• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI PERAN POLITIK BUNDO KANDUAN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REPRESENTASI PERAN POLITIK BUNDO KANDUAN (1)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI PERAN POLITIK BUNDO KANDUANG PADA SISTEM

PEMERINTAHAN NAGARI DALAM UPAYA MEMPERKUAT DEMOKRASI LOKAL DI SUMATERA BARAT

Oleh :

Amaliatulwalidain

Program Studi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Pemerintahan Dan Budaya Universitas Indo Global Mandiri Email : Amaliatulwalidain@gmail.com

ABSTRAK

Pasca Sumatera Barat kembali kepada sistem pemerintahan Nagari, praktis terjadi perubahan pada sistem politik pemerintahan lokal di Minangkabau. Melalui Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari,sistem politik

pemerintahan lokal di Sumatera Barat kemudian dilandaskan pada konsep “Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Dalam konsep “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah penyelenggaran pemerintahan Nagari secara prosedural dilaksanakan pada konteks demokrasi lokal yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat Nagari, yaitu, keterlibatkan unsur-unsur lokalitas adat, salah satunya yaitu unsur adat Bundo Kanduang. Bundo Kanduang adalah salah satu unsur adat yang mewakili representasi kaum perempuan di Nagari. Representasi dan peran politik Bundo Kanduang sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan di Nagari dan kedudukannya secara formal berada dalam (BAMUS) atau Badan Musyarawah Nagari bersama-sama dengan unsur-unsur adat lainnya. Bundo Kanduang, merupakan salah satu instusi adat yang merupakan representasi dari kaum perempuan di Nagari. Tugas utama dari Bundo Kanduang berperan penting dalam menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat Minangkabau yang berlandaskan kepada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Perubahan struktur sistem pemerintahan lokal di Sumatera Barat, turut menyebabkan perubahan pada representasi dan peran Bundo Kanduang, apabila sebelumnya kedudukan Bundo Kanduang hanya sebagai penjaga kelangsungan dan kelestarian adat istiadat saja, melalui amanat dari Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007, secara formal memberikan peran politik Bundo Kanduang yang termanifestasi melalui representasi Bundo Kanduang pada Badan Musyawarah (BAMUS) Nagari sebagai penyelanggara pemerintahan Nagari. Maka melalui tulisan ini, akan memberikan analisis mendalam tentang bagaimana representasi peran politik Bundo Kanduang dalam penguatan demokrasi lokal di Sumatera Barat. Teori dan konsep yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian ini menggunakan teori representasi politik dan teori demokrasi lokal. Metode penelitian menggunakan metodelogi penelitian kualitatif deskriptif-analitis dengan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam ((in-depth interview).

(2)

A. LATAR BELAKANG

Sejak Sumatera Barat kembali kepada pemerintahan nagari sesuai dengan dikeluarkannya Perda No.9 Tahun 2000 dan dipertegas kembali melalui Perda No.2 Tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari, terjadi perubahan krusial dalam tata laksana pemerintahan di Sumatera Barat. Melalui peraturan tersebut menandai demokrasi lokal di Minangkabau dihidupkan kembali, setelah sekian lama dihilangkan akibat diberlakukannya Undang-undang No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang telah menyebabkan pemisahan secara tajam terhadap unsur adat dan unsur administrasi pemerintahan.

Kembalinya sistem pemerintahan nagari dalam struktur pemerintahan di Sumatera Barat, yang tercermin dalam Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No. 2 Tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari , secara langsung juga turut mengembalikan legitimasi kepemimpinan adat dalam mengatur proses politik yang berlangsung di nagari. Kesempatan besar untuk menghidupkan kembali ruh adat yang berbasis pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah tidak hanya menuntut pada representasi dan peran serta masyarakat nagari, secara khusus juga menuntut keterlibatan perempuan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

Amanat untuk melibatkan perempuan atau bundo kanduang secara tegas tertulis dalam pasal 12 Perda No.2 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa, anggota BAMUS Nagari (badan musyawarah nagari) terdiri dari unsur Ninik Mamak (tokoh adat /kepala sukuP) , Alim Ulama (Tokoh Agama), Cadiak Pandai (cendikiawan), Bundo Kanduang (Tokoh Perempuan) dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang di Nagari.1

Asumsi yang mendasari pasal 12 tersebut, adalah agar semua kepentingan golongan masyarakat dapat terwakili terutama dalam perumusun kebijakan di nagari. Dari unsur tersebut terlihat bahwa pengembangan sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat menjamin peran serta perempuan dalam kehidupan politik di nagari. Secara yuridis formal perempuan dalam masyarakat nagari memiliki jaminan akan peran yang sama

1

(3)

dalam pembuatan keputusan. Landasan yuridis ini menjadi peluang yang cukup besar bagi bundo kanduang di nagari untuk terlibat dalam kehidupan politik Nagari.2

Berpijak pada persoalan diatas, maka tulisan ini hendak membahas tentang bagaimana keterlibatan bundo kanduang sebagai salah satu unsur terpenting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di nagari terutama menyangkut kedudukannya di BAMUS (badan musyawarah), tentu secara langsung hadirnya bundo kanduang tidak hanya dilihat sebagai respon tentang penataan ulang relasi kekuasaan yang terjadi di nagari, melainkan juga pada perubahan representasi dan peran bundo kanduang dalam upaya merangkai kembali konteks demokrasi lokal yang sesuai pada nilai-nilai adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

B. BUNDO KANDUANG : REPRESENTASI GENDER & KEKUASAAN DI MINANGKABAU

Sejak tahun 1970-an studi tentang budaya Minangkabau telah banyak menarik minat peneliti-peneliti asing dari luar negeri diantaranya dari Belanda, Jerman, Korea, Jepang dan Amerika Serikat 3. Ilmuwan-ilmuwan mancanegara tersebut meneliti dan mengajukan makalah yang tidak hanya banyak membahas mengenai keunikan budaya Minangkabau tetapi juga mengkaji tentang sruktur politik di Minangkabau. Penggunaan teori-teori keilmuan oleh para ilmuwan tersebut berasal dari disiplin keilmuan yang berbeda-beda khususnya sosiologi, antropologi, sejarah, sastra, hingga politik. Penggunaan teori-teori keilmuan tersebut tidak hanya menambah khazanah literature tentang “Minangkabau”, melainkan juga secara tidak langsung memperkenalkan budaya Minangkabau di mata dunia.

