MAKNA WAYANG GUNUNGAN
Telaah Filosofis Terhadap Simbol-simbol Pada Gunungan Wayang Kulit
Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh
HIDAYAT
NIM: E01211015
PRODI FILSAFAT AGAMA
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
MAKNA WAYANG GUNUNGAN
Telaah Filosofis Terhadap Simbol-simbol Pada Gunungan Wayang Kulit
Skripsi
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan
Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Filsafat Agama
Oleh:
HIDAYAT
NIM: E01211015
PRODI FILSAFAT AGAMA
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama
: HIDAYAT
NIM
: E01211015
Jurusan
: Pemikiran Islam
Prodi
: Filsafat Agama
Fakultas
: Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan
adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang
dirujuk sumbernya. Jika ternyata dikemudian hari skripsi ini terbukti bukan hasil
karya saya sendiri, saya bersedia mendapatkan sanksi berupa pembatalan gelar
kesarjanaan yang saya peroleh.
Surabaya, 05 Februari 2016
Saya yang menyatakan
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ABSTRAK
Hidayat:
Makna Wayang Gunungan; Telaah Filosofis Terhadap Simbol-simbol Pada
Gunungan Wayang Kulit. Skripsi UIN Sunan Ampel
Bahasa merupakan media komunikasi antar subjek, dialog yang sejati dimana
pemakai bahasa dan pendengar atau pembaca merupakan kesatuan sosial sebagai
syarat mutlak bagi adanya bahasa. Dalam interaksinya manusia selalu menyertakan
bahasa baik secara verbal maupun non-verbal seperti perkataan, tulisan, tanda, kode
atau simbol-simbol untuk menyampaikan maksud dan tujuannya walaupun pada
hakikatnya bahasa tidak pernah mewakili secara tepat apa yang menjadi maksud
sebenarnya. Bahasa memiliki kebenaran yang universal, bahasa hanya mendekati dari
segi-segi tertentu dan setiap bahasa menyoroti wajah kebenaran secara khas,
memperkaya gambaran seseorang tentang dunia melalui bahasa-bahasa, sekaligus
memaparkan kebudayaan dengan segala kekayaannya. Dengan tepat dinyatakan oleh
peribahasa Arab kulli lisani bi al insa>n
yang artinya makin banyak bahasa dipahami
seseorang makin banyaklah dia menjadi manusia.
Kekayaan bahasa khas Nusantara salah satunya tertuang dalam bentuk
Wayang Gunungan. Sebuah wujud hasil kebudayaan (
cultural product
) yang
memiliki instrumen bahasa berupa tanda-tanda dan simbol-simbol syarat makna
menjadi nilai tambah bagi bangsa ini. Kedalaman makna yang disampaikan melalui
bahasa tingkat tinggi hingga bukan lagi kata-kata atau istilah yang digunakan dalam
penyampaian melainkan melalui tanda-tanda atau simbol-simbol. Oleh karena itu
diperlukan seperangkat perspektif untuk dapat membaca dan memahami
masterpiece
tersebut.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Balakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 8
F. Metodologi Penelitian ...11
1. Jenis Penelitian ...12
2. Metode Pemerolehan Data ...13
3. Metode Analisis Data ...14
G. Unit Analisis...15
I. Sistematika Penulisan ...20
BAB II STUDI TEORITIS ...22
A. Simbol ...17
B. Semiologi ...28
C. Hermeneutika ...42
D. Interaksionisme Simbolik ...50
BAB III SIMBOL WAYANG GUNUNGAN DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS ...58
A. Wayang . ...59
1. Pengertian Wayang . ...59
a. Pengertian Aspektual Wayang ...59
b. Pengertian Etimologi Wayang ...60
c. Pengertian Wayang Secara Filosofis ...61
2. Sejarah Wayang ...61
3. Jenis-Jenis Wayang ...63
a. Wayang Beber ...63
b. Wayang Gedhog ...64
c. Wayang Kidang Kencana ...65
d. Wayang Kulit ...65
e. Wayang Golek ...66
f. Wayang Sunggingan ...66
h. Wayang Wong ...67
i. Wayang Keling Pekalongan ...67
j. Wayang Dakwah ...68
k. Wayang Kulit Betawi ...68
l. Wayang Kulit Bali...69
m. Wayang Potehi ...69
n. Wayang Madya ...70
o. Wayang Tasripin ...70
p. Wayang Suluh ...70
q. Wayang Wahana ...70
r. Wayang Perjuangan...71
s. Wayang Kulit Kancil ...71
t. Wayang Pancasila ...71
u. Wayang Wahyu ...71
4. Perangkat Wayang ...72
a. Dalang ...72
1) Dalang Sejati ...74
2) Dalang Purba ...75
3) Dalang Wasesa ...75
4) Dalang Guna ...75
5) Dalang Wikalpa ...76
b. Panjak (Pengrawit) ...76
d. Sinden ...78
5. Kandungan dalam Wayang ...80
a. Momot Kamot...80
b. Tatanan, Tuntunan dan Tontonan ...81
c. Teater Total ... 81
6. Sasaran Wayang ... 82
B. Gunungan dalam Pewayangan ... 83
1. Pengertian Gunungan ... 83
2. Sejarah Gunungan ... 86
3. Fungsi Gunungan ... 88
4. Gunungan dalam Pathet ... 90
a. PathetEnem ... 92
b. PathetSanga ... 95
c. PathetManyura ... 97
5. Simbol-simbol Pada Wayang Gunungan ... 98
6. Macam-macam Wayang Gunungan ... 105
BAB IV ANALISIS ... 106
A. Wayang Gunungan dalam Perspektif Semiologi. ... 106
B. Wayang Gunungan dalam Perspektif Hermeneutik ... 110
1. Mengenal Sunan Kalijaga ... 112
2. “Rasa” Sebagai Landasan Epistemologis Orang Jawa ... 113
3. Simbol-simbol dalam Wayang Gunungan Secara Umum ... 118
4. Simbol-simbol dalam Wayang Gunungan Secara Khusus ... 121
C. Wayang Gunungan dalam Perspektif Interaksionis Simbolik ... 157
1. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Keagamaan... 159
2. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Sosial ... 160
3. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Kebudayaan ... 160
4. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Pendidikan ... 160
BAB V PENUTUP ... 163
A. Kesimpulan ... 163
B. Saran ... 166
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam proses kehidupan manusia tidak luput dari segala tindakan, baik
yang verbal maupun non-verbal sebagai bentuk interaksi pada diri sendiri terlebih
dengan yang lainnya. Segala yang tercipta dari usaha tersebut dikemas sedemikian
rupa sebagai kebudayaan yang ia ciptakan walaupun syarat dengan pengaruh, baik
intern maupun ekstern. Berangkat dari daya olah cipta, rasa dan karsa yang di
aktualisasikan sebagai bentuk komunikasi inilah kebudayaan memiliki makna
sekaligus fungsi. Salah satu wujud dari olah daya tersebut adalah Wayang Kulit
Purwa.
Wayang Kulit Purwa merupakan salah satu kebudayaan di Pulau Jawa
yang adiluhung. Ia merupakan warisan para leluhur bangsa yang memiliki syarat
akan nilai-nilai moral dan etika. Ia sebagai perwujudan ekspresi batin, pikiran,
perangai maupun tingkah laku makhluk alam semesta yang tercermin pada bentuk
masing-masing wayang itu sendiri maupun jalan ceritanya.
Pandam Guritno memaparkan,”Wayang merupakan prestasi puncak
masa lalu para leluhur yang bertempat tinggal di pulau Jawa. Dengan demikian
dapat diangkat menjadi warisan budaya bangsa yang patut dijadikan milik
bersama karena isi kandungannya, baik berupa etika maupun estetikanya.”1 Dalam buku yang sama Agus Purwoko mengutip pendapat Sujamto, “Mempelajari
budaya Jawa adalah syarat yang tan kena ora atau conditio sine qua non untuk
1
Pandam Guritno dalam tulisan Agus Purwoko, Gunungan Nilai-Nilai Filsafat Jawa
2
menyelami budaya Jawa. Baik etos Jawa maupun pandangan hidup Jawa,
tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang.”2
Dalam lika-liku perkembangannya wayang memiliki sejarah yang
panjang. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi eksistensinya hingga kini.
