PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2014
www.pta-kendari.go.id
I.
PENDAHULUAN
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.1 Dalam hal ini dapat
diartikan bahwa Barang Milik Negara (BMN) merupakan bagian dari Keuangan Negara,
sehingga diperlukan dasar hukum yang mengatur mengenai pengelolaan BMN.
Definisi BMN berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau yang berasal dari perolehan lain yang sah.2 Sedangkan Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau yang berasal dari perolehan lain
yang sah.3 UU Nomor 1 Tahun 2004 dalam Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (6) mengamanatkan disusunnya Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan BMN/D.
Pengelolaan BMN/D secara lebih spesifik sudah dimulai dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008 yang mengatur berbagai hal berkaitan dengan perencanaan,
penganggaran, pengadaan, pemeliharaan, pengendalian, dan pertanggungjawaban terhadap
BMN/D. Namun, PP Nomor 6 Tahun 2006 hingga saat ini dirasakan belum sepenuhnya dapat secara efektif dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat d.h.i. Kementerian/Lembaga maupun
Pemerintah Daerah, terbukti dengan masih banyaknya temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berkaitan dengan pelaksanaan PP Nomor 6 Tahun 2006 yang berdampak pada opini.4 Temuan-temuan tersebut diantaranya berkaitan
dengan sertifikasi BMN/D, BMN/D dalam sengketa, BMN/D hilang atau rusak berat, BMN/D yang dimanfaatkan oleh pihak lain, dan penyusutan BMN/D. Dinamika dari pengelolaan
1
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 2
Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 3
Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4
BMN/D baik yang bersifat administratif maupun utilisasinya tidak cukup tertampung dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Hal tersebut kemudian mendorong Pemerintah melalui Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menerbitkan PP Nomor 27 Tahun 2014
sebagai pengganti PP Nomor 6 Tahun 2006.
II. PERMASALAHAN
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan hukum ini adalah “bagaimana pengelolaan
BMN/D berdasarkan PPNomor 27 Tahun 2014?”.
III. PEMBAHASAN
PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D sebagaimana telah diubah terakhir
dengan PP Nomor 38 Tahun 2008 dinilai mempunyai banyak sekali kekurangan. Kekurangan tersebut di antaranya adalah belum adanya aturan khusus mengenai pengelolaan BMN/D yang
meliputi sewa BMN/D, kerja sama pemanfaatan, maupun BMN yang terletak di luar negeri.5
Dapat dikatakan bahwa PP Nomor 6 Tahun 2006 sudah tidak sesuai dengan dinamika pengelolaan BMN/D sekarang, sehingga diperlukan penyempurnaan atas peraturan tentang
pengelolaan BMN/D. Hal ini juga didukung oleh temuan pemeriksaan BPK serta adanya
kasus-kasus kecurangan terkait pengelolaan BMN/D. Berdasarkan latar belakang tersebut, pemerintah
menerbitkan PP Nomor 27 Tahun 2014 untuk menggantikan PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PP Nomor 38 Tahun 2008.
A. Definisi
PP Nomor 27 Tahun 2014 masih mendefinisikan BMN dan BMD seperti pada
PP Nomor 6 Tahun 2006 jo. PP Nomor 38 Tahun 2008, yaitu menggunakan definisi yang
terdapat pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada PP Nomor 27 Tahun 2014 terdapat perubahan dan penambahan ketentuan yang sebelumnya tidak diatur
dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 jo. PP Nomor 38 Tahun 2008. Perubahan tersebut terjadi
pada istilah Penilai, Penilaian, Pemanfaatan, dan Pemindahtanganan. Perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika pengelolaan BMN/D dan menghindari
ketidaksinkronan dengan peraturan lain. Sedangkan, penambahan ketentuan pada PP Nomor
27 Tahun 2014 terjadi dalam rangka menyesuaikan dengan adanya penambahan baik mekanisme maupun tahapan dalam pengelolaan BMN/D. Penambahan tersebut terdiri dari :
1. Penambahan penjelasan mengenai definisi Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang
sudah seharusnya dilakukan mengingat pada PP Nomor 27 Tahun 2014 ditambahkan satu mekanisme pemanfaatan BMN/D yaitu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sehingga
diperlukan definisi yang jelas guna menghindari terjadinya perbedaan persepsi. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur adalah kerja sama antara pemerintah dan badan usaha
untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5
2. Penambahan penjelasan mengenai definisi Pemusnahan yang dilakukan mengingat pada PP Nomor 27 Tahun 2014 ditambahkan satu tahapan dalam siklus pengelolaan BMN/D
yaitu terkait pemusnahan sehingga diperlukan definisi yang jelas guna menghindari
terjadinya perbedaan persepsi. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN/D.