Jumlah kajian ilmiah tentang daerah-daerah di Indonesia barangkali hanya Jawa, Bali dan mungkin Aceh yang bisa menandingi Minangkabau. Karena berbagai fakta sosial dan sejarah yang telah diketahui secara elementer, mulai dari peristiwa sejarah sampai dengan sistem kekerabatan matrilineal. Etnis Minangkabau termasuk yang paling

“populer” sebagai sasaran penelitian ilmiah. Hal ini sudah bermula sejak awal abad 20.

Popularitas Minangkabau sebagai sasaran penelitian ilmiah semakin menaik sejak tahun

2

Irawati. Bundo Kanduang dan Tantangan Politik Dalam Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN). Jurnal DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Tahun 2010, hlm 26-27

(4)

1970 meskipun sempat hampir-hampir terhenti selama dua puluh tahun.4 Hal tersebut semakin dipertegas oleh J. Kahn, bahwa kajian ilmiah mengenai Etnis Minangkabau mempunyai daya tarik di kalangan antropologis dalam melihat kehidupan adat yang berdasarkan pada sistem klan dan garis keturunan matrilineal.5

Sebagian besar kajian ilmiah tentang budaya Minangkabau, umumnya membahas mengenai tentang sistem kehidupan masyarakat Minangkabau bercorak matrilineal, dimana secara kultural Sumatera Barat memiliki keunikan dalam menempatkan perempuan dalam konstelasi kehidupan sosialnya. Simbol dari kehidupan matrilineal di Minangkabau dibentuk dalam sistem dimana ibu atau wanita tertua mengepalai keluarga dan keturunan (clans) serta hubungan ditentukan melalui garis keturunan perempuan termasuk juga dalam aturan pemerintahan adat, wanita tertua (wanita senior) yang disebut bundo kanduang mempunyai peran signifikan untuk mengendalikan keputusan adat. 6

Bundo kanduang selalu disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang, yang memiliki status istimewa dan memainkan peran penting dalam kehidupan dan komunitas sosial di Nagari. Selain sebagai penarik garis keturunan, peran penting Bundo kanduang lainnya pemilik dari harta pusaka (modal ekonomi) serta sebagai pimpinan dalam “Rumah Nan Gadang”. Dalam Kaba Cinduo Mato 7atau cerita popular rakyat Minang dan merupakan cerita sastra klasik Minangkabau, sosok Bundo Kanduang selalu dinterpretasikan sebagai sosok raja perempuan yang mempunyai legitimasi penuh dalam mengontrol kekuasaan di dalam istana Pagaruyung. Bundo kanduang diceritakan sebagai tokoh yang pintar, cerdas, arif bijaksana. Sebagai orang yang cerdas dan pintar, ia

4 Ibid,hlm xxiv

5 J. S. Kahn. Tradition, Matrialiny, and Change Among The Minangkabau Of Indonesia. The Jurnal Of Asian Studies Vol 71, No 4 November : The Asossiation For Asian Studies . Tahun 2012, hlm 64

6

Prima Aswirna and Fahmi Reza, Man’s Without Power : Gender Paradigm In West Sumatera. Article AICIS Tahun 2015, hlm 15.

7 Kaba Cindua Mato memiliki posisi khusus di Indonesia Sastra tradisional Minangkabau, terutama cerita-cerita

(5)

mengajar anaknya Dang Tuanku dalam segala hal, antara lain, tentang adat istiadat, sopan santun dalam masyarakat, dan cara-cara memerintah.8

De Jong berargumen, bahwa sistem organisasi politik Minangkabau serta

kehidupan politik dan sosial antara posisi matrilineal dan posisi patrilineal saling terkait

satu sama lain dan sudah tergambar jelas dalam cerita Kaba Cindua Mato. Menurut De

Jong, Kaba Cinduo Mato tidak hanya menggambarkan tentang kehidupan bundo

kanduang sebagai penguasa di Minangkabau, tetapi Kaba Cinduo Mato merupakan juga

jawaban bagi pertanyaan apakan mungkin bagi seorang perempuan untuk menjadi

pemimpin pada masyarakat adat di Minangkabau9.

Secara mendasar sosok dan figur Bundo Kanduang dalam ceritera Kaba Cinduo Mato tersebut, tidak hanya memberikan gambaran tentang representasi gender dan kekuasaan perempuan di Minangkabau, tetapi juga sebagai petunjuk dan realita, bahwa pada kenyaataanya perempuan di Minangkabau mengambil peran yang cukup signifikan dalam urusan politik dan masyarakat. Secara rinci representasi gender dan kekuasaan Bundo Kanduang dalam kehidupan sosial dan politik di Minangkabau dapat diamati dalam beberapa periode sebagai berikut :

1. Pra Kolonial

Dalam tataran sistem Matrilineal di Minangkabau, secara normatif, keberadaan kaum perempuan atau biasa yang disebut dengan Bundo Kanduang, tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik, karena aspek tersebut telah memberikan kedudukan dan ruang tersendiri bagi perempuan Minang untuk berperan dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat. Untuk mengetahui bagaimana representasi Bundo Kanduang di Ranah Minang dan bagaimana perannya dalam setiap perubahan sosial dan politik di Minangkabau.10

Evelyn Blackwood, menyatakan bahwa sososk Bundo Kanduang yang tercermin dalam Kaba Cinduo Mato inilah yang kemudian menjadi figur dianggap sebagai perempuan kuat, nurture dan bijaksana, yang memiliki kekuatan bahasa politik

8

H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, Dan Pidato Alua Pasambahan Di Minangkabau. Bandung : 1980, hlm 161-162.

