ABSTRAK
Fitah Jamaludin, “Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif Menurut Ibn
Qutaybah (W. 276H) Dalam Kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th”.
Permasalahan hadis mukhtalif cukup menjadi perhatian besar bagi ulama hadis maupun ulama fiqh, salah satunya adalah Ibn Qutaybah. Dia adalah ulama hadis yang menekuni permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th, ini terwujud dalam karyanya yaitu kitab Ta’wi>l Muktalif al-H{adi>th.
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, 1) Bagaimana konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H), 2) Bagaimana metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif di dalam kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th. Dan kemudian dianalisis dengan tujuan mengatahui konsep dan metode pemahaman hadis mukhtalif Ibn Qutaybah.
Penelitian tentang metode memahami hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah dalam kita Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th ini menggunakan pendekatan analisis deskriftif, yang mengklasifikasikan data-data sesuai permasalahan dan dianalisa isinya dan diberi kesimpulan pada akhir penelitian. Karena itu kegiatan penelitian ini menganalisis data kegiatan, program kegiatan masa lalu dan lebih mengarah pada penelitian peristiwa, pemikiran, solusi, dan yang lainnya, penelitian ini pula menggunakan pendekatan analitis historis.
Dalam penelitian kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th terdapat beberapa hasil penelitian, yaitu beberapa pengelompokan hadis mukhtalif berdasarkan pemikiran Ibn Qutaybah, yaitu hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan dengan hadis lainnya, kemudian hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an,dan yang terakhir adalah hadis yang bertentangan dengan akal. Selanjutnya, metode yang digunakan olehnya dalam memahami hadis mukhtalif adalah metode al-jam‘u, naskh, maupun al-tarji>h}.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian dan pertimbangan bagi para pembaca maupun peneliti teks tentang agama, khususnya dalam bidang hadis maupun ilmu hadis.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... .. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... .. v
ABSTRAK ... ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 9
F. Tinjauan Pustaka ... 9
G. Metode Penelitian ... 11
H. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II DESKRIPSI TENTANG KAJIAN IKHTILA<F AL-H{ADI<TH A. Pengertian Ikhtila>f al-H{adi>th ... 15
B. Sejarah Ikhtila>f al-H{adi>th ... 21
D. Pendapat Ulama Tentang Ikhtila>f al-H{adi>th ... 32 E. Cara Mengatasi Permasalahan Ikhtila>f al-H{adi>th ... 34 BAB III METODE IBN QUTAYBAH (W 276 H) DALAM MENYELESAIKAN
IKHTILA<F AL-H{ADI<TH
A. Ibn Qutaybah (w 276 H) dan Kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th. .. 42 B. Konsep Hadis-hadis Mukhtalif Menurut Ibn Qutaybah (w 276 H) 56 C. Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif dalam Kitab Ta’wi>l
Mukhtalif al-H{adi>th ... 65 BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IBN QUTAYBAH (W 276 H) DALAM
PENYELESAIAN HADIS-HADIS MUKHTALIF
A.Analisis tentang Konsep Hadis Mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H) ... 83 B.Analisis Tentang Metode Pemahaman Ibn Qutaybah (w 276 H)
Terhadap Hadis-Hadis Mukhtalif ... 88 BAB V PENUTUP
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nabi Muhammad saw menurut al-Qur’an adalah Rasul utusan Allah, Nabi yang terakhir, penyampai ajaran agama Islam, perilakunya merupakan teladan yang baik, dan kehadirannya membawa berita yang menggembirakan dan berita yang menakutkan, selain itu kehadirannya merupakan rahmat bagi semesta alam.1 Apabila demikian, seluruh hadis Nabi merupakan bagian penting dalam dari bukti keutamaan Nabi dalam mempraktekkan ajaran agama Islam.
Dalam al-Qur’an pula dinyatakan bahwa dalam menyampaikan ajaran Islam, Nabi mendapatkan bimbingan dari Allah Swt, seperti ketika Nabi diperintah untuk menyampaikan dakwahnya dengan bijaksana. Tentunya perintah tersebut ia laksanakan dengan penuh kesempurnaan karena kepatuhan Rasulullah Saw kepada Allah sangatlah tinggi. Apabila Nabi keliru dalam menjalankan perintah Allah, niscaya Allah akan mengingatkannya.2
Hadis-hadis yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw merupakan sumber rujukan kedua dalam syariat Islam setelah al-Qur’an, dan menjadi pangkal kedua dari hukum-hukum shar‘i.3
1
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 109.
2
Ibid., 110.
3
2
Allah berfrman dalam surat al-Nisa>’: 59,
آ ي ا يأ ي
ْم ْ رْ أْا ي وأو وسر ا اوعيطأو ا اوعيطأ او
و ْ ت ْمتْك ْ إ وسر او ا ى إ وّرف ءْيش يف ْمتْع ت ْ إف
يوْأت سْحأو رْيخ ك ذ رخ ْا ْويْاو ب
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan uli> al-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”4
Hadis Nabi pula berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur’an tersebut, sebagai penafsirannya, sebagai baya>n atas kemushkilan al-Qur’an, dan lain sebagainya. Dan sesungguhnya tidaklah mungkin mengamalkan apa yang telah tertulis dalam al-Qur’an tanpa ada penjelasan dari Rasulullah Saw melalui sabda, perbuatan, maupun keputusan Nabi.5 Allah Swt berfirman dalam surat al-Nah}l, 44:
و ْم ْي إ ّ
يبت رْك ا كْي إ ّْْأو
ور فتي ْم ع
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”6
Selain itu, dalam surat al-Nah}l: 64,
ّ و يف اوف تْخا ّ ا م يبت إ ت ْا كْي ع ّْْأ و
و ْ ي ْوق ة ْح و
4
Departemen Agama R.I., al-Qur’an dan Terjemahannya (Solo: PT Qomari Prima Publiser, 2007), 114.
5
H{amma>d, Mukhtalif al-H{adi>th…, 5.
6
3
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”7
Ketika hadis atau sunnah tersebut benar-benar dari Nabi, maka ia merupakan syariat dan petunjuk bagi kaum muslimin yang harus dipatuhi. Sebagian hadis ada yang berupa wahyu melalui Jibril, sebagian melalui ilham, ada pula yang melalui ijtiha>d Rasulullah.8
Ketika Rasulullah Saw melakukan ijtiha>d dan tidak turun wahyu yang mengingatkannya dalam bentuk teguran, maka dianggaplah keputusan dalam berijtiha>d tersebut datangnya dari Allah, dengan artian apa yang datang dari Nabi Muh}ammad adalah wahyu, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat al-Najm, 1-4:
و اذإ مّْ او
,
وغ و ْم بح ص ّ
,
ع قطْي و
و ْا
,
ىحوي يْحو إ و ْ إ
.
“Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”9
Nabi Muhammad hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi Nabi dengan masyarakat tidak hanya terjadi secara satu arah saja (dari Nabi kepada ummatnya), tetapi komunikasi tersebut terjadi dua arah secara timbal balik. Terkadang Rasulullah menerima pertanyaan dari para sahabatnya. Bahkan, pada
7
Ibid., 373.
8
Muh}ammad b. Muh}ammad Abu> Shahbah, Difa>‘ ‘An al-Sunnah (t.tp.: Maktabah al-Sunnah, 1989), 5.
9
4
kesempatan tertentu, Nabi mengomentari peristiwa yang sedang terjadi. Selain adanya sebab yang memunculkan hadis tersebut, ada pula hadis yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.10
Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar belakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Bisa saja sebuah hadis dipahami secara tekstual, dan ada hadis-hadis lain yang hanya dapat dipahami secara kontekstual. Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan apabila ada petunjuk hadis yang kuat dan mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan secara tersirat (kontekstual).11
Namun terkadang ada beberapa hadis Nabi yang apabila diperbandingkan, dari segi sanadnya sama-sama s}ah}i>h}, maka dapat ditemukan beberapa hadis yang tampaknya saling bertentangan, dan itu menimbulkan kesan yang tidak sejalan pada petunjuk Nabi dalam memandang suatu persoalan. Ada beberapa kelompok yang menyatakan bahwa riwayat hadis yang bersangkutan bukanlah berasal dari Nabi, alasannya mustahil Nabi memberikan petunjuk kepada umatya denagn petunjuk yang saling bertentangan. Kalangan tertentu ada yang menjadikan masalah pertentangan pada hadis Nabi tersebut bukanlah termasuk dalam ajaran agama Islam.12
Beberapa kelompok ahl bid‘ah melancarkan serangan dengan gencar terhadap sunnah dan ahli hadis karena kesalahan mereka dalam memahami hadis,
10
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 5.