B. Ruang Lingkup
Terdapat penambahan dan perubahan urutan tahapan atau mekanisme pada ruang
lingkup pengelolaan BMN/D pada PP Nomor 27 Tahun 2014. Terkait penambahan tahapan atau mekanisme, PP Nomor 27 Tahun 2014 mengatur perihal Pemusnahan BMN/D dengan
bab tersendiri, berbeda dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 yang mengatur perihal Pemusnahan
dalam Bab Penghapusan. Pertimbangannya adalah penghapusan BMN/D tidak hanya terjadi dikarenakan pemusnahan tapi dapat juga disebabkan karena pemindahtanganan.
Perubahan urutan tahapan atau mekanisme dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 terjadi
pada Bab mengenai Pemindahtanganan dan Pemusnahan yang terletak sebelum Bab Penghapusan. Sedangkan pada PP Nomor 6 Tahun 2006, Bab mengenai pemindahtanganan
terletak setelah Bab Penghapusan. Perubahan ini dilakukan mengingat proses penghapusan
idealnya terjadi setelah adanya pemusnahan atau pemindahtanganan. Selangkapnya,
perbedaan ruang lingkup antara PP Nomor 6 Tahun 2006 dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 adalah sebagai berikut :
Pengaturan mengenai Pejabat Pengelola BMN/D pada PP Nomor 27 Tahun 2014 tidak mengalami perubahan yang berarti, hanya terjadi penambahan berupa
diperbolehkannya pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab tertentu kepada
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.
1. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN/D.6 Pengelola BMN adalah
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, yang dapat mendelegasikan
kewenangan dan tanggung jawab tertentu kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.7Khusus untuk BMD yang menjadi pemegang kekuasaan pengelolaannya adalah
Gubernur/Bupati/Walikota, sedangkan yang menjadi pengelola BMD adalah Sekretaris
Daerah.8
2. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN/D.9
Pengguna BMN adalah Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pimpinan kemeterian/lembaga yang dapat mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab
tertentu kepada Kuasa Pengguna Barang.10 Sedangkan Pengguna BMD adalah Kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).11
3. Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh
Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan
sebaik-baiknya.12 Kuasa Pengguna BMN adalah Kepala Kantor dalam lingkungan Kementerian/Lembaga.13
4. Penilai adalah pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan
kompetensi yang dimilikinya.14 Penilaian BMN berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka Pemanfaatan atau Pemindahtanganan dilakukan oleh:15 a. Penilai Pemerintah; atau
b. Penilai Publik yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.
Penilaian BMD berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka Pemanfaatan atau Pemindahtanganan dilakukan oleh:16
a. Penilai Pemerintah; atau
b. Penilai Publik yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
D. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran BMN/D
Perencanaan Kebutuhan BMN/D dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 disusun dengan memperhatikan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/SKPD serta
ketersediaan BMN/D yang ada.17Hal ini berbeda dengan pengaturan perencanaan kebutuhan
BMN/D pada PP Nomor 6 Tahun 2006 yang hanya memperhatikan ketersediaan BMN/D.18
6
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 3.
7
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (3).
8
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (3).
9
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 4.
10
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (3).
11
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 8 Ayat (1).
12
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 5.
13
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 7 Ayat (1).
14
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 6.
15
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 50 Ayat (1).
16
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 50 Ayat (2). 17
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 9 Ayat (1). 18
Adapun ruang lingkup perencanaan kebutuhan meliputi perencanaan pengadaan, pemeliharaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, dan penghapusan BMN/D.
PP Nomor 27 Tahun 2014 menjelaskan bahwa perencanaan kebutuhan merupakan
salah satu dasar bagi Kementerian/Lembaga/SKPD dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar (baseline) serta
penyusunan rencana kerja dan anggaran.19 Sedangkan PP Nomor 6 Tahun 2006 hanya
menyatakan bahwa perencanaan kebutuhan BMN/D disusun dalam rencana kerja dan anggaran.20
Berbeda dengan PP Nomor 6 Tahun 2006, PP Nomor 27 Tahun 2014 secara tegas mengatur bahwa penetapan standar kebutuhan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri dan standar harga ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.21
E. Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan, Pemeliharaan, dan Penilaian BMN/D
1. Pengadaan
Pengaturan tentang Pengadaan BMN/D dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 tidak
mengalami perubahan yang berarti. Mengingat proses pengadaan yang sangat panjang
dan rumit sehingga perlu penjelasan lebih detail dalam peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mekanisme pengadaan BMN/D.
2. Penggunaan
PP Nomor 27 Tahun 2014 menetapkan pengecualian terhadap penetapan status penggunaan. Penetapan status penggunaan tidak dilakukan terhadap :22
a. BMN/D berupa: barang persediaan; konstruksi dalam pengerjaan; atau barang yang
dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan.
b. BMN yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas pembantuan,
yang direncanakan untuk diserahkan;
c. BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang; atau d. BMD lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Sedangkan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006, penetapan status penggunaan barang berlaku
untuk seluruh BMN/D.