(6)

tersendiri di Minangkabau, terutama dalam pengaruh terhadap sruktur sosial politik serta budaya politik masyarakat. Bundo Kanduang dianggap sebagai sosok yang pertama kali meletakkan sistem matrilineal yang bersandarkan pada adat basandi syarak, yarak Basandi kitabullah.11 Melalui sosok Bundo Kanduang yang dianggap sebagai perempuan hebat dan bijakasana, turut memberi andil pada kebanggaan masyarakat Minang terhadap sistem matrlinealnya, dan pada pencitraan kaum perempuannya yang perannya dan posisinya sama halnya dengan Bundo Kanduang di dalam cerita Kaba Cinduo Mato

Sosok dan sifat Bundo Kanduang yang dari awal sudah dipahami memegang peranan penting dalam sruktur matrilineal, kemudian ikut berpengaruh terhadap beberapa fungsi dan peranan umum kaum perempuan dalam adat istiadat Minangkabau. Adapun fungsi dan peran dari Bundo Kanduang berdasarkan pada sifatnya, adalah sebagai berikut :

a. Manaruik Alua Nan Lurui

Manaruik Alua Nan Lurui dimaksudkan bahwa segala kententuan-ketentuan yang telah disepakati dan digariskan oleh nenek moyang dari persoalan sosial, ekonomi hingga hukum harus dipatuhi dan ditaati, termasuk juga pada ketentuan tentang alua pusako bahwa rumah untuk wanita, sawah ladang dengan segala ketentuannya adalah hak milik kaum perempuan, ketentuan tersebut sifatnya nyata dan tidak bisa diganti. Wujud ketaatan bagi kaum perempuan tidak hanya dari segi alua pusako saja, melainkan juga pada kententuan-ketentuan adat atau alua adat yang telah disepakati dari para pemimpin dan pemangku adat, berbeda dengan alua pusako, alua adat bisa diganti dengan ketentuan yang lain yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi.12

b. Manampua Jalan nan Pasa

Jalan nan pasa menurut adat mengandung arti kiasan, bahwa setiap yang dilalui baik pada jalan dunia maupun jalan akhirat harus kepada tujuan yang baik. Pada jalan dunia ada empat prinsip yang harus dipegang oleh bundo kanduang yaitu13 :

1). Baadat, didalam hidup bergaul menurut adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dimana tiap-tiap yang disusun menjadi aturan yang

11

Evelyn Blackwood. Representing Women The Politics Adat Writing. The Jurnal Of Asian Studies Vol 60, No 1 Februari : The Asossiation For Asian Studies. Tahun 2001, hlm 126

(7)

senantiasa berlandaskan pada budi pekerti yang luhur dan harus diamalkan pada setiap perilaku dan perbuatan.

2).Balimbago, menurut adat adalah suatu perkumpulan manusia yang diikat oleh rasa kesatuan, kekeluargaan yang mempunyai hubungan baik antara satu dengan yang lain.

3). Bacupak, merupakan adat minangkabau yang tidak boleh dilebihi dan dikurangi yang menjelma men jadi peraturan di dalam masyarakat.

4). Bagantang, artinya setiap orang Minangkabau perlu berketuhanan dan mengetahui segala sifat yang wajib dan mustahil pada Tuhan Allah Swt, dan sifat wajib dan mustahil pada Rasul Allahisalam.

Sedangkan pada jalan akhirat ada empat prinsip juga yang disepakati :

1). Beriman, percaya kepada Allah Swt, adalah satu tidak beranak dan tidak dianakkan dan dia berkuasa atas segala-galanya.

2). Islam, beragama Islam dengan mengerjakan setiap rukun Islam itu, dan mengerjakan segala suruhan dan meninggalkan segala larangannya, dan bergaul baik sesama manusia, hornat kepada ibu-bapa, guru yang mengajarkannya.

3). Bertauhid, tidak ada Tuhan selain dari Allah yang satu, dia mempunyai sifat rahim dan rahman. Dia kekal selama-lamanya yang menguasai langit dan bumi serta menjadikan nya tidak berserikat pada wujudnya yang esa.

c.Mamaliharo Harato dan Pusako

(8)

terkandung tanah ulayat yang merupakan daerah tempat hidup dan berkehidupan anggota kaum laki-laki dan perempuan, terutama untuk pertanian. 14

d. Mamaliharo Anak dan Kemenakan

Memelihara anak dan kemenakan merupakan kewajiban yang paling utama di dalam kehidupan bundo kanduang (wanita) Minangkabau yang dihimpun dalam suatu ketentuan adat secara garis besar : manyuruah babuek baik, melarang babuek nan mungka. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas yang mencakupi bidang-bidang sebagai berikut :

1). Bundo Kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang.

2). Bundo Kanduang sebagai umbun puruak pegangan kunci.

3). Bundo Kanduang sebagai pusek jalo kumpulan tali

4). Bundo Kanduang sebagai sumarak dalam nagari

5). Bundo Kanduang sebagai nan gadang basa batuah kaundang-undang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo.

Begitu pun, pada masa sebelum penjajah kolonial datang ke Indonesia, kehidupan Nagari di Minangkabau sangat kental sekali dengan corak adat. Di masa itu, dikenal dengan pemerintahan adat tradisional, dengan konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullau, unsur pimpinan pemerintahan menjalankan adat sebagai undang-undang yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara adat, yang berlaku hanya kententuan adat sebagai undang-undang yang merupakan hukum dalam kehidupan masyarakat Minang waktu itu.15 Dalam membuat produk hukum adat tersebut, sesuai dengan iklim sistem pemerintahan Nagari tradisional kala itu.16

Segala kebijakan di Nagari, terutama yang terkait dalam proses perumusan kebijakan terlebih dahulu harus dikonsultasikan kepada para Bundo Kanduang dari masing-masing persukuan yang ada, melalui suatu musyawarah adat untuk menentukan baik dan tidaknya kebijakan tersebut apabila diterapkan di Nagari, karena kehidupan di Nagari menyangkut kehidupan dari masing-masing suku dan kaum,

14

Ibid, hlm 99

15 Musyair Zainuddin, Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Tahun 2010, hlm 3.

(9)

maka segala kebijakan yang menyangkut setiap kaum, muaranya ada pada kebijakan Bundo Kanduang yang mewakili suku.17

Fungsi dan peranan Bundo kanduang ketika itu, secara ideal telah dijelaskan dimana terkait dengan representasi mereka, pada setiap kegiatan proses politik di Nagari tradisional, Bundo Kanduang tidak dapat dipisahkan dengan unsur adat yang lainnya, karena semua akan saling terhubung satu sama lain, sehingga dikenal dengan istilah urang empat jinih ( orang empat jenis) yang terdiri dari ( Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai dan Bundo kanduang ).18

Bisa dikatakan peranan Bundo Kanduang di ranah publik dan politik di Nagari pada masa itu, sangat besar sekali, seperti yang diungkapkan Tenner dan AA Navis19, yang mengatakan bahwa, perempuan Minangkabau ditengah keluarga besar Matrilineal sangat berperan dan bertindak penting dalam proses pengambilan keputusan, suara perempuan sama dengan suara laki-laki dan setiap masalah wajib dibicarakan dan dimusyawarahkan secara bersama-sama. Dari hal tersebut sudah menjelaskan, bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki di Minangkabau, terkait dalam proses politik20 di Nagari berada dalam posisi yang setara.

