Posisi Malang dalam Peta Seni Rupa Indonesia
Oleh: Hariyanto Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang [email protected]
Abstrak
Seni rupa di Malang sering dianggap tidak ada oleh para pengamat seni rupa Indonesia. Sebenarnya sejak zaman kolonial aktivitas seni rupa (lukis) di Malang sudah ada, para pelukis kolonial sering melukis pemandangan sekitar Malang dan pameran di kota ini. Setelah kemerdekaan RI, mulai terbentuk perkumpulan seni rupa di Malang. Sebelum tahun 1968 para pelajar yang ingin kuliah seni rupa harus ke kota lain. Pembukaan Jurusan Seni Rupa IKIP Malang mendorong minat masyarakat untuk berprofesi di bidang seni rupa. Perupa asal Malang dan perupa yang ada di Malang semakin banyak jumlahnya dan berkembang pula fasilitas pendukung infrastruktur seni rupa Malang. Makalah ini membahas posisi seni rupa Malang dalam peta seni rupa Indonesia
Malang Raya yang terdiri dari kota Malang, kota Batu, dan kabupaten Malang memiliki posisi yang strategis karena berada di tengah dua pusat seni rupa Indonesia yaitu Bali dan Yogyakarta, serta dekat dengan kota Surabaya yang potensi seni rupanya tidak sebesar dua pusat itu. Sebagai tujuan pariwisata, potensi Malang juga masih berada di bawah Bali dan Yogyakarta, Namun demikian kota Malang sebagai kota pendidikan dapat
disetarakan dengan kota Yogyakarta. Bali dan Yogyakarta masih memiliki akar tradisi budaya lokal yang masih kuat sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan dan juga para perupa. Dalam hal akar tradisi lokal, daerah Malang Raya memang berbeda dengan Bali dan
Yogyakarta. Bali dan Yogyakarta masih memiliki situs budaya yang hidup seperti keraton dan keluarga bangsawan yang menjadi pewaris nilai yang didukung oleh masyarakat sekitarnya. Malang Raya memang memiliki situs sejarah seperti Gajayana dan Singasari tetapi kedua kerajaan itu hanya meninggalkan jejak sejarah berupa candi, sedangkan keturunan atau pewaris budaya dari kedua kerajaan itu secara riil sudah tidak ada.
Pusat seni rupa modern Indonesia yang lain adalah Jakarta dan Bandung yang
kota Bandung cenderung lebih modern seperti halnya Jakarta. Bandung berada di daerah kebudayaan Sunda dan Jakarta berada di daerah budaya Betawi namun jumlah masyarakat Betawi relatif sedikit dibanding jumlah masyarakat pendatang. Sebagai pusat seni rupa modern, Bandung dan Jakarta tidak begitu memiliki beban sejarah seperti yang dialami oleh Bali dan Yogyakarta.
Daerah atau kota di luar Jawa sejauh ini belum bisa dianggap sebagai pusat
perkembangan seni rupa modern atau kontemporer, karena para pemuda dari luar Jawa yang ingin belajar seni rupa cenderung memilih pergi ke Jawa dan banyak yang tidak kembali ke daerahnya. Kondisi yang timpang ini juga diperkuat dengan penulisan sejarah yang
berorientasi Jawa-sentris sehingga kurang memberi perhatian pada potensi yang dimiliki daerah. Sejarah seni rupa modern Indonesia yang berciri Jawa-sentris ini dapat dilihat pada karya Claire Holt (1967, 2000) dan Helena Spanjaard (1998).
