• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARMONISASI HUKUM DALAM PENYELESAIAN SEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HARMONISASI HUKUM DALAM PENYELESAIAN SEN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HARMONISASI HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

MELALUI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG (PERMA)

M. Isna Wahyudi, S.HI, M.SI

Abstract

This article tries to discuss the need of law harmonization in supporting Religious Courts as the sole jurisdiction to settle sharia economic disputes. Such harmonization is urgent to complete regulation related to sharia economic dispute settlement at Religious Courts including jusrisdiction on Basyarnas’ decision, execution of guarantee right certificate, and act against the law related to sharia economic cases. The author offers the way to fulfill such regulations through Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) that operates as lex specialis. In this way, Supreme Court could provide legal certainty to public and support the development of sharia finance industry in Indonesia.

I. Pendahuluan

Untuk menjamin keberlangsungan perbankan syariah, secara khusus, dan

industri keuangan syariah secara umum, diperlukan pranata hukum yang jelas dan

lengkap, termasuk dalam hal penyelesaian sengketa di pengadilan. Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 yang

menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, telah

mengakhiri dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur

litigasi dengan meneguhkan Peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga yang

berwenang. Putusan tersebut merupakan langkah awal dalam mendukung

perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia dalam hal menyediakan

kepastian hukum dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Pasca putusan tersebut mendesak dilakukan harmonisasi hukum terkait

penyelesaian sengketa ekonomi syariah, untuk mewujudkan keselarasan,

keserasian, kesesuaian terkait penyelesaian sengketa ekonomi syariah di

(2)

perundang-undangan lainnya sebagai bagian dari suatu sistem hukum yang

integral. Dengan cara tersebut diharapkan tidak ada lagi kepincangan yang dialami

oleh pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang

ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang tidak selaras.

Tulisan ini berusaha mengkaji masalah harmonisasi hukum terkait

penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan. Tulisan ini diawali dengan

pembahasan tentang harmonisasi hukum, Peraturan Mahkamah Agung,

harmonisasi hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di pengadilan,

dan diakhiri dengan kesimpulan.

II. Pembahasan

A. Harmonisasi hukum

Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Depkumham, harmonisasi

hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian

(penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada

nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, dan yuridis. Pengertian hukum dalam

istilah harmonisasi hukum memberikan makna yang luas, oleh karena itu dalam

makalah ini pengertian hukum lebih dibatasi pada pengertian

peraturan-perundang-undangan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan harmonisasi

hukum dalam makalah ini adalah harmonisasi peraturan perundang-undangan

yaitu proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan

sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai

tujuan hukum.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua

jenis, yaitu vertikal dan horisontal. Pembagian tersebut didasarkan pada

kedudukan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lain. Harmonisasi vertikal adalah harmonisasi antara

peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam

hierarki yang berbeda. Sementara harmonisasi horisontal adalah harmonisasi

antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain

(3)

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan berlaku

asas-asas sesuai dengan jenis harmonisasi. Asas yang berlaku dalam harmonisasi

vertikal adalah lex superiori derogat legi inferiori, yang berarti peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah. Sedangkan dalam harmonisasi horisontal

berlaku asas lex posterior derogat legi priori yang artinya peraturan undangan yang baru mengesampingkan/mengalahkan peraturan

perundang-undangan yang lama, dan asas lex specialist derogat legi generalist yang artinya

suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat

umum.

Apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat diajukan uji materi

(judicial review) terhadap Undang-Undang tersebut kepada lembaga yang

berwenang yaitu Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam hal suatu peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan Undang-Undang,

dapat diajukan judicial reviewke Mahkamah Agung.

Harmonisasi hukum sebagaimana telah dijelaskan secara singkat di atas,

secara umum dilakukan ketika terjadi pertentangan antara suatu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik

(4)

Namun demikian, sesuai dengan maknanya yaitu proses penyerasian dan

penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai suatu bagian integral

atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum, harmonisasi

hukum dapat dilakukan dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan yang

tidak integral, tidak sesuai dengan sistem hukum (baca sistem peradilan) yang

berlaku sehingga menimbulkan kepincangan dan ketidakpastian hukum dalam

penyelesaian suatu sengketa di pengadilan. Contoh dalam kasus ini akan dibahas

dalam sub bab tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam

penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Peraturan Mahkamah Agung.