11
Ibid., 6.
12
5
sehingga mereka membuat tuduhan bahwa ahli hadis telah berdusta dan meriwayatkan keterangan-keterangan yang bertentangan, lalu menyandarkannya kepada Nabi Saw .13
Beberapa pandangan di atas telah mengesampingkan bahwasannya ada kemungkinan kebijaksanaan Nabi yang telah mengharuskan lahirnya bentuk-bentuk pernyataan yang tampak saling bertentangan. Ulama ahli hadis telah mengajukan beberapa tawaran penyelesaian terhadap kajian h}adi>th mukhtalif sehingga hadis-hadis yang tampaknya bertentangan itu dapat teratasi.14
Perkara ikhtila>f al-h}adi>th telah berlangsung di kalangan ulama, dan dalam penyelesaiannya para ulama mengelompokkan kajian ini ke dalam salah satu kajian ilmu hadis yaitu, mushkil al-h}adi>th, ikhtila>f al-h}adith, ta’wi>l al-h}adi>th, dan talfii>q al-h}adith. Maksud dari setiap penamaan tersebut adalah sama.15
Dari itulah, membahas permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th menjadi sesuatu yang penting dalam membangun pemikiran yang islami, dan membentuk pemikiran yang berbeda-beda pada ummat Islam, khususnya dalam hal pencegahan serangan akhlaq maupun pikiran. Para ulama telah mengerahkan upaya mereka dalam segala hal untuk menjaga kemuliaan hadis Nabi, menjaga dari segala apa yang dapat meruntuhkan hadis itu sendiri, melalui
13
Nu>r al-Di>n ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo (Bandung: Rosdakarya, 2012), 350.
14
Ibid., 111.
15
6
pemikiran yang menyeleweng dari pemikiran yang benar, dan para ulama’
tersebut tidak pernah menyerah dalam melakukannya.16
Beberapa ulama telah mencurahkan ilmu mereka dalam penyusunan literatur dalam bidang ikhtila>f al-h}adi>th. Dalam sejarah, ulama yang terkenal dalam penyusunan kitab tersebut adalah Ima>m al-Sha>fi‘i (w 203 H) dengan karyanya yang berjudul Ikhtila>f al-H{adi>th. Kemudian disusul oleh Ibn Qutaybah (w 276 H) yang menyusun kitab dengan judul Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th, selain itu ada pula ada karya al-T{ah}}a>wi> (w 321 H) yaitu Mushkil al-A>tha>r, Abu Bakr Muhammad b. Al-H{asan (Ibn Fu>raq) (w 406 H) yaitu Mushkil al-H{adi>th wa Baya>nuhu, dan lain sebagainya.17
Kegigihan ulama terhadap kajian ikhtila>f al-h}adi>th telah ada pada masa sahabat, mereka berijtihad dengan memadukan berbagai hadis lalu menjelaskan dan menjabarkan maknanya. Kemudian berlanjut hingga masa ulama-ulama setelahnya. Salah satu ulama yang mempunyai peran penting dalam kajian ikhtila>f al-h}adi>th adalah Ibn Qutaybah (w 276 H), dia seorang yang menguasai banyak cabang ilmu: bahasa Arab, Nah}wu, sastra Arab, tafsir, hadis, fiqh, dan lain-lain. Dalam bidang hadis, ia berguru kepada Abu> Ya‘qu>b Ish}a>q b. Ibra>hi>m b. Makhlad b. Ibra>hi>m al-Hanzali> al-Mrwa>zi> (w 238 H).18
Salah satu karyanya dalam bidang hadis adalah kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th, kitab ini adalah hasil karya terpenting miliknya dan sekaligus cerminan
16‘Abd Alla>h Sha‘ba>
n ‘Ali, Ikhtila>f al-Muh}addithi>n wa al-Fuqaha>’ fi al-H{ukmi ‘Ala al -H{adi>th (Kairo: Da>r al-H{adi>th, t.th), 5.
17
Al-Kha>tib, Us}u>l al-H{adi>th… 184.
18
7
zamannya, yakni pembelaan hadis dari serangan musuh Islam. Dalam kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th ini Ibn Qutaybah menggambarkan betapa gencarnya serangan
terhadap hadis pada masa itu. Dalam kitab tersebut Ibn Qutaybah (w 276 H) menyelesaikan hadis-hadis yang tampak saling bertentangan. Karena banyak kalangan yang menolak hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan.19
Dalam memahami hadis mukhtalif, para ulama pun berbeda metode-metode yang digunakannya, dari itulah penulis berusaha mengurai metode-metode yang digunakan oleh Ibn Qutaybah, lalu membandingkan dengan metode ulama lain dalam memahami hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan. Karena di atas telah disinggung bahwasannya ada sebagian kelompok yang menolak adanya pertentangan dalam hadis, bahkan ada yang berpendapat bahwa itu bukan dari Nabi SAW.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas, dalam penelitian ini penulis hendak membahas tentang kajian ikhtilaf al-h}adi>th, dan dapat diperrinci sebagai berikut:
1. Sejarah ikhtila>f al-h}adi>th.
2. Kajian seputar ikhtila>f al-h}adi>th dan hubungannya dnegan kajian mushkil al-h}adi>th.
3. Biografi Ibn Qutaybah (w 276 H) dan pembahasan tentang kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th.
4. Konsep hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H).
19
8
5. Metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam memahami hadis-hadis mukhtalif. 6. Konsep ikhtila>f al-h}adi>th menurut ulama.
7. Peranan ikhtila>f al-h}adi>th dalam kritik hadis.
Dari sekian banyak masalah di atas, penulis batasi pada: 1. Konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H).
2. Metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam memahami hadis-hadis mukhtalif di dalam kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H)? 2. Bagaimana metode Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan hadis-hadis
mukhtalif di dalam kitab Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan konsep hadis-hadis mukhtalif menurut Ibn Qutaybah (w 276 H).
9
E. Kegunaan Penelitian
Selanjutnya, dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan (manfaat) sebagai berikut:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membantu para pembaca untuk memahami pemikiran Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif dalam kitabnya dan perbandingan dengan metode ulama lain. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi para
pengkaji hadis, yang khususnya adalah mahasiswa Ilmu Hadis, dalam rangka mengembangkan kajian ilmu hadis dan ilmu-ilmu lainnya yang bersangkutan. Sehingga dapat dipahami secara benar oleh masyarakat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada saat ini. Dan untuk menegaskan kembali pentingnya hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam agama Islam.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam sebuah penelitian dibutuhkan tinjauan pustaka, untuk kajian ini dimaksudkan untuk meninjau kembali penelitian-penelitian terdahulu yang sudah ada dalam pustaka untuk menghindari adanya kesamaan maksud dalam penelitian tersebut jika memang ada.
10
1. Buku yang ditulis oleh Muh. Zuhri yang berjudul Telaah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, buku tersebut membahas kritik dan
pemahaman terhadap hadis beserta langkah-langkah pendekatannya.20
2. Disertasi yang ditulis oleh Suryadi yang berjudul Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muh}ammad al-Ghazali> dan Yu>suf al-Qard}a>wi>).
Metode dalam karya tersebut menggunakan metode perbandingan antara Muh}ammad al-Ghaza>li> dan Yu>suf al-Qard}a>wi>, kemudian membahas metode al-Ghaza>li> dan Yu>suf al-Qard}a>wi> dalam memahami hadis-hadis nabi, lalu dibahas pula karakteristik metode keduanya, orisinalitas pemikiran, tipologi pemikiran dan implikasi pemikiran.21
3. Disertasi yang ditulis oleh Agusni Yahya yang berjudul Otentisitas Dan Pemahaman Hadis-Hadis Mukhtalif, Studi Pemikiran Ibn Taymiyyah. Karya
ini membahas tentang pemikiran Ibn Taymiyyah mengenai otentisitas hadis, lalu membahas tentang pemahaman dan penyelesaian hadis-hadis mukhtalif Ibn Taymiyyah.22
Penelitian yang dilakuakn oleh penulis, lebih kepada bagaimana Ibn Qutaybah memecahkan permasalahan hadis-hadis mukhtalif, dari bagaimana cara menjama‘, bagaimana cara menasakh dan mentarji>h.