Kota Malang menurut pemikiran saya memiliki karakteristik yang lebih dekat dengan kota Bandung yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan. Kedua kota ini cukup lama kontak dengan budaya kolonial dan tidak memiliki beban sejarah, karena tradisi lokalnya relatif sudah tidak berkembang jika dibanding dengan Bali dan Yogyakarta. Berdasarkan pemikiran di atas maka dalam makalah ini dibahas tentang : latar budaya Malang dari Singosari ke Singoedan; seni rupa Malang dari masa kolonial hingga tahun 1960-an, seni rupa Malang tahun 1970-an – 1980-an; dan seni rupa Malang 1990-an hingga kini. Latar Budaya Malang: dari Kemegahan Singosari ke Fanatisme Singoedan
tubuhnya yang memakai celana jin. Karya ini dipresentasikan dalam pameran Gerakan Seni Rupa Baru yang berlangsung antara 1975-1979 di beberapa kota. (Supangkat, 1979)
Pada masa kolonial, pemerintah kota Malang menggunakan logo bergambar singa dan bunga teratai yang dikelilingi perisai dan di atasnya terdapat mahkota. Pada kiri-kanan perisai terdapat gambar singa yang berdiri memegang perisai. Gaya visual dari logo kota Malang itu nampak sekali gaya khas Eropa. Sekilas nampak dari logo itu singa Jawa yang menjadi pelindung Ratu Belanda dijaga ketat oleh dua singa Eropa. Logo kota Malang ini
menggambarkan persilangan budaya antara penjajah dan yang dijajah. Kini logo itu tidak lagi digunakan dan diganti logo baru yang tidak ada unsur kolonialnya.
Pada tahun 1987 klub sepakbola Arema didirikan dengan logo bergambar kepala singa. Klub sepakbola ini hingga kini masih berjaya dan menjadi kebanggaan warga kota Malang. Para pemain Arema di lapangan bertarung melawan klub lain diibaratkan singa melawan musuh-musuhnya sehingga para wartawan sering menjuluki pemain Arema sebagai Singa Edan atau Singa Gila. Arema saat ini tidak hanya sekedar klub sepakbola tetapi sudah menjadi simbol dan identitas kota Malang serta sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Simbol singa telah mengalami evolusi dari seni klasik menjadi budaya populer.
Topeng Malang yang menjadi salah satu ikon budaya Malang juga telah mengalami pergeseran. Pagelaran tari topeng sudah jarang dilakukan jika tidak ada peristiwa penting. Di Kedungmonggo masih terdapat sanggar tari yang berusaha memperahankan keberadaan kesenian ini. Topeng Malang kini dikembangkan sebagai souvenir untuk para wisatawan dan sebagai objek studi bagi pelajar dan mahasiswa.
Seni Rupa Malang dari Masa Kolonial Hingga Tahun 1960-an
sebagai tempat kegiatan sosial-budaya. Beberapa pelukis Belanda yang ternama pernah pameran di gedung ini.
Pada akhir abad ke-19 sudah ada seorang pelukis Belanda yang melukis dengan objek pedesaan di sekitar kota Malang dan pemandangan dengan latarbelakang gunung Semeru. Maurits van den Kerkhoff (1830-1908) telah beberapa )ali melukis dengan gaya Mooi Indie dengan mengambil objek di sekitar Malang. Pada karya berjudul, Desa In De Omstreken Van De Hooftplaats Malang dan View of a Kampong With Possibly The Smeroe in the
Background nampak bahwa pelukis ini mengagumi keindahan pemandangan di sekitar Malang. (http://www.arcadja.com). Pelukis Eropa lain yang pernah beraktivitas dan tinggal di kota Malang adalah, Gerard Pieter Adolfs (1898-1968) kelahiran Semarang. Pelukis ini beberapa kali melukis tentang pemandangan di sekitar Malang seperti misalnya By-road near Kasri (1929) dan Dessa near Purwosari (1932). Willem van der Does (1889-1966) pada tahun 1930-an juga melukis objek pemandangan di sekitar Malang, dua karyanya adalah Passar in het Malangse dan Dinogo bij Batoe (1932).
Gerard Pieter Adolfs pada tahun 1929 mengadakan pameran di kota Malang, tepatnya di gedung Societeit Concordia dekat alun-alun. Gedung societeit ini sekarang sudah berganti menjadi plasa Sarinah. Menurut Agus Dermawan T. dua pelukis Belanda itu (Adolfs dan van der Does) memberi pengaruh terhadap gaya seni lukis Koempoel seorang pelukis kelahiran Ngawi yang pada tahun 1932 pindah dari Surabaya ke Malang mengikuti ayahnya, kemudian belajar kepada Does. (Dermawan T., 2004)
Kerkhoff, Adolfs, Does, dan Koempoel merupakan para pelukis yang bergaya Mooi Indie yang digemari oleh masyarakat Hindia Belanda pada masa itu. Pada tahun 1935
Koempoel menpemroleh sponsor dari seorang dokter bernama dr. Soerodjo untuk berpameran pertama kalinya di kota Malang. Pada masa revolusi Koempoel terlibat dalam pemb uatan pamflet dan poster untuk propaganda. Pada tahun 1950-1970 Koempoel sangat produktif dalam berkarya seni lukis. Karya-karya Koempoel oleh kalangan seni rupa Indonesia kurang diapresiasi.
