• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Variasi Temperatur dan Waktu Tahan Tempering Terhadap Kekerasan Material Chain Shackle yang di Hardening Sebagai Solusi Kegagalan Pada Chain Shackle

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Pengaruh Variasi Temperatur dan Waktu Tahan Tempering Terhadap Kekerasan Material Chain Shackle yang di Hardening Sebagai Solusi Kegagalan Pada Chain Shackle"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

AbstrakBucket elevator merupakan sebuah komponen yang berfungsi untuk mengakut material yang belum terbentuk menjadi semen. dalam penggunaannya, bucket elevator di hubungkan dengan chain shackle. Chain shackle pada bucket elevator telah mengalami masalah keausan karena material tersebut tidak sesuai dengan standar DIN 745 sehingga diperlukan optimalisasi dengan perlakuan panas. Dalam penelitian ini dilakukan proses analisis pen garuh variasi temperatur dan waktu tahan tempering terhadap kekerasan material chain shackle yang di hardening sebagai solusi kegagalan pada chain shackle. Pengujian yang dilakukan meliputi uji komposisi, metalografi, hardness dan ketahanan aus. Dari hasil uji komposisi didapatkan bahwa material chain shackle adalah baja AIS I 1030. kemudian diberi pelakuan hardening-tempering dengan temperatur austenisasi 850oC dan dilakukan pendinginan dengan air. S pesimen kemudian ditemper dengan temperatur 200 oC, 250 oC, dan 300 oC dengan waktu tahan tempering 1 jam dan 2 jam. Kekerasan tertinggi terdapat pada spesimen dengan perlakuan tempering 200 oC dan waktu tahan 1 jam sebesar 588 HV dengan laju keausan 2mm/jam. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa kekerasan berbanding terbalik dengan laju keausan

Kata kunci—Bucket Elevator, Chain Shackle, Heat Treatment, kekerasan, ketahanan aus.

I. PENDAHULUAN

SEMEN Indonesia merupakan produsen semen terbesar di Indonesia. Keberhasilan pembangunan pabrik Tuban IV dan Tonasa V, serta akuisisi perusahaan semen Vietnam Thang Long Cement Company pada akhir tahun 2013, maka pada awal tahun 2013 perseroan memiliki kapasitas terpasang sebesar 30 ton/tahun dan telah menjadi perusahaan semen terbesar di Asia Tengggara berdasarkan kapasitas terpasang. Saat 2014 kapasitas terpasang Semen Indonesia meningkat menjadi 33 juta ton semen per tahun, dan menguasai sekitar 42% pangsa pasar semen domestik. PT. Semen Indonesia memiliki 4 anak perusahaan yaitu PT. Semen Gresik, PT. Semen Padang, PT. Semen Tonasa, dan Thang Long Cement. Untuk PT. Semen Indonesia sendiri memiliki 4

pabrik dengan kapasitas terpasang 8,5 juta ton semen per tahun yang berlokasi di Desa Sumberarum, Kec. Kerek, Tuban, Jawa Timur.

Pabrik Semen Memiliki beberapa plant salah satunya adalah finish mill. Finish mill merupakan plant yang berfungsi untuk melakukan finishing terhadp semen yang telah dicampur. Sebagian besar komponen dari plant finish mill terdiri dari belt conveyor dan ball mill. Pada penelitian kali ini, plant finish mill yang mengalami masalah adalah finish mill 9 yang baru mulai beroperasi sejak pertengahan 2013. Finish mill 9 yang selanjutnya biasa disebut OK mill memiliki problem pada bagian bucket elevator. Bucket elevator sendiri berfungsi untuk mengangkat semen yang belum tercampur atau belum memiliki kehalusan yang sesuai. Salah satu bagian bucket elevator yaitu chain shack le yang menempel dengan bucket tersebut. Chain shack le mengalami kegagalan pada tanggal 1 September 2017 berupa keausan pada bagian yang bersinggungan dengan rantai.

Chain shack le tersebut telah diuji komposisi menggunakan Optical Emission Spectroscopy (OES) dan memiliki komposisi yang tidak sesuai dengan standar material chain shack le sehingga diperlukan optimalisasi menggunakan perlakuan panas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kekerasan dari chain shack le sehingga kegagalan dapat diminimalisir.

