• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pola Asuh Keluarga pada Sikap Radi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Pola Asuh Keluarga pada Sikap Radi"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Pola Asuh Keluarga pada Sikap Radikalisme Anak Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Keluarga (Studi Kasus : Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas)

Oleh Kelompok 3: Banu Parmaswanto (4815111) Fanni Permata Lestari (4815111585)

Julia Ristiana (4815110332) Rifatra De Leire (4815111572) Siti Aisyah Bashir (4815111574)

Vina Dewisa (4815111561) Wahyu Alaska (4815111571)

Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pola asuh adalah cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Strategi, cara dan bentuk pendidikan yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya ini sudah tentu dilandasi oleh beberapa tujuan dan harapan orangtua.1 Peran orang tua dalam proses

mengasuh anak sangat penting bagi kelanjutan perkembangan anak kelak ketika mereka dewasa. Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan seorang anak yang berkaitan erat dengan pola asuh yang dilakukan oleh keluarga, ternasuk lingkungan masyarakat sekitar kepada anak. Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap.2 Di samping itu, masa remaja adalah

masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif, seperti narkoba, kriminal, dan kejahatan seks. Tindakan kriminal, merupakan salah satu pengaruh negatif yang rawan terjadi pada anak ketika masa remaja, seperti tawuran antar pelajar, pencurian, pencopetan, kenakalan remaja, dll. Tindakan kriminal seperti itu kami menyebutnya sebagai salah satu bentuk sikap radikalisme anak.

Dalam tulisan ini kami mengambil salah satu sikap radikalisme anak ialah kasus tawuran antar pelajar yang belakang ini sering terjadi dan diberitakan di media massa. Sepanjang tahun 2013 ini terjadi 112 kasus dengan menewaskan 12 siswa. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan, tawuran pelajar tersebut bahkan sudah menjalar ke daerah. "Total kasus di seluruh Indonesia mencapai 255 kasus dengan total tewas 20 orang, terbanyak memang di Jakarta," kata Arist saat dihubungi Minggu (22/12/2013) lalu. Dirinya menyebutkan, peristiwa tersebut tidak bisa sepenuhnya jadi kesalahan siswa tersebut. Tetapi dipicu sejumlah faktor seperti pergaulan, lingkungan serta peran pendidik. "Tapi pendidikan di lingkungan keluarga menjadi faktor sangat penting," katanya.3

1 …, “Konsep Pola Asuh Anak”, Terdapat di http://scrib.com/doc/7569681, Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2014 pukul 13.45 WIB.

2 Prof. Dr. Sofyan S. Willis, M.PD, Remaja dan Masalahnya, (Bandung : Alfabeta, 2010), Hlm. 1.

3 TRIBUNNEWS.COM, Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini, Terdapat di

(3)

Berdasarkan catatan Komnas PA, sepanjang 2013 ini terjadi 255 kasus tawuran pelajar di Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus. Sedangkan, untuk kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98 kasus. Menurut Arist, sikap pelajar yang bertindak kasar merupakan cermin dari kondisi lingkungan di sekitarnya.4 Salah satu kondisi lingkungan yang dapat

mempengaruhi seseorang bertindak kasar yakni bagaimana orang tua dalam mengasuh seseorang tersebut. Senada dengan itu, pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilangnya keteladanan di sekolah, rumah, dan masyarakat di sekitar mereka.5 Berdasarkan data tersebut, kami tertarik untuk

mengkaji bagaimana peran pola asuh keluarga sehingga dapat memunculkan sikap radikalisme anak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana peran pola asuh keluarga terhadap sikap radikalisme anak?.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Keluarga, bertujuan juga untuk mendeskripsikan bagaimana peran pola asuh keluarga terhadap sikap radikalisme anak.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini dapat dikategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu sosiologi, khususnya ilmu sosiologi keluarga, lebih khusus lagi terkait dengan peran pola asuh keluarga terkait sikap radikalisme anak. Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:

4 TRIBUNNEWS.COM, Loc.Cit.,

5 Suara Pembaharuan, Radikalisme Siswa Karena Hilangnya Keteladanan, Terdapat di

(4)

1. Memberikan pemahaman yang tepat dan sebagai bahan masukan bagi Orang tua dalam proses mengasuh anak.

2. Memberikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat bahwa peran pola asuh keluarga sangat terkait dengan perkembangan anak khususnya sikap radikalisme anak.

BAB 2

KERANGKA TEORI 2.1 Definisi Keluarga

Keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan dasar dari semua lembaga-lembaga sosial lainnya.6 Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik

(5)

maupun budaya dimana ia berada. Dalam konsep sosiologi, keluarga sebagai bagian unit terkecil dari masyarakat yang memegang peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika unit sosial terkecil itu baik, maka baiklah masyarakat, bangsa, dan Negara dan sebaliknya, jika keluarga itu berantakan, maka masyarakat, bangsa dan Negara juga berantakan.

F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologi, keluarga dapat diartika dua macam, yaitu a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan “clan” atau marga; b) dalam arti sempit keluarga meliputi orang tua dan anak.7 Para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan menganalogikan masyarakat

ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Demikian halnya juga dalam keluarga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan bersifat fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Bahwa pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak di mana masing-masing anggota keluarga tersebut saling mempengaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota keluarga. Jika satu fungsi dalam keluarga terganggu, maka fungsi lainnya juga terganggu.8 Hal itu secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa

anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak) memiliki fungsi dan peran yang harus dijalankan sesuai dengan yang semestinya. Contohnya, ibu sebagai pengurus anak dan suami, ayah sebagai kepala keluarga bertugas sebagai sumber pencari nafkah utama.9

2.2 Peran dan Fungsi Keluarga

Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :

1. Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

7 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), Hlm. 36. 8 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bina Aksara, 2001) Hlm. 189.

(6)

2. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3. Anak-anak sebagai anggota keluarga melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat

perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Selanjutnya, pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut: 1.Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2.Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3.Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing. 4.Sosialisasi antar anggota keluarga.

5.Pengaturan jumlah anggota keluarga. 6.Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7.Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas. 8.Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.

Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) adalah: fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi proteksi, fungsi penentuan status, dan fungsi pemeliharaan.10

 Fungsi afektif ialah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga.

 Fungsi sosialisasi ialah fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi.