2. Masa Kolonial

Kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia, turut juga memberi imbas kepada posisi dan representasi bundo kanduang di Minangkabau. Melalui rencana politik pengendalian Belanda di Hinda Timur selama kurun waktu tahun 1800, terhadap otoritas kekuasaan adat lokal di Minangkabau, telah memberikan fitur baru pada

kekuasaan lokal di Minangkabau. Komodifikasi hukum adat dan hukum Belanda

nyatanya meletakkan perempuan diluar konteks kekuasaan lokal. Representasi Bundo

Kanduang sengaja disetting pada “hanya pemilik harta pusaka” dan urusan domestik semata. Sedangkan otoritas kekuasaan tunggal dipegang oleh kaum lelaki.21

17 Ibid,hlm 51

18

Ibid, hlm 52

19A.A Navis. Alam Takambang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press. Tahun 1984, hlm 21

20

Besarnya pengaruh Bundo Kanduang dalam Proses politik di Nagari sangat terkait langsung pada posisi Bundo Kanduang yang memiliki peran sentral dalam pembuatan keputusan rumah tangga dan produksi ekonomi yang umumnya menyangkut hajat seluruh klan.

(10)

Upaya Belanda untuk mengkodifikasi adat Minangkabau menghasilkan

seperangkat aturan statis terutama didaerah jajahan (koloni) mereka, demi

memperlancar kontrol terhadap daerah jajahannya, Belanda sengaja menciptakan

otoritas laki-laki dengan membuat sistem kepemilikan komunal dimana satu orang

laki-laki menjadi perwakilan formal dari sukunya. Laki-laki yang terpilih adalah orang

yang bisa diajak kerja sama dengan Belanda dalam menangani kontrol politik Belanda

di Minangkabau. 22

Kebijakan Belanda terhadap hukum adat dan sistem sosial di Minangkabau

menjadikan laki-laki sebagai penghubung sosial atas kontrol politik yang ciptakan

Belanda terutama di dalam kelompok dan komunitas komunal mereka, tidak hanya

otoritas politik yang diberikan belanda ketangan laki-laki (Mamak), otoritas politik

memberi pengaruh yang signifikan dengan hadirnya kekuasaan baru berupa “otoritas

penuh Mamak dalam garis keturunan”23, dalam posisinya yang baru Mamak secara khusus bertanggung jawab atas segala yang terjadi di Rumah Gadang, dari mengatur

tingkah laku, menjamin kesejahteraan hingga menjaga harmoni saparuiknya dan yang

paling krusial Mamak juga yang menentukan keputusan tertinggi di Rumah Gadang.24

Fakta bahwa Bundo Kanduang memiliki banyak hak dan tanggung jawab

dalam sistem matrilineal hanya mendapat sedikit perhatian dan deskripsi dari

pemerintah kolonial, Bundo Kanduang hanya dideskripsikan sebagai penerus

keturunan dan penentu ahli waris25, sedangkan pengelolaan harta pusaka, jatuh

ketangan Mamak sebagai saudara laki-laki tertua ibu.

Kebijakan Belanda meningkatkan wewenang laki-laki, melegitimasi laki-laki

sebagai satu-satunya kepala garis keturunan. Nyatanya ketika masa kolonial, Bundo

22Ken Young, Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra. New Haven : Yale University Southeast Asian Studies. Tahun 1994, hlm 92.

23

Ototitas laki-laki tertua (Mamak) di dalam rumah gadang sangat kontradiksi dengan posisi mereka yang secara struktural marjinal dari rumah gadang yang dikontrol penuh oleh kaum wanita. Seorang pria Minangkabau "tidak benar-benar memiliki rumah atau tempat yang bisa dia hubungi sendiri apalagi semenjak keberangkatannya ke

“Surau”. Rumah hanya diperuntukkan untuk ibu dan saudari perempuannya. 24

Tsuyoshi Kato. Matriliny and Migration : Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca : Cornell University Press. Tahun 1982, hlm 45.

(11)

Kanduang menjadi bayangan” dirumah mereka sendiri. Dalam sejarah kolonial dan Penjajah Belanda hanya melihat Perempuan sebagai penghuni "rumah"26. Demikian

yang terjadi di Minangkabau, posisi Bundo Kanduang marjinal dan sengaja tidak

dihadirkan dalam proses politik yang penting. Imbas dari kebijakan Belanda tersebut,

dikemudian hari menjadi standard baku dari representasi perempuan di Minangkabau,

baik dalam kehidupan politik di Nagari atau pun dalam tulisan-tulisan adat dikemudian

hari.

3. Orde Baru

Politik Indonesia mengalami perubahan “radikal” setelah tahun 1965.

Meskipun terjadi perubahan radikal, juga ada berkelanjutan besar. Banyak konsep dan

struktur kelembagaan Orde Baru pada dasarnya sama dengan “Orde Lama” bahkan

kekuasaannya sangat mirip dengan penguasa kolonial Belanda. Representasi dan peran

Bundo Kanduang pada masa Orde Baru, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi

pada masa Orde Lama atau masa koloial. Sama halnya dengan sistem pemerintahan

kolonial, pemerintah Orde Baru juga sengaja membendung dan memanipulasi

kekuataan kaum perempuan, baik dari segi sosial, politik dan ekonomi, 27

Melalui kebijakan Undang-undang No 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan

desa, yang dibuat pemerintah Orde Baru, kemudia terjadi perubahan besar-besar pada

struktur pemerintahan terendah di Indonesia, pemerintahan berbasis lokalitas adat

seperti Nagari, Huta, Gampong, Marga dan sebagainya kemudian tenggelam seiring

dengan diberlakukan penyeragaman model pemerintahan menjadi “Desa”.28

Menghilangnya pemerintahan nagari dan digantikan dengan pemerintahan

desa, turut juga menyebabkan otoritas kekuasaan adat kemudian melemah, banyak

para penghulu yang kehilangan kekuasaan mereka di nagari, maka guna menstabilkan

kondisi tersebut dan agar tidak terjadi gejolak konflik yang berarti, maka pemerintah

Orde Baru kemudian mengagas pendirian kelembagaan yang bernama Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) pada tahun 1983. LKAAM sendiri

26

Anna Laura Stoler, "Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th-Century Colonial Cultures. Journal American Ethnologist. Vol 16, Tahun 1989, hlm 634-60.