B. Peraturan Mahkamah Agung

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) merupakan jenis peraturan

perundang-undangan selain yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun

2011, diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.

Kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat PERMA diatur dalam

Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu

“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi

kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup

diatur dalam Undang-undang ini.” Penjelasan dari Pasal 79 UU No. 14 Tahun

1985 adalah sebagai berikut:

“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau

kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang

membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan

atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah

Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara

penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam

Undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh

pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang

(5)

hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah

Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang

hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula

mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya

atau-pun pembagian beban pembuktian.”

Dengan demikian, fungsi PERMA adalah untuk mengisi kekurangan atau

kekosongan undang-undang dalam menjalankan praktik peradilan untuk

menghindari disparitas dalam memberikan keadilan yang menyebabkan kepastian

hukum tidak terwujud. PERMA pada dasarnya adalah bentuk peraturan yang

berisi ketentuan bersifat hukum acara. PERMA merupakan peraturan yang

bersifat khusus sehingga tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis.

C. Harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui PERMA

Sejak Pengadilan Agama memiliki kewenangan terhadap sengketa

ekonomi syariah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah pada 16 Juli 2008, Mahkamah Agung telah melakukan harmonisasi

terkait kewenangan terhadap putusan Basyarnas.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun

2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang

dikeluarkan pada 10 Oktober 2008 oleh Ketua MA pada saat itu, Bagir Manan,

eksekusi putusan Basyarnas menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Satu hal

yang perlu dicatat di sini adalah mengapa ketentuan yang berisi peraturan

dituangkan dalam bentuk SEMA bukan PERMA. Ini merupakan salah satu kritik

yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie, surat edaran yang materinya bersifat

pengaturan. Menurutnya, jika materinya berisi peraturan, sebaiknya bentuk

produk hukumnya adalah peraturan.

Dalam perkembangannya, berdasarkan SEMA Nomor 8 Tahun 2010 yang

dikeluarkan oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong pada

20 Mei 2010, SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dinyatakan tidak berlaku dan

(6)

Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 59 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam hal para pihak tidak

melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan

berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak

yang bersengketa. Perlu dicatat bahwa SEMA Nomor 8 Tahun 2010 ini

dikeluarkan ketika masih ada dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah

secara litigasi sebagai akibat dari Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun

2008.

Namun, sejak putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus

2013 yang mengakhiri dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah secara

litigasi, dan Pengadilan Agama sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang,

hingga saat ini belum ada harmonisasi hukum terkait kewenangan terhadap

putusan Basyarnas yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Harmonisasi ketentuan tersebut untuk menghindari adanya ketentuan

peraturan perundangan-undangan yang tidak integratif dalam sebuah sistem hukum

dan menimbulkan proses penyelesaian perkara yang tidak sederhana serta

menimbulkan ketidakpastian hukum. Melalui interpretasi sistematis, jika

kewenangan mengadili sengketa perbankan syariah melalui litigasi merupakan

kewenangan absolut Peradilan Agama, maka Peradilan Agama yang berwenang

untuk melakukan eksekusi maupun pembatalan terhadap putusan Basyarnas.

Selain terkait dengan ketentuan yang mengatur kewenangan eksekusi

putusan Basyarnas, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum lain terkait

penyelesaian sengketa perbankan syariah yang memerlukan harmonisasi.

Pertama, eksekusi sertifikat hak tanggungan. Menurut Penjelasan Umum nomor 9 dan penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan, yang dimaksud peraturan mengenai eksekusi sertifikat hak

tanggungan adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 HIR dan 258

RBg, dalam mana pengadilan yang berwenang adalah pengadilan negeri.