(7)

 Fungsi reproduksi ialah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.

 Fungsi ekonomi ialah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya, seperti sandang, pangan dan papan.

 Fungsi proteksi ialah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Pada fungsi proteksi keluarga juga berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman.

 Fungsi penentuan status ialah fungsi dimana keluarga akan mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota keluarga sehingga mereka memiliki hak-hak istimewa. Hak istimewa misalnya warisan, status sosial, dll.

 Fungsi pemeliharaan ialah fungsi dimana keluarga bertanggung jawab memelihara dan merawat anggota keluarganya yang sakit, menderita, dan tua. Namun, seiring berjalannya waktu fungsi pemeliharaan kini lambat laun mulai banyak diambil alih oleh lembaga-lembaga masyarakat, seperti: RS, Panti Jompo, dll.

Selanjutnya, menurut Erick Erickson ada delapan tahap perkembangan psikologis dalam kehidupan seseorang individu dan itu semua bergantung pada pengalaman yang diperolehnya dalam keluarga.11

2.3 Definisi Pola Asuh

Pola asuh adalah cara, bentuk atau strategi dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya. Strategi, cara dan bentuk pendidikan yang dilakukan orangtua kepada anak-anaknya sudah tentu dilandasi oleh beberapa tujuan dan harapan orangtua. Diharapkan pendidikan yang diberikan orangtua membuat anak mampu bertahan hidup sesuai alam dan lingkungannya dengan cara menumbuhkan potensi-potensi yang berupa kekuatan batin, fikiran dan kekuatan jasmani pada diri setiap anak.12

(8)

Menurut Baumrind (1975), pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control. Hal senada juga dikemukakan oleh Kohn (1971) yang menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara orangtua berinteraksi dengan anaknya, yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman dan pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Selanjutnya, menurut Haditono (Anto, dkk. 1998), peranan dan bantuan orangtua kepada anak akan dapat tercermin dalam pola asuh yang diberikan kepada anaknya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka pola asuh dapat didefinisikan sebagai upaya pemeliharaan seorang anak, yakni bagaimana orangtua memperlakukan, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak, yang meliputi cara orangtua memberikan peraturan, hukuman, hadiah, kontrol dan komunikasi untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Dalam mengasuh anak orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Menurut Dr. Baumrind, terdapat 3 macam pola asuh orang tua yaitu demokratis, otoriter, dan permisif.13

a. Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.14 Misalnya ketika orang tua menetapkan untuk menutup pintu

kamar mandi ketika sedang mandi dengan diberi penjelasan, mengetuk pintu ketika masuk kamar orang tua, memberikan penjelasan perbedaan laki-laki dan perempuan, berdiskusi tentang hal yang tidak boleh dilakukan anak misalnya tidak boleh keluar dari kamar mandi dengan telanjang, sehingga orang tua yang demokratis akan berkompromi dengan anak.

b. Otoriter

Pola asuh ini sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe

13 …, Loc. Cit.,

(9)

ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah.15 Misalnya, anaknya harus menutup pintu kamar mandi ketika

mandi tanpa penjelasan, anak laki-laki tidak boleh bermain dengan anak perempuan, melarang anak bertanya kenapa dia lahir, anak dilarang bertanya tentang lawan jenisnya. Dalam hal ini tidak mengenal kompromi. Anak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus memenuhi target yang ditetapkan orang tua. Anak adalah obyek yang harus dibentuk orang tua yang merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk anak-anaknya.

c. Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Pola asuh ini memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak.16 Misalnya, anak yang masuk kamar

orang tua tanpa mengetuk pintu dibiarkan, telanjang dari kamar mandi dibiarkan begitu saja tanpa ditegur, membiarkan anak melihat gambar yang tidak layak untuk anak kecil, degan pertimbangan anak masih kecil. Sebenarnya, orang tua yang menerapka pola asuh seperti ini hanya tidak ingin berkonflik dengan anaknya.

Menurut Baumrind terdapat beberapa dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak-anak, yaitu:17

1. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan kooperatif terhadap orang lain.

2. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

3. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. 15 …, Loc.Cit.,

(10)

Lalu, beberapa peran keluarga dalam pengasuhan anak, yaitu:

1. Terjalinnya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui pola asuh islami sejak dini, yakni:

 Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Ada tuntutan bagi orang tua laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai dengan tuntutan agama. Dengan maksud bahwa orangtua yang baik kemungkinan besar akan mampu mengasuh anak dengan baik.

 Pengasuhan anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa dewasa dan seterusnya diberikan dengan memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak beragama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

 Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak, terutama pendidikan agama. Agama yang ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan, tetapi bagaimana anak mampu mencapai kesadaran pribadi untuk ber Tuhan sehingga melaksanakan semua peraturan agama.

2. Menunjukkan kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua dapat mengantarkan kesuksesan anak. Begitupula memupuk kesabaran anak sangan diperlukan sebagai upaya meningkatkan pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang penting bagi manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik maka seseorang akan mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupannya.

Selanjutnya, beberapa faktor utama yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:18 (1) Budaya. Orang

tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka. (2) Pendidikan Orang Tua. Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak. (3) Status Sosial Ekonomi. Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam mengasuh anak.

2.4 Sikap Radikalisme Anak

Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut

(11)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.19

Anak adalah salah satu bagian dalam keluarga selain ayah dan ibu. Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar.20 Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat

(2) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Jika dilihat dari pengertian diatas, maka radikalisme yang dilakukan oleh anak adalah suatu sikap yang dilakukan oleh anak karena suatu keadaan untuk merubah atau untuk mencari apa yang belum bisa dipenuhi oleh orangtua. Radikalisme bisa dilakukan oleh anak karena pola asuh. Pola asuh adalah salah satu bentuk sosialisasi terhadap anak. Pola asuh berperan untuk membentuk perilaku anak. Pola asuh juga merupakan salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang akan menentukan jadi apa dan bagaimana anak tersebut saat dewasa nanti. Pola asuh yang telah dijelaskan di penjelasan sebelumnya seperti pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif memiliki peluang untuk menjadikan seorang anak bersikap radikal. 2.5 Teori Struktural Fungsional

Pandangan fungsionalis diperkenalkan oleh Durkheim untuk dapat melihat apa yang ada pada masyarakat beserta masalah sosialnya. Perubahan sosial secara cepat dapat merubah nilai dan norma yang ada serta struktur sosial pada masyarakat, pada masa ini terjadi ketidakadaan norma atau yang disebut dengan anomie. Fungsionalisme melihat struktur pada pandangan makro, yang lebih berfokus bagaimana masyarakat terbentuk dan menjaga tindakan sosial yang ada. Masalah sosial tidak dilihat dari baik dan buruknya, tetapi lebih kepada bagaimana masalah tersebut mempengaruhi masyarakat dan fungsinya. Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori yang sangat penting dan bermanfaat bagi suatu kajian masalah sosial.21

Para penganut teori struktural fungsional melihat masyarakat dengan menganalogikan masyarakat ibarat organisme biologis. Makhluk hidup yang bisa sehat atau sakit. Demikian halnya juga dalam

19 Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Bahasa Indonesia, Hlm. 1151-2.

