• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang dan Tantangan Pengembangan E Gov (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peluang dan Tantangan Pengembangan E Gov (1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Peluang dan Tantangan Pengembangan E-Gov di Indonesia

Oleh : Rakhmat Aji J, Iping Supriatna,; Dept. Teknik Informatika ITB Diajukan sebagai usulan materi pada

IEGI 2002 – Indonesian E-Government Initiative Institut Teknologi Bandung, 6 – 7 Maret 2002

Topik : Domain dan Regulasi Kebijakan

A. Idealisasi E-Gov

Electronic government atau yang sering disebut e-gov

menurut definisi Bank Dunia (www.worldbank.org) adalah suatu konsep yang mengacu kepada penggunaan teknologi informasi oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan hubungan antara warganegara, perusahaan, dan antar lembaga pemerintah yang lain. Teknologi ini dapat melayani berbagai macam keperluan; yaitu penyampaian pelayanan pemerintah ke warganegara dengan lebih baik, memperbaiki interaksi antara industri dan perusahaan, pemberdayaan warganegara melalui akses informasi, atau membuat manajemen pemerintah lebih efektif. Keuntungannya adalah dapat mengurangi korupsi, meningkatkan transparansi, memperbesar kenyamanan hidup, menumbuhan pendapatan, serta mengurangi biaya.

Secara tradisional, interaksi antara warganegara atau pengusaha dan lembaga pemerintah berada di dalam kantor pemerintah. Dengan hadirnya teknologi informasi dan komunikasi, maka dimungkinkan untuk menempatkan pusat-pusat pelayanan pemerintah lebih dekat ke masyarakat dan dunia usaha.

Electronic goverment bertujuan untuk membuat

interaksi antara pemerintah dan warganegara (G2C), pemerintah dan perusahaan (G2B), dan antar lembaga pemerintah (G2G) lebih mudah, menyenangkan, transparan, dan tidak mahal.

Secara umum, ada empat tahapan dalam pelaksanaan

e-gov, yakni ;

1) publishing atau penerbitan, dimana lembaga

pemerintah memberikan informasi yang bersifat publik;

2) interactivity, dimana lembaga pemerintah

memberikan layanan interaktif kepada publik tentang hal-hal yang menjadi kewenangannya;

3) completing transactions, dimana lembaga

pemerintah memberikan pelayanan berupa penyelesaian transaksi secara penuh; serta

4) delivery, dimana lembaga pemerintah

memberikan pelayanan sampai mengantarkan layanannya kepada penggunanya.

B. E-Gov sebagai sebuah Sistem Supply and Demand

E-gov yang saat ini sering kita dengar di mass media, bagi banyak orang masih merupakan suatu fenomena, yaitu sesuatu yang dapat dilihat, atau dialami, atau dirasakan. Kebanyakan orang mempunyai persepsi dan perspektif yang cukup beragam tergantung dari sudut pandang dan pengalamannya ketika berusaha memberi makna e-gov yang berasal dari kata

e’lectronic dan kata ‘gov’erment. Hal ini karena

tidak terlalu jelas apa yang sedang dibicarakannya : apakah (a)kegiatannya, (b)hasil kegiatannya, (c) institusi yang menggunakannya, (4) institusi yang menciptakannya, dan sebagainya.

Untuk lebih mudah dalam melihat ‘e’lectronic dan melihat ‘gov’erment, cara pertama adalah dengan melihatnya dari kacamata supply dan demand.

Berdasarkan definisi Bank Dunia, kata ‘e’-lectronic mengacu kepada penggunaan teknologi informasi, dan kata ‘gov’erment mengacu kepada institusi pemerintah yang menggunakan teknologi informasi. Ini berarti teknologi informasi dalam segala aspeknya adalah supply, yang ditawarkan oleh industri-industri pendukungnya kepada pemerintah sebagai demand, yang membutuhkannya seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Pada gambar diatas, supply yang ditawarkan berupa teknologi perangkat keras, teknologi perangkat

demand supply govermentelectronic

G-B G-G G-C

(2)

lunak, dan teknologi jaringan & telekomunikasi. Sedangkan demand, berupa kebutuhan institusi pemerintah dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang fungsi manajemen internal dan pelayanan kepada publik (G-B,G-C, dan G-G).

