• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah final Setengah Hati Menuju Ilahi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Naskah final Setengah Hati Menuju Ilahi"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Naskah Buku

Setengah Hati Menuju Ilahi

Menyingkap Perilaku Pacaran Santri Talqin

Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya

Apapun istilah dan alasannya, pacaran tetaplah pacaran, yaitu perilaku yang bermuara dari hasrat primitf untuk memuaskan

kesenangan-imajenatif seksual yang tak pernah terpuaskan, sehingga bukanlah hal keliru jika pacaran diartikan sebagai seni menikmati estetika perempuan oleh para pemuja keliaran kelamin. Melalui pacaran, perempuan tak ubahnya dijadikan barang uji coba.

Para pria bebas memilih dan membuang semena-mena. Sikap tanggung jawab dan kedewasaan dalam pacaran hanyalah tipu daya

para pria untuk memikat hati wanita supaya dapat melampiaskan libido bologis secara praktis dan ekonomis

Oleh

KHOLIL LUR ROCHMAN

Dosen dan Peneliti dalam Bidang Konseling

Diterbitkan kerjasama:

Tambaksogra Conseling Centre (TaCon Centre)

Jl. Tambaksogra No. 13 Sumbang Banyumas

Pengantar Penulis

Buku ini awalnya meupakan hasil riset etnografi selama 3 bulan di Pesantren Suryalaya, Oktober-Desember 2012 yang kemudian mendapat Program Bantuan Publikasi Ilmiah Dirjen Pendis Kemenag RI Tahun 2015. Untuk itu saya ucapkan terika kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa dalam penerbitan buku ini diantaranya: Direktur Pendis, Kasubdit Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Publikasi ilmiah, Kasi Publikasi Ilmiah kemenag RI. Terimaksih juga saya haturkan kepada semua narasumber yang bersedia dengan ikhlas hati berbagai infomasi yang mungkin bagi orang lain dianggap sebagai aib. Dengan tulus ikhlas terimaksih juga saya haturkan kepada beberapa key informan saya terutama Bapak Wawan atas bantuan, kerelaan dan kesediaannya untuk menemani menelisik setiap lorong Kampus dan Pesantren Suryalaya untuk melihat jejak-jejak keintiman para santri.Semoga buku ini memberikan manfaat dan memberikan sisi lain kajian tentang Suryalaya. Purwokerto, 1 Desember 2015

(3)

Pengantar Editor

MENELISIK KEPASRAHAN DALAM EROTISME PACARAN Oleh: Nur Alfiana-Rachman

Cinta merupakan anugerah Yang Maha Kuasa. Dengan cinta dan sex manusia diharapkan dapat melaksanakan fungsi reproduksi demi kelangsungan eksistensi manusia itu sendiri, tentunya melalui pintu legitimasi yang di sebut “Pernikahan/ perkawinan”. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui proses yang sehat antara cinta, sex, pacaran dan pernikahan. Proses ini dianggap penting karena kesuksesan perkawinan juga ikut menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Sex yang mendahului cinta, bukan fondasi perkawinan yang kokoh. Tidak ringan bagi pria dan wanita di abad modern ini, untuk bisa tetap teguh melakukan peran sebagai manusia yang bermartabat di tengah pergaulan dengan tata nilai yang sudah semakin membolehkan berbuat apa saja (permissivenessisme) atau hidup “suka-suka gue”.

Banyak kasus pacaran sesungguhnya nyaris bersifat ketelanjuran. Terlanjur menjadikannya sebagai pacar, terlanjur sudah akrab dengan keluarga besarnya, terlanjur janji sehidup semati, terlanjur melakukan hubungan sex, dan sebagainya. Padahal sejatinya mungkin belum tentu dia yang terbaik buat kita. Belum apa-apa sudah pergi nonton bioskop berdua, ke tempat karaoke berdua, naik mobil malam-malam berdua, pergi pesta pulang malam berdua. Sehingga dengan pola pacaran yang tidak sehat seperti itu, seks sering mendahului cinta. Tidak bisa membedakan mana nafsu dan mana cinta. Ini merupakan awal yang tidak kokoh dalam membangun fondasi perkawinan. Tidak tepat rasanya jika keputusan memilih teman hidup terdesak oleh pertimbangan seksualitas belaka. Maka ketika seks sudah terasa membosankan, pasangan yang sudah terlanjur memutuskan menikah atas dasar seks semata hari-hari perkawinannya nanti akan beresiko kehilangan daya pikat lagi, rapuh dan terancam perceraian.

Kunci menahan seks selama pacaran sesungguhnya ada pada tangan wanita. Wanita harus menjunjung tinggi kehormatannya. Ia sendiri harus menghargai tubuhnya untuk tidak sembarangan dicium, dipeluk dan dipegang-pegang oleh pria yang belum tentu menjadi suaminya. Terdengar kuno memang, tetapi kodrat seks tidak berubah. Karena apabila wanita sampai mudah terjebak dalam pikatan seks, akan sukar baginya untuk mengelak dan mengatakan ‘tidak ‘. Hukum seks bagi wanita

berbunyi “ the point of no return”,. Dalam faal seksualitas wanita memiliki tabiat, akan tercapai suatu perasaan tiba pada “suatu titik kepasrahan sempurna” yang tidak akan mungkin mundur lagi. Ketika wanita sudah terangsang hebat oleh ciuman, pelukan dan rabaan, maka libidonya akan mencapai puncak. Pada titik itulah wanita biasanya tidak mungkin mundur lagi. Ia tidak mungkin lagi mengatakan “ tidak”, karena nafsu sudah diatas ubun-ubun. Lalu terjadilah hubungan seks yang sebenarnya tidak diinginkannya. Maka agar the point of no return ( titik kepasrahan sempurna yang tak mungkin undur lagi) itu tidak terjadi, pria dan wanita perlu merancang model pacaran yang sehat. Menjauhi peluang-peluang berbahaya yang memberi kemungkinan seks dadakan seperti berduaan di kamar kost, berduaan di mobil dimalam hari, pacaran di tempat sunyi, dan sebagainya. Bahwa seks itu harus didudukkan sebagai bunga dari cinta, yang hanya boleh dinikmati setelah pernikahan. Ancaman dari pria sering berbunyi:” kalau betul kau cinta, buktikan dengan kau mau tidur denganku” atau “ kalau kau tak mau tidur denganku kita putus saja”. Ini adalah bentuk stereoptik gombalnya cinta laki-lali. Sering wanita seolah dikodratkan untuk terpedaya.

Harold Bessel, menemukan bahwa cinta itu memiliki 3 (tiga) unsur utama yaitu : Romantic Attraction (RA), Intimaccy (I ) dan Commitment (C). Romantic Attractions adalah bentuk perasaan kasmaran karena ketertarikan fisik. Intimaccy adalah proses saling mencocokkan apakah dua orang dari latar belakang berbeda dapat bersatu. Jika Romantic attraction dan proses intimaccy dapat dilalui dengan baik maka hasilnya adalah Commitment, yaitu kesepakatan untuk mengikatkan diri dalam sebuah ikatan resmi pernikahan. Seyogyanya proses intimaccy tidak dinodai oleh seks. Karena yang jelek-jelek, yang kurang pas, yang tidak cocok, sering tertutupi oleh semakin besarnya dorongan seks. Sehingga antara cinta sejati dan seks menjadi kabur tidak jelas. Hanya proses intimaccy yang sungguh-sungguh yang akan membuahkan kemampuan saling memahami, toleransi, dan pengertian atas perbedaan. Itulah yang akan mengekalkan baku cinta yang sudah ada dalam setiap sanubari manusia.

(4)

wanita. Kesulitan umum ketika pria harus memilih pasangan hidup adalah timbulnya keraguan apakah wanita yang dipilihnya betul-betul mencintainya, bukan karena hartanya, pangkatnya . Laki-laki bisa saja tidak mencintai, tetapi ia takut kalau tidak dicintai.

Akhirnya marilah sejenak kita berfikir jernih tentang perilaku pacaran remaja yang mengkin membuat kita geleng kepala dan mengernyitkan dahi. Selamat membaca.

Cinta Sejati

(5)

Cinta tidak memberikan apa-apa kecuali hanya dirinya Cinta pun tidak mengambil apa-apa kecuali dari dirinya Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki

Karena cinta telah cukup untuk dicinta (Kahlil Gibran)

Daftar Isi

Kata Pengantar

TESTIMONI PACARAN: Seni Menikmati Estetika Wanita Oleh: Niki Qomurisa

Fisiologi Cinta, Pacaran dan Belahan Jiwa Oleh: dr. Alvernia Rendra

BAB I

MENGENAL SURYALAYA

Pusat Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Tatar Sunda

BAB II

SISI LAIN SPIRITUALITAS TAREKAT

Membaca Ulang Riset “Dibalik Rok dan Jeans: Potret Etika Mahasiswi Suryalaya” karya Ahmad Zamili

BAB III

MENAWARKAN PERMASALAHAN:

Sebuah Pendahuluan tentang Perilaku Pacaran Santri Tarekat

BAB IV

MEMAHAMI PERILAKU PACARAN SANTRI:

Dari Imaji Konseptual-Transaksional sampai Praktis-Implementatif

BAB V

PACARAN ALA SANTRI TAREKAT:

Dari Erotisme Seksual-Taarufan dan Kamuflase Keintiman Melalui “Kakak-Adik” Angkat

BAB VI

Memahami Beragam Model Pacaran Santri Tarekat dalam Perspektif Domain Spradley

(6)

BAB I

MENGENAL SURYALAYA

Pusat Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Tatar Sunda

Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan. Namun dengan izin Allah dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui, hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya=Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit. Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin.

Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan. Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah

Naqsabandiyah (TQN)-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk

kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu “tanbih”

Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad meninggal pada tahun 1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin yang akbrab dipanggil dengan sebutan Abah

Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.

Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, seiring membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII yang membuat masyarakat tergerak untuk belajar Thariqah Qadiriyah

Naqsabandiyah (TQN)semakin banyak dan mereka datang dari berbagai

daerah di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Mentri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah

Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) dan dalam usaha mencerdaskan

kehidupan bangsa.

(7)

Lembaga-lembaga Pendidikan yang didirikan Abah Anom, Secara langsung atau tidak langsung, berperan serta dalam mengembangkan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Kalau pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pada masa Abah Sepuh terbatas melalui media tradisional pesantren, maka dimasa kepemimpinan Abah Anom, selain menggunakan media tradisional yang telah ada, juga melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi semuanya amat berperan dalam mengembangkan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Mengingat pendidikan mempunyai peranan penting untuk membentuk akhlak serta budi pekerti mulia dan dalam mencerdaskan bangsa serta untuk menanamkan ideologi dalam proses integrasi nasional. Selain itu terselenggaranya pendidikan formal yang baik juga dapat meningkatkan taraf dan mutu kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan yang ada dilingkungan Pondok Pesantren Suryalaya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan formal yang ada terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal umum dan Keagamaan.

Pendidikan Formal Umum yang terdiri :

- Taman Kanak-kanak

- Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

- Sekolah Menengah Umum

- Sekolah Menengah Kejuruan

- Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah (STIELM)

Pengajian Non Formal: - Pengajian Tradisional

- Pendidikan Formal Keagamaan - Madrasah Tsanawiyah

- Madrasah Aliyah

- Madrasah Aliyah Keagamaan

- Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM)

Tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya, yaitu menuntun manusia agar mendapat ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan TQN tergambar dalam muqadimah yang mesti dibaca oleh setiap ikhwan manakala ia akan melakukan zikrullah. Kalimah dimaksud adalah: Ilaahii anta maqsuudi wa ridhaaka mathluubii A ’thinii mahabbataka wa ma’rifataka. (Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhoan-Mu yang aku cari. Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan ma’rifat kepada-Mu). Do’a tersebut di atas oleh para ikhwan Tarikat Qadiriyah Naqsabandiyah setiap

habis sembahyang wajib dibaca minimal tiga kali sebagai mukaddimah untuk mengamalkan zikir. Dalam do’a tersebut terkandung empat macam tujuan TQN itu sendiri, yaitu: Taqarrub terhadap Allah, Menuju jalan Mardhatillah, Kemahabbahan danKemarifatan terhadap Allah.

TQN yang berkembang di Pesantren Suryalaya ialah TQN yang berasal dari Syekh Ahmad Khotib Syambas melalui Syekh Tolhah dari Trusmi, Kalisapu Cirebon Jawa Barat. Penyiaran TQN hingga ke Suryalaya dipererat dengan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan putera Syekh Tolhah, guru Abah Sepuh, dengan putra Abah Sepuh. Putra Syekh Tolhah bernama Raden H.K. Munadi. Putri Abah Sepuh bernama Hj. Sukanah. Dengan demikian, hubungan Syekh Tolhah dengan Abah Sepuh bukan saja hubungan guru murid melainkan juga hubungan besan.

Modal pertama TQN Suryalaya berupa sebuah mesjid yang dijadikan tempat mengaji dan mengajarkan TQN. Mesjid itu dibangun atas restu Syekh Tolhah. Cikal bakal pesantren tersebut diberi nama patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah dengan singkat disebut Suryalaya.. mesjid itu diresmikan pada tanggal 7 Rajab 1323 H /5 September 1905 M. tanggal tersebut kemudian dijadikan titi mangsa kelahiran (milad) Pesantren Suryalaya. Sekalipun pesantren itu telah diberi nama Suryalaya, ketika itu masyarakat masih menyebutnya Godebag, nama kampong di mana terletak Pesantren Suryalaya.

TQN sebagai sebuah aliran dalam tasawuf mempunyai amaliyah yang khusus yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan amaliyah dalam tarekat yang lain. Kalaupun ada kesamaan, kemungkinan dalam beberapa hal saja karena memang sumber ajarannya sama- sama dari Rasulullah. Amaliyah yang bersifat spiritual ini harus diamalkan oleh siapa saja yang telah menyatakan diri melalui “talqin” senbagai murid dan ikhwan bagi Guru Mursyid dalam komunitas tarekat termaksud. Amaliyah tersebut merupakan amalan yang maha penting yang mesti dilakukan oleh murid setelah melakukan amaliyah syar’iyyah yaitu shalat fardu.

1. Dzikrullah

(8)

tertentu. Dzikir lisan/jahar diamalkan setiap selesai mendirikan shalat fardu banyaknya tidak boleh kurang dari 165x dan lebih banyak sangat diutamakan, sedangkan dzikir khafi/ingatan hati harus secara terus menerus tidak henti-hentinya, baik sedang berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring kapan saja dan dimana saja, sebagaimana keberadaan orang-orang yang dikategorikan ulil albab dalam Q.S. Ali Imran 191.

Dalam kitab Miftah as-Sudur dijelaskan bagaimana cara berzikir yang benar sebagai amalan dalam TQN, baik zikir jahar maupun zikir khafi, yaitu: “orang yang berzikir memulai dengan ucapan Laa dari bawah pusat dan diangkatnya sampai ke otak dalam kepala, sesudah itu diucapkan Ilaaha dari otak dengan menurunkannya perlahan-lahan kebahu kanan. Lalu memulai lagi mengucapkan Illallah dari bahu kanan dengan menurunkan kepala kepada pangkal dada disebelah kiri dan berkesudahan pada hati sanubari dibawah tulang rusuk lambung dengan menghembuskan lafadz nama Allah sekuat mungkin sehingga terasa geraknya pada seluruh badan seakan-akan di seluruh bagian badan amal yang rusak itu terbakar dan memancarkan Nur Tuhan.

Amaliah zikir berupa kalimah thoyyibah bagi ikhwan / akhwat Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya merupakan amalan harian yang dilaksanakan setiap ba’da shalat fardhu maupun shalat sunat dengan ketentuan sebagai beikut:

- Bilangan zikir kalimah Thayyibah bagi ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya setiap kali melaksanakan tidak boleh kurang dari 165 kali, lebih banyak lebih baik dengan ketentuan diakhiri hitungan bilangan ganjil. - Bagi ikhwan yang memiliki kesibukan atau sedang dalam safar

(perjalanan) dilain waktu ketika senggang. Sebaiknya malam hari sebelum tidur atau setelah shalat malam.

- Pelaksanaan amaliyah zikir sebaiknya dilaksanakan berjama’ah dengan suara keras sehingga diharapkan dapat “menghancurkan” kerasnya hati kita yang diliputi oleh sifat-sifat mazmumah (buruk) diganti dengan sifat mahmudah (baik) sehingga berbekas membentuk perilaku pengamalnya, yaitu pribadi pengamal zikir yangberakhlak mulia berbudi luhur sebagai buahnya zikir.

Untuk melakukan zikir terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, hendaklah orang yang berzikir mempunyai wudu secara sempurna. Kedua, hendaklah berzikir dengan suara keras sehingga hasil cahaya zikir terpancar di dalam hati pelakunya jadilah hati akibat cahaya ini menjadi hidup abadi hingga ke kehidupan

ukhrawi.

2. Talqin dan Bai’at

Untuk dapat mengamalkan zikir khas (yakni zikir dalam TQN), begitu juga amalan-amalan lainnya dalam TQN, seorang salik (murid) mesti memulai dengan proses “talqin” talqin ialah peringatan guru kepada murid. Sedangkan bai’at adalah kesanggupan dan kesetiaan murid dihadapan gurunya untuk mengamalkan dan mengerjakan segala kebajikan yang diperintahkan mursyidnya.Talqin memiliki dua sasaran; pertama, sasaran yang bersifat umum, dan kedua, bersifat khusus. Adapun sasaran yang bersifat umum adalah seseorang yang sudah bertalqin berarti sudah masuk dalam silsilah (lingkaran) komunitas pengamal ajaran tarekat. Sedangkan sasaran talqin yang bersifat khusus yakni talqin suluk setelah masuk dalam lingkaran komunitas sufi. Karena perkembangan TQN begitu pesat, maka guru mursyid mengangkat wakil talqin. Wakil talqin adalah orang yang mendapat izin dari guru mursyid untuk melaksanakan talqin, sekaligus melakukan pembinaan bagi ikhwan-ikhwan yang sudah di talqin.