20 Terdapat di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465, Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2014 pukul 13.00 WIB.

(12)

keluarga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan satu sama lain dan fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Bahwa pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dimana masing-masing anggota keluarga tersebut saling mempengaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota keluarga. Jika satu fungsi dalam keluarga terganggu, maka fungsi lainnya juga terganggu.22 Hal ini untuk

menghindari disfungsi dalam suatu sistem.

Talcott Parsons salah satu yang mengembangkan teori ini. Parsons membagi menjadi empat imperatif fungsional bagi sistem yaitu yang disebut dengan AGIL. Agar dapat bertahan hidup, sistem harus menjalankan keempat fungsi tersebut, antara lain:

1. Adaptasi: sistem harus mengatasi sebuah kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. 2. Pancapaian tujuan: sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.

3. Integrasi: sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.

4. Latensi (pemeliharaan pola): Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui dan mempertahankan motivasi individu.

Teori struktural fungsionalis dalam keluarga, konsep utama dalam teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Keluarga memiliki fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Friedman 1998, yaitu:23 fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi

ekonomi, fungsi proteksi, fungsi penentuan status, dan fungsi pemeliharaan. memiliki fungsi reproduksi, sosialisasi, afeksi, ekonomi, pengawasan, proteksi dan pemberian status. Anggota keluarga harus menjalankan fungsi serta peranannya masing-masing. Misalnya ibu sebagai pengurus anak dan suami. ayah sebagai kepala keluarga bertugas sebagai sumber pencari nafkah utama. Apabila salah satu fungsi terabaikan atau tidak berjalan dengan semestinya, maka akan terjadi disfungsi dalam keluarga.

(13)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.24 Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan

bagaimana peran pola asuh keluarga, khususnya orang tua sehingga dapat memunculkan sikap radikalisme anak. Pada penelitian ini, kami melihat fenomena tindakan kriminalitas seperti tawuran antar pelajar, pencuan, pencopetan, dan kenakalan remaja yang sering terjadi khususnya di DKI Jakarta.

3.2 Unit Analisis

24H. Muh. Basirun Al Ummah, Jenis-jenis Penelitian, Terdapat di http://basirunjenispel.blogspot.com/, Diakses

(14)

Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umumnya dan menyeluruh tentang situasi sosial yang menjadi objek peneliti. Dalam penelitian ini peneliti mengambil analisis kasus mengenai sikap radikalisme anak yang tercerminkan dalam tindakan kriminalitas dan kenakalan remaja yang dilakukan oleh anak.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang valid dan objektif, maka dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan beberapa kasus tindakan kriminalitas dan kenakalan remaja seperti kasus tawuran antar pelajar, pencurian, pencopetan, kenakalan remaja, dsb yang terjadi di DKI Jakarta. Untuk pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan kajian literasi yang menggunakan bahan bacaan dari buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan judul penelitian. Data yang diperoleh akan dikumpulkan lalu diolah menjadi data yang sudah terstruktur dan terkonsep sehingga akan mudah untuk membantu dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, kami mengambil artikel mengenai radikalisme siswa yang dikemukakan oleh Prof Dr Arief Rachman, seorang Pakar pendidikan.

3.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan dengan permasalahan yang diperoleh peneliti maka dapat diuraikan beberapa hipotesis penelitian yang diuji oleh peneliti yaitu :

1. Sikap radikalisme anak disebabkan oleh 3 macam pola asuh yang terlalu berlebihan dari orang tua terhadap anak mereka

(15)

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Analisis

4.1.1 Peran Keluarga Dalam Mengatasi Radikalisme Pada Anak

(16)

DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98 kasus.25

Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap sikap radikal anak yang menelan korban ini, inilah yang selalu menjadi perbincangan di berbagai media, berbagai pihak saling menyalahkan dan melakukan pembenaran terhadap diri mereka sendiri mengenai kasus radikalisme anak ini. Inilah yang membuat sikap radikalisme anak tidak pernah usai, sebenarnya ada hal yang lebih penting di balik menyalahkan dan membenarkan pihak mereka sendiri,yaitu duduk bersama, saling memikirkan, mencari solusi dan bahu membahu agar sikap radikalisme anak dapat menghilang, karena mereka inilah yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Bayangkan saja jika negara ini dipimpin oleh mereka yang memiliki sikap radikal terhadap situasi apapun, maka tak ayal negara ini akan semakin terpuruk.

Memang masalah radikalisme anak haruslah ditangani secara segara oleh seluruh elemen masyarakat dan seluruh pihak yang ada mulai dari pemerintahan hingga orangtua itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh pengamat sosial Wawan H Purwanto :

“Untuk mengatasi aksi tawuran para pelajar perlu sinergi dari semua kalangan. Dibutuhkan peranan aktif para stakeholder untuk duduk bersama membahas solusi terbaik demi kebaikan bersama.”26

Dari pernyataan tersebut kami membuat sebuah poin besar, bahwa perlu adanya sebuah kerjasama dari berbagai pihak agar masalah radikalisme pada anak ini dapat terselesaikan sampai ke akar-akarnya mulai dari masalah radikalisme yang ringan hingga berat dan menelan korban jiwa. Keluarga, disini keluarga memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian anak dan masa depan anak-anak mereka. Hal ini disebabkan karena anak itu hidup dan berkembang bermula dari pergaulan di dalam keluarga yaitu hubungan antar orangtua dengan anak, ayah dengan ibu, dan hubungan anak dengan anggota keluarga lain yang tinggal bersama-sama.27 Karena keluargalah yang merupakan agen sosialisasi

pertama anak, maka tak menutup kemungkinan bahwa radikalisme yang terjadi pada anak disebabkan oleh lingkungan keluarganya sendiri.