20
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003).
21Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muh}
ammad al-Ghazali> dan Yu>suf al-Qard}a>wi>)” (Disertasi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004).
22Agusni Yahya, “
11
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa langkah yang akan ditempuh, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam penelitian kepustakaan (Library Research), karena objek penelitiannya adalah literartur kepustakaan yang mempunyai hubungan dengan permasalahan penelitian.
2. Sumber Data
Sesuai dengan pokok kajian yang akan diteliti yaitu bagaimana pemahaman Ibn Qutaybah terhadap hadis-hadis mukhtalif dan perbandingannya terhadap metode ulama lain, maka beberapa sumber data yang akan digunakan terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder, antara lain:
a. Sumber data primer.
1) Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th karya Abu> Muh}ammad ‘Abd Allah b. Muslim b. Qutaybah (w 276 H).
b. Sumber data sekunder.
1) Kita>b Mushkil al-Hadi>th aw Ta’wi>l al-Akhba>r al-Mutasha>bihah karya Abu> Bakr b. al-H{asan b. Fu>raq al-Is}bah>ni> al-Ash‘a>ri> (w 406 H).
12
3) Kayfa Nata‘amalu Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Yu>suf al-Qard}a>wi>.
4) Us}u>l al-H{adi>th ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu karya Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b.
5) Ikhtila>f al-Muh}addithi>n wa al-Fuqaha’ fi al> -H{ukmi ‘Ala al-H{adi>th, karya ‘Abd Allah Sha‘ba>n ‘Ali.
6) Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adith, karya Mah> }mu>d al-T{ah}h}an>n.
7) Manhaj al-Tawfi>q wa al-Tarji>h} Bayna Mukhtalaf al-H{adi>th wa Atharuhu Fi al-Fiqh, karya ‘Abd al-Maji>d Muhammad Isma‘i>l.
8) Al-I‘tiba>r fi> al-Nasikh wa al-Mansu> >kh min al-A>tha>r, karya Abu> Bakr Muh{ammad b. Mu>sa> b. al-H{amda>ni>.
9) Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Muh}addithi>n wa al-Us}u>liyyi>n al-Fuqaha>’, karya Usa>mah b. ‘Abd Alla>h Khayyat}.
10)S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, karya Muh}ammad b. Isma>‘i>l Abu> ‘Abd Alla>h al Bukha>ri>.
11)Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Fuqaha>’ wa Al-Muh}addithi>n, karya Na>fidh H{usayn H{amma>d, dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Teknik ini diterapkan pada dokumen tertulis tertentu yang meliputi buku, jurnal ilmiah, dan dokumentasi tertulis lainnya yang berhubungan dengan kajian penelitian.
13
Dari pengumpulan data yang berkaitan dengan kajian penelitian, maka dalam menganalisa data menggunakan metode analisis deskriftif, yaitu setelah data terkumpul maka diklasifikasikan sesuai permasalahan yang diteliti, dianalisis isinya dan dibandingkan antara satu data dengan yang lainnya dan akhirnya diberi kesimpulan.23
Selain itu, digunakan metode historis dan metode content analisis, dalam hal ini penulis ingin memaparkan sejauh mana pemikiran Ibn Qutaybah (w 276 H) dalam memahami hadis-hadis mukhtalif.
H. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan tulisan ini terdiri atas 5 bab. Pada setiap bab terdapat sub-sub yang akan merinci pembahasan pada setiap bab, agar terulas secara sistematis. Adapun bab-bab tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bab satu, berupa pendahuluan, berisikan uraian tentang latar belakang permasalahan, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
2. Bab dua, membahas tentang deskripsi tentang kajian ikhtila>f al-h}adi>th yang meliputi, bagaimana pengertian ikhtila>f al-h}adi>th, sejarahnya, macam-macam ikhtila>f al-h}adi>th, dan pendapat para ulama tentang khtila>f al-h}adi>th.
3. Bab tiga, paparan tentang biografi Ibn Qutaybah (w 276 H) dan kitab Ta’wi>l Mukhtalif H{adi>th, kemudian menjelaskan konsep hadis mukhtalif menurut Ibn
23
14
Qutaybah (w 276 H), lalu memaparkan metode-metode yang digunakannya dalam mengatasi permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th beserta contoh-contohnya. 4. Bab empat, merupakan analisa terhadap konsep hadis mukhtalif menurut Ibn
Qutaybah (w 276 H) dan analisa terhadap metode-metode yang digunakannya dalam mengatasi permasalahan ikhtila>f al-h}adi>th.
BAB II
DESKRIPSI TENTANG KAJIAN IKHTILA<F AL-H{ADI<TH
A. Pengertian Ikhtila>f al-H{adi>th
Kata ikhtila>f menurut bahasa adalah bentuk isim masdar dari kata ikhtalafa-yakhtalifu yang berarti berselisih, tidak sepaham.1 Menurut Ibn Manz}u>r, kata ikhtila>f berarti lam yattafiq (tidak serasi atau tidak cocok), dan kullu ma> lam yatasa>wa (segala sesuatu yang tidak sama).2 Menurut Mah}mud al-T> {ah}h}a>n arti dari ikhtila>f adalah kebalikan dari arti “ittifa>q”, sedangkan ikhtila>f al-h}adi>th, menurutnya berarti hadis-hadis maqbu>l yang bertentangan dengan hadis maqbu>l yang lainnya dan memungkinkan adanya jam‘u.3
Sedangkan menurut istilah ahli hadis yang lain, arti dari ikhtila>f al-h}adi>th adalah sebagai berikut:
1. Al-Suyu>t}i>: adanya dua hadis yang maknanya saling bertentangan, maka dua hadis tersebut dapat ditalfi>q atau ditarji>h salah satunya.4
2. „Abd al-Ma>jid al-Ghawri>: hadis-hadis sah} }i>h} atau hadis h}asan yang saling bertentangan dan memungkinkan dijam‘ antara dua hadis yang saling bertentangan tersebut.5
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 362.
2
Jama>l al-Di>n Muh}ammad b. Mukarram b. „Ali b. Ah}mad b. Abu al-Qa>sim b. H{abaqah b. Manz}u>r, Lisa>n al-‘Ara>b (Kairo: Da>r al-Ma„a>rif, t.th), 1240.
3
Mah}mu>d al-T{ahh} }an>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th (t.t.: Markaz al-Hady Li al-Dira>sah, 1405H), 46.
4
Jala>l al-Di>n „Abd al-Rah}man b. Abi> > Bakr al-Suyu>t}i>, Tadri>b Ra>wi> Fi> Sharh} Taqri>b
al-Nawa>wi> (t.t.: Da>r Ibn al-Jawzi>, t.th.), 779.
5
16
3. Na>fiz H{usayn: ilmu yang berkaitan dengan dua hadis yang keduanya tampak bertentangan/berlawanan.6
4. Sedangkan ikhtila>f al-h}adi>th sebagai kajian sebuah ilmu, yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, lalu dihilangkan pertentangan tersebut atau dikompromikan keduanya.dan ilmu yang membahas hadis-hadis yang sulit untuk dipahami atau dijelaskan, kemudian dihilangkan kesamarannya dan dijelaskan hakikat maknanya.7
Dari sejumlah definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, pertentangan yang terjadi pada hadis-hadis mukhtalif bersifat lahiriah bukan pada makna dari hadis yang bertentangan tersebut, alasannya bahwa yang menyampaikan hadis tersebut bersumber dari satu orang yaitu Rasulullah Saw, maka tidak mungkin Rasul memberikan sabda yang maknanya bertentangan. Kedua, secara metodologis, penyelesaian hadis mukhtalif pada langkah pertama dilakukan adalah al-jam‘u atau al-tawfi>q. Apabila ada dua hadis maqbu>l yang bertentangan dan keduanya dapat dikompromikan, maka hadis tersebut dipandang sebagai hadis mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data sejarah yang memastikan bahwa salah satu hadis tersebut datangnya tidak bersamaan, maka hadis yang datang terakhir dipandang sebagai na>sikh dan yang lainnya dipandang mansu>kh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan, maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah tarji>h}. Selanjutnya, apabila metode tarji>h tidak dapat dilakukan, maka hadis-hadis yang mukhtalif tersebut di-tawaqquf-kan. Melihat
6
Na>fiz Husayn H{amma>d, Mukhtalif al-H{adi>th Bayna al-Fuqaha>’ wa al-Muh]addithi>n, (Mesir: Da>r al-Wafa>‟, 1993), 13.