Daya tarik itu sendiri berasal dari nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Selain itu bentuknya yang unik dan variatif. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang pribadi dan peran dari sosok yang dimainkan. Ini
merupakan simbolisme khas yang terdapat dalam masyarakat Jawa yang kental
dengan perumpamaan-perumpamaan dalam berinteraksi. Dan Wayang merupakan
salah satu bentuk simbolisme yang digunakan.
Karakter yang tercermin dalam tokoh pewayangan merupakan simbol
dari berbagai perwatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Ada tokoh yang
baik yang mencerminkan sifat jujur, sabar, syukur, adil, suci, kesatria dan lain lain
yang patut untuk di contoh dan adapula yang sebaliknya angkuh, serakah, dikdaya
serta sifat-sifat yang disematkan dalam bingkai keburukan.
Terdapat beberapa keunggulan yang dimiliki wayang dibanding bentuk
budaya yang lain di antaranya:
1. Kemampuan mendukung materi.3 Materi yang disajikan dalam pagelaran
wayang itu menyangkut seluruh aspek dalam kehidupan manusia.
2. Kemampuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.4 Karena ia membawa seluruh aspek kehidupan maka sangat mungkin keberadaannya diterima di
seluruh lapisan masyarakat.
2
Agus Purwoko, Gunungan Nilai-Nilai Filsafat Jawa (Bekasi: Adisaputra. 2010), 2
3
3. Kemampuan mengikuti perkembangan zaman.5 Wayang tidak hanya
dimainkan secara lakon (tradisional) melainkan disajikan secara luwes dengan
menyisipkan topik-topik kontemporer di dalamnya.
4. Kemampuan mendukung cabang kesenian yang lain.6 diantaranya adalah seni sastra dan drama, suara dan karawitan, gerak dan seni ripta (konsepsi ciptaan
baru).
Selain memiliki fungsi sebagai tontonan (hiburan) wayang kulit juga
berfungsi sebagai tuntunan (pedoman hidup). Dunia pewayangan ikut serta
mendewasakan masyarakat dengan cara membekalinya dengan konsepsi-konsepsi
falsafah hidup. Dari sinilah manusia diajak untuk merenungkan hakikat kehidupan
sehingga ia mampu memahami dirinya sebagai manusia sekaligus sebagai hamba.
Dari sekian banyak wayang yang berada di dalam peti sang Dalang.
Terdapat satu jenis wayang yang dikenal dengan Gunungan atau Kayon.
Gunungan dalam wayang kulit purwa memiliki keistimewaan tersendiri karena
bentuknya yang khas dan fungsinya sangat mutlak diperlukan dalam pagelaran
wayang serta nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.7 Ia dinamakan Gunungan karena bentuknya yang mudah dikenali yakni segitiga menyerupai
Gunung. Tak ketinggalan lukisan yang terdapat dalam Gunungan merupakan
sekumpulan habitat dari tumbuhan, hewan yang merupakan simbolisme
kehidupan duniawi dan kesemua itu diwakili dengan istilah alas (Hutan)
sebagaimana mestinya sebuah gunung. Salah satu unsur pokok yang terdapat
4
Ibid., 5
Ibid., 6
Ibid., 7
4
dalam gunungan adalah gambar Kayu atau kayon (pohon). Gambar tersebut
melambangkan pohon surga, pohon hidup, pohon Bodhi yang diartikan sebagai
sumber pengetahuan.
Dalam bukunya, Agus Purwoko memaparkan pemaknaan Kayon.
Menurutnya terdapat pemaknaan lain dari kayon tersebut, bahwa kayon
melambangkan hidup di dunia ini dan dapat diartikan sebagai jantung dalam
pagelaran wayang kulit. Kayon merupakan gambaran hidup dalam mendalang,
jika dibalik posisinya (dijungkir) maka bentuknya mirip jantung. Jika wayang
kayon belum ditancapkan di tengah pakeliran berarti wayang-wayang yang lain
belum hidup dan jika berganti adegan berarti ganti yang hidup. Para Pemikir islam
mempunyai pendapat yang berbeda pula, kata kayon atau kekayon berasal dari
kata H}ayyu yang berarti hidup. Kayon dalam bahasa Jawa kuno berasal dari kata
Kayun yang berarti Karep atau kehendak,8 dan masih banyak lagi interpretasi dari kayon.
Dalam visi dan misinya wayang merupakan sebuah media interaksi
komunikatif yang di dalamnya syarat akan nilai-nilai meskipun dikemas dalam
bentuk drama naratif dengan aneka wayang di dalamnya. Misi yang ada di
dalamnya mengandung moralitas yang tinggi. Sebuah cerita yang diangkat dari
imaginasi masa lampau yang direlevansikan ke dunia kontemporer namun tidak
menghilangkan nilai-nilai riil maupun tradisi yang telah ada.
Secara etimologi moral berasal dari bahasa latin mores kata jamak dari
mos berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral diterjemahkan dengan
8
5
arti tata susila. Sedangkan secara terminologis moral adalah perbuatan baik dan
buruk yang didasarkan pada kesepakatan masyarakat.9 Dalam KBBI offline moral
diartikan sebagai baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban dsb; akhlak; budi pekerti; susila. Moral pun memiliki arti ajaran
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Dari pemaknaan tersebut penulis merujuk kepada makna yang terakhir,
bahwa proses pengajaran moralitas terdapat dalam sebuah cerita yang dalam
masyarakat Jawa dikemas dalam pagelaran wayang kulit purwa. Dengan sedikit
rekonstruksi substansinya (penggubahan) namun tidak meninggalkan hal yang
lain menjadikan tradisi pagelaran wayang sebagai salah satu media dakwah utama
yang khususnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga di pulau Jawa pada masa itu.
Moralitas merupakan suatu unsur penting di dalam membangun
kepribadian dalam konstruksi manusia. Ia dikatakan vital, karenanya sebuah
eksistensi harmonis akan dapat tercapai. Nilai moral nampaknya lebih dapat
terlihat sejalan dengan perjalanan panjang sejarah wayang itu sendiri yang terus
berevolusi dan termodifikasi sedemikian rupa disesuaikan secara maksimal sesuai
dengan visi-misi Islam yang berkembang di tanah Jawa. Tak pelak bentuk dan
cerita wayang mengalami modifikasi (islamisasi) dari pengaruh hindu-budha yang
tidak meninggalkan substansi aslinya sebagai produk kebudayaan.
Menurut penulis di dalam Gunungan wayanglah awal nilai moral itu
disuguhkan melalui simbolisme yang ada di dalamnya. Gunungan dianggap
9
6
memiliki nilai moralitas lebih dibandingkan wayang-wayang yang lain karena ia
tidak hanya membawa pesan yang bersifat horisontal melainkan juga vertikal.
Dalam Islam yang digunakan sebagai sumber moral adalah al-quran dan
as-sunnah, sedangkan pencipta standar moral adalah Allah SWT. Selain itu
terdapat landasan lainnya yakni objek sekaligus subjek moral.10 Lazimnya subjek adalah manusia, namun dalam pewayangan subjeknya adalah Dalang dan wayang
yang merupakan manusia yang disimbolkan. Sedangkan objeknya adalah
manusia secara umum. Tujuan dari moral itu sendiri adalah tindakan yang
diarahkan pada target tertentu misalnya: ketertiban sosial, keamanan, kedamaian,
kesejahteraan dan lain sebagainya.11
Situasi dan kondisi pada saat itu kiranya kurang efektif jika moralitas
disampaikan secara langsung tanpa sebuah media tertentu. Hal ini dikarenakan
masyarakat Jawa kental sekali dengan nilai kultural yang ada selain itu
orang-orangnya memiliki mindset (pola pikir) yang bernuansa mitologis yang hanya
efektif jika mereka diajak berfikir, merenungkan sebuah makna dari
simbol-simbol yang ada, sehingga dunia simbol-simbol menjadi hal pokok dalam interaksi
peradaban Jawa.
