• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA WAYANG GUNUNGAN: TELAAH FILOSOFIS TERHADAP SIMBOL-SIMBOL PADA GUNUNGAN WAYANG KULIT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA WAYANG GUNUNGAN: TELAAH FILOSOFIS TERHADAP SIMBOL-SIMBOL PADA GUNUNGAN WAYANG KULIT."

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA WAYANG GUNUNGAN

Telaah Filosofis Terhadap Simbol-simbol Pada Gunungan Wayang Kulit

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh

HIDAYAT

NIM: E01211015

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

MAKNA WAYANG GUNUNGAN

Telaah Filosofis Terhadap Simbol-simbol Pada Gunungan Wayang Kulit

Skripsi

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan

Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Filsafat Agama

Oleh:

HIDAYAT

NIM: E01211015

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama

: HIDAYAT

NIM

: E01211015

Jurusan

: Pemikiran Islam

Prodi

: Filsafat Agama

Fakultas

: Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan

adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang

dirujuk sumbernya. Jika ternyata dikemudian hari skripsi ini terbukti bukan hasil

karya saya sendiri, saya bersedia mendapatkan sanksi berupa pembatalan gelar

kesarjanaan yang saya peroleh.

Surabaya, 05 Februari 2016

Saya yang menyatakan

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

(5)
(6)

ABSTRAK

Hidayat:

Makna Wayang Gunungan; Telaah Filosofis Terhadap Simbol-simbol Pada

Gunungan Wayang Kulit. Skripsi UIN Sunan Ampel

Bahasa merupakan media komunikasi antar subjek, dialog yang sejati dimana

pemakai bahasa dan pendengar atau pembaca merupakan kesatuan sosial sebagai

syarat mutlak bagi adanya bahasa. Dalam interaksinya manusia selalu menyertakan

bahasa baik secara verbal maupun non-verbal seperti perkataan, tulisan, tanda, kode

atau simbol-simbol untuk menyampaikan maksud dan tujuannya walaupun pada

hakikatnya bahasa tidak pernah mewakili secara tepat apa yang menjadi maksud

sebenarnya. Bahasa memiliki kebenaran yang universal, bahasa hanya mendekati dari

segi-segi tertentu dan setiap bahasa menyoroti wajah kebenaran secara khas,

memperkaya gambaran seseorang tentang dunia melalui bahasa-bahasa, sekaligus

memaparkan kebudayaan dengan segala kekayaannya. Dengan tepat dinyatakan oleh

peribahasa Arab kulli lisani bi al insa>n

yang artinya makin banyak bahasa dipahami

seseorang makin banyaklah dia menjadi manusia.

Kekayaan bahasa khas Nusantara salah satunya tertuang dalam bentuk

Wayang Gunungan. Sebuah wujud hasil kebudayaan (

cultural product

) yang

memiliki instrumen bahasa berupa tanda-tanda dan simbol-simbol syarat makna

menjadi nilai tambah bagi bangsa ini. Kedalaman makna yang disampaikan melalui

bahasa tingkat tinggi hingga bukan lagi kata-kata atau istilah yang digunakan dalam

penyampaian melainkan melalui tanda-tanda atau simbol-simbol. Oleh karena itu

diperlukan seperangkat perspektif untuk dapat membaca dan memahami

masterpiece

tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Balakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metodologi Penelitian ...11

1. Jenis Penelitian ...12

2. Metode Pemerolehan Data ...13

3. Metode Analisis Data ...14

G. Unit Analisis...15

(8)

I. Sistematika Penulisan ...20

BAB II STUDI TEORITIS ...22

A. Simbol ...17

B. Semiologi ...28

C. Hermeneutika ...42

D. Interaksionisme Simbolik ...50

BAB III SIMBOL WAYANG GUNUNGAN DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS ...58

A. Wayang . ...59

1. Pengertian Wayang . ...59

a. Pengertian Aspektual Wayang ...59

b. Pengertian Etimologi Wayang ...60

c. Pengertian Wayang Secara Filosofis ...61

2. Sejarah Wayang ...61

3. Jenis-Jenis Wayang ...63

a. Wayang Beber ...63

b. Wayang Gedhog ...64

c. Wayang Kidang Kencana ...65

d. Wayang Kulit ...65

e. Wayang Golek ...66

f. Wayang Sunggingan ...66

(9)

h. Wayang Wong ...67

i. Wayang Keling Pekalongan ...67

j. Wayang Dakwah ...68

k. Wayang Kulit Betawi ...68

l. Wayang Kulit Bali...69

m. Wayang Potehi ...69

n. Wayang Madya ...70

o. Wayang Tasripin ...70

p. Wayang Suluh ...70

q. Wayang Wahana ...70

r. Wayang Perjuangan...71

s. Wayang Kulit Kancil ...71

t. Wayang Pancasila ...71

u. Wayang Wahyu ...71

4. Perangkat Wayang ...72

a. Dalang ...72

1) Dalang Sejati ...74

2) Dalang Purba ...75

3) Dalang Wasesa ...75

4) Dalang Guna ...75

5) Dalang Wikalpa ...76

b. Panjak (Pengrawit) ...76

(10)

d. Sinden ...78

5. Kandungan dalam Wayang ...80

a. Momot Kamot...80

b. Tatanan, Tuntunan dan Tontonan ...81

c. Teater Total ... 81

6. Sasaran Wayang ... 82

B. Gunungan dalam Pewayangan ... 83

1. Pengertian Gunungan ... 83

2. Sejarah Gunungan ... 86

3. Fungsi Gunungan ... 88

4. Gunungan dalam Pathet ... 90

a. PathetEnem ... 92

b. PathetSanga ... 95

c. PathetManyura ... 97

5. Simbol-simbol Pada Wayang Gunungan ... 98

6. Macam-macam Wayang Gunungan ... 105

BAB IV ANALISIS ... 106

A. Wayang Gunungan dalam Perspektif Semiologi. ... 106

B. Wayang Gunungan dalam Perspektif Hermeneutik ... 110

1. Mengenal Sunan Kalijaga ... 112

2. “Rasa” Sebagai Landasan Epistemologis Orang Jawa ... 113

3. Simbol-simbol dalam Wayang Gunungan Secara Umum ... 118

4. Simbol-simbol dalam Wayang Gunungan Secara Khusus ... 121

(11)

C. Wayang Gunungan dalam Perspektif Interaksionis Simbolik ... 157

1. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Keagamaan... 159

2. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Sosial ... 160

3. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Kebudayaan ... 160

4. Pengaruh Wayang Gunungan Dalam Pendidikan ... 160

BAB V PENUTUP ... 163

A. Kesimpulan ... 163

B. Saran ... 166

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam proses kehidupan manusia tidak luput dari segala tindakan, baik

yang verbal maupun non-verbal sebagai bentuk interaksi pada diri sendiri terlebih

dengan yang lainnya. Segala yang tercipta dari usaha tersebut dikemas sedemikian

rupa sebagai kebudayaan yang ia ciptakan walaupun syarat dengan pengaruh, baik

intern maupun ekstern. Berangkat dari daya olah cipta, rasa dan karsa yang di

aktualisasikan sebagai bentuk komunikasi inilah kebudayaan memiliki makna

sekaligus fungsi. Salah satu wujud dari olah daya tersebut adalah Wayang Kulit

Purwa.

Wayang Kulit Purwa merupakan salah satu kebudayaan di Pulau Jawa

yang adiluhung. Ia merupakan warisan para leluhur bangsa yang memiliki syarat

akan nilai-nilai moral dan etika. Ia sebagai perwujudan ekspresi batin, pikiran,

perangai maupun tingkah laku makhluk alam semesta yang tercermin pada bentuk

masing-masing wayang itu sendiri maupun jalan ceritanya.

Pandam Guritno memaparkan,”Wayang merupakan prestasi puncak

masa lalu para leluhur yang bertempat tinggal di pulau Jawa. Dengan demikian

dapat diangkat menjadi warisan budaya bangsa yang patut dijadikan milik

bersama karena isi kandungannya, baik berupa etika maupun estetikanya.”1 Dalam buku yang sama Agus Purwoko mengutip pendapat Sujamto, “Mempelajari

budaya Jawa adalah syarat yang tan kena ora atau conditio sine qua non untuk

1

Pandam Guritno dalam tulisan Agus Purwoko, Gunungan Nilai-Nilai Filsafat Jawa

(13)

2

menyelami budaya Jawa. Baik etos Jawa maupun pandangan hidup Jawa,

tergambar dan terjalin dengan baik dalam wayang.”2

Dalam lika-liku perkembangannya wayang memiliki sejarah yang

panjang. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi eksistensinya hingga kini.