Dengan semakin menyebarnya ajaran TQN di dalam dan di luar negeri, maka Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya menunjuk beberapa orang kepercayaan yang disebut “Wakil” dengan tugas utama ialah mentalqinkan zikir TQN kepada siapa yang menginginkan dan yang merasa dirinya berkepentingan, dengan maksud supaya orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit dan orang-orang yang jauh tempat tinggalnya dapat melaksanakan maksudnya tanpa banyak memakan biaya dan waktu, begitu pula meringankan beban Pimpinan Pondok Pesantren yang setiap hari terus menerus didatangi tamu dari berbagai tempat sehingga agak sukar untuk meninggalkan Pondok Pesantren.

3. Tahapan-Tahapan Dalam Bidang Ubudiyah.

Tahapan Pertama, yang paling ringan adalah melaksanakan shalat sunat rawatib, yaitu salat sunat qabla dan ba’da salat-salat fardu salat sunat yang biasa dilaksanakan oleh para ikhwan di Suryalaya adalah: Salat sunat fajar (qabla Subuh) dan salat lidaf’il bala, Salat

sunat qabla dan ba’da dhuhur, Salat sunat qabla ‘Asar, Salat sunat qabla dan ba’da magrib, Salat sunat qabla dan ba’da Isya, Selain salat sunat ba’da magrib,

(9)

sunat Duha waktunya sekitar pukul 07.30, Salat sunat kifarat al-baol setelah selesai salat duha, Salat sunat lidafil bala, setelah salat isya, Salat sunat hajat sebelum tidur,.

Tahapan ketiga, tahapan ini berupa pelaksanaan qiyamullail atau sholat malam. Pelaksanaannya mengikuti cara-cara sebagimana dijelaskan oleh Pangersa Abah dalam buku yang beliau tulis berjudul “Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja”. Buku ini sebagai panduan bagi para Pembina Inabah bagaimana proses penyadaran dan penyembuhan para remaja korban Narkoba dan obat-obat terlarang di Inabah agar sembuh dari ketergantungan dengan sadar dan sukarela. Cara dimaksud adalah sebagai berikut: Mandi Taubat sekitar pukul 02.00 dini hari, Salat sunat, Syukrul wudu, Salat sunat Taubat, Salat sunat Tahajud (12 rakaat), Salat Sunat Tasbih (4 rakaat), Salat sunat witir (11 rakaat), Setelah selesai melaksanakan salat sunat hendaklah si salik berzikir sebanyak banyaknya hingga waktu salat subuh tiba. Pangersa Abah tidak beranjak dari tempat salat setelah subuh sampai waktu isyraq.

4. Khataman

Kata khataman berasal dari kata “khatama yakhtumu khataman” artinya selesai/menyelesaikan. Maksud khataman dalam TQN adalah menyelesaikanatau menamatkan pembacaan aurad (wirid-wirid) yang menjadi ajaran TQN pada waktu-waktu tertentu. Wirid- wirid itu minimal dibaca secara keseluruhan sampai khatam (tamat) satu kali dalam satu minggu. Aurad TQN yang menjadi amalan mingguan itu terdapat dalam buku yang dihimpun dan dikodifikasikan oleh Syekh Mursyid. Buku tersebut diberi nama “Uqud al- Juman”, yang secara etimologis artinya untaian mutiara. Secara substansial, aurad itu terdiri atas dzikir, shalawat, do’a-do’a dan bacaan-bacaan yang biasa diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Khataman dilakukan setelah selesai shalat fardu dan dzikir. Tertib amalan khataman pertama tawasul, lalu membaca wirid-wirid yang terdapat dalam kitab uqud al juman sampai selesai dan diakhiri dengan do’a khataman itu sendiri. Khataman bisa dilakukan secara munfarid atau berjama’ah, bisa di masjid atau di rumah-rumah. Namun kalau dilakukan di masjid dengan berjama’ah tentu lebih baik. Kalau tidak memungkinkan di masjid secara berjama’ah di majlis- majlis dzikir juga akan lebih baik. Yang penting bagaimana wirid itu dapat dilakukan secara khusyu’ dan tamat. Secara umum, waktu pelaksanaan khotaman yang biasa dilaksanakan di Pondok Pesantren Suryalaya adalah Setiap hari antara Magrib dan Isya dan setelah shalat sunat Lidafil Bala’i ba’da shalat

Isya dan Hari Senin dan Kamis ba’da shalat Ashar. 5. Manaqib

Kata manaqib merupakan kata jama dari manqabah mendapat akhiran an. Manqabah sendiri artinya babakan sejarah hidup seseorang. Dalam tradisi bahasa Sunda kata manaqib ditambah dengan an sehingga bacaannya menjadi manaqiban yang mengandung arti proses pembacaan penggalan hidup seseorang secara spiritual. Manaqib dalam TQN adalah manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sebagai pendiri tarikat Qadiriyah. Isi manaqib secara khusus menceritakan akhlak Tuan Syeikh, silsilahnya, kegiatan dakwahnya, karomahnya dan lain-lainnya yang relevan untuk dijadikan pelajaran oleh para pengikutnya.

Manaqiban dalam TQN merupakan amalan syahriyyah artinya amalan yang harus dilakukan minimal satu bulan satu kali. Biasanya materi manaqiban terbagi pada dua bagian penting. Pertama, materi (kontens) tentang hidmah ‘amaliyah yang intinya adalah manaqiban itu sendiri. Kedua, hidmah ‘ilmiyyah adalah pembahasan tasawuf secara keilmuan dan pembahasan aspek-aspek ajaran Islam secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk membuka wawasan keislaman para ikhwan, memperdalam ilmu ketasawufan, dan memotivasi para ikhwan agar semakin rajin (konsisten) melakukan amalan ajaran Islam khususnya amalan TQN. Pelaksanaan amalan manaqib berjama’ah paling sedikit 1x dalam sebulan dan susunan acara manaqib harus sesuai dengan Maklumat Nomor 50. PPS.III. 1995 tanggal 11 Maret 1995 yang ditandatangani oleh sesepuh Pontren Suryalaya, K.H. A. Shohibulwafa Tajul Arifin ra

-

Pembukaan

-

Pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an

-

Pembacaan Tanbih

-

Pembacaan Tawasul

-

Pembacaan Manqabah dan Do’a

-

Pembinaan pemahaman amalan

(10)

BAB II

SISI LAIN SPIRITUALITAS TAREKAT

Membaca Ulang Riset “Dibalik Rok dan Jeans: Potret Etika Mahasiswi Suryalaya” karya Ahmad Zamili

Kesan utama saya saat menapakkan kaki di Suryalaya awal November 2012 saat mengikuti Shourtcourse Riset Etnografi adalah lokasi yang penuh berkah dengan Tarekat Qodiriyah Naqsabadiyah (TQN) sebagai mazhab kehidupan. Kesan ini begitu kontras saat kita masuk Ke Kampus Suryalaya yang terdiri dengan Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah (STIELM) yang mahasiswinya tampak modis dengan balutan pakaian ketat yang menampakkan lekuk tubuh. Sejenak saya tersentak, dan secara tak sengaja pikiran ini menyoal kenapa kehidupan yang begitu berkah dengan tarekat damparan tanah Suryalaya ini dihiasi dengan show kemolekan dan parade lekuk tubuh mahasiswinya yang tentunya adalah penganut TQN juga. Pertanyaan-pertanyaan menggugat semakin kompleks setelah 3 bulan menetap di Suryalaya, setelah saya menerima fakta-fakta bahwa ikhwan TQN yang saya sebut dengan istilah Santri Talqin ini juga pacaran bahkan dikolaborasikan dengan nafsu dan erotisme seksual. Sekilas saya berfikir apakah ini tidak paradok ditengah kehidupan salik yang memantapkan hati menuju Tuhan?.

Kesan yang saya rasakan juga ditangkap oleh Ahmad Zamili Dosen IAIN Ibrohimy Ponorogo yang menelisik keseksian cara berpakaian bagi ikhwan tarekat ini dalam riset etnografinya pada November 2011. Riset Zamili ini mengunakan model etnografi. Menurutnya ada beberapa komponen pokok dan substantive bagi etnograf, antara lain: peneliti melakukan pengamatan langsung/direct observation pada subjek. Hal ini dilakukan ketika peneliti telah memiliki topic yang akan diteliti. Selanjutnya adalah mencatat, merekam, membuat deskripsi, sambil lalu melakukan analisis tertulis. Perbedaan penelitian etnografi dengan penelitian lainnya yaitu pada langkah berikutnya, lebih pada pengamatan berperan serta/participant observation, kebebasan dalam teknik pengumpulan data. Kebebasan ini diprediksi sebab data kemungkinan menyempit atau bertambah. Bagi Kaplan, dalam perkembangan etnografi kekinian, etnograf harus berupaya mereproduksi realitas budaya seturut pandangan, penataan, dan penghayatan warga budaya yang diteliti. Ini berarti bahwa pemaparan tentang suatu budaya tertentu harus diungkap sehubungan dengan kaidah konseptual, kategori, kode, dan aturan kognitif “pribumi” dan tidak sehubungan dengan

kategori konseptual yang diperoleh dari pendidikan sang antropolog dan dibawa-bawa kekancah penelitian (Kaplan dan Manners. (2002: 260). Dengan demikian, bias budaya etnograf tidak bercampur aduk dengan budaya murni yang sedang menjadi subjek penelitian. Sekiranya, hal di atas dilakukan, maka deskripsi dan realitas budaya yang sedang diteliti akan menjadi laporan yang benar-benar perpaduan antara subjektif dan objektif atau disebut dengan intersubjectivity.

