• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gender in Poverty Reduction Projects

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gender in Poverty Reduction Projects"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Gender dalam Proyek Penanggulangan Kemiskinan

Kritik atas Translasi, Pengarusutamaan, dan Rumusan Masalah Gender1

Gender in Poverty Reduction Projects

Critiques on Gender’s Translation, Mainstreaming

and Problem Construction

Oleh Ivanovich Agusta2

Abstrak

Dalam khasanah teori poskolonial, ditemukan proses translasi yang memasukkan pemikiran lokal dan Timur ke dalam paradigma pembangunan dominan. Sayangnya dalam proses translasi ini dibangun hegemoni baru berupa kelemahan perempuan Timur baik dibandingkan dengan lalki Timur maupun perempuan Barat. Dalam konstelasi demikian, pengarusutamaan gender dapat menjadi masalah baru ketika berupa mewujudkan narasi besar baru yang mengintervensi dan menindih beragam narasi gender lokal di Indonesia. Upaya dekonstruksi perlu disertai konstruksi diskursus baru berupa pembalikan justifikasi (saat ini dapat pula dibaca: hegemoni) proyek pembangunan berupa keberadaan masalah, menjadi keberadaan kepemilikan. Dalam konteks ini lebih penting menggali dan menguatkan kepemilikan pada perempuan (daripada menggali masalah pada perempuan).

Kata kunci: pasca-pembangunan, teori poskolonial, basis kepemilikan, Indonesia.

Justifikasi Proyek Perempuan ?

Hingga tahun 2007, di Indonesia, gender menjadi salah satu justifikasi isi

dan kinerja proyek penanggulangan kemiskinan. Program Pengembangan

Kecamatan (Tim Koordinasi Program Pengembangan Kecamatan, 2005),

misalnya, memberikan wadah khusus bagi perempuan dalam kegiatan Simpan

Pinjam untuk Kelompok Perempuan. Bahkan pada proyek infrastruktur untuk

wilayah tertinggal, efektivitas tujuan proyek lebih ditentukan oleh kuota

perempuan daripada kualitas infrastruktur terbangun

Outputs:

A. Infrastructure Rehabilitation and Improvement; A.1 Improved capacities of communities to plan, implement, and maintain rural infrastructure.

Performance Targets/Indicators

1

Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengarusutamaan Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan menuju Kualitas Kehidupan Berkelanjutan, kerjasama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Fakultas Ekologi Manusia IPB Bogor, di Bogor, 10 September 2007.

2

(2)

1. At least 50% of the 1,800 communities acquire the capacities to prepare plans for implementing community-driven development projects by month 30.

2. Women’s participation in the training programs will be at least 33%.

3. At least 20% of the representatives of village implementation organizations and 33% of village organizers will be women.

Catatan: Huruf miring oleh penulis

Sumber: ADB Project Administration Memorandum, Project Number 39597, Loan Number 2221, Republic of Indonesia: Rural Infrastructure Support Project, Appendix 2: Design and Monitoring Framework

Meskipun percakapan perihal perempuan dalam proyek pembangunan

sangat relevan, namun untuk keperluan apakah? Sekalipun mengadopsi suatu

pendekatan analisis gender yang lebih holistik berupa GAD/Gender and

Development (World Bank, 2000), upaya pemberian kuota kepada perempuan

untuk memasuki areal modern dalam ekonomi mengingatkan praktek

pendekatan kesejahteraan (welfare approach) dalam WID/Women in

Development. Sembari menyadari keragaman perspektif dalam GAD sendiri –

dari posisi liberal hingga posisi kritis (Chafetz, 2006)—minimal di sini muncul

problem translasi (penerjemahan) konsep serupa namun ke dalam ruang

paradigmatik yang berbeda atau malah berlawanan (Said, 1995). Tradisi

peminjaman sekaligus rekonstruksi makna secara berbeda telah muncul sejak

awal sejarah pemikiran gender. Pandangan feminis beraliran marxis tahun

1960-an diterima pada dekade berikutnya, namun melalui tafsir hasil studi w1960-anita

beraliran liberal oleh Boserup (1970), sehingga muncul metode WID. Selanjutnya

kritik golongan kiri terhadap “welfarisme” WID ditanslasikan donor ke dalam

bentuk GAD dari arah liberal yang menekankan aspek pengambilan keputusan

perempuan (Pearson, 2002b; Saunders, 2004).