Melalui kacamata tersebut, bila kita memperhatikan sisi demand-nya, maka sebenarnya kita bicara tentang sejauh mana kebutuhan institusi pemerintah didukung oleh teknologi informasi yang tersedia dapat 1)meningkatkan efisiensi, 2)meningkatkan akses informasi, 3)memperbaiki pelayanan, dan 4)inovasi demokrasi.

Gambar berikut ini adalah definisi electronic

government bersumber dari Hitachi Research Institute

(HRI).

HRI mendefinisikan e-gov berdasarkan kurun waktu, dimana peran e-gov dimulai dari perbaikan efisiensi, akses informasi, perbaikan pelayanan, dan inovasi demokrasi pada sumbu horizontal; dan sumbu vertikal mendefinisikan perbaikan interaksi pemerintah dan warganegara; dan interaksi warganegara dengan perwakilannya.

Sedangkan, bila kita memperhatikan sisi supply-nya, maka sebenarnya kita bicara tentang sejauh mana

pasokan teknologi informasi diserap oleh institusi pemerintah. Pasokan teknologi dari mulai yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Pada gambar diatas, pasokan teknologi informasi mulai dari electronic data processing, sistem informasi manajemen, sistem informasi eksekutif, sistem pendukung keputusan, sistem pakar, sampai

knowledge management. Pasokan ini diserap oleh

institusi pemerintah diwakili oleh 20 sektor pembangunan untuk kebutuhan G2G, G2B, maupun B2C.

C. Paradigma Pembangunan E-Gov

Paradigma pembangunan e-gov adalah cara pandang untuk melihat lebih mendasar tentang hubungan

e-gov dikaitkan dengan pembangunan di Indonesia

secara umum. Hal ini supaya pijakan e-gov cukup kuat sehingga tidak mengalami kegagalan atau tidak menjadi sumber persoalan baru.

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan. Suatu proses perubahan selalu terjadi, baik dengan sendirinya ataupun merujuk ke arah perubahan yang diinginkan. Pada umumnya terjadinya suatu perubahan tersebut karena dilakukannya intervensi. Intervensi tersebut dilakukan dengan mengubah parameter struktur dari berbagai tatanan yang ada di masyarakat yang melakukan perubahan tersebut. Paradigma pembangunan yang selama ini dikenal merupakan proses aksi–reaksi sebagai akibat evaluasi dari keberhasilan dan kegagalan paradigma yang dianut. Saat ini ada empat paradigma yang dikenal, yakni 1)paradigma pertumbuhan, 2)paradigma kesejahteraan, 3)paradigma people-centered, dan 4)paradigma berkelanjutan.

Untuk paradigma berkelanjutan, bila dilihat dari perspektif keberlanjutan proyek (project

suistainability), dengan dilandasi oleh kenyataan

berupa tingginya mortality rate proyek-proyek pembangunan di negara berkembang (Indonesia). Maka e-gov seharusnya dipandang sebagai proyek yang suistainable. Karena dalam konteks ini pembangunan berkelanjutan adalah “the ability of a

development project to generate sufficiently a net surplus as input for further development”. Artinya

adanya kualitas kemampuan untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri, serta hubungan optimal antara input dan output.

improved efficiency access to information

improved services

innovation of democracy (digital democracy)

goverment and citizen

close interaction

betw

een citizens and

citizen representatives

Hitachi Research Institute

(3)

3 Saat ini paradigma pertumbuhan masih menjadi

kebijakan utama di Indonesia. Eksistensi dan kelangsungan (suistainability) proyek pembangunan sangat tergantung pada input pembangunan yang berasal dari atas atau luar, dan akan mengalami stagnasi, disintegrasi, atau mortalitas apabila dukungan sumber dihentikan. Proyek pembangunan tidak mampu mencapai kondisi self-generation of

input, sehingga keberlanjutan proyek menjadi rentan.