Daya tarik itu sendiri berasal dari nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Selain itu bentuknya yang unik dan variatif. Hal ini dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang pribadi dan peran dari sosok yang dimainkan. Ini

merupakan simbolisme khas yang terdapat dalam masyarakat Jawa yang kental

dengan perumpamaan-perumpamaan dalam berinteraksi. Dan Wayang merupakan

salah satu bentuk simbolisme yang digunakan.

Karakter yang tercermin dalam tokoh pewayangan merupakan simbol

dari berbagai perwatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Ada tokoh yang

baik yang mencerminkan sifat jujur, sabar, syukur, adil, suci, kesatria dan lain lain

yang patut untuk di contoh dan adapula yang sebaliknya angkuh, serakah, dikdaya

serta sifat-sifat yang disematkan dalam bingkai keburukan.

Terdapat beberapa keunggulan yang dimiliki wayang dibanding bentuk

budaya yang lain di antaranya:

1. Kemampuan mendukung materi.3 Materi yang disajikan dalam pagelaran

wayang itu menyangkut seluruh aspek dalam kehidupan manusia.

2. Kemampuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.4 Karena ia membawa seluruh aspek kehidupan maka sangat mungkin keberadaannya diterima di

seluruh lapisan masyarakat.

2

Agus Purwoko, Gunungan Nilai-Nilai Filsafat Jawa (Bekasi: Adisaputra. 2010), 2

(14)

3

3. Kemampuan mengikuti perkembangan zaman.5 Wayang tidak hanya

dimainkan secara lakon (tradisional) melainkan disajikan secara luwes dengan

menyisipkan topik-topik kontemporer di dalamnya.

4. Kemampuan mendukung cabang kesenian yang lain.6 diantaranya adalah seni sastra dan drama, suara dan karawitan, gerak dan seni ripta (konsepsi ciptaan

baru).

Selain memiliki fungsi sebagai tontonan (hiburan) wayang kulit juga

berfungsi sebagai tuntunan (pedoman hidup). Dunia pewayangan ikut serta

mendewasakan masyarakat dengan cara membekalinya dengan konsepsi-konsepsi

falsafah hidup. Dari sinilah manusia diajak untuk merenungkan hakikat kehidupan

sehingga ia mampu memahami dirinya sebagai manusia sekaligus sebagai hamba.

Dari sekian banyak wayang yang berada di dalam peti sang Dalang.

Terdapat satu jenis wayang yang dikenal dengan Gunungan atau Kayon.

Gunungan dalam wayang kulit purwa memiliki keistimewaan tersendiri karena

bentuknya yang khas dan fungsinya sangat mutlak diperlukan dalam pagelaran

wayang serta nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.7 Ia dinamakan Gunungan karena bentuknya yang mudah dikenali yakni segitiga menyerupai

Gunung. Tak ketinggalan lukisan yang terdapat dalam Gunungan merupakan

sekumpulan habitat dari tumbuhan, hewan yang merupakan simbolisme

kehidupan duniawi dan kesemua itu diwakili dengan istilah alas (Hutan)

sebagaimana mestinya sebuah gunung. Salah satu unsur pokok yang terdapat

4

Ibid., 5

Ibid., 6

Ibid., 7

(15)

4

dalam gunungan adalah gambar Kayu atau kayon (pohon). Gambar tersebut

melambangkan pohon surga, pohon hidup, pohon Bodhi yang diartikan sebagai

sumber pengetahuan.

Dalam bukunya, Agus Purwoko memaparkan pemaknaan Kayon.

Menurutnya terdapat pemaknaan lain dari kayon tersebut, bahwa kayon

melambangkan hidup di dunia ini dan dapat diartikan sebagai jantung dalam

pagelaran wayang kulit. Kayon merupakan gambaran hidup dalam mendalang,

jika dibalik posisinya (dijungkir) maka bentuknya mirip jantung. Jika wayang

kayon belum ditancapkan di tengah pakeliran berarti wayang-wayang yang lain

belum hidup dan jika berganti adegan berarti ganti yang hidup. Para Pemikir islam

mempunyai pendapat yang berbeda pula, kata kayon atau kekayon berasal dari

kata H}ayyu yang berarti hidup. Kayon dalam bahasa Jawa kuno berasal dari kata

Kayun yang berarti Karep atau kehendak,8 dan masih banyak lagi interpretasi dari kayon.

Dalam visi dan misinya wayang merupakan sebuah media interaksi

komunikatif yang di dalamnya syarat akan nilai-nilai meskipun dikemas dalam

bentuk drama naratif dengan aneka wayang di dalamnya. Misi yang ada di

dalamnya mengandung moralitas yang tinggi. Sebuah cerita yang diangkat dari

imaginasi masa lampau yang direlevansikan ke dunia kontemporer namun tidak

menghilangkan nilai-nilai riil maupun tradisi yang telah ada.

Secara etimologi moral berasal dari bahasa latin mores kata jamak dari

mos berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral diterjemahkan dengan

8

(16)

5

arti tata susila. Sedangkan secara terminologis moral adalah perbuatan baik dan

buruk yang didasarkan pada kesepakatan masyarakat.9 Dalam KBBI offline moral

diartikan sebagai baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,

kewajiban dsb; akhlak; budi pekerti; susila. Moral pun memiliki arti ajaran

kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.

Dari pemaknaan tersebut penulis merujuk kepada makna yang terakhir,

bahwa proses pengajaran moralitas terdapat dalam sebuah cerita yang dalam

masyarakat Jawa dikemas dalam pagelaran wayang kulit purwa. Dengan sedikit

rekonstruksi substansinya (penggubahan) namun tidak meninggalkan hal yang

lain menjadikan tradisi pagelaran wayang sebagai salah satu media dakwah utama

yang khususnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga di pulau Jawa pada masa itu.

Moralitas merupakan suatu unsur penting di dalam membangun

kepribadian dalam konstruksi manusia. Ia dikatakan vital, karenanya sebuah

eksistensi harmonis akan dapat tercapai. Nilai moral nampaknya lebih dapat

terlihat sejalan dengan perjalanan panjang sejarah wayang itu sendiri yang terus

berevolusi dan termodifikasi sedemikian rupa disesuaikan secara maksimal sesuai

dengan visi-misi Islam yang berkembang di tanah Jawa. Tak pelak bentuk dan

cerita wayang mengalami modifikasi (islamisasi) dari pengaruh hindu-budha yang

tidak meninggalkan substansi aslinya sebagai produk kebudayaan.

Menurut penulis di dalam Gunungan wayanglah awal nilai moral itu

disuguhkan melalui simbolisme yang ada di dalamnya. Gunungan dianggap

9

(17)

6

memiliki nilai moralitas lebih dibandingkan wayang-wayang yang lain karena ia

tidak hanya membawa pesan yang bersifat horisontal melainkan juga vertikal.

Dalam Islam yang digunakan sebagai sumber moral adalah al-quran dan

as-sunnah, sedangkan pencipta standar moral adalah Allah SWT. Selain itu

terdapat landasan lainnya yakni objek sekaligus subjek moral.10 Lazimnya subjek adalah manusia, namun dalam pewayangan subjeknya adalah Dalang dan wayang

yang merupakan manusia yang disimbolkan. Sedangkan objeknya adalah

manusia secara umum. Tujuan dari moral itu sendiri adalah tindakan yang

diarahkan pada target tertentu misalnya: ketertiban sosial, keamanan, kedamaian,

kesejahteraan dan lain sebagainya.11

Situasi dan kondisi pada saat itu kiranya kurang efektif jika moralitas

disampaikan secara langsung tanpa sebuah media tertentu. Hal ini dikarenakan

masyarakat Jawa kental sekali dengan nilai kultural yang ada selain itu

orang-orangnya memiliki mindset (pola pikir) yang bernuansa mitologis yang hanya

efektif jika mereka diajak berfikir, merenungkan sebuah makna dari

simbol-simbol yang ada, sehingga dunia simbol-simbol menjadi hal pokok dalam interaksi

peradaban Jawa.