Upaya translasi oleh donor pembangunan dan lembaga pendukung

pemikiran tersebut (baik pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat,

universitas, dan sebagainya) memungkinkan materialisasi diskursus liberalisme

gender. Wadah material kegiatan tersebut –setidaknya di Indonesia—muncul

dalam proyek-proyek pembangunan. Dalam tulisan ini diambil kasus proyek

penanggulangan kemiskinan, semata-mata karena itulah narasi atau tema utang

pembangunan yang dikonstruksi donor sejak akhir 1980-an dan menguat pada

dekade 1990-an (ADB, 1999, 2001; McMichael, 2003). Dapat pula narasi

kemiskinan ini dikaitkan dengan narasi pemberdayaan, pengembangan

(3)

(Dongier, et.al., 2003; World Bank, 1992). Sebagai bagian dari diskursus

pembangunan, narasi-narasi tersebut secara inheren mengandung problem

intervensi dari golongan yang merasa lebih humanis kepada golongan lain atau

liyan (Others). Pengarusutamaan yang dimotori donor dapat dipandang sebagai

proses konstruksi narasi agung liberalisme gender. Situasi ini memunculkan

contradictio in terminis manakala pengarusutamaan mengandaikan

penyeragaman (aliran liberal) dengan gender yang mengandaikan

penganekaragaman (jaringan lelaki-perempuan sesuai konteks lokal dalam GAD,

daripada gebyah uyah perempuan dalam WID selalu didominasi lelaki).

Melalui kerangka permasalahan di atas, tulisan ini hendak membahas

problem translasi pemikiran gender yang terus terjadi dalam proyek

pembangunan. Selanjutnya dibahas problem pengarusutamaan gender sebagai

proses penyusunan narasi besar baru. Akhirnya hendak diajukan kritik mendasar

perihal basis masalah sebagai dasar intervensi proyek-proyek pembangunan

yang mengedepankan analisis gender.

Problem Translasi

Translasi merupakan upaya peminjaman konsep oleh pihak lain yang

berpijak pada paradigma yang berbeda, sehingga konsep itupun dikonstruksi

ulang guna menguntungkan kepentingannya (Said, 1995). Proses translasi ini

membalut kekuasaan –atau lebih tepat hegemoni—pada saat donor dan para

pendukung pembangunan memasukkan pemikiran perihal gender dari

pengkritiknya ke dalam narasi besar sehingga seakan-akan berasal dari donor

sendiri.

Di sini mula-mula hendak disajikan perbedaan cara berpikir berbasis

gender antara masyarakat Barat dan Timur. Kemudian disampaikan proses

translasi pemikiran Timur tersebut ke dalam hegemoni pemikiran Barat.

Dalam masyarakat Barat, problem gender berupa posisi perempuan yang

lebih rendah daripada laki-laki. Sebenarnya konstruksi problem ini relatif baru –

menguat sejak sekitar 1950-an—pada saat pembedaan antara ruang publik dan

domestik dipandang sebagai pendukung perkembangan industrialisasi (Parsons,

1955; Zimmerman, 1947).3 Ruang domestik yang penuh ikatan sosial yang tidak

3

(4)

rasional, hangat dan personal, hendak dipisahkan dari ruang publik yang rasional,

dingin, dan impersonal. Dualisme ruang publik dan domestik ini dipandang

memiliki kegunaan untuk menguatkan rasionalitas ekonomi berikut kapitalisme.

Patut diingat dualisme personalitas-domestik dari impersonalitas-publik ini

dengan penguatan birokrasi yang bersifat impersonal, yang dipandang penting

sebagai penopang kapitalisme (Weber, 1964).