anggota Yin Hua, kemudian di Malang ia mendirikan Mung May (Dermawan T., 2004). Organisasi pelukis Tionghoa Yin Hua pada era Orde Lama mendapat dukungan dari
pemerintah, setelah peristiwa 1965, organisasi ini bubar. Setelah reformasi terdapat pelukis Tionghoa dari Malang bernama Sidik Martowijojo (Malang, 1937). Pelukis ini
mengembangkan gaya Guo Hua yang berasal dari tradisi seni lukis Tiongkok. Dengan gaya Guo Hua ini Sidik lebih sering melukis menggunakan cat air di atas kertas.
(http://umiuci.blogspot.com, 2013)
Pada tahun 1960-an di Malang berdiri Sanggar Pelukis Malang yang dimotori oleh Widagdo, dengan anggota IB. Said, Bramasto, dan Alimaraban. (Dermawan T.,1993 ). IB. Said kemudian pindah ke Jakarta bekerja sebagai pelukis spesialis kepala negara. Said hingga kini sudah ratusan kali melukis wajah presiden Republik Indonesia dan wajah presiden berbagai negara sahabat yang sedang bertamu di istana negara. Pada tahun 1966 Teguh Santosa seorang pemuda kelahiran Malang 1942 pergi ke Yogyakarta untuk belajar
menggambar dan melukis di Sanggar Bambu. Teguh Santosa lulusan SMA 4 Malang yang memiliki bakat menggambar sejak kecil. Sepulang dari Yogyakarta, Teguh menjadi pelukis komik yang sangat produktif. Komik pertama karya Teguh berjudul Paku Wojo dibuat tahun 1964.( agungkepanjen.blogspot.com, 22 Feb. 2014)
Era Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Malang (1970-an-1980-an)
Pada tahun 1968 Jurusan Seni Rupa IKIP Malang dibuka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan seni rupa. Dosen-dosen pertama yang mengajar di jurusan seni rupa adalah Bp. Katjik Sutjipto, Ibu Dedy S. Winoto, dan Ibu Nieke Handrawati. Bp. Katjik Sutjipto lulusan ASRI yang banyak memotivasi mahasiswanya untuk berkarya seni rupa dan mendorog untuk berpameran. Para mahasiswa seni rupa yang aktif berkarya termotivasi untuk membentuk sanggar sebagai wadah kreativitas dalam berkarya seni rupa. Pada tahun 1975 sebagian mahasiswa seni rupa mendirikan Sanggar Arti
Dengan anggota Yon Wahyuono, Imam Muhadjir, Sunari, M. Sattar, Agus Hadisuryo, Antoni Wibowo, Andi Harisman, dan lain-lain. Tidak lama kemudian berdiri Sanggar Mars dengan anggota diantaranya adalah Didik Mintadi dan M. Eksan. Mahasiswa seni rupa yang lain juga terdorong untuk membentuk kelompok yaitu Sanggar Sakti dengan anggota, Didiek
Rahmanadji, Yayit Prabi, Budi Rahardjo, Prayitno Abimanyu, dan lain-lain. (Wawancara dengan Andi Harisman, 19 Feb. 2014) Hingga tahun 1980-an dari tiga sanggar itu yang masih aktif adalah Sanggar Arti, bahkan hingga saat ini beberapa anggotanya masih sering
Pada awal 1980-an di IKIP Malang (UM) sudah terdapat unit kegiatan mahasiswa (UKM) Sanggar Minat, unit kegiatan yang memberi ruang kepada mahasiswa untuk berkreasi di luar ruang kuliah. Sebagian besar anggota sanggar minat adalah mahasiswa jurusan seni dan desain. Mahasiswa yang aktif di sanggar minat memiliki pengalaman berkarya dan pameran yang lebih banyak dibanding mahasiswa lainnya. Beberapa alumni seni rupa IKIP Malang (UM) yang menjadi aktivis sanggar minat seperti Ojit Budi Sutarno dan Gatot Pujiarto kini sukses sebagai perupa di tingkat nasional.