Dari pemaknaan simbol-simbol tersebut kiranya diperlukan untuk

mengkaji lebih dalam dari sudut pandang yang lain. Dalam hal ini adalah yang

berkaitan dengan moralitas yang dicerminkan dalam simbol-simbol yang

tergambar pada Gunungan.

10

Ibid., 31

11

(18)

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijelaskan, maka

dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud Gunungan dalam Pewayangan?

2. Bagaimana makna filosofis Wayang Gunungan dalam Pewayangan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini yaitu:

1. Memahami bagaimana Gunungan dalam Wayang Kulit

2. Mendeskripsikan makna filosofis simbol-simbol yang terdapat dalam

Gunungan Wayang Kulit

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik teoretis maupun

praktis.

1. Manfaat teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu

pengetahuan di bidang agama khususnya dalam hal teologi, metafisika, sejarah,

bahasa, maupun kebudayaan Indonesia serta menambah wawasan dan

(19)

8

2. Manfaat Praktis:

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang salah satu

bentuk dan karakter wayang yang memiliki peran signifikan yakni

Gunungan.

b. Dengan gambaran yang jelas tentang makna yang terdapat dalam simbol

Gunungan, maka secara holistik kita mampu memahami metode simbolik

yang digunakan sebagai media komunikasi yang tepat guna menyampaikan

nilai-nilai moral pada masa itu.

c. Sebagai sumbangan ilmiah bagi pembaca guna menambah khazanah

pengetahuan dan juga sebagai bahan pembahasan lebih lanjut bagi yang

berminat mengembangkannya.

E. Tinjauan Pustaka

Wayang merupakan produk budaya yang sarat akan nilai-nilai. Di

dalamnya terkandung berbagai nilai filosofis yang menjadikannya sebagai bentuk

budaya khas dan tak ternilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kajian tentang

wayang mungkin tidaklah jarang meskipun keberadaannya pun tidak pula mudah

untuk ditemukan. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat peneliti untuk bisa

lebih mendalam sebagaimana bidang yang digeluti oleh peneliti (aqidah filsafat).

Memang ide dalam tulisan ini berasal dari sebuah penelitian yang telah

terbukukan dan ditunjang oleh beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan

(20)

9

1. Gunungan, Nilai-Nilai Filsafat Jawa

Buku ini ditulis oleh Agus Purwoko (2010) dan diterbitkan oleh

percetakan Adisaputra. Buku yang semula adalah karya ilmiah berupa skripsi

ini layak untuk dijadikan referensi utama oleh peneliti. Hal ini disebabkan

banyak informasi yang berkaitan dengan topik peneliti. Isinya adalah

berkenaan dengan sejarah gunungan dan makna pelambangan Gunungan.

2. Tradisi Pewayangan dalam Pelaksanaan Sedekah Bumi Dan Pengaruhnya

Terhadap Akidah Masyarakat di Desa Sedati Gede Kecamatan Sedati

Kabupaten Sidoarjo.

Merupakan karya ilmiah dari Ulul Azmi yang diajukan sebagai skripsi

untuk memperoleh gelar kesarjanaan (S. Fil. I) di fakultas Ushuluddin jurusan

Aqidah Filsafat tahun 2003. Di dalamnya ia mengangkat tradisi pewayangan

sebagai ritual wajib yang menyertai prosesi selamatan desa (sedekah bumi)

yang dilakukan di desa Sedati Gede. Selain itu ia pun mengutarakan sejauh

mana pengaruh tradisi tersebut terhadap aqidah masyarakat setempat.

3. Nilai-Nilai Islam Dalam Cerita Walisanga Pada Pagelaran Wayang Kulit

Lakon Lahirnya Sunan Giri di Desa Manyar Kecamatan Sekaran Lamongan

Melalui Media Video.

Skripsi, Ditulis oleh Imam Wahyudi Jurusan SPI tahun 2011 yang

memaparkan tentang proses awal masuknya Wali Sanga ke Indonesia hingga

metode dakwah yang dipakai. Ia menemukan dalam dakwah Wali Sanga

(21)

10

4. Simbol “Pendopo Suwung” Dalam Pewayangan, Studi Filosofis Terhadap

Metafisika.

Tulisan Dyah Rozzana Indah tahun 1999 dalam Skripsinya untuk

memperoleh Gelar dalam ilmu Ushuluddin memaparkan makna simbolis

pendopo suwung yang merujuk pada ajaran metafisika yakni asal-usul dan

tujuan hidup manusia. Sesuai dengan temuannya, Simbol dan makna terebut

dipengaruhi oleh budaya Islam sesuai dengan diperkenalkannya Kayon dalam

pagelaran wayang kulit purwa pada 1521 oleh Raden Patah.

5. Simbolisme Alur Cerita Pagelaran Wayang Kulit Purwa; Studi Filosofis

Lakon Dewa Ruci

Merupakan Skripsi Imam Basshori 1998 yang memuat pesan Dewa

Ruci kepada Bima untuk mencari Sang Marbudyengrat yang merupakan

simbol perjalanan laku dalam mencapai kesempurnaan hidup yakni

penghayatan manunggal dengan Tuhan melalui petunjuk Guru yang dalam

hal ini adalah Druno. Selain itu ia menemukan bagaimana konsepsi tentang

Tuhan, konsepsi manusia dan kemanunggalannya dengan Tuhan dalam alur

cerita Dewa Ruci.

6. Wayang, asal-usul dan jenisnya

Ditulis oleh RM. Ismunandar K. Yang diterbitkan oleh Dahara Prize. Ia

menjelaskan tentang macam-macam dan jenis wayang yang ada dan pernah

(22)

11

7. Wayang dan budaya Jawa

Masih dalam penerbit yang sama, buku ini merupakan karya dari

Sujamto yang sekaligus digunakan sebagai bahan ceramah dalam sarasehan

Wayang di Kraton Kasunanan Surakarta tanggal 09 Agustus 1992. Ia

mengupas tentang relasi wayang dengan budaya Jawa, etika wayang, etika

dalang, etika pancasila dan peran orang-orang yang berkecimpung di dalam

pewayangan serta peran pemerintah dalam pembinaan pewayangan.

Dari beberapa karya tersebut belum terdapat kajian seperti yang hendak

peneliti angkat. Oleh karena itu peneliti berinisiatif untuk mengkajinya lebih

lanjut dengan fokus pada makna yang terdapat dalam simbol Gunungan wayang

kulit. Gunungan wayang kulit menurut peneliti memiliki peran sentral dari sekian

banyak wayang yang ada. Tanpa awalan adegan gunungan mustahil wayang yang

lain mampu dimainkan. Hal ini sarat akan nilai teologis, metafisis dan prinsip

ketauhidan bahwa segala sesuatunya memiliki pemula (yang mengawali atau

pencipta) dan itulah yang disebut dengan Tuhan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu hal yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Penggunaan metode penelitian yang tepat dapat menghindari

kemungkinan timbulnya penyimpangan-penyimpangan sehingga data yang

diperoleh benar-benar objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah

(23)

12

pengetahuan, atau cara kerja bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu

kegiatan mencapai tujuan yang ditentukan.12

1. Jenis Penelitian

Studi ini merupakan penelitian mengenai teks tertulis (buku, skripsi

maupun karya ilmiah yang lain) yang dipadukan dengan informasi dari

informan yang bergelut langsung dengan dunia perwayangan yakni Dalang.

Karena yang diteliti adalah teks maka pendekatan yang digunakan adalah

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sering pula disebut dengan natural

inquiry (penelitian alamiah) adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan

sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan dalam

kawasannya sendiri. Oleh karena itu hasil dari penelitian tersebut berupa data

deskriptif dari obyek maupun perilaku yang dapat diamati.

Natural deskriptif merupakan ciri khas atau karakter dari penelitian

kualitatif. Sifat natural pada penelitian ini menyajikan data dengan latar

alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan

karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai

keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.