25 TRIBUNNEWS.COM, Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini, Terdapat di http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/22/kasus-tawuran-pelajar-jakarta-terus-meningkat-tahun-ini, Diakses pada hari Senin, 30 Desember 2013 pukul 05.53 WIB.

26 Terdapat di http://sports.sindonews.com/read/2012/10/11/31/678927/tontonan-televisi-sumber-radikalisme-anak-muda, Diakses pada hari Kamis, 02 Januari 2013 pukul 07.00 WIB.

(17)

Pertama, anak kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orangtua. Kasih sayang adalah hal mutlak yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Seperti yang di ungkapkan oleh Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan dasar manusia, yang salah satunya mencakup kebutuhan cinta dan rasa memiliki, kasih sayang, termasuk persahabatan, hubungan sosial dan cinta seksual.28 Tentu saja jika kebutuhan dasar

ini tidak terpenuhi maka tak menutup kemungkinan orang tersebut akan mengalami “kesakitan”. Tentunya kasih sayang memanglah sebuah hal penting yang harus di dapatkan oleh anak dalam keluarga, bayangkan saja jika keluarga sebagai pembentuk kepribadian dan masa depan anak tidak dapat memberikan kasih sayang seperti apa yang dibutuhkan si anak, maka tak ayal anak akan mencari kasih sayang yang mereka butuhkan di luar rumah dan di luar lingkungan keluarga mereka. Salah satunya seperti dalam kelompok pertemanan, namun yang menjadi sebuah pertanyaan besar apakah kepribadian dan nilai-nilai yang ada di dalam kelompok pertemanan itu baik, tentu jawabannya tidak. Tidak semua nilai dan kepribadian yang ada di dalam kelompok pertemanan itu baik. Oleh sebab itu ada sebuah poin yang harus di garis bawahi oleh semua orangtua yang ada bahwa, seratus persen mempercayakan pergaulan anak mereka kepada kelompok pertemanan adalah sebuah kesalahan. Oleh sebab itu orangtua haruslah tetap mengawasi pergaulan anak-anak mereka karena tidak menutup kemungkinan tertanam nilai-nilai menyimpang yang dapat merusak kepribadian anak mereka sendiri.

Kedua, mempercayakan pembentu sebagai pendidik anak. Layaknya sebua keluarga kaya yang sibuk, dimana ayah dan ibu selalu sibuk bekerja, sehingga kurangnya pendidikan moral yang mereka berikan kepada anak mereka. Pembantu rumah tangga (PRT) lah yang diberikan tugas untuk mengurus segala urusan anak mereka termasuk pendidikan moral. Inilah yang harusnya tidaklah terjadi, dimana orangtua sibuk bekerja dengan berbagai alasan seperti untuk memenuhi segala kebutuhan dan permintaan anak mereka. Dan banyak orangtua yang mengatakan bahwa mereka bekerja demi anak dan untuk anak. Inilah yang salah dari pemikiran orangtua tersebut. Kurangnya perhatian dan pendidikan moral yang diberikan akan membuat anak mereka bebas bergaul dengan siapa saja tanpa adanya perhatian dan pengawasan dari orangtua dan hal itu tentunya akan membawa benih-benih sikap radikalisme dalam diri si anak. Seperti melakukan berbagai kenakalan-kenakalan, tawuran, hingga pesta narkoba di rumahnya sendiri, karena kesibukan orangtua dan ketidakpedulian orangtua.

Ketiga, lemahnya keadaan ekonomi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan anak. Anak pada umumnya memang selalu ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa memperdulikan kemampuan ekonomi orangtua mereka. Memang itu semua tidaklah sepenuhnya salah, tuntutan dari anak

(18)

tersebut disebabkan oleh majunya industri dan teknologi yang hasilnya telah menjalar ke kota hingga ke desa-desa.29 Anak selalu menuntut orangtuanya untuk dapat memberikan barang-barang mewah yang

mereka inginkan mulai dari pakaian, televisi, hingga kendaraan bermotor. Dan bila orangtua mereka tidak dapat memenuhi apa yang mereka butuhkan maka akan timbul kenakalan dan sikap radikalisme pada diri anak tersebut. Misalnya saja pencurian, bahkan yang lebih parahnya lagi mereka rela membunuh untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan. Dan yang terakhir adalah rela membunuh diri sendiri karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rela membunuh diri sendiri tersebut terjadi karena; Pertama, adanya kekecewaan yang berakumulasi karena kebutuhan-kebutuhannya tak terpenuhi selama ini, berhubung orangtua lemah kondisi ekonominya dan mengabaikan permintaan anak. Disamping itu juga terjadi orangtua suka menekan anak dan remaja secara emosional.30 Memang tidaklah salah jika

orangtua tidak menuruti permintaan anak mereka karena keterbatasan ekonomi, namun disini orangtua seharusnya dapat memberikan pemahaman kepada anak mereka, mengapa keinginan anak mereka tidak dapat orangtua penuhi, dan buka dengan memberikan tekanan emosional seperti mencaci maki anak, dsb.

Dengan adanya pemberian pemahaman ini maka si anak akan tahu dan mengerti mengapa keinginan mereka tidak dapat terpenuhi. Kedua, banyak berita dan tontonan di TV yang menggambarkan begitu mudah mengakhiri hidup dengan bunuh diri.31 Tentunya lagi-lagi orangtua harus dapat mengawasi

apa yang anak mereka lakukan mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar. Banyak orangtua yang menganggap bahwa tayangan televisi tidak akan memberikan dampak negatif bagi si anak, namun yang sebenarnya pandangan tersebut salah karena tayangan televisi memberikan pengaruh yang cukup besar bagi si anak. Ketiga, kasus bunuh diri ditentukan pula oleh kepribadian anak yang kurang terbuka terhadap orangtua dan orang lain. Dia menelan sendiri kesedihan, kekecewaan, dan kesalahannya dari tekanan orangtua dan orang lain. Perasaan tersebut berakumulasi dan bertumpuk, sehingga tidak dapat lagi dipecahkannya, kemudian dia mencari jalan pintas yaitu bunuh diri.32 Untuk meminimalisir adanya kasus

radikalisme yang dalam hal ini adalah bunuh diri, orangtua selain harus dapat memberikan pemahaman mengenai apa yang menyebabkan keinginan sang anak tidak dapat terpenuhi, mengawasi tayangan televisi yang ditonton oleh anak, dan juga orang ta harus mendekatkan dirinya kepada si anak, bersikap layaknya teman bagi si anak.