Ciri-ciri proyek yang dilaksanakan dengan pola seperti ini adalah sebagai berikut :

1. Prakarsa berasal dari pusat, dalam bentuk rencana formal

2. Proses penyusunan program bersifat statis, didominasi oleh pakar atau teknokrat

3. Teknologi yang digunakan bersifat ilmiah dan bersumber dari luar

4. Mekanisme kelembagaan bersifat top-down 5. Pertumbuhan cepat, tetapi bersifat mekanistik 6. Organisatornya adalah pakar spesialis

7. Evaluasi bersifat eksternal dan berorientasi pada dampak (impact)

8. Fokus perhatian pada penyelesaian proyek secara tepat waktu.

Dengan melihat sekilas kedua ciri paradigma pembangunan diatas, maka proyek pembangunan

E-Gov sebaiknya diposisikan di mana ?. Walaupun

sudah ditekankan bahwa proyek e-gov seharusnya berkelanjutan. Hal ini penting untuk dijawab karena di Indonesia, E-Gov masih berupa wacana baru, dan mulai banyak dikembangkan di berbagai institusi pemerintah. Dengan memutuskan benih apa yang seharusnya ditanam, dan sistem pengairan apa yang harusnya dipilih akan menjadi faktor penentu keberhasilan e-gov tumbuh secara berkelanjutan. Lagi pula, e-gov merupakan bentuk penggunaan artefak teknologi yang notabene berasal dari luar, sehingga penyerapan teknologi oleh Indonesia dari negara maju yang berbeda tata-nilai budayanya mengakibatkan terjadinya degradasi kinerja dari teknologi tersebut, akibat dari pengabaian cara-cara tertentu yang menjadi syarat pengoperasian teknologi tersebut dengan benar. Sehingga muncul pertanyaan lanjutan ‘sebenarnya e-gov merupakan alat atau tujuan?’.

D. Peranan E-Gov Bagi Institusi Pemerintah

Banyak orang berpikir, bahwa e-gov menjadi state of

the art dari sistem administrasi dan pelayanan

pemerintah. Namun sebelum pernyataan itu muncul, sebenarnya ada proses evolusi pemanfaatan teknologi informasi di suatu institusi pemerintah atau organisasi pada umumnya seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang disediakan oleh industri-industri pendukungnya.

Menurut Promozic (1991), ada lima tahapan evolusi pemanfaatan teknologi informasi dengan dua sudut pandang yaitu harapan manajemen akan laba yang harus diberikan teknologi informasi dan fungsinya sehari-hari untuk memenuhi harapan tersebut.

Tahap pertama, adalah persoalan efisiensi proses

kerja atau aktifitas operasioal setiap hari. Hal ini merupakan persoalan klasik yang dihadapi setiap institusi pemerintah karena semuanya melibatkan urusan administrasi. Misalnya manajemen dokumentasi, keuangan, kepegawaian, dsb.

Tahap kedua, adalah leveraging cost, yaitu ketika

teknologi informasi dipandang sebagai suatu asset institusi pemerintah yang menguntungkan dibandingkan dengan teknologi serupa. Contohnya adalah penggunaan e-mail yang dapat menghemat biaya pengiriman dokumen dibandingkan melalui kurir.

Tahap ketiga, adalah ketika teknologi informasi

sudah dilibatkan secara langsung dalam proses penciptaan produk dan jasa yang ditawarkan. Jenis-jenis teknologi informasi yang populer dimanfaatkan adalah yang secara langsung meningkatkan kepuasan penggunanya. Contohnya pengurusan lelang pengadaan barang (procurement) melalui internet, sehingga calon pemasok tidak perlu susah-susah datang ke kantor.

Tahap keempat, adalah ketika institusi pemerintah /

perusahaan sudah mempertimbangkan untuk memperbaiki kinerja internal organisasi. Misalnya dengan menfokuskan diri pada kualitas pengambilan keputusan melalui Decesion Support System dan

Executive Information System.

Tahap kelima, merupakan evolusi terakhir dimana

institusi pemerinntah atau perusahaan berusaha menjangkau target penggunanya dimana saja dan kapan saja. Sehingga pelayanan yang diberikan tidak mengenal waktu dan tempat.