Paradigma penelitian ini adalah fenomenologi.

Technically, paradigma fenomenologi digunakan untuk menganalisis

terwujudnya gagasan atau ide. Secara teoritis, paradigma ini menekankan terbentuknya eksistensi dasar dari budaya. Phenomenology to analyse ‘embodied mind’. Here the theoretical emphasis is on the body as ‘the existential ground of culture’ (Barnard and Spencer, 2005: 692). Mulanya, tradisi fenomenologi dalam antropologi mengambil konsentrasi dalam ranah interpretasi dan penerjemahan sistem makna. Pendekatan ini berimplikasi pada variasi tentang alam dan insiden perang, untuk menjelaskan perbedaan nilai dan kepercayaan yang terjadi di dalamnya. Namun pada perkembangan selanjutnya, fenomenologi dalam antropologi cenderung digunakan untuk menggali makna sosiologis; studi tentang kebiasaan manusia dalam mengeskpresikan dan memahami kehidupan sehari-hari, phenomenology in anthropology, it tends to take its sociological meaning: the study of the ways in which people experience and understand everyday life (Barnard and Spencer, 2005: 922)

Berdasarkan hasil riset Zamili yang saya baca, secara sadar dia mengakui kaget. heran, aneh, riuh tapi mengasyikkan. Berikut adalah pengakuannya dalam riset tersebut. Kesan kaget. heran, aneh, riuh tapi mengasyikkan Itulah pertama kali Zamili rasakan saat memasuki konteks penelitian di kampus Institut Agama Islama Latifah Mubarokiyah Suryalaya. Seketika, dia mencoba menyiapkan mata dan telinga untuk mencermati gerak budaya yang terjadi di antara internal costumer.0

(11)

kampus tersebut berada di bawah naungan pondok pesantren Suryalaya, yang secara khusus mengajarkan dan menanamkan perilaku hidup sufi. Fenomena memberikan pemandangan cukup kontras, jika memperhatikan makna pesantren Suryalaya sebagai penggembleng ilmu keagamaan (thariqah) yang syarat aroma dzikir, tauladan dan geliat kesederhanaan serta kerendahan hati (tawadhu).

Fakta demi fakta bermunculan seiring perjalanan riset Zamili menyusuri tempat-tempat yang telah disebutkan di atas. Dari sekian observasi, khusus mahasiswi STIE IAILM begitu menggugah penglihatan untuk terus fokus memandang ke arah lekuk busana yang mereka kenakan, dibalut kerudung yang menjadi ciri khas wanita muslimah sebagai penutup aurat (Observasi di kampus, 19 Nopember 2011). Meski sebenarnya tutup aurat itu tereduksi dengan bentuk kerudung yang semakin modis dan menyempit sebab tuntutan zaman untuk selalu berubah. Terlepas dari persoalan kerudung, sungguh, busana mereka benar-benar menggugah “syaraf” kelelakian siapapun yang menatap tajam. Begitu pula pada hari-hari paling ranai, yakni hari Senin hingga Rabu, mahasiswi STIE pun menggodok jantung dan nyali untuk, paling tidak menatap mereka lekat-kekat. Selain karena keinginan untuk melihat apresiasi Tuhan, lebih dari itu, karena lekuk itulah yang menarik dan membedakan mereka dengan mahasiswi IAILM, khususnya fakultas dan prodi agama Islam.

Pekan berikutnya, Sabtu, 8:45 WIB ada yang beda dengan view sebelumnya (Observasi di kampus, 20 Nopember 2011). Hari itu yang menjadi “pengunjung” kampus adalah khusus mahasiswa diniyah, yaitu mahasiswi jurusan tarbiyah, syariah dan dakwah atau mungkin PGSD. Yang seru adalah, gaya busana yang mereka kenakan jauh berbeda dan sangat kontras dengan mahasiswi STIE. Perbedaannya, mahasiswi diniyah ini mayoritas menggunakan rok dan hanya beberapa yang menggunakan jeans. “Celakanya,” rok maupun celana yang mereka kenakan ada yang nampak menempel ketat di sekitar perut, seolah itu adalah obyek terindah yang layak dan pantas untuk dieskpos oleh pengguna busana, bahkan oleh siapa pun yang tak sengaja menatap atau curi-curi lihat. Ada pula yang mengenakan kaos lengan panjang; tapi, seperti yang sudah dideskripsikan, kaos tersebut rupanya tak nyaman jika tak mengikat kuat namun seolah lunglai di bagian-bagian yang cukup “sensitif”. Selain itu, terekam jua jejak-jejak asimetris nan kokoh namun rada lunak di sekitar pinggang, panggul, dan pinggul. Wow, ini sungguh realitas yang menarik. Dimana, lokasi kampus ini ada di area pesantren, itulah yang bikin lebih menarik. Bukan sekedar pesantren seperti yang peneliti kenal; pesantren salaf maupun modern, tapi pesantren dengan sisi religiusitas yang tinggi dengan

adanya aktivitas dan basis Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah (TQN) di Jawa Barat dengan pengikut dari beragam latar belakang dan terbesar di Jawa Barat.

Secara universal, ajaran tarekat adalah upaya untuk melakukan penyatuan diri secara vertikal (dengan Allah SWT). Namun, pertanyaan yang muncul, apakah penyatuan vertikal tersebut tecermin dalam kehidupan sehari- hari dalam bertata sikap yang arif dalam hal berbusana. Asumsinya, penyatuan pada-Nya dengan kepasrahan yang sangat serta kerendahan diri dihadapan Ilahi Rabbi akan memunculkan sikap saling toleran antar-sesama, itu adalah visi TQN Suryalaya. Kembali lagi pada hasil observasi yang dilakukan Zamili, baik di dalam kampus; perpustakaan, halaman kampus, kantin ataupun di lapangan serba guna, memang, tidak bisa dipungkiri, berbusana secara etis atau dalam pandangan Islam adalah busana Muslimah telah menjadi icon dikalangan kampus dengan label Islam. Ini berlaku bagi kampus atau sekolah tinggi manapun di Indonesia yang berlabelkan Islam seperti di Suryalaya. Sejalan dengan praktek busana mahasiswi dan nilai tawadhu, setelah hampir dua pekan, ternyata masih belum ditemukan adanya korespondensi antara penyatuan vertikal (tarekat-dzikir) dan urusan horisontal (etika berbusana), sebuah fenomena yang kontras. Sejenak, ketika Kontras berikutnya, observasi yang tampak dipermukaan ada di wilayah sufistik yang sensitif, ketika dibenturkan dengan dokumen etis yang telah dibingkai oleh kampus (tata tertib dan aturan berbusana). Terkait pemaknaan nilai etis dalam berbusana, dari capaian data penelitian, ternyata hanya di Fakultas Tarbiyah yang memiliki kode etik secara tertulis. Sementara fakultas lain atau bahkan STIE hanya dapat pengetahuan tentang etika berbusana saat taaruf (orientaasi mahasiswa baru) di awal masuk kampus. Di sini peneliti uraikan etika busana yang semestinya diamini oleh semua mahasiswi, antara lain: (1) Pakaian menutup aurat; (2) Mode pakaian bebas, dengan syarat-syarat: terasa nyaman dipakai; longgar tidak ketak; tidak transparan; bersih, rapih, dan indah; menyejukkan hati yang melihat; tidak mencolok baik warna maupun modenya; tidak diperkenankan memakai sendal jepit; tidak diperkenankan memakai kaos oblong/tanpa kerah.

(12)

keinginan pondok pesantren Suryalaya untuk membentuk pribadi yang tangguh dan sesuai dengan tatakrama yang telah mereka susun. Kenyataanya, bagaimana mungkin mahasiswi dapat melaksanakan kode etis di atas jika dosennya, yang waktu itu adalah pemateri short course, bertolak belakang dengan poin (f) dengan berdandan mencolok seperti yang terlihat dalam acara di atas (Observasi di kelas, Sabtu, 17 Desember 2011).