7„Ajja>
17
metode-metode yang dilakukan untuk menempuh penyelesaian ikhtila>f al-hadi>th, maka metode tersebut dilakukan secara bertahap dan bukan langsung memilih metode yang diinginkan, yaitu dengan metode al-jam‘u, al-tawfi>q,atau al-talfi>q. Jika tidak dapat dilakukan dengan cara yang pertama ini (al-jam‘u), maka secara bertahap dilakukan dengan metode al-na>sikh, al-tarji>h}, dan al-tawaqquf.8
Hadis-hadis dapat dikatakan bertentangan dengan hadis yang lain apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Hadis yang bertentangan adalah dari jenis hadis yang kualitasnya maqbu>l, dan sebaliknya hadis mardu>d bukanlah termasuk dari pembahasan hadis mukhtalif. 2. Hadis yang mukhtalif adalah hadis yang bertentangan dari segi maknanya saja, tidak dianggap hadis mukhtalif apabila hadis satu dengan hadis yang lain saling merusak.
3. Hadis yang mukhtalif adalah hadis yang layak untuk dijadiskan hujjah. Apabila salah satu hadisnya berkualitas d}a‘i>f, maka hadis yang berkualitas lebih kuat tidah terpengaruh oleh hadis d}a‘i>f yang berlawanan.
4. Antara kedua hadis mukhtalif dimungkinkan untuk dilkukan metode al-jam‘u ataupun metode al-tarji>h}.9
Pada masa Rasulullah belum ada perbedaan pendapat dalam menentukan hukum-hukum islam, para sahabat masih bersandar pada Rasulullah. Akan tetapi
8
Daniel Juned, Ilmu Hadis (Paradigma Baru Dan Rekonstruksi Ilmu Hadis) (Jakarta: Erlangga, 2010), 113.
9
Usa>mah „Abd Allah Khayyat}, Mukhtalif H{adi>th Bayna Muh}addithi>n wa
18
setelah wafatnya Rasulullah banyak masalah baru yang mengharuskan para sahabat untuk berijtiha>d dalam menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqih.10
Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya ikhtila>f al-h}adi>th adalah sebagai berikut:
1. Faktor internal hadis (al-‘a<mil al-da>khili)
Faktor ini berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadis tersebut yang nantinya kedudukan hadis tersebut menjadi d}a‘i>f. Dan secara otomatis hadis tersebut ditolak ketika hadis tersebut berlawanan dengan hadis s}ah}i>h}.
2. Faktor eksternal (al-‘a>mil al-kha>riji)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi Saw, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan hadisnya.
3. Faktor metodologi (al-budu’ al-manhaji)
Yakni berkitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian dari hadis yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan hadis-hadis yang mukhtalif.
10
19
4. Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madhhab dalam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.11
Adapun ilmu pembahasan lain mengenai hadis-hadis yang sulit dipahami, para ulama menyebutnya dengan istilah Mushkil al-H{adi>th. Al-Mushkil secara bahasa berasal dari kata shakala. Ibn Fa>ris berkata: Kata shakala dalam kebanyakan bentuknya mengandung arti: Mumathalah (persamaan), misalnya disebutkan: ha>dha shaklu ha>dha", artinya: Ini sama dengan ini.12 Sedangkan dalam Lisa>n
al-‘Arab disebutkan: ashkala al-amru artinya: masalah ini ambigu (mempunyai lebih
dari satu makna sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kerancuan).13
Jadi, al-mushkil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu, mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kerancuan atau ketidakjelasan. Kemudian kata mushkil digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda ataupun karena sebab lain.14 Oleh karena itu, istilah mushkil al-hadi>hs juga digunakan untuk menunjukkan hadis yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Berdasarkan kitab-kitab Must}alah} karangan para ulama terdahulu, seperti: al-Muh}addith al-Fa>s}il, Ma‘rifat ‘Ulu>m al-H{adi>th, Muqoddimah Ibn S{ala>h, dan lain sebagainya, penggunaan istilah Mushkil al-Hadi>th tidak dipakai dan disebut
11
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadis (Yogyakarta : Idea Press, 2008), 87.
12
Ahmad b. H{a>rith b. Zakariyya, Mu‘jam Maqa>yis al-Lughah vol. 3 (Beirut: Ittihad al-Kutta>b al-„Arab, 2002), 203-204.
13
al-Ifriqi, Lisa>n al-‘Arab vol. 11, 135.
14
Abdullah bin Muslim Ibn Qutaybah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur'an (Beyru>t: Da>r Kutub
20
dalam jenis-jenis ilmu hadis. Yang mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalif al-H{adi>th, yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: Ilmu yang
membahas tentang hadis-hadis yang secara z}ahir saling bertentangan. Kemudian ketika menyebutkan contoh karangan dalam pembahasan tersebut, mereka menyebut kitab Mushkil al-A>tha>r karangan Ima>m al-T{ah}a>wi>, dalam kitabnya Mushkil al-A<tha>r, maka akan didapati didalamnya terdapat hadis-hadis yang tidak
bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan ayat al-Quran, sejarah ataupun fakta ilmiah.
Zayn al-Di>n al-„Ira>qiy berkata: Karangan dalam pembahasan mukhtalif al-h{adi>th di antaranya adalah kitab karangan Muhammad b. Jari>r al-T{aba>riy, juga kitab Muhskil al-A<tha>r karya al-T{ah>awiy.15
Jadi, jelaslah bahwa para ulama terdahulu memasukkan pembahasan hadits-hadits yang mushkil dalam pembahasan mukhtalif al-h}adi>th. Dan tentunya akan timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka memberikan definisi mukhtalif al-h}adi>th mereka hanya menyebutkan pertentangan suatu hadis dengan
hadis yang lain, sedangkan hadis mushkil mempunyai makna yang lebih luas dari itu. Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta’akhkhiri>n juga melakukan hal yang sama dengan menyamakan mukhtalif al-h}adi>th dan mushkil al-h}adi>th.16
Mungkin, ulama yang pertama kali menyebutkan bahwa suatu hadis dimungkinkan mempunyai makna yang tidak jelas dan menimbulkan tanda tanya yang bukan sekedar bertentangan dengan hadis lain adalah Ima>m al-T{ah}awi dalam
15
Zayn al-Di>n Abu> al-Fad}l Abd al-Rah}i>m al-„Iraqi, Sharh al-Tabs}i>rah wa al-Tadhki>rah vol I (Beyru>t: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyah, 2002), 109.
16
Muhammad b. Ja„fa>r al-Kattani, Risa>lah Mustat}rafah li Baya>n Mashhu>r Kutub
21
kitabnya Mushkil al-A>tha>r. Dia berkata: Ketika saya meneliti hadis-hadis Rasulullah Saw yang s}ah}i>h} sanadnya, dan diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, saya menemukan hadis-hadis yang tidak diketahui maksud kandungannya oleh sebagian besar orang, maka sayapun tertarik untuk menelitinya, kemudian menyingkap tabir kemushkilannya dengan menjelaskannya, dan mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya.17 B. Sejarah Ikhtila>f al-H{adi>th
Telah muncul pertentangan antar hadis-hadis sejak zaman Rasu>l, tetapi pertentangan hadis pada waktu itu tidaklah terlalu banyak, karena Rasul sebagai sumber pokok hadis masih ada, dan kaum muslimin pada waktu itu langsung menghadap kepadanya apabila ada masalah pertentangan hadis, Rasul pun menyelesaikan permasalahan itu dengan menjabarkan apa yang menjadi kendala dan menjelaskan hukum-hukumnya. Sebagai contoh adalah dua hadis berikut ini.