Para perupa di Malang sejak tahun 1980-an awal sudah memimpikan perlunya tempat berkesenian yang ideal di kota Malang. Pada saat itu Dewan Kesenian Malang sudah
terbentuk dan pengurusnya sudah aktif bekerja. Para perupa yang tergabung dalam DKM mengincar sebuah lahan kosong yaitu Taman Indrokilo yang letaknya di belakang Museum Brawijaya. Keinginan para perupa Malang untuk memperoleh tempat berkesenian belum terkabul saat itu, tidak lama kemudian lahan itu berubah menjadi perumahan elite. Akhirnya di akhir tahun 1980-an pemerintah Kota Malang membangun gedung Dewan Kesenian Malang di Jalan Majapahit dekat pasar burung.
Pada era tahun 1970-an beberapa perupa kelahiran Malang belajar seni rupa dan berkarir di kota Yogyakarta. Bonyong Munni Ardhie lahir di Malang 1946, sejak tahun 1968 hingga tahun 1980 belajar di STSRI ASRI (ISI). Pada tahun 1975-1979 Bonyong bergabung dengan Gerakan Seni Rupa Baru dan juga tergabung pada kelompok Pipa. Ivan Sagito lahir di Malang tahun 1957 sejak tahun 1975 sudah masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia di
Yogyakarta dan tahun 1979 masuk STSRI ASRI. Ivan Sagito adalah seorang warga keturunan Tionghoa namun karya-karyanya nampak njawani. (Marianto, 2001). Pada tahun 1979, Effendi kelahiran Malang 1957 juga masuk STSRI ASRI. Effendi dan Ivan Sagito adalah dua perupa kelahiran Malang yang pada tahun 1980-an mewarnai dunia seni lukis Indonesia dengan gaya surealisme Yogyakarta (Marianto, 2001). Hedi Hariyanto kelahiran Malang 1962 pada tahun 1983 kuliah di ISI jurusan Seni Patung. Pada tahun 1992 Hedi ikut berperan dalam aksi dan pameran Binal Eksperimental yang dilaksanakan bersamaan dengan Biennale Seni Lukis Yogyakarta.
“keren dan gaul” yang dikontraskan dengan suasana seniman dan mahasiswa di Yogyakarta yang mbentoyong menanggung beban sejarah.( KOMPAS, 11 Januari 2009)
Beberapa nama lain yang belajar seni rupa di luar kota Malang adalah: Nunung WS. (Malang, 1948) belajar di Aksera Surabaya kemudian menetap di Yogyakarta. Samsul Arifin (Malang, 1979) dan Dwi Setianto (Malang) belajar di ISI Yogyakarta. Yoyok S. (Malang, 1981) belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Para perupa asal Malang ini semuanya masih aktif berkarya hingga saat ini. Seorang perupa kelahiran Malang tahun 1960 yaitu Hardiman Radjab pada tahun 1981-1987 belajar di Fakultas Seni Rupa IKJ Jakarta. Hardiman kini menjadi perupa yang cukup produktif, ia sering menggunakan koper sebagai medianya.
Seni Rupa Malang dari Tahun 1990-an Hingga Masa Kini
Seiring melemahnya sanggar-sanggar yang dibentuk oleh para mahasiswa dan alumni Jurusan Seni Rupa IKIP Malang pada tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, di kota Batu kehidupan seni rupa justru baru mulai tumbuh. Pada tahun 1983 di kota Batu berdiri Pondok Seni Batu yang dimotori oleh Koeboe Sarawan seorang pelukis surealis jebolan ISI
Yogyakarta. Para anggota yang aktif di Pondok Seni Batu adalah : Koeboe S., Badrie, , Djuari S., Slamet Henkus, Gusbandi Harioto, Agus Riyanto, Andri Suhelmi, M. Watoni Suid, Anwar, Bambang BP., Isa Ansori, Herry Poer, Sugiono, dan Fadjar Djunaedi. Hingga saat ini prestasi yang dicapai oleh para anggota Pondok Seni Batu ini cukup bisa dibanggakan karena di antara mereka sudah ada yang ikut CP. Biennale, nominator Indonesian Art Award. Kota Batu didukung oleh lingkungan yang nyaman, banyak objek wisata, hotel dan restoran, dan juga terdapat galeri Raos.