27

Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru.Jakarta : Komunitas Bambu, Tahun 2011, hlm10.

28Sutoro Eko, „Masa Lalu, Masa Kini, Dan Masa Depan Otonomi Desa’ : (IRE‟S Working Papers/Eko/III/Februari),

(12)

dibentuk sebagai lembaga yang mengakomodir semua institusi-institusi adat dalam satu kesatuan termasuk juga para bundo kanduang, dan secara hirarkies jenjangnya berada pada tingkat propinsi hingga kecamatan, yang diorganisir dibawah pengawasan pemerintah Orde baru. Payung LKAAM29 dijadikan sebagai sarana yang bertujuan untuk menggabungkan prinsip-prinsip adat menjadi selaras dengan ideologi Pancasila .30

Seiring dengan tersentralisasinya negara Orde Baru, kekuatan politik negara

Orde Baru kemudian diciptakan melalui sruktur ideologis dan politis bagi masyarakat

di Indonesia, negaralah yang memimpin proses akumulasi kapitalis dan mendifinisikan

suatu ideologi gender untuk kepentingannya sendiri. Melalui aparat dan

lembaga-lembaganya, negara menyebarkan ideologi “ibuisme negara”, yaitu ideologi gender

yang menciptakan stereotip kaku-baku dan bersifat sangat membatasi karena

tujuannya memang untuk mengontrol dan menciptakan suatu tatanan yang hirarkis.

Ideologi gender ini, yang mengandung unsur-unsur “pengiburumahtanggaan” dan

“ibuisme” mengarah pada proses “domestifikasi”, suatu konteks yang tepat untuk

konteks Indonesia. 31

Pada perjalanan selanjutnya justru ideologi negara sangat dominan berperan dalam pemerintahan di Minangkabau, sebaliknya pemerintah Orde Baru lebih mengakaomodir dan mengarahkan perangkat adat sebagai basis kekuatan politik Orde

29 Dalam konteks inilah LKAAM didirikan. Ketika Orde Baru mulai mengkonsolidasikan penguasaannya, dua

perwira militer Minangkabau ditunjuk untuk membantu pengembangan asosiasi adat dan agama di Sumatera Barat yang akan lebih sesuai dengan kebijakan Orde Baru. Kedua perwira tersebut mengadakan sebuah konferensi ahli adat dan orang-orang yang tercatat di Padang, kota pelabuhan dan ibu kota Sumatera Barat. Orang-orang ini membentuk LKAAM sebagai organisasi adat dalam struktur korporatis negara yang baru. Meskipun terbuka untuk semua pria yang terdaftar dari nagari-nagari yang ingin berpartisipasi, sebagian besar pemimpin baru LKAAM adalah pria berpendidikan dan perkotaan yang memegang jabatan pemerintah sebagai pegawai negeri, hakim, dan guru. Sebagai anggota sebuah organisasi negara, mereka diharapkan untuk mempertahankan "kesesuaian dan komitmen total terhadap kebijakan pemerintah". Tujuan yang ditetapkan negara mereka adalah memberikan nasehat kepada pemerintah Orde Baru dan pengadilan negara bagian dan untuk melaksanakan rencana pemerintah untuk wilayah tersebut. Proyek adat LKAAM, kemudian, lebih dari sekadar sebuah proyek untuk "melestarikan" adat untuk generasi mendatang. Sebagai proyek yang disponsori negara, harus menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara adat dan ideologi negara, terutama yang diucapkan dalam Pancasila (Lima Prinsip. Yang telah diangkat ke status ideologi negara di bawah Orde Baru. Lihat Benda-Beckmann, Keebet Von. "The Third Musyawarah Besar of the Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau." Sumatra Research Bulletin 4 (2). Tahun 1975, hlm 67- 75.

30

Renske Biezeveld. ’Ragam Peran Adat di Sumatera Barat’. Dalam (ed ) James. S. Davidson dkk. Adat Dalam Politik Indonesia ; Jakarta : Obor, Tahun 2005. hal 224.

(13)

Baru di Ranah Minang. Eksistensi institusi Bundo kanduang setelah dilembagakan, juga menjadi bidikan politik Orde Baru sebagai sarana dalam memobilisasi kaum perempuan Minang untuk mendukung program pemerintah, karena dengan dilembagakannya Bundo kanduang menjadi sebuah institusi dalam satu bendera yang sama dengan perangkat adat lainnya, didalam naungan LKAAM tentu tidak bisa dielakkan bahwa tujuannya untuk memuluskan kepentingan pemerintahan.32

Institusi Bundo Kanduang, kemudian disegresikan ke dalam program

pembangunan,dan praktik kebijakan politik Orde Baru. Segregasi ini juga tercermin

dalam program-program yang dikhususkan oleh pemerintah.Institusi Bundo Kanduang difokuskan dan berperan sama dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya yang sama dan terfokus kepada panca Dharma Wanita. Maka dari kelaziman tersebut, akhirnya ikut berpengaruh terhadap lahirkan empat peranan dan fungsi pokok Institusi Bundo Kanduang pada masa Orde Baru. Adapun peranan institusi Bundo Kanduang yaitu : 33

1. Menghimpun potensi kaum ibu dan generasi Minangkabau dalam memelihara dan melestarikan nilai-nilai adat di Minangkabau.

2. Meningkatkan kualitas dan kemampuan perempuan dan generasi muda Minangkabau melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan.

3. Mengembangkan keterampilan dan usaha-usaha ekonomi produktif.

4. Mengembangkan kerja sama dan sebagi mitra usaha organisosial sosial kemasyarakatan perempuan lainnya, baik di dalam maupun diluar Sumatera Barat.

Pada akhirnya, negara Orde Baru tidak hanya merasuk ke semua sektor kehidupan masyarakat, tetapi juga memberikan suatu struktur yang memungkinkan perkembangan ideologi gender tertentu yang memberikan definisi resmi tentang bagaimana seharusnya kaum perempuan Indonesia.