ْع ا يّ ر ع ْبا ع
ق
م سو ْي ع ها ى ص يب ا ق
: اّْحأا ج
ذ
ة ْيرق ي ب يف إ رّْع ا ّحأ ي ّي ا
د
18“Dari Ibn „Umar berkata, Nabi Saw bersabda kepada kami ketika Nabi kembali dari perang Ahza>b: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian s}alat „Ashar keculi di perkampungan Bani> Qurayz}ah.”
ثّح
ا ّْبع
ق
حأ ع ا ّأ :م سو ْي ع ها ى ص يب ا تْأس :
: ق ؟ ا ى إ
ذ
تْقو ى ع اّ ا
د
19“Dari „Abd Allah, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Nabi menjawab: “S}alat pada waktunya.”
17
Abu>Ja„far Ahmad b. Muhammad b. Sala>mah al-Thohawi, Baya>n Mushkil al-A>tha>r, Vol I (Beyru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1994), 3.
18
Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol V (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 112.
19
22
Letak pertentangan antara kedua hadis tersebut adalah ketika terbayangkan oleh para sahabat mengenai dua hadis yang saling bertentangan secara lahiriyah, yaitu ketika Rasulullah Saw melarang untuk melakukan s}alat kecuali setelah sampai di perkampungan Qurayz}ah, meskipun sudah masuk waktu s}alat (‘as}r), seperti apa yang telah tertera dalam teks hadis tersebut. Dan pernyataan tersebut bertentangan dengan hadis yang menyatakan bahwa Rasul menyukai s}alat pada waktunya.20
Terdapat perbedaan di antara sahabat mengenai solusi pertentangan dua hadis tersebut. Pemecahan dari permasalahan yang pertama adalah sebagai berikut, apabila dikembalikan kepada pernyataan “la> yus}alliyanna ah}ad al-‘as}r
illa> fi> bani> Qurayz}ah”, maka pernyataan tersebut adalah pengkhususan dari keumuman s}alat wajib pada waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan pernyataan lain adalah perintah untuk melaksanakan s}alat pada waktunya. Sedangkan pendapat yang selanjutnya adalah mera>jihkan hadis yang memerintahkan s}alat pada waktunya dan mengesampingkan makna perintah Rasul untuk melaksanakan s}alat di Bani> Qurayz}ah, dan bahwasannya maksud dari perintah Rasul untuk hadis yang pertama adalah agar para sahabat mempercepat langkahnya dalam perjalanan dan melaksanakan s}alat di Bani> Qurayz}ah meskipun keluar dari waktu s}alat.21
Dan Rasulullah Saw tidak mencela pada masing masing kelompok atas ijtihadnya. Dan telah diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> dalam hadis sebagai berikut:
20„Abd al
-Maji>d Muh}ammad Isma>„i>l, Manhaj al-Tawfi>q wa al-Tarji>h} Bayna Mukhtalaf
al-H{adi>th wa Atharuhu Fi al-Fiqh (t.t.: Da>r al-Nafa>is, t.th.), 23.
21
23
ق ،ر ع ْبا ع ، ف ْ ع
:
ج م سو ْي ع ها ى ص يب ا ق
: اّْحأا
ذ
ي ا
ة ْيرق ي ب يف إ رّْع ا ّحأ ي ّ
د
ّْأف
قو ، يتْأ ىتح ي ّ ا :ْم ضْعب قف ،قيرط ا يف رّْع ا م ضْعب
ع ها ى ص يب رك ف ،ك ذ ّْري ْم ،ي ّ ْ ب :ْم ضْعب
،م سو ْي
ْم ْ اّحاو ْف عي ْم ف
22“Dari Na>fi„, dari Ibn „Umar dia berkata: Nabi Saw bersabda kepada kami ketika kembali dari perang Ah}za>b: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian s}alat „ashar kecuali di perkampungan Bani> Qurayz}ah.” Lalu tibalah waktu s}alat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, „Kami tidak akan s}alat kecuali telah sampai tujuan‟, dan sebagian lain berkata, „Bahkan kami akan melaksanakan s}alat, sebab Rasul tidaklah bermaksud demikian‟. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi Saw, dan Nabi tidak mencela seorang pun dari mereka.”
Kedua, setelah Rasul wafat, maka tidak ada lagi sumber hadis atau tempat mengadukan permasalahan, maka pada saat itu dibukalah pintu ijtihad bagi para sahabat, mereka berijtihad berdasarkan keilmuan yang mereka miliki, dan hasil ijtihad pun bermacam-macam, karena keragaman pengetahuan dan akal mereka. Sebagai contoh adalah tentang dua hadis di bawah ini:
ّْأْاو ، يرج ْا طْ ك ذ يف ف تْخا : ق ،ىسو يبأ ْ ع
ّ ا إ ْسغْا ّي : وي ّْأْا قف
قو .ء ْا ْوأ قْف
أف :ىسو وبأ ق : ق ، ْسغْا جو ّْقف ط خ اذإ ْ ب : ورج ْا
ْ أ ي : تْقف ،ي ذأف ةشئ ع ى ع تْذْأتْس ف تْ قف ك ذ ْ ْم يفْشأ
-
أ ي ْوأ
ي ْ ْا
-
:ْت قف ،كييْحتْسأ ي إو ءْيش ْ ع ك أْسأ ْ أ ّي أ ي إ
أ إف ،كْتّ و يت ا ك أ ْع ئ س تْك ع ي أْست ْ أ ييْحتْست
ع ْت ق ؟ ْسغْا جوي ف :تْق ،ك أ
،تْطقس ريب ْا ى
ها وس ق
:م سو ْي ع ها ى ص
ذ
ت ْا ت ْا و بْ أْا بعش ْيب ج اذإ
ْسغْا جو ّْقف
د
23 22Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol II (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 15.
23
24
“Dari Abu> Mu>sa dia berkata, “Sejumlah Muha>jiri>n dan Ans}a>r berselisih dalam hal tersebut. Kaum Ans}a>r berpendapat bahwa tidak wajib mandi kecuali disebabkan mengucurnya air mani atau keluarnya air mani. Sedangkan kaum Muha>jiri>n berpendapat, „Bahkan apabila seseorang telah mencampuri istrinya (sekalipun tidak keluar mani), maka dia telah wajib mandi.‟ Perawi berkata, “Abu> Mu>sa> berkata, „Aku adalah yang paling sehat dari pertikaian tersebut, lalu aku berdiri untuk meminta izin „A>ishah, lalu dia memberikanku izin. Lalu aku berkata kepadanya, „Wahai ibu atau wahai Umm al-Mu‟mini>n, sesungguhnya aku berkeinginan untuk menanyakan kepadamu tentang sesuatu, dan sungguh aku malu kepadamu.‟ Lalu dia („A>ishah) berkata, „Janganlah kamu malu untuk bertanya kepadaku tentang sesuatu yang kamu dahulu pernah bertanya kepada ibumu yang melahirkanmu. Aku adalah ibumu.‟ Aku bertanya, „Apa yang mewajibkan mandi?‟ Dia menjawab, „Sungguh telah kamu temukan manusia „arif terhadap pertanyaan yang kau ajukan, Rasulullah Saw bersabda, „Apabila seorang laki-laki duduk di antara cabang empat wanita (maksudnya kedua paha dan kedua tangan) dan bertemulah kelamin laki-laki dengan kelamin wanita maka sungguh telah wajib mandi‟.”
،ّ ّْ ْا ّيعس يبأ ْ ع ثّح
: ق أ م سو ْي ع ها ى ص يب ا ع
ذ
ء ْا ء ْا إ
د
24
“Dari Abu> Sa„i>d al-Khudri> dari Nabi Saw dia bersabda: Bahwa air (mandi wajib) itu disebabkan karena (keluarnya) air mani.”
Hadis yang pertama menyatakan, apabila bertemu kelamin laki-laki dan kelamin perempuan maka diwajibkanlah mandi. Sedangkan hadis yang ke dua mempunyai arti bahwa tidak diwajibkan mandi kecuali keluar air maninya. Maka para sahabat mengatasi masalah ini dengan mera>jihkan hadis yang pertama, karena „A<ishah yang lebih mengetahui dan lebih paham masalah tersebut.25
Contoh lain adalah dua hadis di bawah ini:
24
Ibid., 269.