PP Nomor 27 Tahun 2014 juga menyederhanakan proses penetapan status
penggunaan BMN/D sebagai berikut :23
a. Pengelola Barang dapat mendelegasikan penetapan status Penggunaan BMN selain tanah dan/atau bangunan kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.
b. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mendelegasikan penetapan status Penggunaan atas BMD selain tanah dan/atau bangunan dengan kondisi tertentu kepada Pengelola
Barang Milik Daerah.
19
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 9 Ayat (3). 20
PP Nomor 6 Tahun 2006, Pasal 9 Ayat (1).
21
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 9 Ayat (6) dan Ayat (7).
22
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 15.
23
c. Dalam kondisi tertentu, Pengelola Barang dapat menetapkan status Penggunaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang tanpa didahului usulan dari
Pengguna Barang.
Pada PP Nomor 27 Tahun 2014, terdapat penambahan ketentuan mengenai pengalihan BMN/D. Disebutkan dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 bahwa BMN/D dapat
dialihkan status penggunaannya dari Pengguna Barang kepada Pengguna Barang lainnya
untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi berdasarkan persetujuan Pengelola Barang.24 Selain itu juga disebutkan bahwa BMN/D yang telah ditetapkan status penggunaannya
pada Pengguna Barang dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN/D tersebut setelah
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota.25
Terdapat pengecualian kewajiban penyerahan BMN/D berupa tanah atau bangunan yang tidak digunakan apabila BMN/D tersebut telah direncanakan untuk
digunakan atau dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh
Pengguna Barang, untuk BMN, atau Gubernur/Bupati/Walikota untuk BMD.26
Terdapat tambahan sanksi bagi pengguna barang yang tidak menyerahkan BMN
yang tidak digunakan, yaitu penundaan penyelesaian atas usulan Pemanfaatan,
Pemindahtanganan, atau Penghapusan BMN.27
3. Pemanfaatan
Dalam PP Nomor 27 Tahun 2014, terdapat bentuk pemanfaatan BMN/D yang
baru yaitu “Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur” yang masa sewanya paling lama 50 tahun dan dapat diperpanjang. Sedangkan bentuk pemanfaatan lainnya masih sama
dengan yang diatur pada PP Nomor 6 Tahun 2006 yang kemudian dalam PP Nomor 27
Tahun 2014 mengalami beberapa perubahan dan penambahan yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Sewa
Sewa BMN/D dilaksanakan terhadap:28 1) BMN yang berada pada Pengelola Barang;
2) BMD berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna
Barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota; 3) BMN yang berada pada Pengguna Barang;
4) BMD berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh
Pengguna Barang; atau
5) BMD selain tanah dan/atau bangunan.
BMN/D dapat disewakan kepada pihak lain dengan jangka waktu sewa paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, untuk kegiatan berupa kerja sama infrastruktur
dan kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu sewa lebih dari 5
24
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 20 Ayat (1). 25
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 19. 26
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 22 Ayat (3). 27
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 23 Ayat (1) huruf b.
28
(lima) tahun, atau ditentukan lain dalam Undang-Undang.29 Hasil Sewa BMN/D merupakan penerimaan negara yang seluruhnya wajib disetorkan ke rekening Kas
Umum Negara/Daerah secara tunai paling lambat dua hari kerja sebelum
ditandatanganinya perjanjian Sewa BMN/D dengan pengecualian bagi penyetoran uang Sewa BMN/D kerja sama infrastruktur yang dapat dilakukan secara bertahap
dengan persetujuan Pengelola Barang.30
Penambahan aturan mengenai jangka waktu penyewaan khusus untuk sewa infrastruktur serta batasan waktu penyetoran uang sewa yang harus dilakukan secara
tunai paling lambat dua hari kerja sebelum ditandatanganinya perjanjian sewa merupakan pengaturan yang sebelumnya tidak terdapat pada PP Nomor 6 Tahun
2006.