Dilihat dari proses evolusi pemanfaatan teknologi informasi menurut Primozic (1991), maka gambaran

e-gov sebagai state of the art dengan jargon ‘On line Government’ merupakan titik paling puncak dari

pelayanan/service kepada penggunanya. Atau menurut definisi World Bank merupakan fase

completing transaction and delivery service, sehingga

(4)

transparansi, memperbesar kenyamanan hidup, menumbuhan pendapatan, serta mengurangi biaya. Dengan memperhatikan kondisi di atas, institusi pemerintah di Indonesia perlu membuat

self-evaluation terhadap relevansi dukungan teknologi

informasi dengan proses bisnis organisasi sudah sampai taraf apa ?. Mungkin saja fase evolusi tersebut diatas tidak berjalan linear, tetapi berupa matriks posisi yang kondisinya berbeda-beda.

E. Tantangan Perubahan

Proyek e-gov, seperti halnya proyek teknologi informasi lainnya, memiliki karakteristik yang khas dibandingkan proyek-proyek pembangunan lainnya. Ciri khas yang paling menonjol adalah bahwa proyek

e-gov sangat terkait dengan proses bisnis atau

manajemen institusi pemerintah.

Ketika teknologi informasi diterapkan di suatu insitusi pemerintah, maka dia mempunyai peluang untuk merubah sistem kerja manajemen, entah itu berupa 1)penghilangan proses-proses yang tidak perlu/eliminating, 2)penyederhanaan proses-proses yang ada / simplifying, 3) penggabungan beberapa proses ke dalam sebuah alur proses / integrating, atau 4) perubahan proses manual menjadi otomatis dengan memanfaatkan komputer / automating.

Pakar teknologi informasi dari Sloan School of

Managemet di Massachusetss Institute of

Technology(MIT) memberikan suatu kerangka

landasan yang dinamakan “MIT’90 Five Layer Model” untuk mencermati perubahan internal organisasi ketika memanfaatkan teknologi informasi, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Pada gambar diatas, mereka menganalisis dari dua sisi, yakni besarnya manfaat atau benefit yang didapatkan perusahaan (diwakili sumbu horizontal), dan tingkat perubahan manajemen internal

perusahaan yang harus dijalani (business

transformation).

Untuk localized exploitation dan integration

diusulkan dengan pendekatan evolusi, sedangkan untuk business process redesign, business network

redesign, dan business scope redefinition diusulkan

dengan pendekatan revolusi.

Namun untuk mengubah sistem kerja internal institusi pemerintah tidak semudah yang dibayangkan. Dia sangat berbeda dengan perusahaan swasta yang lebih luwes dalam mengadopsi teknologi dan melakukan penyesuaian. Institusi pemerintah sangat kental dengan pendekatan birokrasi. Hal ini karena sifat pemerintah yang berusaha mengendalikan proses pembangunan dalam suatu sistem administrasi negara , yaitu bagaimana bermacam-macam badan-badan pemerintah diorganisir, diperlengkapi tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan, dan dipimpin. Dalam pelaksanaan administrasi negara, hambatan yang seringkali muncul di internal institusi pemerintah diantaranya :

1. Tiadanya motif untung dan kemungkinan bangkrut, maka ada kecenderungan suatu operasi pemerintahan kurang efisien dibandingkan dengan suatu operasi swasta.

2. Sering masih terdapatnya paternalisme dan spoil politik maupun pribadi di dalam administrasi negara sehingga menyulitkan pembinaan efisiensi

3. Adanya gejala “empire building” yaitu usaha untuk memperluas birokrasi yang sebetulnya mungkin tidak meningkatkan hasil. Seringpula “empire building” dari suatu badan pemerintahan tertentu bertumbuk dengan “empire building” badan pemerintahan lainnya sehingga menimbulkan perbenturan dan duplikasi. Hal ini juga menimbulkan kurangnya efisiensi.

4. Berkembangnya prosedur-prosedur menjadi berbelit-belit dan panjang karena hendak memenuhi ketentuan berbagai badan administrasi secara tidak konsisten; seringkali disebut ‘birokrasi’ oleh orang awam.