29Ibid.,

(19)

Keempat, Pola asuh. Banyak orangtua mengabaikan pola asuh mereka terhadap anak mereka, namun sebenarnya pola asuh orangtua lah yang dominan mempengaruhi sikap radikalisme pada diri anak. Pola asuh orangtua sangat menentukan apa yang anak mereka lakukan kedepannya dan juga menentukan kepribadian anak-anak mereka. (1) pola asuh permisif. Pola asuh ini memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur / memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak.33 Dengan menerapkan pola asuh seperti ini

orangtua yang secara tidak langsung bersikap masa bodoh terhadap anak mereka dan membiarkan apa saja yang anaknya lakukan, tanpa adanya pengawasan akan mempercepat anak mereka jatuh ke dalam jurang radikalisme, karena dengan sikap orangtua yang masa bodoh ini dan selalu memberikan kelonggaran dalam hal apapun terhadap si anak akan membuat pemaknaan lain dari si anak, dimana anak akan merasa bahwa tindakan apapun yang mereka lakukan adalah sebuah kebenaran karena tidak adanya teguran dari orangtua, sekalipun tindakan itu negatif dan salah. Sehingga pada akhirnya si anak akan merasa bahwa yang mereka lakukan adalah benar, termasuk melanggar peraturan dengan skala kecil hingga skala besar seperti mengabaikan peraturan yang ada di lingkungan rumah, sekolah, hingga masyarakat. Pola asuh permisif dan sikap masa bodoh dari orangtua tentunya membawa dampak negatif yang luas, tidak hanya berdampak terhadap diri anak itu sendiri, namun juga berdampak terhadap orangtua, dan masyarakat seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya. Pola asuh permisif dan sikap masa bodoh orangtua yang menciptakan anak dengan berbagai masalah pelanggaran, dan sikap radikalismenya. Tentunya sikap radikalisme anak yang tercipta dari pola asuh permisif berbenturan dengan norma yang ada di masyarakat, karena masyarakat itu sendiri telah memiliki sebuah konsensus bersama yang harus di patuhi oleh semua masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, banyaknya kasus kenakalan dan kriminalitas yang pada generasi muda (anak) tidak dipungkiri juga terjadi karena pola asuh permisif dari orangtua yang membiarkan anaknya bebas melakukan apapun tanpa adanya arahan dari mereka, sehingga menimbulkan benih-benih sikap radikalisme pada diri anak yang menyebabkan mereka tidak menghargai konsensus bersama yang telah dibentuk oleh masyarakat yang dalam hal ini adalah nilai dan norma, sehingga mereka tanpa bersalah melakukan tindakan yang melanggar nilai dan norma yang ada di masyarakat tersebut seperti tawuran, mencuri, dsb.

(20)

(2) pola asuh otoriter. Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah.34 Banyak orang tua yang memiliki keyakinan bahwa dengan

menerapkan pola asuh otoriter maka sang anak akan terhindar dari sikap radikalisme, kenakalan dan si anak akan patuh sepenuhnya terhadap peraturan yang ada, baik peraturan yang ada di rumah, sekolah hingga masyarakat dan membuat anak tunduk terhadap apa yang orangtua inginkan. Namun pandangan tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena di rumah mungkin benar si anak tunduk terhadap orangtua dan patuh terhadap peraturan yang ada, namun di luar rumah tidak menutup kemungkinan anak akan mencoba hal-hal baru yang tidak bisa mereka lakukan di rumah karena di larang oleh orangtua mereka. Selain itu sifat dari fase remaja yang terjadi pada diri si anak akan mendorong si anak untuk mencoba hal-hal baru, yang mungkin saja hal-hal tersebut bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan prediksi orangtua yang ada di rumah mengenai kepribadian anaknya. Maka tak menutup kemungkinan anak akan manis di dalam rumah, tetapi sangat liar saat di luar rumah. Seperti banyaknya kasus kenakalan yang terjadi, yang kebanyakan orangtua mengatakan ketidakpercayaan mereka bahwa anaknya melakukan tidak kriminal karena anaknya cenderung bersikap baik dan manis jika ada di dalam rumah.

(3) pola asuh demokratis. Pola asuh ini adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.35 Dari pengertian di atas, dapat diambil sebuah

kesimpulan bahwa secara tidak langsung pola asuh demokratis adalah pola asuh yang tepat untuk menghindarkan anak dari sikap radikalisme, karena anak tidak dikekang untuk menuruti apa yang diinginkan oleh orangtua. Namun si anak diberikan sebuah pilihan untuk melakukan suatu tindakan dengan pendekatan dan arahan dari orang tua, sehingga anak tersebut tahu konsekuensi apa yang akan di dapat oleh mereka jika mereka melakukan suatu tindakan. Namun tidak berarti bahwa anak yang diasuh

34

(21)

dengan pola demokratis dapat terhindar dari sikap radikalisme, karena anak cenderung ingin mencoba hal-hal baru yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya, dan juga anak bisa saja radikal jika mengenal lingkungan dengan norma yang berbenturan dengan norma yang selama ini mereka anut di rumah. Namun jika dibandingkan dengan pola asuh permisif dan otoriter, anak yang diasuh dengan pola demokratis akan lebih menerapkan nilai yang telah di tanamkan oleh orangtua mereka dirumah.

4.1.2 Teori Struktural Fungsional Memandang Radikalisme Pada Anak

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Durkheim dalam pandangan fungsionalisnya menganalogikan masyarakat ibarat organisme biologis, jika teori ini dikaitkan dengan sebuah keluarga memiliki sebuah makna bahwa di dalam keluarga terdapat fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh setiap anggota keluarga mulai dari ayah hingga anak, dan jika fungsi tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya maka akan tercipta sebuah keluarga seperti yang seharusnya, namun jika ada salah satu anggota keluarga yang tidak menjalankan fungsinya maka akan terdapat kekacauan di dalam keluarga tersebut.