Dalam kesempatan berbeda, dari observasi Zamili tentang pemahaman kode etik berbusana bagi mahasiswi, belum ditemui pemahaman bersama. Hal ini terungkap dari wawancara peneliti dengan beberapa mahasiswi PGSD dan STIE yang hampir setiap ditemui mereka mentakan kurang tahu dan bahkan tidak tahu, bahwa di kampus mereka ada kode etik dalam berbusana (Wawancara Ratih, mahasiswi STIE semester 5, Selasa, 27/12/2011 & Wawancara Pipih: mahasiswi STIE semester 5, Rabu, 28/12/2011). Dengan demikian, sosialisasi, internalisasi, atau bahkan enkulturasi nilai-nilai yang terkandung dalam etika berbusana di atas belum diamini sepenuhnya oleh mahasiswi. Lebih-lebih jika ditanya tentang apa yang mereka pahami tentang tawadhu? Dari mahasiswi semester satu sampai semester tiga, belum juga ditemui suatu pemahaman yang sama pula. Padahal, jika ditanya tentang kurikulum yang diberlakukan, materi tasawuf-yang didalamnya terdapat materi tawadhu-telah mereka dapatkan sejak semester satu dan minimal sampai semester tiga untuk mahasiswi PGSD. Bagi mahasiswi jurusan diniyah (tarbiyah, syariah dan dakwah) di setiap semester mereka mendapatkan materi tasawuf. Dari realitas tersebut, dapat diinterpretasikan dari tiga varian dinamika kebudayaan jika dikomparasikan dengan tema penelitian ini, belum terjalin sinergisitas yang kohern antara etika berbusana dan pemaknaan sikap tawadhu bagi mahasiswi.

Fakta lain menunjukkan, teguran bagi mahasiswi masih bersifat parsial. Artinya, mahasiswi yang tidak bersikap sesuai etika berbusana, hanya beberapa dosen yang berani menegur. Teguran inipun terkesan tentatif dan parsial. Meski demikian, Zamili berasumsi bahwa fenomena paradok antara kampus yang berbasis tarekat dengan dandanan mahasiswi yang di beberapa kesempatan terlihat glamour dan mencolok adalah bentuk aktulisasi diri dalam perspektif Abraham Maslow, yakni hierarki kebutuhan manusia (Maslow, 2006: 153). Selain itu, manusia modern tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan kapitalisme yang mengaburkan hampir seluruh makna universal tentang etika dan nilai-nilai dalam tasawuf.

Ada fenomena lain yang mengejutkan ketika Zamili banyak berbincang dengan mahasiswi Suryalaya. Pernyataan ini menurutnya

sangat bertolak belakang dengan pemahaman teman-teman lain di kampus yang memandang etika berbusana dan nilai tawadhu dalam tasawuf. Mulanya, Zamili berpikir, dengan konten tasawuf di kampus, tentunya etika busana serupa tanda yang sinergis. Nyatanya, asumsi tersebut bertentangan dengan realitas yang ditemukan (Observasi di kampus, 27 Nopember 2011). Lebih-lebih ketika dia mencoba benar-benar menjadi penelaah yang aktif (participant observation). Senada dengan observasi yang dilakukan, Laila, misalnya, mengungkap bahwa tak jadi soal bagi anak-anak ekonomi (STIE) terkait busana yang dikenakan, yang penting adalah tetap sopan dan nyaman saja di pakai (Wawancara Laila, mahasiswi STIE semester 3, 21 Nopember 2011). Lalu ketika ditanya seperti apa batas-batas kesopanan atau nilai-nilai etis dalam berbusana? Untuk persoalan ini sangat subjektif. Sebab, mengenakan busana yang etis (jeans) itu asal tidak menarik orang lain untuk berpikiran buruk (misalkan, terlihat seksi dan menampakkan belahan-belahan tertentu pada bagian tubuh), itu sudah cukup untuk dikatakan etis atau sopan menurut mahasiswi yang lain, misalnya Wulan Eka (Wawancara Wulan Eka, mahasiswi STIE semester 3, 21 Nopember 2011).

Dari hasil observasi dan wawancara di atas, dapat diinterpretasikan bahwa, terdapat kebebasan yang absolut bagi mahasiswi IAILM dalam membentuk sistem sosial di kampus. Jeans adalah lokalisasi budaya yang mereka bentuk dengan sendirinya. Dengan beragam latar belakang, cara pandang yang berbeda pula, mahasiswa STIE mereproduksi nilai-nilai etis dalam berbusana dengan mengenakan jeans. Padahal, kampus Suryalaya merupakan kampus dengan sistem tarekat yang ramai. Fenomena ini memang bertolak belakang bila dipandang sekilas mata. Kita bisa melihat kontras ini jika dibandingkan dengan pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang Jawa Timur, misalnya. Di sana menurut Zamili, tarekat juga menjadi jalan penyatuan diri pada Yang Maha Kuasa. Nama tarekatnya sama dengan Suryalaya, yaitu Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah. Dengan ikatan tarekat itu, mahasiswi Darul Ulum lebih dominan mengenakan rok sebagai sistem budaya daripada mengenakan jeans. Dengan keberadaan tarekat tersebut, mahasiswi Darul Ulum terikat oleh kebesaran nama sang Mursyid, yaitu kiai Mustain Ramli. Sedangkan di Suryalaya, kebesaran Abah Anom yang populis dengan fleksibelitas pemikirannya justru telah mereproduksi tatanan logis dengan kebebasan berbusana.

(13)

heterogenitas dari setiap status sosial4. Jadi, mereka yang datang kemari merasa tidak tersingkirkan dengan penerimaan tersebut. Kalau saya boleh berasumsi, selama masa “penyembuhan” tersebut, mereka memang terkesan urakan dan tidak sopan, tapi bisa jadi orang-orang yang jelek dimata sosial tadi, kali saja mereka belum tahu atau mengerti dengan kebiasaan yang ada. Dari ketidakpahaman mereka itu, Abah terus mendampinginya dengan keteladanan yang imbasnya memunculkan otomatisasi respect kepada Suryalaya. Toh, yang penting menutup aurat kan (Wawancara, Mahasiswi PPGSD semester 3, IAILM, Desember 2011). Helsa juga menambahkan, misalkan saja saya mau pulang kampung saya pakai celana jeans, ini kan era modern. Lihat kondisi harus pulang kan ribet. Jadi, sangat bergantung pada kesadaran diri (self concicousness). Kesadaran diri ini juga berlaku untuk mahasiswi yang telah ditalkin. Bagi mahasiswi yang ternyata telah ditalkin massal pada awal taaruf, juga diberikan kebebasan apakah cara dzikir yang telah diajarkan oleh Wakil Talkin diamalkan ataukah tidak. Sebagaimana dikatakan Helsa lebih lanjut; “terserah mau diamalkan atau tidak, bagi yang badung, mereka menganggapnya formalitas saja. Jadi, kembali pada diri sendiri. Apalagi bagi kita mahasiswi PGSD, di jurusan ini dekan sampai prodi menyosialisakan dan menekankan harus sopan. Jangan pakai jeans. Jadi bebas saja. Kalau ada yang melanggar, ya sekedar ditegur saja kok. Toh urusan mengamalkan ajaran yang didapat dikembalikan pada misi pribadi yang semestinya misi pribadi itu mirip-mirip dengan misi kampus; Ilmu amaliah amal ilmiah. Misi itu juga motto Suryalaya (Wawancara Alinda, Mahasiswi PGSD semester 3, (18 Desember 2011).

Setelah sekian hari terlewati bersama Alinda, Zamili sengaja datang ke kantin kampus. Di sana, terkait dengan sistem sosial yang ada di STIE, Pipih menegaskan, bahwa “kita bebas menggunakan jeans atau celana kain, sebab memang tidak ada aturan yang mengikat kami. Selain itu, saya pakai jeans ini biar tidak ribet saja, mas.” (Wawancara dengan Pipih, Mahasiswi STIE semester 5, 26 Desember 2011). Setelah mendengar paparan tersebut, Zamili menginterpretasi lebih dalam bahwa dengan tidak adanya pola etis yang dimainkan oleh kampus, maka mahasiswi STIE memerankan dirinya sebagai subjek yang bebas nilai. Dengan kata lain, sistem budaya yang berkembang di kampus suryalaya terbentuk dari kebebasan pribadi untuk memilih busana yang nyaman tanpa harus direcoki dengan urusan etis dari kampus. Maka, mahasiswi sebagai pelanggan internal telah membentuk sistem sosial dengan sendirinya. Asumsi lain dari temuan penelitian adalah, telah terciptanya sistem sosial dalam bentuk busana, mahasiswi STIE identik dengan bawahan jeans dan mahasiswi IAILM identik dengan jeans sekaligus rok.

Khusus untuk mahasiswi IAILM, bagi mereka yang bergantian menggunakan rok dan jeans mengungkapkan, “kalau saya lagi bad mood, saya tinggal pakai jeans saja, dengan standart yang udah saya bikin sendiri, yaitu celana jeans yang agak longgar dan tidak ngepres banget seperti yang digunakan mahasiswi lain. Kita, apalagi jurusan PGSD, jadi sejak sekarang kita harus sadar diri dengan etika pribadi yang kita bentuk dan kita gunakan sendiri. Apalagi mau ngajarin anak-anak sekolah dasar yang notabene adalah wadah penanaman awal ilmu pengetahun, iya gak mas? Aih, jadi malu nih (Wawancara Helsa, Mahasiswi PPGSD semester 3, IAILM 25/12/2011).