32 Opcit, Amaliatulwalidain, hlm 62

(14)

C. DEMOKRASI LOKAL DI SUMATERA BARAT : KEMBALI KE PEMERINTAHAN NAGARI

Dalam pengalaman empiris masa lampau bangsa Indonesia, ketika masyarakat

belum mengenal “Negara”, masyarakat hidup dalam komunitas-komunitas kecil yang

bersifat otonom dan self sustained. Masing-masing komunitas tersebut mempunyai variasai pemerintahannya sendiri dengan legitimasi politik yang menganut prinsip

“otonomi asli” sebagai perpaduan dari lingkungan dan nilai-nilai budaya tradisional

lokal yang diakui dalam kehidupan masyarakatnya. Prinsip-prinsip “otonomi asli” tersebut tidak hanya tercermin melalui ritual budaya saja, melainkan juga dari model pemerintahan politik tradisional yang dijalankan oleh masing-masing komunitas tersebut di masa lampau. 34

Salah satu dari sistem pemerintahan politik tradisional tersebut, adalah

“Nagari”, yang merupakan pemerintahan pemerintahan tradisional berbasis pada

komunitas adat. Nagari mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self governing community). Nagari terdiri dari jorong-jorong (kampung) yang tidak bisa dipisahkan dari entitas adat matrilineal yang direpresentasikan melalui kepemimpinan elemen adat dan berkomitmen untuk memegang teguh ajaran agama Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang dijadikan pedoman dan tujuan hidup dalam masyarakat di Nagari. 35

Dalam menjalankan sistem politik pada pemerintahan Nagari tradisional, otoritas tertinggi berada di tangan masyarakatnya (anak nagari), dimana hakekat kekuasaan seyogyanya bersumber dari pilihan dan aspirasi masyarakat. Walaupun secara formal pemerintahan Nagari dijalankan oleh kelembagaan kolektif adat (Limbago Adat) yang terdiri dari kepemimpinan adat matrilineal lainnya, tidak serta merta menghilangkan peran masyarakat (anak nagari) dalam menyelesaikan permasalahan di Nagari, semua masalah selalu dirundingkan dalam permusyawaratan untuk mencapai kata mufakat. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari sistem pemerintahan nagari adalah demokrasi.

34

Amaliatulwalidain. Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat “Memahami Pendekatan Self Governing Community pada Sistem Pemerintahan Nagari Moderen di MInangkabau. Jurnal Pemerintahan & Politik : UIGM. Tahun 2016, Vol 2 No 1 Agustus, hlm 1.

(15)

Akan tetapi ketika Orde Baru berkuasa, kehidupan demokrasi lokal berbasis pada nagari kemudian mengalami kemunduran, melalui peraturan No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, seketika pemerintahan nagari juga ikut hilang, kewenangan masyarakat nagari dan kepemimpinan adat atas kehidupan di nagari beralih menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Melalui peran negara yang begitu dominan dan sentralistik, secara signifikan mempengaruhi perubahan politik dan kelangsungan demokrasi lokal dan otonomi asli di Minangkabau.

Jatuhnya rezim Orde Baru, pada tahun 1998, membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan di Indonesia, dari sentralistik menuju desentralistik. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah yang memberikan peluang bagi dihidupkannya kembali bentuk pemerintahan terendah asli jika masyarakat setempat menginginkannya. Desentralisasi yang diimplementasikan dengan pemberian otonomi kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat karena tersedianya ruang untuk berpartisipasi dan menentukan sendiri model pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal. 36

Penerapan desentralisasi tentu saja menuntut adanya reorganisasi dari struktur pemerintahan lokal. Khusus di daerah Minangkabau respon atas Undang-undang No 22 Tahun 1999 tersebut diwujudkan dengan penerapan kembali sistem pemerintahan nagari dengan semangat Babaliak Ka Nagari (kembali ke Nagari) sebagai unit pemerintahan terendah yang diatur dengan peraturan daerah (Perda) Propinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yang kemudian diperbaharui kembali melalui Perda No.2 Tahun 2007 tentang kententuan Pokok Pemerintahan Nagari.

Dalam proses penyelanggaran pemerintahan nagari yang dimaksudkan dalam Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No 2 Tahun 2007, pemerintahan nagari diselenggarakan oleh wali nagari dan badan pemerintahan nagari (komunitas masyarakat nagari) yang dipilih langsung oleh masyarakat sebagai perwakilan dari komunitas masyarakat nagari

(16)

D. REPRESENTASI DAN PERAN BUNDO KANDUANG DALAM PEMERINTAHAN NAGARI

Latar belakang kembali ke Nagari, yang berawal dari momentum otonomi

daerah yang diawali dengan keluarnya UU No 22 Tahun 1999, dianggap merupakan kesempatan strategis untuk mewujudkan kembali keinginan tersebut, yang kemudian terealisasi melalui Perda Propinsi No 9 Tahun 2000 dan Perda Propinsi No 2 Tahun 2007 yang mengatur tentang pemerintahan Nagari sebagai landasan hukum dalam memperbaharui sistem pemerintahan politik lokal di Sumatera Barat yang bersandar kepada ideologi rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. 37

Dengan adanya otonomi tersebut, berbagai peluang diciptakan dan dimunculkan, terutama untuk kembali memperkuat posisi partisipasi rakyat yang selama ini telah termarginalkan oleh politik Orde baru, termasuk juga proses penguatan partisipasi kaum perempuan dalam ranah politik, terkait dengan hal itu, apabila ruang otonomi dimaknai dalam kacamata gender, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa ‟peluang otonomi‟ merupakan sebentuk bangunan politik dimana posisi partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal menjadi setara. Termasuk juga peluang bagi kaum perempuan untuk ikut andil dalam proses tersebut.38

Seiring berjalannya waktu serta terjadinya perubahan sosial dan politik yang tidak terelakan di Ranah Minang, khususnya pada fase kepemimpinan politik di masa Orde Baru, lambat laun membuat otoritas Bundo Kanduang di dalam Nagari semakin dipersempit, akibat hilangnya pemerintahan Nagari dan berganti dengan pemerintahan Desa yang bercorak setralistik birokratis, secara umum berdampak terhadap kondisi kaum perempuan Minang pada masa itu, yang harus kehilangan posisi di Nagari ditambah lagi kaum perempuan Minang, kemudian kaum perempuan tersebut selanjutnya dikoordinir dalam institusi Bundo Kanduang sebagai lembaga adat perempuan Minang bersama perangkat adat lainnya dan berada dalam naungan LKAAM, dilembagakannya Bundo Kanduang sebenarnya tidak luput dari kepentingan politik pemerintahan Orde

37

Opcit, Amaliatulwalidain. Dari Representasi Substantif Menuju Reprentasi Deskriptif (Studi : Dinamikan Peran Politik Bundo Kanduang Di Nagari Sungai Rimbang ) . Tesis pada Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Tahun 2012, hlm 68

(17)

baru, walaupun lembaga tersebut disinyalir sebagai wadah dari pemerintah terhadap kepedulian dan perhatian dalam melestarian adat-istiadat Minang, tapi nyatanya keberadaan institusi Bundo Kanduang selanjutnya hanya dijadikan simbol saja, sehingga membuat peran sesungguhnya dari Bundo Kanduang semakin marjinal, kenyataanya hal tersebut berlangsung selama Orde Baru berkuasa.