Sedangkan sikap deskriptif dari penelitian kualitatif merujuk pada dua hal;

pertama, data yang dikumpulkan berupa kata, gambar dan bukan angka; kedua,

laporan hasil penelitian berisi kutipan-kutipan data sebagai ilustrasi untuk

memberikan dukungan terhadap tulisan yang disajikan. Dengan demikian,

12

T. Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik Rancangan Penelitian dan Kajian

(24)

13

peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu yang diperoleh dan dituliskan

sudah memang demikian keadaanya.

2. Metode Pemerolehan Data

Menurut Lofland yang dikutip oleh Moleong, sumber data utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen dan lain-lain.13 Namun demikian, menurut peneliti hal tersebut jika jenis penelitiannya adalah lapangan (Field research),

sedangkan yang dilakukan peneliti kali ini adalah berjenis penelitian pustaka

(Library research). Sehingga data yang dianggap utama adalah naskah-naskah,

buku, maupun karya ilmiah khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Sudah barang tentu jika sumber yang digunakan tidak dibatasi (klasifikasi)

maka tujuan utama penelitian ini akan buram sehingga klasifikasi diperlukan

supaya penelitian dapat fokus kepada topik yang diinginkan.

Adapun klasifikasi sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut,

a. Data primer yaitu berupa tulisan-tulisan, karya ilmiah maupun buku yang

membahas tentang Wayang Gunungan (kayoon) yaitu: Gunungan,

Nilai-Nilai Filsafat Jawa dan Simbol ”Pendopo Suwung” dalam Pewayangan;

Studi Filosofis Terhadap Metafisika. Kemudian didukung dengan,

b. Data sekunder yakni tulisan-tulisan, maupun karya ilmiah, buku yang

membahas wayang kulit purwa secara umum seperti, Wayang Asal-Usul

dan Jenisnya, Wayang dan Budaya Jawa, Ensiklopedi Wayang dan lain-lain

13

(25)

14

serta melakukan interview dengan informan khususnya adalah Dalang dan

pemerhati atau penikmat wayang umumnya secara mengalir terkait dengan

topik. Dengan cara inilah penulis dapat memperoleh data atas objek

penelitian secara komprehensif. Tujuan interview diantaranya adalah

membandingkan teks dengan konteks sekaligus sebagai klarifikasi atas data

yang sudah ada, lebih dari itu memungkinkan untuk melakukan triangulasi

untuk mendapatkan kebenaran data yang lebih akurat. Selain itu sebagai

penambahan informasi yang sekiranya belum terdapat dalam teks.

3. Metode Analisis Data

Analisis merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang

lain.14

Dari rumusan tersebut dapatlah ditarik maksud dari analisis data yakni

organizing pada tahap awalnya. Data yang terhimpun tidaklah sedikit yaitu

catatan dari pembacaan pustaka, catatan lapangan, tanggapan peneliti, gambar,

foto, dokumen berupa laporan, artikel dan sebagainya. Pengorganisasian atau

pengelolahan data tersebut bertujuan menemukan tema maupun hipotesis kerja

yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.15 Pada dasarnya inti dari analisis terletak pada tiga proses yang saling berkaitan, yaitu: mendeskripsikan

14

Ibid., 248

15

(26)

15

fenomena, mengklasifikasikannya dan melihat bagaimana konsep-konsep

lainnya yang muncul.

Proses awal dalam penelitian ini adalah menelaah data-data yang ada

yaitu karya-karya ilmiah, buku atau literatur yang berkaitan, serta hasil survei

lapangan (informan). Dengan mengumpulkan data, membaca, memahami

kemudian membuat reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Selanjutnya

adalah menyusun dalam satuan-satuan bab secara holistik. Tahap akhir dari

analisis ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai

tahap ini, lalu dimulai tahap penafsiran (interpretasi) data dalam mengolah

hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan metode tertentu.

Pendekatan yang dipakai pertama adalah pendekatan semiologi, yakni

memahami simbol gunungan sebagai salah satu bentuk dari bahasa sebagai

media komunikasi. Pendekatan yang kedua adalah hermeneutik, yakni usaha

untuk dapat membaca makna yang terkandung dalam Gunungan, serta

pendekatan Interaksionisme Simbolik, hal ini digunakan sebagai upaya

mengetahui sejauh mana pengaruh simbol-simbol dalam wayang secara umum

dan Gunungan secara khusus terhadap pola hidup manusia.

G. Unit analisis

Penelitian ini memiliki objek kajian (unit) Wayang Kulit secara umum

dan Gunungan (Kayon Gapuran) secara khusus serta Perangkat wayang sebagai

(27)

16

H. Penegasan Judul

Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman terhadap pokok

bahasan skripsi yang berjudul “Makna Wayang Gunungan; Telaah Filosofis

terhadap Simbol-simbol pada Gunungan Wayang Kulit”, maka kiranya perlu

untuk dijelaskan apa yang dimaksud dengan judul tersebut. Pengertian dari

istilah-istilah yang terdapat pada judul tersebut sebagai berikut:

Makna : Maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan

kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam hal simbol

diartikan sebagai maksud si pembuat atau pencipta.

Gunungan : Bagian (adegan) dari pagelaran wayang kulit

Wayang Gunungan : Salah satu Wayang yang menjalankan fungsi dalam proses

Gunungan

Jadi istilah yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah memahami

maksud dari pencipta atau pembuat simbol-simbol yang terdapat dalam wayang

Gunungan secara khusus dan memahami maksud hadirnya wayang Gunungan

dalam adegan Gunungan di pagelaran Wayang Kulit.

Selanjutnya, terkait dengan kata “telaah filosofis” yang penulis maksud

adalah perangkat analisis atau sudut pandang (perspektif atau objek forma) yang

terdiri dari semiologi, hermeneutik dan interaksionisme simbolik yang digunakan

untuk memahami objek penelitian (objek materia). Ketiga-tiganya memiliki

karakter yang mendalam seperti yang dimiliki filsafat, walaupun masing-masing

telah memisahkan diri dari filsafat dan membentuk disiplin ilmu sendiri terlebih

(28)

17

merampingkannya menjadi satu kalimat yakni “filosofis” menurut penulis masih

dalam batas kewajaran.

Secara umum bahasa (logosentris) merupakan salah satu objek kajian

filsafat yang lebih bersifat kontemporer dibandingkan ketika membahas objek

kajian filsafat lainnya seperti Kosmosentris, Teosentris dan Antrophosentris.

Hubungan bahasa dan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama

dalam cabang filsafat metafisika, logika dan epistemologi.

Menurut Aristoteles metafisika merupakan filsafat yang pertama yang

membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada secara

keseluruhan bersangkutan dengan sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertingi

dari segalah sesuatu. Mencari hakikat segalah sesuatu yang ada dibalik hal-hal

yang bersifat fisik dan bersifat partikular atau prisip dasar pada semua hal. Hal ini

dapat dilakukan dengan mengunakan analisis bahasa terutama karena sifat

metafisika tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris. Hal itu didasarkan

pada kenyataan bahwa pemikiran-pemikiran tentang hakikat segalah sesuatu

dalam metafisika, seperti ruang, waktu, keadaan, relasi dan juga substansi, bukan

berdasarkan pengamatan empiris atau hukum rasio, melainkan berdasarkan

analisis bahasa.

Epistemolgi adalah cabang filsafat yang membahas tentang

pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran

pengetahuan manusia. Berdasarkan analisis dasar problema epistemology ( apakah

sumber, apakah watak,dan apakah pengetahuan kita itu benar?) maka dua

(29)

18

mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang

meliputi pengetahuan apropriori dan aposteriori, serta problema kebenaran

pengetahuan manusia. Justifikasi kabenaran dalam pengetahuan seluruhnya

diungkapkan melalui ungkapan-ungkapan bahasa, oleh karena itu

kebenaran-kebenarannya sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa. Terdapat tiga teori

kebenaran dalam epistemologi yaitu: a) teori kebenaran koherensi atau

konsistensi, b) korespondasi atau berhubungan, dan c) kebenaran pragmatis.16 Logika merupakan kegiatan bernalar dengan menggunakan

hukum atau berfikir dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau

hukum-hukum. Menurut Aristoteles, berfikir adalah berbicara di dalam batin,

mempertimbangkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, dan menarik suatu

kesimpulan. Kegiatan bernalar manusia itu dapat dikomunikasikan kepada orang

lain dan dapat mewakili fikiran manusia. Hal ini dapat terwujud dengan adanya

peranan bahasa didalamnya.

Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat, telah

berlangsung sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah

aksentuasi perhatian filsuf berbeada-berbeda dan sangat tergantung pada perhatian

dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.

Arah perkembangan filsafat bahasa juga mengikuti trend perkembangan

filsafat. Ferdinand De Sausure yang mengikuti tradisi strukturalis yang

mengembangkan dasar-dasar linguistik umum yang mengembangkan

pemikirannya bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda. Terdapat hubungan yang

16

IImmelda Mallipa dalam

(30)

19

tak dapat dipisahkan antara penanda dan tanda, antara bahasa dengan sesuatu yang

diacunya, antara signifier dan signified. Hal ini ia sebut sebagai semiologi.

Semiologi adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian

dari kehidupan sosial. Saussure memproyeksikan semiologi atau semiotika

sebagai pengganti Filsafat atau mazhab filsafat tersendiri.17 Tokoh lain yang mengembangkan semiologi yaitu Charles Sanders Peirce yang lebih memilih

istilah semiotika menyatakan bahwa logika adalah mempelajari tentang

bagaimana orang bernalar, sedangkan penalaran itu dilakukan melalui tanda.

Pierce mendasarkan semiotika pada logika, pragmatik, dan linguistik.

Kajian filsafat terus berkembang, tapi belum mampu mengungkap

hakikat kehidupan manusia yang sebenarnya. menyadari hal ini maka para filsuf

Jerman dan Prancis terdorong untuk mengembangkan filsafatnya dengan

mendasarkan bahasa dalam proses ‘Hermeneutika’.18 Mereka menawarkan suatu cara lain untuk melihat hakikat bahasa, yaitu bahasa dilihat sebagai cara kita

memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Dalam pengertian ini

maka fungsi essensial bahasa yaitu fungsi transformatifnya. Melalui bahasa kita

mentransformasikan dunia dan melalui bahasa pula dunia mentransformasikan

kita. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna serta

penggunaannya dalam kehidupan melainkan fungsi bahasa yang melukiskan

seluruh realitas hidup manusia. Bahasa bukanlah sekedar medium atau sekedar

representasi kenyataan. Secara hakiki bahasa dapat juga kita sebut sebagai

manifestasi total pikiran manusia, sebab tidak ada cara lain untuk berfikir tentang

17

Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 24

18

IImmelda Mallipa dalam

(31)

20

haikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan

manusia.

Bahasa memiliki peran sentral dalam proses kehidupan manusia.

Manusia berfikir menggunakan bahasa, manusia berkomunikasi dan berinteraksi

juga menggunakan bahasa. Dengan bahasa manusia mampu mengenali realitas

dan mampu menemukan dan mengenali dirinya sendiri di dalam dunia yang

berubah secara terus-menerus.19 Konsep diri (self) menjadi unsur utama dalam teori-teori Sosiologi yakni interaksionisme simbolik. Ia memiliki pokok

pembahasan tentang simbol dan pengaruhnya terhadap manusia dengan segala

perangkatnya, sehingga melengkapi dua teori yang penulis gunakan sebelumnya.

Disinilah penulis ingin melienarkan atau menarik sebuah garis lurus yang

menghubungkan antara semiologi, hermeneutik dan interaksionisme simbolik

menjadi suatu kesatuan “filosofis” terhadap objek kajian simbol-simbol wayang

Gunungan.

I. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terbagi atas 5 bab, masing-masing bab melingkupi suatu

bahasan tertentu yang menunjang penelitian ini. Oleh karena itu, sistematika

penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

Bab satu, Merupakan Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian, Penegasan Judul dan Sistematika Penulisan.

19

(32)

21

Bab dua, Berisi tentang Studi Teoritis tentang Simbol yaitu melalui

teori dalam Semiologi, Hermeneutika dan Interaksionisme Simbolik.

Bab tiga, Deskripsi filosofis wayang Gunungan

Bab empat, Merupakan analisis data dan pembahasan yang

memaparkan deskripsi analisis semiologi, hermeneutik dan interaksionisme

simbolik dalam membaca simbol Gunungan.

Bab lima, Berisi simpulan dari hasil yang diperoleh dari analisis data

dan saran yang berisi anjuran kepada pembaca atau peneliti yang tertarik untuk

(33)

22

BAB II

STUDI TEORITIS

Dalam membaca sebuah karya seni khususnya Gunungan hendaknya

menggunakan beberapa sudut pandang, sehingga makna, maksud dan tujuannya

dapat diketahui dengan baik. Di antara sudut pandang yang peneliti gunakan

adalah dengan teori Simbol, Semiologi, Hermeneutik dan Interaksionis Simbolik.

Dibawah ini akan sedikit diuraikan secara garis besar teori-teori tersebut.

A. Simbol

Menurut Sussane Langer, simbol merupakan hal yang sangat penting

dalam ilmu filsafat, karena simbol menjadi penyebab dari semua pengetahuan dan

pengertian yang dimiliki manusia.20 Menurut Langer, kehidupan binatang diatur oleh perasaan (feeling), tetapi perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah

konsep, simbol dan bahasa. Binatang memberikan respons terhadap tanda, tetapi

manusia membutuhkan lebih dari sekedar tanda, manusia membutuhkan simbol.21

Suatu “tanda” (sign) adalah suatu stimulus yang menandai kehadiran

sesuatu yang lain. Misalnya, jika seseorang melatih anjing peliharaannya untuk

duduk ketika ia mengatakan “duduk!” maka kata itu adalah tanda bagi anjing

untuk duduk. Dengan demikian suatu tanda berhubungan erat dengan maksud

tindakan yang sebenarnya (actual signified action). Awan mendung di langit

dapat menjadi tanda akan turun hujan, bendera putih dengan palang merah

20

Morissan, Teori Komunikasi; Individu Hingga Massa (Jakarta: Kencana, 2013), 135

(34)

23

merupakan tanda terdapat orang mati, lampu lalu lintas (traffic light) menyala

merah adalah tanda harus berhenti, kuning siap-siap atau waspada dan Hijau

berarti jalan. Semua hubungan sederhana ini dinamakan signifikasi (signification)

yaitu makna yang dimaksudkan dari suatu tanda.22

Sementara simbol bekerja dengan cara yang lebih kompleks yaitu

dengan membolehkan seseorang untuk berfikir mengenai sesuatu yang terpisah

dari kehadiran sekedar dari suatu tanda. Dengan kata lain, simbol adalah “suatu

instrumen pikiran” (instrument of thought). Anjing tidak perlu berpikir lama untuk

duduk setelah menerima perintah duduk. Namun, manusia membutuhkan waktu

untuk memikirkan makna suatu simbol.23 Sebagai contoh, ketika demonstrasi di depan gedung DPR RI Demonstran membawa keranda mayat dengan berbagai

tulisan pada kain yang menutupinya, dalam sejarah manusia pun demikian tidak

jarang peninggalan sejarah (bangunan, artefak, prasasti, serat, kitab atau yang

lain) memiliki simbol-simbol di dalamnya. Bentuk Candi sejatinya merupakan

simbol, goresan maupun pahatan relief pada dinding Candipun adalah

simbol-simbol sebagai usaha komunikasi melalui media yang sesuai dengan zamannya

membentuk pola-pola yang terstruktur sedemikian rupa. Pagelaran wayang pun

tidak bisa dilepaskan dari simbol. Seluruh bagian dalam pewayangan sarat akan

simbol-simbol baik yang berupa cerita maupun instrumennya. Hal tersebut

menimbulkan berbagai macam persepsi yang memunculkan berbagai makna dan

respons bagi penonton.

22

Ibid., 136

(35)

24

Asal-usul penggunaan kata simbol dapat ditelurusuri pada dua konsepsi.

Keduanya didasarkan pada korespondensi yang ada di antara dua objek. Hal itu

mengacu kepada etimologi kata simbol “symbollein” dalam bahasa Yunani yang

di analogikan oleh masyarakat di zaman Yunani kuno, ketika ada dua orang yang

mengadakan perjanjian, mereka selalu membuat sebuah bukti perjanjian dengan

memecahkan sesuatu yakni benda yang terbuat dari tanah liat menjadi dua bagian.