Di kesempatan yang berbeda, dosen PGSD menjelaskan bahwa kita sudah cukup menjelaskan tentang etika berbusana sama mahasiswi di setiap perkuliahan, saya sampaikan sama mereka bahwa tugas saya adalah menyampaikan ajaran yang baik sama kalian sesuai anjuran Nabi Muhammad SAW. Dengan ini, kewajiban saya selaku dosen telah cukup untuk kemudian kalian tindak lanjuti sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Sambil berkelakar saya katakan sama anak-anak, misalkan nanti saya di akhirat, saya masuk neraka gara-gara tidak menyampaikan pesan ini, awas kalian yah (dengan tangan sambil mengepal pertanda bercanda) (Wawancara bersama Pak Nana, dosen IAILM, 29/11/2011).

(14)

jika dipandang sebelah mata, lebih-lebih jika sekedar dipandang dari balik jeans dan rok an sich.

Penelitian Zaimili ini terlihat wajar jika dipahami bahwa perkembangan mode adalah keniscayaan. Dalam keniscayaan itu lahir stereotip. Apa lacur, subjek pada ranah tersebut sudah barang tentu didominasi perempuan. Terlebih, perempuan yang berstatus mahasiswi. Dengan beragam tata sosial dan budaya yang menghimpit, relasi-relasi yang menyempit, bahkan stereotip yang remeh-temeh masih tersemat diantara perempuan. Padahal, mereka bukan hanya subjek, mereka telah mencipta diri sebagai objek bagi segenap aroma etis dan estetis. Di gerak dan tingkah atau di tampilan tingkah yang mereka kenakan. Belajar dari apa dan bagaimana mereka mengenakan busana, menjadikan “diri” untuk meng -ada, untuk melihat realitas yang lebih, untuk kemudian tidak menutup mata dari modernitas dan perkembangan mode yang menyerang keseharian perempuan sebagai perempuan atau sebagai mahasiswi. Sejatinya, orientasi dan keberadaan mahasiswi tidak semestinya dipandang sebelah mata, baik ketika mereka sebagai perempuan maupun sebagai perempuan yang terpelajar. Tak lain, keberhasilan dan kemajuan suatu generasi bergantung pada tatanan sikap yang dibangun oleh elemen-elemen yang dihadapi. Khususnya, dalam penelitian ini, elemen tersebut adalah kampus dan pesantren. Ketika pesantren, dengan komposisi keislaman yang ditanam, memunculkan harapan besar dapat membentuk pribadi yang tangguh dan kapabel dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai etis dan kode etis kampus yang menjadi budaya lokal dan melingkupi ruang geraknya. Penanaman nilai-nilai etis tersebut semestinya menjadikan mahasiswi dapat menempatkan posisi dan signifikansinya di tengah-tengah norma yang makin tumpang tindih dan dilematis. Tidak terkecuali dalam interaksi sosial yang mereka hadapi, yaitu kampus dan pondok pesantren.

Menyoal nilai dan norma, khususnya ketika dihubungkan dengan geliat mahasiswi STIE IAILM Tasikmalaya, perihal tersebut seharusnya menjadi sinergisitas. Disatu sisi, mereka memiliki peran dan fungsi sebagai pengembang ilmu keislaman, di sisi lain, mereka merupakan cikal bakal pengembangan ilmu ekonomi keislaman. Seperti yang diungkap Geertz dalam Dhofier, kehidupan pesantren ditandai oleh tipe etika sekaligus tingkah laku ekonomi yang bersifat agresif, penuh watak kewiraswastaan dan menganut faham kebebasan berusaha. Dari watak dan tingkah laku semacam itulah, banyak sekali lulusan pesantren yang menjadi pengusaha; persentase

mereka cukup besar dalam lingkungan kelompok pengusaha (Dhofier, 2006: 4). Dengan demikian, telaah nilai-nilai etis bagi mahasiswi jurusan ekonomi di perguruan tinggi agama islam bukanlah persoalan yang parsial, sebab, nilai-nilai etis yang dimiliki pesantren, salah satunya yaitu tawadhu merupakan pilar logis dari tasawuf yang notabene menjadi jejaring etis dalam pesantren. Tawadhu yang dimaksud bukan sekedar dimaknai kerendahan hati pada Ilahi Rabbi. Lebih dari itu, adalah saling menghormati sesama yang terpancar dalam berbusana sopan dan tidak berlebih atau bahkan terkesan seksi. Sedangkan basic enterpreneur yang dibangun pesantren adalah live long education, seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW lalu dipropagandakan oleh UNESCO (E. Faure., 1982: 8). Pada dasarnya, livelong education bukanlah konsep yang dibangun oleh badan tersebut, dalam laporan UNESCO, ide tersebut mereka dapatkan dari penelitian di dunia Muslim. Basically, livelong education pada zaman kemajuan Islam tergambar dari kegemaran intelektual Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan kawan-kawan sejamannya untuk mempelajari semua rumpun ilmu, termasuk ilmu ekonomi yang pada perkembangan selanjutnya membawa entrepreneur India, yang telah terpengaruh kebudayaan Arab untuk kemudian berdagang ke Indonesia sambil menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, wajar jika mahasiswi dipandang sebagai garda depan bagi perkembangan dan peradaban agama Islam dan wiyata nusantara.

Tak pelak lagi, semakin bertambahnya usia kosmik, meniscayakan terkikisnya nilai-nilai luhur yang dulunya dianggap sakral, kemudian menjadi wajar. Perubahan usia kosmik tersebut tidak bisa dipungkiri, sebab kehidupan manusia terus berubah. Salah satu rekam jejak dari fenomena tersebut yaitu gaya hidup (life style), khususnya gaya busana (fashion style) atau dalam tema yang lebih besar terangkum dalam area globalisasi, modernisasi, dan sistem kapitalisasi. Tepatnya, yakni ketika runtuhnya nilai-nilai universal yang tergantikan dengan nilai-nilai sempit dan terfragmen sesuai kebutuhan individu. Secara filosofis, suatu nilai berasal dari norma-norma sosial. Istilah norma-norma lebih lazim digunakan untuk mengacu pada keyakinan tentang begaimana seseorang harus berperilaku dalam situasi tertentu yang mengacu pada nilai-nilai tertentu (Kaplan dan Manners., 2002: 161).

(15)

terpecahkan, nilai-nilai yang saling bersaing dan pilihan-pilihan yang problematis. Tugas antropolog, khususnya dalam penelitian ini untuk melihat peran agama dalam memproduksi problem-problem dan ketegangan-ketegangan (Connolly, P., 2011: 34)., misalnya bagaimana mahasiswi dapat mendorong kohesi sosial untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus dan pondok pesantren Suryalaya dalam hal kesadaran personal (personal consciousness) untuk berbusana yang patut dalam setiap aspek kehidupan yang mereka jalani.

Diakhir risetnya Zamili menyimpulkan bahwa karena aturan etika berbusana tidak tersosialisasi secara sistemik, maka mahasiswi mereproduksi sistem budaya dalam bentuk penggunaan celana jeans. Tentunya, sistem sosial yang tercipta adalah individualitas dan pengotakan atau geng di dalam dan di luar kampus. Terlepas dari fenomena tersebut, citra positif tentang kampus tarekat masih menebarkan aroma harum bagi sebagian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh profil Abah Anom yang semasa hidupnya merangkul semua kalangan dari beragam latar belakang (sosial, ekonomi, keagamaan, sejarah hidup, dan seterusnya), tanpa memperhatikan tampilan fisik, seperti tata etika berbusana. Jadi, dengan alasan tersebut mahasiswi Surlaya berasumsi, yang terpenting adalah tampilan hati dihadapan Sang Ilahi. Meski demikian, secara normatif, bagi orang-orang yang tidak mengenal kedalaman Suryalaya akan memiliki pandangan negatif dari aktualisasi etika berbusana yang mereka tonjolkan.

Meraka memandang etika berbusana sebagai busana yang nyaman dipakai saja. Jadi, bagi mereka nilai-nilai etis telah tereduksi sebab modernisasi dan tuntutan life style dan fashion style sebagai juntrungannya. Sedangkan kampus tidak terlalu peduli dengan persoalan ini yang lambat laun bias jadi akan menjadi bumerang bagi civitas kampus. Tapi di sisi lain, demokratisasi ini memunculkan sistem sosial baru bagi kampus yang notabene berbasis Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah. Pilihannya adalah, jika kampus sekaligus basis tarekat ini ingin membentuk sistem budaya, maka diperlukan internalisasi aturan-aturan dan norma- norma yang dikonstruk secara besama lalu enkulturasi nilai-nilai menjadi tatanan yang diamini bersama hingga menjadi nilai etis yang universal.

