (kajahatan-jalanan; street crime) tidak kurang pentingnya untuk memberi perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional (a.l kejahatan korporasi dan kejahatan kerah putih) maupun korban-korban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of economic power and/or public power)

Muladi meyebutkan ada beberapa argumentasi mengapa korban kejahatan perlu dilindungi, yaitu 29

29

Ibid.,

Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini

(21)

dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada lain pihak.

Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argument kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Yang pertama, menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang disebut terakhir menyatakan bahwa negara harus menjaga warganegaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami kesulitan, melalui kerja sama dalam bermasyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik.

Menurut Arif Gosita, beberapa hal yang menjadi dasar perlunya memperhatikan si korban dalam tindak pidana, adalah antara lain sebagai berikut:30

1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai sikorban secara yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan ketertiban;

30

(22)

2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan setiap warga negara melayani sesame manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan;

3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban; 4) Adanya peningkatan kejahatan Internasional yang mungkin juga

menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini bila tidak ada lagi yang mau memberi kompensasi tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya;

5) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya korban-korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan sengaja oleh masyarakat.

(23)

7) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin mendapatkan ganti rugi ia harus menempuh jalan yang tidak mudah.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan meliputi KUHP, KUHAP, Undang-Undang, dan Peraturan Pelaksana. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisa bahan hukum primer, antara lain berupa buku, hasil-hasil penelitian, karya tulis ilmiah, koran, dan lain sebagainya.

(24)

Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data untuk penyusunan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research) yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif dan diuraikan secara deskriptif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini kedalam 4 (empat) Bab.

BAB I, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II, berisi tentang apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban, dan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Selain variabel kualitas kehidupan kerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel persepsi peluang kerja juga memiliki peran terhadap intensi pindah kerja pada

Perbedaan atau Peningkatan Keaktifan Belajar Siswa dalam Pembelajaran Materi Jurnal Penyesuaian Kelas X Akuntansi di SMK Negeri 1 Boyolali dengan Menggunakan Media

Subyek terbanyak dalam penelitian ini adalah perempuan, yang dimana kasus hipertensi pada perempuan diatas umur 18 tahun menurut Riskesdas 2018, memiliki

1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani , rohani maupun sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan

The writer gives her gratitude to God for giving her everything in her life, so that s he can finish writing the research entitled “ The Ability in Writing Daily

Nanang yang sudah dikenal sebagai seseorang yang mampu berkomunikasi sosial dengan orang sekitarnya dapat dan mudah untuk melakukan tugas pendataan

Dalam keadaan ini, menurut yurisdiksi universal harusnya negara yang menangkap adalah negara yang berwenang mengadili para bajak laut ini, terlepas dari tidak adanya

Este número está dedicado al Alfabetismo transmedia, propuesta que abarcaba tanto la formación crítica para el consumo mediático como la creación de un periódico o