Yang nantinya pecahan tersebut diambil oleh mereka, masing-masing satu bagian

untuk disimpan. Jika salah satu dari pihak yang mengadakan perjanjian itu

dikemudian hari menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau wakilnya akan

mengidentifikasi diri dengan mencocokkan bagian dari barang yang telah dipecah

dengan bagian lain yang dibawa oleh pihak satunya.

Istilah “mencocokkan” dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan

kedua bagian benda yang dipecahkan disebut symbolla. Kata ini lambat laun

berarti “tanda pengenalan” dalam pengertian yang lebih luas, misalnya untuk

anggota-anggota sebuah masyarakat rahasia atau minoritas yang menjadi buruan.

Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda atau sebuah kata

yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan “arti” yang sudah dipahami.24

Jadi, sebuah simbol artinya menghubungkan atau menggabungkan.

Meskipun semula kata symbollein itu dugunakan untuk benda yang terbuat dari

bahan yang sama dan kerap kali praktis merupakan replika yang satu dari yang

lain, dalam penggunaan dikemudian hari komponen primer sering berbeda rupa

24

F. W. Dillistone, The Power of Symbols, Terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta:

(36)

25

dan jenisnya dengan apa yang disimbolkan, tetapi dengan suatu cara dapat

menggambarkan atau mengingatkan atau merujuk kepada apa yang disimbolkan.25

Artinya terdapat kesepakatan umum bahwa simbol tidak berusaha untuk

mengungkapkan keserupaan yang persis atau untuk mendokumentasikan suatu

keadaan yang setepatnya.

Dalam bukunya Hans J. Daeng memberikan makna secara etimologi

simbol diambil dari kata Yunani yakni Sumballo (Sumballein) yang mempunyai

beberapa arti yaitu, berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu,

melemparkan menjadi satu, menyatukan.26 Sedangkan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia simbol (Noun) diartikan memiliki lambang.

Adapun secara terminologi sebagaimana yang diungkap oleh Charon

dalam tulisan George Ritzer, simbol-simbol adalah objek-objek sosial yang

digunakan untuk menggambarkan (atau menggantikan, mengambil tempatnya)

apapun yang disetujui orang untuk digambarkan.27

Di pihak lain, kata simbol digunakan untuk menyebut sarana-sarana

pengenalan yang bermacam-macam, termasuk bekas luka atau tanda lahir, kupon

yang digunakan di segala lingkungan untuk membenarkan keberadaan para

individu atau yang digunakan untuk di tukar dengan uang atau makanan. Satu

simbol merepresentasikan satu bentuk linguistik dalam arti bahwa kita menuliskan

simbol dalam situasi-situasi yang di dalamnya kita sebenarnya mengemisikan

25

Ibid.,

26

Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Tinjauan Antropologis,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 82

27

George Ritzer, Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan

(37)

26

bentuk linguistik, dan ketika kita merespon simbol sebagaimana kita merespon

pendengaran kita atas bentuk linguistik. Jadi, simbol adalah sesuatu yang disebut

oleh Morris dengan istilah tanda dari tanda, yaitu ‘tanda yang diproduksi sebagai

pengganti satu tanda lain, dan tanda lain itu adalah sinonim dari tanda tersebut”.28 Simbol memiliki jenis fungsi yang sama dengan jenis fungsi yang dilakukan oleh

simbol-simbol yang berasal dari zaman Yunani Kuno. Saussure mengatakan

bahwa simbol sama sekali tidak tidak bersifat arbitrer (semena-mena), ada dasar

(rudiment) ikatan alamiah antara penanda dan petanda simbol tersebut.29 Orang tidak bisa semena-mena mengganti simbol Timbangan pada lambang Pengadilan

dengan gambar wasit atau yang lainnya. Timbangan sudah menjadi kesepakatan

sebagai representasi keadilan walaupun wasit juga sama-sama memiliki visi-misi

yang serupa.

Seorang professor dari Jerman yaitu Ernst Cassirer, mengatakan bahwa

manusia adalah ‘animal symbolicum’ (Hewan dengan simbol-simbol). Hanya

dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan

hidupnya yang tertinggi.30 Alo Liliweri pun mengutip pendapat para ahli semiotik, bahwa manusia akan menjadi manusia yang sempurna karena manusia

menciptakan “kebudayaan”nya melalui simbol-simbol. Dan Lesly White

menegaskan bahwa, ”elemen pertama yang ada dalam setiap kebudayaan adalah

simbol”.31

28

Jeanne Martinet, Semiologi; Kajian Teori Tanda Saussuran Antara Semiologi

Komunikasi dan Semiologi Signifikansi…, 59

29

Ibid., 60

30

F. W. Dellistone, The Power of Symbol…, 10

31

(38)

27

Simbol agak terpisah dari dunia, sedangkan penunjuk dan tanda

pertama-tama diterapkan pada dunia sebagaimana adanya. Penunjuk dan tanda

beroperasi dalam lingkungan yang relatif statis, dimana kata-kata atau gerak-gerik

yang sudah dikenal digunakan untuk mendeskripsikan suatu barang atau

peristiwa.32 Situasi yang jauh lebih kompleks timbul apabila bahasa simbol dan

simbolisme digunakan “Simbol” dan “simbolis” telah menjadi istilah yang

berkali-kali dan hampir begitu saja digunakan dalam iklan, berita, pidato politik,

prakiraan cuaca, dan analisis ekonomi juga dalam tulisan yang lebih serius

sehingga arti yang persis untuk istilah-istilah itu sama seklai tidak mudah

ditetapkan.33

Menurut A.N Whitehead dalam bukunya Symbolism bahwa pikiran

manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya

menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai k

omponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat yang terdahulu adalah

“simbol” dan perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol.

Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada

makna itu akan disebut referensi.34

Sebuah simbol dapat dipandang sebagai:

1. Sebuah kata, barang, objek, tindakan, peristiwa, pola, pribadi atau hal yang

konkret.

32

F. W. Dellistone, The Power of Symbol…,15

33

Ibid., 16

34

(39)

28

2. Yang mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan,

menyelubungi, menyampaikan, menggugah, mengungkapkan, mengingatkan,

merujuk kepada, berdiri menggantikan, mencorakkan, menunjukkan,

berhubungan dengan, bersesuaian dengan, menerangi, mengacu kepada,

mengambil bagian dalam, menggelar kembali, berkaitan dengan ;

3. Sesuatu yang lebih besar, transenden, tertinggi atau terakhir: sebuah makna,

realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep,

lembaga, dan suatu keadaan.35

Terdapat beberapa tokoh yang berbicara bahkan memiliki teori tentang

simbol, diantaranya adalah Raymond Firth. Dalam tesisnya ia memaparkan,

bahwa “Hakikat Simbolisme” terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu

mengacu kepada (mewakili) hal yang lain dan hubungan antara keduanya pada

hakikatnya adalah hubungan yang konkret dengan yang abstrak, hal yang khusus

dengan yang umum. Hubungan itu sedemikian rupa sehingga simbol dari dirinya

sendiri tampak mempunyai kemampuan untuk menimbulkan dan menerima

akibat-akibat yang dalam keadaan lain hanya diperuntukkan bagi objek yang

diwakili simbol itu, dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional

yang kuat.36

Ia memandang simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam

urusan manusia khususnya dalam menciptakan suatu tatanan sosial, lebih dari itu

simbol baginya juga memiliki fungsi yang bersifat intelektual. Meskipun tidak

mudah mengakui nilai sebuah symbol karena tidak mempunyai suatu acuan

35

Ibid., 20

36

(40)

29

kepada pengalaman social yang lebih luas, mengingat evidensi yang diambil Firth

dari sebuah masyarakat yang secra relative mapan dimana symbol-simbol, status,

peran, dan hubungan di dalam memainkannya memiliki peranan yang dominan.