II. METODOLOGIPENELITIAN

Hal pertama yang dilakukan adalah me-review dokumen perusahaan untuk mendapatkan data terkait desain, data operasi dan spesifikasi. Kemudian dilakukan preparasi spesimen. Tahap Persiapan ini diperlukan sebelum melakukan pengujian untuk menentukan penyebab kegagalan/keausan Chain shack les pada PT Semen Indonesia. Persiapan ini berupa proses cutting dan sectioning. Proses pemotongan dilakukan pada bagian tengah dan ujung pada Chain shack les yang terindikasi adanya beban siklik dan bagian yang jauh dari aus. Spesimen yang terindikasi adanya beban siklik serta bagian yang jauh dari aus akan diuji sebagai perbandingan antara material yang baru dengan material yang sudah aus/gagal. Selanjutnya dilakukan uji kekerasan pada bagian

Analisis Pengaruh Variasi Temperatur dan Waktu

Tahan

Tempering

Terhadap Kekerasan Material

Chain Shackle

yang di

Hardening

Sebagai

Solusi Kegagalan Pada

Chain Shackle

Redy Rizky Santoso, Rochman Rochiem, dan Wikan Jatimurti

Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS, Kampus ITS-Keputih Sukolilo

e-mail

: Rochman@mat-eng.its.ac.id

(2)

yang dekat dengan daerah aus dan jauh dari daerah aus untuk mengetahui perbedaan kekerasan dan dilakukan pengujian laju keausan untuk mendukung data kekerasan tersebut. Kemudian dilakukan pengujian komposisi kimia. Pengujian komposisi kimia berfungsi untuk mengetahui komposisi kimia yang terdapat pada komponen yang mengalami kegagalan. Pada identifikasi komposisi kimia menggunakan alat optical emission spectroscopy di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya untuk mengetahui komposisi dari chain shack le. Lalu pengamatan metalografi dilakukan untuk mengetahui struktur mikro pada material chain shack le. Preparasi pengujian metalografi meliputi proses pengamplasan dengan amplas grade 80 hingga grade 2000, kemudian dilakukan proses polishing. Etsa yang digunakan adalah etsa nital 4% dengan perbesaran mikroskop 1000x. setelah mengetahui data awal spesimen, dilakukan proses perlakuan panas sesuai dengan berbagai parameter seperti yang ditunjukan pada gambar 1

Gambar 1. Kurva Perlakuan Panas Spesimen

Berdasarkan gambar 1, Proses perlakuan panas yang telah dilakukan adalah proses hardening dengan temperatur 8500C

dan waktu tahan 30 menit. Setelah melakukan proses hardening, spesimen telah diberi perlakuan tempering dengan dua variabel waktu tahan yang berbeda yaitu 60 dan 120 menit. Masing – masing variabel waktu tahan yang berbeda akan di tempering dengan tiga variabel temperatur yang berbeda yaitu 2000C, 2500C, 3000C. kemudian dilakukan pengujian kekerasan,

keausan dan metalografi untuk mengetahui dan membandingkan pengaruh variasi tersebut.

III. HASILDANPEMBAHASAN A. Pengujian k omposisi

Material yang digunakan untuk penelitian mempunyai komposisi kimia seperti pada tabel 1.

T abel 1.

Komposisi Kimia Material Chain shackle yang Dibandingkan dengan AST M

Unsur Kadar (%) 1030 (ASTM A29) ASTM A291

C 0,299 0,28-0,34 0,55 max

Si 0,245 - 0,35 max

Mn 0,745 0,60-0,90 0,60-0,90

P 0,019 0,040 max 0,040 max

S 0,018 0,050 max 0,040 max

Cr 0,235 - 0,25 max

Mo 0,014 - 0,10 max

Cu 0,044 - 0,35 max

Ni 0,115 - 0,30 max

Fe 98,20 - -

Tabel 1 merupakan komposisi kimia material chain shack le. Jika dilihat dari komposisinya material tersebut termasuk baja karbon menengah yaitu AISI 1030 [1].

B. Pengamatan Mak ro

Berdasarkan hasil pengamatan visual dengan kamera secara makro pada daerah chain shack le yang telah mengalami keausan. Terlihat pada gambar 2 telah terjadi keausan pada bagian chain shack le telah terjadi pengurangan dimensi dengan tebal mula-mula sebesar 37mm dan tebal akhir sebesar 19 mm sehingga terjadi pengurangan 18mm pada bagian kanan material chain shack le. Untuk bagian kiri, tebal mula-mula sebesar 37mm dan setelah mengalami keausan memiliki tebal akhir sebesar 23mm karena telah kehilangan 14mm selama proses pengausan terjadi. Berdasarkan pengamatan visual, masih belum terjadi crack pada material chain shack le tersebut.