25
Abu> Bakr Muh{ammad b. Mu>sa> b. „Uthma>n al-HA{ >zimi> al-Hamda>ni>, Al-I‘tiba>r fi> al-Na>sikh wa al-Mansu>kh min al-A>tha>r, Vol I (H{aydar A>ba>d: Da>‟irah al-Ma„arif al
25
ع
ْع ا يّ ةشئ ع
:ْت ق
ذ
ها ى ص ا وس ى ع ّ ْشأ
وّي مث ، اتْحا رْيغ ج ْ ب ج حبّْي ك ْ إ م سو ْي ع
د
26
“Dari „A>ishah r.a. dia berkata: “Aku bersaksi tentang Rasulullah Saw, apabila Rasul pada pagi hari masih dalam keadaan junub setelah berhubungan tanpa mengeluarkan sperma, maka Rasul meneruskan puasanya”.
،رْ ب يبأ ْ ع
يف وقي ،ّقي ، ْع ها يّ رْير بأ تْع س : ق
: ّّق
ذ
ْمّي ف ب ج رّْفْا ك ّْأ ْ
د
27
“Dari Abu> Bakr ia berkata, saya mendengar Abu> Hurayrah r.a. mengkisahkan. Di dalam kisahnya ia berkata, “Siapa yang junub di waktu fajar, maka janganlah ia berpuasa.”
Dua hadis di atas dianggap bertentangan, karena hadis yang diriwayatkan oleh „A>ishah dapat disimpulkan bahwa orang yang sedang junub dan telah masuk
waktu fajar maka dia masih boleh berpuasa. Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah dapat disimpulkan bahwa orang yang sedang dalam keadaan junub di waktu fajar maka dilarang berpuasa. Dalam penyelesaiaan perbedaan hadis tersebut, maka para sahabat menempuh metode tarji>h} yaitu dengan mera>jih}kan hadis yang diriwayatkan oleh „Aishah dari pada hadis yang telah diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah.28
Kemudian pada masa ta>bi„i>n, Ima>m al-Awza>„i> telah menceritakan bahwa dia bertemu dengan Imam Abu> H{ani>fah, al-Awza>„i> berkata: mengapa kamu tidak mengangkat tangan ketika ruku>„ maupun i„tida>l? Abu> H{ani>fah menjawab: tidak benar hadis yang menjelaskan bahwa Rasul melakukan itu. Al-Awza>„i> bertanya:
26
Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol III (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 31.
27
Muslim b. al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, vol II (Beyru>t: Da>r Ih}ya>‟ al-Tura>th al-„Arabi>, t.th.) 779.
28
26
bagaimana tidak benar? Padahal telah berkata kepadaku al-Zuhri> dari Sa>lim dari ayahnya dari Rasulullah Saw:
م سو ْي ع ها ى ص ا وس أ " : يبأ ْ ع ، ا ّْبع ْب م س ْ ع
ف اذإو ، وكر ربك اذإو ، اّ ا حتتْفا اذإ ْيب ْ وْ ح ْيّي فْري ك
ْأ
ضْيأ ك ك عف ، وكر ا س
29
“Dari Sa>lim b. „Abd Allah dari Bapaknya, bahwa Rasulullah Saw mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai s}alat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk.”
Sedangkan imam Abu> H{ani>fah dengan riwayatnya sebagai berikut:
ا ّْبع أبْأ : ق ،رّْ ْب ّْيوس ربْخأ
ْ ع ، يْفس ْ ع ،
ب ْا ْب
ا ّْبع ْ ع ،ة قْع ْ ع ،ّوْسأْا ْب ْحر ا ّْبع ْ ع ، ْي ك ْب مص ع
: ق م سو ْي ع ها ى ص ا وس ّب ْمكربْخأ أ : ق
ذ
فرف قف
ّْعي ْم مث ر وأ ْيّي
د
30
“Telah mengabarkan kepada kami Suwayd b Nas}r dia berkata: telah memberitakan kepada kami „Abd Allah b. al-Muba>rak dari Sufya>n dari „As}im bin Kulayb dari „Abd al-Rah}ma>n b. al-Aswad dari „Alqamah dari „Abd Allah dia berkata: “Maukah kalian aku beritahu tentang cara s}alat Rasulullah Saw? Nabi Saw mengangkat kedua tangan pertama kali kemudian tidak mengulanginya.”
Melihat permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan ikhtila>f al-hadis sudah ada sejak zaman Rasul, sahabat dan tabiin, oleh karena itu
mereka berijtihad mengemukakan solusi dari berbagai permasalahan yang muncul di zaman mereka yang berkaitan tentang hadis-hadis Rasulullah Saw. Salah satu permasalahannya adalah terdapat hadis-hadis mukhtalif yang membutuhkan
29
Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu> „Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol I (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 148.
30
27
perhatian khusus dengan tujuan menyelesaikan pertentangan yang tampak, dan maksud dari hadis tersebut dapat dipahami secara hukum yang dikandungnya.31
Akan tetapi, ilmu tentang ikhtila>f al-h}adi>th belum tertulis secara rapi dan sistematis, sampai akhirnya muncullah Imam al-Sha>fi„i>> sebagai penulis tentang ilmu ikhtila>f al-h}adi>th. Pada awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadis-hadis mukhtalif merupakan bagian pembahasan ilmu us}u>l al-fiqh. Karena ini terlihat jelas dalam kitab Al-Umm karya Ima>m al-Sha>fi„i> dalam kitabnya al-Risa>lah, al-Umm, Ikhtila>f al-H{adi>th.
Latar belakang penulisan ilmu ikhtila>f al-h}adi>th oleh Ima>m al-Sha>fi„i> adalah kekacauan dan penyalahan terhadap hadis Rasul yang nampak saling bertentangan, dan pada saat itu apabila ada hadis yang tampak saling bertentangan maka secara singkat dihukumi sebagai nasakh. Maka Imam al-Sha>fi„i> bergegas untuk menjelaskan kesalahan dan membetulkan kerancuan terhadap pemaknaan hadis mukhtalif.32
Selain imam al-Sha>fi„i>, pembahasan ikhtila>f al-hadi>th ini juga ditulis dalam kitab secara khusus oleh beberapa ulama, antara lain adalah Ibn Qutaybah dalam karyanya Ta’wi>l Mukhtalif al-H{adi>th, dan ada pula karya dari al-T{ah}awi> yaitu kitab Mushkil al-Hadi>th.
Di sisi lain, ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadis dalam makna ilmu riwayah, lebih bersifat ilmu mus}t}alah} al-h}adi>th, seperti kitab al-Muh}addith al-Fa>s}i>l karya Ramahurmuzi>. Kemudian bahasan yang lain yang berhubungan fiqh al-h}adi>th untuk masa sesudahnya juga terlihat dalam kitab-kitab hadis yang
31
„Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th…183.
32
28
disusun oleh para ahli hadis yang juga ahli fiqh, seperti karya Ibn Khuzaymah, Ibn H{ibba>n, dan al-Bayhaqi. Kemudian, kaidah-kaidah ini juga menjadi bagian dari kitab-kitab „ulu>m al-h}adi>th seperti terlihat dalam kitab Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>th karya al-H{a>kim, al-Kifa>yah fi>‘Ilm al-Riwa>yah dan al-Ja>mi‘ li Akhla>q al-Ra>wi> wa Adab al-Sa>mi‘, keduanya adalah karya Kha>tib al-Baghda>di>. Dan seterusnya sampai pada masa Ibn al-S{ala>h} yang dipandang sebagai masa puncak penulisan ulu>m al-h}adi>th.