Dari pemaknaan simbol-simbol tersebut kiranya diperlukan untuk
mengkaji lebih dalam dari sudut pandang yang lain. Dalam hal ini adalah yang
berkaitan dengan moralitas yang dicerminkan dalam simbol-simbol yang
tergambar pada Gunungan.
10
Ibid., 31
11
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijelaskan, maka
dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud Gunungan dalam Pewayangan?
2. Bagaimana makna filosofis Wayang Gunungan dalam Pewayangan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini yaitu:
1. Memahami bagaimana Gunungan dalam Wayang Kulit
2. Mendeskripsikan makna filosofis simbol-simbol yang terdapat dalam
Gunungan Wayang Kulit
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik teoretis maupun
praktis.
1. Manfaat teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu
pengetahuan di bidang agama khususnya dalam hal teologi, metafisika, sejarah,
bahasa, maupun kebudayaan Indonesia serta menambah wawasan dan
8
2. Manfaat Praktis:
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang salah satu
bentuk dan karakter wayang yang memiliki peran signifikan yakni
Gunungan.
b. Dengan gambaran yang jelas tentang makna yang terdapat dalam simbol
Gunungan, maka secara holistik kita mampu memahami metode simbolik
yang digunakan sebagai media komunikasi yang tepat guna menyampaikan
nilai-nilai moral pada masa itu.
c. Sebagai sumbangan ilmiah bagi pembaca guna menambah khazanah
pengetahuan dan juga sebagai bahan pembahasan lebih lanjut bagi yang
berminat mengembangkannya.
E. Tinjauan Pustaka
Wayang merupakan produk budaya yang sarat akan nilai-nilai. Di
dalamnya terkandung berbagai nilai filosofis yang menjadikannya sebagai bentuk
budaya khas dan tak ternilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kajian tentang
wayang mungkin tidaklah jarang meskipun keberadaannya pun tidak pula mudah
untuk ditemukan. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat peneliti untuk bisa
lebih mendalam sebagaimana bidang yang digeluti oleh peneliti (aqidah filsafat).
Memang ide dalam tulisan ini berasal dari sebuah penelitian yang telah
terbukukan dan ditunjang oleh beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan
9
1. Gunungan, Nilai-Nilai Filsafat Jawa
Buku ini ditulis oleh Agus Purwoko (2010) dan diterbitkan oleh
percetakan Adisaputra. Buku yang semula adalah karya ilmiah berupa skripsi
ini layak untuk dijadikan referensi utama oleh peneliti. Hal ini disebabkan
banyak informasi yang berkaitan dengan topik peneliti. Isinya adalah
berkenaan dengan sejarah gunungan dan makna pelambangan Gunungan.
2. Tradisi Pewayangan dalam Pelaksanaan Sedekah Bumi Dan Pengaruhnya
Terhadap Akidah Masyarakat di Desa Sedati Gede Kecamatan Sedati
Kabupaten Sidoarjo.
Merupakan karya ilmiah dari Ulul Azmi yang diajukan sebagai skripsi
untuk memperoleh gelar kesarjanaan (S. Fil. I) di fakultas Ushuluddin jurusan
Aqidah Filsafat tahun 2003. Di dalamnya ia mengangkat tradisi pewayangan
sebagai ritual wajib yang menyertai prosesi selamatan desa (sedekah bumi)
yang dilakukan di desa Sedati Gede. Selain itu ia pun mengutarakan sejauh
mana pengaruh tradisi tersebut terhadap aqidah masyarakat setempat.
3. Nilai-Nilai Islam Dalam Cerita Walisanga Pada Pagelaran Wayang Kulit
Lakon Lahirnya Sunan Giri di Desa Manyar Kecamatan Sekaran Lamongan
Melalui Media Video.
Skripsi, Ditulis oleh Imam Wahyudi Jurusan SPI tahun 2011 yang
memaparkan tentang proses awal masuknya Wali Sanga ke Indonesia hingga
metode dakwah yang dipakai. Ia menemukan dalam dakwah Wali Sanga
10
4. Simbol “Pendopo Suwung” Dalam Pewayangan, Studi Filosofis Terhadap
Metafisika.
Tulisan Dyah Rozzana Indah tahun 1999 dalam Skripsinya untuk
memperoleh Gelar dalam ilmu Ushuluddin memaparkan makna simbolis
pendopo suwung yang merujuk pada ajaran metafisika yakni asal-usul dan
tujuan hidup manusia. Sesuai dengan temuannya, Simbol dan makna terebut
dipengaruhi oleh budaya Islam sesuai dengan diperkenalkannya Kayon dalam
pagelaran wayang kulit purwa pada 1521 oleh Raden Patah.
5. Simbolisme Alur Cerita Pagelaran Wayang Kulit Purwa; Studi Filosofis
Lakon Dewa Ruci
Merupakan Skripsi Imam Basshori 1998 yang memuat pesan Dewa
Ruci kepada Bima untuk mencari Sang Marbudyengrat yang merupakan
simbol perjalanan laku dalam mencapai kesempurnaan hidup yakni
penghayatan manunggal dengan Tuhan melalui petunjuk Guru yang dalam
hal ini adalah Druno. Selain itu ia menemukan bagaimana konsepsi tentang
Tuhan, konsepsi manusia dan kemanunggalannya dengan Tuhan dalam alur
cerita Dewa Ruci.
6. Wayang, asal-usul dan jenisnya
Ditulis oleh RM. Ismunandar K. Yang diterbitkan oleh Dahara Prize. Ia
menjelaskan tentang macam-macam dan jenis wayang yang ada dan pernah
11
7. Wayang dan budaya Jawa
Masih dalam penerbit yang sama, buku ini merupakan karya dari
Sujamto yang sekaligus digunakan sebagai bahan ceramah dalam sarasehan
Wayang di Kraton Kasunanan Surakarta tanggal 09 Agustus 1992. Ia
mengupas tentang relasi wayang dengan budaya Jawa, etika wayang, etika
dalang, etika pancasila dan peran orang-orang yang berkecimpung di dalam
pewayangan serta peran pemerintah dalam pembinaan pewayangan.
Dari beberapa karya tersebut belum terdapat kajian seperti yang hendak
peneliti angkat. Oleh karena itu peneliti berinisiatif untuk mengkajinya lebih
lanjut dengan fokus pada makna yang terdapat dalam simbol Gunungan wayang
kulit. Gunungan wayang kulit menurut peneliti memiliki peran sentral dari sekian
banyak wayang yang ada. Tanpa awalan adegan gunungan mustahil wayang yang
lain mampu dimainkan. Hal ini sarat akan nilai teologis, metafisis dan prinsip
ketauhidan bahwa segala sesuatunya memiliki pemula (yang mengawali atau
pencipta) dan itulah yang disebut dengan Tuhan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu hal yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Penggunaan metode penelitian yang tepat dapat menghindari
kemungkinan timbulnya penyimpangan-penyimpangan sehingga data yang
diperoleh benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah
12
pengetahuan, atau cara kerja bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan mencapai tujuan yang ditentukan.12
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan penelitian mengenai teks tertulis (buku, skripsi
maupun karya ilmiah yang lain) yang dipadukan dengan informasi dari
informan yang bergelut langsung dengan dunia perwayangan yakni Dalang.
Karena yang diteliti adalah teks maka pendekatan yang digunakan adalah
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sering pula disebut dengan natural
inquiry (penelitian alamiah) adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan dalam
kawasannya sendiri. Oleh karena itu hasil dari penelitian tersebut berupa data
deskriptif dari obyek maupun perilaku yang dapat diamati.
Natural deskriptif merupakan ciri khas atau karakter dari penelitian
kualitatif. Sifat natural pada penelitian ini menyajikan data dengan latar
alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan
karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai
keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.
