• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penelitian Makanan Tradisional K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Penelitian Makanan Tradisional K"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

MAKANAN TRADISIONAL

Kipo : Si "Ruas Jari" yang Manis Legit

Mata Kuliah : Antropologi

Disusun Oleh:

Nama : Dwi Milla Malida NIM :1508.1022

Kelas : 21/A

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian tentang Makanan Tradisional. Laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi Ulangan Akhir Semester (UAS) mata kuliah Antropologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Dalam penyusunan laporan penelitian ini, penulis tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan penelitian ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan selanjutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca

Yogyakarta, 27 Januari 2016 Penulis,

(3)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan, adat istiadat, bahasa daerah, dan kuliner atau makanannya. Dari pulau Sabang sampai dengan pulau Merauke, setiap daerah memiliki kuliner makanannya masing-masing, maka tak heran jika makanan tradisional Indonesia sangatlah banyak dan beragam jenisnya. Keanekaragaman tersebut terjadi karena beraneka ragamnya tradisi, ciri khas daerah dan juga bahan dasar yang digunakan sesuai dengan daerah yang ada di negeri ini yaitu Indonesia. Makanan tradisional merupakan komponen penting dalam pusaka kuliner Indonesia. Bukan saja karena makanan tradisional tersebut enak rasanya atau unik warna dan penampilannya, tetapi pada saat tertentu makanan tradisional juga sarat akan makna dan nilai yang terkandung didalamnya, selain itu makanan tradisional juga merupakan warisan dari para pendahulunya. Makanan tradisional biasanya diolah berdasarkan resep asli dari para pendahulunya, yang sudah populer di masyarakat dengan menggunakan bahan baku lokal tertentu dan memiliki selera yang unik yang cocok dengan masyarakat lokal tersebut. Makanan tradisional sangat kaya akan manfaat untuk kesehatan manusia, karena makanan tradisional memiliki karakteristik sensorik yang unik, tinggi nilai gizi dan beberapa dari makanan tradisional khusus memiliki fungsi fisiologis, sehingga mereka disebut makanan fungsional.

Yogyakarta terkenal sebagai budaya kota, karena di kota ini sampai sekarang masih menggunakan aturan pemerintah dan tradisi bentuk zaman kuno masih tampak, setelah oleh masyarakat melindungi dan menjadikan budaya yang ada dikota tersebut sebagai warisan masyarakat. Ketersediaan beberapa makanan tradisional di Yogyakarta memainkan peran penting untuk menarik perhatian para pariwisata. Gudeg1, geplak2 dan

yangko3 sudah terkenal sejak dulu, tetapi makanan tradisional lainnya yang tersedia dan

salah satunya adalah Kipo, yang sangat asing maupun jarang didengar oleh masyarakat karena makanan ini sudah jarang dan langka karena hanya dibeberapa tempat saja.

1 Makanan khas Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan memerlukan waktu berjam-jam. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek

2 Makanan khas kota Bantul yang terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa, dan rasanya manis

(4)

Kipo adalah makanan tradisional yang berasal dari wilayah KotagedeYogyakarta. Ini ada dari zaman Kerajaan Mataram Kuno4 sampai sekarang. Saat itu Kipo adalah

menjabat sebagai makanan ringan untuk raja dan keluarganya, sehingga Kipo adalah makanan eksklusif dan bisa memprediksi tingkat keluarga yang mengkonsumsi. Kipo sudah cukup dikenal sebagai manakan khas dengan rasa yang khas pula sebagai kudapan yang selalu memanjakan lidah

Nama Kipo itu datang dari pertanyaan dalam kalimat bebahasa Jawa "Iki opo?"

atau yang dalam bahasa Indonesia "Ini apa?". Dari kalimat tanya “Iki opo,” kemudian berkembang menjadi akronim Kipo. Memang dalam penulisan seharusnya nama kipo itu dituliskan dengan “kipa” bukan Kipo. Kipo ini seperti kue semi-basah yang merupakan perpaduan antara tepung beras ketan, kelapa dan gula aren atau gula jawa. Proses ini sangat sederhana, yaitu: pencampuran, membentuk kue, memanggang dan mengemas. Kipo merupakan sebuah kue yang memiliki bentuk agak pipih dan memanjang, dan berwarna hijau, sementara ukurannya sebesar ibu jari hijau dan memiliki rasa legit serta manis. Biasanya Kipo adalah dikemas dengan daun pisang sebagai primary kemasan dan kertas sebagai kemasan sekunder.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah kipo?