b. Pinjam Pakai
Pinjam Pakai BMN/D dilaksanakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
atau antar Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dengan
jangka waktu pinjam pakai paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang satu kali berdasarkan perjanjian.31 Dengan pembatasan tersebut, pemanfaatan BMN/D secara
pinjam pakai hanya bisa dilakukan maksimal selama 10 tahun. Hal ini berbeda
dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 yang memberikan pembatasan waktu pinjam pakai
adalah dua tahun dan hanya bisa diperpanjang 1 kali. c. Kerja sama Pemanfaatan
Terdapat beberapa penambahan pengaturan bentuk pemanfaatan BMN/D berupa
Kerja sama Pemanfaatan (KSP) pada PP Nomor 27 Tahun 2014. Pertama, penambahan aturan mengenai KSP dengan mekanisme penunjukan langsung yang
hanya dapat dilakukan oleh Pengguna Barang terhadap BUMN/D yang memiliki
bidang dan/atau wilayah kerja tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.32 Kedua, terdapat tambahan pengaturan mengenai jangka waktu KSP
BMN/D penyediaan Infrastruktur yaitu 50 tahun sejak perjanjian ditandatangani dan
dapat diperpanjang.33 Ketiga, pembagian kontribusi bagi KSP penyediaan infrastruktur, yaitu bagi penyediaan infrastruktur berbentuk BUMN/D, kontribusi
tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh
puluh persen) dari hasil perhitungan tim dan pembagian keuntungan ditetapkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.34
PP Nomor 27 Tahun 2014 juga mengatur larangan bagi mitra KSP untuk
menjaminkan atau menggadaikan BMN/D yang menjadi objek KSP, serta menegaskan bahwa semua biaya persiapan KSP yang terjadi setelah
ditetapkannya mitra KSP dan biaya pelaksanaan KSP menjadi beban mitra KSP.
29
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 29 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3).
30
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 29 Ayat (8), Ayat (9), dan Ayat (10).
31
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 30.
32
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 33 Ayat (1) Huruf c.
33
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 33 Ayat (4)
34
d. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan BMN/D berupa tanah oleh pihak lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.35
Bangun Serah Guna adalah pemanfaatan BMN/D berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah
selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.36
Bangun Guna Serah (BGS) atau Bangun Serah Guna (BSG) BMN/D dilaksanakan
dengan pertimbangan:37
1) Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan
pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
2) tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBN/APBD untuk
penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut.
Jangka waktu BGS/BSG paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian
ditandatangani dan penetapan mitra BGS/BSG dilaksanakan melalui tender.38
Mitra BGS/BSG yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian
diwajibkan untuk :
1) membayar kontribusi ke rekening Kas Umum Negara/Daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh
pejabat yang berwenang, diwajibkan memelihara objek BGS/BSG, dan dilarang
menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan tanah yang menjadi objek BGS/BSG.39
2) Dalam jangka waktu pengoperasian, hasil BGS atau BSG harus digunakan
langsung untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah Pusat/Daerah paling sedikit 10% (sepuluh persen).40
3) Semua biaya persiapan BGS atau BSG yang terjadi setelah ditetapkannya mitra
BGS atau BSG dan biaya pelaksanaan BGS atau BSG menjadi beban mitra yang bersangkutan.41
Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang berbunyi
“Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan BGS/BSG tidak dapat dibebankan pada APBN/APBD42yang dinilai sangat rancu dan multitafsir. Selain itu,
35
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 14. 36
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 15.
37
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 34 Ayat (1).
38
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2).
39
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 36 Ayat (3).
40
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 36 Ayat (4).
41
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 36 Ayat (7).
42
PP Nomor 27 Tahun 2014 menegaskan bahwa hasil BSG yang diserahkan kepada Pengelola Barang ditetapkan sebagai BMN/D.
e. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas BMN/D dilaksanakan terhadap :43
1) BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola Barang/Pengguna
Barang;
2) BMN/D berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang; atau
3) BMN/D selain tanah dan/atau bangunan.
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas BMN/D pada Pengelola Barang
dilaksanakan oleh :44
1) Pengelola Barang, untuk BMN; atau
2) Pengelola Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota, untuk BMD.
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas BMN/D pada Pengguna Barang
dilaksanakan oleh :45
1) Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk BMN; atau
2) Pengguna Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota, untuk BMD.
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas BMN/D dilakukan antara pemerintah dan
badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan/atau koperasi.46
Jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun
dan dapat diperpanjang.47Mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur, selama jangka waktu kerja sama penyediaan infrastruktur dilarang menjaminkan, menggadaikan,
atau memindahtangankan BMN/D yang menjadi objek Kerja Sama Penyediaan
Infrastruktur, wajib memelihara objek Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dan barang hasil kerja sama penyediaan infrastruktur, dan dapat dibebankan pembagian
kelebihan keuntungan sepanjang terdapat kelebihan keuntungan yang diperoleh dari
yang ditentukan pada saat perjanjian dimulai (clawback).48
Pembagian kelebihan keuntungan disetorkan ke Kas Umum Negara/Daerah dengan
Formula dan/atau besaran pembagian kelebihan keuntungan ditetapkan oleh :49
1) Pengelola Barang, untuk BMN; atau
2) Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah.
Mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur harus menyerahkan objek Kerja Sama
Penyediaan Infrastruktur dan barang hasil kerja sama penyediaan infrastruktur kepada pemerintah pada saat berakhirnya jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur
43
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 38 Ayat (1).