Sedangkan sikap deskriptif dari penelitian kualitatif merujuk pada dua hal;
pertama, data yang dikumpulkan berupa kata, gambar dan bukan angka; kedua,
laporan hasil penelitian berisi kutipan-kutipan data sebagai ilustrasi untuk
memberikan dukungan terhadap tulisan yang disajikan. Dengan demikian,
12
T. Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik Rancangan Penelitian dan Kajian
13
peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu yang diperoleh dan dituliskan
sudah memang demikian keadaanya.
2. Metode Pemerolehan Data
Menurut Lofland yang dikutip oleh Moleong, sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain.13 Namun demikian, menurut peneliti hal tersebut jika jenis penelitiannya adalah lapangan (Field research),
sedangkan yang dilakukan peneliti kali ini adalah berjenis penelitian pustaka
(Library research). Sehingga data yang dianggap utama adalah naskah-naskah,
buku, maupun karya ilmiah khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Sudah barang tentu jika sumber yang digunakan tidak dibatasi (klasifikasi)
maka tujuan utama penelitian ini akan buram sehingga klasifikasi diperlukan
supaya penelitian dapat fokus kepada topik yang diinginkan.
Adapun klasifikasi sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut,
a. Data primer yaitu berupa tulisan-tulisan, karya ilmiah maupun buku yang
membahas tentang Wayang Gunungan (kayoon) yaitu: Gunungan,
Nilai-Nilai Filsafat Jawa dan Simbol ”Pendopo Suwung” dalam Pewayangan;
Studi Filosofis Terhadap Metafisika. Kemudian didukung dengan,
b. Data sekunder yakni tulisan-tulisan, maupun karya ilmiah, buku yang
membahas wayang kulit purwa secara umum seperti, Wayang Asal-Usul
dan Jenisnya, Wayang dan Budaya Jawa, Ensiklopedi Wayang dan lain-lain
13
14
serta melakukan interview dengan informan khususnya adalah Dalang dan
pemerhati atau penikmat wayang umumnya secara mengalir terkait dengan
topik. Dengan cara inilah penulis dapat memperoleh data atas objek
penelitian secara komprehensif. Tujuan interview diantaranya adalah
membandingkan teks dengan konteks sekaligus sebagai klarifikasi atas data
yang sudah ada, lebih dari itu memungkinkan untuk melakukan triangulasi
untuk mendapatkan kebenaran data yang lebih akurat. Selain itu sebagai
penambahan informasi yang sekiranya belum terdapat dalam teks.
3. Metode Analisis Data
Analisis merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.14
Dari rumusan tersebut dapatlah ditarik maksud dari analisis data yakni
organizing pada tahap awalnya. Data yang terhimpun tidaklah sedikit yaitu
catatan dari pembacaan pustaka, catatan lapangan, tanggapan peneliti, gambar,
foto, dokumen berupa laporan, artikel dan sebagainya. Pengorganisasian atau
pengelolahan data tersebut bertujuan menemukan tema maupun hipotesis kerja
yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.15 Pada dasarnya inti dari analisis terletak pada tiga proses yang saling berkaitan, yaitu: mendeskripsikan
14
Ibid., 248
15
15
fenomena, mengklasifikasikannya dan melihat bagaimana konsep-konsep
lainnya yang muncul.
Proses awal dalam penelitian ini adalah menelaah data-data yang ada
yaitu karya-karya ilmiah, buku atau literatur yang berkaitan, serta hasil survei
lapangan (informan). Dengan mengumpulkan data, membaca, memahami
kemudian membuat reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Selanjutnya
adalah menyusun dalam satuan-satuan bab secara holistik. Tahap akhir dari
analisis ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai
tahap ini, lalu dimulai tahap penafsiran (interpretasi) data dalam mengolah
hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode tertentu.
Pendekatan yang dipakai pertama adalah pendekatan semiologi, yakni
memahami simbol gunungan sebagai salah satu bentuk dari bahasa sebagai
media komunikasi. Pendekatan yang kedua adalah hermeneutik, yakni usaha
untuk dapat membaca makna yang terkandung dalam Gunungan, serta
pendekatan Interaksionisme Simbolik, hal ini digunakan sebagai upaya
mengetahui sejauh mana pengaruh simbol-simbol dalam wayang secara umum
dan Gunungan secara khusus terhadap pola hidup manusia.
G. Unit analisis
Penelitian ini memiliki objek kajian (unit) Wayang Kulit secara umum
dan Gunungan (Kayon Gapuran) secara khusus serta Perangkat wayang sebagai
16
H. Penegasan Judul
Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman terhadap pokok
bahasan skripsi yang berjudul “Makna Wayang Gunungan; Telaah Filosofis
terhadap Simbol-simbol pada Gunungan Wayang Kulit”, maka kiranya perlu
untuk dijelaskan apa yang dimaksud dengan judul tersebut. Pengertian dari
istilah-istilah yang terdapat pada judul tersebut sebagai berikut:
Makna : Maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan
kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam hal simbol
diartikan sebagai maksud si pembuat atau pencipta.
Gunungan : Bagian (adegan) dari pagelaran wayang kulit
Wayang Gunungan : Salah satu Wayang yang menjalankan fungsi dalam proses
Gunungan
Jadi istilah yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah memahami
maksud dari pencipta atau pembuat simbol-simbol yang terdapat dalam wayang
Gunungan secara khusus dan memahami maksud hadirnya wayang Gunungan
dalam adegan Gunungan di pagelaran Wayang Kulit.
Selanjutnya, terkait dengan kata “telaah filosofis” yang penulis maksud
adalah perangkat analisis atau sudut pandang (perspektif atau objek forma) yang
terdiri dari semiologi, hermeneutik dan interaksionisme simbolik yang digunakan
untuk memahami objek penelitian (objek materia). Ketiga-tiganya memiliki
karakter yang mendalam seperti yang dimiliki filsafat, walaupun masing-masing
telah memisahkan diri dari filsafat dan membentuk disiplin ilmu sendiri terlebih
17
merampingkannya menjadi satu kalimat yakni “filosofis” menurut penulis masih
dalam batas kewajaran.
Secara umum bahasa (logosentris) merupakan salah satu objek kajian
filsafat yang lebih bersifat kontemporer dibandingkan ketika membahas objek
kajian filsafat lainnya seperti Kosmosentris, Teosentris dan Antrophosentris.
Hubungan bahasa dan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama
dalam cabang filsafat metafisika, logika dan epistemologi.
Menurut Aristoteles metafisika merupakan filsafat yang pertama yang
membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada secara
keseluruhan bersangkutan dengan sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertingi
dari segalah sesuatu. Mencari hakikat segalah sesuatu yang ada dibalik hal-hal
yang bersifat fisik dan bersifat partikular atau prisip dasar pada semua hal. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengunakan analisis bahasa terutama karena sifat
metafisika tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris. Hal itu didasarkan
pada kenyataan bahwa pemikiran-pemikiran tentang hakikat segalah sesuatu
dalam metafisika, seperti ruang, waktu, keadaan, relasi dan juga substansi, bukan
berdasarkan pengamatan empiris atau hukum rasio, melainkan berdasarkan
analisis bahasa.
Epistemolgi adalah cabang filsafat yang membahas tentang
pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran
pengetahuan manusia. Berdasarkan analisis dasar problema epistemology ( apakah
sumber, apakah watak,dan apakah pengetahuan kita itu benar?) maka dua
18
mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang
meliputi pengetahuan apropriori dan aposteriori, serta problema kebenaran
pengetahuan manusia. Justifikasi kabenaran dalam pengetahuan seluruhnya
diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, oleh karena itu
kebenaran-kebenarannya sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa. Terdapat tiga teori
kebenaran dalam epistemologi yaitu: a) teori kebenaran koherensi atau
konsistensi, b) korespondasi atau berhubungan, dan c) kebenaran pragmatis.16 Logika merupakan kegiatan bernalar dengan menggunakan
hukum atau berfikir dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau
hukum-hukum. Menurut Aristoteles, berfikir adalah berbicara di dalam batin,
mempertimbangkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, dan menarik suatu
kesimpulan. Kegiatan bernalar manusia itu dapat dikomunikasikan kepada orang
lain dan dapat mewakili fikiran manusia. Hal ini dapat terwujud dengan adanya
peranan bahasa didalamnya.
Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat, telah
berlangsung sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah
aksentuasi perhatian filsuf berbeada-berbeda dan sangat tergantung pada perhatian
dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
Arah perkembangan filsafat bahasa juga mengikuti trend perkembangan
filsafat. Ferdinand De Sausure yang mengikuti tradisi strukturalis yang
mengembangkan dasar-dasar linguistik umum yang mengembangkan
pemikirannya bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda. Terdapat hubungan yang
16
IImmelda Mallipa dalam
19
tak dapat dipisahkan antara penanda dan tanda, antara bahasa dengan sesuatu yang
diacunya, antara signifier dan signified. Hal ini ia sebut sebagai semiologi.
Semiologi adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian
dari kehidupan sosial. Saussure memproyeksikan semiologi atau semiotika
sebagai pengganti Filsafat atau mazhab filsafat tersendiri.17 Tokoh lain yang mengembangkan semiologi yaitu Charles Sanders Peirce yang lebih memilih
istilah semiotika menyatakan bahwa logika adalah mempelajari tentang
bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran itu dilakukan melalui tanda.
Pierce mendasarkan semiotika pada logika, pragmatik, dan linguistik.
Kajian filsafat terus berkembang, tapi belum mampu mengungkap
hakikat kehidupan manusia yang sebenarnya. menyadari hal ini maka para filsuf
Jerman dan Prancis terdorong untuk mengembangkan filsafatnya dengan
mendasarkan bahasa dalam proses ‘Hermeneutika’.18 Mereka menawarkan suatu cara lain untuk melihat hakikat bahasa, yaitu bahasa dilihat sebagai cara kita
memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Dalam pengertian ini
maka fungsi essensial bahasa yaitu fungsi transformatifnya. Melalui bahasa kita
mentransformasikan dunia dan melalui bahasa pula dunia mentransformasikan
kita. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna serta
penggunaannya dalam kehidupan melainkan fungsi bahasa yang melukiskan
seluruh realitas hidup manusia. Bahasa bukanlah sekedar medium atau sekedar
representasi kenyataan. Secara hakiki bahasa dapat juga kita sebut sebagai
manifestasi total pikiran manusia, sebab tidak ada cara lain untuk berfikir tentang
17
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 24
18
IImmelda Mallipa dalam
20
haikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan
manusia.
Bahasa memiliki peran sentral dalam proses kehidupan manusia.
Manusia berfikir menggunakan bahasa, manusia berkomunikasi dan berinteraksi
juga menggunakan bahasa. Dengan bahasa manusia mampu mengenali realitas
dan mampu menemukan dan mengenali dirinya sendiri di dalam dunia yang
berubah secara terus-menerus.19 Konsep diri (self) menjadi unsur utama dalam teori-teori Sosiologi yakni interaksionisme simbolik. Ia memiliki pokok
pembahasan tentang simbol dan pengaruhnya terhadap manusia dengan segala
perangkatnya, sehingga melengkapi dua teori yang penulis gunakan sebelumnya.
Disinilah penulis ingin melienarkan atau menarik sebuah garis lurus yang
menghubungkan antara semiologi, hermeneutik dan interaksionisme simbolik
menjadi suatu kesatuan “filosofis” terhadap objek kajian simbol-simbol wayang
Gunungan.
I. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terbagi atas 5 bab, masing-masing bab melingkupi suatu
bahasan tertentu yang menunjang penelitian ini. Oleh karena itu, sistematika
penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Bab satu, Merupakan Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, Penegasan Judul dan Sistematika Penulisan.
19
21
Bab dua, Berisi tentang Studi Teoritis tentang Simbol yaitu melalui
teori dalam Semiologi, Hermeneutika dan Interaksionisme Simbolik.
Bab tiga, Deskripsi filosofis wayang Gunungan
Bab empat, Merupakan analisis data dan pembahasan yang
memaparkan deskripsi analisis semiologi, hermeneutik dan interaksionisme
simbolik dalam membaca simbol Gunungan.
Bab lima, Berisi simpulan dari hasil yang diperoleh dari analisis data
dan saran yang berisi anjuran kepada pembaca atau peneliti yang tertarik untuk
22
BAB II
STUDI TEORITIS
Dalam membaca sebuah karya seni khususnya Gunungan hendaknya
menggunakan beberapa sudut pandang, sehingga makna, maksud dan tujuannya
dapat diketahui dengan baik. Di antara sudut pandang yang peneliti gunakan
adalah dengan teori Simbol, Semiologi, Hermeneutik dan Interaksionis Simbolik.
Dibawah ini akan sedikit diuraikan secara garis besar teori-teori tersebut.
A. Simbol
Menurut Sussane Langer, simbol merupakan hal yang sangat penting
dalam ilmu filsafat, karena simbol menjadi penyebab dari semua pengetahuan dan
pengertian yang dimiliki manusia.20 Menurut Langer, kehidupan binatang diatur oleh perasaan (feeling), tetapi perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah
konsep, simbol dan bahasa. Binatang memberikan respons terhadap tanda, tetapi
manusia membutuhkan lebih dari sekedar tanda, manusia membutuhkan simbol.21
Suatu “tanda” (sign) adalah suatu stimulus yang menandai kehadiran
sesuatu yang lain. Misalnya, jika seseorang melatih anjing peliharaannya untuk
duduk ketika ia mengatakan “duduk!” maka kata itu adalah tanda bagi anjing
untuk duduk. Dengan demikian suatu tanda berhubungan erat dengan maksud
tindakan yang sebenarnya (actual signified action). Awan mendung di langit
dapat menjadi tanda akan turun hujan, bendera putih dengan palang merah
20
Morissan, Teori Komunikasi; Individu Hingga Massa (Jakarta: Kencana, 2013), 135
23
merupakan tanda terdapat orang mati, lampu lalu lintas (traffic light) menyala
merah adalah tanda harus berhenti, kuning siap-siap atau waspada dan Hijau
berarti jalan. Semua hubungan sederhana ini dinamakan signifikasi (signification)
yaitu makna yang dimaksudkan dari suatu tanda.22
Sementara simbol bekerja dengan cara yang lebih kompleks yaitu
dengan membolehkan seseorang untuk berfikir mengenai sesuatu yang terpisah
dari kehadiran sekedar dari suatu tanda. Dengan kata lain, simbol adalah “suatu
instrumen pikiran” (instrument of thought). Anjing tidak perlu berpikir lama untuk
duduk setelah menerima perintah duduk. Namun, manusia membutuhkan waktu
untuk memikirkan makna suatu simbol.23 Sebagai contoh, ketika demonstrasi di depan gedung DPR RI Demonstran membawa keranda mayat dengan berbagai
tulisan pada kain yang menutupinya, dalam sejarah manusia pun demikian tidak
jarang peninggalan sejarah (bangunan, artefak, prasasti, serat, kitab atau yang
lain) memiliki simbol-simbol di dalamnya. Bentuk Candi sejatinya merupakan
simbol, goresan maupun pahatan relief pada dinding Candipun adalah
simbol-simbol sebagai usaha komunikasi melalui media yang sesuai dengan zamannya
membentuk pola-pola yang terstruktur sedemikian rupa. Pagelaran wayang pun
tidak bisa dilepaskan dari simbol. Seluruh bagian dalam pewayangan sarat akan
simbol-simbol baik yang berupa cerita maupun instrumennya. Hal tersebut
menimbulkan berbagai macam persepsi yang memunculkan berbagai makna dan
respons bagi penonton.