Kampus sebagai relasi akademis semestinya memberi kebebasan dalam memilih. Artinya, mahasiswi sebagai pelanggan internal (internal costumer) telah terenggut haknya. Fenomena tersebut terlihat dari proses taaruf bagi mahasiswa baru. Dalam

prosesi tersebut, semua mahasiswi ditalkin (validasi sebagai anggota tarekat). Fenomena ini sangat kontraproduktif dengan heterogenitas mahasiswa yang masuk ke Suryalaya. Mahasiswa yang ditalkin diharapkan menjadi Ikhwan (pengamal tasawuf) yang arif dan bisa merendahkan hati dihadapan Tuhan dan manusia. Orientasi talkin tersebut sebagai langkah enkulturasi dzikir. Faktanya, enkulturasi dzikir tidak tercermin secara determinan. Justru, mereka merasa terpaksa dengan tuntutan kampus dan menganggap proses dzikir sebagai aktifitas artifisial, parsial, dan personal semata. Lagi-lagi, hal ini bertolak belakang dengan visi kampus yang ingin mengedepankan nilai- nilai tasawuf sebagai upaya relasi sosiol-spiritual dengan tidak memaksakan kehendak akademis.

(16)

BAB III

MENAWARKAN PERMASALAHAN:

Sebuah Pendahuluan tentang Perilaku Pacaran Santri Tarekat

Pacaran1 merupakan suatu tradisi yang sudah berakar dalam kehidupan sosial manusia, sudut pandang mengenai rumusan pacaranpun berbeda dan sangat beragam baik yang bersifat idealis maupun yang bersifat pragmatis. Dari sudut pandang idealis, rumusan pacaran biasanya dilihat dari tujuan pacaran yakni mewujudkan satu kesatuan cinta antara dua orang kekasih dalam sebuah bahtera rumah tangga sedangkan dari sudut pandang pragmatis pacaran merupakan suatu penjajakan antar individu atau pribadi untuk saling menjalin cinta kasih (Himawan, 2007: 3). Menurut Guerney dan Arthur, pacaran adalah aktivitas sosial yang membolehkan dua orang yang berbeda jenis kelamin untuk terikat dalam suatu interaksi sosial dengan pasangan yang tidak ada hubungan keluarga. Definisi mengenai pacaran juga dikemukakan oleh Robert J Havighurst: Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diwarnai dengan keintiman dimana keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui sebagai pacar serta dapat memenuhi kebutuhan dari kekurangan pasangannya. Kebutuhan itu meliputi empati, saling mengerti dan menghargai antarpribadi, berbagi rasa, saling percaya dan setia dalam rangka memilih pasangan hidup (Widianti, 2006: 88 ).

Pacaran juga dimaknai sebagai perasaan suka kepada lawan jenis yang diekspresikan melalui berbagai macam cara2. Pacaran juga diidentikkan dengan suatu perasaaan yang bergejolak di dalam hati terhadap seseorang yang menimbulkan rasa ingin memperhatikan dan diperhatikan, rasa ingin tahu lebih, rasa malu, rasa cemburu, rasa curiga semua rasa bercampur menjadi satu kadang suka, kadang sedih, kadang berani, kadang takut untuk melakukan sesuatu hal yang berhubungan denganya. Rasa ini yang bisa mengubah seseorang baik dari segi

1Kata pacar sendiri dapat dikaitkan dengan nama sejenis tanaman hias yang cepat

layu dan mudah disemaikan kembali, tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murah) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika suatu waktu puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang baru

2Jatuh cinta pada lawan jenis itu normal katanya. Itu naluriah, lebih tegasnya lagi

terkesan ilmiah. Bukan homoseksual, bukan lesbian, bukan bestialitas.nItulah sebuah presentasi dunia remaja yang dianggap selangkah lebih maju. Mereka yang jomblo dianggap lebay, gak laki, gak jantan. Lebih ekstrem sedikit, mereka yang taat beragama dan cenderung menghindar dari nuansa gemerlapnya dunia remaja saat ini disebut konservatif, diam-diam makan didalam, monoton, gak dinamis, gak romantis, gak laku. Hiruk pikuk budaya pacaran yang dianggap elegan ini tidak hanya menjadi gaya hidup remaja metopolis

perspektif, tingkah laku, tutur kata, gaya berbusana dan lain-lain bergantung pada dengan siapa dan bagaimana orang disekitarnya mempengaruhi untuk berlaku apa yang semestinya dia lakukan menurut pandangan mereka3.

Pacar adalah kekasih atau orang yang dicintai atau orang yang dikasihi (Kamisa, 1997). Pacaran adalah hubungan pertemanan antar lawan jenis yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar (Mulamawitri, 2003). Keinginan buat pacaran sebenarnya wajar dialami4. Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi remaja adalah menjalin hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis.

Remaja sebagai pelaku juga memaknai pacaran dengan beragam makna. Diantaranya: 1). Masa mengenal pasangan namun yang terjadi sekarang adalah ajang pelampiasan nafsu. 2). Suatu jalinan hubungan antara dua individu (laki-laki & perempuan) yang saling suka dan memiliki perasaan sama. 3). Taaruf, proses pengenalan antar lawan jenis

3Kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam keadaaan anomie, yaitu sistem

sosial dimana tidak ada petunjuk atau pedoman tingkah laku- Kebiasaan- kebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba tidak beriaku lagi. Akibatnya terjadi individualisme, dimana individu-individu bertindak hanya menurut kepentingannya masing-masing dan tidak memperhatikan norma-norma. Keadaan anomie ini tentu tidak hanya berlaku terhadap anggota masyarakat dewasa, melainkan juga terhadap generasi muda- Salah satu bukti tentang adanya kondisi anomie di kalangan generasi muda adalah dalam segi kehidupan seksual, yaitu terjadinya pergaulan bebas.Norma-norna masyarakat dan nonna-nonna agama seharusnya mampu mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menjadi fiher terhadap terjadinya perilaku-perilaku negatif, termasuk perilaku seks bebas, namun dalam realitasnya teknologi komunikasi dan globalisasi telah menyebabkan masuknya bermacam-macam norma dan nilai- nilai baru yang berasal dari budaya luar. Dengan kata lain norma masyarakat dan norma agama kita telah tergeser oleh norma dan nilai-nilai baru dari budaya luar yang memicu terjadinya perilaku seks bebas.

4Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia (Hadi,2010).

(17)

yang dianggap spesial. 4). Rasa kasih saying dimana masing-masing pasangan tidak merasa dirugikan tidak ada pengorbanan tapi sebuah pengertian. 5). Suatu tahap pengenalan sebelum tahap pernikahan. 6). Hubungan antar lawan jenis yang belum ada ikatan apa-apa namun masing-masing merasa saling dekat dan nyaman. 7). Mengenal lebih dalam kepada seseorang dan mengaplikasikan rasa saying kepadanya untuk mengenalnya lebih jauh lagi serta untuk mencari orang yang tepat. 8). Hubungan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan yang saling menyayangi. 9). Kegiatan yang mengasyikan. 10). Suatu bentuk hubungan antara lawan jenis untuk saling mengenal dan mendalami karakter masing-masing. Dalam hubungan tersebut harus ada saling percaya, jujur, memahami, dan bertanggungjawab. 11). Laki-laki dan perempuan yang mengikat komitmen untuk membina hubungan khusus berdasar pada cinta, dan hubungan ini landasan mereka untuk menikah. 12). Suatu yang bisa membuat semangat belajar, tempat curhat dan saling berbagi.

Ada banyak alasan yang menyebabkan remaja5 akhirnya memutuskan untuk pacaran. Tapi sering kali alasan-alasan itu demi memuaskan kebutuhan pribadi. Seperti, buat teman curhat, gaul, atau supaya ada yang memperhatikan. Melalui ajang pacaran, remaja bisa mengasah kemampuan bersosialisasi. Remaja jadi tahu bahwa jujur pada pasangan itu penting. Hubungan kasih sayang juga semakin terjaga saat saling memberi saran dan bukan menyalahkan. Kemampuan bernegosiasi untuk menyelesaikan konflik sama pacar pun bermanfaat buat melanggengkan hubungan. Lebih jauh lagi, melalui pacaran remaja bisa belajar menolerir perbedaan pendapat. Semua ilmu yang berhasil dipetik dari masa pacaran itu sangat berguna. Terutama buat bekal memasuki dunia pernikahan. Tidak heran, banyak di antara remaja yang memperbanyak koleksi mantan pacar supaya memperdalam ilmu pacaran.

5Fase usia remaja merupakan masa dimana manusia sedang mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik secara fisik, psikis dan sosial. Perkembangan secara fisik ditandai dengan semakin matang dan mulai berfungsinya organ-organ tubuh, termasuk organ reproduksinya. Secara psikis, lebih pada perhatian pada diri sendiri dan juga ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya dengan menjaga penampilannya. Secara sosial ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan dengan orang tuanya, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas luar dengan jalan interaksi sosial yang dilakukannya melalui pergaulan dengan sebaya maupun masyarakat luas. Pada masa ini pula, ketertarikan dengan lawan jenis juga mulai muncul dan berkembang. Rasa ketertarikan pada remaja kemudian muncul dalam bentuk misalnya berpacaran di antara mereka. Namun karena minimnya informasi yang benar mengenai pacaran yang sehat, maka terkadang tidak sedikit dari remaja saat berpacaran unsur nafsu seksual menjadi unsur dominan. Jenis perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja dalam berpacaran biasanya bertahap mulai dari timbulnya perasaan saling tertarik yang kemudian diikuti oleh kencan, bercumbu dan akhirnya melakukan hubungan seksual

Salah satu alasan remaja gonta-ganti pacar adalah buat gaya. Fenomena ini sering terjadi di kalangan cowok. Alasan lain yang membuat remaja gampang cari pacar baru adalah kecenderungan playful saat pacaran. Remaja belum mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. Ini berakibat, ketika salah satu pasangan terlihat serius, pasangan yang tidak siap, langsung pergi. Maka, tinggallah si pasangan yang jengkel karena ditinggalkan. Ada pula alasan klasik yang sering dipakai untuk mengakhiri hubungan: Tidak cocok sama pasangan. Jalur memutuskan hubungan memang yang paling gampang diambil. Tapi, cara ini justru mengesankan kita sebagai sosok egois yang malas cari solusi. Lebih baik, mencoba suatu solusi dulu sebelum ambil langkah putus.