44
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 38 Ayat (2).
45
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 38 Ayat (3).
46
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 39 Ayat (1) dan Ayat (2).
47
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 39 Ayat (3).
48
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 39 Ayat (5).
49
sesuai perjanjian.50Barang hasil kerja sama penyediaan infrastruktur tersebut menjadi BMN/D sejak diserahkan kepada Pemerintah sesuai perjanjian.51
f. Tender
PP Nomor 27 Tahun 2014 mengatur mengenai proses tender untuk pemilihan mitra kerja sama pemanfaatan dan mitra BGS/BSG, yang dilakukan dengan tata cara
sebagai berikut :52
1) rencana tender diumumkan di media massa nasional;
2) tender dapat dilanjutkan pelaksanaannya sepanjang terdapat paling sedikit tiga
peserta calon mitra yang memasukkan penawaran;
3) dalam hal calon mitra yang memasukkan penawaran kurang dari tiga peserta,
dilakukan pengumuman ulang di media massa nasional; dan
4) dalam hal setelah pengumuman ulang :
a) terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta calon mitra, proses dilanjutkan dengan
mekanisme tender;
b) terdapat 2 (dua) peserta calon mitra, tender dinyatakan gagal dan proses selanjutnya dilakukan dengan mekanisme seleksi langsung; atau
c) terdapat 1 (satu) peserta calon mitra, tender dinyatakan gagal dan proses
selanjutnya dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung.
4. Pengamanan
PP Nomor 27 Tahun 2014 mengatur pengamanan terhadap BMN/D yang meliputi
pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum, dan diatur sebagai berikut :53
BMN/D berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
BMN/D berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
BMN selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pengguna Barang.
BMD selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Bukti-bukti kepemilikan tersebut harus disimpan dengan tertib dan aman oleh
Pengelola Barang dan Pengguna/Kuasa Pengguna Barang.54
Berbeda dengan PP Nomor 6 Tahun 2006, dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 terdapat
penambahan pasal yang mengatur tentang kebijakan asuransi yang dapat ditetapkan oleh
pengelola barang. Pasal ini menjadi dasar hukum atas implementasi penyediaan asuransi dalam pengelolaan BMN/D. Hal ini sangat penting mengingat asuransi merupakan salah
50
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 39 Ayat (8).
51
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 39 Ayat (9).
52
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 40.
53
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 42 Ayat (2) dan Pasal 43.
54
satu alternatif dalam mitigasi risiko dan telah pada umumnya digunakan dalam kebijakan manajemen aset.
5. Pemeliharaan
Selain pengamanan, PP Nomor 27 Tahun 2014 juga mengatur tentang pemeliharaan
BMN/D. Tanggung jawab atas pemeliharaan BMN/D berada pada Pengelola Barang,
Pengguna Barang, atau Kuasa Pengguna Barang.55 Pemeliharaan tersebut berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang. Biaya pemeliharaan BMN/D dibebankan
pada APBN/D. Dalam hal BMN/D dimanfaatkan Pihak Lain, biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penyewa, peminjam, mitra KSP, mitra
BGS/BSG, atau mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.56Ketentuan ini ditambahkan
untuk menegaskan hak dan kewajiban pihak ketiga yang memanfaatkan BMN/D serta menghindari kemungkinan kerugian negara akibat kelalaian dalam perjanjian
pemanfaatan BMN/D.
6. Penilaian BMN/D
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu
objek penilaian berupa BMN/D pada saat tertentu.57Penilaian BMN/D dilakukan dalam
rangka penyusunan neraca Pemerintah Pusat/Daerah, pemanfaatan, atau pemindahtanganan, kecuali dalam hal untuk pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai
atau pemindahtanganan dalam bentuk hibah.58 Penetapan nilai BMN/D dalam rangka
penyusunan neraca Pemerintah Pusat/Daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).59 Penilaian BMN berupa tanah dan/atau
bangunan dalam rangka Pemanfaatan atau Pemindahtanganan dilakukan oleh Penilai
Pemerintah atau Penilai Publik yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.60
F. Pemindahtanganan BMN/D
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN/D.61 BMN/D yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah dapat
dipindahtangankan.62 Pemindahtanganan BMN/D tersebut harus mendapat persetujuan dari
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dengan pengaturan sebagai berikut :63
1. Pemindahtanganan BMN untuk tanah dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.
55
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 46 Ayat (1).
56
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 46 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4).
57
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 7.
58
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 48.
59
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 49.
60
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 50 Ayat (1).
61
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 17.
62
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 54 Ayat (1) .
63
2. Pemindahtanganan BMD untuk tanah dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan
setelah mendapat persetujuan DPRD.