22
Ibid., 136
24
Asal-usul penggunaan kata simbol dapat ditelurusuri pada dua konsepsi.
Keduanya didasarkan pada korespondensi yang ada di antara dua objek. Hal itu
mengacu kepada etimologi kata simbol “symbollein” dalam bahasa Yunani yang
di analogikan oleh masyarakat di zaman Yunani kuno, ketika ada dua orang yang
mengadakan perjanjian, mereka selalu membuat sebuah bukti perjanjian dengan
memecahkan sesuatu yakni benda yang terbuat dari tanah liat menjadi dua bagian.
Yang nantinya pecahan tersebut diambil oleh mereka, masing-masing satu bagian
untuk disimpan. Jika salah satu dari pihak yang mengadakan perjanjian itu
dikemudian hari menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau wakilnya akan
mengidentifikasi diri dengan mencocokkan bagian dari barang yang telah dipecah
dengan bagian lain yang dibawa oleh pihak satunya.
Istilah “mencocokkan” dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan
kedua bagian benda yang dipecahkan disebut symbolla. Kata ini lambat laun
berarti “tanda pengenalan” dalam pengertian yang lebih luas, misalnya untuk
anggota-anggota sebuah masyarakat rahasia atau minoritas yang menjadi buruan.
Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda atau sebuah kata
yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan “arti” yang sudah dipahami.24
Jadi, sebuah simbol artinya menghubungkan atau menggabungkan.
Meskipun semula kata symbollein itu dugunakan untuk benda yang terbuat dari
bahan yang sama dan kerap kali praktis merupakan replika yang satu dari yang
lain, dalam penggunaan dikemudian hari komponen primer sering berbeda rupa
24
F. W. Dillistone, The Power of Symbols, Terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta:
25
dan jenisnya dengan apa yang disimbolkan, tetapi dengan suatu cara dapat
menggambarkan atau mengingatkan atau merujuk kepada apa yang disimbolkan.25
Artinya terdapat kesepakatan umum bahwa simbol tidak berusaha untuk
mengungkapkan keserupaan yang persis atau untuk mendokumentasikan suatu
keadaan yang setepatnya.
Dalam bukunya Hans J. Daeng memberikan makna secara etimologi
simbol diambil dari kata Yunani yakni Sumballo (Sumballein) yang mempunyai
beberapa arti yaitu, berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu,
melemparkan menjadi satu, menyatukan.26 Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia simbol (Noun) diartikan memiliki lambang.
Adapun secara terminologi sebagaimana yang diungkap oleh Charon
dalam tulisan George Ritzer, simbol-simbol adalah objek-objek sosial yang
digunakan untuk menggambarkan (atau menggantikan, mengambil tempatnya)
apapun yang disetujui orang untuk digambarkan.27
Di pihak lain, kata simbol digunakan untuk menyebut sarana-sarana
pengenalan yang bermacam-macam, termasuk bekas luka atau tanda lahir, kupon
yang digunakan di segala lingkungan untuk membenarkan keberadaan para
individu atau yang digunakan untuk di tukar dengan uang atau makanan. Satu
simbol merepresentasikan satu bentuk linguistik dalam arti bahwa kita menuliskan
simbol dalam situasi-situasi yang di dalamnya kita sebenarnya mengemisikan
25
Ibid.,
26
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Tinjauan Antropologis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 82
27
George Ritzer, Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
26
bentuk linguistik, dan ketika kita merespon simbol sebagaimana kita merespon
pendengaran kita atas bentuk linguistik. Jadi, simbol adalah sesuatu yang disebut
oleh Morris dengan istilah tanda dari tanda, yaitu ‘tanda yang diproduksi sebagai
pengganti satu tanda lain, dan tanda lain itu adalah sinonim dari tanda tersebut”.28 Simbol memiliki jenis fungsi yang sama dengan jenis fungsi yang dilakukan oleh
simbol-simbol yang berasal dari zaman Yunani Kuno. Saussure mengatakan
bahwa simbol sama sekali tidak tidak bersifat arbitrer (semena-mena), ada dasar
(rudiment) ikatan alamiah antara penanda dan petanda simbol tersebut.29 Orang tidak bisa semena-mena mengganti simbol Timbangan pada lambang Pengadilan
dengan gambar wasit atau yang lainnya. Timbangan sudah menjadi kesepakatan
sebagai representasi keadilan walaupun wasit juga sama-sama memiliki visi-misi
yang serupa.
Seorang professor dari Jerman yaitu Ernst Cassirer, mengatakan bahwa
manusia adalah ‘animal symbolicum’ (Hewan dengan simbol-simbol). Hanya
dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan
hidupnya yang tertinggi.30 Alo Liliweri pun mengutip pendapat para ahli semiotik, bahwa manusia akan menjadi manusia yang sempurna karena manusia
menciptakan “kebudayaan”nya melalui simbol-simbol. Dan Lesly White
menegaskan bahwa, ”elemen pertama yang ada dalam setiap kebudayaan adalah
simbol”.31
28
Jeanne Martinet, Semiologi; Kajian Teori Tanda Saussuran Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikansi…, 59
29
Ibid., 60
30
F. W. Dellistone, The Power of Symbol…, 10
31
27
Simbol agak terpisah dari dunia, sedangkan penunjuk dan tanda
pertama-tama diterapkan pada dunia sebagaimana adanya. Penunjuk dan tanda
beroperasi dalam lingkungan yang relatif statis, dimana kata-kata atau gerak-gerik
yang sudah dikenal digunakan untuk mendeskripsikan suatu barang atau
peristiwa.32 Situasi yang jauh lebih kompleks timbul apabila bahasa simbol dan
simbolisme digunakan “Simbol” dan “simbolis” telah menjadi istilah yang
berkali-kali dan hampir begitu saja digunakan dalam iklan, berita, pidato politik,
prakiraan cuaca, dan analisis ekonomi juga dalam tulisan yang lebih serius
sehingga arti yang persis untuk istilah-istilah itu sama seklai tidak mudah
ditetapkan.33
Menurut A.N Whitehead dalam bukunya Symbolism bahwa pikiran
manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya
menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai k
omponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat yang terdahulu adalah
“simbol” dan perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol.
Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada
makna itu akan disebut referensi.34
Sebuah simbol dapat dipandang sebagai:
1. Sebuah kata, barang, objek, tindakan, peristiwa, pola, pribadi atau hal yang
konkret.
32
F. W. Dellistone, The Power of Symbol…,15
33
Ibid., 16
34
28
2. Yang mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan,
menyelubungi, menyampaikan, menggugah, mengungkapkan, mengingatkan,
merujuk kepada, berdiri menggantikan, mencorakkan, menunjukkan,
berhubungan dengan, bersesuaian dengan, menerangi, mengacu kepada,
mengambil bagian dalam, menggelar kembali, berkaitan dengan ;
3. Sesuatu yang lebih besar, transenden, tertinggi atau terakhir: sebuah makna,
realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep,
lembaga, dan suatu keadaan.35
Terdapat beberapa tokoh yang berbicara bahkan memiliki teori tentang
simbol, diantaranya adalah Raymond Firth. Dalam tesisnya ia memaparkan,
bahwa “Hakikat Simbolisme” terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu
mengacu kepada (mewakili) hal yang lain dan hubungan antara keduanya pada
hakikatnya adalah hubungan yang konkret dengan yang abstrak, hal yang khusus
dengan yang umum. Hubungan itu sedemikian rupa sehingga simbol dari dirinya
sendiri tampak mempunyai kemampuan untuk menimbulkan dan menerima
akibat-akibat yang dalam keadaan lain hanya diperuntukkan bagi objek yang
diwakili simbol itu, dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional
yang kuat.36
Ia memandang simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam
urusan manusia khususnya dalam menciptakan suatu tatanan sosial, lebih dari itu
simbol baginya juga memiliki fungsi yang bersifat intelektual. Meskipun tidak
mudah mengakui nilai sebuah symbol karena tidak mempunyai suatu acuan
35
Ibid., 20
36
29
kepada pengalaman social yang lebih luas, mengingat evidensi yang diambil Firth
dari sebuah masyarakat yang secra relative mapan dimana symbol-simbol, status,
peran, dan hubungan di dalam memainkannya memiliki peranan yang dominan.