Pada tahun 1990-an kegiatan seni rupa di kota Malang tidak hanya berlangsung di galeri DKM tetapi juga berlangsung di berbagai tempat umum seperti di hotel, mall, galeri swasta, rumah makan dan lain sebagainya. Kelompok alternatif mulai bermunculan di kota Malang seperti BKJT (Belok Kiri Jalan Terus), Kentjing Andjing, Portal, Insomniun, Rumah Sakit Seni, Komunitas Seni Asma, Kelompok Studi Seni Lentera, Sanggar Blitz, dan lain-lain. (Yulistio dan Yummi, 2013)
anggota AGSI, Puri membuka cabangnya di Jakarta Art District. (www.puriartgallery.com, 20 Feb. 2014).
Tahun 2003 di kota Malang dibuka lagi sebuah galeri seni swasta yaitu Semar Gallery. Pembukaan galeri baru ini dilakukan oleh dr. Oei Hong Djien dari Magelang. Galeri ini dikelola oleh seorang warga Malang bernama Christine Ivonella. Misi dari Semar Gallery adalah menyajikan keberagaman seni terutama seni lokal dan seni Tiongkok. Kurator yang dipercaya untuk mewujudkan misi itu adalah Djuli Djatiprambudi dari Unesa Surabaya. (Jakarta Post, 27 Nov. 2003)
Beberapa tahun terakhir masyarakat kota Malang lebih sering menyaksikan pameran seni rupa dari para perupa Malang maupun dari luar kota di Ruang Pamer Perpustakaan Kota Malang. Ruang pamer ini sering digunakan pameran seni rupa oleh para mahasiswa maupun para perupa pemula dari berbagai komunitas seni yang ada di kota Malang. Beberapa sekolah menengah (SMA) di kota Malang yang memiliki ekstra kurikuler seni rupa juga sering memanfaatkan ruang pamer perpustakaan ini untuk mempresentasikan karya mereka.
Keberadaan galeri-galeri swasta itu belum secara signifikan memberi kontribusi terhadap perkembangan seni rupa di Malang. Hanya sedikit sekali perupa lokal yang dapat bekerjasama dengan galeri-galeri ini. Pada tahun 2009 di Malang berdiri sebuah galeri dengan nama yang metaforik yaitu Rumah Seni Kemarin Sore. Rumah seni ini dikelola oleh tiga perupa Malang yaitu Antoe Budiono, Gatot Pujiarto, dan Keo Hariyanto. Visi dari rumah seni ini adalah memperluas potensi yang dimiliki oleh art world di Malang dengan melalui mengenalkan, mempromosikan, dan memasarkan karya-karya perupa muda Malang.
Hingga saat ini dapat dikatakan bahwa potensi seni rupa yang dimiliki warga Malang sebenarnya cukup besar, mereka dapat dikategorikan berdasarkan yang berpendidikan seni rupa dan yang tidak berpendidikan seni rupa. Salah satu lembaga yang dapat diharapkan dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan potensi seni rupa yang terdapat di Malang adalah pendidikan tinggi seni. Lembaga pendidikan yang sudah cukup berperan serta dalam pengembangan seni rupa di Malang adalah Jurusan Seni Desain Universitas Negeri Malang. Diakui bahwa lembaga pendidikan di UM ini bukan disiapkan untuk menghasilkan seniman (perupa), namun fakta di lapangan tidak sedikit alumni dari pendidikan seni rupa ini
berprofesi sebagai perupa.
sesekali berkarya adalah Ponimin, Triyono Widodo, Andi Harisman, Agung Arimbawa dan lain-lain. Ponimin adalah perupa keramik yang sudah memiliki pengalaman internasional.
Beberapa alumni Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang yang saat ini sudah mencapai posisi di tingkat nasional dan memiliki pengalaman pameran di luar negeri adalah misalnya : Fadjar Djunaedi dan Isa Ansori dari kota Batu. Toto Kamdani, Ojit Budi Sutarno, Gatot Pujiarto, dan Yoga Mahendra dari kota Malang. Selain para perupa tersebut terdapat seorang pelukis pensil yang sudah berhasil di pasar yaitu Iroel Choirul Sabarudin.
Di kota Malang juga terdapat komunitas perupa dari berbagai latarbelakang seperti Komunitas Malangsuko, Bambang AW, pelukis difabel Sodikin, Asta Citra Perupa Malang Art, dan lain-lain. Para komunitas dan perupa-perupa kota Malang ini juga aktif mengadakan berbagai pameran di ruang pamer perpustakaan kota, Bromo Artspace, dan tempat lain. Para perupa ini juga sering terlibat dalam even seni tahunan di Kampung Celaket kota Malang.