3. Pemindahtanganan BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila :
a) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
b) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran;
c) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
d) diperuntukkan bagi kepentingan umum; atau
e) dikuasai negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
BMN/D yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah
dapat dipindahtangankan yang dilakukan dengan cara :64 1. Penjualan
Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN/D kepada pihak lain dengan
menerima penggantian dalam bentuk uang.65Penjualan BMN/D dilakukan secara lelang,
kecuali dalam hal tertentu, yaitu :66 a. BMN/D yang bersifat khusus;
b. BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang; atau
c. BMD lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Penentuan nilai dalam rangka Penjualan BMN/D secara lelang dilakukan dengan
memperhitungkan faktor penyesuaian.67 Hasil Penjualan BMN/D wajib disetor
seluruhnya ke rekening Kas Umum Negara/Daerah sebagai penerimaan negara/daerah.68
2. Tukar Menukar
Tukar menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN/D yang dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, atau antara
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan pihak lain, dengan menerima penggantian
utama dalam bentuk barang, paling sedikit dengan nilai seimbang.69 Tukar menukar BMN dapat dilakukan dengan pihak Pemerintah Daerah, BMN/D atau badan hukum
lainnya yang dimiliki negara, swasta, atau pemerintah negara lain. Sementara tukar
menukar BMD dapat dilakukan dengan pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah
64
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 54 Ayat (2).
65
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 18.
66
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 61 Ayat (1) dan Ayat (2).
67
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 61 Ayat (3).
68
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 63 Ayat (3) dan Ayat (4).
69
lainnya, BUMN/D atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara, atau swasta.70 Tukar Menukar BMN/D dapat berupa :71
a. tanah dan/atau bangunan :
1) yang berada pada Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara; atau
2) yang telah diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik
Daerah.
b. tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengguna Barang; atau c. selain tanah dan/atau bangunan.
3. Hibah
Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah, dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat, antar Pemerintah Daerah, atau dari Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah kepada Pihak Lain, tanpa
memperoleh penggantian.72 Hibah BMN/D dilakukan dengan pertimbangan untuk
kepentingan sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat noncomercial, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.73
Hibah harus memenuhi syarat:74
a. bukan merupakan barang rahasia negara;
b. bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
c. tidak diperlukan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi dan penyelenggaraan
pemerintahan negara/daerah.
4. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah.
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah adalah pengalihan kepemilikan BMN/D
yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN,
BUMD, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.75
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah atas BMN/D dilakukan dalam rangka pendirian, memperbaiki struktur permodalan dan/atau meningkatkan kapasitas usaha
BUMN/D atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.76 Penyertaan Modal
Pemerintah Pusat/Daerah dapat dilakukan dengan pertimbangan:77
a. BMN/D yang dari awal pengadaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan
bagi BUMN/D atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara dalam rangka
penugasan pemerintah; atau
70
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 64 Ayat (2) dan Ayat (3).
71
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 65 Ayat (1).
72
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 20.
73
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 68 Ayat (1).
74
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 68 Ayat (2).
75
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 21.
76
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 72 Ayat (1).
77
b. BMN/D lebih optimal apabila dikelola oleh BUMN/D atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk.
Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah atas BMN/D dapat berupa:78
a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada Pengelola Barang untuk BMN dan Gubernur/Bupati/Walikota untuk BMD;
b. tanah dan/atau bangunan pada Pengguna Barang; atau
c. BMN/D selain tanah dan/atau bangunan.
G. Pemusnahan
Dalam PP Nomor 6 Tahun 2006, aturan mengenai pemusnahan digabungkan dalam
aturan mengenai Penghapusan, sedangkan dalam PP Nomor 27 Tahun 2014, aturan
mengenai Pemusnahan diatur dalam Bab tersendiri dengan penambahan berupa penjelasan mengenai cara-cara pemusnahan BMN/D.
Dalam PP Nomor 27 Tahun 2014, Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik
dan/atau kegunaan BMN/D.79Pemusnahan BMN/D dilakukan dalam hal :80
a. BMN/D tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan/atau tidak dapat
dipindahtangankan; atau
b. terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemusnahan dilaksanakan oleh :81
a. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang, untuk BMN; atau
b. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD.
Pelaksanaan dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada:82 a. Pengelola Barang, untuk BMN; atau
b. Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD.
Pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar, dihancurkan, ditimbun, ditenggelamkan atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.83
H. Penghapusan BMN/D
Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN/D dari daftar barang dengan
menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang,
Pengguna Barang, dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.84Penghapusan meliputi:85
a. Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna dan/atau Daftar Barang Kuasa Pengguna; dan
b. Penghapusan dari Daftar BMN/D.
78
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 73 Ayat (1).
79
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 22.
80
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 77.
81
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 78 Ayat (1).
82
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 78 Ayat (2).
83
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 79.
84
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 23.