Dua istilah penting yang digunakan Firth, “Simbol” yang mencakup dua
entisitas dan “Substansi” yang berarati zat atau bahan yang mendasari serta tidak
terbagi. Sebagai suatu pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol yang
bersifat binner (berpasangan); tidak ada perpaduan kristalisasi penuh menjadi
sebuah massa yang kuat, padat, melainkan antar hubungan yang tetap
unsure-unsurnya satu sama lain. Sebagai suatu pandangan hidup yang berdaya upaya
untuk mendefinisikan bersifat uniter (kesatuan); mungkin ada banyak substansi,
tetapi masing-masing bersifat atomis, mandiri dan final. Maka dari itu, substansi
hanyalah substansi yang tidak dapat berkaitan secara hidup dengan sesuatu yang
lain dan dengan demikian tidak dapat membangun hubungan simbolis apapun.37
Dengan cara yang sangat menarik Firth mengemukakan perbedaan
antara simbol dan substansi dengan mengajukan pertanyaan tentang etnisitas
Yesus. Gambaran Yesus pada abad ke-15 atau 16 berbeda dengan gambaran
Yesus dari setiap masa, bahkan tidak lama ini muncul sebuah patung Kristus
perempuan.38 Hal ini menunjukkan bahwa referensi simbolis merupakan proses yang berjalan terus menerus hingga tergelarnya makna yang meluas. Pembatasan
pada substansi akan mengurung kegiatan Tuhan di dalam batas-batas yang
ditentukan menurut asumsi-asumsi manusia. Sebab itu, melalui symbol itulah
37
Ibid., 105
38
30
manusia telah bangkit untuk mengatasi penguruangan diri dan kecukupan diri,
serta telah mulai mengalami kebebasan dengan melihat makna.
Tokoh lainnya adalah Mary Douglas, Dalam bukunya “Natural
Symbols”, ia sangat terkesan melihat hubungan erat antara tubuh manusia dengan
masyarakat manusia, disemua zaman dan semua tempat. Menurutnya, tubuh
merupakan analogi yang cocok untuk diterapkan pada masyarakat umum baik dari
susunan, tata kerja, dan tata hubungan antara berbagai bagian tubuh yang dapat
disejajarkan dengan hidup setiap masyarakat tertutup.39
Seperti halnya manusia berusaha untuk menciptakan tatanan dan
pengendalian dalam hal-hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian
juga ia mengupayakan kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya.
Sebab, ia tidak dapat berkembang mencapai kematangan badani dan budaya kalau
tidak di dalam sistem simbolis yang koheren. Demikian juga, sistem simbolis
yang paling memuaskan rupanya adalah apa yang terstruktur secara organis dan
yang menjaga hubungan erat antara ungkapan social dan ungkapan tubuh. Karena
keyakinannya mengenai simbol itu sangat penting, yang tidak hanya untuk menata
masyarakat tetapi juga untuk mengungkapkan kosmologinya, Mary Douglas
merasa sama sekali tidak senang melihat gerakan yang baru-baru ini seolah-oleh
meremehkan tata cara atau bahkan siap sedia untuk meninggalkan tata cara. Mary
Douglas ingin menunjukkan adanya variasi-variasi antara berbagai corak
masyarakat, namun demikian masyarakat tersebut di dalam kategori umum
ketertutupan.
39
31
Natural Symbol memberikan kesaksian tentang nilai dari corak tertentu
dari bentuk-bentuk ritual dalam membawakan koherensi dan stabilitas kepada
masyarakat; kedudukan dan batas yang disimbolkan dengan tepat oleh cirri-ciri
tubuh. Namun, bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk pengalaman social
dalam waktu, untuk perubahan, dan interaksi. Semua ini menurutnya mempunyai
hak untuk dipandang bukan sebagai symbol alami melainkan historis, sebagai
simbol yang dibangun, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa dalam pengalaman
sosial.40
Antropolog Inggris Victor Turner angkat bicara soal simbol, Dalam
bukunya “The Forest of Symbols” dan “The Ritual Process”, Turner
membicarakan fungsi simbol sebagai pengatur kehidupan sosial. Ia menyadari ada
dua segi yang harus dipertimbangkan. Penciptaan peranan-peranan dan
aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi social keseharian, munculnya kelompok
komunal yang mempunyai keyakinan dan hasrat bersama yang menata dirinya
dengan cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat luas. Terdapat interaksi
dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok khusus di
dalamnya.
Analisis Turner mengenai perbedaan antara tatanan sosial terstruktur,
dengan fungsi-fungsi serta peranan di dalamnya secara tegas dijelaskan bahwa
semua itu tergantung “Communitas” (kelompok atau perkumpulan). Tatanan
seperti upacara peralihan kehidupan suku, gerakan-gerakan milenial baik dalam
Biara hingga kebudayaan kontra ini jelas terstruktur oleh tuntutan-tuntutan suatu
40
32
tata ekonomi jasmani yang khusus (terutama ekonomi pertanian) atau pemberian
aturan yang terikat. Sedangkan kondisi yang seperti itu selalu memiliki bahaya.
Salah satunya, tatanan akan tampak menjadi kaku dan terkesan menindas seperti
rezim otoriter. Pada waktu yang sama, belajar dari catatan sejarah maka sudah
pasti individu atau kelompok yang merasa tertindas itu akan memisahkan diri dan
mengupayakan wilayah baru dengan komoditas yang berharga untuk kembali
menata kehidupan keagamaan atau kesenian mereka. Perjuangan untuk mencapai
kebebasan seperti itu akan menghasilkan beberapa kemajuan yang berdaya cipta
dalam seluruh kisah perkembangan manusia. Namun demikian, justru sebaliknya
akan berdampak perselisihan, perpecahan, dan akhirnya disintegrasi serta anarki.41 Dari analisis tersebut, Turner membuat perbedaan yang tajam antara
simbol dan tanda. Menurutnya, dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan
antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai
kemiripan seperti itu. Tanda-tanda selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”.
Sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang dominan dari dirinya sendiri
bersifat “terbuka” secara sistematis. Makna simbolis tidaklah sama sekali tetap.
Makna baru dapat ditambahkan memalui kesepakatan kolektif pada wahana
simbolis yang lama. Tidak hanya itu, individu juga dapat menambahkan makna
pribadi pada makna umum sebuah simbol. Dari sini dapat diketahui, simbol yang
dominan menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial manapun, sebab
makna simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman. Dapat
dikatakan bahwa simbol dominan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang
41
33
dipimpinnya. Simbol-simbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang
lebih kecil tapi memiliki fungsi yang besar.
Selanjutnya, Cliffortz Geertz berpendapat bahwa kebudayaan hingga
saat ini kerap kali ambigu di banyak tempat. Menurutnya, kebudayaan berarti
suatu pola makna yang ditularkan secara historis yang diejawatahkan dalam
simbol-simbol, suatu konsep sistem yang diwarisi terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolis yang hingga kini menjadi sarana manusia untuk menyampaikan,
mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan tentang sikap terhadap hidup.42
Geertz mendefinisikan simbol dengan suatu objek, tindakan, peristiwa,
sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi. Dan
konsepsi inilah yang dimaknainya sebagai “simbol”. Melalui penafsiran
kebudayaan dengan simbol-simbol keagamaan Geertz menyingkirkan semua teori
metalitas primitif atau evolusi budaya. Minatnya adalah memahami arti atau
makna tindakan-tindakan simbolis bagi orang-orang yang melakukannya,
membeberkan “struktur-struktur konseptual” yang dinyatakan oleh
tindakan-tindakan ritual.