2. Bagaimana asal usul nama kipo? 3. Bagaimana proses pembuatan kipo?

4. Apakah makna yang terkandung dalam kipo? C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sejarah kipo?

2. Mengetahui asal usul nama kipo? 3. Mengetahui proses pembuatan kipo?

4. Mengatahui makna yang terkandung dalam kipo? D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui sejarah kipo?

2. Dapat mengetahui asal usul nama kipo? 3. Dapat mengetahui proses pembuatan kipo?

4. Dapat mengetahui makna yang terkandung dalam kipo?

(5)

HASIL ANALISIS

A. Sejarah Kipo

Sejarah makanan tradisional khas Kotagede ini cukup panjang. Pembuat pertama kali makanan tradisional ini adalah Mbah Mangun Irono yang berasal dari Kotagede, Yogyakarta. Saat itu, tangan terampilnya mengolah tepung beras ketan menjadi makanan kecil. Bentuknya agak pipih dan memanjang, ukurannya kecil, berwarna hijau muda karena memakai sari dari perasan daun pandan atau daun suji, dan agak kecoklatan karena setelah proses digoreng dengan cara sangan5. Di Kotagede pula makanan ini pertama kali

dijajakan. Sejak tahun 1946, setelah Mbah Mangun Irono tutup usia, usaha ini diwariskan anaknya Bu Paijem Djito Suhardjo. Pemberi nama makanan tradisional ini adalah Paijem Djito Suhardjo atau yang sering disebut Bu Djito. Konon pada tahun 1946, Bu Djito memulai usahanya ini dengan menjual makanan tersebut tetapi belum diberi nama. Waktu itu Kotagede adalah pusat interaksi antara orang Jogja dan Solo. Mereka adalah pedagang dan penjual di pasar. Satu persatu penjual datang dan bertanya nama makanan tersebut dengan bahasa jawa yaitu “Iki opo? Iki opo?”, karena yang ditanya pun belum tahu namanya, pertanyaan itu hanya dijawab sekenanya saja, Kipo. Maka dari itu kemudian Bu Djito menamai makanan tersebut dengan Kipo yang merupakan kependekan dari “Iki Opo?”. Pada generasi kedua inilah Kipo mulai memasyarakat terutama saat Dinas Pariwisata dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) pada tahun 1986 mengadakan pameran dan lomba makanan berbahan utamanya terbuat dari tepung beras ketan dengan mengambil tempat di Ambarukma Palace Hotel. Dan dari masakan yang resepnya diwarisi dari orangtuanya yakni Mbah Mangun Irono, pada saat itulah Kipo Bu

(6)

Djito mendapatkan perhatian dari khalayak. Pasalnya, pada kesempatan itu Kipo Bu Djito tersebut keluar sebagai Juara I. Sejak itu pula Kipo menjadi makanan yang banyak dicari orang karena dianggap sebagai makanan yang lain dari pada yang lain, khas dan unik. Selain itu Kipo memang tidak mudah ditemukan di sembarang tempat sekalipun sesungguhnya makanan ini diproduksi setiap hari. Dulu sebelum tahun 1988 Kipo masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Salah satu sebabnya adalah karena makanan ini tidak dikemas dalam kemasan yang kelihatan mewah. Pendeknya, visualisasinya kurang ngejreng6. Setelah itu, tahun 1988 dan 1990 undangan datang dari Jakarta untuk

mengikuti festival makanan tradisional. Bu Djito selanjutnya memberdayakan jenis kuliner Kipo ini hingga tahun 1991 yaitu ketika ia meninggal, kemudian usahanya kembali diwariskan ke puterinya Istri Rahayu. Ibu 3 orang putera buah perkawinannya dengan Shodiqun ini lalu mengembangkan kios yang berada di jalan Mondorakan No. 27 Kotagede, Yogyakarta sebagai rumah produksi kipo. Sekalipun berasal dari warisan keluarga, hasil karya Mbah Mangun Irono itu kini juga telah banyak diwarisi oleh masyarakat Kotagede.

Sedangkan pada versi cerita lain, diceritakan juga bahwa makanan tradisional ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram Islam dan disebutkan di dalam Prasasti Kuno yang tertulis di dalam Serat Centhini7. Dituliskan di dalamnya ada sebuah makanan yang

bernama Kupo. Beberapa sejarah berkata bahwa Kupo itu adalah nama lama dari Kipo. Dan juga dalam buku karangan De Graaf, disebutkan bahwa makanan khas tradisional yang biasa disajikan bagi para tamu. Dari sejarah lisan dapat diketahui bahwa sejak abat ke 16, konon Kipo ini merupakan makanan kegemaran dari Panembahan Senapati yang sekarang sering dijadikan bancaan8 atau sesaji waktu ada orang Midhang atau tirakat9 di

sekitar Makam Panembahan Senapati.

B. Asal Usul Nama Kipo

Mengenai asal-usul nama Kipo, memiliki runutan cerita sejarah dan etimologi yang panjang salah satunya bahwa pada masa lalu para bangsawan yang disuguhi Kipo

6 Sebutan untuk alat atau bahan yang mempunyai warna-warna yang terang

7 Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru

8 Ritual yang disertai dengan penyajian tumpeng dan gudangan.

(7)

dan menyantapnya sering menanyakan mengenai jenis makanan langka namun rasanya sangat enak ini.

Nama Kipo itu datang dari pertanyaan dalam kalimat bebahasa Jawa "Iki opo?"

atau yang dalam bahasa Indonesia "Ini apa?". Dari kalimat tanya “Iki opo,” kemudian berkembang menjadi akronim Kipo. Memang dalam penulisan seharusnya nama Kipo itu dituliskan dengan “kipa” bukan Kipo. Konon pada tahun 1946, Bu Djito memulai usahanya ini dengan menjual makanan tersebut tetapi belum diberi nama. Waktu itu Kotagede adalah pusat interaksi antara orang Jogja dan Solo. Mereka adalah pedagang dan penjual di pasar. Satu persatu penjual datang dan bertanya nama makanan tersebut dengan bahasa jawa yaitu “Iki opo? Iki opo?”, karena yang ditanya pun belum tahu namanya, pertanyaan itu hanya dijawab sekenanya saja, Kipo. Maka dari itu kemudian Bu Djito menamai makanan tersebut dengan Kipo yang merupakan kependekan dari “Iki

Opo?”. Dalam perkembangannya kini, makanan ini masih banyak ditemukan di kawasan

Kotagede, Yogyakarta

C. Proses Pembuatan Kipo

Ukuran Kipo yang tak terlalu besar ternyata justru malah membuat banyak orang semakin ketagihan karena memiliki rasa yang lezat. Kelezatan rasa ini tak bisa lepas dari bahan alami yang digunakan dalam pembuatan Kipo, diantaranya adalah perpaduan antara kelapa parut dengan gula merah, dan dilapisi oleh kulit yang diolah dari tepung ketan.

(8)

diberi warna hijau yang berasal dari sari pipisan daun pandan atau daun suji dibentuk sebagai kulit luarnya. Jika ingin hasil yang maksimal biasanya pembuatan tepung ketan dibuat sendiri, tidak dibeli jadi. Untuk isinya parutan kelapa muda dicampur adonan gula jawa yang biasa disebut dengan enten-enten. Adonan untuk kulit, ambil sebanyak biji kelereng, lalu pipihkan, dan beri isian enten-enten. Setelah itu adonan tepung ketan dilipat seperti bentuk pastel mini dan dipanggang diatas kreweng atau wajan besar yang terbuat dari tanah liat yang dipanaskan dengan arang atau kompor hingga warna kulitnya sedikit kecoklatan. Sebelum dipanggang, adonan yang sudah terbentuk diberi alas daun pisang terlebih dulu agar tidak lengket. Perpaduan enten-enten dengan kulit Kipo yang terbuat dari ketan yang diadoni dengan santan dan sedikit garam inilah setelah dipanggang akan menghasilkan rasa yang manis-manis gurih. Untuk menghasilkan Kipo yang bagus dan matang, Kipo harus dibolak-balik sampai matang. Aroma Kipo yang berasal dari perasan daun suji, kelapa, gula, dan daun pisang itu benar-benar terasa khas harumnya. Oleh karenanya selain memang dari aroma bahan bakunya, kesedapan rasa Kipo ini juga bergantung dari proses pemanggangan yang dilakukan di atas kreweng atau wajan besar yang terbuat dari tanah liat.