Dalam perkembangan lebih lanjut, ilmu ikhtila>f al-h}adi>th tidak saja dibahas dalam kitab-kitab us}u>l al-fiqh saja melainkan juga dalam kitab ulu>m al-h}adi>th pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran di salam kitab-kitab fiqh
maupun sharh} al-h}adi>th, seperti Fath} al-Ba>ri>, Sharh}S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, ‘Awn al
-Ma‘bu>d, dan lain sebagainya.33
C. Macam-macam Ikhtila>f al-H{adi>th
Mengenai pembagian macam-macam ikhtila>f al-h}adi>th, Ibn al-S{ala>h berpendapat sebagai berikut:
1. Memungkinkan adanya metode al-jam’u di antara dua hadis yang saling bertentangan.34
Dalam menjamak hadis yang bertentangan, ada bebrapa syarat yang dikemukakan, antara lain adalah:
a. Kedua dalil yang bertententangan dapat dijadikan h}ujjah.
b. Dengan menjama tidak mebatalkan nas}-nas}shara„ dan sebagainya.
33
Daniel Juned, Ilmu Hadis…111.
34
29
c. Kedua dalil mempunyai kualitas yang sama sama kuatnya. d. Tidak menjamak dengan takwil/pemaknaan yang jauh.
e. Tidak menjam‘ nas} s}ah}i>h} yang bertentangan, namu kemudian menyelisihkannya.35
Contohnya adalah sebagai berikut:
ى ص ا وس أ : ْع ا يّ ،ر ع ْبا ع ،م س ْ ع
يف : اث يف ْ ش او ، ريط او وّْع ا " : ق م سو ْي ع ها
ّ او ، أْر ا
" ةباّ او ، ا
36
“Dari Sa>lim dari Ibn „Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada
‘adwa> (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada t}iyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), dan adakalanya kesialan itu terdapat pada tiga hal, yaitu: isteri, tempat tinggal dan kendaraan.”
Hadis di atas dianggap bertentangan dengan hadis lain, yaitu:
ها ى ص يب ا ق : وقي ّْعب ، رْير بأ س :ة س يبأ ْ عو
:م سو ْي ع
ذ
حّ ى ع ضرْ ّ وي ا
د
37“Dari Abu Salamah mendengar Abu> Hurayrah mengatakan: Nabi Saw bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.”
وس ق : وقي ، رْير بأ تْع س : ق ،ء ي ْب ّيعس ثّح
سو ْي ع ها ى ص ا
:م
ذ
او ة او ، ريط او وّْع ا
رفو ،رفص
و ّْ ا
ّسأا رفت ك
د
38“Dari Sa„i>d b. Mi>na>‟, aku mendengar Abu> Hurayrah berkata, Nabi Saw bersabda: Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian, tidak ada t}iyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hantu yang gentayangan, dan tidak ada s}afar (kematian dikarenakan penyakit cacing perut) yang terjadi secara sendirian, dan larilah dari orang yang sakit lepra seperti kamu lari dari singa.”
35
H{a>fiz} Thana>‟ Allah al-Za>hidi>, Taysi>r al-Us}u>l (TK: Da>r Ib H{azm, 1993), 314.
36
Muh}ammad b. Isma>„i>l Abu>„Abd Alla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol VII (t.t.: Da>r T{awq al-Naja>h, 1422), 135.
37
Ibid., 138.
38
30
Ketiga hadis di atas bukanlah saling bertentangan, melainkan memberi pemahaman bahwa suatu penyakit akan mudah sekali menular pada orang lain jika terjadi kontak langsung maupun secara tidak langsung.
Dalam hal ini, Ibn Qutaybah berpendapat bahwa dalam hadis-hadis di atas tidak ada pertentangan apabila telah telah diketahui makna konteksnya masing-masing. Dalam mengkompromikannya, Ibn Qutaybah terlebih dahulu menjelaskan arti perkata dari redaksi hadis yang dipetentangkan tersebut, lalu dijelaskan kaitannya dengan hadis-hadis yang lain.
Pada dasarnya penyakit menular hanya tertentu pada penyakit lepra, t}a>‘u>n, dan sejenisnya, yaitu segala macam penyakit yang menular melalui
sebab-sebab tertentu. Penyakit lepra menimbulkan bau tidak sedap sehingga menyakiti orang lain yang berada di sekitarnya dan terkadang ia juga tertular. Maka dari itu disarankan agar jangan sampai mendekati orang yang terkena penyakit lepra, dan sejenisnya. Mereka tidak dengan tegas bermaksud hawatir tertular , tetapi hawatir apabila penyakit tersebut menimbulakn bau tidak sedap sehingga mengganggu orang lain, yang berakibat orang tersebut merasa sakit. Karenanya Nabi mengingatkan agar tidak berbaur dengan orang yang menderita penyakit menular. Begitulah maksud dari matn hadis حّ ى ع ضرْ ّ وي (Janganlah (unta) yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat).
31
di bawah ini ada sebuah riwayat yang menerangkan tentang penyakit t}a‘u>n yang banyak ditakuti oleh orang-orang, adalah sebagai berikut:
: ق ،ّْي ْب ة سأ ْ ع
:م سو ْي ع ها ى ص ها وس ق
ذ
بع ْ س ب جو ّع ها ى تْبا ،ّْجر ا ةيآ وع ط ا
اذإف ، ّ
اورفت ف ، ب ْمتْأو ضْ أب قو اذإو ، ْي ع او خّْت ف ، ب ْمتْع س
ْ
د
39
“Dari Usa>mah b. Zayd berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: T{a‘u>n (penyakit menular/wabah kolera) adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-hambaNya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.”
Maksud Nabi dalam sabdanya tersebut adalah jangan sampai seseorang yang keluar dari wilayah yang terkena penyakit t}a>‘u>n tersebut merasa telah lari dari taqdir Allah, dan janganlah mendatangi wilayah tersebut sebab tempat dia berada sekarang lebih aman dan lebih baik.
Dalam uraian tersebut dinyatakan bahwa Ibn Qutaybah tetap mengakui adanya hukum alam yang berlaku bagi penyakit menular. Menurutnya penyakit menular merupakan sesuatu yang tidak menular dengan sendirinya, namun dengan takdir Allah dan sesuai dengan hukum alam. Peristiwa t}a‘u>n dalam hadis tersebut dijadikan Ibn Qutaybah sebagai latar belakang munculnya hadis tentang bencana (sial) sebab kedua hadis ini dinilai mempunyai hubungan yang erat. Sehingga akan didapatkan titik temu dari beberapa hadis yang dianggap saling berlawanan.
39
32
2. Kedua hadis muhktalif tidak dimungkinkan adanya metode al-jam’u. Dan itu terbagi menjadi dua macam, yang pertama, antara dua hadis tersebut ada yang dimansukh. Hadis yang manjadi na>sikh adalah hadis yang diamalkan. Yang kedua, tidak terjadi nasikh mansukh antara keduanya, tetapi salah satu hadis diambil yang paling rajih.40
D. Pendapat Ulama Tentang Ikhtila>f al-H{adi>th
Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap mukhtalif al-h}adi>th sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Nabi wafat mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya, sebagaimana yang dilakukan para ulama fiqh, ulama us}u>l dan ulama hadis. Mereka sepakat bahwasannya tidak ada pertentangan atau perbedaan antara dalil dalil syar’. Tetapi, apabila ada hadis yang berbeda itu adalah ijtihad atau pendapat dari masing-masing atau perorangan.
Menurut al-Sha>fi„i>>, sebenarnya tidak ada pertentangan yang sesungguhnya (kontradiksi) di antara hadis-hadis tersebut. Dengan tegas dikatakannya: “Kami tidak menemukan ada dua hadis yang bertentangan (mukhtalif), melainkan ada jalan keluar penyelesaiannya. Hadis-hadis yang oleh sementara orang dinilai mukhtalif yang mengandung makna bertentangan, menurut al-Sha>fi„i>>, sebenarnya bukanlah bertentangan. Pertentangan-pertentangan yang tampak tersebut hanyalah
40
33
pada lahirnya saja bukan dalam arti yang sebenarnya. Bisa dikatakan bahwa dalam pandangan al-Sha>fi„i>>, timbulnya penilaian suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya sebenarnya disebabkan oleh kekeliruan memahaminya.41
Dalam pandangan Yu>suf al-Qard}a>wi>, apabila ada hadis Nabi yang bertentangan dengan hadis Nabi yang lain, maka perlu dicari solusinya, sehingga hilanglah pertentangan tersebut. Secara singkat menurutnya ada beberapa cara untuk mengatasinya, yakni: al-jam‘u, na>sikh wa al-mansu>kh dan tarji>h}.42
Dalam pandangan Ibn Taymiyyah, ummat islam seharusnya memahami dan mengamalkan hadis Nabi secara totalitas, luas dan luwes, tidak terikat pada satu madhhab saja, akan tetapi mengamalkan semua sunnah yang telah diajarkan nabi dan diamalakn secara harmonis oleh kaum Salaf. Umat islam juga tidak boleh menolak hadis-hadis yang dinyatakan s}ah}i>h} oleh para ulama hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis, terutama dalam kitab S{ah}i>h}ayn. Dengan cara pandang yang sedemikian itu dapat mengamalkan hadis Nabi secara optimal dan dapat memlihara ukhuwwah isla>miyyah. Karena salah satu penyebab terpecah dan lemahnya umat Islam adalah karena ketidaksungguhannya dalam memahami, memelihara, dan mengamalkan sunnah Nabi yang dipandang maqbu>l, yaitu mengamalkan sebagian hadis dan meninggalkan sebagian hadis yang tidak disukai.43
41
Edi Safri, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1999), 6.