Dua istilah penting yang digunakan Firth, “Simbol” yang mencakup dua

entisitas dan “Substansi” yang berarati zat atau bahan yang mendasari serta tidak

terbagi. Sebagai suatu pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol yang

bersifat binner (berpasangan); tidak ada perpaduan kristalisasi penuh menjadi

sebuah massa yang kuat, padat, melainkan antar hubungan yang tetap

unsure-unsurnya satu sama lain. Sebagai suatu pandangan hidup yang berdaya upaya

untuk mendefinisikan bersifat uniter (kesatuan); mungkin ada banyak substansi,

tetapi masing-masing bersifat atomis, mandiri dan final. Maka dari itu, substansi

hanyalah substansi yang tidak dapat berkaitan secara hidup dengan sesuatu yang

lain dan dengan demikian tidak dapat membangun hubungan simbolis apapun.37

Dengan cara yang sangat menarik Firth mengemukakan perbedaan

antara simbol dan substansi dengan mengajukan pertanyaan tentang etnisitas

Yesus. Gambaran Yesus pada abad ke-15 atau 16 berbeda dengan gambaran

Yesus dari setiap masa, bahkan tidak lama ini muncul sebuah patung Kristus

perempuan.38 Hal ini menunjukkan bahwa referensi simbolis merupakan proses yang berjalan terus menerus hingga tergelarnya makna yang meluas. Pembatasan

pada substansi akan mengurung kegiatan Tuhan di dalam batas-batas yang

ditentukan menurut asumsi-asumsi manusia. Sebab itu, melalui symbol itulah

37

Ibid., 105

38

(41)

30

manusia telah bangkit untuk mengatasi penguruangan diri dan kecukupan diri,

serta telah mulai mengalami kebebasan dengan melihat makna.

Tokoh lainnya adalah Mary Douglas, Dalam bukunya “Natural

Symbols”, ia sangat terkesan melihat hubungan erat antara tubuh manusia dengan

masyarakat manusia, disemua zaman dan semua tempat. Menurutnya, tubuh

merupakan analogi yang cocok untuk diterapkan pada masyarakat umum baik dari

susunan, tata kerja, dan tata hubungan antara berbagai bagian tubuh yang dapat

disejajarkan dengan hidup setiap masyarakat tertutup.39

Seperti halnya manusia berusaha untuk menciptakan tatanan dan

pengendalian dalam hal-hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian

juga ia mengupayakan kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya.

Sebab, ia tidak dapat berkembang mencapai kematangan badani dan budaya kalau

tidak di dalam sistem simbolis yang koheren. Demikian juga, sistem simbolis

yang paling memuaskan rupanya adalah apa yang terstruktur secara organis dan

yang menjaga hubungan erat antara ungkapan social dan ungkapan tubuh. Karena

keyakinannya mengenai simbol itu sangat penting, yang tidak hanya untuk menata

masyarakat tetapi juga untuk mengungkapkan kosmologinya, Mary Douglas

merasa sama sekali tidak senang melihat gerakan yang baru-baru ini seolah-oleh

meremehkan tata cara atau bahkan siap sedia untuk meninggalkan tata cara. Mary

Douglas ingin menunjukkan adanya variasi-variasi antara berbagai corak

masyarakat, namun demikian masyarakat tersebut di dalam kategori umum

ketertutupan.

39

(42)

31

Natural Symbol memberikan kesaksian tentang nilai dari corak tertentu

dari bentuk-bentuk ritual dalam membawakan koherensi dan stabilitas kepada

masyarakat; kedudukan dan batas yang disimbolkan dengan tepat oleh cirri-ciri

tubuh. Namun, bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk pengalaman social

dalam waktu, untuk perubahan, dan interaksi. Semua ini menurutnya mempunyai

hak untuk dipandang bukan sebagai symbol alami melainkan historis, sebagai

simbol yang dibangun, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa dalam pengalaman

sosial.40

Antropolog Inggris Victor Turner angkat bicara soal simbol, Dalam

bukunya “The Forest of Symbols” dan “The Ritual Process”, Turner

membicarakan fungsi simbol sebagai pengatur kehidupan sosial. Ia menyadari ada

dua segi yang harus dipertimbangkan. Penciptaan peranan-peranan dan

aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi social keseharian, munculnya kelompok

komunal yang mempunyai keyakinan dan hasrat bersama yang menata dirinya

dengan cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat luas. Terdapat interaksi

dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok khusus di

dalamnya.

Analisis Turner mengenai perbedaan antara tatanan sosial terstruktur,

dengan fungsi-fungsi serta peranan di dalamnya secara tegas dijelaskan bahwa

semua itu tergantung “Communitas” (kelompok atau perkumpulan). Tatanan

seperti upacara peralihan kehidupan suku, gerakan-gerakan milenial baik dalam

Biara hingga kebudayaan kontra ini jelas terstruktur oleh tuntutan-tuntutan suatu

40

(43)

32

tata ekonomi jasmani yang khusus (terutama ekonomi pertanian) atau pemberian

aturan yang terikat. Sedangkan kondisi yang seperti itu selalu memiliki bahaya.

Salah satunya, tatanan akan tampak menjadi kaku dan terkesan menindas seperti

rezim otoriter. Pada waktu yang sama, belajar dari catatan sejarah maka sudah

pasti individu atau kelompok yang merasa tertindas itu akan memisahkan diri dan

mengupayakan wilayah baru dengan komoditas yang berharga untuk kembali

menata kehidupan keagamaan atau kesenian mereka. Perjuangan untuk mencapai

kebebasan seperti itu akan menghasilkan beberapa kemajuan yang berdaya cipta

dalam seluruh kisah perkembangan manusia. Namun demikian, justru sebaliknya

akan berdampak perselisihan, perpecahan, dan akhirnya disintegrasi serta anarki.41 Dari analisis tersebut, Turner membuat perbedaan yang tajam antara

simbol dan tanda. Menurutnya, dalam simbol-simbol ada semacam kemiripan

antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai

kemiripan seperti itu. Tanda-tanda selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”.

Sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang dominan dari dirinya sendiri

bersifat “terbuka” secara sistematis. Makna simbolis tidaklah sama sekali tetap.

Makna baru dapat ditambahkan memalui kesepakatan kolektif pada wahana

simbolis yang lama. Tidak hanya itu, individu juga dapat menambahkan makna

pribadi pada makna umum sebuah simbol. Dari sini dapat diketahui, simbol yang

dominan menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial manapun, sebab

makna simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman. Dapat

dikatakan bahwa simbol dominan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang

41

(44)

33

dipimpinnya. Simbol-simbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang

lebih kecil tapi memiliki fungsi yang besar.

Selanjutnya, Cliffortz Geertz berpendapat bahwa kebudayaan hingga

saat ini kerap kali ambigu di banyak tempat. Menurutnya, kebudayaan berarti

suatu pola makna yang ditularkan secara historis yang diejawatahkan dalam

simbol-simbol, suatu konsep sistem yang diwarisi terungkap dalam bentuk-bentuk

simbolis yang hingga kini menjadi sarana manusia untuk menyampaikan,

mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan tentang sikap terhadap hidup.42

Geertz mendefinisikan simbol dengan suatu objek, tindakan, peristiwa,

sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi. Dan

konsepsi inilah yang dimaknainya sebagai “simbol”. Melalui penafsiran

kebudayaan dengan simbol-simbol keagamaan Geertz menyingkirkan semua teori

metalitas primitif atau evolusi budaya. Minatnya adalah memahami arti atau

makna tindakan-tindakan simbolis bagi orang-orang yang melakukannya,

membeberkan “struktur-struktur konseptual” yang dinyatakan oleh

tindakan-tindakan ritual.

B. Semiologi

Semiologi adalah gabungan dari dua suku kata yakni semeion yang

berarti “tanda” atau dari kata semeiotikos yang berarti teori tanda. Dapat pula

diambil dari kata seme yang bermakna “penafsir tanda”. Sementara Logos yang

tidak asing pada telinga kita bermakna “ilmu”. Sehingga jika digabungkan maka

42

(45)

34

yang dimaksud semiologi adalah ilmu tentang tanda atau ilmu tentang penafsir

tanda.43

Tanda (sign) adalah pengidentifikasi atau penama. Tanda merupakan sesuatu yang mewakili dirinya dan tidak mewakili sesuatu yang lain. Keunikan

kualiatas “tanda” terletak pada hubungan satu persatu yang berarti bahwa tanda

memberikan makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Setiap

tanda berhubungan langsung dengan objeknya. Hal tersebut merupakan hasil

konvensi bersama memberikan makna yang sama atas tanda tersebut. Setiap tanda

langsung mewakili atau berhubungan langsung suatu realitas.44 Berbeda dengan simbol, karena simbol merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lainnya

seperti yang dijelaskan sebelumnya di poin sekelumit simbol.