Beberapa perupa asal kota Malang juga ada yang mengembangkan karir seni rupanya di Bali, mereka adalah Ponco Setyohadi, Yosa, dan Yonas. Ponco adalah perupa jebolan Jurusan Seni dan Desain UM yang sejak tahun 1992 sudah berada di Bali, pada bulan Februari ini ia mengadakan pameran tunggal dengan tema Poleng. Yosa adalah perupa asal kota Malang jebolan ISI Yogyakarta sudah beberapa tahun tinggal di Bali. Yonas juga dari Malang belajar seni di Universitas Udayana Denpasar. Di Kalimantan tepatnya di kota Bontang juga terdapat dua perupa asal Malang yaitu Supardi dan Paulus Patiwael. Karena terbatasnya waktu dalam penulisan sehiungga banyak perupa asal kota Malang yang belum terekam dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak nama-nama perupa asal Malang ataupun yang beraktivitas di Malang tetapi karena keterbatasan data maka hanya sebagian saja yang dapat ditampilkan.
Kesimpulan
Malang sejak zaman kolonial sudah menjadi tempat yang menarik bagi para pelukis Belanda, Tionghoa dan Jawa untuk berkarya seni. Pada awal kemerdekaan beberapa perupa membentuk Sanggar Pelukis Malang. Para sarjana seni rupa asal Malang yang belajar di kota Bandung dan Yogyakarta kembali ke Malang untuk membuka jurusan seni rupa di IKIP Malang.
Para perupa di kota Batu yang tergabung dalam Pondok Seni Batu memiliki semangat yang tangguh sehingga secara bersama-sama dapat meraih sukses. Para perupa di kota Malang yang memiliki fasilitas lebih banyak tetapi jumlah perupanya yang berhasil kurang sebanding dengan jumlah penduduknya.
Galeri seni rupa swasta belum maksimal dalam membantu meningkatkan prestasi perupa. Di kota Malang masih minim kurator dan penulis sehingga informasi tentang seni rupa dan pengembangan wacana seni rupa di Malang kurang memadai. Perlu dikembangkan program studi penciptaan seni, pengkajian seni, dan menejemen seni, sehingga lulusan pendidikan seni ini dapat mempercepat kemajuan seni rupa di kota Malang.
Malang memiliki potensi seni rupa yang dapat diharapkan untuk lebih berkembang di masa yang akan datang. Art world di Malang belum terlembaga seperti di kota lain, sehingga semua unsur yang dapat mendukung perkembangan seni rupa di Malang perlu saling
berkomunikasi. Daftar Rujukan
Dermawan T.,Agus, 1993, “Sanggar Kamboja dan Perkumpulan Seni Rupa di Indonesia”, Katalog Pameran Lukisan Sanggar Kamboja Bali Ke VII, di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud Jakarta 26 Agustus – 2 September 1993.
Dermawan T.,Agus, 2004. Bukit-bukit Perhatian : Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Handinoto, 1996. “Perkembangan Kota Malang Pada Zaman Kolonial (1914-1940)”, Jurnal DIMENSI 22/September 1996.
Tionghoa bisa dianggep sebage Pionier Seni Lukis di Indonesia Hoedjin_kwee, 2009. “7 Pelukis Tionghoa bisa dianggep sebage Pionier Seni Lukis di
Indonesia” <http://www.kaskus.us/blog.php?u=998954>
Holt, Claire 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan RM. Soedarsono, Bandung:MSPI.
Marianto,Dwi, 2001. Surealisme Yogyakarta, Yogyakarta: Merapi.
Supangkat, Jim (ed) 1979. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Jakarta:Penerbit PT Gramedia Yulistio W. dan Yummi,Akbar 2013. “Menilik Dari Sejarah dan Membaca Perkembangan
Seni Rupa: Sebuah catatan singkat pembacaan seni rupa di Malang”,
http://sangchakti.blogspot.com/2013/01/menilik-dari-sejarah-dan-membaca.html Jakarta Post, 27 Nov. 2003
KOMPAS, 11 Januari 2009
http://www.arcadja.com www.puriartgallery.com
http://umiuci.blogspot.com, 2013