Gambar 2. Hasil Pengamatan Makro Chain Shackle

C. Pengujian Kek erasan

Berdasarkan pengujian kekerasan, material chain shackle memeiliki kekerasan seperti pada tabel 2.

T abel 2.

Hasil pengujian kekerasan Material Chain shackle yang gagal Titik

indentasi

kekerasan (HV) Daerah jauh dari

keausan

Daerah dekat dengan keausan

1 267 278

2 271 276

3 253 269

4 260 272

5 275 270

Rata-rata 265.2 273

Sedangkan pengujian kekerasan untuk material yang telah diberikan pelakuan hardening dan tempering ditunjukan pada tabel 3.

Daerah aus

(3)

T abel 3.

Hasil Kekerasan Material Chain shackle setelah tem pering

M aterial Temperat

ur (oC)

Waktu Tahan (M enit)

Kekerasan (HV)

HT200t60 200 60 588

HT250t60 250 60 565.4

HT300t60 300 60 530.8

HT200t120 200 120 581.4

HT250t120 250 120 536.6

HT300t120 300 120 515.6

Hardening - - 689.6

Dari data tabel 3, kemudian di plot dalam suatu grafik untuk membandingkan kekerasan pada spesimen pada setiap parameter seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan kekerasan spesimen

D. Pengamatan Struk tur Mik ro

Berdasarkan hasil pengamatan struktur mikro, spesimen pada gambar 4 (a) menunjukan fasa ferrit dan perlit, sedangka struktur mikro chain shackle seharusnya merupakan fasa tempered martensit seperti pada gambar 4 (b).

Gambar 4. (a) Hasil Pengamatan Struktur Mikro Menggunakan Etsa Nital 4% dengan Perbesaran 1000x (b) Struktur Mikro standar chain shackle AISI 1045 Hardening dan Tem pering dengan etsa nital 4% dan perbesaran 3000x

Setelah melalui perlakuan panas hardening dengan temperature austenisasi 850oC kemudian didinginkan dengan

media air, menghasilkan struktur mikro berupa martensit dan bainit seperti ditunjukan pada gambar 5.

Kemudian diberikan perlakuan tempering dengan variasi waktu tahan temper dan temperatur temper seperti ditunjukan pada tabel 4 dan menghasilkan strukturmikro seperti pada gambar 6, 7 dan 8

Gambar 5. struktur mikro material chain shackle setelah di-hardening

dengan temperature austenisasi 850 oC dan waktu tahan 30 menit

waterquenched dengan etsa nital 4% dan perbesaran 1000x T abel 4.

T abel Perlakuan P anas

Gambar 6. struktur mikro material chain shackle dengan temperature

tem pering 200oC dan waktu tahan tem pering A.1 jam dan B. 2 jam dengan etsa nital 4% dan perbesaran 1000x

Gambar 7. struktur mikro material chain shackle dengan temperature

tem pering 250oC dan waktu tahan

tem pering A.1 jam dan B. 2 jam dengan etsa nital 4% dan perbesaran 1000x

Material Tem pera tur (oC)

Wak tu Tah an (Me nit)

Uji kom posi si

Uji Met alog rafi

Uji Keker

asan Uji Keau

san

N - - V V V V

HT200t60 200 60 - V V V

HT250t60 250 60 - V V V

HT300t60 300 60 - V V V

HT200t120 200 120 - V V V

HT250t120 250 120 - V V V

HT300t120 300 120 - V V V

a b

a b

(4)

Gambar 8. struktur mikro material chain shackle dengan temperature

tem pering 300oC dan waktu tahan

tem pering A.1 jam dan B. 2 jam dengan etsa nital 4% dan perbesaran 1000x

E. Pengujian k eausan

Berdasarkan uji keausan dengan standar [2], didapatkan laju keausan seperti ditunjukan pada tabel 5.

T abel 5.

Kemudian data tersebut diplot dalam sebuah grafik untuk membandingkan laju keausan antar spesimen seperti ditunjukan pada gambar 9.