Untuk menarik diskursus tersebut ke dalam ranah Indonesia, perlu selalu

dicatat tambahan beban kolonialisme (Hatta, 2000). Dualisme ruang

publik-domestik di atas berkelindan dengan dualisme ekonomi. Rasionalitas, kemajuan,

dan efisiensi berada dalam ekonomi kapitalis, yang kalis dari ekonomi

pra-kapitalis di mana irasionalitas, kemandegan, dan ikatan sosial berdiam (Boeke,

1953). Kedua jenis ekonomi ini dipandang terpisah, tidak mungkin bersatu, atau

lebih tepatnya (sekaligus sejajar dengan kolonialisme): ekonomi pra-kapitalis

tidak akan bersejajar dengan ekonomi kapitalis. Di masa kolonial iniberimplikasi

kepada kemusykilan kemerdekaan Indonesia, sementara saat ini berimplikasi

kepada perendahan masyarakat Timur. Pada titik ini ekonomi kapitalis

merupakan subyek, sementara ekonomi pra-kapitalis menduduki posisi liyan

(Other). Problem gender muncul kala lelaki bergerak dalam ekonomi kapitalis,

tetapi perempuan –kalaupun memasuki ranah ekonomi—terdorong ke dalam

kamar ekonomi pra-kapitalis. Menduduki posisi liyan menjadikan perempuan

hilang dari identitas ekonomi.

Beban pemikiran dualisme ekonomi tetap kuat hingga kini, karena

dualisme ekonomi ala Boeke segera menyeruak dan menguat dalam struktur

yang lebih ketat sekaligus meluas, baik berupa dualisme pasar tenaga kerja

hingga dualisme dalam industri (Watson, 2001). Dalam konteks negara-negara di

Timur, dualisme ekonomi mendasari pemikiran perihal pembangunan, terutama

dalam teori-teori modernisasi (yang dalam versi terbaru tetap dijalankan donor ke

dalam Indonesia) (Ranis, 2004).

Dalam panggung sejarah Barat, tidak mengherankan posisi pemikiran

Barat tersebut menghasilkan upaya penyetaraan posisi perempuan terhadap

laki-laki. Konstruksi ideal yang dituju dalam pembicaraan gender ialah persamaan

posisi lelaki dan perempuan (hal serupa juga tetap muncul dalam diskursus

feminisme) (Lazar, 2000; Pearson, 2002a).

(5)

Namun, apakah diskursus perbedaan posisi lelaki dan perempuan ala

Barat tersebut sahih berlaku di Indonesia? Selama masa kolonialisme Belanda,

pembedaan ruang yang kaku antara lelaki di ranah publik dan perempuan di

ranah domestik berlaku dalam rumahtangga Belanda totok (Gouda, 2007). Ras

campuran, yaitu perempuan indo, memiliki masalah karena dipandang terpaksa

bekerja (dalam ranah publik). Ketika melewati batas ruang domestik, perempuan

indo jatuh pada pekerjaan kasar dan mengarah kepada pekerjaan tidak bermoral

(menggoda lelaki dalam ruang kerja). Pada saat yang sama disadari bahwa

perempuan lapisan bawah di pedesaan juga selalu bekerja. Sesuai pandangan

yang bersifat silogisme di atas, perempuan lapisan bawah tersebut mestinya juga

tidak bermoral. Hanya saja perempuan lapisan bawah dipandang sebagai liyan,

sehingga keadaan mereka sudah dipandang sebagai sewajarnya. Permasalahan

gender berkutat pada ras kulit putih dan indo. Mengikuti pandangan kolonial,

perempuan lapisan atas (priayi) terbebas dari pekerjaan kasar, namun dengan

demikian terjerat dalam persoalan gender juga. Hal ini terekan bagus dalam

tulisan-tulisan Kartini, di mana emansipasi terutama ditujukan kepada sesama

perempuan priayi (pemikirannya sesuai zamannya).

Namun jika ditelusuri melalui pembalikan pemikiran, posisinya tidak tepat

serupa itu. Kebersamaan kerja antara lelaki dan perempuan telah lazim sejak

berabad-abad lalu, terutama di kalangan bawah. Hingga kinipun keadaan

tersebut lazim berlaku di kalangan mereka (Mulder, 2001; Sajogyo, 1981).

Pemimpin dan pahlawan perempuan juga jamak ditemukan di Indonesia sejak

berabad-abad lalu. Tidak ada pandangan pembedaan sesuatu sebagai

kelelakian (maskulin) atau bersifat keperempuanan (feminin). Alhasil, sulit untuk

menerima dualisme ruang publik dan ruang privat sebagai pembagian kerja

seksual maupun berbasis gender.