Menurut Friedman keluarga memiliki beberapa fungsi dan peran yang harus dijalankan oleh keluarga tersebut, dan jika salah satu fungsi dan peran tersebut tidak dijalankan maka akan menciptakan sebuah ketidakberfungsian keluarga. Namun disini penulis hanya akan membahas fungsi dan peran keluarga menurut Friedman yang berkaitan dengan radikalisme pada anak. Adapun fungsi-fungsi tersebut, yaitu; Pertama, fungsi afektif Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota kelurga.36 Jika fungsi ini dikaitkan dengan radikalisme yang terjadi pada anak, maka tidak

menutup kemungkinan jika fungsi ini tidak dapat dijalankan dengan baik oleh keluarga maka anak akan menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak, karena orang tua tidak memberikan kasih sayang seperti apa yang dibutuhkan oleh anak maka tak ayal anak akan mencari kasih sayang yang mereka butuhkan di luar rumah. Salah satunya seperti dalam kelompok pertemanan, namun yang perlu diketahui bersama bahwa nilai yang ada di dalam kelompok pertemanan tidaklah seluruhnya baik, dan kasih sayang, sikap saling mendukung yang kelompok pertemanan berikan kepada si anak berbeda dengan kasih sayang, dan sikap saling mendukung yang diberikan oleh orang tua. Sebagai analogi, jika anak berada dalam kelompok pertemanan yang kurang baik dan cenderung negatif maka nilai yang kelompok tersebut anut berbeda denga nilai yang menjadi konsensus bersama di masyarakat. Selain itu kasih sayang dan sikap

(22)

saling mendukung yang diberikan kelompok pertemanan dengan keluarga terhadap anak juga berbeda, jika kelompok pertemanan tersebut memberikan instruksi untuk melakukan tindakan radikalisme yang sudah pasti bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan si anak menuruti maka si anak mendapatkan sebuah pujian, kasih sayang dan dukungan dari kelompok pertemanannya tersebut, tentunya hal ini berbeda dengan kasih sayang dan dukungan yang diberikan oleh orangtua. Dimana orangtua akan memberikan kasih sayang dan dukungannya jika si anak berbuat baik dan positif bukan berbuat buruk dan negatif. Tentunya kasih sayang, sikap saling mendukung yang terdapat di dalam fungsi afeksi keluarga haruslah dijalankan dengan sepenuhnya sesuai dengan porsinya agar anak tidak mencari kasih sayang di luar keluarga, yang mungkin akan menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak.

Kedua, fungsi sosialisasi. Adalah fungsi mengembangkan dan sebagai tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah37.

Tentunya masa depan seorang anak sejak dini ditentukan oleh keluarga, karena keluarga lah agen sosialisasi pertama bagi diri anak, keluarga menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat, fungsi sosialisasi ini mungkin dianggap remeh dan kurang penting oleh kebanyakan orangtua namun sebenarnya fungsi sosialisasi amat berguna bagi si anak, dimana jika ter-sosialisasi nilai dan norma seperti apa yang berlaku di masyarakat maka anak akan terhindar dari sikap dan tindakan radikalisme. Anak akan berpikir dua kali sebelum melakukan sebuah tindakan, apakah tindakan itu benar dan ataukah tindakan itu salah, dan efek apa yang akan ditimbulkan dari tindakan yang Ia buat. Banyak kasus radikalisme anak terjadi karena keluarga tidak menjalankan fungsi sosialisasinya dengan baik, sehingga anak cenderung dengan mudah mengambil sebuah keputusan dan tindakan tanpa mengetahui efek dari tindakan tersebut.

Ketiga, fungsi ekonomi. Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya seperti sandang, pangan dan papan38. Fungsi ekonomi ini cukup memiliki kaitan yang erat dengan

radikalisme anak dan bisa menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak. Anak terutama pada fase remaja penuh dengan keinginan-keinginan, contohnya saja anak menginginkan sebuah barang dan memintanya kepada orangtua untuk dibelikan, namun karena keterbatasan ekonomi keinginan anak tersebut tidak bersambut. Hal demikian dapat pula menimbulkan benih-benih radikalisme pada diri anak terlebih lagi dengan kondisi anak yang berada dalam fase remaja, dan mulai mengenal pergaulan dengan lingkungan diluar keluarga. Tentunya hal ini bisa membuat si anak melakukan apapun demi mendapatkan barang yang mereka inginkan, seperti pencurian, perampokan, dsb seperti yang terdapat pada berbagai

(23)

media massa yang ada. Tentunya hal ini dapat dihindari jika orang tua memberikan pemahaman mengapa orang tua tidak dapat merealisasikan keinginan si anak, dengan itu si anak akan mengerti dan tindakan radikalisme anak akan terminimalisir.

Keempat, fungsi proteksi. fungsi proteksi dalam keluarga adalah untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Dan keluarga juga berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman39. Jika fungsi proteksi ini dikaitkan dengan

sikap radikalisme pada anak, maka orang tua harus memberikan pengawasan yang optimal kepada anak mereka agar tingkah laku mereka dapat dikontrol oleh orangtua dan tidak menimbulkan permasalahan. Di sini pengawasan oleh orang tua hendaknya dilakukan sejak dini karena saat usia anak-anak seorang anak memerlukan bimbingan dan figur teladan sehingga dapat mereka aplikasikan pada dirinya, jika pengawasan terhadap anak pada usia anak-anak luput dari orangtua maka tak ayal remaja dan dewasa nanti si anak akan bertindak semaunya dan melanggar norma yang ada di masyarakat. Di sini proteksi tidaklah harus otoriter cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Banyak orang tua yang memiliki keyakinan bahwa dengan menerapkan pola asuh dan pengawasan yang otoriter maka sang anak akan terhindar dari sikap radikalisme, kenakalan dan si anak akan patuh sepenuhnya terhadap peraturan yang ada, baik peraturan yang ada di rumah, sekolah hingga masyarakat dan membuat anak tunduk terhadap apa yang orangtua inginkan. Namun pandangan tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena di rumah mungkin benar si anak tunduk terhadap orangtua dan patuh terhadap peraturan yang ada, namun di luar rumah tidak menutup kemungkinan anak akan mencoba hal-hal baru yang tidak bisa mereka lakukan di rumah karena di larang oleh orangtua mereka. Selain itu sifat dari fase remaja yang terjadi pada diri si anak akan mendorong si anak untuk mencoba hal-hal baru, yang mungkin saja hal-hal tersebut bertentangan dengan konsensus yang ada di masyarakat dan prediksi orangtua yang ada di rumah mengenai kepribadian anaknya. Maka tak menutup kemungkinan anak akan manis di dalam rumah, tetapi sangat liar saat di luar rumah. Seperti banyaknya kasus kenakalan yang terjadi, yang kebanyakan orangtua mengatakan ketidakpercayaan mereka bahwa anaknya melakukan tidak kriminal karena anaknya cenderung bersikap baik dan manis jika ada di dalam rumah.

