TARIKH, TARJAMAH, DAN SIRAH: APA DAN BAGAIMANA
Oleh Rimbun Natamarga
Bagi sebagian orang, terdapat beda nyata antara istilah tarikh, tarjamah, dan sirah. Di sini, kita akan sedikit membahas tentang beda ketiga istilah itu.
Tarikh, dalam bahasa Indonesia, dibahasakan sebagai kronik. Orang yang menulis kronik disebut chronicler atau pencatat waktu.
Biasanya, suatu pemerintahan akan menugaskan secara khusus seorang pencatat waktu yang akan selalu mencatat kejadiankejadian penting terkait pemerintahan itu. Seorang khalifah, sultan atau raja, seperti yang kita temukan dalam bukubuku sejarah, selalu saja memiliki orangorang yang biasa disebut dengan sejarawan istana.
Dalam kasuskasus tertentu, dan juga karena sejarawansejarawan istana itu adalah pakar dalam satu atau beberapa bidang pengetahuan seperti bahasa dan sastra atau pengobatan dan pengetahuan eksak serta yang lainnya, mereka disebut juga sebagai pujanggapujangga istana atau pujanggapujangga keraton. Untuk contoh sederhana, sebagian masyarakat kita mengenal Mpu Prapanca sebagai pujangga istana zaman Majapahit dan Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir keraton Jawa. Mereka berdua menuliskan kejadiankejadian penting untuk rajaraja mereka.
Dalam prakteknya, pencatat waktu itu akan mencatat peristiwaperistiwa yang ada secara berurutan. Hasil kerjanya adalah sebuah kronologi, semacam daftar kejadian.
Sering kali pula, antara satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya tidak terkait. Bahkan, akan tidak tampak sebuah kisah atau cerita dalam sebuah kronik. Dari sudut pandang peneliti sejarah, kronik masih teranggap sebagai bahan “mentah” yang perlu diolah lebih jauh.
Bisa dikatakan, tarikh seperti itu pula. Biasanya, dalam sebuah karya tarikh, penyusun akan mengurutkan kejadian demi kejadian sesuai urutan waktu.
Ia tidak tertalu peduli pada kisah atau cerita yang terbangun. Pada tahun sekian Hijriah, misalnya, terjadi hujan kodok dari langit. Pada tahun berikutnya, Khalifah Fulan yang agung meninggaldunia setelah sakit berharihari. Untuk mengawali entri, sering hanya dijuduli dengan PeristiwaPeristiwa pada Tahun KeSekian Hijriah.
Dalam karyakarya berbahasa Arab, orangorang yang menyusun tarikh disebut sebagai muarrikh. Istilah muarrikh, sayangnya, sering kita bahasakan sebagai ahli sejarah atau sejarawan.
Berbeda dengan tarikh adalah tarjamah. Dalam bahasa kita, kata yang pas untuk membahasakan tarjamah adalah profil atau riwayat keberadaan (baca: riwayat hidup).
Meski demikian, tarjamah juga diperuntukkan pada sesuatu yang bukan personal. Terkadang kita justru menemukan tarjamahtarjamah yang tulen sebagai tarikh, lebih banyak mengedepankan uraian singkat sejumlah peristiwa penting.
Berbeda dengan sirah. Istilah sirah tidak akan cukup untuk dimaknai dengan riwayat hidup. Sirah lebih tepat dibahasakan sebagai biografi, sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari kata biography, tulisan tentang perjalanan hidup seseorang.
Bagi sebagian orang, biografi dibedakan dari otobiografi (autobiography). Sebuah biografi, biasanya, disusun dan ditulis oleh orang lain, bukan tokoh yang perjalanan hidupnya diangkat dalam biografi itu. Adapun otobiografi, tokoh yang perjalanan hidupnya diangkat itulah yang menyusun dan menuliskannya.
Otobiografi sendiri ternyata berbeda dengan apa yang disebut sebagai memoar, meskipun banyak orang yang mencampuradukkan antara keduanya. Dalam sebuah otobiografi, yang menjadi sentral, titikpusat, segala kejadian adalah pribadi si penulis sendiri dengan seluruh perjalanan hidupnya. Sementara itu, memoar lebih memberikan perhatian pada kejadiankejadian di sekitar dan di luar diri penulisnya.
Di tengah masyarakat umum sekarang, biografi atau otobiografi sudah dibedakan dari tulisan sejarah. Menurut mereka, biografi menjadikan individu atau tokoh yang dikisahkan itu sebagai perhatian utama, sedangkan tulisan sejarah menjadikan masyarakat sebagai sasaran perhatiannya.