Yang lebih patut dicurigai ialah sektor kapitalis (jika memakai dualisme

ekonomi kapitalis dan pra-kapitalis ala Boeke) mungkin justru menarik

perempuan Timur ke dalam persoalan gender, yaitu mengubah posisi

perempuan dari subyek kehidupan menjadi liyan. Di masa penjajahan

perempuan priayi telah terperangkap. Manipulasi gender juga sudah muncul

dalam perkebunan (sektor kapitalis dalam analisis Boeke) (Breman, 1997).

Setelah merdeka, proyek-proyek pembangunan berbias lelaki. Proyek

pembangunan dapat digolongkan sebagai sektor kapitalis karena

(6)

atau wilayah proyek. Sebagai perbandingan, dalam usahatani “tradisional”

perempuan dan lelaki bekerja bersama-sama (Sajogyo, 1982, 1986). Akan tetapi

modernisasi pertanian mengkonstruksi pekerjaan feminin dan maskulin.

Manipulasi upah baru muncul dalam kapitalisasi pekerjaan dalam industri

pertanian, industri manufaktur, maupun industri jasa, sementara dalam pekerjaan

rumahan (ekonomi rumahtangga) tidak muncul manipulasi upah tersebut.

Kiranya sampai di sini terbuka peluang translasi persoalan gender yang

memiliki muatan kekuasaan. Secara ontologis, translasi pemikiran gender pada

aras lokal ke dalam paradigma pembangunan dominan menghasilkan diskursus

pemberdayaan untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam persaingan

dengan lelaki. Untuk meningkatkan kemampuan persaingan ini, perempuan perlu

berproduksi dalam pasar kapitalis (Saunders, 2004). Mereka perlu meningkatkan

efisiensi ekonomi dari setiap tindakan yang diputuskan. Tindakan yang

menghasilkan kegunaan lebih tinggi (dalam ranah utilitarian) dipandang sekaligus

menunjukkan daya saing perempuan yang tinggi.

Namun pertanyaan pokok tetap mengemuka. Dalam kondisi sektor

kapitalis yang justru menumbuhkan masalah gender, bagaimana menempatkan

proyek penanggulangan kemiskinan justru kepada perempuan miskin dan dari

wilayah tertinggal? Bukankah kedua hal ini bersifat kontradiktif?

Intervensi Pengarusutamaan

Pengarusutamaan (mainstreaming) dapat dibaca sebagai upaya

penambahan suatu variabel yang menetap kala menjalankan proses

pengambilan keputusan pembangunan, dan dalam hal ini ialah menambahkan

variabel gender. Minimal terdapat dua makna pengarusutamaan gender.

Pertama, pada satu sisi, sebagai upaya untuk mengatasi problem gender dalam

proses pembangunan selama ini. Namun dalam konteks Indonesia ada hal yang

perlu dikritisi, karena –sebagaimana disampaikan di atas—pembangunan

berupaya memasukkan perempuan dan lelaki ke dalam kapitalisme atau

ekonomi formal, namun selanjutnya menempatkan perempuan dalam posisi lebih

rendah daripada lelaki. Pertanyaan kualitatif yang diajukan ialah, sampaimana

pengarusutamaan gender bisa mengatasi problem gender yang –sudah disajikan

di muka pula—sebenarnya inheren dalam pemikiran rasionalitas kapitalis ala

(7)

Kedua, di sisi lain, pengarusutamaan dapat dipandang sebagai pembuka

jalan intervensi donor dan negara Barat ke dalam ranah publik hingga domestik

masyarakat (atau keluarga) Timur. Jalur intervensi mula-mula dibuka melalui

standardisasi statistika gender. Memang pengarusutamaan mengandaikan suatu

standardisasi. Sebagaimana idiom industri, sayangnya, standardisasi

memungkinkan suatu keseragaman penilaian. Logos di balik standardisasi

statistika gender ialah, pertama, kuantitas atau nilai banyak dipandang baik

(Foucault, 2002a, 2002b)–yang segera mengingatkan pada prinsip utilitarian.

Kedua, saya memandang penting logika nilai-tengah tempat mengumpulnya data

dalam bentuk rata-rata, median atau modus, sebagai landasan legitimasi angka

statistika. Akan tetapi keseragaman penilaian dengan menggunakan indikator

statistika yang sama, selalu menghasilkan kelebihan dari negara Barat dan

kekurangan di negara Timur. Kehadiran perempuan dalam sekolah formal,

misalnya, merupakan indikator yang digunakan untuk menunjukkan kelemahan

negara Timur (World Bank, 2000).

Lebih mendalam lagi, logosentrisme menerangi pandangan

keterbelakangan Timur, yang secara evolutif selayaknya mengejar Barat.

Membanding nilai statistika gender antar negara langsung menunjukkan

kekurangan nilai Timur sekaligus kelebihan nilai Barat dalam pembangunan,

sehingga menjadi legitimasi bagi tutelage Barat terhadap Timur agar

mengikutinya.

Humanisme ala Kantian muncul dalam bentuk pemberdayaan bagi Yang

Lain (Other), terutama dalam konsep pengembangan kapasitas (capacity

building) mereka. Menurut Kant, seorang yang dewasa –yang ternyata

maksudnya Barat, menurut Said (2001)—menjadi seorang humanis, dan dalam

dirinya terkandung tugas (deontologis) untuk memberdayakan

(”meng-humanis-kan”) orang lain yang belum dewasa (yaitu masyarakat dan keluarga di Timur ).

Humanisme mendasari pandangan bahwa negara Barat lebih maju sehingga

lebih humanis. Oleh karena pembangunan berlangsung secara internasional,

merekalah yang dipandang dan mendapat legitimasi untuk memajukan

negara-negara Timur. Pengembangan kapasitas perempuan dalam terang humanisme,

dengan demikian, merupakan salah satu tutelage untuk menguatkan diskursus

pembangunan secara berkelanjutan versi negara-negara Barat. Tutelage

menunjukkan Barat memandang diri lebih humanis sehingga memiliki legitimasi

(8)

Namun demikian kritik bisa diajukan terhadap pengarusutamaan gender,

antara lain dalam memahami kontradiksi rangkaian hasil penelitian Pudjiwati

Sajogyo dan World Bank di atas. Pudjiwati jelas menunjukkan peran penting

perempuan dalam keluarga miskin baik dalam sektor domestik maupun sektor

publik. Hasil penelitian ini sejajar dengan penelitian lain sejak lingkup masa

penjajahan hingga kini, sebagaimana dilaporkan oleh Gouda. Dengan kata lain,

tidak ada problem gender dalam keluarga miskin, sehingga kalislah justifikasi

intervensi dalam bentuk pengarusutamaan gender untuk keluarga miskin.

Akan tetapi statistika World Bank justru menghasilkan kesimpulan

problem gender pada keluarga miskin dan wilayah tertinggal, sehingga

menghasilkan legitimasi pengarusutamaan gender dalam proyek-proyek

penanggulangan kemiskinan. Ketiadaan sesuatu (dalam kasus di atas ialah

kekurangan kehadiran perempuan dalam sekolah formal maupun kehadiran pada

proyek pembangunan) memberikan justifikasi bagi donor dan negara Barat untuk

melakukan intervensi gender (tutelage) kepada negara-negara di Timur. Namun

demikian, sampaimana sahih untuk menilai masyarakat Timur melalui alat

standard Barat yang berbasis dualisme ekonomi kapitalis, apalagi setelah

fakta-fakta yang menunjukkan ketiadaan masalah gender di sana?

Dari Masalah menjadi Pemilikan

Konsep tentang masalah (problem) menduduki peringkat penting dalam

diskursus pembangunan. Haruslah ada masalah sosial atau alamiah sebelum

suatu proyek pembangunan mengatasinya (problem solver). Sejak awal lokasi

masalah inipun menjadi pemeri teori-teori pembangunan, antara paradigma

modernisasi yang menandai masalah itu dari dalam masyarakat itu sendiri,

dengan paradigma keterbelakangan yang menuduh masalah berasal dari pihak

luar (Long, 1977).

Perhatian gender dalam proyek pembangunan tidak lepas dari asumsi

adanya masalah dalam hubungan lelaki dan perempuan. Oleh karena

perempuan dipandang bermasalah (paradigma modernisasi), atau interaksinya

dengan lelaki menimbulkan masalah (paradigma keterbelakangan), maka

petugas proyek berwenang untuk memberdayakan sasaran proyek agar menjadi

manusia sejati.

Selaras dengan pandangan utilitarian, masalah dalam pembangunan

(9)

perempuan, misalnya, menunjukkan kekurangannya akan akses, kekurangan

kehadiran di sekolah, kekurangan kehadiran dalam lapangan kerja (World Bank,

2000). Bahwa perempuan selalu mengandung masalah “tidak memiliki” dapat

saja berdiam dalam alam bawah sadar, sebagaimana diteorikan dalam

psikoanalisis bahwa sejak kecil perempuan merasakan kekurangan hakiki berupa

tidak memiliki phalus (Freud, 2003)

Namun apa jadinya kalau perempuan memaknai dirinya memiliki rahim?

Dibandingkan lelaki, misalnya, Tuhan memerlukan percakapan dengan rahim

yang memiliki tugas menyatukan ikatan (silaturahim) antar manusia (Team Daar

Al Bazz, 2003). Perempuan juga selalu disapa Tuhan manakala di rahimnya

tertanam janin. Bahkan malaikat bersemayam di sana hingga janin keluar

menjadi bayi. Dengan kata lain, secara hakiki perempuan memiliki sesuatu

(rahim) yang tidak mungkin dimiliki lelaki. Membalik pemikiran Freud, dapat saja

lelaki dipandang selalu terobsesi kepada rahim sehingga selalu berusaha

memasukinya kembali. Dalam konteks ikatan komunal di Indonesia, di mana

perkembangan psikis warga tidak pernah terindividuasi, implikasinya ialah

perempuan hampir selalu menjadi superego lelaki, baik berupa anak lelaki

kepada ibunya, maupun suami kepada istrinya (Mulder, 2001).

Jika bahasa hendak dimaknai sebagai refleksi sekaligus pembentuk

realitas –bahasa seperti mantra, tidak harus berposisi linguistik ala Barat

(Heryanto, 1988)—perlu disampaikan ketiadaan nuansa gender dalam

bahasa-bahasa di Indonesia. Bandingkan dengan tata bahasa-bahasa Arab berbasiskan gender.

Mungkin memang permasalahan pemikiran di Indonesia bukanlah perihal

perbedaan peran lelaki dan perempuan. Mengambil pemahaman dari tata

bahasa lokal, mungkin persoalan yang lebih mendalam berupa stratifikasi sosial

yang agak kaku. Bahkan tata bahasa Indonesia pasar yang semula egaliter pun

mengalami proses penciptaan dan peningkatan kramanisasi (struktur bertingkat

dalam berbahasa untuk merespon stratifikasi sosial) (Anderson, 2000).

Pada aras material, di negara-negara Timur juga lazim perempuan

memiliki akses pemasaran, dan mendominasi pasar tradisional sebagai penjual

(selain pembeli) bahkan sejak sebelum kolonialisme (Alexander dan Alexander,

2001; Nastiti, 2003). Sebelum Revolusi Hijau, perempuan sudah mendominasi

budidaya padi sawah. Data-data semacam ini kontras dengan pandangan

tentang masalah perempuan yang terjauhkan dari budidaya tanaman,

(10)

mereka). Justru proyek pemberdayaan perempuan dalam pemasaran berpotensi

mengurangi peluang perempuan kebanyakan –sebaliknya meluaskan segelintir

sasaran proyek yang mendapat limpahan modal—dalam akses pemasaran

(Seligmann, 2001).

Penutup

Proses translasi yang memasukkan kritik gender ke dalam paradigma

pembangunan dominan (liberalisme gender) dapat dipahami sebagai upaya

konstruksi hegemoni baru berupa kelemahan perempuan Timur baik

dibandingkan dengan lelaki Timur maupun perempuan Barat. Ketika arena sudah

disusun demikian, pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) berpotensi

menjadi masalah baru manakala berupaya mewujudkan narasi besar baru yang

mengintervensi dan menindih beragam narasi gender lokal di Indonesia.

Pemikiran tandingan perlu dikemukakan untuk menunjukkan menurunkan

kadar hegemoni narasi besar. Di atas telah disajikan kekuatan perempuan dalam

ranah domestik maupun publik, terlebih pada keluarga miskin atau lapisan bawah.

