BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah perkembangan manusia, manusia adalah makhluk yang
tidak dapat hidup sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa manusia dapat berpisah
dari kelompoknya dalam sementara waktu. Keadaan ini digambarkan dengan jelas
melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon75, yaitu bahwa
manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul
dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat.
Setiap manusia membutuhkan manusia lain. Salah satu kebutuhan hakiki
manusia adalah kebutuhan biologis yang menuntut manusia untuk saling
mencintai, memiliki pasangan hidup dan sekaligus melahirkan keturunan dari
pasangannya. Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan melalui perkawinan, selain
untuk kebutuhan biologis manusia, perkawinan juga bertujuan untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah dan penuh dengan cinta kasih, saling percaya dan penuh
rasa tanggung jawab sehinggan lahir dari keluarga itu keturunan yang baik dan
berkualitas yang akan melanjutkan estafet perjuangan orang tua.
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami
oleh hampir semua manusia di muka bumi ini walaupun ada beberapa di
antaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua
agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral,
75
harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang
tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki
jenjang perkawinan.
Sebagai negara hukum 76 Indonesia menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan berdasarkan dengan hukum. Setiap tingkah laku manusia yang
berhubungan dengan manusia lain dan mempunyai akibat hukum, diatur dengan
peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan demi tercapainya keadilan dan
ketertiban masyarakat.
Begitu pula dalam hal perkawinan. Keinginan masyarakat Indonesia
untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis ya ng isinya
merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di
dalam masyarakat tersebut, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum
perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Keinginan ini sudah muncul pada
masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada
masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru
dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan.
Indonesia mengatur masalah perkawinan secara tegas dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP).
Sebagai syarat dapat dilangsungkannya perkawinan, salah satunya adalah bahwa
76
perkawinan itu harus didasarkan atas persetujuan oleh kedua belah pihak (Pasal 6
UUP), hal ini dapat dilihat pada penjelasan Pasal 6 UUP Tahun 1974 yang
berbunyi :
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dari pasal ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang-undang-undang
ini.”
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 ayat (1)
menegaskan, penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam
bentuk pelaksanaan syariat Islam dan dipertegas melalui Undang-undang Nomor
18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darusalam selanjutnya
dipertegas kembali dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh telah memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan syariát
Islam di Aceh. Kehadiran kedua undang-undang ini telah membuka kesempatan
luas bagi masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariát Islam secara kaffah.
Pelaksanaan syariát Islam di Aceh sebetulnya bukanlah hal yang baru, karena
masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai aturan yang mengatur
prikehidupan sehari-hari.77 Kesepakatan pelaksanaan syari’at Islam di Provinsi
Aceh diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariát
Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
77
Pelaksanaan syariát Islam diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga norma agama harus dihormati dan dipatuhi, termasuk bagi perbuatan
khalwat78yang bertentangan dengan syari’at Islam. Berkaitan dengan khalwat
Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
khalwat/mesum yang di dalamnya mengatur tentang perbuatan yang dikategorikan
sebagai perbuatan khalwat, sanksi bagi pelaku khalwat dan sebagainya. Namun
prakteknya dalam masyarakat pelaku yang melakukan khalwat bukan hanya
sekedar bersunyi-sunyi tapi memang perbuatan yang menjurus kepada zina atau
sudah melakukan zina. Hal ini diakui oleh para pelaku tersebut kepada petugas
Wilayatul Hisbah79.
Sampai saat ini NAD belum memiliki aturan tertulis tentang zina, sehingga
bagi pelaku khalwat tersebut diberikan sanksi untuk melakukan perkawinan.
Sementara sanksi untuk khalwat adalah cambuk 9 kali atau denda (9 Pasal 22 (1)
Qanun Nomor 14 Tahun 2003). Dalam hal ini timbul masalah yang komplek
dikarenakan pasangan pelaku khalwat tersebut dipaksa untuk melakukan
perkawinan, padahal pada kenyataannya tidak semua pelaku ataupun keluarga dari
pelaku khalwat menyetujui pekawinan itu atau belum adanya kesiapan
masing-masing pihak.
Masalah menjadi rumit karena di Aceh upacara perkawinan bukan hanya
proses ritual belaka. Upacara perkawinan di Aceh mengandung berbagai makna
filosofis dan sosiologis. Ada banyak tahapan dan syarat yang harus dilaksanakan
78
Khalwat atau mesumadalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukllaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan (Lihat Pasal 1butir 20 Qanun No 14 Tahun 2003 Tantang Khalwat)
79
demi terpenuhinya kehormatan upacara perkawinan tersebut. Tahapan-tahapan
tersebut yaitu mulai dari :
1. Tahapan awal peralatan dan bahan–bahan upacara yaitu : mas kawin, uang
hangus, makanan, pakaian dan perhiasan.
2. Tahapan penentuan waktu dan tempat pelaksanaan, penentuan waktu dilakukan
dengan memilih tanggal yang dianggap baik, biasanya tanggal tersebut
ditanyakan kepada ulama di gampong80 pihak mempelai wanita.
3. Tahapan proses upacara, ada beberapa tahapan proses upacara Jak Keumalen
(mencari calon isteri atau suami), Jak Ba Ranub (melamar), Jak Ba Tanda
(pertunangan).
4. Tahapan pelaksanaan perkawinan dengan memakai adat aceh.81
Hal yang sama juga terjadi di Kota Langsa sanksi yang diberikan bagi
pelaku khawat adalah perkawinan, terkait makna perkawinan yang begitu sakral
dan memiliki tahapan yang panjang seperti tersebut di atas, maka kedua pelaku
zina dan keluarga masing-masing sangat keberatan untuk melaksanakan
perkawinan. Sehingga akhirnya perkawinan dilaksanakan dengan terpaksa untuk
memenuhi sanksi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
ilmiah dengan judul skripsi “Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku
80
Gampong adalah sebutan untek desa dalam bahasa Aceh 81
Khalwat Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Di Kota Langsa)”
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas didapati beberapa permasalahan
yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi dasar hukum penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku
khalwat ?
2. Bagaimana status perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat ?
3. Apa dampak perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dasar hukum penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku
khalwat.
2. Untuk mengetahui status perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat.
3. Untuk menegtahui bagaimana dampak perkawinan yang dilakukan sebagai
sanksi khalwat.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat dijadikan bahan pendukung untuk pengembangan wawasan dan
kajian lebih lanjut bagi kalangan akademis mengenai sanksi perkawinan
yang diberikan bagi pelaku khalwat.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang hukum
Perdata.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya
memberikan informasi ilmiah mengenai tinjauan pelaksanaan perkawinan
sebagai sanksi bagi pelaku khalwat perspektif hukum perkawinan dan
hukum Islam.
b. Sebagai masukan bagi pelaku khalwat tentang akibat-akibat hukum yang
dapat ditimbulkan atas tindakan yang dilakukannya dan sebagai kajian
bagi DPRA terhadap kekosongan hukum bagi pelaku zina di Aceh,
sehingga dapat memberi masukan untuk membentuk qanun yang mengatur
mengenai perbuatan zina.
E. Metode Penelitian
1. Sifat dan metode pedekatan
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif dalam memberikan
gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek yang akan
berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas. Dalam hal ini
perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi pelaku khalwat.
Metode pendekatan yang digunakan di dalam skripsi ini adalah metode
yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis normatif adalah
penelitian yang disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum
jenis ini, biasanya hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books), atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.82
Metode ini digunakan untuk mengkaji norma-norma hukum yang
berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan sebagai sanksi bagi pelaku khalwat
dalam perspektif Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Metode yuridis empiris yaitu penelitian hukum melalui fenomena hukum,
masyarakat atau fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat. Metode ini
berupaya mengamati fakta-fakta hukum yang berlaku ditengah masyarakat. Titik
tolak pengamatan ini berada pada kenyataan atau fakta-fakta sosial yang ada dan
hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai budaya hidup masyarakat. Fakta di
lapangan (dalam hal ini Kota Langsa) dalam perkawinan sebagai sanksi bagi
pelaku khalwat. Metode ini dilakukan untuk mengetahui penerapan sanksi
khalwat di daerah Kota Langsa dan mengetahui akibat yang terjadi pada sebuah
pelaksanaan perkawinan yang didahului oleh perbuatan khalwat yang terjadi
dalam masyarakat.
82
2. Data penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder .
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan secara langsung
dari sumber datanya. Data primer disebut juga data asli.
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian
kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan
orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang
biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar
peraturan perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer yang digunakan dan dapat membantu menganalisis,
memahami dan mendukung bahan hukum primer, misalnya :
1) Buku-buku ilmu hukum tentang perkawinan dan khalwat.
2) Jurnal ilmu hukum berkaitan dengan perkawinan dan khalwat.
3) Artikel ilmiah hukum tentang perkawinan dan khalwat.
4) Bahan-bahan seminar, lokakarya dan sebagainya.83
c. Bahan-bahan tersier, yaitu, bahan hukum yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
83
pengertian atas bahan hukum lainnya. Dalam skripsi ini dipakai Kamus
Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.
3. Metode pengumpulan data
Dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode pengumpulan data
yang meliputi :
a. Studi kepustakaan (library research)
Mengumpulkan data dengan cara mendapatkan dan mempelajari data-data
secara teoritis sebagai bahan penunjang dalam penyusunan skripsi dengan
membaca buku literatur dari instansi maupun dari buku-buku pustaka, karya
ilmiah serta referensi-referensi lainnya.
b. Studi lapangan (field research)
Mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dengan terjun langsung ke
lapangan, yaitu Kota Langsa. Data diperoleh dengan cara wawancara.
Wawancara (interview) adalah situasi peran antara pribadi bertatap-muka (
face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian
kepada seseorang responden.84 Dalam hal ini narasumber yang diwawancarai
adalah :
1) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Dan Wilayatul Hisbah Kota Langsa.
2) Pelaku khalwat.
84
3) Ulama.
4) Orang tua pelaku khalwat.
4. Alat pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah pedoman
wawancara. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan. Dalam penelitian ini yang diwawancara adalah para pihak yang terlibat
dalam kasus khalwat.
5. Analisis data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang telah terkumpul dianalisa
secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif yaitu, penarikan
kesimpulan yang berawal dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian ditarik
suatu kesimpulan khusus.
F. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
bahwa ada penelitian yang sudah dilakukan menyangkut khalwat, yaitu :
Sarifah Naila (040200324) Tinjauan Ketentuan Pidana Qanun Nomor 14 Tahun
2003 Tentang Khalwat/Mesum
Namun penelitian di atas berbeda baik objek penelitian maupun tempat
penelitian, dengan penulisan tentang Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi
Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Studi Di Kota
Langsa). Dengan demikian, penulisan skripsi ini adalah asli, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
G. Sistematika Penulisan
Bab 1 merupakan gambaran umum yang berisi tentang pendahuluan. Pada
bab ini diuraikan alasan mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga
membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang,
permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan sistematika
penulisan yang bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap perkawinan sebagai
sanksi bagi pelaku khalwat.
Bab II berisi tinjauan umum tentang hukum perkawinan terhadap
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompila si Hukum Islam,
yang meliputi pengertian dan syarat sah perkawinan dan akibat hukum
perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dalam Kompilasi
Hukum Islam.
Bab III berisi tinjauan umum Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
Khalwat/Mesum, tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah, pengertian khalwat
menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat/Mesum, sanksi hukum
terhadap pelaku khalwat.
Bab IV berisi tinjauan pelaksanaan perkawinan sebagai sanksi bagi pelaku
khalwat dalam perspektif Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku khalwat, dan status perkawinan yang
dilakukan sebagai sanksi khalwat, dan dampak perkawinan yang dilakukan
sebagai sanksi khalwat.
Bab V berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini hanya memuat tentang
kesimpulan dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting terkait