Sisi negatif lain yang muncul karena pacaran adalah keterbatasan waktu bergaul. Terutama, teman yang berasal dari lawan jenis. Maklum, pacar suka keberatan kalau terlalu dekat sama lawan jenis lain. Terus, dia juga tidak menerima jika pasangan lebih banyak bergaul sama teman-teman hingga menelantarkannya. Selain itu, ada efek buruk lain. Efek ini jadi alasan yang kerap menjadikan orang tua melarang remaja berpacaran, yaitu terjerumus seks bebas. Kemungkinan terjerumus juga makin besar karena remaja dipengaruhi gejolak hormon seksual. Keberadaan pacar di samping kita dijadikan kesempatan untuk eksplorasi seksual6. Tanpa disadari, keintiman fisik antara remaja berlawanan jenis semakin meningkat dan meningkat. Padahal, belum tentu mereka siap menghadapi konsekuensinya. Seperti, hamil di luar nikah atau ketularan penyakit kelamin (Mulamawitri, 2003).

Ketertarikan terhadap lawan jenis adalah kunci utama dalam pacaran. Sebab hal inilah yang menciptakan getar getar dalam hati untuk lebih dekat dan mengetahui siapa dia, walaupun terkadang ketertarikan itu berkonotasi negatif, tetapi hal inilah yang tetap menjadi kunci utama pacaran. Banyak tempat yang dapat dijadikan sarana untuk ngobrol berdua, yang jelas orang lain tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan. Salah satu alternatif adalah mencari tempat yang sepi untuk

(18)

mengekspresikan diri. Bisa mojok di taman, tempat rekreasi, atau bahkan di kamar kos. Disaat berduaan di tempat sepi inilah secara tidak langsung nafsu mulai menampakkan diri. Hal wajar mengingat manusia diberi karunia nafsu, rasa ingin tahu, dan tidak mudah puas tetapi menjadi tidak wajar ketika manusia sudah tidak bisa mengendalikan karunia tersebut. Dengan segala skenario dan cara, nafsu mulai merasuki pikiran. Mendominasi atas akal sehat yang dimiliki. Menghalalkan segala cara demi memuaskan rasa hausnya. Hari ini berpelukan, besok kissing, minggu depan petting dan ujung-ujungnya 7 dari 10 wanita yang belum menikah sudah tidak perwan lagi7. Parahnya, ketika nafsu sudah mengusai dan menjadi kebiasaan, tempat tidak jadi masalah. Mulai hotel yang berbintang, losmen kelas melati, kamar kos ataupun pinggir kali asal orang lain tidak mengetahui tidak jadi masalah.

Realitas tersebut apabila dibandingkan dengan model pacaran pada masa yang lampau tentu terjadi perbedaan yang tajam. Berdasarkan beberapa riset, perbedaan tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:

Indikator Remaja era

2009-sekarang Remaja Era 1960-an

Aktivitas

Pacaran Ngobrol Dianggab berpacaran tidak Cara mengenal pasangan untuk sebelum menikah Memegang

tangan Biasa Tabu namun ada yang

melakukannya

Berpelukan Biasa dilakukan Tidak dilakukan

(tabu)

7Berikut adalah testimoni pelajar kelas 3 sebuah SMA di Jakarta Timur.

“Sekarang gue lagi jomblo. Sudah dua tahun putus. Sakit juga! Habis pacaran empat tahun, dan sudah kayak suami-istri. Dulu, tiap kali ketemu, gejolak seks muncul begitu saja. Terus ML (making love) deh. Biasanya kita lakuin kegiatan itu di hotel. Kadang di rumah, kalau orang rumah lagi pergi semua. Kalau rumah nggak lagi sepi ya paling cuma berani ciuman dan raba sana-sini. Buat gue, semua itu biasa. Gue nglakuinnya karena merasa yakin doi bakal jadi suami gue. Gue nggak takut dosa. Kan kita sama-sama mau, jadi nggak ada paksaan. Dosa terjadi kan kalau ada paksaaan. Gitu menurut gue! Waktu putus, gue nggak nyesel sudah nglakuin itu, habis, mau gimana lagi! Santai saja! Tentang pendidikan seks, gue nggak pernah terima dari orangtua. Paling dari teman, majalah, buku, atau film” Itulah penuturan Neila (samaran), Tanpa beban, remaja manis bertubuh mungil ini menceritakan pengalamannya. Ia dan sang kekasih tahu harus melakukan apa supaya hubungan seks pranikah itu tidak membuatnya hamil. Sampai saat ini, Neila yakin orangtuanya sama sekali tidak tahu perilaku putri keduanya itu. ”Gue nggak bakal ceritalah, bisa mati mendadak mereka. Teman malah ada yang tahu, tentu saja yang punya pengalaman sama,” katanya sambil memilin-milin rambutnya.

Mencium

pipi/kening Biasa dilakukan Tidak (tabu) dilakukan Mencium

bibir Aktivitas wajib Tidak dilakukan

Mencium

(19)

Frekuensi

bertemu Hampir setiap hari, komunikasi melalui HP adalah wajib

untuk menjaga

hubungan

Rata-rata setiap malam minggu

Beberapa hasil penelitian menunjukan data yang mencengangkan, di berbagai kota (baik kota besar atau kecil) menunjukan eskalasi perubahan tingkah laku seksualitas remaja. Synovate Research tahun 2004 melakukan survey tentang perilaku seksual remaja di 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan dengan jumlah responden 450 orang dengan kisaran usia 15-24 tahun. (vivanews.com). Hasil penelitian menunjukan sekitar 65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% dari responden remaja mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuannya. Pengalaman berhubungan seks dimulai sejak usia 16 -18 tahun sebanyak 44%, sementara 16% melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun. Selain itu, rumah menjadi tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya, mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%).

Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) pada tahun 2002 melakukan survey tentang virginitas mahasiswi di Yogyakarta. Lembaga ini melaporkan telah melakukan survei terhadap 1.660 responden mahasiswi dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, antara Juli 1999 sampai Juli 2002. Hasil survey tersebut menyatakan bahwa 97,5 persen dari responden mengaku telah kehilangan virginitasnya. Sementara itu, dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya juga mengemukakan penelitian serupa. Dari angket yang disebarkan pada bulan April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, ternyata 40 persen mahasiswa pria telah melakukan hubungan seks pra nikah.

Data dari BKKBN menunjukan pola perilaku seks mahasiswa di daerah Jawa tengah berikut data-datanya.

Base Line Survey Perilaku Sex Mahasiswa

Pilar-PKBI Jawa Tengah pada April 2000 Responden: Pria 64 dan Wanita 63

No Aktifitas Pacaran Jumlah Persen

1 Ngobrol 127 100%

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan pada studi simulasi ini adalah melakukan survey pada penjual bubur ayam street food dengan cara wawancara, pembuatan bubur ayam, perlakuan sebelum bubur

Terhadap berbagai upaya yang bisa dilakukan dalam mewujudkan pelokalan kebijakan HAM di daerah sebagaimana telah disebutkan di atas, maka terhadap perlindungan, pemajuan,

Metode yang diterapkan yaitu penyampaian materi Mathmagic yang dilakukan selama dua jam, pada awal kegiatan akan dibagikan pre test untuk mengetahui cara siswa dalam

Analisis komponen utama (AKU) terhadap rataan spektrum inframerah yang dihasilkan dari kombinasi segitiga kisi 6 ekstrak SDSBL menghasilkan jumlah proporsi kumulatif KU 1 dan KU

Kuntowijoyo (dalam Dudung Abdurahman, 2007 hlm. 73) mengemukakan interpretasi sejarah atau yang biasa disebut dengan analisis sejarah merupakan tahap dimana

Jika konsumen sudah terbiasa dengan kemudahan yang diberikan, maka secara tidak langsung produk atau layanan startup akan menjadi bagian dari kehidupan konsumen.. Makin luas produk

Hasil penelitian di Kabupaten Pangkep membuktikan bahwa dengan pemberian taburia, dapat meningkatkan asupan makan dan perubahan berat badan menunjukkan Range atau

Melakukan pengujian data dengan menggunakan metode Paired Sample T Test pada variabel rata-rata Trading Volume Activity saham untuk mengetahui apakah peristiwa