85
Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna dan/atau Daftar Barang Kuasa Pengguna, dilakukan dalam hal Barang Milik Negara/Daerah sudah tidak berada dalam penguasaan
Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dan dilakukan dengan menerbitkan
keputusan Penghapusan dari :86
a. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan dari Pengelola Barang, untuk BMN; atau
b. Pengelola Barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD.
Namun khusus untuk BMN/D yang dihapuskan karena Pengalihan Status Penggunaan, Pemindahtanganan, atau Pemusnahan, tidak diperlukan persetujuan Penghapusan dari
Pengelola Barang dan Gubernur/Bupati/Walikota.87
I. Penatausahaan BMN/D
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN/D sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.88
1. Pembukuan
Pembukuan dilakukan oleh Pengelola Barang dan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dengan cara mendaftar dan mencatat BMN/D yang berada di bawah
penguasaannya ke dalam Daftar Barang Pengelola dan Daftar Barang Pengguna/Daftar
Barang Kuasa Pengguna menurut penggolongan dan kodefikasi barang. Daftar Barang
Pengguna/Daftar Barang Kuasa Pengguna tersebut kemudian dihimpun oleh Pengelola Barang untuk menyusun Daftar BMN/D menurut penggolongan dan kodefikasi barang.89
Penggolongan dan kodefikasi BMN ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sedangkan
penggolongan dan kodefikasi BMD ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.90
2. Inventarisasi
Inventarisasi BMN/D dilakukan oleh Pengguna Barang paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun dan khusus untuk BMN/D berupa persediaan dan konstruksi dalam
pengerjaan, Inventarisasi dilakukan oleh Pengguna Barang setiap tahun. Sedangkan Inventarisasi BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh Pengelola Barang
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.91
3. Pelaporan
Terdapat tiga jenis laporan yang harus disusun baik oleh Kuasa Pengguna Barang,
Pengguna Barang, mapun Pengelola Barang yaitu :92
a. Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran dan Tahunan yang disusun oleh Kuasa Pengguna Barang sebagai bahan untuk menyusun neraca satuan kerja;
86
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 82 Ayat (1) dan Ayat (2).
87
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 82 Ayat (3).
88
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 1 Angka 24.
89
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 84 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4).
90
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 84 Ayat (1) dan Ayat (2).
91
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 85 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 86.
92
b. Laporan Barang Pengguna Semesteran dan Tahunan yang disusun oleh Pengguna Barang; dan
c. Laporan Barang Pengelola Semesteran dan Tahunan yang disusun oleh Pengelola
Barang.
d. Laporan BMN/D.
J. Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian
Pembinaan pengelolaan BMN dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan menetapkan
kebijakan pengelolaan BMN/D yang terdiri atas Kebijakan Umum BMN/D dan/atau Kebijakan Teknis BMN. Sedangkan pembinaan pengelolaan BMD dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri dengan menetapkan Kebijakan Umum BMD.93 Pengawasan dan Pengendalian
BMN/D dilakukan oleh:94
1. Pengguna Barang melalui pemantauan dan penertiban; dan/atau
2. Pengelola Barang melalui pemantauan dan investigasi.
K. Pengelolaan BMN Oleh Badan Layanan Umum
BMN/D yang digunakan oleh Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah
(BLU/BLUD) merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan untuk
menyelenggarakan kegiatan BLU/BLUD yang bersangkutan. Pengelolaan BMN/D pada BLU/BLUD mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 dan peraturan
pelaksanaannya, kecuali terhadap barang yang dikelola dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya
untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum sesuai dengan tugas dan fungsi BLU/BLUD, diatur tersendiri dalam PP tentang BLU dan peraturan pelaksanaannya.95
Pada PP Nomor 6 Tahun 2006 tidak ada bagian khusus yang mengatur mengenai
pengelolaan BMN/D oleh BLU. Ketentuan ini ditambahkan untuk memberi penegasan mengenai mekanisme pengelolaan BMN/D pada BLU sekaligus sebagai bentuk harmonisasi
dengan kebijakan terkait BLU.
L. Barang Milik Negara/Daerah Berupa Rumah Negara
Rumah Negara merupakan BMN/D yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat negara dan/atau pegawai negeri.96 Pengelolaan BMN berupa Rumah Negara dilaksanakan oleh Pengelola
Barang, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, atau Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang Rumah Negara Golongan III dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Rumah Negara. Pengelolaan BMD berupa Rumah Negara dilaksanakan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Rumah Negara.97
93
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 90 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3).
94
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 91.
95
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 96 Ayat (1) dan Ayat (2).
96
PP Nomor 27 Tahun 2014, Pasal 98 Ayat (1).