Kesimpulan yang mungkin berbahaya bagi keberadaan proyek

pembangunan ialah, jika masyarakat tidak memandang hubungan lelaki dan

perempuan di lokasinya itu bermasalah, maka apa gunanya pembahasan

gender? Bahkan, apa gunanya proyek pembangunan? Bukankah di wilayah

tersebut tidak diperlukan pemecahan terhadap masalah (problem solver) ?

Daripada berkutat pada pencarian masalah hubungan lelaki dan

perempuan di Indonesia –apalagi dengan membandingkannya dengan satu

standard sedunia—sebetulnya lebih bermanfaat untuk menggali kelebihan pola

hubungan lelaki-perempuan tersebut. Sampaimana pola hubungan tersebut

mampu meningkatkan demokrasi suatu komunitas? Apa sajakah harapan

perbaikan yang dikehendaki dari kelebihan pola hubungan gender tersebut?

Metode partisipatif bermakna penting untuk menggali makna berikut masa

depan komunitas berbasis gender. Sejalan dengan pemikiran di atas, metode

kajian apresiatif (appreciative inquiry) lebih cocok dilakukan, karena metode ini

lebih menekankan kelebihan dan harapan warga daripada berkutat menggali

masalah mereka. Ibarat cerita teladan, metode kajian apresiatif menghasilkan

wortel yang terpasang di depan kepala kuda, bukan menghasilkan cambuk untuk

(11)

Daftar Pustaka

ADB. 2006. Project Administration Memorandum, Project Number 39597, Loan Number 2221, Republic of Indonesia: Rural Infrastructure Support Project. Manila. The Philippines: ADB

____. 2001. Moving the Poverty Reduction Agenda Forward in Asia and the Pacific: The Long-Term Strategic Framework of the Asian Development Bank (2001-2015). The Philippines: ADB.

____. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction Strategy of the Asian Development Bank. The Philippines: ADB.

Alexander, J, P Alexander. 2001. Markets as Gendered Domains: The Javanese

Pasar. In: LJ Seligmann, ed. Women Traders in Cross-Cultural Perspective: Mediating Identities, Marketing Wares. Stanford, CA: Stanford Univ. Pr.

Anderson, BR’OG, 2000, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Terjemahan Language and Power: Exploring Politicial Cultures in Indonesia. Yogyakarta: MataBangsa.

Boeke JH. 1953. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda. Di dalam Sajogyo ed. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Economic Policy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia.

Boserup, E. 1970. Women’s Role in economic Development. London: Allen & Unwin.

Breman J. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad Ke-20. Jakarta: Grafiti. Terjemahan dari: Koelies, Planters en Koloniale Politiek, Het Arbeitregime op de Grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het Begin van de Twintigste Eeuw.

Chafetz, JS. 2006. The Varieties of Gender Theory in Sociology. In: JS Chafetz,

ed. Handbook of the Sociology of Gender. New York: Springer

Dongier, P, JV Domelen, E Ostrom, A Ryan, W Wakeman, A Bebbington, S Alkire, T Esmail, M Polski. 2003. Community-Driven Development. Washington DC: World Bank.

Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Terjemahan. Jakarta: Serambi.

Foucault, M. 2002a. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan dari P Rabinow, ed. Aesthetics, Method and Epistemology: Essential Works of Foucault 1954-1984. Yogyakarta: Jalasutra

_________. 2002b. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.

Freud, S. 2003. Teori Seks. Terjemahan, Yogyakarta: Jendela Hatta, M. 2000. Mohammad Hatta Bicara Marxis. Jakarta: Melibas.

Heryanto, A. 1988. The “Development” of Development. In: Indonesia No. 46. Lazar, MM. 2000. Gender, Discourse and Semiotics: The Politics of Parenthood

Representations. In: Discourse & Society Th. 11 No. 3.

Long, N, 1977, An Introduction to the Sociology of Rural Development. Colorado: Westview Pr.

McMichael, P. 2003. Development and Social Change : A Global Perspective.

Thousand Oaks: Pine Forge.

Mulder, N. 2001. Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: LKIS.

Nastiti, TS. 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi.