(24)

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Radikalisme nampaknya telah merasuk kedalam seluruh elemen masyarakat Indonesia, tidak terkecuali para generasi muda. Paham yang menginginkan perubahan terhadap segala situasi yang ada dengan cara apapun ini telah merasuk ke dalam diri anak yang dalam konteks ini segala usia mulai dari anak-anak hingga remaja. Radikalisme yang dilakukan oleh anak adalah suatu sikap yang dilakukan oleh anak karena suatu keadaan untuk merubah atau untuk mencari apa yang belum bias dipenuhi oleh orangtua. Radikalisme bias dilakukan oleh anak karena pola asuh. Pola asuh adalah salah satu bentuk sosialisasi terhadap anak. Pola asuh berperan untuk membentuk perilaku anak. Pola asuh juga merupakan salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang akan menentukan menjadi apa dan bagaimana anak tersebut saat dewasa nanti. Dalam hal ini konteks radikalismeanak yang kami jadikansebuahcontohkasus adalah maraknya tawuran pelajar.

Nampaknya memang masalah tawuran pelajar erat kaitannya dengan sikap radikalisme anak, dan hal ini tentunya menjadi masalah serius yang harus di selesaikan bersama-sama. Memang masalah radikalisme anak haruslah ditangani secara cepat oleh seluruh elemen masyarakat dan seluruh pihak yang ada mulai dari pemerintahan hingga orangtua itu sendiri. Hal ini perlu adanya sebuah kerjasama dari berbagai pihak agar masalah radikalisme pada anak ini dapat terselesaikan sampai ke akar-akarnya mulai dari masalah radikalisme yang ringan hingga berat dan menelan korban jiwa.

(25)

keluarga yaitu hubungan antar orangtua dengan anak, ayah dengan ibu, dan hubungan anak dengan anggota keluarga lain yang tinggal bersama-sama.40 Karena keluarga lah yang merupakan agen sosialisasi

pertama anak, maka tidak menutup kemungkinan bahwa radikalisme yang terjadi pada anak disebabkan oleh lingkungan keluarganya sendiri. Pertama, anak kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orangtua.Kedua, mempercayakan pembantu sebagai pendidik anak.Ketiga, lemahnya keadaan ekonomi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan anak.Keempat, Pola asuh. Banyak orang tua mengabaikan pola asuh mereka terhadap anak mereka, namun sebenarnya pola asuh orang tualah yang dominan mempengaruhi sikap radikalisme pada diri anak.

Menurut Friedman keluarga memiliki beberapa fungsi dan peran yang harus dijalankan oleh keluarga tersebut, dan jika salah satu fungsi dan peran tersebut tidak dijalankan maka akan menciptakan sebuah ketidakberfungsian keluarga. Namun disini penulis hanya akan membahas fungsi dan peran keluarga menurut Friedman yang berkaitan dengan radikalisme pada anak. Adapun fungsi-fungsi tersebut, yaitu; Pertama, fungsi afektif. Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga.41Kedua, fungsi sosialisasi. Adalah fungsi mengembangkan dan sebagai tempat melatih

anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah42. Ketiga, fungsi ekonomi. Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota

keluarganya yaitu ; sandang, pangan dan papan43. Fungsi ekonomi ini cukup memiliki kaitan yang erat

dengan radikalisme anak dan bisa menanamkan benih-benih radikalisme pada diri anak. Anak terutama pada fase remaja penuh dengan keinginan-keinginan, contohnya saja anak menginginkan sebuah barang dan memintanya kepada orangtua untuk dibelikan, namun karena keterbatasan ekonomi keinginan anak tersebut tidak bersambut. Hal demikian dapat pula menimbulkan benih-benih radikalisme pada diri anak terlebih lagi dengan kondisi anak yang berada dalam fase remaja, dan mulai mengenal pergaulan dengan lingkungan diluar keluarga. Tentunya hal ini bisa membuat si anak melakukan apapun demi mendapatkan barang yang mereka inginkan, seperti pencurian, perampokan, dsb seperti yang terdapat pada berbagai media massa yang ada. Keempat, fungsi proteksi. fungsi proteksi dalam keluarga adalah untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Keluarga juga berfungsi untuk melindungi anggota keluarganya dari ancaman.44 Jika fungsi proteksi ini

40 Sofyan S. William, Remaja dan Masalahnya (Bandung: Alfabeta, 2010), Hlm. 99. 41 Ajeng Agrita., Loc.Cit

42 Dodiet Aditya, Konsep Dasar Keluarga (Surakarta:Politeknik Kesehatan Surakart, 2012). Hlm. 8 43 Ajeng Anggrita., Loc.Cit

(26)

dikaitkan dengan sikap radikalisme pada anak, maka orangtua harus memberikan pengawasan yang optimal kepada anak mereka agar tingkah laku mereka dapat dikontrol oleh orangtua dan tidak menimbulkan permasalahan.

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat kami berikan ialah sebagai berikut :

 Diharapkan orang tua dapat menerapkan pola asuh yang baik kepada anak, yakni pola asuh yang demokrasi namun tetap melakukan pengawasan kepada anak mereka.

 Diharapkan orang tua dapat mendidik anak dengan sebaik mungkin sejak usia dini dengan penanaman nilai-nilai social dan keagamaan karena saat itulah kepribadian anak mulai terbentuk.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

S. Willis, Sofyan. 2010. Remaja dan Masalahnya. Bandung : Alfabeta. J. Goode, William. 2001. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.