Ketentuan yang demikian ini perlu diselaraskan sehingga eksekusi sertifikat hak

tanggungan yang terkait dengan perkara bidang ekonomi syariah menjadi

(7)

Kedua, kewenangan terhadap gugatan perbuatan melawan hukum terkait ekonomi syariah. Berdasarkan Penjelasan Pasal 50 ayat 2 Undang-Undang No. 3

Tahun 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk sekaligus

memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek

sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subyek sengketa antara orang-orang

yang beragama Islam. Hal demikian untuk menghindari upaya memperlambat

atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan ada sengketa milik atau

keperdataan lain.

Dari penjelasan Pasal di atas, dapat dipahami bahwa alasan hukum (‘illat)

Pasal 50 ayat 2 UU No. 3 Tahun 2006 adalah untuk menghindari upaya

memperlambat penyelesaian sengketa dan hal ini sesuai dengan asas sederhana,

cepat, dan biaya ringan. Bagaimana dengan perbuatan melawan hukum dalam

sengketa ekonomi syariah?

Jika dikaji dari segi ‘illat hukum, apakah ketentuan Pasal 50 ayat 2 UU

No. 3 Tahun 2006 dapat dijadikan dasar hukum (melalui metode analogi) bagi

kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus perkara perbuatan melawan

hukum dalam sengketa ekonomi syariah? Apakah ada ‘illat hukum yang sama,

yaitu menghindari upaya memperlambat penyelesaian sengketa?

Jika hanya dilihat dari segi spesies ‘illat, yaitu menghindari upaya

memperlambat penyelesaian sengketa, maka ‘illat tersebut tidak dapat diterapkan

dalam penyelesaian gugatan perbuatan melawan hukum terkait ekonomi syariah

oleh Pengadilan Agama, karena penyelesaian kasus serupa di Peradilan Umum

pun tidak mengandung unsur upaya memperlambat penyelesaian sengketa,

terlebih terdapat yusrisprudensi MA RI, yaitu Putusan Nomor 1875/K/Pdt/1984

tanggal 24 April 1986 yang intinya antara perbuatan melawan hukum dan

wanprestasi tidak dapat digabung dan harus diperiksa secara terpisah.

Namun demikian, jika ditinjau dari asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

sebagai genus ‘illat, karena sistem peradilan yang berlaku menempatkan

Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang berwenang menangani sengketa

ekonomi syariah, dan agar prosedur berperkara sesuai dengan asas sederhana,

(8)

terkait ekonomi syariah perlu dipadukan di bawah kewenangan Pengadilan

Agama.

Kemudian bagaimana dengan masalah hukum materiil tentang perbuatan

melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1356 KUH Perdata dan seterusnya yang

belum diatur dalam KHES. Yang menjadi persoalan adalah dapatkah KUH

Perdata yang mengatur perbuatan melawan hukum dijadikan sebagai sumber

hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama. Dalam masalah ini, selama

belum ada lex specialis dalam masalah tersebut, maka ketentuan dalam KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum tetap berlaku selama tidak

bertentangan dengan syariah.

Apakah perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata sesuai dengan

syariah dapat dikaji dengan menggunakan teori penjenjangan norma-norma

hukum Islam, yang secara hierarki mencakup tiga tingkatan, pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah) yaitu norma-norma-norma-norma

abstrak yang merupakan nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti

kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan, akidah, dan

ajaran-ajaran pokok dalam etika Islam (akhlak). Kedua, norma-norma tengah, yang terletak antara dan sekaligus menjembatani nilai-nilai dasar dengan peraturan

hukum konkret. Norma-norma tengah ini dalam ilmu hukum Islam merupakan

doktrin-doktrin (asas-asas) umum hukum Islam, dan secara konkret dibedakan

menjadi dua macam, yaitu asas-asas hukum Islam dan kaidah-kaidah hukum

Islam. Ketiga, peraturan-peraturan hukum konkret.