(9)

Kudapan kecil yang berwarna hijau ini merupakan salah satu kue semi-basah tradisional yang memasaknya dengan cara dipanggang. Paduan kelapa parut dengan gula merah, dan dilapisi oleh kulit yang diolah dari tepung ketan, Kipo memiliki rasa yang lezat. Ukurannya yang kecil justru membuat semakin ketagihan. Satu potong Kipo besarnya tidak lebih besar dari jempol tangan orang dewasa. Namun sebagai oleh-oleh khas, Kipo terbilang tak awet. Hanya bertahan selama 24 jam, lebih dari itu sudah tak enak lagi tetapi jika isinya yang disebut enten-enten dibuat kering maka bisa bertahan hingga 3 hari karena kipo ini tidak megandung bahan kimia dan pengawet sehingga tidak bisa bertahan lama dan tidak di rekomendasikan sebagai oleh-oleh jika isiannya enten-enten tersebut basah.

Kipo menjadi makanan unik yang direkomendasikan bagi yang gemar dengan wisata kuliner Nusantara, karena harganya juga sangat terjangkau, yaitu Rp 1.800,- untuk satu kemasan yang berisi 5 kipo.

D. Makna Kipo

Aroma Kipo yang berasal dari sari pipisan daun suji atau daun pandan, kelapa, gula, dan daun pisang benar-benar menjadi aroma khas yang alami. Rasa legit dan gurih yang berasal dari balutan adonan apabila dikunyah terasa kenyal, hal ini tentu saja memberikan efek sensasional dari jenis kuliner bernama Kipo.

(10)

merangsang kreatifitas. Warna hijau yang ada di Kipo merupakan salah satu dari ciri khasnya apabila diganti dengan warna lain akan memberikan kesan yang berbeda sehingga dari zaman awal pembuatan Kipo harus dan selalu menggunakan warna hijau. Jika pun warna hijau yang digunakan menggunakan pewarna makanan akan mengurangi ciri khas kue kipo itu sendiri dan juga akan mempunyai rasa yang tentunya berbeda dengan yang menggunakan pewarna alami dari daun suji maupun daun pandan.

Kipo dibungkus menggunakan daun pisang diluarnya kemudian dilapisi dengan kertas, didalamnya juga terdapat daun pisang yang dibungkus membentuk samir. Bungkusan luarnya dibentuk seperti bungkusan tempelang tapi ujungnya dilipat dan di sematkan dengan menggunakan stepless supaya isiannya tidak keluar. Bungkusan tempelang sendiri biasanya digunakan untuk membungkus nasi uduk ataupun ketan urap. Sedangkan didalam Kipo menggunakan alas dengan bentuk bungkusan samir, yaitu lembaran daun pisang yang dibentuk lingkaran sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Bungkusan samir ini biasanya digunakan untuk alas maupun penutup makanan yang umumnya adalah nasi dan jajanan pasar.

Membungkus Kipo menggunakan daun pisang sudah menjadi tradisi sejak zaman dulu sehingga jika menggilangkan ataupun mengganti pembukusan akan menghilangkan nilai-nilai yang terkandung dalam penyajian makanan tersebut karena merupakan penghormatan dan penghargaan bagi para leluhurnya. Maksud dari membungkus Kipo ini dengan daun pisang, selain karena memang bungkusan dari daun pisang yang tersedia, namun juga karena menurut pengalaman daun pisang tidak membahayakan kesehatan.

(11)

sederhana, membuat peralatan seadanya dari benda-benda yang disediakan alam. Makanan yang dibungkus dengan daun pisang akan membuat makanan tersebut lebih awet karena sirkulasi udara tetap masuk dari celah-celahnya. Sedangkan makanan yang dibungkus dengan plastic bisa membuat makanan tersebut cepat rusak atau basi.