(12)

Parsons, T. 1955. The Isolated Conjugal Family. In: M. Anderson. Sociology of the Family, Second Ed. Middlesex, UK: Penguin.

Pearson, R. 2002a. Gender and Development. In: C Kirkpatrick, R Clarke, C Polidano, eds. Handbook on Development Policy and Management. Cheltenham, UK: Edward Elgar.

_________. 2002b. Rethinking Gender Matters in Development. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.

Ranis G, 2004. The Evolution of Development Thinking: Theory and Policy. Economic Growth Center Discussion Paper No. 886. New Haven: Yale University

Said, EW. 2001. Orientalisme. Terjemahan Orientalism. Bandung: Pustaka. ________. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni

Barat. Terjemahan. Bandung: Mizan.

Sajogyo, P. 1986. Bentuk-bentuk Kesempatan Kerja bagi Wanita. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan dan Kesempatan Kerja: Tinjauan Kembali Permasalahan dan Pilihan Kebijakan, oleh Mapindo dan LSP, Jakarta 16-17 Januari 1986.

_________. 1982. Women’s Studies in Rural Indonesia. Makalah disampaikan dalam Konperensi Internasional Kedua Canadian Council for Southeast Asian Studies, Singapore, 21-24 Juni 1982.

_________. 1981. Peranan Wanita dalam Pembangunan di Berbagai Lingkungan, Desa dan Kota: Suatu Tinjauan Sosiologis. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Siaran Wanita dan Pembangunan, Departemen Penerangan, Jakarta, 12-13 Oktober 1981.

Saunders, K. 2004. Introduction: Towards a Deconstructive Post-Development Criticism. In: K. Saunders, ed. Feminist Post-Development Thought: Rethinking Modernity, Postcolonialism & Representation. New Delhi: Zubaan.

Scott, JW, LA Tilly. 1975. Women’s Worlk and the Family in Nineteenth-Century. In: M. Anderson. Sociology of the Family, Second Ed. Middlesex, UK: Penguin.

Seligmann, LJ. 2001. Introduction: Mediating Identities and Marketing Wares. In:

LJ Seligmann, ed. Women Traders in Cross-Cultural Perspective: Mediating Identities, Marketing Wares. Stanford, CA: Stanford Univ. Pr. Team Daar Al Bazz. 2003. Syarah Hadits Qudsi. Jakarta: Azzam

Tim Koordinasi Program Pengembangan Kecamatan. 2005. Penjelasan IV: Jenis dan Proses Pelaksanaan Bidang Kegiatan PPK. Jakarta: Departemen Dalam Negeri.

Watson TJ. 2001. Sociology, Work and Industry. London: Routledge.

Weber, M, 1964, The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press.

World Bank. 2000. Engender Development: Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice. Washington DC: The World Bank

__________. 1992. Governance and Development. Washington, DC: World Bank. Zimmerman, CC. 1947. The Atomistic Family. In: M. Anderson. Sociology of the

Family, Second Ed. Middlesex, UK: Penguin.

Referensi

Dokumen terkait

Jika ternyata dalam waktu 2 (dua) semester, penyusunan Proposal atau Tugas Akhir belum juga selesai, maka mahasiswa harus mengajukan ulang judul Proposal atau Tugas

Agar tidak terjadi salah paham dalam memahami penelitian ini, penulis merumuskan definisi operasional seperti berikut ini. 1) Metode probing prompting learning

Namun, dengan kondisi perpustakaan yang tidak dirawat dan pemerintah daerah yang sudah tidak mengelola fasilitas tersebut sehingga perpustakaan tersebut kurang

Physiology of Nitrous oxide Produktion In Estuarin Dissimilative Nitrate Reducing Bacteria [thesis].. Department of Biologi University of

16 Tidak(N) ya No(E>TER) Tidak(B/C dan keuntungan rendah) Pertimbangan aspek- Pengetahuan- Teknologi & infrastruktur- Kepemilikan lahan ya Peta

Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma tahun 2013 mengenai perbedaan efektivitas sikat gigi elektrik dengan sikat gigi manual terhadap penurunan indeks plak pada anak

Kajian ini bertujuan untuk mengenalpasti tahap penggunaan strategi terjemahan dalam pembelajaran bahasa Arab dalam kalangan pelajar universiti. Kajian ini mensasarkan