42
Yusuf al-Qardawi, Kayfa Nata‘a>mal….. , 113
43
34
E. Cara Mengatasi Permasalahan Ikhtila>f al-H{adi>th
Dalam mengatasi hadis-hadis yang bertentangan, kebanyakan para ualama menentukan cara yang berurutan, antara lain dengan menggunakan cara al-jam‘u, nasakh, tarji>h}, tawaqquf.
1. Pendekatan al-Jam‘u atau al-Tawfi>q
Berangkat dari landasan teori bahwa pada hakikatnya tidak ada ikhtila>f al-h}adi>th, Ibn Khuzaymah menyatakan “Aku tidak tahu kalau ada dua hadis yang
sanadnya sama-sama s}ah}i>h} namun isinya bertentangan, jika ada yang mendapatkan hadis-hadis seperti itu, bawalah kepadaku untuk dikompromikan antara keduanya”
Kemudian, Abu Bakar Muhammad al-T{ayyib dalam rumusan teorinya mengatakan bahwa hadis itu ada dua macam, yakni hadis yang diketahui pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw, dan hadis yang diketahui tidak pernah diucapkannya. Semua hadis yang dipastikan bersumber dari Rasul tidak mungkin terjadi pertentangan dalam bentuk apapun, meski pada lahirnya tampak bertentangan. Karena ta‘a>rud} pada dua hadis atau pun dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang berisikan larangan dan perintah, maka akan berakibat makna satu hadis menggugurkan makna yang lainnya. Karena itu, apabila ada dua hadis yang saling bertentangan maka kedua hadis tersebut harus dikaitkan dengan dua waktu, dua kelompok, dua orang, atau dua sifat yang berbeda.44
Selanjutnya, Ima>m al-Shafi„i> dengan logika yang sama mengatakan bahwa pada prinsipnya karena berasal dari sumber yang sama, semua hadis itu adalah
44
35
muttafiq dan tidak ada yang bertentangan. Pertentangan yang terkadang tampak pada hadis, menurutnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ada faktor umum maupun faktor khusus dalam hadis. Ada hadis yang memang bersifat umum dan yang dimaksudkan keumumannya. Tetapi ada pula hadis yang bersifat umum namun yang dimaksudkan adalah maknanya yang khusus. Faktor lain yang menyebabkan adanya iktilaf al-hadi>th adalah pengamalan hadis yang sepotong-potong sehingga makna yang esensial dari hadis tersebut menjadi berkurang atau bahkan hilang.
Bagian akhir komentar al-Shafi„i> mengandung isyarat bahwa riwayat dengan makna dan faktor ketelitian para perawi hadis sering menjadi iktilaf. Namun pada kesempatan lain, al-Sha>fi„i>> mengatakan, “ Kami sama sekali tidak mempertentangkan dua hadis Rasulullah Saw selama ada jalan untuk mengamalkan keduanya. Dan kami tidak memandang mukhtalif kecuali pada keadaan yang sama sekali tidak dapat mengamalkan yang satu tanpa meninggalkan yang lain”.45
Contoh pendekatan permasalahan dengan cara al-jam‘u atau al-tawfi>q.
ها وس أ ، رير يبأ ع
-م سو ي ع ها ى ص
ْ " : ق ،
سغ
"أّوتي ف ح و ، ستغي ف تي ا
46
“Dari Abu> Hurayrah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi, dan barangsiapa yang membawanya maka hendaknya ia berwudhu.”
45
Ibid., 115.
46
36
ق ، بع ْبا ع
:
م سو ْي ع ها ى ص ا وس ق
ْي " :
إ ْسغ ْم تي ْسغ يف ْم ْي ع
ر ط ْ ْم تي إ و تْسغ اذ
" ْم يّْيأ او سْغت ْ أ ْم بْسحف ّ ب ْي و
47
“Dari Ibn „Abba>s r.a. Rasululullah Saw bersabda: Tidak diwajibkan kepadamu untuk mandi besar seteha memandikan jenazah, karena sesungguhnya mayit yang engkau madikan adalah orang mukmin yang suci dan tidak najis, maka cukuplaj bagimu untuk mencuci tangan.”
Letak permasalahannya antara dua hadis di atas adalah, hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah menyeru wajibnya mandi bagi siapa saja yang memandikan jenazah, sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Àbba>s tidak ada seruan wajibnya mandi bagi yang memandikan jenazah.
Dalam menjam‘ dua hadis di atas ada tiga kelompok, yaitu:
a. Hanafiyah, Ma>likiyyah, dan sebagian dari as}h}a>b al-Sha>fi‘i> mengkompromikan dua hadis di atas dengan menarik hukum kepada sunnah. Yaitu hadis yang pertama dalam riwayat Abu> hurayrah, kaitannya adalah pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Abba>s tidaklah mewajibkan mandi. Dan dasar dari perintah mandi tersebut menjadi sunnah adalah dengan melihat hadis yang diriwayatkan oleh Ibn „Umar,
: ق , ر ع ْبا ع
ذ
ك
ْ و ستْغي ْ ف تي ْا سغ
ستْغي
د
48
“Dari Ibn „Umar ra. “Kami telah selesai memandikan mayit, sebagian dari kami ada yang mandi besar, dan sebagian pula tidak melakukannya.” b. Sebagian berpendapat bahwa hukumnya adalah ditarik kepada wajibnya
mandi.
47
Ah}mad b. al-H{usayn b. „Ali> al-Bayhaqi>, al-Sunan al-Kubra>, Vol I (Beyru>t: Da>r al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), 456.
48
37
c. Ima>m Ah}mad b. Hanbal berpendapat bahwa tidak diwajibkan mandi bagi orang orang yang telah memandikan jenazah, karena lemahnya kualitas hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah, menurut Ima>m Ah}mad bahwa hadis dari jalur Abu Hurayrah tersebut mawqu>f.49
2. Pendekatan Nasakh
Pendekatan nasakh adalah salah satu metode mengatasi hadis yang mukhtalif, pendekatan ini dilakukan apabila pendekatan tawfi>q tidak lagi dapat
dilakukan. Dengan catatan, kedua hadis yang bertentangan tersebut mempunyai data sejarah yang jelas. Tanpa diketahui hadis mana yang dating terlebih dahulu ataupun yang datangnya terakhir, maka metode nasakh ini tidak dapat dilakukan. Permasalahan nasakh ini tidak terlepas dari perhatian ahli hadis, baik yang berhubungan dengan kaidah-kaidah tentang nasakh maupun pengumpulan hadis-hadis yang berkaitan dengan nasakh tersebut.
Pakar hadis memiliki sikap dan pandangan yang beragam terhadap nasakh. Mayoritas dari mereka sangat berhati-hati dalam menyatakan suatu hadis mansukh. Sementara sebagian ulama menyatakan dengan tegas bahwa ada hadis yang mansukh. Keragaman pandangan ini bisa terjadi karena tingkat penguasaan data dan informasi serta tingkat kefaqihan mereka dalam menyikapi permasalahan agama yang nampak ikhtila>f. Fenomena adanya nasakh suatu hadis, lebih banyak didasari oleh pemahaman lepas tanpa didukung landasan filosofis dan data-data historis yang memadai.
49