Yusuf, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Terjemahan Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana.

Aditya, Dodiet. 2012. Konsep Dasar Keluarga. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta.

Internet :

Terdapat di http://scrib.com/doc/7569681

Terdapat di http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/12/22/kasus-tawuran-pelajar-jakarta-terus-meningkat-tahun-ini

Terdapat di http://www.suarapembaruan.com/home/radikalisme-siswa-karena-hilangnya-keteladanan/25318

Terdapat di http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465

(28)

Terdapat di http://sports.sindonews.com/read/2012/10/11/31/678927/tontonan-televisi-sumber-radikalisme-anak-muda

LAMPIRAN

Lampiran 1

Radikalisme Siswa Karena Hilangnya Keteladanan

Diposting pada hari Senin, 1 Oktober 2012 pukul 20:05 WIB.

Prof Dr Arief Rachman. [Antara]

[JAKARTA] Pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilang keteladanan di sekolah, rumah, dan masyarakat di sekitar mereka.

(29)

bahwa adanya radikalisme anak-anak sekolah itu bermakna mereka telah tercerabut dari akar-akar nilai agama, etika, moral dan kemanusiaan.

Sementara salah satu ukuran suksesnya pendidikan di sekolah itu bukan saja menekankan pada kemampuan otak, tapi juga watak, dan sikap.

"Terjadinya radikalisme anak itu bisa disebabkan karena pola asuh anak yang salah, tidak demokratis, tidak menghargai, selalu menyalahkan, dan menghina anak-anak di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Tidak ada keteladanan yang bisa dicontoh," ujarnya.

Pada saat yang sama, berbagai tayangan televisi semisal tontonan sinetron yang dikonsumsi para pelajar itu semakin sarat dengan muatan materialistis, hedonistis dan kriminalitas yang banyak menyalahi nilai-nilai etika, moralitas dan agama.

Media massa itu, menurut dia, adalah "guru" yang turut berperan menularkan krisis kepada kaum muda yang tengah mencari identitas diri.

"Karena itu kalau medianya, televisinya brengsek, maka masyarakat juga akan brengsek. Untuk itu masyarakat juga harus mempunyai kecerdasan media, yaitu mampu memilah dan memilih tayangan yang layak ditonton," ujarnya.

Lebih lanjut Arief mengatakan bahwa anak-anak itu perlu aktualisasi diri, butuh dihargai dan bukannya dicaci maki atau disalahkan terus-menerus.

Oleh sebab itu, ia menambahkan, para guru juga harus ditingkatkan profesionalismenya untuk ikut bertanggung jawab karena semua benteng ada pada sosok guru di sekolah.

"Kalau sekolah itu menyenangkan, anak akan betah di sekolah. Kalau ada guru dan siswa yang terbukti salah harus dihukum tegas. Bisa dikeluarkan, dan atau sanksi yang pantas. Inilah pencegahan secara struktural yang harus dilakukan oleh sekolah," ujarnya.

(30)

Sumber: Suara Pembaharuan (Memihak Kebenaran), Terdapat di

http://www.suarapembaruan.com/home/radikalisme-siswa-karena-hilangnya-keteladanan/25318.

Lampiran 2

Kasus Tawuran Pelajar Jakarta Terus Meningkat Tahun Ini Diposting pada hari Minggu, 22 Desember 2013 pukul 21:50 WIB.

Kompas Nasional/WISNU WIDIANTORO

(31)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM - Kasus tawuran pelajar di Jakarta terus meningkat. Sepanjang tahun 2013 ini terjadi 112 kasus dengan menewaskan 12 siswa. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan, tawuran pelajar tersebut bahkan sudah menjalar ke daerah.

"Total kasus di seluruh Indonesia mencapai 255 kasus dengan total tewas 20 orang, terbanyak memang di Jakarta," kata Arist saat dihubungi Minggu (22/12/2013).

Dirinya menyebutkan, peristiwa tersebut tidak bisa sepenuhnya jadi kesalahan siswa tersebut. Tetapi dipicu sejumlah faktor seperti pergaulan, lingkungan serta peran pendidik. "Tapi pendidikan di lingkungan keluarga menjadi faktor sangat penting," katanya.

Berdasarkan catatan Komnas PA, sepanjang 2013 ini terjadi 255 kasus tawuran pelajar di Indonesia. Angka tersebut dinilai meningkat dibanding tahun 2012 sebelumnya yakni sebanyak 147 kasus.

Sedangkan untuk kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta sebanyak 112 kasus pada 2013 juga mengalami peningkatan dibanding tahun 2012 yakni 98 kasus.

Menurut Arist, sikap pelajar yang bertindak kasar merupakan cermin dari kondisi lingkungan di sekitarnya. Karena itu ia berharap, lingkungan sosial dapat memberikan tuntunan yang positif bagi para pelajar tersebut.

Dirinya juga mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang ada saat ini. Setidaknya ruang kreativitas bagi anak-anak usia sekolah harus tersedia agar energi pelajar tersalurkan secara positif.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor kemampuan PPK mengarahkan pelaksanaan konstruksi untuk memenuhi tingkat layanan seluruh bagian-bagian jalan dinilai penting, karena kemampuan PPK mengarahkan

Sebagai radio publik lokal yang cukup dikenal masyarakat kabupaten Sinjai, Radio Suara Bersatu harus selalu meningkatkan kualitas program acara khususnya pada

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasihnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

Pemantauan ibu hamil resiko tinggi yang dilakukan oleh Puskesmas Bandarharjo pada tahun 2015 sebesar 56,8%, Hal tersebut juga didukung dengan jumlah kasus

[r]

Setiap anak yang berkebutuhan khusus seperti tuna rungu yang berada dalam komunitas deaf art community akan menunjukan kepada masyarkat sekitar bahwa anak tuna rungu bukanlah

(1) Kepala Bidang Pendapatan Asli Daerah melaksanakan tugas membantu Kepala Dinas dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pemungutan pendapatan daerah dari pajak dan

Proses member check dilakukan dengan memberikan check list data kepada sumber data (informan) dan menanyakan kembali apakah data yang telah diperoleh dan digunakan