Ada beberapa istilah lain yang dalam aplikasinya cenderung tumpang

tindih, seperti lambang, ikon, kode, indeks dan signal atau isyarat.

Lambang memiliki makna dan fungsi yang serupa dengan simbol yakni digunakan untuk menunjuk sesuatu lainya berdasarkan kesepakatan (konvensi).45

Ikon adalah sesuatu yang bersifat material (gambaran) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya atau dalam bahasa lainnya adalah tanda yang

43

Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika…, 19

44

Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 296-297

45

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosda

(46)

35

terhubung dengan objek tertentu karena keserupaan. Representasi ini ditandai

dengan kemiripan, seperti ikon-ikon tempat yang terdapat dalam peta.46

Kode, menurut KBBI Online adalah tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu (untuk menjamin kerahasiaan berita, pemerintah

dan sebagainya).47 Sementara itu, pengertian “kode” menurut Alo Liliweri adalah sistem yang mengorganisasikan atau mengkodifikasi tanda-tanda. “kode”

merupakan aturan atau konvensi tentang bagaimana mengkombinasikan “tanda”,

bagaimana tanda berkaitan satu dengan lainnya.

Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan yang timbul dengan acuan karena kedekatan eksistensi.48 Dalam pengertian yang lain, indeks adalah tanda yang terhubung dengan objek tertentu karena hubungan sebab-akibat.49

Sementara dalam KBBI Online menyebutkan bahwa Indeks dalam linguistik

adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi ukuran

suatu ciri tertentu; petunjuk.50

Istilah-istilah tersebut hanya untuk membandingkan saja supaya jelas

dimana posisi “tanda”.

Jeanne Martinet dalam bukunya menuliskan, di sekeliling “tanda”

dikembangkanlah sejumlah atau disiplin ilmu yang bersifat membatasi semiologi.

Untuk menamai pelbagai ilmu itu, para pendirinya telah mengambil di dasar yang

46Ibid.,

47

http://kbbi.web.id, diakses pada: Kamis, 04 Februari 2016, pukul: 13.20 WIB

48

Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika…, 45

49

Paul Cobley dan Litza Janez, Mengenal Semiotika For Beginners, terj. Ciptadi

Sukono (Bandung: Mizan, 2002), 33

50

(47)

36

berisi akar-akar kata Yunani. Dari akar Sem-, dasar itu menyediakan tema:

semeio- dan tema lain: semant-, sema(t). kedua tema itu tampaknya memang bias

direferensikan kepada realita yang sama: tanda, ciri pembeda dan ramalan.51

Semiologi merupakan pembentukan modern yang dilakukan dengan

menggunakan tema pertama. Dalam bahasa Jerman semiologi diistilahkan

semeiologi yang ditransliterasi langsung dari bahasa Yunani tanpa menyamakan

“ɛi” Yunani dengan “-i-“ Latin.52

Dalam bahasa Yunani, semiotika mengacu kepada “diagnostik” atau

pengalaman gejala. Dalam penggunaan zaman sekarang kata semiotika menjadi

pesaing semiologi. Istilah semiotika digunakan untuk menyebut sistem-sistem

partikular. Martinet merujuk tulisan Louis Hjemslev yang berjudul Prolégomènes

yang menjelaskan tentang semiotika denotatif, semiotika konotatif dan tentang

metasemiotika.53

Dari tema seman- maka diturunkanlah semantik yang datang di abad

XIX bersama Bréal sebagai studi bahasa yang dipandang dari sudut maknanya.

Dalam beberapa penggunaan tertentu dibeberapa Negara yang menggunakan

bahasa Inggris, terutama pemikiran Charles Morris semantik itulah yang

cenderung disebut sebagai semiotika. Di Amerika dengan pengaruh Korzybski,

”semantik general” adalah “semiologi yang diaplikasikan pada kehidupan sosial”

atau mungkin lebih baik dikatakan bahwa “semantik general” pada tingkat

51

Jeanne Martinet, Semiologi; Kajian Tanda Saussuran,…3

52 Ibid., 53

(48)

37

tertentu adalah penelitian tentang pelbagai hubungan yang ada di antara simbol

dan perilaku manusia, simbol di sini dipahami dalam pengertian yang luas.54

Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling

menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang

tanda. Secara prinsip, kedua istilah tersebut tidak memiliki perbedaan yang

signifikan, kecuali dalam hal orientasi semiologi yang mengacu pada tradisi Eropa

dari Saussure (1857–1913) dan orientasi semiotika yang menunjukkan pengaruh

tradisi Amerika dari Pierce (1839–1914).55

Saussure mendefinisikan semiologi sebagai,

A science that studies the life of signs within society is conceivable, it would be a part of social psychology and consequently of general psychology; I shall call it semiology (from Greek semeion ‘sign’). Semiology would show what conastitutes signs, what laws govern them”.

Ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam masyarakat. Semiologi menjadi

bagian dari psikologi sosial dan dengan begitu, psikologi general; saya

menamakannya semiologi (dari bahasa Latin “semeion” (tanda)). Semiologi akan

menunjukkan hal-hal yang membangun tanda-tanda, hukum-hukum yang

mengaturnya.

Implikasinya, tanda itu berperan sebagai bagian dari kehidupan sosial

dan aturan sosial yang berlaku.56 Disinilah Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai sistem tanda dan tanda memiliki dua unsur yaitu petanda (signified) dan

penanda (signifier)

54

Ibid.,

55

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), 12.

56

(49)

38

Dalam referensi yang sama Dadan rusmana mengutip beberapa pendapat

yang berkaitan dengan semiotik atau semiologi, diantaranya: Dick Hartono (1984)

yang memberikan batasan semiotik sebagai cara karya itu ditafsirkan oleh para

pengamat dan masyarakat melalui tanda-tanda atau lambang-lambang.

Luxemburg (1984) menyatakan bahwa semiotik merupakan ilmu yang secara

sistematis mempelajari tanda, lambang, sistem dan proses perlambangan. Aart van

Zoest (1996) mendefinisikan semiotik sebagai studi tentang tanda dan segala yang

berhubungan dengannya yakni cara berfungsinya, hubungannya dengan

tanda-tanda lain, pengirimnya dan penerimaanya bagi yang mempergunakannya.57

Semiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu linguistik yang

dipelopori oleh Ferdinand Morgin de Saussure (1857-1913). Ia juga dikenal

dengan peletak dasar strukturalis dalam bidang linguistik.58 Saussure ingin menjelaskan bahwa bahasa pada dasarnya merupakan suatu sistem yang saling

berkait satu dengan yang lainnya yang disebut Aminuddin sebagai “relasi

struktural”59. Bahasa sebagai suatu sistem unik yang berbeda antara bahasa yang satu dengan lainnya. Sebab itulah, kajian kebahasaan dalam strukturalisme

meskipun dapat berfokus pada unit-unit tertentu (misalnya bunyi), terminal

akhirnya harus mencakup keseluruhan unit yang membentuk jaringan sistem

dalam bahasa itu sendiri.

57

Ibid., 23

58

Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa…,

Gambar

Gambar 3.3 Tampak dari depan137
Tabel 4.1
Gambar sayap dalam kayon ditempatkan disamping kanan dan kiri

Referensi

Dokumen terkait

senyawa fenolik yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, maka perlu dilakukan keefektifan ekstrak metanol dari daun bidara ( Ziziphus mauritiana lamk ) sebagai

Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Pengaruh Customer Relationship Management, Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Nasabah terhadap Loyalitas Nasabah (Survei

yang berjudul “ Peran Dinas Kesehatan Dalam Pelaksanaan Permenkes Nomor 15 Tahun 2014 pada Rumah Sakit di Kota Semarang sebagai Pengawasan terhadap Penyelenggaraan

[r]

Pada tahun 2016, daerah ini menjadi salah satu daerah yang memiliki risiko gagal panen komoditi padi yang disebabkan oleh kekeringan (Lampiran 4) dengan luas panen

Tahap perencanaan pada siklus pertama dimulai dengan menetapkan masalah yang akan diteliti. Setelah itu peneliti bekerja sama dengan guru mata pelajaran untuk menganalisis standar

Berdasar pada hasil penelitian ini disarankan agar (1) pembelajaran berbasis observasi gejala fisis dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan model pembelajaran, karena