Dengan adanya hambatan diatas, maka peluang teknologi informasi untuk mengadakan perubahan internal manajemen menurut “MIT’90 Five Layer Model” menjadi sangat berkurang dikarenakan sifat dari pengorganisasian badan-badan pemerintah sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi isu paling besar di Amerika Serikat dalam sistem administrasi negaranya. Sehingga muncul istilah ‘Reinventing

Government’, ‘Re-engineering Through Information Technology’ karena teknologi informasi telah Localized

Range of Potensial Benefits Scott-Morton,

(5)

5 menghilangkan begitu banyak proses-proses

administrasi negara.

Birokrasi yang dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang, misalnya dengan pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih bisa digantikan dengan ‘workflow information’ melalui teknologi komputer. Perilaku birokrasi yang bersifat hirarkis dibenturkan dengan perilaku teknologi informasi yang bersifat jaringan menjadikan pilihan yang begitu sulit, apakah perilaku birokrasi mengikuti teknologi informasi ataukah perilaku teknologi informasi mengikuti birokrasi.

Bila pilihannya adalah teknologi informasi harus mengikuti perilaku birokrasi, maka perubahan yang terjadi masih di tahap ‘localized exploitation’ dan bersifat evolusi, sebaliknya bila birokrasi mengikuti perilaku teknologi informasi, maka perubahan yang terjadi sudah sampai tahap ‘business scope

redefinition’ dan bersifat revolusi. ‘On Line Government” dalam tataran ideal, bila dilihat dari

“MIT’90 Five Layer Model” sebenarnya merupakan proses revolusi dalam proses bisnis pemerintahan.

F. Konstruksi Sosial Teknologi E-Gov

Untul lebih menginjak ke bumi tentang arti e-gov dikaitkan dengan kondisi pemerintahan di Indonesia dan masyarakat pada umumnya. Melalui pendekatan konstruksi sosial teknologi adalah lebih tepat, mengingat ia peduli terhadap hal-hal yang berkenaan dengan ‘bagaimana teknologi menyatu dalam dan disponsori oleh suatu institusi di dalam masyarakat’. Hal ini karena adanya kenyataan bahwa institusi yang ada dan konsekuesi dari pengembangan teknologi tidak selalu tepat dengan kondisi sosial dan persoalan yang berhubungan dengan teknologi tersebut.

Dan karena kemajuan teknologi berjalan secara kontinyu, maka sukar untuk menentukan batas waktu yang tepat untuk suatu perubahan, begitu juga halnya dengan teknologi informasi. Ia mengalami proses evolusi yang cukup panjang, berlomba antara teknologi semiconductor, teknologi perangkat lunak, teknologi telekomunikasi, teknologi material, dan sebagainya.

Term ‘information technology’ atau teknologi informasi merupakan istilah yang muncul karena konvergensi 3C yakni teknologi komputer (computer

hardware, semiconductors & relateddevices. computer & data processing services, software, dll),

teknologi komunikasi (communication facilities,

household A/V equipment, dll), dan teknologi content

(newspapers, advertising, motion picture, dll). Sehingga teknologi informasi sering diartikan sebagai teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran data dan informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu. Konvergensi bisa terjadi, diantaranya berkat penemuan modem, artefak yang dapat mengubah data dari analog menjadi digital dan sebaliknya, sehingga memungkinkan ketiga teknologi tersebut – 3C- bisa saling berkomunikasi.

E-gov sebagai sebuah bentuk pengaplikasian

teknologi informasi di institusi pemerintah juga mengalami hal yang sama. Bila kita menarik garis

start bahwa e-gov di fase awal merupakan

pemanfaatan teknologi informasi pada tahun 80-an, maka komputer masih berupa sebuah mainframe. Teknologi telekomunikasi masih berupa telepon analog, dan bentuk komunikasi massa menggunakan media cetak dan televisi, pengiriman dokumen melalui kurir, atau dengan mesin fax. Sehinga menarik garis start pada tahun 80-an tidaklah tepat, karena term ‘teknologi informasi’ masih belum dikenal, namun ini sengaja dilakukan karena institusi pemerintah sampai saat inipun masih banyak menggunakan ketiga teknologi tersebut yang belum dikonvergenkan, dan menurut definisi HRI berdasar kurun waktu, e-gov pada fase awal untuk perbaikan efisiensi.