Ketika Orde Baru, peran-peran Bundo Kanduang semakin tergerus, budaya politik di Minangkabau yang bercampur dengan kepentingan politik pada periode tersebut, sudah sulit untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, Bundo Kanduang tidak bisa lagi leluasa untuk berpraktek dalam adat, baik kedalam sukunya maupun keluar kaumnya, Seperti yang diungkapkan oleh Lusi Herlina39, bahwa pada masa Orde Baru representasi perempuan Minang, yang diwujudkan dalam bentuk Institusi Bundo Kanduang, justru sama sekali menghilangkan fungsi politik mereka yang sebelumnya ada. Perubahan sruktur dalam hegemoni kekuasaan, menyebabkan lambat laun penerimaan sebagian besar masyarakat Minang terhadap Institusi Bundo Kanduang hanya sebagai simbol saja, pada masa inilah, representasi Bundo Kanduang hanya berada pada tataran deskriptif.

Terkait dengan representasi peran bundo kanduang ketika Orde Baru, secara mendasar, menurut Ahmad Syamsiah 40, posisi dan peranan perempuan dalam masyarakat sangat ditentukan dan tidak terlepas dari ideologi politik dan ideologi budaya. Nilai-nilai tersebut ikut menentukan sampai mana sruktur-sruktur memberi tempat bagi perempuan untuk ikut mengambil bagian dari proses-proses pembaharuan tersebut. mereka tentu saja bisa mengekspresikan keinginan dan kepentingan mereka dengan terlibat secara langsung dalam setiap proses pembangunan yang secara normatif dijamin oleh undang-undang maupun peraturan.

Pembaharuan dan perubahan sruktur politik di Minangkabau pasca Reformasi, merupakan salah satu bentuk proses menuju arah pembentukan karakter ideologi politik dan ideologi budaya tersebut , tujuannya selain memberikan jalan bagi keterlibatan dan partisipasi Bundo Kanduang dalam pemerintahan Nagari, tetapi bisa jadi

39

Lusi Herlina, Partisipasi Politik Perempuan di Minangkabau ( Suatu Pengantar ). Jakarta : Ford Foundation, Tahun 2003.

(18)

sebagai upaya untuk mempertegas kembali bargainingposition perempuan Minang, yang dinyatakan melalui peraturan formal dari Perda Propinsi No 9 Tahun 2000 dan Perda No 2 Tahun 2007, tentang peran Bundo Kanduang sebagai mitra pemerintahan Nagari dalam mengontrol terbentuknya pemerintahan Nagari yang efektif sesuai dengan rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Sesuai yang diintruksikan di dalam Perda No 2 Tahun 2007 tentang representasi peran Bundo Kanduang, secara gamblang disebutkan dalam pasal 12 ayat 1

yang menyebutkan bahwa ” Anggota Badan Musyawarah Nagari (BAMUS) terdiri dari

unsur Ninik Mamak / tokoh adat /kepala suku, Alim Ulama / Tokoh Agama, Cadiak Pandai /cendikiawan, Bundo Kanduang /Tokoh Perempuan dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam Nagari bersangkutan dengan mempertimbangkan representasi Jorong yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”.41

Adapun peranan dari Bundo Kanduang secara formal, melalui representasinya yang berkedudukan di BAMUS sebagai penyelenggara Pemerintahan Nagari, sesuai yang diatur dalam Perda No 2 Tahun 2007, adalah sebagai berikut :

1. Memproses pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari

2. Mengusulkan pengukuhan, pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari 3. Bersama Wali Nagari menetapkan atau membentuk Peraturan Nagari ; 4. Bersama Wali Nagari menetapkan anggaran pendapatan belanja Nagari ;

5. Bersama dengan Lembaga Kerapatan Adat Nagari mengayomi adat istiadat yang berlaku dalam Nagari ;

6. Melaksanakan Pengawasan terhadap :

a. Pelaksanaan Peraturan Nagari (PERNA) dan Peraturan perundang-undangan lainnya

b. Pelaksanaan Keputusan Wali Nagari.

c. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Nagari d. Kebijakan Pemerintahan Nagari

7. Melaksanakan Kerja sama yang dilakukan oleh Nagari

(19)

8.Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintahan Daerah terhadap rencana perjanjian yang akan dilaksanakan apabila menyangkut kepentingan di Nagari

9. Bersama Lembaga Kerapatan Adat Nagari menetapkan fungsi, dan pemanfaatan harta

kekayaan Nagari untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan anak Nagari. 10. Menerima pertanggunga jawaban Wali Nagari

11. Tugas-tugas dan wewenang lainnya di atur dengan keputusan Bupati

12. Dalam situasi dan kondisi yang mendesak, maka Bundo Kanduang dapat menunjuk dan menetapkan pejabat sementara Wali Nagari dengan masa jabatan selama 6 bulan.

Melalui amanat dari Perda tersebut, jelas sekali Bundo Kanduang sebagai representasi dari kaum perempuan didalam sistem pemerintahan nagari, mendapatkan kembali status dan peran sebagai bagian dari masyarakat adat guna menempatkan perwakilannya pada BAMUS nagari. Representasi Bundo Kanduang pada BAMUS nagari, merupakan salah satu contoh konkrit untuk menyampaikan gagasan bahwa sesungguhnya pemerintahan Nagari memiliki peran besar dalam menciptakan politik kesetaraan dan meningkatkan partisipasi politik perempuan sebagai salah satu alternatif untuk pemberdayaan peran politik para Bundo Kanduang

E. KESIMPULAN

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Amaliatulwalidain. Dari Representasi Substantif Menuju Reprentasi Deskriptif (Studi : Dinamikan Peran Politik Bundo Kanduang Di Nagari Sungai Rimbang ) . Tesis pada Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Tahun 2012

Amaliatulwalidain. Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat “Memahami Pendekatan Self Governing Community pada Sistem Pemerintahan Nagari Moderen di MInangkabau. Jurnal Pemerintahan & Politik : UIGM. Tahun 2016, Vol 2 No 1 Agustus

Aswirna , Prima & Fahmi Reza, Man’s Without Power : Gender Paradigm In West Sumatera. Article AICIS Tahun 2015.