B. Semiologi
Semiologi adalah gabungan dari dua suku kata yakni semeion yang
berarti “tanda” atau dari kata semeiotikos yang berarti teori tanda. Dapat pula
diambil dari kata seme yang bermakna “penafsir tanda”. Sementara Logos yang
tidak asing pada telinga kita bermakna “ilmu”. Sehingga jika digabungkan maka
42
34
yang dimaksud semiologi adalah ilmu tentang tanda atau ilmu tentang penafsir
tanda.43
Tanda (sign) adalah pengidentifikasi atau penama. Tanda merupakan sesuatu yang mewakili dirinya dan tidak mewakili sesuatu yang lain. Keunikan
kualiatas “tanda” terletak pada hubungan satu persatu yang berarti bahwa tanda
memberikan makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Setiap
tanda berhubungan langsung dengan objeknya. Hal tersebut merupakan hasil
konvensi bersama memberikan makna yang sama atas tanda tersebut. Setiap tanda
langsung mewakili atau berhubungan langsung suatu realitas.44 Berbeda dengan simbol, karena simbol merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lainnya
seperti yang dijelaskan sebelumnya di poin sekelumit simbol.
Ada beberapa istilah lain yang dalam aplikasinya cenderung tumpang
tindih, seperti lambang, ikon, kode, indeks dan signal atau isyarat.
Lambang memiliki makna dan fungsi yang serupa dengan simbol yakni digunakan untuk menunjuk sesuatu lainya berdasarkan kesepakatan (konvensi).45
Ikon adalah sesuatu yang bersifat material (gambaran) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya atau dalam bahasa lainnya adalah tanda yang
43
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika…, 19
44
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 296-297
45
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosda
35
terhubung dengan objek tertentu karena keserupaan. Representasi ini ditandai
dengan kemiripan, seperti ikon-ikon tempat yang terdapat dalam peta.46
Kode, menurut KBBI Online adalah tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu (untuk menjamin kerahasiaan berita, pemerintah
dan sebagainya).47 Sementara itu, pengertian “kode” menurut Alo Liliweri adalah sistem yang mengorganisasikan atau mengkodifikasi tanda-tanda. “kode”
merupakan aturan atau konvensi tentang bagaimana mengkombinasikan “tanda”,
bagaimana tanda berkaitan satu dengan lainnya.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan yang timbul dengan acuan karena kedekatan eksistensi.48 Dalam pengertian yang lain, indeks adalah tanda yang terhubung dengan objek tertentu karena hubungan sebab-akibat.49
Sementara dalam KBBI Online menyebutkan bahwa Indeks dalam linguistik
adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi ukuran
suatu ciri tertentu; petunjuk.50
Istilah-istilah tersebut hanya untuk membandingkan saja supaya jelas
dimana posisi “tanda”.
Jeanne Martinet dalam bukunya menuliskan, di sekeliling “tanda”
dikembangkanlah sejumlah atau disiplin ilmu yang bersifat membatasi semiologi.
Untuk menamai pelbagai ilmu itu, para pendirinya telah mengambil di dasar yang
46Ibid.,
47
http://kbbi.web.id, diakses pada: Kamis, 04 Februari 2016, pukul: 13.20 WIB
48
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika…, 45
49
Paul Cobley dan Litza Janez, Mengenal Semiotika For Beginners, terj. Ciptadi
Sukono (Bandung: Mizan, 2002), 33
50
36
berisi akar-akar kata Yunani. Dari akar Sem-, dasar itu menyediakan tema:
semeio- dan tema lain: semant-, sema(t). kedua tema itu tampaknya memang bias
direferensikan kepada realita yang sama: tanda, ciri pembeda dan ramalan.51
Semiologi merupakan pembentukan modern yang dilakukan dengan
menggunakan tema pertama. Dalam bahasa Jerman semiologi diistilahkan
semeiologi yang ditransliterasi langsung dari bahasa Yunani tanpa menyamakan
“ɛi” Yunani dengan “-i-“ Latin.52
Dalam bahasa Yunani, semiotika mengacu kepada “diagnostik” atau
pengalaman gejala. Dalam penggunaan zaman sekarang kata semiotika menjadi
pesaing semiologi. Istilah semiotika digunakan untuk menyebut sistem-sistem
partikular. Martinet merujuk tulisan Louis Hjemslev yang berjudul Prolégomènes
yang menjelaskan tentang semiotika denotatif, semiotika konotatif dan tentang
metasemiotika.53
Dari tema seman- maka diturunkanlah semantik yang datang di abad
XIX bersama Bréal sebagai studi bahasa yang dipandang dari sudut maknanya.
Dalam beberapa penggunaan tertentu dibeberapa Negara yang menggunakan
bahasa Inggris, terutama pemikiran Charles Morris semantik itulah yang
cenderung disebut sebagai semiotika. Di Amerika dengan pengaruh Korzybski,
”semantik general” adalah “semiologi yang diaplikasikan pada kehidupan sosial”
atau mungkin lebih baik dikatakan bahwa “semantik general” pada tingkat
51
Jeanne Martinet, Semiologi; Kajian Tanda Saussuran,…3
52 Ibid., 53
37
tertentu adalah penelitian tentang pelbagai hubungan yang ada di antara simbol
dan perilaku manusia, simbol di sini dipahami dalam pengertian yang luas.54
Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang
tanda. Secara prinsip, kedua istilah tersebut tidak memiliki perbedaan yang
signifikan, kecuali dalam hal orientasi semiologi yang mengacu pada tradisi Eropa
dari Saussure (1857–1913) dan orientasi semiotika yang menunjukkan pengaruh
tradisi Amerika dari Pierce (1839–1914).55
Saussure mendefinisikan semiologi sebagai,
A science that studies the life of signs within society is conceivable, it would be a part of social psychology and consequently of general psychology; I shall call it semiology (from Greek semeion ‘sign’). Semiology would show what conastitutes signs, what laws govern them”.
Ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam masyarakat. Semiologi menjadi
bagian dari psikologi sosial dan dengan begitu, psikologi general; saya
menamakannya semiologi (dari bahasa Latin “semeion” (tanda)). Semiologi akan
menunjukkan hal-hal yang membangun tanda-tanda, hukum-hukum yang
mengaturnya.
Implikasinya, tanda itu berperan sebagai bagian dari kehidupan sosial
dan aturan sosial yang berlaku.56 Disinilah Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai sistem tanda dan tanda memiliki dua unsur yaitu petanda (signified) dan
penanda (signifier)
54
Ibid.,
55
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), 12.
56
38
Dalam referensi yang sama Dadan rusmana mengutip beberapa pendapat
yang berkaitan dengan semiotik atau semiologi, diantaranya: Dick Hartono (1984)
yang memberikan batasan semiotik sebagai cara karya itu ditafsirkan oleh para
pengamat dan masyarakat melalui tanda-tanda atau lambang-lambang.
Luxemburg (1984) menyatakan bahwa semiotik merupakan ilmu yang secara
sistematis mempelajari tanda, lambang, sistem dan proses perlambangan. Aart van
Zoest (1996) mendefinisikan semiotik sebagai studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya yakni cara berfungsinya, hubungannya dengan
tanda-tanda lain, pengirimnya dan penerimaanya bagi yang mempergunakannya.57
Semiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu linguistik yang
dipelopori oleh Ferdinand Morgin de Saussure (1857-1913). Ia juga dikenal
dengan peletak dasar strukturalis dalam bidang linguistik.58 Saussure ingin menjelaskan bahwa bahasa pada dasarnya merupakan suatu sistem yang saling
berkait satu dengan yang lainnya yang disebut Aminuddin sebagai “relasi
struktural”59. Bahasa sebagai suatu sistem unik yang berbeda antara bahasa yang satu dengan lainnya. Sebab itulah, kajian kebahasaan dalam strukturalisme
meskipun dapat berfokus pada unit-unit tertentu (misalnya bunyi), terminal
akhirnya harus mencakup keseluruhan unit yang membentuk jaringan sistem
dalam bahasa itu sendiri.
57
Ibid., 23
58
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa…,