Gambar 9. grafik laju keausan spesimen

F. Pembahasan

Setelah melakukan beberapa pengujian yang telah dilakukan selama penelitian ini, pada umumnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan pada material yaitu kesalahan dalam pemilihan material. Hal tersebut dapat ditinjau berdasarkan komposisi dan kekerasan pada permukaan, serta struktur mikro yang terdapat pada material yang gagal tersebut. Material standar yang digunakan untuk chain shack le ini adalah baja aisi 1045 dengan komposisi sesuai dengan [1] dan telah diberi perlakuan hardening dan tempering. Sedangkan berdasarkan hasil uji komposisi optical emission spectroscopy (OES). Material yang didapat tidak sesuai dengan standar

untuk aplikasi chain shack le. Dari segi kadar karbon, spesimen chain shack le memiliki kadar karbon (C) yang lebih rendah bila dibandingkan dengan standar material chain shack le [3], sehingga dari segi kekerasan masih tidak sesuai dengan standar yang seharusnya 600 HV. Selain itu, material chain shack le dari PT. Semen Indonesia Tbk memiliki paduan seperti Cr dan Mo yang tidak sesuai dengan standar sehingga kemampuan untuk dikeraskannya rendah. Gesekan yang dihasilkan oleh chainlink dan chain shack le membuat material tersebut mengalami keausan hingga hampir kehilangan setengah diameternya dan membuat material tersebut memiliki internal stress yang tinggi. Dari segi chainlink sendiri tidak mengalami masalah keausan sehingga dapat disimpulkan kesalahan pemilihan material berada pada chain shack le. Berdasarkan data fakta diatas, lifetime dari chain shack le harusnya bisa lebih dari empat tahun (asumsi maksimal). Berdasarkan hasil pengamatan strukturmikro, diketahui bahwa struktur mikro awal material chain shack le yang terbentuk sebelum spesimen tersebut diberikan perlakuan panas menunjukan fasa ferrit dan perlit yang merupakan struktur mikro dari baja hypoeutektoid [4]. Sedangkan seharusnya struktur mikro dari chain shack le sharusnya berupa hasil dari hardening dan tempering yaitu berupa tempered martensite [5]. Tempered martensit menghasilkan material yang keras namun memiliki ketangguhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan fasa martensit. Dari hasil fasa yang diperoleh pada material chain shack le PT. Semen Indonesia Tbk sangat jauh dari material standar chain shack le. Setelah diberi perlakuan panas berupa hardening dengan temperature 850oC dengan waktu tahan 30 menit dan media

pendingin air. Struktur mikro yang diperoleh adalah martensit. Jenis martensit yang terbentuk adalah lath martensit dan bainit bawah. Lath martensit terbentuk pada hardening baja karbon dengan komposisi di bawah 0.6% [5]. Sedangkan bainit bawah yang merupakan agregat dari ferrite dan cementite (Fe3C) terbentuk pada kecepatan pendinginan sedang dimana pada kondisi ini karbon sulit berdifusi kedalam fasa austenite [6]. Kemudian diberikan perlakuan temper dimana perubahan besar terjadi pada martensit pada saat diberi pelakuan tersebut adalah difusi karbon ke batas butir untuk melepas tegangan sisa dan presipitasi karbida epsilon sebagai dampak dari difusi karbon [7]. Kekerasan spesimen menurun setelah ditemper dikarenakan tempering bertujuan untuk mengembalikan sebagian keuletan/ketangguhan, berakibat turunnya kekerasan, dan melepas tegangan dalam untuk memperoleh keuletan yang lebih baik. [8]. Dengan parameter yang ada, spesimen yang memiliki kekerasan paling tinggi adalah spesimen dengan kode HT200T60. Hal tersebut dikarenakan fasa yang terbentuk berupa tempered martensit dengan ukuran yang lebih besar dan tidak terjadi perubahan pada ferit [9]. Pada spesimen tersebut, karbida epsilon yang terbentuk masih sangat sedikit namun terjadi penurunan kekerasan yang cukup signifikan dibandingkan dengan spesimen yang hanya dilakukan proses hardening water-quenched. Spesimen diatas memiliki kekerasan yang tinggi karena temperature tempering berturut-turut rendah dan cepat sehingga dekomposisi martensit masih belum terjadi. Fasa karbida epsilon merupakan senyawa

(5)

submikroskopik sebagai tanda awal tempering dilakukan pada temperature pada kisaran 100-200oC. Pada temperature ini,

senyawa submikroskopik tersebut berupa Fe2.4.C yang

selanjutnya berubah menjadi Fe3C ketika temperature dinaikan

[10]. Penambahan temperatur dan waktu tahan tempering telah menyebabkan penurunan kekerasan dan kekuatan, namun telah meningkatkan keuletan dan ketangguhan. Dari hasil pengujian, spesimen yang memiliki kekerasan paling rendah yaitu spesimen dengan kode HT300T120 dengan fasa tempered martensit, ferit, dan sedikit perlit. Pada temperature ini terjadi perubahan signifikan pada fasa tempered martensit yaitu pada spesimen ini, martensit yang diperoleh sudah tidak tajam dan tidak kontinyu dan mulai terjadi pembentukan ferrit dan perlit sehingga diperoleh peningkatan keuletan [9] sekaligus menyebabkan terjadinya penurunan kekerasan. Akumulasi karbida epsilon membentuk sementit ketika temperature dinaikan sehingga kekerasan tidak sebanding dengan spesimen HT200T60 [11]. Setiap spesimen tidak menunjukan adanya bentuk dari fasa karbida karena terdapat unsur silicon dalam material chain shack le. Silicon tidak dapat larut dalam sementit pada proses awal tempering sehingga menyebabkan senyawa karbida terbentuk memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan tanpa paduan silicon [12].

Berdasarkan data yang diperoleh dari uji kekerasan setelah spesimen diberikan perlakuan panas berupa harden-temper dengan temperature tempering 200oC, 250oC dan 300oC dengan

waktu tahan tempering satu jam dan dua jam telah diperoleh hasil kekerasan. Spesimen pada daerah yang jauh dari daerah keausan memiliki kekerasan sebesar 265.2 HV. Sedangkan pada daerah yang dekat dengan daerah keausan memiliki kekerasan sebesar 273 HV. Kemudian pada daerah material yang mengalami keausan memiliki kekerasan sebesar 279.2 HV. Setelah dilakukan perlakuan panas spesimen dengan kode HT200T60 menghasilkan kekerasan yang paling tinggi yaitu 588 HV. Kemudian dilanjutkan dengan spesimen dengan kode HT200T120 dengan kekerasan 581.4 HV. Spesimen dengan kode HT250T60 dan kode HT250T120 memiliki kekerasan berturut-turut sebesar 565.4 HV dan 536.6 HV. Spesimen dengan kekerasan terendah dimiliki oleh kode HT300T60 dengan kekerasan 530.8 HV dan HT300T60 dengan kekerasan 515.6 HV. Semua spesimen mengalami penurunan kekerasan setelah dilakukan proses tempering dengan parameter yang berbeda-beda bila dibandingkan dengan spesimen yang mengalami proses hardening saja yaitu memiliki kekerasan 686.6 HV. Hal ini terjadi karena pendinginan non-ekuilibrium atau pendinginan sangat cepat dapat meningkatkan nilai kekerasan suatu material dan kekerasan tertinggi diperoleh pada spesimen yang menggunakan air sebagai media pendinginnya [13]. Sedangkan perlakuan tempering memberikan penurunan kekerasan ketika terjadi kenaikan temperatur tempering karena pembentukan karbida epsilon berfungsi untuk menghindari material dari patah getas [14]. Dari pengujian keausan menunjukan hasil yang berbanding lurus bila dibandingkan dengan hasil dari pengujian kekerasan sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kekerasan juga telah meningkatkan hasil ketahanan aus dari material tersebut. Dengan menggunakan mesin pin on disc dan beban

yang kostan sebesar 1.8 Kg didapatkan spesimen dengan laju keausan terendah terdapat pada spesimen dengan kode HT200T60 dengan laju keausan 2mm/jam. Spesimen lain dengan kode HT200T120 dan HT250T60 memiliki laju keausan yang sama yaitu 2.67mm/jam. Spesimen dengan kode HT250T120 dan HT300T60 memiliki laju keausan yang sama pula yaitu sebesar 3.33mm//jam. Sedangkan laju keausan tertinggi dimiliki oleh spesimen dengan kode HT300T120 dengan laju keausan 4.67mm/jam. Laju keausan menurun bila dibandingkan dengan spesimen yang tidak diberi pelakuan panas yaitu dengan laju 7.33mm/jam. Kekerasan suatu material sangat mempengaruhi tingkat ketahanan aus dari material tersebut [15]. Pada abrasive wear, kekerasan adalah sifat yang paling penting untuk meningkatkan kemampuan suatu baja terhadap ketahanan aus dikarenakan goresan. Makin keras material tersebut, makin sulit media abrasive untuk melakukan penetrasi dan menggores material tersebut [16]. Pengaruh proses tempering adalah hilangnya sebagian tetragonalitas dari martensit, presipitasi besi karbida dan dekomposisi austenit sisa menjadi ferit dan sementit [17]. Perubahan struktur mikro tersebut membuat laju keausan semakin meningkat setelah mengalami proses tempering

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.

Pengaruh waktu tahan

tempering

terhadap kekerasan

dan struktur mikro adalah semakin lama waktu tahan

tempering

, maka kekerasan akan menurun dan

struktur mikro yang terbentuk adalah tempered

martensit dan senyawa karbida

2.

Pengaruh temperatur

tempering

terhadap kekerasan

dan struktur mikro adalah semakin tinggi temperatur

tempering

, maka kekerasan akan menurun dan

struktur mikro yang terbentuk adalah tempered

martensit dan senyawa karbida

Disk Apparatus. USA: ASM International, 2003.

[3] D. 745, Chain U-links (shackles) for conveyors. Germany: DIN Standart, 1994.

[4] S. H. Avner, Introduction To Physical Metallurgy. Singapore: Mc Graw Hill, 1974.

[5] Sandvik, “Crystallography and Substructure of Lath Martensite Formed in Carbon Steels,” 2003.

(6)

T ERHADAP KEKERASAN MAT ERIAL CROSSBAR YANG DIHARDENING SEBGAI SOLUSI KEGAGALAN PADA CROSSBAR,” 2017.

[9] Z.-B. Xu, “Mechanical Properties of a microalloyed bainitic steel after hot forging,” 2017.

[10] A. A973, Standard Specification for Grade 100 Alloy Steel Chain. USA, 2003.

[11] S. and Screniner, “Tempering of Martensite: A Field Ion Microscope Study,” 1971.

[12] C. Maherios, “Mechanical behavior of tempered martensite: Characterization and modeling,” 2017.

[13] dan Y. S. Bayu Adie Septianto, “Pengaruh Media Pendingin pada Heat treatment T erhadap Struktur Mikro dan Sifat

Mekanik Friction Wedge AISI 1340,” 2013.

[14] Ebrahimi-Zia, “MECHANISMS OF TEMPERED MART ENSIT E EMBRIT T LEMENT IN MEDIUM-CARBON STEELS,” 1984.

[15] I. Isnauri, “ANALISA PENGARUH BEBAN TERHADAP LAJU KEAUSAN AL-Si ALLOY DENGAN MET ODE PIN ON DISK TEST,” 2012.

[16] V. Ratia, “Behavior of Martensitic Wear Resistant Steels in Abrasion and Impact Wear Testing Conditions,” 2015. [17] M. Sadat Hamzah, “PENINGKATAN KETAHANAN AUS

Gambar

Gambar 2. Hasil Pengamatan Makro Chain Shackle
Tabel Perlakuan Panas
Gambar 8. struktur mikro material chain shackletemperingdengan etsa nital 4% dan perbesaran 1000x dengan temperature  300oC dan waktu tahan tempering A.1 jam dan B

Referensi

Dokumen terkait

tersebut dapat memberi manfaat untuk masyarakat Kampung Haji Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah, karena pada saat Masjid ini didirikan di wilayah Kampung

Kemungkinan yang pertama adalah bila penjual memberikan informasi yang berlebihan terhadap pelanggan dari barang atau jasa yang dijual, maka pelanggan akan mempunyai

Atas dasar itu, Pemerintah Daerah Kota Semarang telah melakukan langkah-langkah sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepadaperempuan dan anak, namun belum

Bahwa berawal pada terdakwa AMIR BAKTIAR Bin UCUP MUDIYA dengan SYAMSUL BACHTIAR Bin ABDUL RAHIM BUANG (dilakukan penuntutan terpisah), pada tanggal 08 September 2013

Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan Izin sementara

Berdasarkan analisis yang dilakukan, ada tiga temuan dalam analisis ini yaitu (1) kategori gramatikal dari leksikon alam dalam beblabadan adalah verba seperti mabawang

Objek penelitian adalah perangkat pembelajaran, yaitu Lembar Kegiatan Peserta Didik (LKPD) berbasis Problem Based Learning pada pokok bahasan Struktur

Dari hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kategori Kerentanan Ekosistem Pantai Sendang Biru berdasarkan parameter fisik sebagian besar termasuk