Dalam membungkus makanan dengan daun pisang terkandung nilai spiritual. Karena akan mengeluarkan dari keinginan jiwa untuk berbagi dan menyenangkan orang yang menerimanya. Pembuatan bungkusan dengan sebaik mungkin, sepanjang yang mampu dilakukan dengan kreatifitas sederhana semata agar makanan itu tersaji dengan sopan. Nilai kesederhanaan karena daun pisang telah tersedia di lingkungan perkampungan, tinggal memetik dan tidak harus keluar uang untuk berbelanja, sebagaimana ketika akan mengemas makanan dengan plastic atau Styrofoam. Kemasan daun pisang tidak memerlukan banyak pengolahan, cukup dengan hanya dijemur, dipisahkan dari batangnya, maka daun pisang sudah siap digunakan. Kesederhanaan lain juga terdapat pula pada warnanya, warna daun pisang terasa bersahaja dengan warna hijau tuanya, satu corak warna yang dekat dengan kehidupan dan alam semesta dan tidak melelahkan mata. Nilai kesehatan karena bungkusan daun pisang terbebas dari zat-zat berbahaya. Nilai aromaterapi daun pisang mengandung klorofil10 jika terkena panas akan

terjadi reaksi yang menimbulkan aroma khas dari klorofil itu, suatu aroma yang mengundang selera makan. Nilai natural bungkusan daun pisang karena sampah daun pisang bila dibuang ke tanah akan mudah terurai, tidak mencemari, bahkan sebaliknya menambah kwalitas kesuburan tanah.

Dari segi alat pembuatannya yang masih menggunakan kreweng atau wajan besar yang terbuat dari tanah liat mempunyai arti sendiri yaitu memunculkan nilai kesederhanaan dari pembuatnya dan dengan memasak menggunakan kreweng tentunya akan menciptakan aroma dan ciri khas tersendiri.

(12)

PENUTUP memberdayakan jenis kuliner Kipo ini hingga tahun 1991 yaitu ketika ia meninggal, kemudian usahanya kembali diwariskan ke puterinya Istri Rahayu di kios yang berada di jalan Mondorakan No. 27 Kotagede, Yogyakarta sebagai rumah produksi kipo.

Asal usul nama Kipo itu datang dari pertanyaan dalam kalimat bebahasa Jawa "Iki opo?" atau yang dalam bahasa Indonesia "Ini apa?". Dari kalimat tanya “Iki opo,” kemudian berkembang menjadi akronim Kipo.

Proses pembuatan kipo, pertama siapkan adonan untuk kulit yaitu tepung beras ketan yang dicampur dengan santan dan sedikit garam kemudian diberi warna. Untuk isinya parutan kelapa muda dicampur adonan gula jawa. Adonan untuk kulit ambil sebanyak biji kelereng, lalu pipihkan, dan beri isian enten-enten. Setelah itu adonan tepung ketan dilipat seperti bentuk pastel mini dan dipanggang hingga warna kulitnya sedikit kecoklatan. Sebelum dipanggang, adonan yang sudah terbentuk diberi alas daun pisang terlebih dulu agar tidak lengket.

Kipo mempunyai makna dari segi warnanya yaitu hijau yang melambangkan atau menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dari segi bungkusnya dengan menggunakan daun pisang mempunyai nilai tersendiri seperti nilai spiritual, nilai kesederhanaan, nilai kesehatan dan nilai aromaterapi. Sedangkan dari segi alat pembuatannya dengan menggunakan kreweng atau wajan besar yang terbuat dari tanah liat memiliki nilai kesederhanaan dan juga nilai aromaterapi.

B. Saran

(13)

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/

https://gudeg.net/direktori/1868/kipo.html (Diakses tanggal 14 Januari 2016)

ensiklo.com/2014/09/kue-kipo-adalah-jenis-kuliner-jajanan-khas-kotagede-yogyakarta-warisan-kerajaan-mataram-islam/ (Diakses tanggal 14 Januari 2016)

http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.detail/2025/kue-kipo--iki-opo-.html (Diakses tanggal 14 Januari 2016)

http://ramadan.tempo.co/read/news/2013/07/21/152498259/kipo-si-kecil-legit-dari-kotagede-untuk-berbuka (Diaskses tanggal 14 Januari 2016)

http://www.jogjanyam.com/kipo-bu-djito/ (Diakses tanggal 16 Januari 2016)

http://sajiankulinerkhas.blogspot.co.id/2014/03/kue-kipo-jogja-resep-kue-kipo-kotagede.html

Referensi

Dokumen terkait