Demikian dari sudut pelaku. Dalam biografi, sang tokoh yang diperlakukan sebagai seorang aktor sejarah adalah segalagalanya; sang tokohlah yang jadi pusat perhatian. Berbeda dengan itu, dalam tulisan sejarah, manusia yang berupa kumpulankumpulan individu yang menjadi unsur utama dalam sejarah diperlakukan sebagai bagian dari dinamika sosial. Artinya, tulisan sejarah menyorot dinamika, perubahan, yang terjadi di masyarakat.
Karena itulah, untuk memahami dan mendalami kehidupan sang tokoh, seorang penyusun biografi dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang latar belakang, lingkungan sosialbudaya tempat sang tokoh hidup dan berproses, watak orangorang yang hidup di sekitar sang tokoh, bahkan, mungkin juga, pengetahuan tentang proses pendidikan yang diterima dan dilalui oleh sang tokoh selama hidupnya. Artinya, menulis biografi bukan sesuatu yang sepele, terlebih lagi jika sang tokoh yang diangkat adalah pribadipribadi seperti nabinabi Allah.
Adapun sejarah atau history (Inggris), historia (Latin dan Yunani), geschite (Jerman), geschieden (Belanda), pada asalnya, memiliki arti cerita tentang peristiwa dan kejadian masa lampau. Kata sejarah sendiri berasal dari sebuah kata dalam bahasa Arab, syajarah yang berarti pohon.
Kembali ke sirah, riwayat penulisan sirah Rasulullah atau sirah nabawiyyah di tengah kaum muslimin tergolong cukup tua. Bisa dikatakan hampir setua riwayat penulisan dan pembukuan haditshadits Rasulullah. Bahkan, penulisan sirah itu sendiri muncul dari tengahtengah para pencari hadits pada abad pertama dan kedua Hijriah.
Di tengah kaum muslimin, orangorang yang dianggap sebagai penyusun karya sirah pertama kali adalah Urwah bin AzZubair bin Al‘Awwam, Aban bin Utsman bin ‘Affan, Wahb bin Munabbih, Syarahbil bin Sa’ad, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri, dan Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm. Bagaimana pun, di tengah kita, mereka yang disebut lebih dikenal sebagai ulamaulama ahlul hadits yang mencari, mengumpulkan dan menyampaikan riwayatriwayat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barulah, setelah generasi mereka, muncul orangorang yang dikatakan menyusun secara khusus riwayatriwayat tentang perjalanan hidup Rasulullah atau kejadiankejadian penting semasa hidup Rasulullah. Di antara mereka, yang patut dicatat di sini adalah Musa bin Uqbah, Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Hisyam.
Musa bin Uqbah adalah salah seorang murid Muhammad bin Muslim bin Syihab AzZuhri. Karyanya yang terkenal adalah AlMaghazi atau sering juga disebut AlMaghazi Musa bin Uqbah.
Karya tersebut mengumpulkan riwayatriwayat tentang peperangan. Imam Malik dan Imam AsySyafi’i diketahui pernah memuji AlMaghazi milik Musa bin Uqbah itu.
Demikian pula AdzDzahabi. AlMaghazi Musa bin Uqbah itu hanya satu jilid dan pernah dikaji oleh AdzDzahabi. Akan tetapi, menurut AdzDzahabi, “kitab itu memerlukan keterangan tambahan dan pelengkappelengkap lainnya.”
Muhammad bin Ishaq bin Yasar mawla Qais lebih dikenal dengan Ibnu Ishaq. Kakeknya, Yasar, termasuk salah seorang tawanan pada masa pemerintahan Abu Bakar AshShiddiq. Ditawan, ia kemudian dibawa ke Madinah dan menurunkan anak keturunannya di sana.
Semasa muda, Ibnu Ishaq menghabiskan waktunya untuk mencari haditshadits ke sejumlah tempat. Kotakota di Mesir, Irak, dan Khurasan pernah ia singgahi untuk hadir dalam majelismajelis ahlul hadits setempat.
Tempat persinggahan terakhir Ibnu Ishaq adalah Baghdad, Irak. Di kota itulah, ia meninggaldunia pada 152 H.
Karyanya yang terkenal adalah Sirah Ibn Ishaq. Karya ini ditulis pada masa pemerintahan Khalifah AlMansur dari Bani Abbasiyah. Di tengah kita, karya itu sampai dalam rupa Sirah Ibn Hisyam yang tidak lebih dari ringkasan atas Sirah Ibn Ishaq.
Ibnu Hisyam meriwayatkan kitab Sirah Ibn Ishaq dari Ziyad bin Abdil Malik Al Bakka`i AlKufi. Berbeda dari orangorang yang meriwayatkan karya itu, Ibnu Hisyam mengadakan kritik dan merapikan karya Ibnu Ishaq sebelum disampaikan kembali kepada khalayak.
Ibnu Hisyam sendiri adalah Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub AlHimyari. Ia dibesarkan di kota Bashrah, Irak. Setelah itu, ia pergi dan tinggal di Mesir. Di sana, ia sempat bertemu dengan Imam AsySyafi’i. Pada 218, Ibnu Hisyam meninggaldunia di kota Fushthath, Mesir.
Di luar ringkasan Sirah Ibn Ishaq, Ibnu Hisyam juga mewariskan karya berupa ulasan terhadap kalimatkalimat rumit pada syairsyair yang ada dalam karyakarya sirah. Sirah Ibn Hisyam sendiri banyak mencantumkan untaianuntaian bait syair yang gampang membuat bosan pembacapembaca zaman sekarang.
Tidak mengherankan, jika Sirah Ibn Hisyam itu diringkas kembali oleh Abdus Salam Harun. Anak penulis karya Talkhis AdDurus AlAwwaliyah fi AsSirah AlMuhammadiyah ini membuang banyak uraianuraian yang tidak perlu dalam Sirah Ibn Hisyam, termasuk syair syair panjang. Terkumpulkan dalam satu jilid, ringkasan itu kemudian diterbitkan dengan judul Tahdzib Sirah Ibn Hisyam.
Setelah mereka, mulailah bermunculan karyakarya sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang tulen berisi sirah Rasulullah, ada juga yang menggabungkannya dengan peristiwaperistiwa lainnya sebagai sebuah karya tarikh.
Di antara yang patut disebutkan di sini adalah AthThabaqah AlKubra karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), Tarikh ArRusul wa AlMuluk karya Muhammad bin Jarir AthThabari (wafat tahun 310 H), AdDurar fi Ikhtishar AlMaghazi wa AsSiyar karya Ibnu Abdil Bar (wafat tahun 463 H), Jawami’ AsSirah karya Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H), AlKamil fi AthTarikh karya Ibnul Atsir AlJaziri (wafat tahun 632 H), Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad karya Ibnu Qayyim AlJauziyyah (wafat tahun 751 H), AsSirah AnNabawiyyah karya AdzDzahabi (wafat tahun 748 H), dan AlBidayah wa AnNihayah karya Ibnu Katsir (wafat tahun 774 H).
Dulu, salah seorang syaikh di Yaman pernah ditanya oleh seseorang, “Kitab sirah apa yang paling bagus untuk dibaca?”. Waktu itu, syaikh yang dimaksud menjawab, “Ar Rahiq AlMakhtum dan Mukhtashar Sirah Rasul.”
ArRahiq AlMakhtum: Bahtsun fi AsSirah AnNabawiyyah adalah karya Shafiyurrahman AlMubarakfuri. Sejatinya, karya itu berasal dari naskah dalam lomba penulisan sejarah hidup Rasulullah.
Memenangi perlombaan internasional itu, naskah tersebut digarap dan diterbitkan menjadi sebuah kitab tersendiri. Sampai hari ini, ArRahiq AlMakhtum telah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam berbagai bahasa serta dicetak berkalikali.
Dalam bahasa Indonesia, ArRahiq AlMakhtum telah diterbitkan oleh beberapa penerbit. Termasuk penerbit yang terakhir menerbitkan terjemahan ArRahiq AlMakhtum itu adalah salah satu lini penerbit milik Mizan.
Dalam permasalahan “ayatayat” setan, misalnya, Shafiyurrahman AlMubarakfuri seperti mencari cara yang tepat agar para pembaca tidak bertanyatanya lebih dalam. Dengan kalimatkalimat yang datar, dapat dikatakan, kebanyakan pembaca dibawa agar tidak mengetahui permasalahan itu, seperti tidak dibiarkan ada celah sekecil apapun untuk tahu masalah itu.
Permasalahan “ayatayat” setan menjadi bahan perselisihan di kalangan para ulama. Sebagian mereka menilai, riwayatriwayat tentang peristiwa itu tidak dapat diterima karena ada kecacatan dalam rantai periwayatnya. Sebagian yang lain justru menilai, riwayat riwayat tersebut dapat diterima.
Syaikh Muhammad Nashiruddin AlAlbani, salah seorang syaikh Salafi di Yordania, sampai pernah menulis sebuah risalah khusus tentang riwayatriwayat peristiwa “ayat ayat” setan itu. Risalah itu berjudul Nashb AlMajaniq li Nasfi Qishshah AlGharaniq.