Berdasarkan teori di atas, norma dasar/nilai filosofis keadilan

diejawantahkan dalam norma tengah yang berupa kaidah fikih “kerugian

dihilangkan (ad-dararu yuzalu),” dan norma tengah atau doktrin umum ini

dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret yaitu perbuatan

melawan hukum, yang menghukum orang karena perbuatannya yang merugikan

orang lain untuk mengganti kerugian orang lain akibat perbuatannya tersebut

sebagai mana diatur Pasal 1365 KUH Perdata. Ketentuan itu juga sesuai dengan

(9)

dalam KUH Perdata dapat dijadikan sumber hukum materiil bagi hakim-hakim

Pengadilan Agama, karena secara substantif tidak bertentangan dengan syariah.

Berbagai aturan hukum terkait penyelesaian sengketa ekonomi syariah

yang memerlukan harmonisasi di atas perlu diwujudkan dalam bentuk PERMA.

Perumusan aturan-aturan hukum tersebut dalam bentuk PERMA dapat memenuhi

kebutuhan yang bersifat mendesak terhadap pranata hukum yang lengkap dan

jelas yang bermuara pada kepastian hukum dan asas sederhana, cepat, dan biaya

ringan bagi para pencari keadilan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah

di Indonesia.

III. Kesimpulan

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan penyelesaian

sengketa perbankan syariah secara litigasi hanya di pengadilan agama, yang

mendesak untuk dilakukan adalah melakukan harmonisasi hukum untuk

melengkapi pranata hukum terkait penyelesaian sengketa ekonomi syariah di

Pengadilan Agama. Di antara aturan hukum tersebut adalah terkait kewenangan

terhadap putusan Basyarnas, kewenangan eksekusi sertifikat hak tanggungan

dalam perkara ekonomi syariah, dan kewenangan terhadap gugatan perbuatan

melawan hukum perkara ekonomi syariah. Karena sifatnya yang mendesak, maka

Mahkamah Agung dapat menuangkan aturan-aturan hukum tersebut dalam bentuk

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang berfungsi sebagai lex spesialist.

Melalui cara tersebut diharapkan tidak ada lagi kepincangan yang dialami

oleh pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang

ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang tidak selaras, dan mampu

mendukung perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia dalam hal

menyediakan kepastian hukum dalam proses penyelesaian sengketa perbankan

(10)

Daftar Pustaka Buku

Nugroho, Setio Sapto, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, makalah, 2009.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Majalah

Peradilan Agama, Edisi ke-3, Des 2013 – Feb 2014.

Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI,

2004.

Anwar, Syamsul, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam

Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Djogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.

Peraturan perundang-undangan UU No. 12 Tahun 2011

UU No. 3 Tahun 2009

UU No. 30 Tahun 1999

UU No. 14 Tahun 1985

UU No. 48 Tahun 2009

UU No. 21 Tahun 2008

UU No. 4 Tahun 1996

KUH Perdata

(11)

SEMA No. 8 Tahun 2008

SEMA No. 8 Tahun 2010

Putusan

Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, terbukti bahwa responden merasakan manfaat dari hasil kunjungan mereka ke Lippo Mall Kuta yang memiliki kualitas yang baik dengan adanya Merchandise, Atmosfer

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel kering akar gantung Hornstedtia scyphifera var fusiformis Holttum, pelarut teknis yang telah didistilasi yaitu

elaborasinya dimulai dari fakta bahwa al-Qur’an adalah suara sebelum tulisan; ia turun berbentuk suara (nazala nuz ūlan ṣautiyyan) sebelum dilambangkan dalam bentuk tulisan.

Dari empat kasus MCF dari Kabupaten Banyuwangi tersebut, telah berhasil diperoleh tiga biakan sel lestari limfoblastoid dari kerbau yaitu LCL BWK-120 dan LCL BWK-28 dan dari sapi

Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dengan cara memaparkan dan menggambarkan tentang

Paparan data berisi tentang informasi yang dihasilkan oleh peneliti dari kegiatan pengolahan atau analisis data yang telah dikumpulkan dari pengukuran dari tes, angket, dan hasil

Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, maka Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung

Hasil dari dakwah ekonomi umat pada Pesantren Shiddiqiyyah yakni memberi santunan kepada mereka yang tidak berkecupan dalam pemenuhan biaya kebutuhan hidup seperti orang