Beckmann- Benda-Beckmann, Keebet Von. "The Third Musyawarah Besar of the Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau." Sumatra Research Bulletin 4 (2). Tahun 1975

Beckmann- Benda, "Development, Law, and Gender-Skewing. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law. Vol 30-31, Tahun 1990

Biezeveld , Renske. ’Ragam Peran Adat di Sumatera Barat’. Dalam (ed ) James. S. Davidson dkk. Adat Dalam Politik Indonesia ; Jakarta : Obor, Tahun 2005

Blackwood, Evelyn. Representing Women The Politics Adat Writing. The Jurnal Of Asian Studies Vol 60, No 1 Februari : The Asossiation For Asian Studies. Tahun 2001

Bundo, Intan. Peranan Bundo Kanduang Dalam Masyarakat Di Minangkabau ( Studi Peranan Bundo Kanduang di Nagari Solok ).Skripsi S1 Pada Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sumatera Utara, Tahun 2005

Eko, Sutoro, „Masa Lalu, Masa Kini, Dan Masa Depan Otonomi Desa’ : (IRE‟S Working

Papers/Eko/III/Februari), Tahun 2005

Elfira, Mina Bundo Kanduang : A. Powerful Or Powerless Ruler ? Literary Analisysi Of Kaba Cinduo Mato (Hikayat Nan Muda Tuanku Pagaruyung). Makara : Sosial Humaniora .Vol. 11, No. 1, Juni . Tahun2007

Hakimy , Idrus Dt. Rajo Penghulu. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, Dan Pidato Alua Pasambahan Di Minangkabau. Bandung. Tahun 1980

Hadler, Jeffrey Hadler. Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta : Freedom Institute. Tahun 2010.

(21)

Irawati. Bundo Kanduang dan Tantangan Politik Dalam Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN). Jurnal DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Tahun 2010.

Kahn.J.S Tradition, Matrialiny, and Change Among The Minangkabau Of Indonesia. The Jurnal Of Asian Studies Vol 71, No 4 November : The Asossiation For Asian Studies . Tahun 2012

Kato , Tsuyoshi. Matriliny and Migration : Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca : Cornell University Press. Tahun 1982,

Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press. Tahun 1984

Suryakusuma,Julia, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru.Jakarta : Komunitas Bambu, Tahun 2011

Supini, Faktor-faktor Penunjang dan Penghambat Budaya Masyarakat Terhadap Pengembangan Demokrasi Masyarakat Desa. Dalam Koleksi Makalah Seminar Internasional ke 2 dengan tema ”Dinamika Politik Lokal di Indonesia Politik Pemberdayaan.PLOD UGM : Yogyakarta, Tahun 2001

Stoler ,Anna Laura , "Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th-Century Colonial Cultures. Journal American Ethnologist. Vol 16, Tahun 1989

Young,Ken, Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra. New Haven : Yale University Southeast Asian Studies. Tahun 1994

Zainuddin ,Musyair, Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Tahun 2010,

Perda

(22)

Curriculum Vitae

A. Identitas Diri :

1 Nama lengkap Amaliatulwalidain, S.Sos., MA 2 Jenis Kelamin Perempuan

3 Tempat/Tanggal Lahir Palembang/ 25 September 1986

4 E-mail amaliatulwalidain@gmail.com

5 No HP 087839405310

6 Alamat Kantor Universitas Indo Global Mandiri Palembang Jl. Jend. Sudirman No. 629 Km. 4 Palembang

7 Nomor Telp 087839405310

B. Riwayat Pendidikan :

No S 1 S 2

1 Nama Perguruan Tinggi

Universitas Sumatera Utara Universitas Gadjah Mada

2 Bidang Ilmu Ilmu Politik Ilmu Politik

3 Tahun Masuk-Lulus

2004-2008 2009-2012

C. Karya Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir

No Tahun Judul Penelitian

1 2012 Dari Representasi Substantif ke Representasi Formal Deskriptif (Dinamika Peran Politik Bundo Kanduang dalam Sistem Pemerintahan

Nagari Modern di Sungai Rimbang)

2 2008 Partisipasi Elit Lokal Muhammadiyah Pada PILKADA Gubernur Tahun 2013-2018 Sumatera Selatan

3 2014 Peran dan Partisipasi Politik Organisasi Nasyiatul Aisyiyah dalam Menginternalisasikan Kebijakan Berperspektif Gender di Kota

Palembang Tahun 2016

4 2016 Pemikiran Hanna Arendt Tentang Totalitarisme

(23)

6 2016 Pemikiran Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau Tentan Demokrasi Radikal

7 2017 Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat “Memahami Pendekatan Self Governing Community pada Sistem Pemerintahan Nagari Moderen di

MInangkabau

8 2017 Peran dan Partisipasi Politik Organisasi Nasyiatul Aisyiyah dalam Menginternalisasi Kebijakan Bersperspektif Gender di Kota Palembang

Referensi

Dokumen terkait

1.5 Struktur Organisasi Karya Tulis Ilmiah

[r]

terhadap nilai perusahaan properti & real estate yang terdaftar di Bursa Efek.. Indonesia tahun 2012-2013 dapat ditarik kesimpulan

Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.. Analisa

Diantara fungsi tanah dalam bidang pertanian adalah sebagai tempat penyimpanan air yang sangat penting dalam hubungan kation. Dekomposisi bahan organik dan

Ini tidak saja karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat yang dikenal memiliki setting tradisi yang gemar melecehkan perempuan, namun kesimpang-siuran dalam memahami

Dalam pasar oligopoli ini harga yang keluar tidak cepat naik atau turun, bisa dikatakan harga selalu stabil dan tidak mudah berubah, mungkin saja karena penjualan

Hasil penelitian menggunakan analisis LQ dapat disimpulkan bahwa sektor yang menjadi peran sektor basis di Kabupaten Boyolali selama tahun penelitian (2005-2009) yaitu