Berdasarkan data yang diambil penulis pada waktu Rakonteknas Kantor/Badan Pengolahan Data Elektronik dan Telematika yang diselenggarakan oleh Depdagri baru-baru ini, dikemukakan persoalan-persoalan yang ada sebagai berikut :

1. Data dan informasi masih tersebar pada masing-masing komponen/unit kerja/ satuan kerja atau sektor terkait dalam bentuk format dan indikator yang bervariasi menurut kepentingan masing-masing;

2. Terlalu banyak kerancuan data yang meliputi duplikasi, tumpang tindih, frekuensi perubahan data yang mengakibatkan terjadinya pemborosan terhadap sumber daya;

(6)

4. Tenaga ahli di bidang teknologi informasi pada unit pengelola sistem informasi baik di Pusat dan Daerah masih kurang;

5. Apresiasi atau pengenalan tentang sistem informasi dan teknologi informasi di jajaran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan sektor swasta masih kurang; 6. Belum operasionalnya SIMDAGRI dan SIMDA

sebagai instrumen manajemen untuk sistem informasi;

7. Banyaknya tim-tim ad hoc yang menangani bidang sistem informasi di tingkat Pusat yang membingungkan pelaksanaan di Daerah.

Merujuk dari data yang dipaparkan diatas, kiranya dapat memberikan gambaran sekilas bagaimana persoalan yang ada meliputi empat hal utama, yakni 1)sinkronisasi data dan informasi, 2)pengaturan kelembagaan, 3)kesiapan SDM pemerintah dan masyarakat, dan 4)lemahnya pengoperasian teknologi informasi.

Persoalan-persoalan diatas tentunya tidak dibiarkan saja, namun berusaha diselesaikan dengan langkah-langkah nyata, misalnya dikeluarkannya 1)Inpres Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia, 2)Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, 3)Tim Koordinasi Telematika Indonesia, 4)Kerangka Teknologi Informasi Nasional, 5)Forum Telematika Jawa Barat, 6)Mastel, 7)APJI, 8)IPKIN, 9)Awari, adan berbagai seminar dan sosialisasi dan lain sebagainya baik yang lahir atas inisiatif pemerintah, kalangan swasta, ataupun masyarakat.

H. Peluang dan Tantangan

Gambar

Gambar berikut ini adalah definisi electronic government bersumber dari Hitachi Research Institute (HRI)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian adalah mengetahui keefektifan, tingkat kemudahan dan tingkat ketertarikan siswa penggunaan media permainan Aung-Carbon-Card (ACC) dalam

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rumusan masalah untuk penelitian ini adalah :“Bagaimana

1.Air Bersih adalah air yang melalui proses pengolahan sebelum diminum yang merupakan salah satu kebutuhan penunjang kesehatan di Rumah Sakit 1.Untuk menyediakan air bersih

Tuntutan pekerjaan, konflik, kontrol pekerjaan dan kepuasan kerja berkaitan dengan nyeri kepala (Christensen,2012 Aktifitas fisik berat danprosedurpe manasan yang kurang

Dalam film televisi “Wandu” keterkaitan tokoh satu dengan yang lain ditunjukkan dengan tema persoalan yang mereka hadapi, yaitu krisisnya pengakuan masyarakat akan waria dan

Mengkaji materi Uncapacitated Facility Location Problem (UFLP) dan Algoritma Particle Swarm Optimization d Local Search (PSO-LS).. Jika tidak, maka dilakukan operasi flip

Selain itu, sistem Full day school merupakan sistem pendidikan yang terbukti efektif dalam mengaplikasikan kemampuan siswa dalam segala hal, seperti aplikasi Pendidikan Agama Islam

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan kebocoran mikro restorasi inlei resin komposit menggunakan resin semen dual cure yang berbeda, maka dapat disimpulkan tidak