97
Ketentuan mengenai BMN/D berupa rumah negara sebelumnya tidak diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Hal ini menimbulkan ketidaksinkronan dengan aturan mengenai
rumah negara. Rumah negara itu sendiri merupakan bagian BMN/D akan tetapi mendapatkan
perlakuan yang berbeda dari BMN/D pada umumnya.
M. Ganti Rugi dan Sanksi
Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan atau pelanggaran hukum atas pengelolaan BMN/D diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi dan setiap pihak
yang mengakibatkan kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.98
PP Nomor 27 Tahun 2014 mengatur pemberian insentif kepada pejabat atau pegawai yang melaksanakan pengelolaan BMN/D dan pemberian tunjangan kepada pejabat atau pegawai
selaku pengurus barang yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan
negara/daerah. Pemberian insentif dan/atau tunjangan untuk Pengelola BMN akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan untuk Pengelola BMD diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Kepala Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.
Selain itu, PP Nomor 27 Tahun 2014 juga memberikan hak bagi Pengelola Barang untuk BMN dan Gubernur/Bupati/Walikota untuk BMD dalam mengenakan beban pengelolaan
terhadap BMN/D pada pengguna barang.
Dengan diberlakukan PP Nomor 27 Tahun 2014 maka PP Nomor 6 Tahun 2006 jo. PP Nomor 38 Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan peraturan pelaksaannya
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
peraturan baru dan harus disesuaikan paling lama dua tahun terhitung sejak PP Nomor 27 Tahun 2014 diundangkan.
IV. PENUTUP
PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah merupakan
penyempurnaan atas PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008. Dalam PP Nomor 27 Tahun 2014, terdapat beberapa perubahan serta penambahan guna menyesuaikan dengan dinamika
pengelolaan BMN/D saat ini, antara lain :
1. Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D;
2. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain;
3. Penguatan dasar hukum pengaturan; 4. Penyederhanaan birokrasi;
5. Pengembangan manajemen aset negara; dan
6. Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi.
Penyempurnaan tersebut diharapkan dapat mengakomodir perkembangan pengelolaan
BMN/D, meminimalisir multitafsir atas pengelolaan BMN/D, mempertegas hak, kewajiban,
98
tanggung jawab, serta kewenangan Pengguna dan Pengelola Barang, dan menciptakan harmonisasi yang baik dengan peraturan terkait. Selain itu, PP Nomor 27 Tahun 2014 diharapkan
dapat mendorong investasi dalam percepatan penyediaan infrastruktur dengan diaturnya Kerja
Sama Penyediaan Infrastruktur pada Bab Pemanfaatan BMN/D yang mengatur penyesuaian jangka waktu dan tarif pemanfaatan BMN/D di bidang infrastruktur. Penyesuaian tersebut antara
lain terkait sewa dalam penyediaan infrastruktur dapat dilakukan lebih dari lima tahun, dan kerja
sama pemanfaatan dapat dilakukan hingga 50 tahun sedangkan penyesuaian tarif dilakukan dengan mempertimbangkan nilai keekonomian untuk infrastruktur tertentu.
Penambahan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sebagai salah satu mekanisme pemanfaatan BMN/D serta pengaturan pemusnahan dalam Bab tersendiri sebagai salah satu
tahapan dalam siklus pengelolaan BMN/D, pengelolaan BMN oleh BLU, dan pengaturan
terntang Rumah Negara/Daerah sebagai BMN/D merupakan hal-hal baru yang diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2014, selain pemberian insentif kepada pejabat atau pegawai yang
melaksanakan pengelolaan BMN/D dan pemberian tunjangan kepada pejabat atau pegawai
selaku pengurus barang yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara/daerah.
Namun, yang dirasakan sangat penting guna memperjelas implementasi dari PP Nomor 27
Tahun 2014 ini adalah dengan menetapkan peraturan pelaksananya baik berupa Peraturan
Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri, maupun Peraturan Kepala Daerah sebagaimana telah diamanatkan dalam PP Nomor 27 Tahun 2014. Untuk itu Pemerintah d.h.i.
Kementerian Keuangan telah menetapkan peraturan pelaksana diantaranya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.06/2014 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penghapusan BMN. Sedangkan, khusus untuk BMD, Kemeterian Dalam Negeri
telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dengan ditetapkannya peraturan pelaksana tersebut
diharapkan dapat menjadi dasar khususnya bagi Pemerintah Daerah dalam menerapkannya baik
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355).
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533).
Sumber Lainnya :
Amela Erliana Crhistine, Perbandingan PP 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dengan PP 6 Tahun 2006 dan PP 38 Tahun 2008, Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara, Jakarta.
Priyono Dwi Nugroho, Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Jakarta.
www.liputan6.com, Pemerintah Ubah Aturan Pengelolaan Barang Milik Negara, Fiki Ariyanti,
Jakarta, 2014.
Penulis :
Imelda Reasoa, 198205242007082001, Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Maluku.
Disclaimer: